Kamis, 23 Februari 2012

MAHASAKULUDAYI SUTTA

[1] 1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha di Hutan Bambu, Taman Tupai.
2. Pada kesempatan itu, banyak kelana ternama sedang berdiam di Suaka Burung Merak, taman para kelana – yaitu, Annabhara, Varadhara, kelana Sakuludayin, dan juga kelana ternama lainnya.
3. Pada saat itu, ketika pagi menjelang, Yang Terberkahi berpakaian, mengambil mangkuk dan jubah luarnya, lalu pergi ke Rajagaha untuk mendapatkan dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Ini masih terlalu pagi untuk pergi mendapatkan dana makanan di Rajagaha. Sebaiknya aku pergi ke Sakuludayin si kelana di Taman Burung Merak, taman para kelana.”
4. Kemudian Yang Terberkahi pergi ke Taman Burung Merak, taman para kelana. Pada waktu itu, kelana Sakuludayin sedang duduk bersama sekelompok besar kelana yang membuat kegaduhan, dengan keras dan bising mereka membicarakan sebagai macam pembicaraan yang tak berarti, seperti misalnya pembicaraan tentang raja …(seperti Sutta 76, § 4) [2]…apakah segala sesuatu begini atau tidak begitu. Kemudian Sakuludayin si kelana melihat Yang Terberkahi datang dari kejauhan. Ketika melihat Beliau, dia menenangkan kelompoknya demikian: “Tuan-tuan, diamlah; tuan-tuan, jangan bersuara. Petapa Gotama datang. Yang Mulia ini suka ketenangan dan memuji ketenangan. Mungkin jika mendapati bahwa kelompok kita tenang, beliau akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Maka para kelana itu pun menjadi diam.
5. Yang Terberkahi menghampiri Sakuludayin si kelana, yang berkata kepadanya: “Silakan Yang Terberkahi datang, tuan yang mulia! Selamat datang kepada Yang Terberkahi! Sudah lama Yang Terberkahi tidak mendapatkan kesempatan untuk datang kemari. Silakan Yang Terberkahi duduk; tempat duduk ini telah disiapkan.”
Yang Terberkahi duduk di tempat duduk yang telah disiapkan, dan Sakuludayin si kelana mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk di satu sisi. Ketika dia telah duduk, Yang Terberkahi bertanya kepadanya: “Sedang berdiskusi apa kalian duduk bersama di sini saat ini, Udayin? Dan diskusi apa yang belum kalian selesaikan?”
6. “Tuan yang mulia, biarkan saja diskusi yang membuat kami duduk bersama di sini saat ini. Yang Terberkahi dapat mendengar tentang hal itu nanti. Belakangan ini, tuan yang mulia, ketika para petapa dan brahmana dari berbagai sekte berkumpul bersama dan duduk bersama di aula debat, topik ini telah muncul: ‘Sungguh merupakan suatu keuntungan bagi penduduk Anga dan Magadha, sungguh merupakan suatu keuntungan besar bagi orang-orang dari Anga dan Magadha bahwa para petapa dan brahmana, para ketua sangha, para ketua kelompok, para guru kelompok, para pendiri sekte yang tersohor dan terkenal ini – yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang-orang suci-telah datang untuk melewati Masa Hujan di Rajagaha. Ada Purana Kassapa di sini, ketua suatu sangha, ketua suatu kelompok, guru suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang tersohor dan terkenal- yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: beliau telah datang untuk melewatkan Masa Hujan di Rajagaha. Ada juga Makkhali Gosala di sini… Ajita Kesakambalin di sini … Pakhuda Kaccayana di sini …Sanjaya Belatthiputta di sini…Nigantha Nataputta di sini, ketua suatu sangha, ketua suatu kelompok, guru suatu kelompok, [3] pendiri suatu sekte yang tersohor dan terkenal – yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: beliau telah datang untuk melewatkan Masa Hujan di Rajagaha. Ada juga petapa Gotama di sini, ketua suatu sangha, ketua suatu kelompok, guru suatu kelompok, pendiri suatu sekte – yang tersohor dan terkenal dan dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: belaiu juga telah datang untuk melewati Masa Hujan di Rajagaha. Nah, di antara para petapa dan brahmana yang terhormat, para ketua sangha…- yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci-siapakah yang dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya? Dan bagaimanakah, seraya menghormati dan menghargainya, para siswanya hidup bergantung padanya?’
“Kemudian, beberapa orang mengatakan hal ini: ‘Purana Kassapa adalah ketua sangha…- yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci – tetapi dia tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, tidak juga para siswanya hidup bergantung padanya, seraya menghormati dan menghargainya. Pernah suatu kali Purana Kassapa sedang mengajarkan Dhammanya kepada sekelompok yang terdiri atas beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswanya mengatakan demikian: “Tuan-tuan, jangan mengajukan pada Purana Kassapa pertanyaan ini. Beliau tidak mengetahuinya. Kamilah yang mengetahuinya, Kamilah yang mengetahuinya. Ajukan pada kami pertanyaan itu. Kami akan menjawabnya untuk kalian, tuan-tuan.” Yang terjadi pada waktu itu adalah Purana Kassapa  tidak mendapatkan apa yang dia mau, walaupun dia melambaikan tangannya dan meratap: “Diamlah, tuan-tuan, janganlah bersuara, tuan-tuan. Mereka tidak bertanya kepada kalian, tuan-tuan. Mereka bertanya kepada kami. Kami akan menjawab mereka.” Memang, banyak muridnya meninggalkan Purana Kassapa setelah menyangkal doktrinnya demikian: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Vinaya ini. Sayalah yang memahami Dhamma dan Vinaya ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Vinaya ini? Caramu salah. Caraku benar. Saya konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya dikatakan di awal, engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya dikatakan diakhir, engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan cermat telah diputar balikkan. Doktrinmu disangkal. Engkau terbukti salah. Pergi dan belajarlah lebih baik lagi, atau lepaskan dirimu dari keruwetan jika engkau bisa!” Maka, Purana Kassapa tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, tidak juga para siswanya hidup bergantung padanya, seraya menghormati dan menghargainya. Sungguh, dia direndahkan melalui caci maki yang ditujukan pada Dhammanya.’[4]
‘Dan bebarapa orang mengatakan hal ini; ‘Makkhali Gosala ini …Ajita Kesakambalin ini…Pakhuda Kaccayana ini… Sanjaya Belatthiputta ini…Nighanta Nataputta ini adalah ketua suatu sangha…[tetapi dia] tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, tidak juga para siswanya hidup bergantung padanya, seraya menghormati dan menghargainya. Sungguh, dia direndahkan melalui caci maki yang ditujukan pada Dhammanya.’
