Kamis, 23 Februari 2012

MAHAMALUNKYA SUTTA

1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Ananthapindika. Di sana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian: “para bhikkhu.” – “Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
2. “para bhikkhu, apakah kalian ingat lima belenggu rendah sebagaimana ku ajarkan?”
Ketika hal ini disampaikan, Y.M. Malunkyaputta menjawab: “Bhante, saya ingat lima belenggu rendah sebagaimana diajarkan oleh Yang Terberkahi.”(649)
“Bhante, saya ingat pandangan tentang kepribadian sebagai belenggu rendah yang diajarkan oleh Yang Terberkahi. Saya ingat keraguan sebagai belenggu rendah  yang diajarkan oleh Yang Trberkahi. Saya ingat kemelekatan pada tata cara dan ritual sebagai belenggu rendah yang diajarkan oleh Yang Terberkahi. Saya ingat nafsu indera sebagai belenggu rendah yang diajarkan oleh Yang Terberkahi. Saya ingat niat jahat sebagai belenggu rendah yang diajarkan oleh Yang Terberkahi.”

3. “Malunkyaputta, kepada siapakah engkau ingat aku telah mengajarkan lima belenggu rendah ini dengan cara demikian ?(650) Apakah para kelana dari sekte lain tidak akan menyanggahmu dengan kiasan bayi? Bayi muda lemah yang berbaring tengkurap bahkan tidak memiliki ide ‘kepribadian,’ [433] jadi bagaimana mungkin pandangan tentang kepribadian muncul di dalam dirinya? Namun toh kecenderungan mendasar ke arah pandangan kepribadian ada di dalam dirinya.(651) Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak memiliki ide ajaran-ajaran,’(652) jadi bagaimana mungkin keraguan tentang ‘ajaran-ajaran,’ muncul di dalam dirinya? Namun toh kecenderungan mendasar ke arah keraguan ada di dalam dirinya. Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak memiliki ide ‘tata cara,’ jadi bagaimana mungkin kemelekatan pada ‘tatacara dan ritual’ muncul di dalam dirinya? Namun toh kecenderungan mendasar ke arah tatacara dan ritual ada di dalam dirinya. Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan memiliki ide ‘kesenangan-kesenangan indera,’ jadi bagaimana mungkin nafsu indera muncul di dalam dirinya? Namun toh kecenderungan mendasar ke arah nafsu indera ada di dalam dirinya. Bayi muda lemah yang terbaring tengkurap bahkan tidak memiliki ide ‘makhluk-makhluk,’ jadi bagaimana mungkin niat jahat terhadap para makhluk muncul di dalam dirinya? Namun toh kecenderungan mendasar ke arah niat jahat ada di dalam dirinya. Apakah para kelana dari sekte lain tidak akan menyanggahmu dengan kiasan bayi ini?
4. Oleh karena hal itu, Y.M. Ananda berkata : “Sudah saatnya Yang Terberkahi, sudah saatnya, Yang Mahatinggi, bagi Yang Terberkahi untuk mengajarkan lima belenggu rendah. Setelah mendengarkannya dari Yang Terberkahi, para bhikkhu akan mengingatnya.”
“Kalau demikian dengarkanlah, Ananda, dan perhatikanlah denga cermat apa yang akan kukatakan.”
“Ya, Bhante,” jawab Y.M. Ananda.
Yang Terberkahi berkata demikian :
5. “Di sini, Ananda, orang biasa yang tak-belajar, yang tidak memiliki rasa hormat kepada para mulia serta tida-terampil dan tidak-disiplin di dalam Dhamma mereka, yang tidak memiliki rasa hormat kepada manusia-manusia sejati serta tidak-terampil dan tidak-disiplin di dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan diperbudak oleh pandangan tentang kepribadian, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari pandangan kepribadian yang muncul; dan jika pandangan kepribadian itu telah menjadi kebiasaan dan tidak terhapus dari dalam dirinya, maka hal itu merupakan belenggu rendah. Dia berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan diperbudak oleh keraguan…oleh kemelekatan pada tatacara dan ritual…oleh nafsu indera [434]…oleh niat jahat, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari niat jahat yang muncul; dan ketika niat jahat itu telah menjadi kebiasaan dan tidak terhapus dari dalam dirinya, hal itu merupakan belenggu rendah.
