Selasa, 21 Februari 2012

CULASACCAKA SUTTA

  1. Demikianlah yang saya dengar.
    Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Kutagarasala, Mahavana, Vesali.
  2. Pada saat itu Saccaka Niganthaputta sedang tinggal di Vesali, seorang pendebat dan pembicara ulung, dianggap oleh kebanyakan orang sebagai orang suci. Ia mengucapkan kata-kata ini di hadapan suatu sidang di Vesali : “Aku tidak melihat petapa maupun brahmana, kepala dari sebuah sangha, kepala dari suatu sekte, guru dari sebuah sekte, sekalipun apabila ia mengaku sebagai seorang Arahat dan mencapai Penerangan Sempurna, yang tidak gemetar dan tergoyang serta menggigil dan berkeringat di bawah ketiak mereka apabila sedang terlibat dalam perdebatan dengan diriku. Bahkan apabila aku sedang terlibat dalam perdebatan tanpa arti, perdebatan itu akan menggetarkan, menggoncangkan serta menggigilkan mereka yang sedang terlibat dalam perdebatan dengan diriku. Oleh karena itu apa yang harus saya katakan tentang manusia itu.”
  3. Di pagi hari, Bhikkhu Assaji mengenakan jubah, mengambil patta dan jubah luar (civara), lalu beliau pergi ke Vesali untuk pindapata. Ketika Saccaka Niganthaputta sedang berjalan-jalan dan mondar-mandir melakukan latihan (cankamana) di Vesali, ia melihat bhikkhu Assaji mendatangi dikejauhan. Ketika ia melihatnya, ia pergi menghampiri Assaji dan sesudah penyambutan serta penghormatan dengannya, dan setelah ucapan-ucapan saling menghormat telah selesai dilakukan, ia berdiri di samping, kemudian Saccaka Niganthaputta berkata:
  4. “Bagaimana caranya Samana Gotama mendisiplinkan siswa-siswa, Guru Assaji; dan dengan cara bagaimana biasanya Samana Gotama memberikan instruksi-instruksi kepada para siswanya itu?”
    “Ini adalah bagaimana Sang Bhagava itu mendisiplinkan siswa-siswa Aggivessana; dan dengan cara demikian instruksi-instruksi dari Sang Bhagava itu biasanya disampaikan kepada para siswa: ‘Bhikkhu, bentuk itu adalah tidak kekal, pencerapan adalah tidak kekal; bhikkhu, bentuk itu adalah bukan pribadi, perasaan itu adalah bukan pribadi, bentukan-bentukan adalah bukan pribadi, dhamma-dhamma itu adalah semua bukan pribadi.’ Itu adalah cara bagaimana Sang Bhagava mendisiplinkan para siswa; itu adalah cara bagaimana instruksi-instruksi dari Sang Bhagava disampaikan kepada para siswa.”
    “Apabila ini adalah apa yang dikemukakan oleh Samana Gotama, ternyata kita mendengar tentang apa yang salah. Sekarang, seandainya, pada suatu waktu atau waktu lain, kita dapat bertemu dengan Guru Gotama, seandai kita dapat mengadakan beberapa pembicaraan dengan beliau? Seandai kita dapat melenyapkan pandangan dari pada-Nya?”
