Selasa, 21 Februari 2012

KANDARAKA SUTTA

[339] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang terberkahi sedang berdiam di Campa di tepi Danau Gaggara dengan sekelompok besar Sangha bhikkhu. Pada waktu itu, Pessa – putra pawang gajah – dan Kandaraka si kelana pergi menghadap Yang Terberkahi. Setelah Pessa memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dia duduk di satu sisi.538 Kandaraka bertukar salam dengan Yang Terberkahi. Setelah percakapan yang sopan dan bersahabat ini selesai, Kandaraka berdiri di satu sisi. Sementara berdiri di sana, Kandaraka mengamati Sangha bhikkhu yang sedang duduk diam tanpa bicara sama sekali,539 dan kemudian dia berkata kepada Yang Terberkahi:
2. “Sungguh luar biasa, guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana Sangha bhikkhu telah dipimpin untuk mempraktekkan jalan yang benar oleh Guru Goatama. Para Yang Terberkahi di masa lampau, yang telah mantap dan tercerahkan di masa lampau, setidak-tidaknya akan memimpin Sangha bhikkhu untuk mempraktekkan jalan yang benar sebagaimana dilakukan oleh Guru Gotama sekarang. Dan Para Yang Terberkahi di masa mendatang, yang telah mantap dan tercerahkan di masa mendatang, setidak-tidaknya akan memimpin Sangha Bhikkhu untuk mempraktekkan jalan yang benar sebagaimana dilakukan oleh Guru Gotama sekarang.540
3. “Memang demikian, Kandaraka, memang demikian! Para Yang Terberkahi di masa lampau, yang telah mantap dan tercerahkan di masa lampau, setidak-tidaknya akan memimpin Sangha bhikkhu untuk mempraktekkan jalan yang benar sebagimana dilakukan olehku sekarang. Dan Para Yang Terberkahi di masa mendatang, yang telah mantap dan tercerahkan di masa mendatang, setidak-tidaknya akan memimpin Sangha bhikkhu untuk mempraktekkan jalan yang benar sebagaimana dilakukan olehku sekarang.
“Kandaraka, di dalam Sangha Bhikkhu ini ada bhikkhu-bhikkhu yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menaruh bebannya, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu dumadi, dan telah sepenuhnya terbebas melaluipengetahuan akhir. Di dalam Sangha bhikkhu ini, ada bhikkhu-bhikkhu di dalam pelatihan lebih tinggi, yang senantiasa menjaga keluhuran kesusilaan, menjalani kehidupan yang senantiasa bersusila, yang bijaksana, yang menjalani kehidupan yang senantiasa bijaksana. Mereka berdiam dengan pikiran yang telah mantap di dalam empat landasan kewaspadaan.541 Apakah yang empat itu? Di sini, Kandaraka, [340] seorang bhikkhu berdiam merenungkan tubuh sebagai tubuh, dengan tekun, sepenuhnya sadar, dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan untuk dunia. Dia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan, dengan tekun, sepenuhnya sadar, dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan untuk dunia. Dia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran, dengan tekun, sepenuhnya sadar, dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan untuk dunia. Dia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek-pikiran, dengan tekun, sepenuhnya sadar, dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan untuk dunia.”