“Dan beberapa orang mengatakan hal ini: ‘Petapa Gotama adalah ketua suatu sangha, ketua suatu kelompok, guru suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang tersohor dan terkenal – yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Beliau dihormati, dihargai, dipuja dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya hidup bergantung padanya, menghormati dan menghargainya. Suatu kali petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada kelompok yang terdiri atas beberapa ratus pengikut dan ada seorang siswanya berdehem untuk membersihkan kerongkongannya. Pada saat itu, salah seorang temannya di dalam kehidupan suci itu menyentuh orang itu dengan lututnya [untuk menunjukkan]: [5] “Diamlah, tuan yang terghormat, janganlah bersuara; Yang Terberkahi, Sang Guru, sedang mengajarkan Dhamma kepada kita.” Ketika petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada kelompok yang terdiri atas beratus-ratus pengikut, pada kesempatan itu tidak ada suara batuk atau suara dehem para pengikutnya. Pada saat itu, kelompok besar tersebut bersikap tenang dalam pengharapan: “Marilah kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Yang Terberkahi.” Sama seperti seseorang berada di persimpangan memeras madu murni dan sekelompok besar orang bersikap tenang penuh pengharapan, begitu juga, ketika petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada kelompok yang terdiri atas beratus-ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara siswa yang batuk atau berdehem. Pada saat itu, kelompok besar tersebut bersikap tenang dalam pengharapan: “Marilah kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Yang Terberkahi.” Dan bahkan para siswa beliau yang berselisih dengan sesama teman dalam kehidupan suci dan kemudian meninggalkan latihan untuk kembali ke kehidupan rendah – bahkan mereka pun memuji Sang Guru dan Dhamma dan Sangha; mereka menyalahkan diri sendiri alih-alih menyalahkan orang lain, dengan mengatakan: “Kami tidak beruntung, kami hanya memiliki sedikit jasa kebajikan; walaupun kami telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma yang dinyatakan dengan-baik, kami tidak dapat menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna selama sisa hidup kami.” Setelah menjadi pengurus vihara atau pengikut awam, mereka mengambil dan menjalankan lima sila (peraturan). Sungguh petapa Gotama dihormati, dihargai, dipuja, dan dimulyakan oleh para siswanya, dan para siswanya hidup bergantung pada Beliau, seraya menghomati dan menghargai Beliau.’”
7. “Tetapi, Udayin, berapa banyak sifat yang kau lihat di dalam diriku yang menyebabkan para siswaku menghormati, menghargai, memuja dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku?”
8. “Tuan yang mulia, saya melihat lima sifat di dalam diri Yang Terberkahi yang menyebabkan para siswa Beliau menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan Beliau, dan hidup bergantung pada Beliau, seraya menghormati dan menghargai Beliau. Apakah yang lima itu? Pertama-tama, tuan yang mulia, yang Terberkahi makan sedikit dan memuji makan sedikit; hal ini saya lihat sebagai sifat pertama Yang Terberkahi yang menyebabkan para siswa menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan Beliau, dan hidup bergantung pada Beliau, seraya menghormati dan menghargai Beliau. [6] Sekali lagi, tuan yang Mulia, Yang Terberkahi berpuas hati dengan jenis jubah apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jubah jenis apa pun; hal ini saya lihat sebagai sifat kedua Yang Terberkahi… Sekali lagi, tuan yang mulia, Yang Terberkahi berpuas hati dengan jenis dana makanan apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis dana makanan apa pun; hal ini saya lihat sebagai sifat ketiga Yang Terberkahi … Sekali lagi, tuan yang mulia, Yang Terberkahi berpuas hati dengan jenis tempat istirahat apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis tempat istirahat apa pun; ini saya lihat sebagai sifat keempat Yang Terberkahi  …Sekali lagi, tuan yang mulia, Yang Terberkahi menyendiri dan memuji kesendirian; hal ini saya lihat sebagai sifat kelima Yang Terberkahi…Tuan yang mulia ini adalah lima sifat yang saya lihat di dalam diri Yang Terberkahi yang menyebabkan para siswa Beliau menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan Beliau, dan hidup bergantung pada Beliau, seraya menghormati dan menghargai Beliau.”