  5. Kebetulan pada waktu itu lima ratus penduduk dari Licchavi telah berkumpul bersama dalam suatu sidang di dalam ruangan, untuk suatu urusan lain. Kemudian, Saccaka Niganthaputta pergi menemui mereka dan berkata: “Marilah, tuan-tuan dari Licchavi, marilah. Hari ini akan diadakan pembicaraan antara saya dengan Samana Gotama. Apabila Samana Gotama tetap mempertahankan pendapat Beliau kepadaku seperti apa yang diucapkan oleh satu di antara murid-murid terkenal Beliau, yaitu bhikkhu yang bernama Assaji, maka dengan argumentasi aku akan menyeret Samana Gotama, menyeret ke sana kemari dan menyeret ke sekeliling, tepat seperti halnya seorang laki-laki perkasa menangkap lembu jantan pada rambutnya dan menyeretnya ke sana kemari, dan menyeret ke sekelilingnya; demikian juga dengan perdebatan akan menyeret Samana Gotama, menyeret ke sana kemari, menyeret ke sekeliling tepat seperti halnya seorang pekerja pada pembuat arak yang melemparkan saringan besar masuk ke dalam tangki air yang dalam, dan sambil memegangnya di kedua sudutnya, menyeretnya kian kemari dan menyeretnya ke sekeliling; maka dengan perdebatan aku akan mengguncang Samana Gotama ke bawah dan menggoncang-Nya naik serta menenggelamkannya, tepat seperti halnya pegawai pembuat arak yang kuat memegang tapisan di kedua sudutnya dan menggoncangnya ke bawah dan ke atas. Tepat seperti halnya wajah berumur enam puluh tahun mungkin akan turun masuk ke dalam kolam dan membenamkan badannya di dalam lumpur sebagaimana mereka mandi dan berolah raga itu, demikian juga aku akan berolah raga besar, aku berangan-angan, dalam permainan memandikan Samana Gotama itu. Marilah, tuan-tuan dari Licchavi, marilah. Hari ini akan terjadi tukar pembicaraan antara diriku dengan Samana Gotama.”
  6. Oleh karena itu beberapa orang dari Licchavi berkata: “Apakah sekarang Samana Gotama akan menyangkal pendapat dari Saccaka, anak lelaki dari Nigantha; atau apakah yang akan menyangkal pendapat dari Samana Gotama itu?”
    Dan beberapa orang Licchavi berkata: “Bagaimanakah Saccaka anak dari Nigantha akan menyangkal pendapat dari Sang Bhagava; sebaliknya, Sang Bhagava malah akan menyangkal pendapat dari Saccaka Niganthaputta.” Kemudian Saccaka Niganthaputta pergi bersama-sama dengan lima ratus orang Licchavi ke Kutagarasala, Mahavana.
  7. Pada saat itu beberapa bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di tempat terbuka. Kemudian Saccaka Niganthaputta pergi menghampiri mereka dan bertanya: “Di manakah Guru Gotama sekarang berada, kita ingin melihat Guru Gotama.”
    “Aggivessana, Sang Bhagava telah pergi ke Mahavana, Beliau sedang duduk di bawah pohon untuk istirahat tengah hari.”
  8. Kemudian Saccaka Niganthaputta pergi bersama-sama dengan banyak pengikut dari kaum Licchavi menuju hutan besar ke tempat di mana Sang Bhagava berada dan saling memberikan salam penghormatan dengan beliau, dan setelah melakukan pembicaraan permulaan yang lemah lembut, ia duduk pada satu sisi. Dan beberapa kaum Licchavi memberikan hormat kepada Sang Bhagava dan duduk pada satu sisi; beberapa saling memberi salam, dan setelah semua pembicaraan-pembicaraan permulaan serta lemah lembut itu selesai dilakukan, mereka duduk di satu sisi; beberapa dari mereka menyebutkan nama-nama mereka serta suku-sukunya di hadapan Sang Bhagava dan duduk di satu sisi; beberapa tinggal diam saja dan duduk di satu sisi.
  9. Ketika Saccaka Niganthaputta telah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagava: “Saya ingin menanyakan kepada Guru Gotama tentang suatu masalah, apakaah Guru Gotama sudi memberikan jawaban atas pertanyaan itu kepadaku?”
    “Tanyakanlah tentang apa yang kau inginkan, Aggivessana.”
    “Bagaimana cara Guru Gotama mendisiplinkan (membimbing para siswa); dan dalam cara bagaimanakah instruksi Guru Gotama itu biasanya diberikan di antara siswa?”
