Kamis, 23 Februari 2012

DIGHANAKHA SUTTA

  1. Demikianlah yang saya dengar.
    Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di Gijjhakuta, Sukarakkhata, Rajagaha.
  2. Ketika itu, seorang petapa pengembara bernama, Dighanakha menemui Sang Bhagava, setelah saling memberi salam dengan kata-kata yang sopan, ia berdiri di samping, lalu ia berkata kepada Sang Bhagava:
    “Teori dan pandangan saya adalah seperti ini, ‘saya tidak mempunyai pandangan mengenai sesuatupun.’ ”
    “Aggisevana, pandanganmu bahwa “Saya tidak mempunyai pandangan menyenangi sesuatupun.” Apakah kamu tidak menyenangi pegangan seperti itu juga?”
    “Kendatipun sekiranya saya mempunyai pandangan menyenangi pandangan ini, hal itu akan sama saja, Samana Gotama hal itu sama saja.”
  3. ‘Aggivessana, baiklah, di dunia yang lainnya berkata: hal itu sama saja, itu semua sama saja, dan yang masih tidak meninggalkan pandangan itu dan berpegang pada beberapa pandangan lainnya, dan sedikit di dunia yang berkata, “Itu semua sama saja, itu semua sama saja” dan masih meninggalkan pandangan itu dan tidak berpegang teguh kepada pandangan lainnya.
  4. Para petapa dan brahmana berpegang pada teori dan pandangan bahwa “Saya suka untuk semua.” Para petapa dan brahmana berpegang pada teori pandangan bahwa “Saya tidak menyenangi sesuatu.” Para petapa dan brahmana berpegang pada teori dan pandangan, “Saya menyenangi sesuatu, saya tidak menyenangi sesuatu.” Para petapa dan brahmana di antara teori dan pandangan ini, “Saya menyenangi semuanya,” mempunyai pandangan yang dekat dengan nafsu birahi, perbudakan, minum-minuman, penerimaan berpegang kuat, para petapa dan brahmana di antara teori mereka dan pandangan mereka adalah tidak menyenangi sesuatu, mempunyai tidak dekat dengan nafsu birahi, perbudakkan, makanan yang merangsang, tidak menerima tidak berpegang kuat.
  5. Sesudah itu pengembara Dighanakkha berkata, “Samana Gotama memuji pandangan-pandangan saya, Samana Gotama memuji pandangan-pandangan saya.”
    “Aggivessana, petapa dan Brahmana di antara ini yang berteori dan berpandangan bahwa “Saya menyenangi untuk semua, Saya tidak menyenangi sesuatu” mempunyai pandangan itu, yang mana mereka mempunyai kesenangan yang dekat dengan nafsu birahi, perbudakan, makanan yang merangsang, menerima berpegang kuat, dan yang mana mereka tidak mempunyai kesenangan untuk menghindari dari nafsu birahi, perbudakan, makanan yang merangsang, penerimaan, berpegang kuat.
  6. Sekarang orang bijaksana di antara para petapa dan brahmana yang berteori dan berpandangannya adalah saya memberikan kesenangan untuk semua demikian anggapannya. “Jika saya keras kepala tidak memahami dan menuntut di atas pernyataan yang tegas kepandangan saya. Saya mempunyai kesenangan untuk semua yang hanya pada kebenaran. Yang lainnya salah, kemudian saya berselisih dua lainnya, keduanya dengan petapa dan brahmana yang teorinya dan pandangannya, “Saya tidak mempunyai kesenangan apa-apa,” dan dengan petapa atau brahmana yang teorinya dan pandangannya adalah “Saya menyenangi sesuatu, saya tidak menyenangi sesuatu,” saya berselisih dengan keduanya ini, dan ketika ada perselisihan, ada pertengkaran, ketika ada pertengkaran, ada keributan, ketika ada keributan, ada kesalahan.”Ketika dia meramalkan untuk dirinya sendiri, ini pertengkaran, ini keributan dan ini kesalahan, dia tinggalkan pandangan itu dan tidak berpegang kuat kepada pandangan lainnya, ini bagaimana yang datang menjadi pandangan-pandangan yang ditinggalkan, ini bagaimana yang datang menjadi melepaskan pandangan-pandangan ini.
  7. Seorang bijaksana di antara para bhikkhu dan brahmana dengan teorinya dan pandangan adalah “Saya tidak menyenangi sesuatu” demikian anggapannya. Jika saya keras kepala dan tidak memahami dan menuntut di atas pernyataan yang tegas ke pandangan saya “Saya tidak menyenangi sesuatu, itu hanya kebenaran ini, yang lainnya salah,” Kemudian saya berselisih dengan dua lainnya, keduanya dengan petapa dan brahmana yang teori dan pandangannya adalah “Saya menyenangi untuk semua” dan dengan petapa atau brahmana yang teori dan pandangannya adalah “Saya menyenangi sesuatu, saya tidak menyenangi sesuatu,” saya berselisih dengan kedua ini, dan ketika ada perselisihan ada pertengkaran, ketika ada pertengkaran dan keributan, ketika ada keributan dan kesalahan, ketika dia melihat untuk dirinya sendiri ini perselisihan, ini pertengkaran, ini keributan, ini kesalahan, dia meninggalkan pandangan itu dan tidak berpegang teguh (melekat) pada pandangan lainnya. Ini bagaimana yang datang menjadi pandangan-pandangan yang ditinggalkan, ini bagaimana yang menjadi melepaskan pandangan-pandangan.Percakapan dan pandangan-pandangan
  8. Orang bijaksana di antara para petapa ini dan para brahmana yang teori dan pandangan adalah “Saya mempunyai kesenangan untuk sesuatu, saya tidak mempunyai kesenangan sesuatu.” Demikianlah anggapannya, jika saya keras kepala tidak memahami dan menuntut mempertahankan pendapat saya ini, “Saya menyenangi sesuatu, saya tidak menyenangi sesuatu, itu hanya kebenaran ini, yang lainnya salah,” Kemudian saya berselisih dengan dua lainnya, keduanya adalah saya mempunyai semua kesenangan.” Dan dengan Bhikkhu atau Brahmana yang teori dan pandangannya adalah “Saya tidak menyenangi sesuatu,” saya akan berselisih kedua ini, dan ketika ada peselisihan, ada pertengkaran, ketika ada pertengkaran dan keributan, ketika ada keributan ada kesalahan. Itu bagaimana datang menjadi melepaskan pandangan-pandangan ini.