9. “Seandainya saja, Udayin, para siswaku menghormati, memuja, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku, dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Lalu, ada siswa-siswaku yang hidup dari secangkir atau setengah cangkir makanan, makanan sebesar buah bilva atau separuh buah bilva, [7] semetara aku kadang-kadang makan seluruh isi mangkukku atau lebih. Jadi, jika siswa-siswaku menghormatiku …dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit,’ maka para siswaku yang hidup dengan secangkir makanan…seharusnya tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku karena sifat ini, dan mereka pun tidak seharusnya hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
“Seandainya saja, Udayin, para siswaku menghormati, menghargai memuja, dan memuliakan aku, dan hidup bergatung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku, dengan pemikiran: Petapa Gotama berpuas hati dengan jenis jubah apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis jubah apa pun.’ Lalu, ada siswa-siswaku yang merupakan pemakai jubah-buangan, pemakai jubah-kasar; mereka mengumpulkan kain buangan dari tempat mayat, tumpukan sampah, atau toko-toko, membuatnya menjadi jubah perca, dan memakainya. Tetapi aku kadang-kadang memakai jubah yang diberikan oleh para perumah-tangga, jubah-jubah yang begitu halus sehingga bulu waluh pun terasa kaar jika dibandingkan. Jadi, jika siswa-siswaku menghormatiku …dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama berpuas hati dengan jenis jubah apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis jubah apa pun,’ maka para jubah-kasar …seharusnya tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku karena sifat ini, dan mereka pun tidak seharusnya hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
“Seandainya saja, Udayin, para siswaku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku, dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama berpuas hati dengan jenis dana makanan apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis dana makanan apa pun.’ Lalu, ada siswa-siswaku yang merupakan pemakan dana-makanan, yang pergi untuk mendapatkan dana makanan dari rumah ke rumah secara tak-terputus, yang bergembira mengumpulkan makanan mereka; setelah mereka masuk di antara rumah-rumah, mereka tidak akan mau duduk sekalipun diundang. Tetapi aku kadang-kadang makan atas undangan dengan makanan nasi pilihan [8] dan banyak saus dan kari. Jadi, jika siswa-siswaku menghormatiku …dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama berpuas hati dengan jenis dana makanan apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis dana makanan apa pun,’ maka para siswaku yang merupakan pemakan dana makanan …seharusnya tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku karena sifat ini, dan mereka pun tidak seharusnya hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
“Seandainya saja, Udayin, para siswaku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku, dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama berpuas hati dengan jenis tempat istirahat apa pun dan memuji kepuasan hati dengan jenis tempat istirahat apa pun.’ Lalu, ada siswa-siswaku yang merupakan penghuni akar-pohon dan udara-terbuka, yang tidak menggunakan atap selama delapan bulan [dalam setahun], sementara aku kadang-kadang tinggal di rumah besar beratap-pelana yang dilepa dari dalam dan dari luar, terlindung dari angin, diamankan oleh grendel pintu, dengan jendela yang berdaun jendela. Jadi, jika siswa-siswaku menghormatiku …dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama berpuas hati dengan jenis tempat istirahat apa pun.’ maka para siswaku yang merupakan penghuni akar-pohon dan udara-terbuka … seharusnya tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku karena sifat ini, dan mereka pun tidak seharusnya hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
“Seandainya saja, Udayin, para siswaku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku, dengan pemikiran: ‘Petapa Gotama menyendiri dan memuji kesendirian.’ Lalu ada siswa siswaku yang merupakan penghuni-hutan, penghuni di tempat istirahat yang terpencil, yang hidup menarik diri di tempat-istirahat hutan lebat yang terpencil dan kembali ke tengah-tengah Sangha satu kali setiap setengah bulan untuk mengulangi Patimokkha. Tetapi kadang-kadang aku hidup dikelilingi oleh para bhikkhu dan bhikhuni. Oleh para pengikut laki-laki dan perempuan, oleh para raja dan mentari raja, oleh sekte-sekte lain dan siswa-siswa mereka. Jadi, jika siswa-siswaku menghormatiku…dengan pemikiran; ‘Petapa Gotama menyendiri dan memuji kesendirian,’ [9] maka para siswaku yang merupakan penghuni-hutan…seharusnya tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku karena sifat ini, dan mereka pun tidak seharusnya hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku. Jadi. Udayin, bukan karena lima sifat itu para siswaku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
10. “Tetapi, Udayin, ada lima sifat lain yang menyebabkan para siswaku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku. Apakah yang lima itu?
(I. MORALITAS YANG LEBIH TINGGI}
11. “Di sini, Udayin, para siswaku menjunjung-tinggi aku karena moralitas yang lebih tinggi demikian: ‘Petapa Gotama bermoral, Beliau memiliki kelompok moralitas yang tinggi.’ Ini adalah sifat pertama yang menyebabkan para siswaku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
(II. PENGETAHUAN DAN VISI)
12. “Sekali lagi, Udayin, para siswaku menjunjung-tinggi aku karena pengetahuan dan visiku yang luar biasa demikian: ‘Ketika petapa Gotama mengatakan “Aku tahu,” Beliau benar-benar tahu; ketika Beliau mengatakan “Aku melihat,” Beliau benar-benar melihat. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung; Beliau mengajarkan Dhamma dengan dasar yang sehat, bukan tanpa dasar yang sehat; Beliau mengajarkan Dhamma dengan sikap yang meyakinkan, bukan dengan sikap yang tidak meyakinkan.’ Inilah sifat kedua yang menyebabkan [10] para siswaku menghormatiku…
(III. KEBIJAKSANAAN YANG LEBIH TINGGI)
13. “Sekali lagi, Udayin, para siswaku menjunjung tinggi aku karena kebijaksanaan yang lebih tinggi demikian: “Petapa Gotama bijaksana, Beliau memiliki kelompok kebijaksanaan yang tinggi. Tidaklah mungkin bahwa Beliau tidak terlebih dahulu mengetahui arah-arah doktrin di masa depan(761) atau bahwa Beliau tidak dapat menyangkal dengan penalaran doktrin-doktrin lain di masa-kini.’ Bagaimana  pendapatmu, Udayin? Apakah siswa-siswaku – yang mengetahui dan melihat demikian- masuk dan menylaku?” –“Tidak, tuan yang terhormat.” – “Aku tidak mengharapkan instruksi dari para siswaku; selalu saja, para siswakulah yang mengharapkan instruksi dariku. Inilah sifat ketiga yang menyebabkan para siswaku menghormatiku…