4. Setelah hal itu dikatakan, pessa, putra pawang gajah, berkata: “Sungguh luar biasa, Yang Mulia, sungguh mengagumkan betapa baiknya empat landasan kewaspadaan telah dibabarkan oleh Yang Terberkahi: untuk pemurnian para makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratap tangis, untuk lenyapnya penderitaan dan kesedihan, untuk tercapainya jalan sejati, untuk realisasi Nibbana. Dari waktu ke waktu, Yang Mulia, kami-para umat yang berpakaian putih-juga berdiam dengan pikiran kami yang mantap di dalam empat landasan kewaspadaan ini.542 Di sini, Yang Mulia, kami berdiam merenungkan tubuh sebagai tubuh… perasaan sebagai perasaan …. Pikiran sebagai pikiran… objek-objek-pikiran sebagai objek-objek-pikiran, dengan tekun, sepenuhnya sadar, dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan untuk dunia. Sungguh luar biasa, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana di antara kekusutan, korupsi, dan penipuan manusia, Yang Terberkahi mengetahui kesejahteraan dan kerugian para makhluk. Manusia memang merupakan seonggok kekusutan, tidak seperti binatang yang cukup terbuka. Yang mulia saya dapat membuat gajah menjadi jinak, dan selama waktu yang dibutuhkan untuk bolak-balik di Campa, gajah itu akan menunjukkan setiap jenis penipuan, dua-muka, ketidak-jujuran, dan kecurangan [yang mampu ia lakukan].543 Tetapi mereka yang disebut budak kami, pesuruh kami, pembantu kami, berperilaku dengan satu cara dengan tubuhnya, dengan cara lain dengan ucapannya, sementara pikirannya bekerja dengan cara yang lain lagi. Sungguh luar biasa, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana di antara kekusutan, korupsi, dan penipuan manusia, Yang Terberkahi mengetahui kesejahteraan dan kerugian para makhluk. Manusia memang seonggok kekusutan, tidak seperti binatang yang cukup terbuka.”
5. “Memang demikian, Pessa, memang demikian! [341] Manusia memang seonggok kekusutan, tidak seperti binatang yang cukup terbuka. Pessa, ada empat jenis manusia yang terdapat didunia.544 Apakah yang empat itu? Di sini, satu jenis manusia menyengsarakan dirinya sendiri dan mengejar praktek menyiksa diri. Di sini, satu jenis manusia menyengsarakan makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain. Di sini, satu jenis manusia menyengsarakan dirinya sendiri dan mengejar praktek menyiksa diri, dia juga menyengsarakan makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain. Di Sini, satu jenis manusia tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau mengejar praktek menyiksa dirinya sendiri, dan dia tidak menyengsarakan makhluk lain atau mengejar praktek menyiksa makhluk lain. Dia tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau makhluk lain, sehingga di sini dan kini dia berada dalam keadaan tanpa-lapar, padam, dan dingin, dan dia berdiam mengalami sukacita, setelah dia sendiri menjadi suci.545 Yang mana dari empat jenis manusia ini yang memuaskan pikiranmu, Pessa?
“Tiga jenis pertama tidak memuasakan pikiran saya, Yang Mulia, tetapi jenis terakhir memuaskan pikiran saya.”
6. “Tetapi, Pessa, mengapa tiga jenis manusia yang pertama tidak memuaskan pikiranmu?”
“Yang Mulia, jenis manusia yang menyengsarakan dirinya sendiri dan mengejar praktek menyiksa diri itu menyengsarakan dan menyiksa dirinya sendiri – walaupun dia menginginkan kesenangan dan takut pada penderitaan; itulah sebabnya jenis manusia ini tidak memuaskan pikiran saya. Dan jenis manusia yang menyengsarakan makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain itu menyengsarakan dan menyiksa makhluk lain lain mengejar kesenangan dan takut pada penderitaan; itulah sebabnya jenis manusia ini tidak memuaskan pikiran saya. Dan jenis manusia yang menyengsarakan dirinya sendiri dan mengejar praktek menyiksa diri, dan yang juga menyengsarakan makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain itu menyengsarakan dan menyiksa dirinya sendiri serta makhluk lain, padahal keduanya menginginkan kesenangan dan takut pada penderitaan; itulah sebabnya jenis manusia ini tidak memuaskan pikiran saya.[342] Tetapi jenis manusia yang tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau mengejar praktek menyiksa dirinya sendiri, dan tidak menyengsarakan makhluk lain atau mengejar praktek menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau makhluk lain, sehingga di sini dan kini dia berada dalam keadaan tanpa-lapar, padam, dan dingin, dan dia berdiam mengalami sukacita, setelah dia sendiri menjadi suci itu – dia tidak menyengsarakan dan menyiksa dirinya sendiri atau makhluk lain, yang keduanya menginginkan kesenangan dan takut akan penderitaan. Itulah sebabnya jenis manusia ini memuaskan pikiran saya. Dan sekarang, Yang Mulia, kami mohon diri. Kami sedang sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”
“Sekaranglah waktunya, Pessa, untuk melakukan apa yang engkau pikir sesuai.”
