Sabtu, 03 November 2012

Hari Kathina

Dalam menyambut masa Kathina yang berlangsung selama satu bulan --dari tanggal 27 Oktober s/d 25 November 2007--, ada baiknya kita mengingat dan menelusuri kembali sejarah Kathina. Bagi umat Buddha, masa Kathina erat kaitannya dengan berdana kepada Sangha. Masa Kathina selalu disambut umat Buddha dengan begitu meriah, ini dapat dilihat dari semangat umat Buddha memperingati Kathina dengna berbondong-bondong datang ke Vihara. Mereka dengan perasaan bahagia, dan penuh ketulusan hati melakukan persembahan kepada Sangha.

Peristiwa ini sudah berlangsung beribu-ribu tahun lamanya dan menarik sekali apabila kita telusuri bagaimana sesungguhnya Kathina sampai ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama?

Sejarah mencatat bahwa setelah meraih Pencerahan Agung, Sang Buddha melakukan perjalanan ke Taman Rusa Isipatana, di dekat Benares. Beliau membabarkan Dhamma yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta kepada lima orang pertapa yang pernah menjadi sahabatNya? Kondana, Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Setelah menguraikan khotbah pertama, Sang Buddha tetap tinggal disana. Beliau bertemu dengan Yasa -- anak seorang pedagang kaya raya di Benares -- dan memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Disamping itu, Sang Buddha juga membabarkan Dhamma kepada ayah Yasa dan empat sahabat Yasa. Mereka beserta para pengikutnya -- semuanya berjumlah lima puluh lima orang -- meninggalkan kehidupan berumah tangga, memasuki kehidupan tanpa rumah (menjadi Bhikkhu), dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

Masa penyebaran Dhamma telah dimulai. Tetapi pada saat itu Sang Buddha belum menyatakan masa Vassa dan masa Kathina. Semangat untuk menyebarkan Dhamma dalam diri para Bhikkhu nampaknya sangat besar.

Hal ini bisa terlihat dari adanya sekelompok Bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas, maupun musim hujan (Sebagaimana diketahui di India hanya dikenal tiga Musim).

Melihat hal ini masyarakat mengkritik dengan mengatakan, "Mengapa para Bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas dan musim hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rumput-rumputan, serta merusak kehidupan yang sangat penting dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? Tetapi pertapa-pertapa lain, yang walaupun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (Vinaya), namun mereka menetap selama musim hujan".

Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang Bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian di atas. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal, dan bersabda :

"Para Bhikkhu, saya izinkan kamu untuk melaksanakan masa Vassa".

Kemudian terpikir oleh para Bhikkhu,

"Kapan masa Vassa dimulai ?".

Mereka menyatakan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau kemudian menyatakan, "Saya izinkan kamu melaksanakan masa Vassa selama musim hujan".

Kemudian terpikir lagi oleh para Bhikkhu,

"Berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa ?".

Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau berkata,

"O para Bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa, yang awal dan yang berikutnya. Yang awal dimulai sehari setelah purnama di bulan Asalhi (Kini dikenal dengan Hari Raya Asadha) dan yang berikutnya dimulai sebulan setelah purnama di bulan Asalhi. Itulah dua periode untuk memulai musim hujan". Sejauh ini belum ada ketetapan mengenai Kathina Upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Sang Buddha baru menetapkan masa Vassa dan sejak saat itu, para Bhikkhu melaksanakan masa Vassa. Pada masa Vassa para Bhikkhu menetap selama musim hujan dan melatih dirinya.

Kathina mempunyai kisah tersendiri, sebagai berikut, pada waktu itu Sang Buddha menetap di Savatthi, di hutan Jeta di vihara yang di dirikan oleh Anathapindika. Ketika itu terdapat tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava sedang mengadakan perjalanan ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Buddha.

Ketika masa Vassa tiba, mereka belum sampai di Savatthi. Mereka memasuki masa Vassa di Saketa dengan berpikir,

"Sang Buddha tinggal sangat dekat, hanya enam yojana dari sini tetapi kita tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Sang Buddha".

Setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, dengan jubah basah kuyup dan kondisi yang lelah mereka sampai di Savatthi. Setelah memberi hormat, mereka duduk dengan jarak yang pantas.

Sang Buddha berkata,

"O para Bhikkhu, semoga semuanya berjalan dengan baik. Saya berharap kalian mendapatkan sokongan hidup. Selalu penuh persahabatan dan harmonis dalam kelompok. Kamu melewatkan masa Vassa dengan menyenangkan dan tidak kekurangan dalam memperoleh dana makanan".

Kemudian para Bhikkhu menjawab:

"Segala sesuatu berjalan dengan baik, Sang Bhagava. Kami mendapatkan sokongan yang cukup, dalam kelompok selalu penuh persahabatan dan harmonis, dan mendapatkan dana makanan yang cukup. Kami sebanyak tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Bhagava, tetapi ketika musim hujan mulai, kami belum sampai di Savatthi untuk bervassa. Kami memasuki masa Vassa dengan penuh kerinduan dan berpikir, Sang Bhagava tinggal dekat dengan kita, enam yojana, tetapi kita tidak mempunyai kesempatan melihat Sang Bhagava. Kemudian kami, setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, menjalankan pavarana, hujan, ketika air telah berkumpul, rawa telah terbentuk, dengan jubah yang basah kuyup dan kondisi yang lemah dalam perjalanan yang jauh".

Setelah memberikan wejangan Dhamma,Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu,

"O para Bhikkhu, Saya izinkan untuk membuat jubah Kathina bila menyelesaikan masa Vassa secara lengkap........".

Demikianlah izin membuat jubah Kathina ditetapkan Sang Buddha ketika Beliau tinggal di Savatthi.

Sampai sekarang Kathina tetap diperingati sebagai upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha. Hubungan harmonis antara Bhikkhu Sangha dan umat awam seperti yang tercermin dalam masa Kathina ini, sungguh merupakan suatu berkah dalam kehidupan ini. Kathina memang memberikan makna yang mendalam bagi umat Buddha.

Jumat, 02 November 2012

MAHĀPIṄGALA-JĀTAKA

“Raja Piṅgala (Pingala),” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Devadatta.
Selama sembilan bulan Devadatta berusaha untuk menyebabkan kehancuran bagi Sang Buddha, dan berakhir dengan masuk ke dalam bumi, di depan gerbang Jetavana.
Kemudian orang-orang yang tinggal di Jetavana dan negeri sekitarnya, menjadi bersukacita, sembari berkata, “Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi: musuh telah musnah, dan Buddha telah tercerahkan sempurna!” [240] Mendengar hal ini mereka ucapkan berulang-ulang, orang-orang di seluruh Jambudīpa (India), para yaksa, dewa, dan semua makhluk juga turut bersukacita.
Suatu hari, para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, dan demikian mereka berkata, “Āvuso, Devadatta ditelan bumi, orang-orang bersukacita sembari berkata, ‘Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi!’ ” Sang Guru berjalan masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan ini, Para Bhikkhu?” Mereka pun memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, orang-orang bersukacita dan bergembira atas kematian Devadatta. Sebelumnya juga mereka bersukacita dan bergembira seperti sekarang ini.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala, Mahāpiṅgala (Mahapingala), seorang raja yang jahat dan kejam memerintah di Benares, yang melakukan perbuatan buruk sesuka hatinya. Dengan pajak dan denda, banyaknya pemotongan 158 dan perampasan, dia memeras rakyatnya seperti tebu di penggilingan; dia adalah orang yang kasar, kejam, dan tak berperasaan. Terhadap orang lain, dia tidak memiliki sedikit pun belas kasihan; di dalam istana, dia adalah seorang yang tidak ramah dan seorang yang tidak menyenangkan terhadap istri-istrinya, putra putrinya, para pejabat kerajaannya, dan para pengurus kerajaannya. Dia seperti setitik debu yang masuk ke dalam mata, seperti kerikil kecil dalam beras, seperti duri dalam daging.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai putra Raja Mahapingala. Setelah memerintah dalam waktu yang lama, akhirnya raja meninggal. Ketika dia meninggal, seluruh penduduk Benares bersukacita dan bergembira; mereka membakar jenazahnya dengan kayu dari ribuan gerobak, dan menyiram tempat kremasinya itu dengan air dari ribuan kendi, kemudian melantik Bodhisatta menjadi raja: mereka menabuh genderang perayaan di seluruh pelosok kota, sebagai tanda kebahagiaan bahwa mereka telah mendapatkan seorang raja yang baik.
Mereka mengibarkan panji-panji dan menghiasi kota; di setiap rumah dibangun paviliun, orang-orang menaburkan biji-bijian dan bunga, duduk pada tempat yang telah dihiasi tersebut di bawah peneduh yang bagus, makan dan minum. Bodhisatta sendiri duduk pada dipan yang bagus yang terdapat di mimbar besar, dalam keagungannya, dengan payung putih yang terbentang di atas kepalanya. Para pejabat kerajaan dan pengurus kerajaan, penduduk dan pengawal (penjaga pintu) berdiri mengelilingi raja mereka.
Akan tetapi, terdapat seorang penjaga pintu yang berdiri tidak jauh dari raja, mendesah dan menangis terisak-isak. “Pengawal,” kata Bodhisatta yang sedang memerhatikan dirinya, “semua orang sedang bersukacita dan bergembira atas kematian ayahku, sedangkan Anda berdiri sambil menangis. Katakan, apakah semasa hidupnya, ayahku bersikap baik dan menyenangkan terhadap dirimu?”
Setelah bertanya demikian, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Raja Pingala semasa hidupnya
sangatlah kejam kepada semua orang;
Sekarang dia telah meninggal,
semuanya bernapas lega kembali.
Apakah dia baik terhadap dirimu sebelumnya?
Mengapa Anda berdiri menangis di sini?
Setelah mendengarnya, dia menjawab, “Saya bukan menangis atas kematian Raja Pingala. Kepalaku ini sekarang sudah cukup bahagia. Semasa hidupnya, setiap kali turun dari istana atau naik ke istananya, Raja Pingala selalu memukul kepalaku dengan delapan pukulan dari tangannya, seperti pukulan dari palu seorang pandai besi. Jadi ketika dia terlahir kembali di alam rendah, dia akan memberikan delapan pukulan kepada penjaga gerbang neraka, Dewa Yama, seperti yang dilakukannya kepadaku. Kemudian orang-orang di sana akan berteriak—‘Dia terlalu kejam untuk kami!’ dan mengirimnya kembali ke atas. Dan saya takut dia akan datang kembali dan memberikan pukulan-pukulan di kepalaku kembali. Itulah sebabnya saya menangis.”
Untuk menjelaskan masalah ini, dia mengucapkan bait kedua berikut:—[242]
Raja Pingala sama sekali tidak menunjukkan kebaikan:
Yang kutakutkan adalah saat kembalinya sang raja.
Bagaimana kalau dia memukul raja kematian,
kemudian raja kematian mengirimnya kembali ke atas?
Kemudian Bodhisatta berkata, “Raja Pingala telah dibakar dengan kayu dari ribuan gerobak, tempat kremasinya telah disiram dengan air dari ribuan kendi, dan tanah di sekelilingnya juga telah digali; makhluk yang telah meninggal, kecuali oleh kekuatan kelahiran kembali159, tidak pernah kembali ke dalam bentuk jasmani yang sama seperti sebelum dia meninggal. Tidak ada yang perlu ditakutkan!”
Dan untuk menghibur dirinya, dia mengulangi bait berikut:
Kayu dari ribuan kereta telah membakarnya
Air dari ribuan kendi telah membersihkan sisa-sisa pembakaran;
Tanahnya telah digali ke kiri dan ke kanan—
Jangan takut—raja itu tidak akan pernah kembali.
Setelah mendengar ini, penjaga pintu tersebut menjadi gembira. Bodhisatta memerintah kerajaan dengan benar, dia selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dia kemudian meninggal dunia dan menerima hasilnya sesuai dengan perbuatannya.


Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Piṅgala (Pingala), dan putranya adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
157 Folk-Lore Journal, III. 126.
158 -jaṁghakahāpaṇādigahanena, diasumsikan sebagai ‘pemotongan/pengambilan kaki, uang, dan lain sebagainya.’
159 aññattha gativasā.

HARITA-MĀTA-JĀTAKA

“Ketika saya berada di dalam jaring mereka,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana (Veluvana), tentang Ajātasattu (Ajatasattu).
Ketika Mahākosala, ayah Raja Kosala, menikahkan putrinya dengan Raja Bimbisāra (Bimbisara), dia memberikan sebuah desa yang terdapat di Kāsi kepada putrinya. Setelah Ajatasattu membunuh Bimbisara, ayahnya, tidak lama kemudian sang ratu juga meninggal dunia dikarenakan rasa cintanya terhadap suaminya.
Bahkan sepeninggal ibunya, Ajatasattu masih menikmati upeti dari desa tersebut. Akan tetapi, Raja Kosala menyatakan bahwa seorang pembunuh yang membunuh orang tuanya sendiri tidak boleh memiliki sebuah desa, yang merupakan miliknya sebagai warisannya, dan kemudian menyatakan perang dengannya.
Kadang-kadang sang paman yang memenangkan pertempuran dan kadang-kadang sang keponakan yang memenangkannya. Ketika memenangkan pertempuran, Ajatasattu mengibarkan panjinya dan berbaris masuk ke dalam kerajaannya dalam kejayaan, tetapi ketika kalah dalam pertempuran, dia kembali ke dalam kerajaannya dengan diam-diam, tanpa memberi tahu siapa pun.
Pada suatu hari, para bhikkhu duduk membicarakan masalah ini di dalam balai kebenaran. “Āvuso, Ajatasattu bergembira ketika mengalahkan pamannya (dalam pertempuran), dan bersedih ketika mengalami kekalahan.” Sang Guru yang berjalan masuk ke dalam balai, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. [238] Mereka memberitahukan Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya orang ini bergembira ketika dia menang, dan bersedih ketika dia kalah.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor katak hijau. Pada waktu itu, orang-orang meletakkan jaring-jaring di semua lubang yang terdapat di sungai-sungai untuk menangkap ikan.
Seekor ular air, yang sedang asyik memakan ikan, masuk ke dalam salah satu perangkap jaring tersebut. Sejumlah ikan berkumpul bersama dan menggigiti ular itu, sampai sekujur tubuhnya berlumuran darah. Melihat tidak ada bantuan yang bisa didapatkannya dan takut akan kematian, ular itu (menyelip) keluar dari ujung jaring, kemudian berbaring kesakitan di tepian.
Pada waktu yang bersamaan, katak hijau tersebut melompat berada di depan jaring. Tidak tahu siapa yang bisa menolongnya, ular bertanya kepada katak mengenai apa yang dilihatnya di dalam jaring itu— “Teman Katak, apakah kamu senang dengan kelakukan ikan-ikan di sana?” dan mengucapkan bait pertama berikut:
Ketika saya berada di dalam jaring mereka,
ikan-ikan menggigitiku.
Katak hijau, apakah itu hal yang benar?
Kemudian katak menjawab, “Ya, itu benar. Mengapa tidak? Jika kamu memangsa ikan-ikan yang masuk ke daerah kekuasaanmu, [239] maka ikan-ikan akan memangsamu ketika kamu masuk ke daerah kekuasaan mereka. Di kediaman sendiri, di daerah kekuasaan sendiri, dan di tempat mencari makanan sendiri, tidak ada makhluk yang lemah.”
Setelah berkata demikian, dia mengucapkan bait kedua berikut:
Orang-orang merampas
ketika mereka masih mampu;
Dan ketika mereka telah tidak mampu,
mengapa mereka harus bersedih?
Setelah Bodhisatta demikian mengutarakan pendapatnya, semua ikan yang memerhatikan keadaan ular yang sudah lemah, berkata, “Mari kita habisi musuh kita!” Mereka keluar dari jaring, menggigiti ular tersebut di semua bagian sampai akhirnya dia mati, dan kemudian mereka pergi.


Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Ajātasattu (Ajatasattu) adalah ular air, dan katak hijau adalah diri-Ku sendiri.”

EKAPADA-JĀTAKA

[236] “Beri tahukanlah kepadaku,” dan seterusnya.— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang saudagar.
Dikatakan bahwasanya hiduplah seorang saudagar di Sāvatthi (Savatthi). Pada suatu hari, ketika sedang duduk di pangkuannya, putranya bertanya kepadanya pertanyaan “pintu”156. Dia membalas, “Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh seorang Buddha, tidak ada orang lain yang mampu menjawabnya selain Beliau.”
Maka dia membawa putranya ke Jetavana, kemudian memberi hormat kepada Sang Guru. “Bhante,” katanya, “ketika putraku duduk di pangkuanku, dia menanyakan sebuah pertanyaan ‘pintu’ kepadaku. Saya tidak mengetahui jawabannya, jadi saya membawanya ke sini untuk mendapatkan jawabannya.” Sang Guru berkata, “Upasaka, ini bukanlah pertama kalinya anak laki-laki ini mencari jalan untuk memenuhi tujuan (akhir)-nya dan menanyakan pertanyaan ini kepada orang bijak, dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya, dan orang bijak itu telah memberikan jawaban kepada dirinya. Akan tetapi, disebabkan oleh tumpukan kelahiran yang berulang-ulang, dia pun telah melupakannya.”
Atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadata memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang putra hartawan. Dia tumbuh dewasa, dan ketika ayahnya meninggal dunia, dia mengambil alih kedudukan ayahnya sebagai seorang hartawan.
Dan putranya, seorang anak laki-laki, menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan selagi duduk di pangkuannya. “Ayah,” katanya, “beri tahukanlah kepadaku satu hal yang mencakup berbagai macam makna,” dan mengulangi bait pertama berikut:—
Beri tahukanlah kepadaku
satu hal yang dapat mencakup segala hal:
Dengan apakah, singkatnya,
kita dapat mencapai tujuan akhir kita?
Ayahnya menjawab dalam bait kedua berikut:—
Satu hal yang dapat mencakup segalanya—
adalah keahlian:
Ditambah dengan moralitas dan kesabaran,
serta berbahagia bergaul dengan teman-temanmu
dan tidak berbahagia dengan musuh-musuhmu.
Demikianlah Bodhisatta menjawab pertanyaan putranya. Anak laki-laki itu mengikuti jalan yang disampaikan oleh ayahnya untuk memenuhi tujuannya, dan kemudian meninggal serta menerima hasil perbuatan sesuai dengan perbuatannya.


Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, ayah dan anak itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Anak Laki-laki itu adalah orang yang sama, dan Aku sendiri adalah Hartawan Benares.

Catatan kaki :
156 Pertanyaan ini merujuk kepada proses masuknya ke dalam “jalan” (magga).

SĀKETA-JĀTAKA

“Mengapa kadang kala,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di dekat Sāketa, tentang seorang Brahmana Sāketa.
Cerita pembukanya telah dikemukakan di dalam Buku I (Ekanipāta)155.
[235] … dan ketika Sang Tathāgata kembali ke kediaman-Nya, para bhikkhu bertanya, “Bagaimana (hubungan) cinta kasih terjalin, Bhante?”
Dan mengulangi bait pertama berikut:
Mengapa kadang kala seseorang itu
dingin kepada yang lainnya—
Oh, Yang Terberkahi, beri tahukanlah!
mengapa kadang kala seseorang itu
amat hangat, menyayangi yang lainnya?
Sang Guru memaparkan sifat alamiah dari cinta kasih dalam bait kedua berikut:—
Mereka yang melatih cinta kasih
di dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya,
bagaikan teratai di dalam kolam, maka
cinta kasih itu akan bermekaran (di dalam kehidupan sekarang).

Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Kedua orang ini adalah sang brahmana dan istrinya, dan Aku sendiri adalah putra mereka.”

Catatan kaki :
155 No. 68, Vol. I.

BAKA-JĀTAKA

“Lihatlah burung itu,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu.
Ketika dia dibawa ke hadapan Sang Guru, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya dia menipu, dia juga pernah melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah berikut.


[234] Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor ikan, yang memiliki banyak pengikut, di sebuah kolam di daerah pegunungan Himalaya.
Kala itu, seekor burung bangau merasa ingin memakan ikan. Maka di sebuah tempat dekat kolam tersebut, dia membuat kepalanya seperti dalam keadaan terkulai, membentangkan kedua sayapnya, dan menatap kosong kepada ikan-ikan, sembari menunggu saat mereka tidak terjaga154.
Pada waktu yang sama, Bodhisatta bersama dengan rombongannya datang ke tempat tersebut untuk mencari makan. Ketika melihatnya, rombongan ikan itu mengucapkan bait pertama berikut:
Lihatlah burung itu, betapa pucatnya—
seperti bunga seroja putih;
Kedua sayapnya terbentang di kiri dan di kanan—
oh, betapa tenang dan lemahnya dirinya!
Kemudian Bodhisatta melihatnya, dan mengucapkan bait kedua berikut:
Dirinya yang sebenarnya tidak kalian ketahui,
jika mengetahuinya, kalian tidak akan memuji dirinya.
Dia adalah musuh kita yang paling berbahaya;
Itulah sebabnya dia tidak menaikkan sayapnya.
Di sana rombongan ikan itu mengeruhkan airnya dan membuat bangau tersebut terbang pergi.


Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Bhikkhu yang menipu itu adalah burung bangau, dan Aku sendiri adalah raja ikan.”

Catatan kaki :
154 “Tidur bangau” adalah ungkapan dari bahasa India untuk tipuan.