    “Ini adalah bagaimana cara aku mendisiplinkan siswa-siswa Aggivessana; dan ini adalah cara instruksi-instruksi saya biasanya disampaikan kepada para siswa: bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, pencerapan adalah tidak kekal, bentuk-bentuk adalah bukan pribadi, dhamma-dhamma adalah semuanya bukan pribadi, itu adalah cara bagaimana aku mendisiplinkan siswa-siswa; dan itu adalah cara dalam mana instruksi biasanya disampaikan kepada para siswa.”
  10. “Satu persamaan terjadi kepadaku, Guru Gotama.”
    “Aggivessana, biarkanlah itu terjadi kepadamu,” kata Sang Bhagava.
    “Tepat seperti halnya bibit-bibit serta tanaman-tanaman, apapun jenisnya, telah mencapai tingkat pertumbuhan, semuanya itu tergantung pada tanah, didasarkan pada tanah; dan tempat seperti apabila jenis-jenis pekerjaan harus dikerjakan oleh yang kuat, semuanya itu dikerjakan bergantung pada tanah, berdasarkan atas tanah demikian juga, Guru Gotama, seseorang memiliki bentuk sebagai pribadi, ia menghasilkan jasa berdasarkan pencerapannya. Ia mempunyai bentuk-bentuk pikiran sebagai pribadi, ia membuat jasa atau menentang jasa adalah berdasarkan bentuk. Ia mempunyai perasaan sebagai pribadi, ia membuat atau tidak membuat jasa berdasarkan perasaan. Ia mempunyai daya pencerapan sebagai pribadi, ia menghasilkan jasa berdasarkan pencerapannya. Ia mempunyai bentuk-bentuk pikiran sebagai pribadi, ia menghasikan atau tidak menghasilkan jasa-jasa didasarkan atas bentuk-bentuk pikiran itu. Ia memiliki kesadaran sebagai pribadi. Ia menghasilkan atau tidak menghasilkan jasa-jasa berdasarkan atas kesadaran.”
  11. “Aggivessana, apakah kamu tidak mengemukakan sebagai berikut: jasmani adalah diri pribadiku, perasaan adalah diri pribadi. Pencerapan adalah diri pribadi, bentuk-bentuk pikiran adalah diri pribadi, kesadaran adalah diri pribadi?”
    “Demikianlah halnya pendapatku, Guru Gotama: bentuk adalah diri pribadiku, perasaan adalah diri pribadiku, bentuk-bentuk pikiran adalah diri pribadiku, kesadaran adalah diri pribadiku. Dan demikian juga halnya adalah pendapat sebagian besar dari orang-orang itu.”
    “Apa hubungan keadaan yang besar itu dengan dirimu, Aggivessana? Silahkan batasi saja hingga ke pendapatmu itu.”
    “Kalau begitu Guru Gotama, pendapat saya adalah demikian bentuk adalah pribadiku, perasaan adalah pribadiku, pencerapan adalah pribadiku, bentuk-bentuk pikiran adalah pribadiku, kesadaran adalah pribadiku.”
  12. “Aggivessana, dalam hal ini. Saya akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai giliran. Jawablah sebagaimana kamu sukai.”
    “Aggivessana, bagaimana kamu meyakini ini, apakah seorang raja mulia kesatria yang mempunyai kekuasaan di dalam tangannya sendiri untuk mengeksekusi hukuman kepada mereka yang harus dihukum, mendenda mereka yang harus didenda, mengucilkan mereka yang harus dikucilkan, umpama saja, Raja Pasenadi dari Kosala, atau Raja Ajatasattu Vedhiputta dari Magadha?”
    “Guru Gotama, seorang raja mulia kesatria mempunyai kekuasaan untuk melakukan hukuman terhadap mereka yang harus dihukum, mendenda mereka yang harus didenda, mengucilkan mereka yang harus dikucilkan, seperti umpama: Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajatasattu Vedhiputta dari Magadha. Sebab sekalipun masyarakat ini serta masyarakat seperti kaum Vajji dan Malla, mereka mempunyai kekuasaan mereka sendiri untuk menghukum mereka yang harus dihukum, mendenda mereka yang harus didenda, mengucilkan atau memencilkan mereka yang harus dipencilkan. Oleh sebab itu makin banyak raja mulia kesatria seperti Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajasattu Vedhiputta dari Magadha, ia akan memilikinya, Guru Gotama, dan ia patut untuk memilikinya (kekuasaan itu).”