  9. Aggivessana, sekarang jasmani ini terdiri dari empat bagian unsur, empat unsur ini dihasilkan oleh seorang ibu dan ayah dan dibesarkan dari rebusan nasi dan roti empat unsur ini keadaan alam yang sementara, hilang dan lenyap, pemusnahan dan penghancuran. Itu harus dipandang seperti ketidakkekalan. Seperti penderitaan, seperti penyakit, seperti kanker, seperti sebatang anak panah, seperti kecelakaan, seperti sebuah bencana, seperti berlawanan, seperti jatuh berkeping-keping, seperti kehampaan, seperti bukan sendiri, apabila seseorang dipandang demikian, dia meninggalkan kebencian pada jasmani, kecintaan pada jasmani ini, dan kebiasaan dia dari menjamu tubuh ini, seperti dasar bagi semua kesimpulan-kesimpulannya.
  10. Ada tiga macam perasaan, perasaan menyenangkan, perasaan sakit, perasaan tidak menyenangkan dan tidak menyakitkan di atas kesempatan ini, apabila seseorang merasakan perasaan senang, dia tidak merasakan perasaan sakit atau tidak merasakan sakit dan tidak merasakan kesenangan pada saat itu. Dia merasakan hanya perasaan senang pada saat itu. Pada saat dia merasakan perasaan sakit dia tidak merasakan perasaan senang atau tidak merasakan dan tidak merasakan senang. Dia hanya merasakan perasaan sakit pada saat itu. Pada saat itu apabila dia merasakan tidak merasakan senang dan perasaan sakit pada saat itu juga. Dia hanya merasakan tidak merasakan sakit atau tidak merasakan senang pada saat itu.
  11. Perasaan senang adalah tidak kekal adanya, tergantung pemunculannya dan keadaan alam yang memungkinkan, jatuh, memudarkan dan berhenti, juga perasaan sakit tidak kekal keadaannya, tergantung pemunculannya dan keadaan akan yang memungkinkan, jatuh, memudarkan, dan berhenti. Juga tidak perasaan sakit dan tidak perasaan senang adalah tidak kekal keadaannya. Tergantung dari pemunculan akan memungkinkan, jatuh, memudarkan, berhenti.
  12. Apabila para penganut melihat bentuk ajaran mulia demikianlah, dia menjadi tak peduli terhadap perasaan yang menyenangkan, menjadi tak peduli terhadap perasaan sakit menjadi tak peduli terhadap perasaan sakit juga tidak peduli pada perasaan menyenangkan. Keadaan tidak peduli tentang nafsu dia akan terbebas. Apabila telah terbebas maka datanglah pengetahuan, inilah kebebasan. “Dia mengerti kelahiran akan lenyap, kehidupan akan menjadi seperti kehidupan dewa, apa yang sudah terjadi terjadilah tidak ada yang akan datang kembali.”
  13. Seorang bhikkhu yang mempunyai pikiran bebas, Aggivessana tidak memihak siapapun, tak seorangpun yang memperdebatkan dan ia mempekerjakan, walaupun dengan tidak salah mengerti berita ini akan terbiasa di dalam dunia.
  14. Sekarang adalah kesempatan Bhikkhu Sariputta berkedudukan yang terbaik di dalam Vihara, lalu ia berpikir. “Ini yang terbaik, ini rupa-rupanya, berbicara mengenai bermacam-macam Dhamma, mereka langsung mempunyai pengertian. Ini pembicaraan yang paling baik, ini merupakan pelepasan. Demikianlah ia berpikir tentang pikiran yang terbebas dari celaan menembus ketidakmelekatan.
  15. Tetapi di dalam uraian Dighanakha memperlihatkan ajaran Dhamma yang bersih. Semuanya itu adalah sebab untuk timbulnya sebab perhentian. Ketika ia melihat dan mencapai dan mengerti dan mendalami dhamma, ia menyeberangi yang tidak pasti, dengan suatu harapan memperoleh keberanian dan menjadi bebas dari yang lain di dalam pembebasan Sang Samana.
  16. Ia berkata: “Menakjubkan, Samana Gotama. Menakjubkan Samana Gotama. Dhamma telah dijelaskan dengan berbagai cara oleh Samana Gotama, ia bagaikan menegakkan yang telah rebah, memperlihatkan yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi orang yang sesat, membawa lampu di tempat yang gelap agar orang dapat melihat. Saya berlindung kepada Sang Gotama, Dhamma dan Sangha. Sejak hari ini, ingatlah saya sebagai upasaka yang telah berlindung kepada-Nya selama hidupku.