Selasa, 21 Februari 2012

MAHA-ASSAPURA SUTTA

1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri Anga di kota suku Anga yang bernama Assapura. Di sana Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.” –“ Yang Mulia Bhante,”jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian :
2. ‘”Para petapa, para petapa,’ para bhikkhu, demikian orang-orang melihat kalian. Dan ketika kalian ditanya, “Engkau ini apa?” kalian menyatakan bahwa kalian adalah petapa Karena kalian ditandai dengan itu dan itu pula yang kalian nyatakan, kalian harus berlatih demikian: ‘Kami akan menjalankan dan mempraktekkan hal-hal yang membuat seseorang menjadi petapa, yang membuat seseorang menjadi brahmana,”415‘ agar penandaan-penandaan itu bisa menjadi benar dan pemyataan-pemyataan kami murni, dan agar pelayanan-pelayanan dari mereka -yang memberikan jubah, dana makanan, tempat beristirahat, dan kebutuhan obat-obatan untuk kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat yang besar bagi mereka, dan agar tindakan kami meninggalkan keduniawian ini tidak akan sia-sia melainkan berbuah dan subur.’
(PERILAKU DAN PENGHIDUPAN)
3. “Dan para bhikkhu, apakah hal-hal yang membuat seseorang menjadi petapa, apakah yang membuat seseorang menjadi brahmana? Para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih demikian: ‘Kami akan memiliki malu dan takut akan tindakan salah.’416 Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian: ‘Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah. Itu saja sudah cukup, itu saja sudah dilakukan, tujuan kepetapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, aku beritahukan kepada kalian, aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.417
4. “Apa lagi yang harus dilakukan? [272] Para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih demikian: ‘Perilaku tubuh kami harus dimurnikan, jelas dan terbuka, tanpa-cacat dan terkendali, dan kami tidak akan menyombongkan diri dan merendahkan orang lain karena perilaku tubuh yang termurnikan itu.’Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian: ‘Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, dan perilaku tubuh kami telah dimurnikan. Itu saja cukup, itu saja telah dilakukan, tujuan menjadi petapa telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
5. “Apa lagi yang masih harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih demikian: ‘Perilaku ucapan kami harus dimurnikan, jelas dan terbuka, tanpa-cacat dan terkendali, dan kami tidak akan menyombongkan diri dan merendahkan orang lain karena perilaku ucapan yang dimurnikan itu.’ Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian:’Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani kami telah dimurnikan, dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan. ltu saja sudah cukup…’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
6. “Apa lagi yang masih harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih demikian: ‘Perilaku mental kami harus dimurnikan, jelas dan terbuka, tanpa-cacat dan terkendali, dan kami tidak akan menyombongkan diri dan merendahkan orang lain karena perilaku mental yang dimurnikan itu. ‘Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian:’Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani kami dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan, perilaku mental kami telah dimurnikan. ltu saja sudah cukup…’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gaga] mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
7. “Apalagi yang masih harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih demikian: ‘Penghidupan kami harus dimurnikan, jelas dan terbuka, tanpa-cacat dan terkendali, dan kami tidak akan menyombongkan diri dan merendahkan orang lain karena penghidupan yang dimurnikan itu.’ Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian:’Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani kami, perilaku ucapan kami, dan perilaku mental kami telah dimurnikan, dan penghidupan kami telah dimumikan. [273] ltu saja sudah cukup…’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
(PENGENDALIAN INDERA)
8 “Apa lagi yang masih harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harusberlatih demikian: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu kemampuan indera kami. Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, kami tidak akan menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena jika kami membiarkan kemampuan mata tak terjaga, keadaan-keadaan ketamakan yang jahat dan tak-bajik serta kesedihan bisa menyerang kami, maka kami akan mempraktekkan cara untuk pengendaliannya, kami akan menjaga kemampuan mata, kami akan menjalankan pengendalian kemampuan mata. Ketika mendengar suara dengan telinga … Ketika mencium bebauan dengan hidung …Ketika mencicipi citarasa dengan lidah … Ketika menyentuh benda nyata dengan tubuh … Ketika mengkognisi objek-pikiran dengan pikiran, kami tidak akan menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena jika kami membiarkan kemampuan pikiran tak terjaga, keadaan-keadaan ketamakan yang jahat dan tak-bajik serta kesedihan bisa menyerang kami, maka kami akan mempraktekkan cara pengendaliannya, kami akan menjaga kemampuan pikiran, kami akan menjalankan pengendalian kemampuan pikiran.’Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian:’Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani kami, perilaku ucapan kami, perilaku mental kami, dan penghidupan kami telah dimurnikan, dan kami menjaga pintu-pintu kemampuan indera kami. ltu saja sudah cukup …’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa’, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