Minggu, 21 Oktober 2012

VACCHA-NAKHA-JĀTAKA

“Kehidupan duniawi adalah kebahagiaan,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Roja, seorang Malla153.
Dikatakan bahwasanya laki-laki ini, yang merupakan seorang teman perumah tangga dari Ānanda (Ananda), mengirimkan pesan kepada sang thera agar beliau datang ke tempatnya. Sang thera meminta izin dari Sang Guru, dan kemudian berangkat. Dia melayani sang thera dengan mempersembahkan beragam jenis makanan, kemudian duduk di satu sisi, sembari berbincang-bincang dengan beliau.
Dia kemudian menawarkan sebagian kekayaan rumahnya kepada sang thera, menggodanya melalui lima unsur kesenangan indriawi. “Bhante Ananda, di dalam rumahku terdapat banyak kekayaan materi dan kekayaan nonmateri. Saya akan membagikan setengahnya kepada Anda; marilah kita jalani kehidupan rumah tangga di dalam rumah ini bersama!” Sang thera memaparkan kepadanya keburukan yang terdapat di dalam kesenangan indriawi, kemudian bangkit dari duduknya dan kembali ke wihara.
Ketika Sang Guru menanyakan kepadanya apakah dia telah bertemu dengan Roja, dia menjawab bahwa dia telah bertemu dengannya. “Apa yang dikatakannya kepadamu?” “Bhante, Roja menawarkan kepadaku untuk kembali menjalani kehidupan duniawi; kemudian saya memaparkan kepadanya tentang keburukan yang terdapat di dalam kehidupan duniawi dan juga di dalam kesenangan indriawi.” Sang Guru berkata, “Ananda, ini bukan pertama kalinya Roja, si Malla, menawarkan kepada seorang pabbajita (petapa) untuk kembali menjalani kehidupan duniawi, dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau atas permintaan sang thera.


[232] Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana yang tinggal di sebuah desa niaga. Ketika dewasa, dia menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita (petapa), dan tinggal di daerah pegunungan Himalaya dalam waktu yang lama.
Kemudian dia pergi ke Benares untuk mendapatkan garam dan cuka (bumbu-bumbu lainnya), bermalam di taman milik raja, masuk ke dalam Kota Benares pada keesokan harinya.
Kala itu, seorang hartawan di kota tersebut yang merasa senang dengan kelakuannya, membawanya ke rumahnya, mempersembahkan makanan kepadanya, dan setelah mendapatkan persetujuan darinya, dia memintanya untuk tinggal di dalam taman dan melayani segala kebutuhannya. Persahabatan pun kemudian terjalin di antara mereka.
Suatu hari, disebabkan oleh cinta kasih dan persahabatannya terhadap Bodhisatta, hartawan itu berpikir di dalam dirinya, “Kehidupan pabbajita adalah penderitaan. Saya akan membujuk sahabatku, Vacchanakha, si petapa pengembara, untuk kembali menjalankan kehidupan duniawi; saya akan membagi kekayaanku menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian kepadanya, kemudian kami berdua akan tinggal bersama.”
Maka pada suatu hari, setelah selesai bersantap, dia berbicara dengan baik kepada sahabatnya dan berkata, “Bhante Vacchanakha, kehidupan pabbajita adalah penderitaan, kehidupan duniawi adalah kebahagiaan. Marilah kita berdua jalani kehidupan duniawi, menikmati kesenangan-kesenangan sesuka hati kita.” Setelah berkata demikian, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Kehidupan duniawi adalah kebahagiaan,
penuh dengan makanan, penuh dengan kekayaan;
Di dalam kehidupan duniawi,
Anda akan mendapatkan segalanya—
makan dan minum sesuka hati.
Ketika mendengar perkataannya, Bodhisatta membalas, “Tuan Hartawan, disebabkan oleh ketidaktahuan, Anda telah menjadi serakah di dalam kesenangan indriawi, mengatakan bahwa kehidupan pabbajita adalah penderitaan dan kehidupan keduniawian adalah kebahagiaan. Sekarang dengarkanlah, saya akan memberitahukan kepadamu betapa buruknya kehidupan duniawi itu,” dan dia mengucapkan bait kedua berikut: [233]
Dia yang menjalani kehidupan duniawi
tidak pernah mengetahui apa itu kedamaian,
dia berbohong dan menipu, dia harus menghadapi
banyak kejadian yang tidak menyenangkan dari orang-orang:
Tidak ada yang dapat mengobati keburukan ini:
Kalau begitu, siapakah yang berminat
untuk menjalani kehidupan duniawi?
Dengan kata-kata demikian Sang Mahasatwa memberitahukan keburukan dari kehidupan duniawi. Kemudian dia pergi kembali ke dalam taman.


Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Roja adalah hartawan, dan Aku adalah Petapa Pengembara Vacchanakha.”

Catatan kaki :
153 Disebutkan di dalam Dictionary of Pāli Proper Name (DPPN), by G.P. Malalasekera, Roja adalah seorang Malla, penduduk dari Kusinārā ; lihat DPPN hal. 756. Kemudian bila dilihat lagi di dalam DPPN, terdapat kata ‘Mallā’ yang diberikan keterangan sebagai sebuah nama suku/bangsa (a people) dan juga nama dari negeri tempat mereka berasal; lihat DPPN hal. 453 untuk keterangan selengkapnya.

ASITĀBHŪ-JĀTAKA

“Sekarang nafsu telah tiada,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang gadis.
Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi, di dalam sebuah keluarga yang menopang kehidupan dua orang siswa utama (aggasāvaka) Sang Buddha, terdapat seorang gadis yang berparas elok dan bersinar cemerlang. Ketika dewasa, dia dinikahkan kepada sebuah keluarga yang sama baiknya dengan keluarganya sendiri.
Suaminya, tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun, selalu pergi bersenang-senang sendiri ke mana saja sesuka hatinya. Sang istri tidak memedulikan perlakuan suaminya yang tidak menunjukkan rasa hormat itu; dia mengundang kedua siswa utama Sang Buddha, memberikan dana kepada mereka, mendengarkan khotbah Dhamma dari mereka, sampai kemudian dia mencapai tingkat kesucian Sotāpanna (Sotapanna). Setelahnya, dia melewati hari-harinya dalam kebahagiaan ‘jalan’ dan ‘buah’ (maggaphalasukha).
Akhirnya, dengan berpikir bahwa suaminya tidak memerlukan dirinya, tidak ada gunanya dia ada di dalam kehidupan rumah tangganya, dia pun bertekad untuk menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita150. Dia memberitahukan rencana ini kepada orang tuanya, menjalankannya, dan kemudian menjadi seorang Arahat.
Cerita mengenai dirinya ini tersebar luas sampai terdengar oleh para bhikkhu. Suatu hari mereka membicarakan masalah ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, seorang putri dari keluarga anu berusaha untuk mencapai kebaikan tertinggi. Mengetahui suaminya tidak memerdulikan dirinya, dia tetap memberikan dana kepada dua siswa utama, mendengarkan khotbah Dhamma dari mereka, dan mencapai tingkat kesucian Sotāpanna ; dia meminta izin kepada orang tuanya, menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat. Demikianlah, Āvuso, gadis itu berusaha untuk mencapai kebaikan tertinggi.”
Ketika sedang berbicara demikian, Sang Guru (berjalan) masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahukan Beliau. Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, dia berusaha mencapai kebaikan tertinggi; dia juga pernah melakukannya di kehidupan sebelumnya.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah sebagai Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang petapa di daerah pegunungan Himalaya, yang telah mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi. Raja Benares, yang memerhatikan betapa besar kejayaan yang dimiliki oleh putranya, Pangeran Brahmadatta, dipenuhi dengan rasa curiga dan mengusir putranya keluar dari kerajaan.
[230] Pemuda itu bersama dengan istrinya, Asitābhū (Asitabhu), pergi ke Himalaya, membangun sebuah gubuk daun sebagai tempat tinggal mereka, (hidup dengan) memakan ikan, daging dan buah-buahan. Dia melihat seorang kinnara151 dan menjadi terpikat pada dirinya. “Akan kujadikan dia sebagai istriku!” katanya, dan tanpa memikirkan Asitabhu, dia pun mengikuti jejaknya.
Istrinya yang mengetahui dirinya pergi untuk mengejar kinnara tersebut menjadi marah. “Orang itu tidak memedulikan diriku,” pikirnya, “apalah peduliku kepadanya?” Kemudian dia datang ke tempat Bodhisatta dan memberikan penghormatan kepadanya. Dia mempelajari meditasi pendahuluan kasiṇa 152 , dan dengan memerhatikan meditasi kasiṇa itu, dia berhasil mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi. Kemudian dia berpamitan kepada Bodhisatta, pulang kembali ke kediamannya, dan berdiri di depan pintu gubuknya.
Pangeran Brahmadatta yang mengikuti jejak kinnara itu tidak dapat menemukan ke mana perginya sang kinnara. Dia kemudian mengurungkan niatnya dan pulang kembali ke gubuknya. Melihatnya pulang kembali, Asitabhu terbang melayang di udara. Dengan posisi duduk demikian melayang di udara seperti pada sebuah alas yang memiliki warna batu permata, dia berkata kepadanya, “Suamiku, disebabkan oleh dirimulah saya mendapatkan kebahagiaan dalam jhāna (jhana) ini.” Kemudian dia mengucapkan bait pertama berikut:
Sekarang nafsu (kesenangan indriawi) telah tiada,
dan berakhir, berkat dirimu:
Seperti gading gajah, sekali terpotong,
tidak ada yang mampu menyatukannya kembali.
Setelah berkata demikian, di saat suaminya masih melihat dirinya, dia bangkit dan pergi ke tempat lain. Setelah dia pergi, suaminya mengucapkan bait kedua berikut, sembari meratap:
Keserakahan yang tidak diam pada satu tempat,
nafsu, yang membingungkan semua indra,
menghilangkan kebaikan dari diri kita,
seperti sekarang ini diriku yang kehilangan seorang istri.
Setelah demikian meratap, dia tinggal sendirian di dalam hutan, dan ketika ayahnya meninggal dunia, dia naik takhta menggantikannya.


Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Kedua orang ini adalah pangeran dan istrinya, dan Aku sendiri adalah sang petapa.”

Catatan kaki :
150 Pabbajita adalah orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga, termasuk di dalamnya para bhikkhu, petapa, maupun samanera.
151 Makhluk aneh/semidewa, yang kadang bisa berupa seorang peri atau sesosok asura; kimpurisa.
152 Kasiṇa adalah salah satu kelompok objek meditasi samatha, hasil yang dicapai adalah jhāna.