Maka Pessa, putra pawang gajah, setelah merasa bersukacita dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi, bangkit dari tempat duduknya, dan memberi hormat kepada Yang Terberkahi. Sesudah itu, dengan menjaga agar Yang Terberkahi berada di sisi kanannya, dia pun pergi.
7. Segera setelah Pessa pergi, Yang Terberkahi menyapa para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu, Pessa, putra pawang gajah, memang bijaksana. Dia memiliki kebijaksanaan yang besar. Seandainya saja dia duduk sedikit lebih lama lagi sampai aku telah menjelaskan untuknya secara mendetil empat jenis manusia ini, sebenarnya dia bisa memperoleh manfaat yang besar. Namun, tetap saja dia sekarang sudah memperoleh manfaat sebagaimana adanya.546
“Inilah waktunya, Yang Terberkahi, inilah waktunya, Yang Maha Mulia, bagi Yang Terberkahi untuk menjelaskan secara mendetail empat jenis manusia ini. Setelah mendengarnya dari Yang Terberkahi, para bhikkhu akan mengingatnya.”
‘Kalau demikian, para bhikkhu, dengarkan dan perhatikan dengan seksama apa yang akan kukatakan.”
“Ya, Yang Mulia,” jawab para bhikkhu. Yang Terberkahi berkata demikian:
8. “Para bhikkhu, jenis manusia apa yang menyengsarakan dirinya dan mengejar praktek menyiksa diri?547 Di sini, seseorang telanjang ke mana-mana, menolak aturan, menjilati tangan-tangannya, tidak datang jika diundang, tidak berhenti jika diminta, dia tidak mau menerima makanan yang dibawa atau makanan yang khusus dibuat atau undangan jamuan makan; dia tidak mau menerima apa pun dari panci, dari mangkuk, melewati ambang pintu, melewati batang kayu, melewati alat penumbuk, dari dua orang yang makan bersama, dari wanita hamil, dari wanita menyusui, dari wanita yang berbaring dengan pria, dari tempat pembagian makanan yang diumumkan, dari tempat yang ditunggui anjing, dari tempat yang dikerumuni lalat; dia tidak menerima ikan atau daging, dia tidak minum minuman keras, minuman anggur, atau minuman yang beragi. Dia bertahan dengan satu rumah, satu potong; dia bertahan dengan dua rumah, dua potong;…dia bertahan dengan tujuh rumah, tujuh potong. Dia hidup dari satu cawan sehari, dua cawan sehari…tujuh cawan sehari; dia mengambil makanan satu kali sehari, satu kali setiap dua hari…satu kali setiap tujuh hari, dan seterusnya sampai satu kali setiap dua minggu; dia hidup mengejar praktek mengambil makanan pada interval tertentu. Dia adalah pemakan dedaunan atau padi-padian atau padi liar atau kupasan kulit atau lumut atau kulit padi atau sekam beras atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Dia hidup dari akar-akaran di hutan dan buah-buahan, dia makan buah-buahan yang jatuh. Dia mengenakan pakaian dari rami, dari kain bercampur-rami, dari kain kafan, dari kain buangan, dari kulit pohon, dari kulit kijang, dari potongan-potongan kulit kijang, dari tenunan rumput-kusa, dari tenunan kulit kayu, dari tenunan serutan kayu, dari wol rambut-kepala, dari wol binatang, dari sayap burung hantu. Dia adalah orang yang mencabuti rambut kepala dan jenggot, yang mengejar praktek mencabuti rambut kepala dan jenggot. Dia adalah orang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Dia adalah orang yang jongkok terus-menerus, membaktikan diri untuk mempertahankan posisi jongkok. Dia adalah orang yang menggunakan kasur dari paku; dia membuat kasur paku sebagai alas tidurnya. Dia berdiam mengejar praktek mandi berendam di dalam air tiga kali sehari termasuk di petang hari. Demikianlah variasi cara-cara hidupnya dengan mengejar praktek menyengsarakan dan mempermalukan tubuh. Inilah yang disebut jenis manusia yang menyengsarakan dirinya dan mengejar praktek menyiksa diri.
