Minggu, 19 Februari 2012

MAHANIDANA SUTTA

Khotbah ini dibabarkan Sang Buddha ketika beliau berada di kota Kammassadhamma, daerah Kuru. Khotbah ini dibabarkan Sang Buddha berkenaan dengan pernyataan Bhikkhu Ananda: “Walaupun ajaran Paticca-samuppada (Hukum sebab musabab yang saling bergantungan) ini begitu dalam nampaknya, namun kelihatan jelas olehku!”
Sang Buddha berkata: “Jangan berkata begitu Ananda, karena tidak dapat menembus ajaran Paticcasamuppada, maka generasi ini menjadi kacau seperti benang kusut, sehingga tidak dapat bebas dari apaya (alam celaka), duggati (alam menderita), vinipata (alam keruntuhan) dan samsara (lingkaran kehidupan).”
Rangkaian hukum Paticcasamuppada adalah sebagai berikut :
Apakah sebab usia tua (jara) dan kematian (marana)?
Kelahiran (jati) adalah sebab usia tua dan kematian.
Proses-perwujudan (bhava) adalah sebab kelahiran.
Kemelekatan (upadana) adalah sebab proses-perwujudan.
Nafsu-keinginan (tanha) adalah sebab kemelekatan.
Kontak (phassa) adalah sebab perasaan.
Perasaan (vedana) adalah sebab perasaan.
Batin dan jasmani (nama-rupa) adalah sebab kontak.
Kesadaran (vinnana) adalah sebab batin dan jasmani.
Demikianlah, batin dan jasmani adalah sebab kesadaran; kesadaran adalah sebab batin dan jasmani; batin dan jasmani merupakan sebab kontak; kontak merupakan sebab perasaan; perasaan merupakan sebab nafsu keinginan; nafsu keinginan merupakan sebab kemelekatan; kemelekatan merupakan sebab proses-perwujudan; proses-perwujudan merupakan sebab kelahiran; kelahiran merupakan sebab usia tua dan kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka cita dan putus asa. Demikianlah timbulnya seluruh rangkaian penderitaan ini
Kelahiran adalah sebab usia tua dan kematian. Dalam cara apa pun yang seperti itu, maka hal itu harus dimengerti bahwa kelahiran adalah sebab usia tua dan kematian. Jika tidak ada bentuk kelahiran apa pun dan dimanapun, yaitu kelahiran dewa dengan segala bentuknya, gandhabba…, yakkha…, asura…, manusia…, binatang berkaki empat…, binatang berkaki banyak…, burung…, binatang melata dengan segala bentuknya, dengan tidak adanya kelahiran dalam bentuk apa pun, karena lenyapnya kelahiran ini, maka di sana tidak muncul usia-tua dan kematian.
Proses-perwujudan adalah sebab kelahiran. Dalam cara apa pun… Jika tidak ada proses-perwujudan; proses-perwujudan nafsu (kama-bhava), proses-perwujudan jasmani (rupa-bhava) dan proses-perwujudan tanpa-jasmani (arupa-bhava)…, maka disana tidak muncul kelahiran.
Kemelekatan adalah sebab proses-perwujudan. Dalam cara apapun…. Jika tidak ada kemelekatan terhadap nafsu indera (kama-upadana), kemelekatan terhadap pandangan-pandangan salah (ditthi-upadana), kemelekatan terhadap upacara-upacara (silabbata-upadana) dan kemelekatan terhadap ajaran-ajaran tentang adanya jiwa yang kekal (atta-upadana)…, maka disana tidak ada kemelekatan.
Nafsu keinginan timbul karena perasaan. Nafsu keinginan menyebabkan pencarian (pariyesena), pencarian menyebabkan keuntungan (labha), keuntungan menyebabkan pengambilan keputusan (vinicchaya), pengambilan keputusan menyebabkan nafsu keinginan, nafsu keinginan menyebabkan kemelekatan (ajjhosana), kemelekatan menyebabkan penguasaan (pariggaha), penguasaan menyebabkan kekikiran (macchariya), kekikiran menyebabkan perlindungan pada milik (arakkha), perlindungan pada milik menimbulkan banyak hal buruk (papa), seperti: mempersenjatai diri dengan tongkat atau pedang, pertengkaran, perkelahian, argumentasi, balas dendam, fitnah, bohong dan banyak perbuatan buruk lain. Jika tidak ada yang mempersenjatai diri dengan tongkat atau pedang…, maka tidak akan ada…, bohong dan banyak perbuatan buruk lain.
Kekikiran menyebabkan perlindungan pada milik. Dalam cara apapun…. Jika tidak ada kekikiran, maka penjagaan milik tidak ada.
Kekikiran disebabkan oleh penguasaan…
Penguasaan disebabkan oleh kemelekatan….
Kemelekatan disebabkan oleh nafsu keinginan….
Nafsu keinginan disebabkan oleh pengambilan keputusan….
Pengambilan keputusan disebabkan oleh keuntungan….
Keuntungan disebabkan oleh pencarian…
Pencarian disebabkan oleh nafsu keinginan. Dalam cara apapun… Jika tidak ada nafsu keinginan maka disana tidak muncul pencarian.