(MAKAN SECARA MADYA)
9. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih demikian: ‘Kami akan makan secara madya. Dengan merenungkan secara bijaksana, kami akan mengambil makanan bukan untuk kesenangan dan bukan untuk kemabukan dan bukan demi keelokan dan daya tarik jasmani, melainkan hanya untuk bertahan dan berlangsungnya tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan dan untuk membantu kehidupan suci, dengan mempertimbangkan demikian: “Demikian saya akan menghentikan perasaan-perasaan lama tanpa menimbulkan perasaan-perasaan baru, dan saya akan sehat dan tanpa cela dan akan hidup di dalam kenyamanan.”‘Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian: ‘Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani, perilaku ucapan, perilaku mental, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu kemampuan indera kami, dan kami makan secara madya. ltu saja sudah cukup ….’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan
(KETERJAGAAN)
10. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih demikian: ‘Kami akan membaktikan diri untuk keterjagaan. Selama siang hari, sementara berjalan ke sana dan kemari dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari keadaan-keadaan yang menghalangi. Di waktu jaga pertama malam hari, [274] sementara berjalan ke sana dan kemari dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari keadaan-keadaan yang menghalangi. Di waktu jaga tengah malam hari, kami akan berbaring pada sisi kanan dengan sikap singa dengan satu kaki menumpang kaki satunya, waspada dan sepenuhnya sadar, setelah mencatat di pikiran kapan waktu bangkit. Setelah bangkit, di waktu jaga ketiga malam hari, sementara berjalan ke sana dan kemari dan duduk, kami akan rnemurnikan pikiran kami dari keadaan-keadaan yang menghalangi.’ Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian: ‘Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani kami, perilaku mental kami, perilaku ucapan kami, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu kemampuan indera kami, kami makan secara madya, dan kami membaktikan diri untuk keterjagaan. ltu saja sudah cukup…’; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
(KEWASPADAAN DAN KESADARAN PENUH)
11. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkkhu, kalian harus berlatih demikian: ‘Kami akan memiliki kewaspadaan dan kesadaran penuh. Kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika berjalan maju dan kembali; kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika memandang ke depan dan memandang ke samping; kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika menekuk dan meregangkan tangan kaki kami; kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika mengenakan jubah kami dan membawa jubah luar serta mangkuk kami; kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika makan, minum, menyantap makanan, dan mencicipinya; kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika buang air besar dan buang air keeil; kami akan bertindak di dalam kesadaran penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun, berbicara, dan diam.’Nah, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir demikian: ‘Kami memiliki malu dan takut akan tindakan salah, perilaku jasmani kami, perilaku ucapan kami, perilaku mental kami, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu kemampuan indera kami, kami makan secara madya, kami membaktikan diri untuk keterjagaan, dan kami memiliki kewaspadaan dan kesadaran penuh. ltu saja sudah cukup, sebanyak itu telah dilakukan, tujuan menjadi petapa telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami kerjakan; dan kalian mungkin beristirahat, merasa puas dengan itu saja. Para bhikkhu, kuberitahukan kepada kalian, kunyatakan kepada kalian kalian yang mencari status petapa, jangan gagal mencapai tujuan menjadi petapa sementara masih ada lagi yang harus dilakukan.
( MENINGGALKAN PENGHALANG-PENGHALANG)
12. “Apa lagi yang masIh harus dilakukan? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu pergi ke suatu tempat beristirahat yarig terpencil: hutan, akar pohon, gunung, celah, goa di sisi bukit, tempat pemakaman, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.
13. “Ketika kembali dari mengumpulkan dana makanan, setelah makan dia duduk, melipat kakinya bersila, menegakkan tubuhnya dan membangkitkan kewaspadaan di hadapannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, dia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; dia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat jahat dan kebencian, dia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat jahat, dipenuhi cinta kash untuk kesejahteraan semua makhluk hidup; [275] dia memurnikan pikirannya dari niat jahat dan kebencian. Dengan meninggalkan kemalasan dan kelambanan, dia berdiam bebas dari kemalasan dan kelambanan, cepat melihat sinar, waspada dan sepenuhnya sadar; dia memurnikan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan meninggalkan keresahan dan penyesalan, dia berdiam tidak gelisah dengan pikiran yang damai di dalamnya; dia memurnikan pikirannya dari keresahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keraguan, dia berdiam karena telah pergi meninggalkan keraguan, tidak bingung tentang keadaan-keadaan yang bajik; dia memurnikan pikirannya dari keraguan.