9. “Jenis manusia apa, para bhikkhu, yang menyengsarakan makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain? Di sini, seseorang adalah penjagal kambing, penjagal babi, pembunuh unggas, penjebak binatang buas, pemburu, nelayan, pencuri, algojo, sipir penjara, atau orang yang mempunyai pekerjaan berdarah seperti itu. Inilah yang disebut jenis manusia yang menyengsarakan makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain.
10. “Jenis manusia apa, para bhikkhu, yang menyengsarakan dirinya sendiri dan mengejar praktek menyiksa diri, serta juga menyiksa makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain? Di sini, seseorang adalah seorang raja mulia yang diminyaki kepalanya atau seorang brahmana yang berkecukupan. Setelah membangun kuil baru untuk korban di timur kota, dan setelah mencukur rambut dan jenggotnya, mengenakan pakaian dari kulit yang kasar, dan meminyaki badannya dengan ghee dan minyak, menggaruk punggungnya dengan tanduk rusa, kemudian dia masuk ke kuil korban bersama dengan permaisuri utamanya dan brahmana pendeta tingginya. Di sana, dia berbaring di tanah kosong yang dilapisi rumput. Raja hidup dari susu yang keluar dari puting susu pertama seekor lembu yang anaknya berwarna sama, [344] sedangkan permaisuri utamanya hidup dari susu dari puting kedua, dan brahmana pendeta tinggi hidup dari susu di puting ketiga; susu dari puting keempat mereka tuangkan ke api, dan anak sapi itu hidup dari sisanya. Dia berkata demikian:’Biarlah sekian banyak sapi disembelih untuk korban, biarlah sekian banyak sapi jantan disembelih untuk korban, biarlah sekian banyak sapi muda disembelih untuk korban, biarlah sekian banyak kambing disembelih untuk korban, biarlah sekian banyak domba disembelih untuk korban, biarlah sekian banyak pohon ditebang untuk tiang-tiang korban, biarlah sekian banyak rumput dipotong untuk rumput korban.’ Dan kemudian para budak, persuruh, dan pembantunya melakukan persiapan, dengan wajah penuh air mata, dipacu oleh ancaman-ancaman hukuman dan oleh rasa takut. Inilah yang disebut jenis manusia yang menyengsarakan dirinya sendiri dan mengejar praktek menyiksa diri, serta juga menyiksa makhluk lain dan mengejar praktek menyiksa makhluk lain.
11. “Jenis manusia apa, para bhikkhu, yang tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau mengejar praktek menyiksa diri, serta juga tidak menyiksa makhluk lain atau mengejar praktek menyiksa makhluk lain-jenis manusia yang tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau makhluk lain, sehingga di sini dan kini dia berada dalam keadaan tanpa-lapar, padam, dan dingin, dan dia berdiam mengalami sukacita, setelah dia sendiri menjadi suci?549
12. Di sini, para bhikkhu, seorang Tathagata muncul di dunia, mantap, sepenuhnya tercerahkan, sempurna di dalam pengetahuan dan perilaku sejati, maha mulia, pengenal dunia-dunia, pemimpin yang tiada-bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, yang tercerahkan, yang terberkahi. Beliau menyatakan dunia ini beserta para dewa, Mara, dan Brahmanya, generasi ini dengan para petapa dan brahmananya, pangeran dan rakyatnya, yang telah direalisasikannya sendiri melalui pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhir, dengan makna dan ungkapan yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang sepenuhnya sempurna dan murni.