VIKAṆṆAKA-JĀTAKA

[227] “Panah itu masih berada di punggungmu,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal.
Dia dibawa ke dalam balai kebenaran dan ditanya apakah benar bahwasanya dia menyesal, yang kemudian diakuinya. Ketika ditanyakan alasannya, dia menjawab, “Disebabkan oleh nafsu kesenangan indriawi.” Sang Guru berkata, “Kesenangan indriawi itu bagaikan panah berduri di kedua ujungnya untuk mendapatkan tempat di dalam batin. Sekali berada di sana, dia akan membunuh, seperti panah berduri yang membunuh buaya.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala Bodhisatta terlahir sebagai Raja Benares, dan dia menjadi seorang raja yang baik. Suatu hari, dia pergi ke tepi sebuah danau yang berada di dalam tamannya. Para pelayan pun mulai menari dan menyanyi. Beragam jenis ikan dan kura-kura, yang hendak mendengar nyanyian tersebut, berkumpul bersama dan menghampiri sisi raja.
Ketika melihat sekumpulan ikan yang panjangnya bagaikan sebatang pohon lontar, raja bertanya kepada menteri-menterinya, “Mengapa ikan-ikan ini menghampiriku?”
Mereka menjawab, “Mereka melakukan itu untuk memberikan pelayanan kepada raja.”
Raja menjadi senang mendengar bahwa mereka datang untuk memberikan pelayanan kepadanya, dan memerintahkan agar mereka diberikan nasi (makanan) setiap hari secara teratur. Pada waktu pemberian makan, sebagian ikan datang dan sebagian lagi tidak datang, makanannya pun menjadi ada yang terbuang. Mereka memberitahukan ini kepada raja. “Mulai saat ini,” kata raja, “pada saat pemberian makan, tabuhlah genderang. Ketika genderang ditabuh, ketika ikan-ikan telah berkumpul, barulah berikan makanan kepada mereka.”
Sejak saat itu, pengawal yang memberi makan kepada ikan-ikan tersebut meminta orang untuk menabuh genderang, dan ketika mereka telah berkumpul bersama, barulah dia memberikan makanan kepada mereka. Di saat mereka berkumpul demikian untuk makan, seekor buaya datang dan memangsa sebagian ikan tersebut.
Pengawal yang memberi makan itu memberitahukan kejadian tersebut kepada raja. Raja mendengarkannya. “Ketika buaya itu sedang memangsa ikan-ikan,” kata raja, “tusuklah dia dengan sebuah panah berduri dan tangkaplah dia.”
[228] “Baik,” kata pengawal. Dan dia pun pergi dengan sebuah perahu. Segera setelah buaya itu datang untuk memangsa ikan-ikan, dia menusuknya dengan sebatang panah. Panah itu tertancap di punggungnya.Kesakitan karena panah tersebut, buaya pun pergi dengan membawa panahnya.
Mengetahui bahwa dia terluka, pengawal mengucapkan bait berikut:
Panah itu masih berada di punggungmu,
pergilah ke mana saja sesuka hatimu.
Tabuhan genderang, yang memanggil
ikan-ikanku untuk datang makan,
telah membuat dirimu, yang mengejar keserakahan,
berada di tempat yang membawa penderitaan bagimu.
Sesampainya di sarangnya, buaya itu pun akhirnya mati.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru yang sempurna kebijaksanaan-Nya, mengucapkan bait berikut:
Demikianlah ketika dunia ini menggoda siapa saja
untuk berbuat buruk, dia yang tidak tahu akan peraturan,
hanya mengikuti keinginan hatinya saja,
akan mati di antara sanak keluarganya,
seperti buaya yang memangsa ikan-ikan tersebut.
[229] Ketika uraian ini selesai, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran-Nya:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, Aku adalah Raja Benares.”

VĪṆĀ-THŪṆA-JĀTAKA

“Pemikiranmu sendiri,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang gadis.
Dia adalah putri semata wayang dari seorang saudagar kaya di Sāvatthi (Savatthi). Dia memperhatikan bahwa di rumah ayahnya, suatu kehebohan terjadi karena seekor sapi, dan menanyakan kepada perawatnya apa yang sebenarnya terjadi. “Apakah itu, Bu, yang diberikan kehormatan demikian?” Perawat tersebut menjawab bahwa itu adalah seekor raja sapi.
Suatu hari ketika sedang melihat ke arah jalan dari lantai atas rumahnya, dia melihat seorang pemuda bungkuk. [225] Dia berpikir, “Di dalam keturunan sapi, pemimpinnya memiliki tonjolan. Pastilah ini juga sama halnya dengan manusia. Dia pasti adalah seorang manusia pemimpin, saya harus menjadi pengikut setianya.”
Maka dia mengutus pelayannya untuk mengatakan bahwa seorang putri saudagar ingin menjadi pasangannya, dan memintanya untuk menunggu dirinya di suatu tempat. Dia kemudian mengumpulkan semua hartanya, dan dalam samaran, meninggalkan rumah, pergi bersama pemuda bungkuk tersebut.
Kejadian ini kemudian tersebar luas di seluruh kota dan diketahui oleh para bhikkhu. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu membicarakannya, “Āvuso, ada seorang putri saudagar yang kabur bersama seorang pemuda bungkuk!” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau membalas, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, gadis itu jatuh cinta dengan seorang pemuda bungkuk. Dia juga melakukan yang sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga saudagar kaya yang bertempat tinggal di sebuah desa niaga. Ketika dewasa, dia hidup sebagai seorang perumah tangga dan memiliki banyak putra dan putri. Untuk istri putranya, dia memilih putri dari seorang penduduk kaya di Benares, dan menentukan harinya.
Kala itu, gadis tersebut melihat di dalam rumahnya kehormatan yang besar diberikan kepada seekor sapi. Dia bertanya kepada perawatnya, “Apakah itu?”—“Seekor raja sapi,” jawabnya. Setelah itu, gadis tersebut melihat seorang pemuda bungkuk berjalan. “Dia pasti seorang manusia pemimpin!” pikirnya. Dengan mengambil semua barang berharganya yang diletakkan di dalam satu bundelan, dia pun pergi bersama dengan pemuda tersebut.
Pasangan itu berjalan di sepanjang jalan sepanjang malam. Sepanjang malam pemuda bungkuk itu diserang oleh rasa haus; dan pada saat matahari terbit, dia diserang oleh rasa sakit pada perutnya, rasa sakit yang hebat menyerang dirinya. Dia pun berhenti berjalan, menjadi pusing oleh rasa sakitnya dan terbaring, seperti sebatang kecapi yang rusak dikumpulkan bersama; gadis itu juga duduk di dekat kakinya.
Bodhisatta melihatnya duduk di dekat kaki pemuda bungkuk itu dan kemudian mengenali dirinya. Dia menghampirinya, berbicara kepadanya dengan mengulangi bait pertama berikut:
Pemikiranmu sendiri!
Orang dungu ini tak dapat bergerak tanpa bantuan,
orang bungkuk ini tidaklah cocok bagimu untuk bersanding dengannya.
Mendengar perkataannya, gadis itu menjawab dengan bait kedua berikut:
Kupikir si bungkuk ini adalah manusia pemimpin,
dan mencintainya atas kehormatannya itu,
dia, yang seperti sebatang kecapi rusak
dikumpulkan bersama, terbaring di tanah.
Dan ketika menyadari bahwa putrinya mengikuti pemuda bungkuk itu dalam samaran, Bodhisatta memintanya untuk mandi, berhias diri dan membawanya naik ke dalam kereta, kemudian pulang kembali ke rumah.


Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Gadis dalam kisah ini adalah gadis yang sama tadi dalam pembicaraan, dan Saudagar Benares adalah diri-Ku sendiri.”

UPĀHANA-JĀTAKA

“Seperti ketika sepasang sepatu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veḷuvana 149 (Veluvana), tentang Devadatta.
Para bhikkhu berkumpul bersama di dalam balai kebenaran dan mulai membicarakan masalah tersebut. “Āvuso, setelah mengingkari gurunya dan menjadi musuh dan lawan dari Sang Tathāgata, akhirnya Devadatta mendapatkan kehancuran.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka pun memberitahukannya kepada Beliau. Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Devadatta mengingkari gurunya, dan menjadi musuh-Ku, kemudian mendapatkan kehancuran. Hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah sebagai Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang pawang gajah. Ketika dewasa, dia diajari semua keahlian untuk menjinakkan gajah. Kala itu, seorang pemuda dari Kāsi (Kasi) datang kepadanya dan diajari olehnya. Ketika seorang calon Buddha mengajarkan sesuatu, dia tidak akan memberikan hanya sebagian dari keahliannya, melainkan dia akan memberikan sesuai dengan semua keahlian yang dimilikinya, tanpa menyimpan satu keahlian pun (dari muridnya). Oleh sebab itu, pemuda tersebut mempelajari semua keahlian Bodhisatta, tanpa kekurangan apa pun. Setelah mempelajari semuanya, dia berkata kepada gurunya: [222]
“Guru, saya akan bekerja untuk melayani raja.”
“Bagus, Muridku,” jawabnya. Dia pun pergi menghadap kepada raja dan memberi tahu raja bahwa seorang muridnya ingin bekerja untuknya. Raja berkata, “Bagus, persilakanlah dia bekerja untukku.” “Kalau begitu, apakah Paduka tahu berapa besar bayaran yang akan diberikan kepadanya?” tanya Bodhisatta.
“Seorang murid tentu tidak akan mendapatkan sebanyak yang gurunya dapatkan. Jika Anda mendapatkan seratus, maka dia akan mendapatkan lima puluh; jika Anda mendapatkan dua, maka dia akan mendapatkan satu.” Kemudian Bodhisatta pulang dan memberi tahu muridnya.
“Guru,” kata pemuda itu, “semua keahlian telah kupelajari, satu per satu. Jika saya mendapatkan bayaran yang sama seperti dirimu, saya akan bekerja untuk raja. Jika tidak, saya tidak akan bekerja untuk raja.” Dan Bodhisatta memberitahukan ini kepada raja.
Raja berkata, “Jika pemuda itu mampu melakukan hal yang sama dengan Anda, jika dia mampu menunjukkan keahlian yang sama dengan keahlianmu, dia akan mendapatkan bayaran itu.” Bodhisatta kemudian memberitahukan ini kepada muridnya, dan muridnya menjawab, “Baiklah, akan kulakukan.” Raja kemudian berkata, “Besok, tunjukkanlah keahlian kalian.”
“Baiklah, buatlah pengumuman dengan tabuhan genderang.” Raja pun meminta pengawalnya untuk mengumumkannya, “Besok, seorang guru dan seorang murid akan menunjukkan keahlian mereka dalam menjinakkan gajah. Bagi mereka yang ingin menyaksikannya, silakan berkumpul di halaman istana.”
“Muridku,” pikir sang guru di dalam hatinya, “tidak mengetahui seluruh kemampuanku.” Kemudian dia memilih seekor gajah dan, dalam waktu satu malam, melatihnya untuk melakukan segala perintah secara berlawanan. Dia melatihnya untuk mundur ketika diperintahkan untuk maju, maju ketika diperintahkan untuk mundur; berbaring ketika diperintahkan untuk bangkit, bangkit ketika diperintahkan untuk berbaring; membuang ketika diperintahkan untuk mengambil, dan mengambil ketika diperintahkan untuk membuang.
Keesokan harinya, dengan naik di punggung gajahnya, dia datang ke halaman istana. Dan muridnya juga berada di sana, di punggung seekor gajah yang anggun. Terdapat banyak orang di sana. Mereka berdua menunjukkan keahlian mereka. Tetapi Bodhisatta telah membuat gajah muridnya tersebut melakukan perintah secara berlawanan; [223] “Maju!” kata muridnya, gajah itu berjalan mundur; “Mundur!” Gajah itu berjalan maju; “Berdiri!” Gajah itu berbaring; “Berbaring!” Gajah itu berdiri; “Ambil itu!” Gajah itu membuangnya; “Buang itu!” Gajah itu mengambilnya. Dan orang-orang berteriak, “He, Murid yang Buruk, janganlah meninggikan nada suaramu ketika berhadapan dengan gurumu! Kamu tidak mengetahui kemampuan dirimu sendiri dan berpikir bahwa dirimu sebanding dengan dirinya!” Dan mereka menyerangnya dengan gumpalan tanah dan kayu, sampai dia meninggal di sana.
Bodhisatta turun dari gajahnya, menghampiri raja, dan berkata demikian kepadanya, “Oh Paduka, demi diri mereka sendiri, orang-orang datang untuk mendapatkan pelajaran, tetapi ada satu orang yang pelajarannya itu membuatnya mendapatkan kehancuran, seperti sepatu yang dibuat dengan salah,” dan dia mengucapkan dua bait berikut:—
Seperti ketika sepasang sepatu yang dibeli seseorang
untuk mendapatkan bantuan dan kenyamanan,
tetapi malah menyebabkan penderitaan,
menggosok kaki sampai kepanasan dan
membuatnya kian hari kian bertambah lukanya:
Demikianlah seorang jahat yang tidak mulia,
setelah mempelajari semua yang mampu dipelajarinya darimu,
menjadi orang yang ingin melukaimu:
Orang yang tidak mulia itu sama seperti
sepatu yang dibuat dengan salah.
[224] Raja menjadi bersukacita, dan memberikan banyak kehormatan kepada Bodhisatta.


Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka, “Devadatta adalah murid, dan Aku sendiri adalah guru.”

Catatan kaki :
149 Teks Pali oleh Pali Text Society (PTS) tertulis veḷuvana, sedangkan edisi CSCD tertulis jetavana.

Minggu, 30 September 2012

AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENDIDIKAN

Ilmu pendidikan berasal dari bahasa Latin yaitu Paedagogus yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak ke sekolah serta menjaga anak agar bertingkah laku susial dan disiplin. Perbuatan mendidik disebut paedagogi, sedangkan pendidik disebut paedagog dan ilmu pendidikan disebut paedagogiek.
Menurut Prof.Dr.M.J Langerveld, Paedagogiek/ilmu mendidik adalah suatu ilmu yang bukan saja menelaah obyeknya untuk mengetahui keadaan/hakiki obyek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak.
Menurut Prof.Dr.N.Driyarkara, ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah tentang realitas yang disebut mendidik dan dididik. Pemikiran ilmiah bersifat kritis, metodis dan sistematis.
DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN
Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanang). Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Penderitaan bersumber pada keinginan rendah (tanha). Keinginan (tanha) tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243).
Belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha juga menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang” (Dhp. 152).
Makna dan Tujuan Pendidikan
Selaras dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh kebodohan, pendidikan adalah salah satu jalan untuk mencapainya. Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk mendorong seseorang belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat (Materi Pelatihan Pandita Penatar MBI, 2001: 1).
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I,21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan berkah utama (Sn II, 4).
Namun, perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi - kebangkitan dari kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh – tidak didasarkan pada kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir – Nirvana (A Peng: 1990: 7).
Kebenaran terakhir juga tidak memerlukan merek agama, agama hanyalah rakit untuk mengantar ke tujuan. sang Buddha memberikan analogi melalui perumpamaan dalam Alagaddupama Sutta (M.I,22) dengan mengumpamakan Dhamma sebagai rakit yang tidak perlu harus dipikul karena telah berjasa menyeberangkan seseorang.
Paradigma Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan (D.III,100). Buddha menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni kasta brahmana memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat ini, membuat Buddha menjalani kehidupan rakyat biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan Sangha, menampung murid dari berbagai golongan masyarakat.
Sang Buddha dalam membabarkan Dhammanya tidak pernah membeda-bedakan orang yang akan diajarkan, baik itu bodoh, miskin, kaya, setan, jin, raja, serta dewa sekalipun. Sang Buddha memberikan semua ajarannya tanpa merahasiakan sedikitpun yang telah ia dapat sehingga banyak murid-muridnya yang mencapai tingkat-tingkat kesucian dalam waktu relatif singkat.
Buddha tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun (M.II,170). Buddha juga menganjurkan agar tidak segera percaya terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi hingga yang tertulis dalam kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki sendiri benar (A.I,191). Buddha sangat menghargai kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha tidak bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak menginginkan adanya ketergantungan kepada diri-Nya, dan tidak menunjuk pengganti sebagai pemegang otoritas setelah Ia parinibbana (D.II.100).
Dharma yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipassiko, artinya ‘datang dan lihat’ (A.III,285). Karena pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman yang rasional dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses. Suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab dan akibat. “Seseorang yang melihat sebab akibat, melihat Dharma” (M.I,191).
DASAR PSIKOLOGIS PENDIDIKAN
Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang, setiap orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat dirubah lagi, pembawaan itu dapat berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang dapat meniadakan akibat dari perbuatan (karma) lampau. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia.
Teori-teori pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda karena mereka memandang pendidikan dari berbagai sudut pandang. Teori pendidikan, kaitannya dengan perkembangan anak, dapat dibedakan atas:
Teori Empirisme (John Locke), optimisme bahwa lingkungan dapat diatur dan dikuasai oleh manusia untuk membentuk anak yang lahir bagaikan kertas putih bersih (Tabula rasa). Teori ini kurang sesuai dengan pandangan Buddhis, anak yang lahir tidak bagaikan kertas putih karena mereka telah membawa benih-benih karma lampau.
Teori Nativisme atau Pesimisme (Schopenhauer), berpendapat bahwa anak sudah ditentukan sejak lahir, berpembawaan baik dan buruk, sehingga lingkungan tak berdaya mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini jelas berbeda dengan Buddhisme, karena akibat dari karma lampau dapat diubah dengan karma sekarang. Jadi, pembawaan seorang anak tetap dapat diubah.
Teori Naturalisme atau Negativisme (J.J Rousseau) melihat semua manusia lahir dengan pembawaan baik, tetapi menjadi buruk karena pendidikan yang diberikan oleh manusia, sehingga sebaiknya proses pendidikan diserahkan saja pada alam. Menurut Buddhisme, manusia lahir tidak hanya dengan pembawaan baik, tetapi juga pembawaan buruk. Jadi hal ini bertentangan dengan Buddhisme. Selain itu alam juga tidak berkuasa mutlak dalam mengubah seseorang, kehendak dari orang itu sendiri yang dapat mengubahnya.
Teori Konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil perkembangan anak. Teori Konvergensi ini mendekati pandangan Buddhis. Hasil pendidikan bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Buddha lebih jauh lagi menunjukkan bagaimana perbuatan aktif masa sekarang dapat meniadakan akibat buruk karma lampau.
Keunikan Individu
Setiap manusia memiliki sifat-sifat khas yang berbeda, walaupun memiliki kesamaan dalam sifat-sifat umum. Tidak ada manusia yang persis sama di dunia, sekalipun anak kembar. Kesamaan harkat tidak meniadakan perbedaan individual setiap manusia yang memiliki karma masing-masing. Karma membagi para makhluk menjadi berbeda. Dilihat dari kelahirannya, ada yang menjadi anak orang kaya, ada yang miskin; ada yang sehat, ada yang cacat atau sakit-sakitan; ada yang cantik, ada yang buruk rupa; dan sebagainya (M.III.202-203). Setiap orang bersifat unik, berbeda pembawaan atau bakat. Dengan sendirinya berbeda pula kemampuan, kecerdasan dan kecenderungan atau minatnya. Dengan demikian pendidikan harus mampu menerima keunikan dari setiap individu tersebut.
Perkembangan Individu
Pendidikan diberikan dengan memperhatikan tingkat perkembangan manusia. Buddha membedakan tingkat perkembangan manusia dalam empat golongan (A.II,135). Yang pertama, jenius (ugghatitannu), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti mekar. Yang kedua, intelektual (vipacitannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di atas permukaan air. Yang ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bungan teratai yang agak jauh di di dalam air, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di permukaan. Yang keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul di atas permukaan air.
Sistem pendidikan formal massal dimungkinkan dengan memperhatikan penggolongan tingkat pendidikan formal perkembangan peserta didik. Bilamana terdapat sejumlah peserta didik yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, sama kebutuhan dan minatnya, perlakuan yang sama bagi semua muridpun menjadi cukup beralasan. Perlakuan yang istimewa perlu diberikan kepada mereka yang istimewa pula. Perlakuan khusus diberikan kepada anak yang jenius agar mereka berkembang optimal. Sedangkan bagi mereka yang tertinggal juga diberi perhatian khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Individualitas Bukan Individualisme
Peserta didik bukanlah obyek dalam pendidikan, bukan gudang kosong yang diisi tergantung dari gurunya. Mereka adalah obyek sekaligus subyek yang harus berusaha sendiri dan mampu mandiri. Ia subyek yang aktif dan bertanggung jawab atas karma atau perbuatannya. Setiap orang adalah pelindung bagi dirinya sendiri dan mempunyai arah tujuannya sendiri (Dhp.380). Ia harus menjadi dan mewujudkan dirinya sendiri, serta dapat menolong dirinya sendiri.
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
Pengertian belajar menurut beberapa ahli, yaitu:
  1. Menurut R. Gagne, belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan manusia yang bertahan dalam waktu yang lama dan tidak berasal dari proses pertumbuhan.
  2. Menurut Bigge, belajar adalah perubahan yang berlangsung terus menerus pada individu yang tidak disebabkan oleh genetika.
  3. Menurut Wolf Wook Nicholick, belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman.
  4. Menurut Berliner, belajar adalah perubahan tingkah laku ‘individu’ sebagai hasil dari pengalaman, perubahan ini terjadi pada perilaku dan bukan pada jasmani.
  5. Menurut Muh. Surya, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan.
Belajar adalah suatu proses yang terjadi dalam individu yang diaktifkan dan dikontrol oleh diri sendiri. Faktor eksternal tidak dapat menentukan keberhasilan belajar tanpa adanya kemauan dari si pelajar. “Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun dapat membuat suci orang lain” (Dhp.165).
Belajar bersifat individual dan unik. Setiap orang mempunyai gaya belajar sendiri. Para siswa Buddha melatih diri dan mencapai pencerahan dengan berbagai cara. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sebagaimana yang dikatakan Sang Buddha: “Semua makhluk memiliki karmanya sendiri” (M.III, 203).
Secara psikologis, belajar adalah proses intelektual, emosi, spiritual dan sosial yang dikembangkan dalam ranah kognitif (pemikiran), afektif (perasaan, sikap dan nilai) dan psikomotor (ketrampilan). Sedangkan Sang Buddha melihat bahwa: “Segala keadaan batin didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran” (Dhp.1). jadi, keberhasilan dalam belajar adalah adanya kehendak dan bagaimana mengendalikan, melatih, mengembangkan dan menggunakan pikiran.
STRATEGI DAN METODE
Kegiatan belajar dan pembelajaran dalam dunia pendidikan memerlukan strategi-strategi dan metode-metode tertentu agar tercapai tujuan dari pendidikan. Buddhapun memilih suatu strategi khusus, yaitu dengan mendahulukan orang-orang dengan kaulitas batin yang baik sehingga mampu menangkap ajarannya dan terjamin dapat mencapai pencerahan dalam waktu singkat. Untuk memulai suatu pengajaran harus didahului dengan perencanaan yang baik.
Perencanaan
Perencanaan yang baik harus mencakup beberapa faktor. Faktor-faktor dalam perencanaan pengajaran, adalah:
1. Tujuan, yaitu sasaran yang hendak dicapai dalam pengajaran. Dalam agama Buddha, tujuan pengajaran Sang Buddha adalah pembebasan.
2. Metode, yaitu salah satu alat untuk menyajikan bahan belajar dalam rangka pencapaian tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan kotbah-kotbah, dengan menunjukkan kekuatan batin, dengan praktek-praktek nyata, dan sebagainya.
3. Alat Pelajaran, yaitu alat untuk lebih mengefisienkan pencapaian tujuan.
4. Materi pelajaran, yaitu sarana untuk mencapai tujuan. Materi pelajaran Buddha adalah Dhamma (kebenaran).
5. Strategi, yaitu kegiatan yang terpilih yang dapat memberikan bantuan siswa dalam menuju tercapainya tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan strategi-strategi khusus yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan diajar.
6. Siswa, yaitu obyek sekaligus subyek dalam pengajaran.
7. Situasi, dalam perencanaan pengajaran harus didasarkan pada situasi yang ada untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi belajar mempengaruhi keadaan fisik dan psikis seseorang. Misalnya, latihan meditasi memerlukan lingkungan yang sesuai dengan obyek. Dalam sejarah disebutkan bahwa Sang Buddha memilih hutan sebagai lingkungan yang paling baik untuk melatih diri (Dhp.99).
Strategi Pendekatan
Salah satu strategi dalam pengajaran adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA sebagai sitilah yang sama maknanya dengan ‘Student Active Learning (SAL). CBSA bukanlah sebuah “ilmu” atau “teori”, tetapi merupakan salah satu strategi pengajaran yang menuntut keterlibatan dan keaktifan serta partisipasi peserta didik sebagai subyek didik secara optimal sehingga peserta didik mampu merubah dirinya secara lebih efektif dan efisien (Ahmad Rohani, 1991: 56).
Menurut Arya Tjahdjadi, dalam Buddha Cakkhu Magha 2534 (1991: 11), Sang Buddha dari kacamata pendidik ternyata menggunakan pendekatan yang sangat ilmiah dalam mengajar Dhamma. Bila para Dharma duta menyadari dan memanfaatkan metode-metode ini maka niscaya pewarisan Buddha Dhamma melalui bangku sekolah akan lebih berhasil guna.
Tidak ada ilmu yang dapat dikembangkan di bumi ini bila hanya berlandaskan pada “percaya saja”. Sang Buddha tidak pernah menginginkan agar siswa-Nya percaya kepada-Nya secara membabi buta, atau tunduk tanpa pengertian. Belaiu selalu menganjurkan untuk mmenguji, membandingkan, menimbang, merenungkan dan menyelidiki secara mendalam dengan logika yang tajam segala sesuatu yang diajarkan beliau, seperti yang diajarkan Sang Buddha kepada suku Kalama.
Jauh sebelum ilmu pengetahuan menggariskan ketentuan dalam meneliti, Sang Buddha telah menerapak metodologi dalam menerangkan Dhamma. Untuk menganalisa serta memecahkan masalah, baik sains maupun ilmu sosial, biasanya digunakan metode “WH Question” (What, Why, When, How). 2500 tahun yang lampau telah mengajarkan tentang Cattari Ariya Saccani dengan metode ini, yaitu: What (Hidup adalah dukkha); Why (Dukkha disebabkan oleh tanha); When (Kebahagiaan timbul bila tanha lenyap); dan How (Cara mengatasi dukkha).
Sistematika pemecahan masalah dibidang ilmiah yang lazim dikenal sebagai “Anlysis of Situation” juga menjadi cara pendekatan Dhamma Sang Buddha. Analisa situasi ala Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah Dukhha,lalu untuk mencapai tujuan (aims) yaitu Nibbana, maka kita harus melakukan aksi (Action) yaitu Magga, kemudian melakukan Penilaian (Assessment) yaitu Ehipassiko, dan Penyesuaian (Adjustment) dilakukan terhadap diri sendiri.
Metode Pengajaran
Dunia pendidikan mengenal banyak ragam metode pengajaran. Namun secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengajaran individual dan metode pengajaran kelompok/klasikal. Macam-macam metode itu antara lain: metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan, latihan siap, problem solving, eksperimen, demonstrasi, karya wisata, kerja kelompok, dan lain-lain (Ahmad Rohani, 1991: 113).
Salah satu cara Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para siswanya adalah dengan metode ceramah (kotbah). Kotbah ini bahkan menjadi kegiatan utama dalam mempertahankan Buddha sasana, yaitu doktrin yang berupa pengetahuan. Sang Buddha adalah seorang pengkotbah ulung. Cara yang digunakan Sang Buddha tersebut adalah:
  • Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
  • Beliau mengajar dengan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
  • Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang mengikuti ajarannya itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka. (Dhamma Vibhanga I, 45)
Vidhurdhammabhorn Mahathera dalam Buddha Cakkhu Asadha 2533 (1989: 9) menjelaskan bahwa seseorang yang memberikan ceramah/ kotbah Dhamma hendaknya:
  1. Menerangkan Dhamma selangkah demi selangkah dan secara berurutan, tidak menyingkat bagian tertentu sehingga mengurangi arti.
  2. Memberikan alasan-alasan yang sesuai sehingga para pendengarnya menjadi kian mengerti.
  3. Memiliki Metta di dalam hatinya serta mengharapkan para pendengarnya memperoleh manfaat dari kotbah Dhamma itu.
  4. Tidak mengajarkan Dhamma dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
  5. Tidak mengajarkan Dhamma dengan maksud untuk menyerang orang lain. Dengan kata lain tidak memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Metode-metode lain yang dipakai oleh Sang Buddha, misalnya: cerita (Jataka), syair-syair, debat/dialog/diskusi, pertunjukan kekuatan batin dan lain-lain. Semua metode itu dipilih oleh Sang Buddha secara bijaksana sesuai dengan kemampuan orang yang hendak diajar.