6. “Siswa mulia yang belajar-dengan-baik, yang memiliki rasa hormat kepada para mulia serta terampil dan disiplin di dalam Dhamma mereka, yang memiliki rasa hormat kepada manusia-manusia sejati serta terampil dan disiplin di dalam Dhamma mereka, tidak berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan diperbudak oleh pandangan tentang kepribadian, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari pandangan kepribadian yang muncul; dan pandangan kepribadian bersama dengan kecenderungan mendasarnya telah ditinggalkan dia dlam dirinya.(653) Dia tidak berdiam engan pikiran yang terobsesi dan diperbudak oleh keraguan…oleh kemelekatan pada tatacara dan ritual …oleh nafsu indera…oleh niat jahat; dia memahami jalan keluar dari niat jahat yang muncul sebagaimana adanya; dan niat jahat bersama kecenderungan mendasarnya telah ditinggalkan di dalam dirinya.
7. “Ada jalan, Ananda, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah itu; sehingga seseorang, tanpa datang pada jalan ini, pada cara ini, bisa mengetahui dan melihat serta meninggalkan lima belenggu rendah itu – hal ini tidaklah mungkin. Sama seperti jika ada pohon besar berinti-kayu yang menjulang, seseorang tidak mungkin dapat memotong inti-kayunya tanpa menembus kulit serta kayu lunaknya, demikian pula, ada jalan … hal ini tidaklah mungkin.
“Ada jalan, Ananda, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah itu;[435] sehingga seseorang, dengan datang pada jalan ini, pada cara ini, bisa mengetahui dan melihat serta meninggalkan lima belenggu rendah itu – hal ini adalah mungkin. Sama seperti jika ada pohon besar berinti-kayu yang menjulang, seseorang dapat memotong inti-kayunya dengan cara menembus kulit serta kayu lunaknya, demikian pula, ada jalan … hal ini adalah mungkin.
8. “Seandainya, Ananda, sungai Gangga dipenuhi air sampai ke bibir sungai sehingga burung-burung gagak dapat minum darinya, dan kemudian seorang laki-laki yang lemah datang dengan berpikir: ‘Dengan menggunakan tanganku untuk berenang menyeberangi arus, aku akan sampai dengan selamat ke pantai seberang sungai Gangga ini’; walaupun demikian dia tidak akan mampu menyeberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi berhentinya kepribadian, jika pikirannya tidak masuk ke dalamnya dan tidak memperoleh keyakinan, kemantapan, dan keputusan, maka dia dapat dianggap seperti orang yang lemah itu.
“Seandainya, Ananda, Sungai Gangga dipenuhi air sampai ke bibir sungai sehingga burung-burung gagak dapat minum darinya, dan kemudian seorang laki-laki yang kuat datang dengan berpikir: ‘Dengan menggunakan tanganku untuk berenang menyeberangi arus, aku akan sampai dengan selamat ke pantai seberang sungai Gangga ini’: maka dia akan mampu menyeberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi berhentinya kepribadian, jika pikirannya masuk ke dalamnya dan memperoleh keyakinan, kemantapan, dan keputusan, maka dia dapat dianggap seperti orang yang kuat itu.
9. “Daan apakan, Ananda, yang merupakan  jalan itu, cara untuk meninggalkan lima  belenggu rendah itu? Di sini, dengan mengasingkan diri dari objek-objek kemelekatan,(654) dengan meninggalkan keadaan-keadaan yang tak-bajik, dengan sepenuhnya menenangkan kelambanan tubuh, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di jhana pertama, yang dibarengi oleh pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian.
“Apa pun yang ada di tempat itu dalam bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, dia  melihat keadaan-keadaan itu, sebagai tidak-kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai malapetaka, sebagai kemalangan, sebagai sesuatu yang asing, sebagai yang-terurai, sebagai kekosongan, sebagai bukan-diri.(655) Dia mengalihkan pikirannya menjauhi keadaan-keadaan itu [436] dan mengarahkannya menuju elemen tanpa-kematian demikian: ‘Inilah yang damai, inilah yang tertinggi, yaitu, diamnya semua bentukan, lepasnya semua kemelekatan, hancurnya nafsu keinginan, ketidak-tertarikan, penghentian, Nibbana.’(656) Berdasar atas hal itu, dia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika dia tidak mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika dia tidak mencapai hancurnya noda-noda, maka karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan di dalam Dhamma itu,(657) dengan hancurnya lima belenggu rendah dia menjadi makhluk yang secara spontan akan muncul kembali [di alam Kediaman-kediaman Murni] dan di sana mancapai Nibbana akhir tanpa pernah kembali dari alam itu. Inilah jalan itu, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah.
