Selasa, 21 Februari 2012

CULADHAMMASAMADANA SUTTA

1. Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman. Anathapindika. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu,”-“Yang Mulia,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
2. “Para bhikkhu, ada empat cara menjalani segala sesuatu. Apakah yang empat itu? Ada cara untuk menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan. Ada cara untuk menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan. Ada cara untuk menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan. Ada cara untuk menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.
3. “Para bhikkhu, apakah cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan itu? Para bhikkhu, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya adalah demikian: ‘Tidak ada kerugian di dalam kesenangan-kesenangan indera.’ Mereka terbiasa meneguk kesenangan-kesenangan indera dan menyeleweng dengan kelana-kelana perempuan yang rambutnya diikat. Mereka berkata demikian: ‘Ketakutan masa-depan apa yang dilihat oleh para petapa dan brahmana yang baik ini di dalam kesenangan-kesenangan indera ketika mereka berbicara tentang meninggalkan kesenangan-kesenangan indera dan menjelaskan pemahaman penuh tentang kesenangan-kesenangan indera? Sungguh menyenangkan sentuhan tangan kelana perempuan yang lembut, lunak, dan berbulu halus ini!’ Demikianlah mereka terbiasa meneguk kesenangan-kesenangna indera, dan karena telah melakukannya, pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka muncul kembali di dalam keadaan kekurangan, di tempat tujuan yang tidak bahagia, di dalam penderitaan berkepanjangan, bahkan di neraka. Di sana mereka merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk. Mereka berkata demikian: ‘Inilah ketakutan-masa depan yang dilihat oleh para petapa dan brahmana yang baik ini di dalam kesenangan-kesenangan indera ketika mereka berbicara tentang meninggalkan kesenangan-kesenangan indera dan menjelaskan pemahaman penuh tentang kesenangan-kesenangan indera. Disebabkan oleh kesenangan-kesenangan indera, [306] karena kesenangan-kesenangan indera, maka kami sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’
4. “Para bhikkhu, seandainya saja di bulan terakhir musim panas ada polong tanaman rambat maluva yang membuka, lalu biji maluva itu jatuh di kaki pohon sala. Dewa yang tinggal di pohon itu pun menjadi takut, gelisah, dan ngeri. Tetapi, para sahabat, teman, sanak-saudara dan handai-taulannya-yaitu, para dewa kebun, dewa taman, dewa pohon, dewa yang mendiami tanaman obat, rumput, dan pohon-pohon besar di hutan-berkumpul dan menguatkan dewa tadi demikian: ‘Jangan takut, tuan, jangan takut. Mungkin seekor merak akan menelan biji tanaman.rambat maluva itu atau seekor binatang buas akan memakannya atau api hutan akan membakarnya atau para pencari kayu di hutan akan membawanya atau semut-semut putih akan memakannya atau biji itu bahkan mungkin tidak subur.’ Tetapi tidak ada merak yang menelan biji itu, tidak ada api hutan yang membakarnya, tidak ada pencari kayu di hutan yang membawanya, tidak ada semut putih yang memakannya, dan biji itu ternyata subur. Kemudian, karena kelembaban hujan dari awan yang membawa hujan, pada waktunya biji itu pun tumbuh. Dan sebatang sulur yang lembut, lunak, dan berbulu halus merambatkan dirinya sendiri pada pohon sala itu. Maka dewa yang berdiam di pohon sala itu berpikir: ‘Ketakutan-masa-depan apa yang dilihat oleh para sahabat, teman, sanak-saudara dan handai-taulanku… pada biji tanaman rambat maluva ketika mereka berkumpul dan menguatkan aku seperti yang telah mereka lakukan? Sungguh menyenangkan sentuhan sulur yang lembut, lunak, dan berbulu halus ini!” Namun kemudian tanaman rambat itu menyelimuti pohon sala itu, membuat payung di atasnya, membentuk tirai di sekelilingnya, dan membelah dahan-dahan pokok pohon itu. Maka dewa yang hidup di pohon itu menyadari: ‘Inilah ketakutan-masa-depan yang mereka lihat pada biji tanaman rambat maluva itu.[307]
Karena biji tanaman rambat maluva itu, kini aku merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk.’
“Begitu pula, para bhikkhu, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya adalah demikian: ‘Tidak ada kerugian di dalam kesenangan-kesenangan indera’… Mereka berkata demikian:’Inilah ketakutan-masa-depan yang dilihat oleh para petapa dan brahmana yang baik itu di dalam kesenangan-kesenangan indera…sehingga kini kami merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk.’ Inilah yang disebut menjalani segala-sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.
5. “Dan apa, para bhikkhu, yang merupakan cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan? Di sini, para bhikkhu, seseorang telanjang ke mana-mana, menolak aturan menjilati tangan-tangannya, tidak datang jika diundang, tidak berhenti jika diminta…(seperti di Sutta 12,§ 45) [308]…Dia hidup mengejar praktek mandi di air tiga kali sehari termasuk di malam hari. Demikianlah dengan berbagai cara dia hidup mengejar praktek menyiksa dan memalukan tubuh. Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, dia muncul kembali di dalam keadaan kekurangan, di tempat tujuan yang tidak bahagia, di dalam penderitaan berkepanjangan, bahkan di neraka. Inilah yang disebut menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.
6 “Dan apa, para bhikkhu, yang merupakan cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan? Di sini, para bhikkhu, seseorang yang secara alami memiliki nafsu keinginan yang kuat, dan dia senantiasa mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir karena nafsu keinginan; secara alami dia memiliki kebencian yang kuat, dan dia senantiasa mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir karena kebencian; secara alami dia memiliki kebodohan yang kuat, dan dia senantiasa mengalami penderitaan yang terlahir karena kebodohan. Namun di dalam penderitaan dan kesedihan, menangis dengan wajah penuh air mata, dia menjalani kehidupan suci yang sempurna dan murni. Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, dia muncul kembali di tempat tujuan yang bahagia, bahkan di alam surgai. Inilah yang disebut menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.
7. “Dan apa, para bhikkhu yang merupakan cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan? Di sini, para bhikkhu, seseorang yang secara alami tidak memiliki nafsu keinginan yang kuat, dan dia tidak senantiasa mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir karena nafsu keinginan; secara alami dia tidak memiliki kebencian yang kuat, dan dia tidak senantiasa mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir karena kebencian; secara alami dia tidak memiliki kebodohan yang kuat, [309] dan dia tidak senantiasa mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir karena kebodohan , sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di Jhana pertama…Dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dia memasuki dan berdiam di Jhana kedua… Juga dengan melemahnya kegiuran…dia memasuki dan berdiam di Jhana ketiga…Dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan…dia memasuki dan berdiam di Jhana keempat…Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, dia muncul kembali di tempat tujuan yang bahagia, bahkan di alam surgawi. Inilah yang disebut menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan. Inilah, para bhikkhu, empat cara untuk menjalani segala sesuatu.
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bersukacita di dalam kata-kata Yang Terberkahi.