(IV. EMPAT KEBENARAN MULIA)
14. “Sekali lagi, Udayin, ketika para siswaku menjumpai penderitaan dan menjadi korban penderitaan, mangsa penderitaan, mereka datang padaku dan bertanya kepadaku mengenai kebenaran mulia tentang penderitaan. Karena ditanya, aku menjelaskan kepada mereka kebenaran mulia tentang penderitaan, dan aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasanku. Mereka bertanya kepadaku mengenai kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan…mengenai kebenaran mulia tentang berhentinya penderitaan … mengenai  kebenaran mulia tentang jalan menuju berhentinya penderitaan. Karena ditanya, aku menjelaskan kepada mereka kebenaran mulia tentang jalan menuju berhentinya penderitaan, dan aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasanku.  Inilah sifat keempat [11] yang menyebabkan para siswaku menghormatiku…
(V. CARA UNTUK MENGEMBANGKAN KEADAAN-KEADAAN BAJIK)
(1. Empat Landasan Kewaspadaan)
15. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan empat landasan kewaspadaan.(762) Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan tubuh sebagai tubuh, rajin, sepenuhnya sadar,  dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan tentang dunia. Dia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan … Dia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran …Dia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, rajin, sepenuhnya sadar,dan waspada, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan tentang dunia. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.(763)
(2. Empat jenis Usaha Benar)
16. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan empat jenis usaha benar. Di sini, seorang bhikkhu membangunkan semangat untuk tidak-munculnya keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang belum muncul, dan dia mengarahkan usaha, menggugah energi, mengarahkan pikirannya, dan berjuang. Dia membangunkan semangat untuk meninggalkan keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yang telah muncul … Dia membangunkan semangat untuk munculnya keadaan-keadaan bajik yang belum muncul… Dia membangunkan semangat untuk kesinambungan, tiada-lenyap, penguatan, peningkatan, dan pemenuhan dengan pengembangan keadaan-keadaan bajik yang telah muncul, dan dia mengarahkan usaha, menggugah energi, mengarahkan pikirannya, dan perjuang. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(3. Empat Landasan untuk Kekuatan Spiritual)
17. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan empat landasan untuk kekuatan spiritual. Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan untuk kekuatan spiritual yang didasari konsentrasi karena kegembiraan dan usaha dengan tekad tinggi. Dia mengembangkan landasan untuk kekuatan spiritual yang didasari konsentrasi karena semangat dan usaha dengan tekad tinggi. Dia mengembangkan landasan untuk kekuatan spiritual yang didasari konsentrasi karena [kemurnian] pikiran dan usaha dengan tekad tinggi. Dia mengembangkan landasan untuk kekuatan spiritual yang didasari konsentrasi karena penyelidikan dan usaha dengan tekad tinggi. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(4. Lima Kemampuan)
18. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan lima kemampuan spiritual. Di sini, [12] seorang bhikkhu mengembangkan kemampuan keyakinan, yang membawa menuju kedamaian, menuju pencerahan. Dia mengembangkan kemampuan energi…kemampuan kewaspadaan … kemampaun konsentrasi…kemampuan kebijaksanaan, yang membawa menuju kedamaian, menuju pencerahan. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(5. Lima Kekuatan)
19. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan lima kekuatan. Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan kekuatan keyakinan, yang membawa menuju kedamaian, menuju pencerahan. Dia mengembangkan kekuatan energi … kekuatan kewaspadaan … kekuatan konsentrasi … kekuatan kebijaksanaan, yang membawa menuju kedamaian, menuju pencerahan. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(6. Tujuh Faktor Pencerahan)
20. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan tujuh faktor pencerahan. Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan kewaspadaan, yang ditopang oleh Kesendirian, tanpa-nafsu, dan penghentian, dan hasilnya adalah melepas. Dia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan-keadaan-keadaan .. faktor pencerahan energi … faktor pencerahan kegiuran … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan ketenang-seimbangan, yang ditopang oleh kesendirian, tanpa-nafsu, dan penghentian, dan hasilnya adalah melepas. Dan demikian banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(7. Jalan Mulia Berunsur-Delapan)
21. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, niat benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar, usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi benar. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(8. Delapan Pembebasan)
22. “Sekali lagi, Udayin aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan delapan pembebasan.(764) Karena memiliki bentuk materi, orang melihat bentuk: inilah pembebasan pertama. Karena tidak melihat bentuk secara internal, orang melihat bentuk secara eksternal: inilah pembebasan kedua. Orang memutuskan hanya pada yang indah: inilah pembebasan ketiga. [13] Dengan dilampauinya persepsi bentuk secara total, bersama dengan lenyapnya persepsi dampak indera, bersama dengan tanpa-perhatian pada persepsi perbedaan, menyadari bahwa ‘ruang  adaalh tak-terbatas,’ orang masuk dan berdiam di dalam landasan ruang tak-terbatas; inilah pembebasan keempat. Dengan terlampauinya secara total landasan ruang tak-terbatas, sadar bahwa ‘kesadaran adalah tak-terbatas,’ orang masuk dan berdiam di dalam landasan kasadaran tak-terbatas: inilah pembebasan kelima. Dengan terlampauinya secara total landasan keadaran tak-terbatas, sadar bahwa ‘tidak ada apa pun,’ orang masuk dan berdiam di dalam landasan kekosongan: inilah pembebasan keenam. Dengan terlampauinya secara total landasan kekosongan, orang masuk dan berdiam di dalam landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi: inilah pembebasan ketujuh. Dengan terlampauinya secara total landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, orang masuk dan berdiam di dalam berhentinya persepsi dan perasaan: inilah pembebasan kedelapan. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(9. Delapan Landasan untuk Transendensi)
23. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan delapan landasan untuk transendensi.(765) Ketika mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, biasa dan buruk rupa; dengan mentransendenkan hal-hal-itu, orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.’ Inilah landasan transendensi yang pertama.(766) Ketika mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tak-terbatas, biasa dan buruk rupa; dengan mentransendenkan hal-hal itu, Orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.’ Inilah landasan transendensi yang kedua. Ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, biasa dan buruk rupa: dengan mentransendenkan hal-hal itu, orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.’ Inilah landasan transendensi yang ketiga.(767) Ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tak-terbatas, biasa dan buruk rupa; dengan mentransendenkan hal-hal itu, orang memahami demikian: ‘Saya tahu, saya melihat.’ Ini adalah landasan transendensi yang keempat. Ketika tidak mnegetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, biru, berwarna biru, berpenampakan biru, dengan kilau biru. Sama seperti bunga rami, yang biru, berwarna biru, berpenampakan biru, dengan kilau biru atau sama seperti kain Benares yang dilicinkan di kedua sisinya, yang biru, berwarna biru, berpenampakan biru, dengan kilau biru; demikian juga, ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal…dengan kilau biru; dengan mentransendenkan hal-hal itu, orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.” Inilah landasan transendensi yang kelima [14]. Ketika tidak melihat bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, kuning, berwarna kuning, berpenampakan kuning, dengan kilau kuning. Sama seperti bunga kannikara, yang kuning, berwarna kuning, berpenampakan kuning, dengan kilau kuning, atau sama seperti kain Benares yang dilicinkan di kedua sisinya, yang kuning, berwarna kuning, berpenampakan kuning, dengan kilau kuning; demikian juga, ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal…dengan kilau kuning; dengan mentransendenkan hal-hal itu, orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.’ Inilah landasan transendensi yang keenam. Ketika tidak mengetahui bentuk secara eksternal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal, merah, berwarna merah, berpenampakan merah, dengan kilau merah. Sama seperti bunga hibiscus, yang merah, berwarna merah, berpenampakan merah, dengan kilau merah atau persis sama dengan kain Benares yang dilicinkan di kedua sisinya, yang merah, berwarna merah, berpenampakan merah, dengan kilau merah; demikian juga, ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal…dengan kilau merah; dengan mentransendenkan hal-hal itu, orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.’ Inilah landasan transendensi yang ketujuh; Ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk secara eksternal, putih, berwarna putih, berpenampakan putih, dengan kilau putih. Sama seperti bunga bintang pagi, yang putih, berwarna putih, berpenampakan putih, dengan kilau putih atau sama seperti kain Benares yang dilicinkan di kedua sisinya, yang putih, berwarna putih, berpenampakan putih, dengan kilau putih; demikian juga, ketika tidak mengetahui bentuk secara internal, orang melihat bentuk-bentuk secara eksternal …dengan kilau putih; dengan mentransendenkan hal-hal itu, orang memahami demikian: ‘Aku tahu, aku melihat.’ Inilah landasan transendensi yang kedelapan. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(10. Sepuluh Kasina)
24. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengembangkan sepuluh landasan kasina.(768) Orang merenungkan kasina-tanah di atas, dibawah, dan di kelilingi, tak-terbagi dan tak-terukur. Yang lain merenungkan kasina-air … Yang lain merenungkan kasina-api … Yang lain merenungkan kasina-udara … Yang lain merenungkan kasina-biru … Yang lain merenungkan kasina-kuning… Yang lain merenungkan kasina-merah… Yang lain merenungkan kasina-putih… Yang lain merenungkan kasina-ruang… Yang lain merenungkan kasina-kesadaran[15] di atas, di bawah, dan di sekeliling, tak-terbagi dan tak-terukur. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(11. Empat Jhana)
25. “Sekali lagi. Udayin, aku telah menyatakan kepada siswa-siswaku cara untuk mengembangkan empat jhana. Di sini, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama, yang dibarengi oleh pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian. Dia membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian itu membasahi, merendam, mengisi, dan menyusup tubuhnya, sehingga tidak ada bagian di seluruh tubuhnya yang tidak tersusupi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendiran.(769) Sama seperti seorang pembasuh yang terampil atau pemagang pembasuh menumpuk serbuk mandi di wadah logam, dan – setelah memercikkan air secara bertahap-kemudian menguleninya smpai kelembaban membasahi bola sebuknya, membasahinya dan menyusupinya di luar dan di dalam, namun bola itu sendiri tidak meleleh; demikian juga, seorang bhikkhu membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian itu membasahi, merendam,mengisi, dan menyusupi tubuhnya, sehingga tidak ada bagian di seluruh tubuhnya yang tidak tersusupi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesndirian.
26. ekali lagi, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana kedua, yang memiliki keyakinan-diri dan kemanunggalan pikiran tanpa pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi. Dia membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi itu membasahi, merendam, mengisi, dan menyusupi tubuhnya, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak tersusupi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi. Sama halnya seolah-olah ada sebuah danau yang airnya keluar dari bawah dan tidak mempunyai aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan [16] dan tidak akan terisi dari waktu ke waktu oleh air hujan, maka sumber air sejuk yang naik di danau itu akan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan menyusupi danau, sehingga tidak ada bagian di seluruh danau yang tidak tersusupi oleh air sejuk itu: demikian juga, seorang bhikkhu membuat kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi membasahi, merendam, mengisi, dan menyusupi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak tersusupi oleh kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi.