PERAN ORANG TUA, GURU DAN MURID
Pendidikan tidak hanya mencakup subyek guru dan murid. Pendidikan berkaitan erat dengan masyarakat dan terutama keluarga (orang tua murid). Masyarakat sebagai pendukung berlangsungnya pendidikan sekaligus sebagai penilai keberhasilan pendidikan. Sedangkan orang tua, selain kedudukannya sebagai ayah dan ibu, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam pendidikan bagi anak.
Kedudukan Orang Tua dan Guru
Salah satu peran orang tua adalah sebagai guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Sang Buddha menjelaskan dalam Ittivuttaka IV, 106, bahwa ayah dan ibu disebut juga ‘guru-guru awal’, karena ayah dan ibu adalah orang yang banyak sekali membantu anak-anaknya. Mereka merawat anaknya dan membesarkan serta mengajar tentang dunia.
Orang tua adalah guru yang pertama. Sedangkan guru-guru di sekolah adalah orang tua kedua. Seorang guru harus memperlakukan muridnya seperti terhadap anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri (Vin.I, 45).
Hubungan Guru dan Murid
Kegiatan pengajaran memerlukan interaksi antara guru dan murid yang bersifat edukatif. Suatu interaksi dikatakan bersifat edukatif bukan semata ditentukan oleh bentuknya melainkan oleh tujuan interaksi itu sendiri. Maka tidak selalu bentuk hubungan bersama antara guru dan murid bersifat edukatif. Dalam setiap bentuk interaksi edukatif akan senantiasa mengandung dua unsur pokok, yaitu unsur normatif dan unsur teknis. (Ahmad Rohani, 1991: 88-89).
Sang Buddha menjelaskan kedudukan guru harus dipandang sebagai arah Selatan, yaitu:
  • Dengan bangun dari tempat duduk mereka (memberi hormat),
  • Dengan melayani mereka,
  • Dengan tekad baik untuk belajar,
  • Dengan memberikan persembahan kepada mereka,
  • Dan dengan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.
Seorang guru memperlakukan muridnya dengan berbagai cara, yaitu:
  • Mendidik dan melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya,
  • Membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan,
  • mengajarnya secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian,
  • Berbicara baik tentang muridnya diantara sahabat dan kawan-kawannya,
  • Memperlengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah.
(D.III, 30).

Kualifikasi Guru
Seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengajaran. Adapun kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran meliputi:
1. Kemampuan merencanakan PBM, terdiri dari: kemampuan merumuskan tujuan, memilih metode, merencanakan langkah-langkah pengajaran.
2. Kemampuan mempersiapkan bahan pengajaran, yaitu menyiapkan bahan yang sesuai dengan tujuan, mempersiapkan pengayaan dan bahan remidial.
  • Kemampuan merencanakan media dan sumber, yaitu memilih media dan sumber pengajaran yang tepat.
  • Kemampuan merencanakan penilaian terhadap prestasi siswa, yaitu menyusun alat penilaian dan merencanakan penafsiran penggunaan hasil penilaian.
(Suryosubroto, 1997: 20).
Kriteria guru yang baik diantaranya bila guru itu tidak menyembunyikan ilmunya pada muridnya. Demikian pula Sang Buddha, mengajarkan Dhamma selama 45 tahun tanpa pamrih. Beberapa saat sebelum Parinibbana, Sang Buddha bersabda pada Ananda: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dari-Ku. Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membedakan ajaran umum dari ajaran rahasia (esoterik). Mengenai Dhamma, Ananda, tak ada satupun yang disembunyikan oleh diri-Ku sebagaimana dilakukan oleh seorang guru yang kikir” (D.II, 16).
Seorang guru tidak hanya pandai mengajar, tetapi ia juga harus melaksanakan apa yang ia ajarkan. ‘Sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri” (Dhp.159).
Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaiman seorang bhikkhu senior, yaitu: Ia menguasai analisis logika; menguasai analisis sebab akibat; menguasai tata bahasa; menguasai analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A.III, 113).
EVALUASI BELAJAR
Aspek lain yang menjadi tugas pendidikan adalah melakukan penilaian (evaluasi). Evaluasi merupakan bagian dari kegiatan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dunia pendidikan, evaluasi berfungsi sebagai umpan balik terhadap kegiatan yang telah dilakukan, tidak hanya pada hasil belajar siswa, tetapi juga pada proses pengajaran itu sendiri.
Evaluasi dilaksanakan dengan berpatokan pada prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip dalam evaluasi, yaitu: prinsip keterpaduan, yaitu sebagai bagian tak terpisahkan dari program pengajaran; prinsip Cara Belajar Siswa Aktif, yaitu siswa sendiri yang mengukur kemampuan melalui evaluasi, guru hanya berfungsi untuk membantunya; prinsip kontinuitas, yaitu berlangsung selama proses kegiatan belajar-mengajar berjalan; dan prinsip koherensi, yaitu konsisten dengan tujuan dari pengajaran yang dilakukan; prinsip diskriminalitas, yaitu bahwa setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lain; prinsip keseluruhan/utuh terhadap semua aspek; prinsip paedagogis, yaitu harus bersifat mendidik, evaluasi harus dirasakan sebagai penghargaan bagi yang berhasil dan sebagai hukuman bagi yang gagal; prinsip akuntabilitas, yaitu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri (Ahmad Rohani, 1991: 160).
Buddha memberikan kriteria keberhasilan belajar dan latihan dengan pemahaman dan kecakapan (patisambhida) dalam hal: memahami maksud dan tujuan, mampu menjabarkan secara rinci dan mampu mempertimbangkan akibat; memahami intisari dan mampu meringkas, dan meneliti atau menunjukkan penyebab; cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang tepat; kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak (A.II, 160).

Reference:
Ahmad Rohani, 1991, Pengelolaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta.
H. Saddatissa, 1999, Sutta Nipata, Vihara Bodhivamsa, Klaten.
John D. Ireland, 1998, Ittivuttaka, Lembaga Anagarini Indonesia, Bandung.
Majalah Buddha Cakkhu, edisi Magha 2534, 1991, Dhammadipa Arama, Jakarta.
Materi Pelatihan Pandita Penatar/ MBI/2001.
Panjika, 1994, Kamus Umum Buddha Dharma, Tri Sattva Buddhist Centre, Jakarta.
Tanpa nama, 1997, Dhammapada, Hanuman Sakti, Jakarta.
Teja S.M Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Bodhi, Jakarta.

Candi Borobudur, Ajaran Hidup Buddha

Selain terkenal dengan Malioboro, Kaliurang, Parangtritis dan keratonnya, Yogya juga menyimpan sebuah obyek wisata yang sekaligus merupakan tempat pemujaan agama Buddha. Candi Borobudur, itulah namanya.
Candi ini terletak disebelah Barat Laut Yogya. Candi yang tercatat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini konon dibangun pada abad ke 8. Selain tercatat sebagai kuil Buddha terbesar di dunia, Borobudur juga memiliki keunikan tersendiri.
Candi ini tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong lorong inilah umat Budha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi kearah kanan (pradaksima).
Candi ini dibangun ketika Samaratungga - raja dari dinasti Syailendra memerintah di Jawa Tengah. Konon pembangunan candi ini memakan waktu setengah abad. Jika dilihat dari udara, Borobudur seolah tampak seperti bunga lotus yang akan berkembang, mengambang di atas air danau. Penelitian geologi membuktikan bahwa daerah Candi Borobudur dulu adalah sebuah danau yang luas.
Hingga kini belum diketahui arti Borobudur. Konon Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara (Sansekerta) berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur (berasal dari bahasa Bali, Beduhur) berarti di atas. Dengan kata lain, Borobudur berarti Biara di atas bukit.
Konon candi ini sempat terkubur oleh letusan gunung Merapi (950M) dan baru ditemukan lagi pada abad 19 oleh Gubernur Jenderal Jawa Sir Thomas Raffles (1814). Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar. Tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya.
Borobudur dikenal dengan nama “BANGUNAN SUCI 10 TINGKAT” karena memiliki 10 tingkat. Ini menggambarkan filsafat mazhab Mahayana yang mengajarkan bahwa setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha harus melalui sepuluh tingkatan Boddhisatva.
Barangsiapa mampu melampaui semua tingkat itu, ia akan mencapai kesempurnaan. Konon Borobudur merupakan tiruan dari alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.
Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kamma atau nafsu (keinginan) yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti dunia kita ini.
Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan "Alam Antara" yang memisahkan "Alam Bawah" (Kamadhatu) dengan "Alam Atas" (Arupadhatu).
Arupadhatu, yaitu "Alam Atas" atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, tidak berrelief.
Rahasia Angka
Jumlah tingkatan Borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di Arupadhatu yang didalamnya ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73.
Angka 73 bila dijumlahkan 7 + 3 = 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 1. Jumlah patung-patung di Borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 + 0 = 1.
Sang Adhi Buddha dalam agama Buddha tidak saja dianggap sebagai Buddha tertinggi, tetapi juga dianggap sebagai Asal dari segala Asal, dan juga asal dari keenam Dhyani Buddha, karenanya ia disebut sebagai "Yang Maha Esa".
Tiga Serangkai
Berdasarkan Prasasti Karangtengah (824M) maupun Prasasti Sri Kahulungan (842M) disebutkan bahwa selain Borobudur, ada dua candi lagi yang didirikan untuk mengagungkan kebesaran Buddha, yaitu Candi Mendut (didirikan Pramudyawardani) dan Candi Pawon (didirikan Indra).
Entah yang mana lebih dahulu didirikan, yang jelas ketiga candi yang terletak pada satu garis lurus dari timur menuju barat ini mempunyai makna tersendiri dan mempunyai keterikatan yang satu dengan yang lainnya.

DUTIYA-PALĀYI-JĀTAKA

“Panji-panjiku tak terhitung,” dan seterusnya.—[219] Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang petapa pengembara yang melarikan diri.
Kala itu, dikelilingi oleh rombongan orang banyak, duduk pada tempat duduk kebenaran (dhammāsana), di permukaan berwarna merah, Sang Guru memaparkan khotbah Dhamma, seperti seekor singa yang mengaum mengeluarkan suara singa. Petapa pengembara itu, yang melihat rupa Sang Buddha seperti Brahma, wajah-Nya seperti bulan purnama yang bercahaya, kening-Nya seperti papan emas, berbalik arah dari tempat dia datang di tengah-tengah rombongan dan melarikan diri, seraya berkata, “Siapa yang mampu mengalahkan orang seperti ini?”
Orang-orang pergi mengejarnya, kemudian kembali dan memberi tahu Sang Guru. Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya petapa pengembara ini bergegas kabur ketika melihat rupa keemasan-Ku, dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, Bodhisatta terlahir sebagai raja di Benares, dan di Takkasila terdapat seorang Raja Gandhāra. Raja ini, yang berkeinginan untuk menguasai Benares, pergi dan mengepung kota tersebut dengan empat kelompok pengawal.
Setelah mengambil posisi di depan gerbang kota, dia melihat ke arah pasukannya dan berkata, “Siapa yang mampu mengalahkan pasukan yang hebat seperti ini?” Dan untuk menguraikan pasukannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:—
Panji-panjiku tak terhitung jumlahnya:
mereka tidak memilikinya:
Kawanan burung (gagak) tidak mampu
menenangkan lautan yang bergejolak—
pun badainya tidak mampu menghancurkan gunung:—
Oleh karena itu, tidak ada siapa pun yang
mampu mengalahkan diriku.
[220] Kemudian Bodhisatta menunjukkan penampilannya yang berjaya, bagaikan bulan purnama yang bercahaya; dan untuk mengecamnya, berkata demikian: “Orang Dungu, berbicara tidak ada manfaatnya! Sekarang saya akan menghancurkan pasukanmu, seperti seekor gajah mabuk menghancurkan belukar!”
Dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Orang Dungu, belum pernahkah Anda
menemukan lawan tanding?
Anda sakit panas jika ingin melukai gajah liar
seperti diriku ini!
Seperti gajah-gajah yang menghancurkan batang-batang belukar,
demikianlah juga akan kuhancurkan dirimu!
Ketika mendengarnya mengecam demikian, [221] Raja Gandhāra menoleh ke atas dan melihat keningnya yang lebar seperti papan emas. Karena merasa takut dirinya akan tertangkap, dia pun berbalik arah dan melarikan diri, kembali ke kotanya sendiri.


Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Petapa pengembara itu adalah Raja Gandhāra, dan Raja Benares adalah diri-Ku sendiri.”

PALĀYI-JĀTAKA

“Pasukan-pasukan bergajah,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang petapa pengembara yang melarikan diri.
Dia mengembara ke seluruh Jambudīpa (India) dengan tujuan berdebat, dan tidak menemukan siapa pun untuk menantangnya. Kemudian dia mengembara sampai di Sāvatthi (Savatthi) dan menanyakan apakah ada orang yang mampu berdebat dengannya.
Orang-orang berkata, “Ada seseorang yang mampu berdebat denganmu dengan ribuan tesis148, Yang Mahatahu, Yang Unggul, Gotama Yang Mulia, Sang Wali Dhamma, Yang Melenyapkan Segala Pandangan (salah), tidak ada seorang pun yang mampu membantah ajaran-Nya di seluruh Jambudīpa, Yang Terberkahi. Seperti ombak yang hancur (mereda) di tepi pantai, demikianlah segala pandangan (salah) hancur di bawah kaki-Nya dan menjadi abu.” Demikianlah mereka menguraikan sifat-sifat mulia dari Sang Buddha.
“Di manakah Beliau berada sekarang?” tanya petapa tersebut. Mereka menjawabnya dengan mengatakan bahwa Beliau berada di Jetavana. “Saya akan mengadakan perdebatan tesis dengan-Nya!” kata petapa itu. Kemudian dengan diikuti oleh rombongan orang banyak, dia berjalan menuju Jetavana.
Ketika melihat gerbang Jetavana, yang dibangun oleh Pangeran Jeta dengan menghabiskan uang sembilan juta, dia menanyakan apakah Petapa Gotama tinggal di sana. Mereka menjawab bahwa itu adalah gerbangnya. “Jika itu adalah gerbangnya, seperti apa lagi kediamannya?” katanya dengan keras. “Ruangan wangi (gandhakuṭi) yang tiada taranya!” jawab mereka. “Siapa yang mampu berdebat dengan seorang petapa seperti ini?” katanya, dan langsung bergegas kabur.
Orang-orang berseru dalam sukacita, dan masuk ke dalam taman. “Apa yang membuat kalian datang ke sini tidak pada waktunya?” tanya Sang Guru. Mereka memberitahukan kepada Beliau apa yang terjadi. Beliau berkata, “Para Upasaka, ini bukanlah pertama kalinya dia bergegas kabur hanya karena melihat gerbang kediaman-Ku. Dia juga telah melakukannya di dalam kehidupan lampaunya.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