  13. “Bagaimana kamu menerima di akalmu hal ini Aggivessana, ketika kamu mengatakan demikian: jasmani adalah diri pribadiku, apakah kamu memiliki kekuasaan seperti itu terhadap jasmanimu seperti: ‘Biarkan jasmani seperti ini; biarkan jasmani tidak seperti itu?’”
    Ketika hal ini dikatakan, Saccaka Niganthaputta diam saja. Untuk kedua kalinya Sang Bhagava berkata kepadanya: “Bagaimana kamu menerima di akalmu hal ini, Aggivessana, ketika mengatakan demikian: ‘Jasmani adalah diri pribadiku’, apakah kamu mempunyai semacam kekuasaan terhadap jasmanimu seperti: ‘Biarkan jasmaniku sebagai demikian; biarkan jasmani tidak seperti itu?’ ”
    Untuk kedua kalinya Saccaka Niganthaputta tetap berdiam saja. Kemudian Sang Bhagava berkata kepadanya: “Aggivessana, jawablah sekarang. Sekarang adalah bukan waktunya lagi untuk berdiam. Apabila seseorang tidak menjawab ketika ditanya tentang Dhamma hingga sampai ketiga kalinya oleh Sang Tathagata, kepalanya akan terbelah tujuh bagian pada waktu itu juga.”
  14. Pada saat itu dewa Vajirapani (dewa halilintar) dengan membawa vajra (vajira) di kepalanya, yang terbakar, menyala, bersinar-sinar muncul di angkasa di atas Saccaka Niganthaputta (sambil berpikir): “Apabila Saccaka Niganthaputta ini tidak menjawab ketika ditanya menurut Dhamma hingga ketiga kalinya, aku akan membelah kepalanya menjadi tujuh bagian sekarang juga.” Sang Bhagava melihat dewa Vajirapani dengan perilakunya itu, juga Saccaka Niganthaputta. Ketika itu Saccaka Niganthaputta menjadi takut, menjadi panik dan rambutnya berdiri, sambil mencari Sang Tathagata sebagai tempat berteduh, tempat suaka serta tempat berlindung, ia berkata: “Tanyakanlah aku, Guru Gotama, aku akan menjawab.”
  15. “Aggivessana, bagaimana pendapatmu, ketika kamu berkata: ‘Jasmani adalah pribadiku’, apakah kamu mempunyai kekuasaan terhadap jasmani, sehingga umpamanya kamu dapat memerintahkan: ‘Biarkanlah jasmaniku menjadi seperti ini, semoga jasmaniku tidak menjadi seperti itu?’ ”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  16. “Perhatikanlah, Aggivessana, perhatikan bila menjawab. Apa yang kamu katakan sebelumnya tidaklah sama dengan apa yang kamu katakan sesudahnya, atau apa yang kamu katakan sesudah itu adalah tidak sama dengan sebelumnya. Bagaimana kamu menerimanya dengan akalmu tentang hal ini. Aggivessana, ketika kamu mengatakan demikian: ‘Perasaan adalah pribadiku.’ Apakah kamu mempunyai semacam kekuasaan terhadap perasaan itu seperti: ‘Biarkanlah perasaanku menjadi demikian; biarkanlah perasaanku tidak menjadi demikian?’ ”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  17. “Perhatikanlah, Aggivessana, perhatikan terhadap apa yang kamu jawab. Apa yang kamu katakan sebelumnya tidaklah sama dengan apa yang kamu katakan sesudahnya, atau apa yang kamu katakan sesudahnya tidaklah sama dengan yang sebelumnya. Bagaimana kamu menanggapi dengan akalmu hal ini, Aggivessana, apabila kamu mengatakan demikian: ‘Pencerapan adalah pribadiku’, apakah kamu mempunyai semacam kekuasaan terhadap pencerapanmu sehingga kamu dapat mengatakan: ‘Biarkan pencerapanku menjadi demikian; biarkan pencerapanku tidak menjadi demikian?’ ”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  18. “Perhatikanlah, Aggivessana, perhatikan terhadap apa yang kau jawab itu. Apa yang kamu katakan sebelumnya tidaklah sama dengan apa yang kamu katakan sesudahnya, atau apa yang dikatakan sesudahnya tidaklah sama dengan sebelumnya. Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu, Aggivessana. Ketika kamu mengatakan demikian: ‘Bentuk-bentuk pikiran adalah pribadiku’, apakah kamu mempunyai semacam kekuasaan terhadap bentuk-bentuk pikiran itu sehingga dapat berkata: ‘Biarkan bentuk-bentuk pikiranku menjadi demikian: biarkanlah bentuk-bentuk pikiranku tidak menjadi demikian?’”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  19. “Perhatikanlah, Aggivessana, perhatikan tentang apa yang kamu jawab. Apa yang kamu katakan sebelumnya adalah tidak sama dengan apa yang kamu katakan sesudahnya, atau apa yang kamu katakan sesudahnya adalah tidak sama dengan yang sebelumnya Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu, Aggivessana, ketika kamu mengatakan demikian: ‘Kesadaran adalah pribadiku’, apakah kamu mempunyai semacam kekuasaan terhadap kesadaran itu sehingga dapat berkata: ‘Biarkanlah kesadaranku menjadi demikian; biarkanlah kesadaranku tidak menjadi demikian?’ ”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  20. “Perhatikanlah, Aggivessana, perhatikan terhadap bagaimana kamu menjawabnya. Apa yang kamu katakan sebelumnya adalah tidak sama dengan yang kamu katakan sesudahnya; atau apa yang dikatakan sesudahnya tidak sama dengan sebelumnya. Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu, Aggivessana, apakah jasmani itu kekal atau tidak kekal?”
    “Tidak kekal, Guru Gotama.”
    “Sekarang, apa yang tidak kekal itu tidak menyenangkan atau menyenangkan?”
    “Tidak menyenangkan, Guru Gotama.”
    “Sekarang, apa yang tidak kekal, tidak menyenangkan dan patut terkena hukuman perubahan, cocok untuk dianggap sebagai: ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah pribadiku?’ ”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  21. “Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu hal ini, Aggivessana, apakah perasaan itu kekal atau tidak kekal?”
  22. “Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu hal ini, Aggivessana, apakah bentuk pikiran itu kekal atau tidak kekal?’”
  23. “Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu hal ini, Aggivessana, apakah pencerapan itu kekal atau tidak kekal?”
  24. “Bagaimana kamu menanggapinya dengan akalmu hal ini, Aggivessana, apakah kesadaran itu kekal atau tidak kekal?”
    “Tidak, Guru Gotama.”
    “Sekarang, apa yang tidak kekal, tidak menyenangkan dan patut terkena hukum perubahan, cocok untuk disebut sebagai: ‘Ini adalah kepunyaanku, ini adalah aku, ini adalah diri pribadiku?’ ”
    “Tidak, Guru Gotama.”
  25. “Bagaimana kamu menanggapi dengan akalmu hal ini, Aggivessana, apabila seseorang melekat pada penderitaan, memberikan tempat pada penderitaan, menerima penderitaan, selalu memandang penderitaan sebagai: ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku pribadi.’ Apakah ia sendiri pernah sepenuhnya mengerti penderitaan atau selalu berpandangan dengan penderitaan dapat melenyapkannya?”
    “Mengapa harus ia, Guru Gotama? Tidak, Guru Gotama.”
    “Bagaimana kamu menanggapi dengan akalmu hal ini, Aggivessana, bahwa dengan menjadikannya demikian, kau tidak melekat pada penderitaan, kamu tidak selalu memandang penderitaan sebagai: ‘Ini kepunyaanku, ini adalah aku, ini adalah diri pribadiku?’”