14. “Para bhikkhu, seandainya saja ada orang yang harus minta pinjaman uang dan menjalankan suatu usaha, dan usahanya harus sukses agar dia dapat mengembalikan semua uang yang merupakan hutang lamanya dan agar masih ada sisa yang cukup untuk menghidupi seorang istri; maka ketika mempertimbangkan hal ini, dia merasa gembira dan penuh sukacita. Atau seandainya ada orang yang terserang penyakit, dia menderita dan sakit parah, dan makanannya tidak sesuai dengannya dan tubuhnya tidak memiliki kekuatan. Tetapi kemudian dia sembuh dari penyakitnya dan makanannya sesuai dengan dia dan tubuhnya memperoleh kekuatan kembali; maka ketika mempertimbangkan hal ini, dia merasa gembira dan penut sukacita. Atau seandainya ada orang yang dikurung di penjara tetapi kemudian dia akan dilepaskan dari penjara, aman dan terjamm, dan tidak kehilangan hartanya; maka ketika mempertimbangkan hal ini, dia merasa gembira dan penuh sukacita. Atau seandainya ada budak yang tidak-bebas melainkan bergantung pada orang-orang lain, tidak bisa pergi ke mana dia mau, tetapi kemudian dia akan dilepaskan dari perbudakan, bergantung pada diri sendiri, mandiri dari orang-orang lain. orang bebas yang bisa pergi ke mana dia mau; maka ketika mempertimbangkan hal ini, [276] dia merasa gembira dan penuh sukacita. Atau seandainya ada orang dengan kekayaan dan harta benda harus masuk ke jalan menyeberang gurun pasir, tetapi kemudian dia dapat menyeberangi gurun pasir dengan selamat dan aman, tidak kehilangan hartanya; maka
ketika mempertimbangkan hal ini, dia akan merasa gembira dan penuh sukacita. Demikian pula para bhikkhu, ketika lima penghalang ini belum ditinggalkan dari dirinya, seorang bhikkhu melihat penghalang-penghalang itu masing-masing sebagai hutang, penyakit, penjara, perbudakan, dan jalan menyeberang gurun, tetapi ketika lima penghalang ini telah ditinggalkan pada dirinya, dia melihat hal itu sebagai kebebasan dari hutang, kesehatan, bebas dari penjara, bebas dari perbudakan, dan daratan yang aman.418
(EMPAT JHANA)
15. “Sesudah meninggalkan lima penghalang ini, ketidak sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, benar-benar terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, dia masuk dan berdiam di jhana pertama, yang dibarengi oleh buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian. Dia membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian itu membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak dirembesi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian. Sebagaimana seorang ahli mandi yang terampil atau seorang cantrik ahli mandi menggundukkan serbuk mandi di wadah logam dan memercikinya secara bertahap dengan air, lalu mengulinya sampai kelembabannya membasahi bola serbuk mandi itu, merendamnya, dan merembesinya di dalam dan di luar, tetapi bola itu sendiri tidak larut; begitu juga seorang bhikkhu membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian itu membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak dirembesi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian.
16. “Sekali lagi, para bhikkhu, dengan berhentinya buah-pikir pernicu dan buah-pikir yang bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di jhana kedua, yang memiliki keyakinan dan kernanunggalan pikiran tanpa buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi. Dia membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi itu membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak dirembesi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi. Sebagaimana seolah-olah ada sebuah danau yang airnya meluap dari bawah [277] dan danau itu tidak merniliki masukan air dari timur, barat, utara, selatan, dan tidak akan terisi dari waktu ke waktu oleh siraman air hujan, maka sumber air sejuk yang keluar di danau itu akan membuat air sejuknya membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi danau itu, sehingga tidak ada bagian dari seluruh danau itu yang tidak dirembesi oleh air sejuk itu; demikian juga, seorang bhikkhu membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi membasahi, merendam, memenuhi, dan meremhesi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari tubuh ini yang tidak dirembesi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi itu.
