Senin, 20 Februari 2012

DHAMMADAYADA SUTTA

Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Anathapindika Arama, Savatthi. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para Bhikkhu.”
“Ya, Bhante,” jawab para bhikkhu. Selanjutnya Sang Buddha berkata:
“Bhikkhu jadilah pewaris-Ku dalam Dhamma, bukan pewaris-Ku dalam materi. Bagaimana para siswaKu menjadi pewarisKu dalam Dhamma?
Misalnya Saya telah makan, tidak makan lagi karena telah kenyang, selesai, telah cukup, sesuai dengan apa yang diperlukan, namun ada makanan sisa yang akan dibuang. Kemudian ada dua orang bhikkhu tiba, lapar dan lemah. Saya berkata kepada mereka: ‘Bhikkhu Saya telah makan, tidak makan lagi …, ada makanan sisa yang akan dibuang; jika Anda mau makan itu; jika tidak mau Saya akan membuangnya sekarang ke tempat yang tak berumput atau ke air yang tidak ada binatang’. Kemudian seorang bhikkhu berpikir: ‘Sang Bhagava telah makan … namun ada makanan sisa dari Sang Bhagava yang akan dibuang …, tetapi Sang Bhagava pernah berkata: ‘Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi,’ dalam hal ini makanan adalah salah satu materi; kiranya, lebih baik daripada makan makanan itu, saya akan menghabiskan waktu siang dan malam ini dengan lapar dan lemah’, maka bhikkhu itu tidak makan.
Namun bhikkhu kedua berpikir: ‘Sang Bhagava telah makan …., namun ada sisa makanan dari Sang Bhagava yang akan dibuang … Jika saya makan makanan ini, maka saya akan menghabiskan waktu siang dan malam ini dengan tanpa lapar dan tidak lemah’, maka bhikkhu ini makan makanan tersebut.
Dalam hal ini, bhikkhu yang tak makan adalah lebih dihormati, karena untuk makan yang lama bhikkhu itu hanya berkeinginan sedikit, puas, mudah dilayani dan bersemangat.”
Selanjutnya bhikkhu Sariputta menerangkan tentang:
  1. Bhikkhu yang hidup sebagai petapa tidak melatih diri dalam ketenangan.
  2. Bhikkhu yang hidup sebagai petapa melatih diri dalam ketenangan.
Bhikkhu yang hidup sebagai petapa dan tidak melatih diri dalam ketenangan adalah tidak meninggalkan apa yang diajarkan guru untuk ditinggalkan, ia sibuk dan tak hati-hati, sering berbuat salah dan tidak menyukai ketenangan. Dalam hal ini bhikkhu itu harus dikritik dalam tiga hal:
  1. Sebagai petapa ia tidak melatih untuk tenang.
  2. Tidak meninggalkan apa yang diajarkan guru untuk ditinggalkan.
  3. Ia sibuk, tak hati-hati serta sering berbuat salah dan tidak menyukai ketenangan.
Kritikan ini berlaku untuk majjhima bhikkhu maupun navaka bhikkhu (bhikkhu baru).
Bhikkhu yang hidup sebagai petapa dan melatih diri dalam ketenangan adalah meninggalkan apa yang diajarkan guru untuk ditinggalkan, ia tidak sibuk dan hati-hati tidak berbuat salah dan menyukai ketenangan. Dalam hal ini bhikkhu itu harus dipuji dalam tiga hal:
  1. Sebagai petapa ia melatih diri untuk tenang.
  2. Ia meninggalkan apa yang diajarkan guru untuk ditinggalkan.
  3. Ia tidak sibuk, hati-hati, tidak berbuat salah dan menyukai ketenangan.
Pujian ini berlaku pula untuk majjhima bhikkhu dan navaka bhikkhu.
Kejahatan adalah keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa). Untuk melenyapkan lobha dan dosa adalah dengan Jalan Tengah (majjhima patipada) yang menghasilkan penglihatan (cakkhukarani), pengetahuan (nanakarani), ketenangan (upasamaya), kemampuan batin (abhinnaya), Penerangan Agung (sambodhaya) dan Nibbana. Jalan Tengah itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Matapencaharian Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar.
kejahatan adalah marah dan balas dendam …
kejahatan adalah memandang rendah dan menguasai …
kejahatan adalah iri hati dan kikir …
kejahatan adalah menipu dan memaksa …
kejahatan adalah keras kepala dan kelancangan…
kejahatan adalah kesombongan dan kecongkakkan …
Kejahatan adalah kesia-siaan dan kelalaian untuk melenyapkan kesia-siaan dan kelalaian adalah dengan Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan … Nibbana. Jalan Tengah yaitu Pandangan Benar … Meditasi Benar.