Selasa, 21 Februari 2012

CULA-ASSAPURA SUTTA

[281]1. Demikianlah yang say dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri Angan di kota suku Angan yang bernama Assapura. Di sana Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”-“ Yang Mulia Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
2. “’Petapa, petapa,’ para bhikkhu, demikian orang-orang melihat kalian. Dan ketika kalian ditanya, “Engkau ini apa?” kalian dinyatakan bahwa kalian adalah petapa. Karena kalian disebut dengan itu dan itu pula yang kalian nyatakan, kalian harus berlatih demikian: ‘Kami akan menjalankan dan mempraktekkan hal-hal yang pantas bagi petapa422 agar sebutan-sebutan itu bisa menjadi benar dan pernyataan-pernyataan kami murni, dan agar pelayan-pelayan mereka yang memberikan jubah, dana makanan, tempat beristirahat, dan kebutuhan obat-obatan untuk kami gunakan ini akan memberikan buah dan manfaat yang besar bagi mereka, dan agar tindakan kami meninggalkan keduniawian ini tidak akan sia-sia melainkan berbuah dan subur.
3. “Para bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu tidak mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa? Selama seorang bhikkhu yang tamak belum meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran niat jahat belum meninggalkan niat jahat, yang marah belum meninggalkan kemarahan, yang penuh dendam belum meninggalkan dendamnya, yang menghina belum meninggalkan penghinaan, yang menguasai belum meninggalkan sikapnya yang menguasai, yang dengki belum meninggalkan kedengkian, yang serakah belum meninggalkan keserakahan, yang curang belum meninggalkan kecurangan, yang menipu belum meninggalkan penipuan, yang memiliki harapan-harapan jahat belum meninggalkan harapan-harapan jahat, yang memiliki pandangan salah belum meninggalkan pandangan salah,423 selama itu kukatakan dia tidak mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa, karena dia tidak meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, kesalahan-kesalahan bagi petapa ini, sampah-sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan-landasan untuk terlahir kembali di dalam keadaan kekurangan dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak membahagiakan.
4. “Andaikan saja ada senjata yang disebut mataja, yang kedua sisinya diasah dengan baik, dimasukkan dan ditempatkan di sarung perca. Kukatakan bahwa tindakan bhikkhu yang meninggalkan keduniawian itu dapat dibandingkan dengan itu.
5. “Aku tidak mengatakan bahwa status petapa muncul pada pemakai jubah-perca hanya karena memakai jubah-perca saja, tidak juga pada petapa telanjang hanya karena ketelanjangannya saja, tidak juga pada penghuni debu dan kotoran hanya karena debu dan kotoran saja, tidak juga pada seorang pencuci hanya karena mencuci di air saja, tidak juga pada penghuni akar-pohon hanya karena [282] berdiam di akar pohon saja, tidak juga pada penghuni udara-terbuka hanya karena berdiam di udara terbuka saja, tidak juga pada orang yang berlatih dengan terus-menerus berdiri hanya karena berdiri terus-menerus saja, tidak juga pada orang yang mengambil makanan pada interval-interval yang dinyatakan hanya karena mengambil makanan pada interval-interval yang dinyatakan saja, tidak juga pada pengucap mantra hanya karena mengucapkan mantra-mantra saja; aku juga tidak mengatakan bahwa status petapa muncul pada diri petapa berambut-kusut hanya karena membiarkan rambutnya kusut saja.
6. “Para bhikkhu, seandainya saja jika hanya karena memakai jubah-perca maka si pemakai jubah-perca yang tamak itu meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran niat jahat meninggalkan niat jahat … yang memiliki pandangan salah meninggalkan pandangan salah, maka teman-teman dan kenalan-kenalannya, sanak saudara dan keluarganya akan membuat dia pemakai jubah-perca segera setelah dia dilahirkan dan menyuruh dia menjalankan praktek memakai jubah perca demikian: ‘Ayo, sayangku, jadilah pemakai jubah-perca sehingga, sebagai pemakai jubah-perca, bila engkau tamak engkau akan meninggalkan ketamakan, bila engkau memiliki pikiran niat jahat engkau akan meninggalkan niat jahat … bila engkau mmiliki pandangan salah engkau akan meninggalkan pandangan salah.’ Tetapi aku melihat di sini seorang pemakai jubah-perca yang tamak, yang memiliki pikiran niat jahat, yang memilikipandangan salah; dan itulah sebabnya aku tidak mengatakan bahwa status petapa muncul pada pemakai jubah-percai hanya karena memakai jubah-perca saja.
“Jika hanya karena ketelanjangan saja seorang petapa telanjang yang tamak meninggalkan ketamakannya…Jika hanya karena debu dan kotoran saja…Jika hanya karena mencuci di air saja…Jika hanya karena berdiam di kaki pohon saja…Jika hanya karena berdiam di udara terbuka saja…Jika hanya karena berdiri terus-menerus saja….Jika hanya karena mengambil makanan pada interval-interval yang dinyatakan saja …Jika hanya karena pengulangan mantra saja…Jika hanya karena membiarkan rambutnya kusut saja…[283]…dan itulah sebabnya aku tidak menyatakan bahwa status petapa muncul pada petapa hanya karena membiarkan rambutnya kusut saja.