27. “Sekali lagi, bersama dengan melemahnya juga kegiuran, seoang bhikkhu berdiam di dalam ketenang-seimbangan. Dan dengan waspada serta sepenuhnya sadar, masih merasakan kesenangan dengan tubuh, dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga, yang oleh para mulia dinyatakan: ‘Dia memiliki kediaman yang menyenangkan bila memiliki ketenang-seimbangan dan tetap waspada.’ Dia membuat kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran itu membasahi, merendam, mengisi, dan menyusupi tubuhnya, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak tersusupi oleh kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran. Sama seperti di kolam teratai biru, merah, dan putih, beberapa teratai yang terlahir dan tumbuh di air itu berkembang terendam di dalam air tanpa muncul darinya, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan menyusup sampai ke ujung dan akarnya, sehingga tidak ada bagian dari seluruh teratai yang tidak tersusupi oleh air sejuk; demikian juga, seorang bhikkhu membuat kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran itu membasahi, merendam, mengisi, dan menyusupi tubuhnya, sehingga tidak ada bagian di seluruh tubuhnya yang tidak tersusupi oleh kesenangan yang dilepaskan dari kegiuran.
28. “Sekali lagi, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan, dan dengan telah lenyapnya kegembiraan serta kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana keempat,yang mempunyai bukan penderitaan-pun-bukan-kesenangan dan kemurnian kewaspadaan yang disebabkan oleh ketenang-seimbangan. Dia duduk menyusupi tubuh ini dengan pikiran murni yang terang, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tersusupi oleh pikiran murni yang terang itu. Sama seperti orang yang duduk dengan kepala sampai ke kaki tertutup kain putih, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak tertutup kain putih; demikian juga, seorang bhikkhu duduk menyusupi tubuh ini dengan pikiran murni yang terang, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya[17] yang tidak tersusupi oleh pikiran murni yang terang itu. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(12. Pengetahuan Pandangan Terang)
29. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk memahami demikian:(770) ‘Tubuhku ini, yang terbuat dari bentuk materi, terdiri atas empat elemen besar, dihasilkan olehayah dan ibu, dan dibangun dari nasi dan bubur, terkena ketidak-kekalan, terpakai dan terkikis, terkena peleburan dan penguraian, dan kesadaranku ini ditopang olehnya dan terikat dengannya.’ Misalnya ada permata beryl yang indah sejernih air yang paling murni, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan terang, memiliki semua kualitas yang bagus, dengan seutas benang biru, kuning, merah, putih, atau coklat yang menguntainya. Kemudian, seorang laki-laki yang baik penglihatannya memegangnya, dan mungkin memerikasanya demikian: ‘Ini adalah permata beryl yang indah sejernih air yang paling murni, berisi- delapan, dipotong dengan baik, jernih dan terang, memiliki semua kualitas yang bagus, dengan seutas benang biru, kuning, merah, putih, atau coklat yang menguntainya.’ Demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk memahami demikian: “Tubuhku ini… terkena ketidak-kekalan, terpakai dan terkikis, terkena peleburan dan penguraian, dan kesadaranku ini ditopang olehnya dan terikat dengannya.’ Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(13. Tubuh yang Dibuat-Pikiran)
30. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk dari tubuh ini menciptakan tubuh lain yang memiliki bentuk, dibuat-pikiran, dengan semua tangan kakinya, tidak kekurangan kemampuan, Sama halnya seolah-olah seseorang menarik keluar alang-alang dari pelepahnya dan berpikir demikian: ‘Ini adalah pelepahnya, ini adalah alang-alangnya; pelepahnya adalah satu hal, alang-alang adalah hal lain; dari pelepahnyalah alang-alang itu dicabut keluar’; atau sama halnya seolah-olah seseorang mencabut keluar pedang dari sarungnya dan berpikir demikian; ‘Ini adalah pedangnya, ini adalah sarungnya; pedangnya adalah satu hal, sarungnya adalah hal lain; dari sarungnyalah pedang itu dicabut keluar’; [18] atau sama halnya seolah-olah seseorang menarik seekor ular keluar dari payanya dan berpikir demikian: ‘Ini adalah ularnya, ini adalah payanya; ularnya adalah satu hal, payanya adalah hal lain; dari payanyalah ular itu ditarik keluar.’ Demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk dari tubuh ini menciptakan tubuh lain yang memiliki bentuk, dibuat-pikiran, dengan semua tangan kakinya, tidak kekurangan kemampuan. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(14. Jenis-jenis Kekuatan Supranormal)
31. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk menggunakan berbagai jenis kekuatan supranormal: setelah menjadi satu, mereka menjadi banyak; setelah menjadi banyak, mereka menjadi satu; mereka muncul dan lenyap; mereka pergi tak-terhalang menembus dinding, menembus pagar, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang; mereka menyelam masuk dan keluar dari bumi seolah-olah itu air; mereka berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah itu bumi; duduk bersila, mereka terbang diangkasa seperti burung; dengan tangannya, mereka menyentuh dan mengelus rembulan dan matahari yang begitu kuat dan perkasa; mereka menggunakan penguasaan tubuh bahkan sejauh alam-Brahma. Sama seperti pengrajin tembikar yang terampil atau pemagangnya bisa menciptakan dan membentuk tanah liat yang telah disiapkan dengan baik menjadi bentuk pot apa pun yang dia inginkan, sama seperti pengrajin gading yang terampil atau pemagangnya bisa menciptakan dan membentuk gading yang telah disiapkan dengan baik menjadi karya seni gading apa pun yang dia inginkan; atau sama seperti pandai-emas yang terampil atau pemagangnya bisa menciptakan dan membentuk emas yang telah disiapkan dengan baik menjadi karya seni emas apa pun yang dia inginkan; begitu juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk menggunakan berbagai jenis kekuatan supranormal …[19]…mereka menggunakan penguasaan tubuh bahkan sejauh alam-Brahma. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(15. Elemen Telinga-Dewa)
32. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara di mana – dengan elemen telinga-dewa, yang dimurnikan dan melampaui manusia- mereka mendengar dua jenis- suara –suara surgawi dan manusiawi- yang jauh maupun yang dekat. Sama seperti seorang peniup terompet yang kuat mungkin membuat dirinya terdengar tanpa kesulitan di empat penjuru; demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara dimana – dengan elemen telinga dewa … yang jauh maupun yang dekat. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(16. Memahami Pikiran Makhluk Lain)
33. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk memahami pikiran makhluk lain, pikiran orang lain, setelah meliputinya dengan pikiran mereka sendiri. Mereka memahami pikiran yang dipengaruhi oleh nafsu sebagai yang dipengaruhi oleh nafsu dan pikiran yang tidak dipengaruhi oleh nafsu sebagai yang tidak dipengaruhi oleh nafsu; mereka memahami pikiran yang dipengaruhi oleh kebencian sebagai yang dipengaruhi oleh kebencian dan pikiran yang tidak dipengaruhi oleh kebencian sebagai yang tidak dipengaruhi oleh kebencian; mereka memahami pikiran yang dipengaruhi oleh kebodohan batin sebagai yang dipengaruhi oleh kebodohan batin dan pikiran yang tidak dipengaruhi oleh kebodohan  batin sebagai yang tidak dipengaruhi oleh kebodohan batin; mereka memahami pikiran yang mengkerut sebagai yang mengkerut dan pikiran yang terganggu sebagai yang terganggu; mereka memahami pikiran yang tinggi sebagai yang tinggi dan pikiran yang tidak tinggi sebagai yang tidak tinggi; mereka memahami pikiran yang terlampaui sebagai yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai yang tidak terlampaui; mereka memahami pikiran yang terkonsentrasi sebagai yang terkonsentrasi dan pikiran yang tidak terkonsentrasi sebagai yang tidak terkonsentrasi; mereka memahami pikiran yang terbebas sebagai yang terbebas dan pikiran yang tidak terbebas sebagai yang tidak terbebas. Sama seperti seorang pria atau perempuan – yang muda, belia, dan suka perhiasan – ketika memandang pantulan wajahnya di cermin yang bersih dan berkilau atau di mangkuk air yang bersih, akan mengetahui jika ada sebuah bintik demikian: ‘Ada sebuah bintik,’[20] atau akan mengetahui jika tidak ada bintik demikian : ‘Tidak ada bintik’; demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk memahami… pikiran yang tidak terbebas sebagai yang tidak terbebas. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
(17. Ingatan tentang Kehidupan Lampau)
34. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengingat berbagai kehidupan lampau mereka, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, berkalpa-kalpa pengerutan-dunia, berkalpa-kalpa pengembangan dunia, berkalpa-kalpa pengerutan dan pengembangan dunia: “Di sana aku bernama demikian, dari keluarga demikian, dengan penampilan demikian, seperti itulah makananku, sedemikian rupa adalah penderitaan dan kesenanganku, seperti itu masa-hidupku; dan setelah meninggal dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana juga aku bernama demikian … dan setelah meninggal dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan aspek dan cirinya mereka mengingat kembali berbagai kehidupan lampau mereka. Sama halnya seperti orang yang pergi dari desanya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya sendiri. Dia akan berpikir: ‘Aku pergi dari desaku sendiri ke desa sana, dan di sana aku berdiri dengan cara demikian, duduk dengan cara demikan berbicara dengan cara demikian, diam dengan cara demikian;  dan dari desa itu aku pergi ke desa lain dan di sana [21] aku berdiri dengan cara demikian … diam dengan cara demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku sendiri.’ Demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara untuk mengingat kembali berbagai kehidupan mereka … Demikianlah dengan aspek dan cirinya mereka mengingat kembali berbagai kehidupan lampau mereka. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
( 18. Mata-Dewa)
35. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara di mana dengan mata-dewa, yang dimurnikan dan melampaui manusia, mereka melihat para makhluk berlalu dan muncul kembali, rendah dan tinggi, elok dan buruk rupa, beruntung dan tidak beruntung. Mereka memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan mereka demikian: ‘Para makhluk yang berharga yang berperilaku jahat melalui tubuh, ucapan, dan pikiran, pencaci para mulia, salah dalam pandangan mereka, menghasilkan pandangan salah dalam tindakan-tindakan mereka, pada saat hancurnya tubuh, setelah kernatian, telah muncul kembali di alam sengsara, di tempat yang buruk, di alam penderitaan, bahkan di neraka; tetapi para makhluk berharga yang berperilaku baik melalui tubuh, ucapan dan pikiran, bukan pencaci para mulia, benar dalam pandangan mereka, menghasilkan pandangan benar dalam tindakan-tindakan mereka, pada saat hancurnya tubuh, setelah kematian, muncul kembali di tempat yang baik, bahkan di alam surga.’Demikianlah dengan mata-dewa, yang dimurnikan dan melampaui manusia, mereka melihat para makhluk berlalu dan muncul kembali, rendah dan tinggi, elok dan buruk rupa, beruntung dan tidak beruntung, dan mereka memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan mereka. Sama halnya seperti ada dua rumah yang berpintu dan manusia -yang baik penglihatannya- yang berdiri di sana di antara dua rumah itu melihat orang-orang masuk rumah dan keluar dan lewat ke sana kemari. Demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara di mana dengan mata
dewa … Mereka memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan mereka. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung. [22]
(19. Hancurnya Noda-Noda)
36. “Sekali lagi, Udayin, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara di mana dengan merealisasikan untuk mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, mereka di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tak-ternoda bersama dengan hancurnya noda-noda. Sama halnya seperti jika ada danau di celah gunung, yang jernih, terang, dan tak-terganggu, sehingga orang -yang baik penglihatannya- yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan batu koral, dan juga gerombolan ikan yang berenang kian kemari dan beristirahat. Dia mungkin berpikir: ‘Ada danau ini, yang jernih, terang, dan tak-terganggu, dan ada kerang, kerikil, dan batu koral, dan juga gerombolan ikan yang berenang kian kemari dan beristirahat.’ Demikian juga, aku telah menyatakan kepada para siswaku cara di mana dengan merealisasikan untuk mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, mereka di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan yang tak-ternoda bersama dengan hancurnya noda-noda. Dan demikianlah banyak siswaku berdiam setelah mencapai perwujudan dan penyempurnaan pengetahuan langsung.