17. “Sekali lagi, para bhikkhu, dengan melemahnya kegiuran, seorang bhikkhu berdiam di dalam ketenang-seimbangan. Dan dengan waspada serta sepenuhnya sadar, masih merasakan kesenangan dengan tubuh, dia masuk dan berdiam di jhana ketiga, yang menyebabkan manusia-manusia agung mengungkapkan: ‘Dia memiliki kediaman yang menyenangkan bila memiliki ketenang-seimbangan dan tetap waspada. ‘Dia membuat kesenangan yang terlepas dari kegiuran itu membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak dirembesi oleh kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran. Sebagaimana di sebuah kolam teratai biru, teratai merah, teratai putih, beberapa teratai yang terlahir dan tumbuh di dalam air itu hidup terendam di dalam air tanpa keluar darinya dan air yang sejuk itu membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi teratai-teratai itu sampai ke ujung-ujung serta akar-akarnya sehingga tidak ada bagian daril seluruh teratai itu yang tidak dirembesi oleh air sejuk itu; demikian juga, seorang bhikkhu rnembuat kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran itu membasahi, merendam, memenuhi, dan merembesi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak dirembesi oleh kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran.
18. Sekali lagi, para bhikkhu, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan, dan dengan telah lenyapnya sukacita dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di jhana keempat, yang memiliki bukan-penderitaan-pun-bukan kesenangan dan kemurnian kewaspadaan yang disebabkan oleh ketenang-seimbangan. Dia duduk merembesi tubuh ini, dengan pikiran yang terang serta murni, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak dirembesi oleh pikiran yang terang dan mumi itu. Sebagaimana seolah-olah seseorang sedang duduk, dan kepala ke bawah tertutup kain putih, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya [278] yang tidak dilingkupi oleh kain putih itu; demikian juga, seorang bhikkhu duduk merembesi tubuh ini dengan pikiran yang terang dan murni sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak dirembesi oleh pikiran yang terang dan murni.
(TIGA PENGETAHUAN SEJATI)
19. Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak-ternoda, bebas dari ketidak-sempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap, dan mencapai
Keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang ingatan pada kehidupan-kehidupan lampau. Dia mengingat berbagai kehidupannya di masa lampau, yaitu satu kelahiran … dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27            )…. Demikianlah, bersama dengan berbagai aspek dan ciri khasnya, dia mengingat berbagai kehidupannya di masa lampau. Sebagaimana seseorang yang mungkin pergi dari desanya sendiri ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya sendiri, dia mungkin berpikir: ‘Aku pergi dari desaku sendiri ke desa itu, dan di sana aku berdiri dengan cara demikian, duduk dengan cara demikian, berbicara dengan cara demikian, tetap diam dengan cara demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana aku berdiri dengan cara dengan cara demikian, berbicara dengan cara demikian, tetap diam dengan cara demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku sendiri.’ Demikian juga, seorang bhikkhu mengingat berbagai kehidupannya di masa lampau …Demikianlah, bersama dengan berbagai aspek dan cirri khasnya, dia mengingat berbagai kehidupannya di masa lampau.
20. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak-ternoda, bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap, dan mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang lenyap dan muncul kembalinya para makhluk … (seperti Sutta 4, §29) [279] … Dernikianlah dengan rnata dewa, yang telah termurnikan dan melampaui manusia, dia melihat para makhluk lenyap dan muncul kembali, rendah dan tinggi, elok dan buruk rupa, beruntung dan sial, dan dia memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka. Sebagaimana seolah-olah ada dua rumah berpintu dan ada seorang yang baik penglihatannya berdiri di sana di antara rumah itu melihat orang-orang masuk ke rumah-rumah itu dan keluar serta lewat lalu lalang, demikian juga dengan mata dewanya yang telah termurnikan dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat para makhluk lenyap dan muncul kembali … dan dia memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka.
21. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak-ternoda, bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap, dan mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancumya noda-noda. Dia memahami sebagaimana adanya: Inilah penderitaan’; … Inilah asal mula Penderitaan’; … Inilah berhentinya penderitaan’; … Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan’; ..Anilah noda-noda’; … Inilah asal mula noda-noda’;…’inilah berhentinya noda-noda’; …Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda.’
“Ketika dia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda nafsu indera, dari noda dumadi, dan dari noda kebodohan batin. Ketika pikiran itu terbebas, muncullah pengetahuan, Pikiran terbebas.’ Dia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kelahiran di dalam keadaan dumadi apa pun.’