7. “Para bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa? Bila bhikkhu yang tadinya tamak telah meninggalkan ketamakan, yang tadinya memiliki pikiran jahat telah meninggalkan niat jahat, yang tadinya marah telah meninggalkan kemarahan, yang tadinya penuh dendam telah meninggalkan dendam, yang tadinya menghina telah meninggalkan penghinaan, yang tadinya bersikap menguasai telah meninggalkan sikap menguasai, yang tadinya dengki telah meninggalkan kedengkian, yang tadinya serakah telah meninggalkan keserakahannya, yang tadinya curang telah meninggalkan kecurangan, yang tadinya menipu telah meninggalkan penipuan, yang tadinya memiliki harapan-harapan jahat telah meninggalkan harapan-harapan jahat, yang tadinya memiliki pandangan salah telah meninggalkan pandangan salah, maka kukatakan dia mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa , karena dia telah meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, kesalahan-kesalahan bagi petapa ini, sampah-sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan-landasan untuk terlahir kembali di dalam keadaan kekurangan dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak membahagiakan.
8. “Dia melihat dirinya sendiri dimurnikan dari keadaan-keadaan tak-bajik yang jahat ini, dia melihat dirinya terbebas darinya. Ketika dia melihat hal ini, kegembiraan terlahir pada dirinya. Ketika dia gembira, kegiuran terlahir pada dirinya; pada diri orang yang tergiur, tubuhnya menjadi tenang; orang yang tubuhnya tenang akan merasakan kesenangan; pada diri orang yang merasakan kesenangan, pikiran akan menjadi terkonsentrasi.
9. “Dia berdiam menyelimuti seperempat bagian yang pertama dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, demikian pula yang kedua, demikian pula yang ketiga, demikian pula yang keempat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling dan ke setiap penjuru, dan kepada semua seperti kepada dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, melimpah, tinggi, tak-terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat.
10-12. “Dia berdiam menyelimuti seperempat bagian pertama dengan pikiran yang dipenuhi kasih sayang…dengan pikiran yang dipenuhi simpati…dengan pikiran yang dipenuhi ketenang-seimbangan…melimpah, tinggi, tak-terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat.
13. “Andaikan saja ada sebuah kolam dengan air yang jernih, sejuk, dan menyenangkan, bening, dengan tepian yang mulus, yang menggembirakan. [284] Jika ada orang yang tersengat matahari dan kelelahan karena cuaca yang panas, lemas, terbakar, dan kehausan. Di datang dari timur atau dari barat atau dari utara atau dari selatan, atau dari mana pun sesukamu. Sesudah sampai di kolam ini dia akan melegakan rasa hausnya dan bebas dari panas cuaca yang menyengat itu. Demikian pula, para bhikkhu, siapa pun dari kelompok para mulia yang meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah, dan setelah bertemu dengan Dhamma dan Vinaya yang dinyatakan oleh Tathagata, mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan ketenang-seimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka kukatakan karena kedamaian internal itu jika dia mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa. Dan jika siapa pun dari kelompok brahmana meninggalkan…Jika siapa pun dari kelompok pedagang meninggalkan…Jika siapa pun dari kelompok pekerja meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berimah, dan setelah bertemu Dhamma dan Vinaya yang dinyatakan oleh Tathagata, mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan ketenang-seimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka kukatakan karena kedamaianinternal itulah dia mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa.
14. “Para bhikkhu, jika siapa pun dari kelompok para mulia meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah, dan dengan mewujudkan bagi dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam kebebasan pikiran dan kebebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda dengan hancurnya noda-noda itu, maka dia telah menjadi petapa karena hancurnya noda-noda itu.424 Dan jika siapa pun dari kelompok brahmana meninggalkan …Jika siapa pun dari kelompok pedagang meninggalkan…Jika siapa pun dari kelompok pekerja meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah, dan dengan mewujudkan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam kebebasan pikiran dan kebebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda dengan hancurnya noda-noda itu, maka dia telah menjadi petapa karena hancurnya noda-noda itu.
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bersuka cita di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan :
(422) Sutta sebelumnya menggunakan frasa “hal-hal yang membuat seseorang menjadi petapa” (dhamma samanakarana), namun sutta ini berbicara tentang “cara yang pantas bagi petapa” (samana-samicipatipaada).
(423) Sepuluh noda pertama dari duabelas “noda-noda bagi petapa” dicakupkan di dalam enambelas “ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran” di MN 7.3.
(424) MA: Karena dia telah menenangkan (samita) semua kekotoran batin, dia adalah petapa di dalam petapa di dalam pengertian tertinggi (paramatthasamana).