10-12. “Sekali lagi, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana kedua…Sekali lagi, juga dengan melemahnya kegiuran, seorang bhikkhu…masuk dan berdiam di dalam jhana ke tiga…Sekali lagi, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan…seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana keempat, yang memiliki bukan-penderitaan-pun-bukan-kesenangan dan kemurnian kewaspadaan yang disebabkan oleh ketenang-seimbangan.
“Apa pun yang ada di tempat di dalam bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran, dia melihat keadaan-keadaan itu sebagai tidak-kekal …sebagai bukan-diri. Dia mengalihkan pikirannya menjauhi keadaan-keadaan itu sebagai tidak-kekal…sebagai bukan-diri. Dia mengalihkan pikirannya menjauhi keadaan-keadaan itu [436] dan mengarahkannya menuju elemen tanpa-kematian…inilah jalan itu, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah.
13.. “Sekali lagi, dengan sepenuhnya meninggalkan persepsi mengenai bentuk, dengan lenyapnya persepsi mengenai dampak indera, dengan tanpa-perhatian terhadap persepsi mengenai perbedaan, menyadari bahwa ‘ruang adalah tak terhingga,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landaan ruang tak-terhingga.
“Apa pun yang ada di tempat itu dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran,(658) dia melihat keadaan-keadaan itu sebagai tidak-kekal….sebagai bukan-diri. Dia mengalihkan pikirannya menjauhi keadaan-keadaan itu[436] dan mengarahkannya menuju elemen tanpa-kematian…Inilah jalan itu, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah.
14. “Sekali lagi, denngan sepenuhnya meninggalkan landasan ruang tak-terhingga, mengadari bahwa ‘kesadaran adalah tak-terhingga,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan kesadaran tak-terhingga.
“Apa pun yang ada di tempat itu dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran, dia melihat keadaan-keadaan itu sebagai tidak-kekal …sebagai bukan-diri. Dia mengalihkan pikirannya menjauhi keadaan-keadaan itu dan mengarahkannya menuju elemen tanpa-kematian…Inilah jalan itu, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah.
15. “Sekali lagi, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan kesadaran tak-terhingga, menyadari bahwa ‘tidak ada apa pun,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan kekosongan.
“Apa pun yang ada di tempat itu dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran, dia melihat keadaan-keadaan itu sebagai tidak-kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai malapetaka, sebagai kemalangan, sebagai sesuatu yang asing, sebagai yang-terurai, sebagai kekosongan, sebagai bukan-diri. Dia mengalihkan pikirannya menjauhi keadaan-keadaan itu dan mengarahkannya menuju elemen tanpa-kematian demikian: ‘Inilah yang damai, inilah yang tertinggi, yaitu, diamnya semua bentukan, lepasnya semua kemelekatan, hancurnya nafsu keinginan, ketidak-tertarikan, penghentian, Nibbana.’ Berdasar atas hal itu,[437] dia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika dia tidak mencapai hancurnya noda-noda, maka karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan di dalam Dhamma itu, dengan hancurnya lima belenggu rendah dia menjadi makhluk yang secara spontan akan muncul kembali [di alam Kediaman-kediaman Murni] dan di sana mencapai Nibbana akhir tanpa pernah kembali dari alam itu. Inilah jalan itu, cara untuk meninggalkan, lima belenggu rendah.
16. “Bhante, jika inilah jalan itu, cara untuk meninggalkan lima belenggu rendah itu, maka bagaimana mungkin beberapa bhikkhu di sini [dikatakan] memperoleh pembebasan pikiran dan beberapa [dikatakan] memperoleh pembebasan melalui kebijaksanaan?”
‘Perbedaannya di sini, Ananda, ada pada kemampuan-kemampuan batin mereka, kukatakan.”(659)
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Y.M. Ananda merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan
(649) Lima belenggu lebih rendah (orambhagiyai samyojanani) disebut demikian karena membawa menuju kelahiran ulang di alam-alam lingkup indera. Semua belenggu itu barulah terhapus sepenuhnya oleh Yang-Tidak-Kembali-Lagi.
(650) MA: Pertanyaan ini bisa diajukan: “Saat Sang Buddha bertanya tentang beelnggu-belenggu itu dan sang Thera mejawab sehubungan dengan belenggu-belenggu tersebut, mengapa Sang Buddha mengkritik jawabannya?” Alasannya adalah karena Malunkyaputta memiliki pandangan bahwa seseorang terbelenggu oleh kekotoran batin hanya pada saat-saat kekotoran batin itu menyerangnya, sedangkan di saat-saat lain dia tidak terbelenggu olehnya. Sang Buddha berbicara seperti itu untuk menunjukkan kesalahan di dalam pandangan ini.