    “Mengapa tidak, Guru Gotama? Ya, Guru Gotama.”
  26. “Hal ini adalah bagaikan seseorang memerlukan kaku/keras hati, mencari kayu hati, berkelana mencari kayu hati, mengambil kapak tajam dan pergilah ke dalam hutan; dan di sana ia melihat batang pohon tunggal, lurus, muda, tanpa ada pucuk buah. Kemudian ia memotong akarnya, ia memotong mahkotanya, dan setelah memotong mahkotanya ia membuka gulungan pelepah daun; tetapi ketika ia sedang membuka gulungan pelepah daun itu ia tidak pernah sampai kepada sesuatu getah kayu, belum lagi kayu kerasnya. Demikian juga Aggivessana, ketika kamu ditekan dan ditanya kembali olehku tentang pendapatmu sendiri itu, kamu adalah kosong, lowong dan dalam keadaan salah. Tetapi kata-katamu itu diucapkan dihadapan sidang ini: ‘Aku tidak melihat Samana atau orang suci, kepala Sangha, kepala Sekte, Guru dari suatu suku, sekalipun apabila ia mengatakan bahwa dirinya adalah Arahat dan ber-Penerangan Sempurna, tidak bakal bergetar dan bergoncang serta berkeringat di ketiaknya apabila terlibat dalam perdebatan dengan aku. Sekalipun apabila aku terlibat dalam perdebatan yang tidak bermakna, ia akan bergetar, gemetar dan bergoncang, oleh karena itu apa yang akan aku katakan tentang makhluk hidup itu?’ Sekarang terdapatlah butiran-butiran keringat itu telah membasahi sekujur jubah atasmu dan menetes ke tanah, tetapi sekarang tidak terdapat keringat pada tubuhku.”
    Sang Bhagava membuka tutup dari tubuh Beliau yang berwarna kuning keemas-emasan di hadapan para sidang. Ketika hal ini telah dikatakan, Saccaka Niganthaputta diam saja, penuh cemas, dengan pundaknya menurun ke bawah sedangkan kepalanya tunduk, bermuram durja serta tidak dapat mengatakan apa-apa.
  27. Kemudian Dummukha Licchaviputta, karena melihat Saccaka Niganthaputta menjadi demikian keadaannya, ia berkata kepada Sang Bhagava demikian: “Satu persamaan terjadi padaku, Guru Gotama.”
    “Terjadi kepadamu, Dummukha.”
    “Bhante, seandainya tidak jauh dari desa atau kota terdapatlah sebuah kolam yang berisi kepiting di dalamnya, kemudian banyak anak laki-laki serta perempuan pergi dari kota atau desa menuju ke kolam itu, mereka masuk ke dalam kolam serta mengambil kepiting-kepiting itu dan meletakkan mereka di tanah. Apabila kepiting itu merenggangkan kakinya, mereka memotong kaki itu, memutusnya, menghancurkannya dengan tongkat dan batu-batu, sedemikian sehingga mereka tidak dapat kembali lagi ke kolam. Begitu pula halnya, semua penyimpangan Saccaka Niganthaputta, paradok-paradok, lawan azas, dan ejekan-ejekan telah diputus, dihancurkan serta dipotong oleh Sang Bhagava, sekarang ia tidak dapat lagi mendekati Sang Bhagava, sebagai tujuan dari kata-katanya.”
  28. Ketika hal itu diucapkan, Saccaka Niganthaputta berkata kepadanya: “Tunggu, Dummukkha, tunggu. Kami tidak berurusan dengan kamu, di sini kami berurusan dengan Guru Gotama.” (kemudian ia berkata): “Biarkanlah pembicaraan kita diteruskan, Guru Gotama. Seperti dari banyak Samana dan Orang Mulia yang terdiri dari banyak kata-kata itu, demikian yang aku kira. Tetapi bagaimana cara siswa dari Guru Gotama melaksanakan perintah, memberi tanggapan terhadap nasehat, mengatasi segala ketidakpastian, kehilangan keragu-raguannya, memenangkan keberanian dan menjadi tidak tergantung dari orang-orang lain di dalam amanat Guru itu?”
    “Aggivessana, di sini segala macam bentuk apapun, apakah di waktu yang lampau, yang akan datang atau sekarang, di dalam diri sendiri atau luar, kasar maupun lembut, inferior atau superior, jauh maupun dekat, seorang siswaku melihat dengan pengertian semua bentuk seperti apa keadaan sebenarnya sebagai berikut: ‘Ini adalah bukan milikku, ini bukan diriku, ini adalah bukan aku sendiri.’ Setiap jenis perasaan apapun ……….. setiap jenis pencerapan apapun ……..setiap jenis bentukan apapun ……. setiap jenis kesadaran apapun …….apakah ia berasal dari waktu lampau, yang akan datang atau sekarang di dalam diri sendiri atau di luar, kasar atau lembut, inferior atau superior, jauh atau dekat seorang siswa dariku melihat dengan pengertian benar semua kesadaran sebagaimana keadaan sebenarnya sebagai berikut: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ Ini adalah bagaimana seorang siswa dariku melaksanakan amanat, memberi tanggapan terhadap nasehat, mengatasi segala ketidakpastian, kehilangan keragu-raguannya, memenangkan keberanian dan menjadi bebas atau tidak bergantung kepada orang-orang lain di dalam amanat Sang Guru.”
  29. “Samana Gotama, bagaimana seorang bhikkhu bisa menjadi Arahat, dengan noda-noda telah terkikis habis, yang telah menjalani hidup, melakukan apa yang harus dilakukan, melepas beban, mencapai tujuan tertinggi, menghancurkan penggoda-penggoda dari makhluk, dan yang melalui pengertian akhir yang benar yang dibebaskan?”
    ” Aggivessana, di sini setiap jenis bentuk apapun, apakah dari waktu yang lampau, yang akan datang atau sekarang, di dalam diri sendiri atau di luar, kasar maupun halus, inferior maupun superior, jauh maupun dekat, seorang bhikkhu melihat dengan pengertian benar segala macam bentuk sebagaimana mereka sebenarnya sebagai berikut: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku’, dan dengan melalui tidak melekat pada mereka maka ia menjadi terbebas.
    Setiap jenis perasaan apapun ………………
    Setiap jenis kesadaran apapun …………….
    Setiap jenis persepsi pencerapan apapun ……………….
    Setiap jenis bentuk apapun …………………..
    Setiap jenis kesadaran apapun, baik di waktu yang lampau, akan datang maupun sekarang, di dalam diri sendiri atau di luar, kasar atau lembut, inferior atau superior, jauh atau dekat, seorang bhikkhu melihat mereka dengan pengertian benar semua kesadaran sebagaimana mereka sebenarnya sebagai berikut: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku’, dan dengan melalui jalan tidak melekat kepada mereka maka ia telah terbebas. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu menjadi Arahat, dengan noda-noda terkikis habis, yang telah menjalani hidup, melakukan apa yang harus dilakukan, menyingkirkan beban, mencapai tujuan tertinggi, menghancurkan penggoda-penggoda makhluk, dan melalui pengetahuan akhir yang benar telah terbebaskan.
  30. Apabila pikiran dari sang bhikkhu telah terbebaskan sedemikian itu, ia memiliki tiga buah keadaan yang tidak dapat dilampaui atau dilewati; pandangan atau penglihatan yang tidak dapat dilampaui atau dilewati, tidak dapat dilewati dalam melaksanakan atau mempraktekkan sang jalan dan tidak dapat dilewati dalam pembebasan atau pelepasan. Apabila seorang bhikkhu telah dibebaskan sedemikian, ia hanya menghormat, memandang tinggi, memuja-muja, memuliakan hanya Sang Tathagata saja. Sang Bhagava telah mencapai Penerangan Sempurna itu. Sang Bhagava adalah tenang dan Beliau mengajar Dhamma dengan ketenangan. Sang Bhagava telah menyeberang dan Beliau mengajar Dhamma dengan menyeberang itu. Sang Bhagava telah mencapai Nibbhana dan Beliau mengajar Dhamma dengan telah mencapainya Nibbhana itu.”