[217] Dahulu kala, Bodhisatta terlahir sebagai raja di Takkasilā (Takkasila), Kerajaan Gandhāra, dan Brahmadatta di Kerajaan Benares. Brahmadatta berkeinginan untuk menguasai Takkasila; oleh karena itu, dia memimpin rombongan bala tentaranya, mengambil posisinya tidak jauh dari kota tersebut, dan mengatur susunan bala tentaranya: “Pasukan bergajah di sebelah sini, pasukan berkuda di sebelah sini, pasukan berkereta di sebelah sini, dan pasukan berjalan kaki di sebelah sini: demikian kalian harus bertahan dan menyerang dengan senjata-senjata kalian, seperti awan-awan yang menurunkan hujan, demikianlah kalian menurunkan hujan panah!” dan dia mengucapkan bait-bait berikut:
Pasukan-pasukan bergajah dan berkudaku,
seperti badai awan di langit!
Lautan berombak dari pasukan berkeretaku
menembakkan hujan panah!
Pasukan berjalan kakiku,
menyerang dengan pedang di tangan,
dengan pukulan dan tusukan,
bergerak maju ke dalam kota,
sampai lawan-lawan mereka memakan debu!
Hancurkanlah mereka—jatuhkanlah mereka!
Teriakkanlah perang dengan keras!
Gajah-gajah secara serempak mengeluarkan raungan!
Seperti guntur menggelegar dan kilat menyambar di langit,
demikianlah suara-suara kalian
terdengar meneriakkan perang!
[218] Demikianlah raja berseru. Dia memerintahkan bala tentaranya berbaris dan bergerak ke depan gerbang kota. Ketika melihat gerbang kota itu, dia menanyakan apakah itu adalah kediaman raja. Mereka berkata, “Itu adalah gerbangnya.” “Jika gerbangnya saja seperti ini, seperti apa lagi istana raja? tanyanya lagi. Dan mereka menjawab, “Seperti Vejayanta, istana Dewa Sakka!” Mendengar jawaban tersebut, raja berkata, “Raja yang demikian berjaya tidak akan pernah mampu untuk ditaklukkan!” Setelah melihat gerbangnya, dia pun berbalik arah dan melarikan diri, kembali ke Benares.


Uraian ini berakhir, dan Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Petapa pengembara adalah Raja Benares, dan diri-Ku sendiri adalah Raja Takkasila.”

Catatan kaki :
148 vāda. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan.

KĀMANĪTA-JĀTAKA

“Tiga kota,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang bernama Kāmanīta (Kamanita).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Buku Kedua belas, dan juga di dalam Kāma-Jātaka145.


Raja Benares memiliki dua orang putra. Dari kedua putra tersebut, putra sulungnya pergi ke Benares dan menjadi raja di sana, sedangkan putra bungsunya menjadi wakil raja. Dia yang menjadi raja dikuasai oleh kotoran batin terhadap kesenangan indriawi, kekayaan, dan keserakahan terhadap perolehan.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Ketika meninjau keadaan Jambudīpa (India), dan memerhatikan bahwa Raja Benares dikuasai oleh nafsu kesenangan indriawi, dia berkata dalam dirinya, “Saya akan mengecam raja itu dan membuatnya malu.” Maka dengan menyamar sebagai seorang brahmana muda, dia kemudian pergi menemui raja dan menatapnya.
“Apa yang diinginkan anak muda ini?” tanya raja.
Dia berkata, “Paduka, saya melihat ada tiga kota yang makmur, subur, memiliki banyak gajah, kuda, kereta, bala tentara, penuh dengan hiasan, emas kepingan dan emas lantakan. Kota-kota ini dapat dikuasai hanya dengan (menurunkan) pasukan dalam jumlah kecil. Saya datang ke sini menawarkan diri menaklukkan kota-kota tersebut untukmu!”
“Kapankah kita akan berangkat, Anak Muda?
“Besok, Paduka.”
“Kalau begitu, pulanglah sekarang; Anda akan pergi besok pagi.”
“Baik, Paduka, bergegaslah untuk mempersiapkan pasukan!” Dan setelah berkata demikian, [213] Sakka kembali ke kediamannya.
Keesokan harinya, raja meminta pengawalnya untuk menabuh genderang dan menyiapkan pasukan. Dia memanggil para pejabat kerajaannya dan kemudian berkata demikian, “Kemarin seorang brahmana muda datang dan mengatakan bahwa dia akan menaklukkan tiga kota untukku—Uttarapañcāla, Indapatta, dan Kekaka. Oleh karena itu, kita akan pergi bersama dengan pemuda itu dan menaklukkan kota-kota tersebut. Panggillah dia segera!”
“Di mana Anda memberikannya tempat tinggal, Paduka?” “Saya tidak memberikannya tempat tinggal,” kata raja. “Apakah Anda memberikannya sesuatu untuk membayar tempatnya menginap?”
“Itu juga tidak.”
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat menemukannya?” “Cari di seluruh pelosok kota,” kata raja.
Mereka pun mencari, tetapi tidak dapat menemukannya.
Maka mereka kembali menjumpai raja dan memberitahukannya, “Oh Paduka, kami tidak dapat menemukannya.”
Kesedihan yang mendalam menyerang diri raja. “Kejayaan yang besar telah dirampas dariku!” rintihnya; jantungnya menjadi panas, darahnya menjadi mengalir tidak beraturan, penyakit disentri (pakkhandikā) menyerang dirinya, dan para tabib tidak mampu menyembuhkan dirinya.
Setelah tiga atau empat hari berselang, Sakka bermeditasi dan kemudian mengetahui tentang penyakit raja. Dia berkata, “Saya akan menyembuhkannya,” dan dengan berpenampilan sebagai seorang brahmana, dia pergi dan berdiri di depan gerbang istana. Dia meminta pengawal untuk memberitahukan kedatangannya kepada raja, “Seorang tabib brahmana datang untuk mengobatimu.”
Ketika mendengar kedatangannya, raja membalas, “Semua tabib kerajaan yang hebat tidak mampu mengobatiku. Berikan saja uang kepadanya dan minta dia untuk pergi.”
Sakka mendengar jawaban dari raja (melalui pengawalnya) dan membalas, “Saya tidak menginginkan uang untuk tempat tinggalku, pun tidak untuk keahlian pengobatanku. Saya pasti bisa mengobati raja: biarkanlah saya menjumpai raja!”
“Kalau begitu, izinkanlah dia masuk,” kata raja setelah mendengar perkataannya itu. Kemudian Sakka masuk, mendoakan kejayaan untuk raja, dan duduk di satu sisi.
“Apakah Anda bisa mengobatiku?” tanya raja.
Dia menjawab, “Ya, Paduka.”
“Sembuhkanlah diriku, kalau begitu!” kata raja.
“Baiklah, Paduka. Katakanlah kepadaku gejala-gejala penyakitmu dan bagaimana penyakit ini bisa menyerang dirimu— apa yang telah Anda makan atau minum, apa yang telah Anda lihat atau dengar, sehingga penyakit ini muncul.”
“Tāta146, penyakitku ini muncul disebabkan oleh sesuatu yang kudengar.”
Kemudian brahmana itu bertanya, “Apa itu (yang Anda dengar)?” [214]
“Teman, kemarin seorang brahmana muda datang dan menawarkan kepadaku untuk memenangkan dan memberikan kepadaku kekuasaan atas tiga kota: saya tidak memberikan kepadanya tempat tinggal, pun tidak sesuatu untuk membayar tempatnya menginap. Dia pasti menjadi marah pada diriku dan pergi menjumpai raja lainnya. Ketika saya memikirkan betapa besar kejayaan yang telah dirampas dariku itu, penyakit ini pun muncul menyerang diriku. Jika Anda memang mampu, sembuhkanlah penyakit ini, yang muncul disebabkan oleh pikiranku yang penuh nafsu (indriawi).”
Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Tiga kota, masing-masing berada tinggi di atas gunung,
ingin kukuasai, Pañcāla, Kuru147, dan Kekaka.
Sekarang ada satu hal yang kuinginkan lebih dari itu—
Oh Brahmana, sembuhkanlah diriku,
yang telah menjadi budak dari nafsu.
Kemudian Sakka berkata, “Paduka, Anda tidak dapat diobati dengan ramuan yang dibuat dari akar-akaran, melainkan dengan ramuan pengetahuan (ñāṇosadheneva).” Dan dia mengucapkan bait kedua berikut: [215]
Ada yang mampu mengobati gigitan ular hitam;
Orang bijak mampu mengobati luka yang
dibuat oleh makhluk bukan manusia.
Budak dari nafsu tidak ada tabib yang
mampu mengobatinya;
Obat apa yang dapat digunakan
untuk jiwa yang demikian teracuni?
Demikian Sang Mahasatwa menjelaskan maksudnya, dan menambahkan perkataan ini kemudian, “Paduka, seandainya Anda mendapatkan ketiga kota tersebut, kemudian ketika Anda memerintah empat kota, apakah Anda mampu untuk mengenakan empat jubah pada waktu bersamaan, apakah Anda mampu untuk makan dari empat piring emas, apakah Anda mampu untuk tidur (berbaring) di empat ranjang kerajaan? Oh Paduka, tidak seharusnyalah seseorang itu dikuasai oleh nafsu dambaan/keinginan (taṇhā). Taṇhā (tanha) adalah akar dari segala perbuatan jahat; Bila tanha berkembang, maka orang yang dikuasainya akan jatuh ke delapan alam neraka utama, atau enam belas alam neraka rendah lainnya, dan mengalami beragam jenis penderitaan.”
Demikian Sang Mahasatwa membuat raja menjadi takut dengan alam-alam neraka dan penderitaan, kemudian memberikan wejangan kepadanya. Setelah mendengar wejangan itu, rasa sakit di jantung raja menghilang dan dalam sekejap dia pun menjadi sembuh total. [216] Setelah memberikan nasihat kepadanya dan membuatnya kukuh dalam menjalankan latihan moralitas (sila), Sakka kemudian kembali ke alam dewa. Sejak saat itu, raja selalu memberikan derma/dana dan melakukan kebajikan lainnya, kemudian meninggal dan menerima buah (hasil perbuatan) sesuai dengan perbuatannya.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Bhikkhu yang menjadi budak dari nafsu adalah raja, dan diri-Ku sendiri adalah Sakka.”

Catatan kaki :
145 No. 467.
146 Sebutan kasih atau ramah atau penuh hormat untuk orang yang lebih muda atau lebih tua, lebih rendah atau tinggi statusnya. Sering kali di dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah ‘Friend’ atau ‘Dear’, yang biasanya diterjemahkan menjadi, ‘Teman’ atau ‘Yang terkasih.’
147 Kota Indapatta berada di dalam Kerajaan Kuru.