(651) Anuseti tvev’assa sakkayaditthanusayo. Tentang anusaya atau kecendrungan mendasar, lihat no. 473. Di dalam kitab-kitab komnetar, kekotoran-kekotoran batin dibedakan sebagai yang muncul pada tiga tingkat: tingkat anusata, di mana mereka tinggal hanya sebagai disposisi laten di pikiran; tingkat pariyutthana, di mana mereka muncul sampai mengobsesi dan memperbudak pikiran (diacu di §5 dalam khotbah ini); dan tingkat vitikkama, di mana mereka memotivasi tindakan fisik dan ucapan yang tak-bajik. Pokok kritik Sang Buddha adalah bahwa belenggu-belenggu itu, sekalipun ketika tidak muncul dalam manifestasi aktif, senantiasa ada di tingkat anusaya selama mereka belum dihapus melalui jalan di-atas-duniawi.
(652) Dhamma. Kata ini sebetulnya juga bisa diterjemahkan “hal-hal.”
(653) MA: Belenggu dan kecendrungan mendasar pada prinsipnya tidak berbeda; alih-alih, kekotoran batin yang samalah yang disebut belenggu dalam pengertian mengikat, dan kecendrungan mendasar dalam pengertian belum ditinggalkan.
(654) Upadhiviveka, MA menerangkan upadhi di sini sebagai lima tali kesenangan indera. Walaupun tiga klausa pertama dalam pernyataan ini kelihatannya menyampaikan ide yang sama dengan dua klausa berikutnya yang lebih umum, MT menunjukkan bahwa mereka dimaksudkan untuk menunjukkan sarana agar menjadi “sangat terpisah dari kesenangan agar menjadi “sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan tak-bajik.”
(655) Bacaan ini menunjukkan perkembangan pandangan terang (vipassana) pada dasar ketenangan (samatha), dengan menggunakan jhana di mana praktek pandangan terang didasarkan sebagai objek perenungan pandangan terang. Lihat MN 52.4 dan n.552. Di sini, dua istilah –tidak kekal dan terurai-menunjukkan ciri ketidakkekalan; tiga istilah asing, kosong, dan bukan-diri-menunjukkan cirri tanpa-diri; enam istilah sisanya menunjukkan ciri penderitaan.
(656) MA: Dia “mengalihkan pikirannya” dari lima kelompok khanda yang tercakup di dalam jhana, yang telah dilihatnya memiliki tiga ciri. “Elemen tanpa kematian” (amata dhatu) adalah Nibbana. Pertama-tama “dia mengarahkan pikirannya ke sana” dengan kesadaran pandangan terang, karena telah mendengar hal itu dipuji dan digambarkan sebagai “yang damai dan agung,” dst. Kemudian, dengan jalan di-atas-duniawi, “dia mengarahkan pikirannya ke sana” dengan membuatnya menjadi objek dan menembusnya sebagai yang damai dan agung, dst.
(657) Lihat n.553.
(658) Harus dicatat bahwa, ketika pencapaian-pencapaian tanpa materi digunakan sebagai landasan untuk perenungan pandangan terang, kelompok bentuk materi tidak mencakupkan di antara objek-objek pandangan terang. Jadi hanya empat kelompok khanda tanpa-materi yang disebutkan di sini.
(659) MA: Di antara mereka yang maju melalui ketenangan, seorang bhikkhu menekankan kemanunggalan pikiran – dia dikatakan memperoleh pembebasan pikiran; bhikkhu lain menekankan kebijaksanaan – dia dikatakan memperoleh pembebasan melalui kebijaksanaan. Di antara mereka yang maju melalui pandangan terang, seseorang menekankan kebijaksanaan – dia dikatakan memperoleh pembebasan melalui kebijaksanaan; yang lain menekankan kemanunggalan pikiran – dia dikatakan memperoleh pembebasan pikiran. Dua siswa utama ini mencapai tingkat arahat dengan penekanan pada ketenangan dan pandangan terang sekaligus, tetapi Y.M. Sariputta menjadi orang yang memperoleh pembebasan melelui kebijaksanaan dan Y.M. Maha Moggallana menjadi orang yang memperoleh pembebasan pikiran. Jadi, alasannya (untuk penandaan yang berbeda-beda) adalah perbedaan dalam kemampuan batin mereka, yaitu antara keunggulan kemampuan konsentrasi dan kemempuan kebijaksanaan