  31. Ketika kata-kata ini telah diucapkan, Saccaka Niganthaputta menjawab: “Samana Gotama, kami adalah berani dan maju dalam memahami Samana Gotama untuk diserang dengan perdebatan. Seseorang harus menjadi demikian sehingga ia dapat dengan kebebasan dari hukuman menyerang gajah gila, namun begitu ia tidak dapat menyerang Samana Gotama dengan kebebasan dari hukuman itu. Seseorang mungkin dapat dengan kebebasan dari hukuman suatu nyala kobaran api yang besar, namun begitu ia tidak dapat menyerang Samana Gotama dengan kebebasan dari hukuman itu. Seseorang bisa menjadi demikian sehingga ia dapat dengan kebebasan dari hukuman menyerang ular berbisa, namun begitu ia tidak dapat menyerang Samana Gotama dengan kebebasan hukuman itu. Kami sangat berani dan maju dalam memahami Samana Gotama untuk menyerangnya dengan perdebatan itu.
  32. Biarlah Sang Tathagata bersama-sama dengan bhikkhu Sangha, menerima makanan besok dariku.”
    Sang Bhagava menerima undangan itu dengan berdiam diri.
  33. Kemudian setelah ia mengetahui bahwa Sang Bhagava menerima undangannya itu, ia menyampaikan pesan kepada kaum Licchavi: “Dengarlah daku, kaum Licchavi. Samana Gotama bersama dengan bhikkhu sangha telah saya undang untuk menghadiri makan besok pagi. Kamu boleh membawa kepadaku apa saja yang kamu pikir pantas bagi Beliau.”
  34. Kemudian ketika malam telah berakhir kaum Licchavi membawa lima ratus hidangan upacara terdiri dari nasi, susu sebagai hadiah makanan. Saccaka Niganthaputta mempunyai makanan-makanan enak berbagai macam yang dipersiapkan di rumahnya sendiri, dan ia telah mengumumkan waktunya bagi Sang Bhagava: “Waktunya telah tiba Samana Gotama, hidangan makan telah siap.”
  35. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagava mengenakan jubah, dan dengan membawa mangkok serta jubah luar, beliau pergi bersama-sama dengan Bhikkhu Sangha ke rumah Saccaka Niganthaputta dan duduk di atas tempat duduk yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka anak lelaki dari Nigantha melayani serta memuasi Sangha dari para Bhikkhu yang dikepalai oleh Sang Bhagava, dengan berbagai jenis makanan. Kemudian ketika Sang Bhagava telah selesai makan dan tidak lain memegangi mangkok-Nya, Saccaka Niganthaputta duduk di tempat yang bawah dan duduklah pada satu sisi. Ketika ia telah berbuat hal itu, ia berkata kepada Sang Buddha:
    “Guru Gotama, apapun jasa dan (diharapkan di waktu yang akan datang) kebesaran dikarenakan jasa dalam (ini) melakukan pemberian sedekah, semoga bisa menjadi kebahagiaan bagi si pemberi.”
    “Aggivessana, jasa dan kebesaran yang diharapkan karena jasa semacam itu yang muncul disebabkan karena memberikan dana cocok bagi pemberian-pemberian dalam cara yang kamu lakukan, (kamu tanpa) tiada adanya nafsu, tanpa kebencian, dan tanpa adanya khayalan, akan menjadi pahala bagi si pemberi; tetapi pemberian semacam yang datangnya dari (memberikan kepada) seorang yang cocok bagi pemberian-pemberian dalam cara seperti Aku, (aku yang) tanpa nafsu, tanpa kebencian dan tanpa khayal, akan menjadi milikmu (yang telah memberikan pemberian kepadaku).”