13. “Seorang perumah-tangga atau putra perumah-tangga atau orang yang terlahir di suku lain mendengar Dhamma itu. Ketika mendengar Dhamma, dia memperoleh keyakinan pada Tathagata. Karena memiliki keyakinan itu, dia mempertimbangkan demikian: ‘Kehidupan rumah-tangga sungguh penuh sesak dan berdebu; kehidupan meninggalkan duniawi sungguh terbuka lebar. Tidaklah mudah, sementara tinggal di sebuah rumah, untuk menjalani kehidupan suci yang sepenuhnya sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang dipoles. Sebaiknya aku mencukur rambut dan jenggotku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah-tangga menuju kehidupan tak-berumah.’ Pada saat berikutnya, dengan meninggalkan harta yang sedikit atau banyak, [345] meninggalkan lingkungan keluarga yang kecil atau besar, dia mencukur rambut dan jenggotnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah-tangga menuju kehidupan tak-berumah.
14. “Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki pelatihan dan cara hidup kebhikkhuan, dengan meninggalkan perbuatan membunuh makhluk hidup, dia menjauhi perbuatan membunuh makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata yang disingkirkan, dengan lembut dan baik hati, dia hidup berbelas-kasih pada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, dia menjauhi perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; karena mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri, dia berdiam di dalam kemurnian. Dengan meninggalkan kehidupan seks, dia menjalani kehidupan selibat, hidup terpisah, menjauhi praktek kasar hubungan seks.
“Dengan meninggalkan perbuatan berucap salah, dia menjauhi perbuatan berucap salah; dia berucap kebenaran, setia pada kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, orang yang bukan penipu dunia. Dengan meninggalkan ucapan dengki, dia menjauhi perbuatan berucap dengki; dia tidak mengulang di tempat lain apa yang telah didengarkannya di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, dan dia tidak mengulang pada orang-orang ini apa yang telah didengarnya di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah dia menyatukan mereka yang terpecah-belah, merupakan pendukung persahabatan, yang senang kerukunan, bergembira dengan kerukunan, bersukacita dalam kerukunan, pembicara kata-kata yang mendukung kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan yang kasar, dia menjauhi perbuatan berucap kasar, dia mengucapkan kata-kata yang lembut, enak didengar, dan disukai, yang masuk ke hati, sopan, diinginkan orang banyak, dan menyenangkan bagi orang banyak. Dengan meninggalkan gossip, dia menjauhi gossip; dia berbicara pada waktu yang tepat, mengucapkan apa yang merupakan fakta, berbicara mengenai apa yang baik, berbicara mengenai Dhamma dan Vinaya; pada waktu yang tepat dia mengucapkan kata-kata yang pantas dicatat, masuk akal, layak, dan bermanfaat.
“Dia menjauhi perbuatan menyakiti benih dan tanaman. Dia berlatih makan hanya di satu bagian hari, menjauhi perbuatan makan di malam hari dan di luar waktu yang tepat. Dia menjauhi perbuatan menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan teater. Dia menjauhi perbuatan mengenakan karangan bunga, berdandan dengan minyak wangi, dan menghias diri dengan berbagai krim. Dia menjauhi diri dari dipan yang tinggi dan besar. Dia tidak menerima emas dan perak. Dia tidak menerima biji-bijian mentah. Dia tidak menerima daging mentah. Dia tidak menerima perempuan dan gadis. Dia tidak menerima budak laki-laki dan budak perempuan. Dia tidak menerima domba dan kambing. Dia tidak menerima unggas dan babi. Dia tidak menerima gajah, ternak, kuda jantan, dan kuda betina. Dia tidak menerima ladang dan tanah. Dia tidak pergi karena disuruh dan mengantar pesan; dia tidak membeli dan menjual. Dia menjauh dari bobot yang palsu, logam palsu, dan ukuran yang salah. [346] Dia tidak menipu, mencurangi, menggelapkan, dan memperdaya. Dia tidak melukai, mmbunuh, mengikat, merampok, merampas, dan melakukan tindakan kekerasan.
15. “Dia berpuas hati dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk mempertahankan perutnya, dan ke mana pun dia pergi, dia berangkat dengan membawa hanya benda-benda ini. Sama seperti burung, ke mana pun pergi, ia terbang dengan sayapnya sebagai satu-satunya beban, demikian pula, bhikkhu itu berpuas hati dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk mempertahankan perutnya, dan ke mana pun pergi, dia berangkat dengan membawa hanya benda-benda ini. Memiliki kelompok keluhuran yang mulia ini, dia mengalami di dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tak-tercela.
16. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, dia tidak menggenggam pada tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena jika dia membiarkan kemampuan matanya tidak terjaga, keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yaitu ketamakan dan kesedihan mungkin menyerangnya, maka dia mempraktekkan cara penegndaliannya, dia menjaga kemampuan mata, dia menjalankan pengendalian kemampuan mata. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga… Ketika mencium suatu bau dengan hidung …Ketika mengecap suatu citarasa dengan lidah….Ketika menyentuh suatu benda dengn tubuh … Ketika mengkognisi objek-pikiran dengan pikiran, dia tidak menggenggam pada tanda-tanda dan cirri-cirinya. Karena jika dia membiarkan kemampuan pikirannya tidak terjaga, keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yaitu ketamakan dan kesedihan mungkin menyerangnya, maka dia mempraktekkan cara pengendaliannya, dia menjaga kemampuan pikiran, dia menjalankan pengendalian kemampuan pikiran. Memiliki pengendalian agung terhadap kemampuan-kemampuan ini, dia mengalami di dalam dirinya kebahagiaan yang tanpa-cacat.
17. “Dia menjadi orang yang bertindak di dalam kesadaran penuh ketika pergi dan kembali; yang bertindak di dalam kesadaran penuh ketika memandang ke depan dan memandang ke samping; yang bertindak di dalam kesadaran penuh ketika menekuk dan meluruskan kaki-tangannya; yang bertindak di dalam ksadaran penuh ketika mengenakan jubah-jubahnya dan membawa jubah luar serta mangkuknya; yang bertindak di dalam kesadaran penuh ketika sedang makan, minum, mengkonsumsi makanan, dan mencicipi; yang bertindak di dalam kesadaran penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak di dalam kesadaran penuh ketika sedang berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan diam.
18. “Dengan memiliki kelompok keluhuran yang mulia ini, dan pengendalian kemampuan yang mulia ini, dan memiliki kewaspadaan yang mulia serta kesadaran yang penuh ini, dia pergi ke tempat istirahat yang terpencil: hutan, akar pohon, gunung, jurang, gua di sisi bukit, tempat pembakaran mayat, semak hutan, ruang terbuka, tumpukan jerami.
19. “Ketika dari mengumpulkan dana makanan, setelah makan dia pun duduk, mel;ipat kakinya bersila, menjaga tubuhnya tegak, dan memantapkan kewaspadaan di depannya. [347] Dengan meninggalkan keserakahan terhadap dunia, dia berdiam dengan pikiran yang bebas dari keserakahan; dia memurnikan pikirannya dari keserakahan. Dengan meninggalkan niat jahat dan kebencian, dia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat jahat, dengan belas-kasih untuk kesejahteraan semua makhluk hidup; dia memurnikan pikirannya dari niat jahat dan kebencian. Dengan meninggalkan kemalasan dan kelambanan, dia berdiam bebas dari kemalasan dan kelambanan, cepat menerima sinar, waspada dan sepenuhnya sadar; dia memurnikan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, dia berdiam tidak gelisah dengan pikiran ke dalam yang damai; dia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keraguan, dia berdiam setelah melampaui keraguan, tidak bingung tentang keadaan-keadaan yang bajik; dia memurnikan pikirannya dari keraguan.
20. “Setelah demikian meninggalkan lima rintangan ini – yaitu, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan- maka dengan sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, dia masuk dab berdiam di dalam jhana pertama, yang dibarengi pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian.
21. “Begitu pula, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana kedua, yang memiliki keyakinan serta kemanunggalan pikiran tanpa pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi.
22. “Begitu pula, dengan juga melemahkan kegiuran, dia berdiam di dalam ketenang-seimbangan, dan dengan waspada serta sepenuhnya sadar, masih merasakan kesenangan dengan tubuh, dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga, yang oleh para agung dinyatakan: ‘Dia memiliki kediaman yang menyenangkan karena memiliki ketenang-seimbangan dan tetap waspada.’
23 “Begitu pula, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan, dan dengan telah lenyapnya sukacita dan kesedihan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana keempat, yang memiliki bukan-penderitaan-pun-bukan-kesenangan dan kemurnian kewaspadaan yang disebabkan oleh ketenang-seimbangan.
24. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah demikian dimurnikan, terang, tak-ternoda, bebas dari ketidak-sempurnaan, dapat diolah, lenter, mantap, dan mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang ingatan akan kehidupan-kehidupan lampaunya. Dia mengingat berbagai kehidupan di masa lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, berkalpa-kalpa pengerutan dunia, berkalpa-kalpa pengembangan dunia, berkalpa-kalpa pengerutan-dunia dan pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan seperti ini, seperti itulah makananku, seperti itulah pengalaman kesenangan dan penderitaanku, demikianlah masa-hidupku; dan setelah lenyap dari sana, aku muncul di tempat lain; dan di sana juga aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan seperti ini, seperti itulah makananku, seperti itulah pengalaman kesenangan dan penderitaanku, [348] demikianlah masa-kehidupanku; dan setelah lenyap dari sana, aku muncul lagi di sini.’ Demikianlah, bersama dengan berbagai aspek dan cirri khasnya, dia mengingat berbagai kehidupan masa lampaunya.
25. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah dimurnikan demikian, terang tak-ternoda, bebas dari ketidak-sempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap, dan mencapai keadaan tak terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang lenyap dan muncul kembalinya para makhluk. Dengan mata dewanya, yang termurnikan dan melampaui manusia, diamelijhat para makhluk lenyap dan muncul kembali, rendah dan tinggi, elok dan buruk rupa, beruntung dan sial. Dia memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka demikian: ‘Makhluk-makhluk berharga ini – yang berperilaku buruk lewat tubuh, ucapan, dan pikiran, penghina manusia-manusia agung, berpandangan salah, memberikan dampak pada pandangan salah di dalam tindakan mereka – ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, kemudian muncul kembali di dalam keadaan kekurangan, di tempat tujuan yang tidak bahagia, di dalam penderitaan berkepanjangan, bahkan di neraka; tetapi makhluk-makhluk berharga ini – yang berperilaku baik lewat tubuh, ucapan, dan pikiran, bukan penghina manusia-manusia agung, berpandangan benar, memberikan dampak pada pandangan benar di dalam tindakan mereka – ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, kemudian, muncul kembali di tempat yang baik, bahkan di alam surgawi.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang termurnikan dan melampaui manusia, dia melihat para makhluk lenyap dan muncul kembali, rendah dan tinggi, elok dan buruk rupa, beruntung dan sial, dan dia memahami bagaimana makhluk-makhluk ini berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka.
26 “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah dimurnikan demikian, terang, tak-ternoda, bebas dari ketidak-sempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda. Secara langsung dia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan: ‘Inilah penderitaan’; secara langsung dia mngetahui sebagaimana adanya; ‘Inilah asal mula penderitaan’; secara langsung dia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah berhentinya penderitaan’; secara langsung dia mengetahui sebagimana adanya: ‘Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan.’ Secara langsung dia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah noda-noda’; secara langsung dia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah asal mula noda-noda’; secara langsung dia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah berhentinya noda-noda’; secara langsung dia mengetahui sebagimana adanya: ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda.’
27 “Ketika dia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda nafsu indera, dari noda dumadi, dan dari noda kebodohan batin. Ketika pikiran itu terbebas, muncullah pengetahuan:’Pikiran ini terbebas.’ Dia memahami: ‘Kelahiran telah hancur, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak ada lagi kemunculan di alam mana pun juga.’
28 “Inilah, para bhikkhu, yang disebut jenis manusia yang tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau mengejar praktek menyiksa diri, serta juga tidak menyiksa makhluk lain atau mengejar praktek menyiksa makhluk lain [349] – jenis manusia yang tidak menyengsarakan dirinya sendiri atau makhluk lain, sehingga di sini dan kini dia berada dalam keadaan tanpa-lapar, padam, dan dingin, dan dia berdiam mengalami sukacita, setelah dia sendiri menjadi suci.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan :
(538) Dari perbedaan dalam cara mereka menyapa Sang Buddha, jelaslah bahwa Pessa adalah pengikut Sang Buddha, sedangkan Kandaraka – walaupun hormat dan kagum – termasuk komunitas agama yang lain.