Nafsu keinginan adalah akar, sebab, asal mula dan penyebab semua pencarian. Jadi kedua hal ini menjadi satu dalam perasaan.
Perasaan disebabkan oleh kontak… Jadi kontak adalah akar sebab, asal mula dan penyebab perasaan.
Kontak disebabkan oleh batin dan jasmani… Dalam cara apa pun… terdapatlah batin-jasmani, corak-corak, tanda-tanda dan eksponen-eksponen yang disebut ‘kelompok batin’. jika tidak ada batin-jasmani…, maka disana tidak muncul perwujudan kontak-ekspresi (adhivacana-samphassa) dalam ‘kelompok jasmani’.
Batin-jasmani adalah akar, sebab, asal-mula dan penyebab kontak.
Batin-jasmani disebabkan oleh kesadaran. Dalam cara apa pun… Jika tidak ada kesadaran yang masuk ke dalam rahim seorang ibu, maka tidak muncul badan-jasmani.
Kesadaran adalah akar, sebab, asal mula dan penyebab timbulnya batin-jasmani.
Kesadaran disebabkan oleh batin-jasmani. Dalam cara apapun… Jika kesadaran tidak mendapat tempat berpijak dalam batin-jasmani (yang sekarang), maka kelahiran, usia tua, kematian dan sebab timbulnya suatu penderitaan tidak muncul.
Batin-jasmani adalah akar, sebab, asal mula dan penyebab timbulnya kesadaran.
Hanya sejauh terdapat batin dan jasmani bersama kesadaran maka terdapatlah proses ekspresi ucapan (adhivacana-patho), proses menerangkan, proses pengetahuan, proses pemunculan diantara kondisi-kondisi dunia.
Bagaimana orang menerangkan tentang ‘atta’ (jiwa). Ada yang menyatakan bahwa atta bermateri dan terbatas; ada yang menyatakan atta bermateri dan tak terbatas; ada yang menyatakan atta tak bermateri dan terbatas; ada yang menyatakan atta tak bermateri dan tak terbatas.
Siapa saja yang menyatakan atta bermateri dan terbatas, mempertimbangkannya pada waktu sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang berpikir: ‘Walaupun itu tidak begitu sekarang, namun saya akan mendapatkannya di sana.’ Demikianlah orang yang menyatakan atta bermateri dan terbatas. Begitu pula pikiran orang yang menyatakan hal-hal lain itu.
Bagaimana orang yang tidak menerangkan ‘atta’ (jiwa)? Ada yang tidak menyatakan bahwa atta bermateri dan terbatas; mempertimbangkannya…
Bagaimana orang menyatakan tentang jiwa (atta)? Mereka menyamakan ‘atta’ dengan perasaan: ‘Perasaan adalah jiwaku,’
‘Jiwaku bukan perasaan, jiwaku tidak dapat merasakan’, ‘Perasaan adalah bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan,’ itu merasakan karena sifatnya.
Bagi mereka yang mengatakan ‘Perasaan adalah jiwaku’ harus diberitahu: ‘Ada tiga macam perasaan, yaitu: menyenangkan, tidak menyenangkan dan netral. Perasaan menyenangkan adalah tidak kekal, berkondisi (sankhata), merupakan suatu akibat dari suatu sebab (paticca-samuppada), dapat lenyap (khaya-dhamma), berakhir (vaya-dhamma), berlalu (viraga-dhamma). Demikian pula dengan persaan tidak menyenangkan dan perasaan netral.
Ketika mengalami perasaan menyenangkan, orang itu berpikir: “Inilah jiwaku”, ketika perasaan menyenangkan lenyap, ia berpikir: “Jiwaku telah lenyap.” Jika ia mengalami perasaan tidak menyenangkan, ia berpikir: “Inilah jiwaku,” tetapi bila perasaan tidak menyenangkan telah lenyap, ia berpikir: “Jiwaku telah lenyap”,… Begitu juga yang ia katakan dengan perasaan netralnya. Jadi siapa pun yang berpikir: “Perasaan adalah jiwaku”, adalah merenungkan sesuatu dalam kehidupan sekarang bahwa itu adalah tidak kekal, campuran menyenangkan dan tidak menyenangkan, bersifat muncul dan lenyap. Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat: “Perasaan adalah jiwaku.”
Tetapi bila ada orang menyatakan: “Perasaan bukan jiwaku, jiwaku tidak dapat merasakan”, harus ditanya: “Jika sama sekali tidak memiliki perasaan, apakah akan muncul pikiran: ‘Aku’?” “Tidak”. Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat: “Perasaan jiwaku, jiwaku tidak dapat merasakan.”
Bagi orang yang berkata: “Perasaan bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan, jiwaku merasakan karena sifatnya”, harus ditanya: Jika semua perasaan lenyap sama sekali, apakah mungkin muncul pikiran: ‘Ini saya?’ “Tidak.”
Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat: “Perasaan bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan, jiwaku merasakan karena sifatnya.”