“Sebagaimana seolah-olah ada sebuah danau di celah gunung, jernih, tenang, dan tak-terganggu, sehingga orang yang penglihatannya baik yang berdiri di tepian bisa melihat kerang, batu-batuan, dan kerikil, serta juga kelompok ikan yang berenang kian kernari dan beristirahat, dia mungkin berpikir: “Ada danau yang jemih, bersih, yang tak-terganggu ini, dan ada kerang-kerangan, batu-batuan, dan kerikil ini serta juga [280]
Kelompok ikan yang berenang kian kemari dan beristirahat ini.’ Demikan juga, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya : ‘Inilah penderitaan.’ … Dia memahami : ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kelahiran di dalam dimadi apa pun.’
(ARAHAT)
22. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu seperti ini disebut petapa, brahmana, orang yang telah dicuci, orang yang telah mencapai pengetahuan, seorang terpelajar yang suci, seorang yang agung, seorang Arahat.419
23. Dan bagaimana seorang bhikkhu menjadi petapa? Dia telah menenangkan keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori, membawa pembaharuan dumadi, memberikan masalah, matang di dalam penderitaan, dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, dan kematian. Demikianlah seorang bhikkhu disebut petapa.
24. Dan bagaimana seorang bhikkhu menjadi brahmana? Dia telah menghalau keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori … dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, dan kernatian. Demikianlah seorang bhikkhu menjadi brahmana.
25. ‘Dan bagaimana seorang bhikkhu yang telah dicuci?420 Dia telah mencuci bersih keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori … dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, dan kematian. Demikianlah seorang bhikkhu menjadi orang yang telah dicuci.
26. ‘Dan bagaimana seorang bhikkhu menjadi orang yang telah mencapai pengetahuan? Dia telah mengetahui keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori … dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, dan kematian. Demikianlah seorang bhikkhu menjadi orang yang telah mencapai pengetahuan.
27. “Dan bagaimana seorang bhikkhu menjadi seorang terpelajar yang suci?421 Keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori … dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, kematian, telah berlalu dari dirinya. Demikian, seorang bhikkhu menjadi seorang terpelajar yang suci.
28. “Dan bagaimana seorang bhikkhu menjadi seorang yang agung? Keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori … dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, dan kematian, jauh dari dirinya. Demikianlah seorang bhikkhu menjadi seorang yang agung.
29. “Dan bagaimana seorang bhikkhu menjadi seorangArahat? Keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang mengotori, membawa pembaharuan dumadi, memberikan masalah, matang di dalam penderitaan, dan membawa menuju kelahiran di masa mendatang, penuaan, dan kematian jauh darinya. Demkianlah seorang bhikkhu menjadi seorang Arahat.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bersukacita di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan :
415
“Brahmana” harus dipahami dalam pengertian yang dijelaskan di bawah, §24.
416
Malu (hiri) dan takut akan tindakan salah (ottappa) merupakan dua sifat saling melengkapi yang ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai “penjaga-penjaga dunia” (AN i.51) karena kedua hal itu berfungsi sebagai landasan moralitas. Ciri dari malu adalah muak dengan kejahatan, dan dikuasai oleh rasa hormat diri, dan mewujudkan dirinya sebagai hati nurani. Ciri dari takut akan tindakan salah adalah takut akan kejahatan, dan dikuasai oleh kepedulian akan pendapat-pendapat orang lain, dan mewujudkan diri sebagai takut melakukan tindakan jahat. Lihat Vsm XIV, 142.
417
MA mengutip SN 45:35-36 / v.25: “Para bhikkhu, apakah kepetapaan (samanna) itu? Jalan Mulia Berunsur Delapan … – inilah yang disebut kepetapaan. Dan para bhikkhu, apakah tujuan menjadi petapa (samannatthoo) itu? Hancurnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin – inilah yang disebut tujuan menjadi petapa.
418
MA memberikan penjelasan yang rinci tentang masing-masing dari lima kiasan itu. Terjemahan bahasa Inggris dapat ditemukan di dalam karya Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances, hal 27-34.
419
Masing-masing dari penjelasan berikutnya melibatkan satu permainan kata yang tidak dapat digantikan dengan bahasa lnggris, yaitu, seorang bhikkhu adalah petapa (samana) karena dia telah memenangkan (samita) keadaan-keadaan yang jahat, seorang brahmana karena dia telah menghalau (bahita) keadaan-keadaan yang jahat, dsb.
420
Istilah “mencuci” (nhataka) mengacu pada brahmana yang, di akhir masa sebagai siswa di bawah gurunya, telah mengambil upacara permandian yang menandai akhir pelatihannya itu. Lihat Sn 521.
421
Kata Pali sotthiya (Sansekerta, srotriya) berarti brahmana yang pandai. Dalam kitab-kitabVeda, seorang yang memiliki pengetahuan sakral.