37. Inilah, Udayin, sifat kelima yang menyebabkan para siswaku menghormati, menghargai, menjunjung tinggi, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.
38. lnilah,Udayin, lima sifat yang menyebabkan para siswaku menghormati, menghargai, menjunjung tinggi, dan memuliakan aku, dan hidup bergantung padaku, seraya menghormati dan menghargaiku.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Udayin si kelana merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan
761 Anagatam vadapatham. Nm telah menerjemahkan: “akibat logis di masa depan dari suatu penegasan.” Tampaknya hal itu berarti bahwa Sang Buddha memahami semua makna tak terungkap dari doktrin Beliau sendiri serta doktrin-doktrin lawannya. Frasa itu mungkin juga menyiratkan bahwa, di sutta-sutta seperti misalnya Brahmajala Sutta, Sang Buddha telah menetapkan suatu kritik yang berlaku untuk doktrin mana pun yang mungkin akan muncul di masa depan tentang pemikiran religio-filosofis.
762  Dijelaskan lengkap di MN 10. Tujuh kelompok pertama dari “keadaan-keadaan bajik” (§15-21) membentuk tiga-puluh-tujuh syarat pencerahan (bodhipakkhiya dhamma).
763  Abhinnavosanaparamippatta. MA menjelaskan sebagai pencapaian tingkat arahat. Ini mungkin satu-satunya pengertian yang ada di dalam kata parami yang muncul di empat Nikaya. Di dalam literatur Theravada di kemudian hari, yang bermula mungkin dengan karya-karya seperti Buddhavamsa, kata ini muncul untuk menandai moralitas sempurna yang harus dipenuhi oleh seorang bodhisatta selama banyak kehidupan guna mencapai tingkat ke-Buddha-an. Dalam konteks itu, kata tersebut sesuai dengan paramita di literatur Mahayana, walaupun daftar urutan penomoran tentang moralitasnya tumpang-tindih hanya sebagian.
764  MA menjelaskan pembebasan (vimokkha) di sini dengan pengertian lepasnya pikiran secara penuh (tetapi sementara) dari keadaan-keadaan yang berlawanan dan lepasnya pikiran secara penuh (tetapi sementara) dengan cara bergembira di dalam objek itu. Pembebasan pertama merupakan pencapaian empat jhana yang menggunakan kasina (lihat §24 dan n.768) yang berasal dari objek berwarna di tubuhnya sendiri; yang kedua merupakan pencapaian jhana-jhana yang menggunakana kasina yang berasal dari objek eksternal; yang ketiga dapat dipahami sebagai pencapaian jhana-jhana melalui kasina yang sangat murni dan indah warnanya atau empat brahmavihira. Pembebasan pembebasan lainnya merupakan pencapaian-pencapaian tanpa-materi dan pencapaian penghentian.
765  MA menjelaskan bahwa hal-hal ini disebut landasan-landasan transendensi (abhibhayatana) karena mereka mentransendenkan (abhibhavati, menanggulangi) keadaan- keadaan yang berlawanan dan objek-objek itu, yang disebut pertama melalui pemakaian penangkal yang sesuai, yang kedua melalui munculnya pengetahuan.
766  MA: Meditator melakukan kerja awal pada bentuk internal -misalnya, birunya mata untuk kasina-biru, kulit untuk kasina-kuning, darah untuk kasina-merah, gigi untuk kasina-putih-tetapi tanda konsentrasi (nimitta) muncul secara eksternal. Pen-transenden-an” bentuk-bentuk merupakan pencapaian penyerapan bersama dengan munculnya tanda. Persepsi “Aku tahu, aku melihat” merupakan penyebutan (abhoga) yang muncul setelah dia keluar dari pencapaian itu, bukan di dalam pencapaian. Landasan transendensi kedua berbeda dari yang pertama hanya karena perluasan tanda dari dimensi yang terbatas menuju tak-terbatas.
767 MA: Landasan kedua dan keempat melibatkan kerja awal yang dilakukan pada bentuk eksternal dan munculnya tanda secara eksternal. Landasan kelima sampai kedelapan berbeda dari yang ketiga dan keempat dalam hal kemurnian dan kecemerlangan warnanya yang superior.
768  Kasina merupakan objek meditasi yang berasal dari alat fisik yang menyediakan penopang untuk memperoleh tanda yang divisualisasikan ke dalam. Jadi, misalnya, cakram yang dibuat dari tanah liat dapat digunakan sebagai objek awal untuk mempraktekkan kasina-tanah, semangkuk air untuk mempraktekkan kasina-air. Kasina dijelaskan secara mendetil di Vsm IV dan V. Tetapi, di sana kasina-ruang dibatasi pada ruang terbatas, dan kasina-kesadaran digantikan oleh kasina-sinar.
769 Kiasan-kiasan untuk jhana-jhana juga muncul di MN 39, seperti juga kiasan untuk tiga jenis pengetahuan terakhir di §34-36.
770 §29-36 menggambarkan delapan variasi pengetahuan yang lebih tinggi, yang di Samannaphala merupakan buah-buah kepetapaan superior yang ditunjukkan.