(539) MA: Karena rasa hormat kepada Sang Buddha dan karena pelatihan mereka, para bhikkhu tidak berbicara satu sama lain, bahkan mereka tidak juga berdehem. Tidak bergerak tubuhnya, tidak terganggu pikirannya, mereka duduk mengelilingi Yang Terberkahi bagaikan awan-awan kemerahan mengelilingi puncak Gunung Sineru. Kandaraka pasti secara diam-diam membandingkan kelompok para bhikkhu ini dengan kelompok kelana sebagaimana dijelaskan di MN 76.4.
(540) MA menjelaskan bahwa Kandaraka tidak memiliki pengetahuan langsung tentang para Buddha di masa lampau dan masa depan. Dia membuat pernyataan ini sebagai cara untuk mengungkapkan kekagumannya kepada Sangha para bhikkhu yang terlatih baik, disiplin, dan tenang. Sebaliknya Sang Buddha menegaskan hal ini dengan dasar pengetahuan langsung.
(541) MA: Empat landasan kewaspadaan dikemukakan untuk menunjukkan penyebab bagi pembawaan Sangha yang tenang dan hening itu. Mengenai landasan kewaspadaan, lihat MN 10.
(542) MA memberikan catatan tambahan: “Kami juga – bila memperoleh kesempatan – dari waktu ke waktu memperhatikan hal ini; kami juga praktisi; kami tidak sepenuhnya mengabaikan meditasi.”
(543) Pokok pernyataan ini adalah bahwa kelicikan dan tipu muslihat binatang amat terbatas, sedangkan kelicikan dan tipu muslihat manusia tak ada habisnya.
(544) MA menjelaskan bahwa bacaan ini diperkenalkan sebagai lanjutan pernyataan Pessa bahwa Yang Terberkahi mengetahui kesejahteraan dan kerugian para makhluk; karena Sang Buddha menunjukkan bahwa tiga jenis manusia pertama berlatih dengan cara yang merugikan, sedangkan yang keempat berlatih dengan cara yang bermanfaat. Bacaan ini juga dapat dihubungkan dengan pujian Kandaraka bagi Sangha; karena Sang Buddha akan menunjukkan tiga cara yang tidak digunakan oleh Beliau untuk melatih Sangha dan satu cara yang digunakan oleh semua Buddha di masa-lalu, masa-kini dan masa-depan untuk melatih sangha mereka.
(545) Sukhapatisamvedi brahmabhutena attana. MA: Beliau mengalami kebahagiaan jhan-jhana, jalan-jalan, buah-buah, dan Nibbana. “Brahma” di sini harus dipahami dalam pengertian suci atau unggul (settha).
(546) MA: Pessa sebetulnya bisa mencapai buah Pemasuk-Arus, tetapi dia bangkit dari tempat duduknya dan pergi sebelum Sang Buddha melengkapi khotbahnya. Manfaat-manfaat yang telah dia terima ada dua: dia memperoleh keyakinan yang lebih besar pada Sangha, dan dia membangkitkan metode baru untuk memahami landasan-landasan kewaspadaan.
(547) Bacaan ini memerinci praktek-praktek petapaan amat keras yang dijalankan oleh banyak petapa pada zaman Sang Buddha, dan juga oleh Bodhisatta sendiri selama masa perjuangannya untuk pencerahan. Lihat MN 12.45.
(548) Bacaan ini menunjukkan praktek orang yang menyiksa diri dengan harapan memperoleh jasa kebajikan dan kemudian memberikan kurban yang melibatkan penyembelihan banyak binatang dan penindasan terhadap para pekerjanya.
(549) Ini adalah Arahat. Untuk menunjukkan dengan jelas bahwa Beliau tidak menyiksa diri maupun makhluk lain, Sang Buddha kemudian menjelaskan jalan praktek yang membuat beliau mencapai tingkat Arahat.