Sejak saat itu, bilamana seseorang tidak berpendapat bahwa perasaan sebagai jiwa, jiwa tak dapat merasakan, atau sebagai dapat merasakan dan merupakan sifatnya untuk merasakan; tanpa berpendapat begitu, maka ia tidak terikat pada sesuatu di dunia ini; tanpa terikat, tanpa kegelisahan ia mencapai kebebasan sempurna, ia mengetahui: “Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah terjalani, selesai sudah apa yang harus dikerjakan, tak ada sesuatu lagi sesudah ini.”
Ada tujuh tingkat kesadaran (vinnanatthiti) dan dua alam (makhluk). Apakah tujuh tingkat kesadaran itu?
1. Makhluk-makhluk yang berbeda tubuhnya dan pencerapannya, misalnya: manusia, dewa tertentu dan beberapa makhluk neraka.
2. Makhluk-makhluk yang sama tubuhnya, tetapi berbeda pencerapannya, misalnya: para dewa alam Abhassara.
3. Makhluk-makhluk yang sama tubuhnya dan sama pencerapannya. misalnya: para dewa alam Subhakinna.
4. Makhluk-makhluk yang telah melampaui semua pencerapan tentang jasmani (rupa), pencerapan tentang ketidaksenangan (patighasanna), mengalihkan perhatian dari bermacam-macam pencerapan berpikir: “Ruang tanpa batas”, mencapai ‘Alam Ruang tanpa batas’.
5. Makhluk-makhluk yang melampaui ‘Alam Ruang tanpa batas’, berpikir: “Kesadaran tanpa batas”, mencapai ‘Alam Kesadaran tanpa batas’.
6. Makhluk-makhluk yang melampaui ‘Alam Kesadaran tanpa batas’, berpikir: “Tidak ada sesuatu”, mencapai “Alam Kekosongan.”
Apa yang dimaksud dengan dua alam? Itu adalah:
  1. Alam Makhluk-makhluk ‘Tanpa Kesadaran’ (Asannisatta)
  2. Alam Makhluk-makhluk ‘Bukan Pencerapan atau Bukan Tidak Pencerapan.’
Bila ada orang yang mengerti tentang, timbul, lenyap, kesenangan, penderitaan serta tahu cara untuk membebaskan diri dari hal-hal itu, tentu saja makhluk-makhluk dari tujuh tingkat kesadaran dan makhluk dari dua alam itu tidak akan menyenangi kehidupan seperti itu.
Selama seseorang telah mengetahui dengan jelas apa adanya (kehidupan makhluk-makhluk dari) tujuh tingkat kesadaran dan dua alam, juga tentang muncul, lenyap, kesenangan dan penderitaannya, adalah bebas tanpa kemelekatan; maka orang itu menjadi bebas karena kebijaksanaan (panna-vimutto).
Ada delapan macam kebebasan (attha-vimutto), yaitu:
  1. Ia melihat jasmani (rupa) sebagai jasmani (rupa).
  2. Menyadari tanpa jasmani (arupa) di dalam diri, ia melihat jasmani (rupa) di luar.
  3. Berpikir: “Itu indah”, ia menjadi teguh.
  4. Dengan melampaui semua pencerapan-jasmani, semua pencerapan ketidaksenangan (patigha), mengalihkan perhatian dari bermacam-macam pencerapan, berpikir: “Ruang tanpa batas”, mencapai ‘Alam Ruang tanpa batas’ (Akasanancayatana).
  5. Dengan melampaui ‘Alam Ruang tanpa batas’, berpikir: “Kesadaran tanpa batas”, mencapai ‘Alam Kesadaran tanpa batas’ (Vinnananacayatana).
  6. Dengan melampaui ‘Alam Kesadaran tanpa batas’, berpikir: “Tidak ada sesuatu”, mencapai ‘Alam Kekosongan’ (Akinvannayatana)
  7. Dengan melampaui ‘Alam Kekosongan’, mencapai “Alam Bukan Pencerapan atau Bukan Tidak Pencerapan’ (Neva sanna nasannayatana)
  8. Dengan melampaui ‘Alam Bukan Pencerapan atau Bukan Tidak Pencerapan’, mencapai ‘Kondisi Lenyapnya Perasaan dan Pencerapan’ (Sanna-vedayita-nirodha). Dengan melampaui ‘Alam Bukan Pencerapan atau Bukan Tidak Pencerapan’, mencapai ‘Kondisi Lenyapnya Perasaan dan Pencerapan’ (Sanna-vedayita-nirodha).
Apabila seseorang telah menguasai delapan tingkat kebebasan ini secara berurutan maupun sebaliknya, masuk dan keluar dari kebebasan-kebebasan itu sekehendak hatinya kapan saja dan di mana saja selama ia inginkan, dengan kemampuan batinnya (abhinna) ia melenyapkan semua kekotoran batin (asava) ia mencapai kebebasan melalui pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan, maka ia disebut ‘mencapai kebebasan dengan dua cara’ (ubhatobhaga-vimutti), tidak ada ‘pencapaian dengan dua cara’ selain cara ini.

Tidak ada komentar: