Selasa, 21 Februari 2012

MAHATANHASANKHAYA SUTTA

1. Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Jetavana, taman milik Anathapindika Savatthi.
2. Pada ketika itu suatu pandangan jahat telah timbul pada diri Bhikkhu Sati Kevattaputta (anak nelayan) : “Aku mengerti dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran (vinnana) yang sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan (samsara) ini”
3. Banyak bhikkhu mendengar bahwa hal ini. Kemudian mereka pergi kepada Bhikkhu Sati Kevattaputta dan mereka bertanya kepadanya “Avuso, apakah benar bahwa suatu pandangan jahat telah timbul dalam dirimu: Aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava bahwa kesadaran sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan ini”"Benar, para Avuso aku mengerti Dhamma yang diajarkan Sang Bhagava … lingkaran kehidupan ini” Karena para bhikkhu ingin agar dia mau melepaskan pandangan jahatnya itu, mereka bertanya, menekan dan menyudutkan dia dengan kata-kata “Avuso Sati, janganlah berkata begitu, janganlah salah mewakili Sang Bhagava, adalah tidak baik untuk salah mewakili Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak berkata begitu, sebab kesadaran itu telah dikemukakan di dalam banyak kotbah dhamma oleh Sang Bhagava sebagai hal yang timbul karena adanya sebab, karena tanpa kondisi maka kesadaran tidak muncul (ada).” Namun walaupun ditekan, ditanyai serta disudutkan oleh pertanyaan-pertanyaan mereka, bhikkhu Sati Kevattaputta masih dengan kepala batu salah menanggapi sesuai dengan pandangan jahatnya dan tetap bertahan dan berkata :
“Para Avuso, memang demikian seperti apa yang aku mengerti tentang Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava …. lingkaran kehidupan ini”
4. Karena para bhikkhu tidak dapat membebaskan dirinya dari pandangan salah itu, mereka pergi kepada Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada beliau, mereka duduk ditempat yang tersedia. Setelah duduk, mereka menceritakan kepada Beliau semua yang terjadi dan mereka menambahkan “Bhante, karena kita tidak dapat melepaskan bhikkhu Sati Kevattaputta dari pandangan jahat itu, kami melaporkan kepada Sang Bhagava tentang kejadian itu.”
5. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu dengan kata-kata sebagai berikut “Ayo bhikkhu, atas namaku katakan kepada bhikkhu Sati bahwa Guru memanggilmu.”
“Baik, bhante,” jawabnya. Ia pergi menemui bhikkhu Sati dan berkata “Sang Guru memanggilmu avuso Sati”
“Baiklah, avuso,” ia menjawab. Lalu bhikkhu Sati pergi menghadap Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Ketika ia telah duduk, Sang Bhagava bertanya kepadanya: “Sati, apakah betul, bahwa pandangan jahat berikut telah timbul pada dirimu ‘Saya mengerti dhamma yang diajarkan Sang Bhagava …….. lingkaran kehidupan ini?’”
“Bhante, memang benar demikian. Seperti apa yang aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran …. lingkaran kehidupan ini.”
“Apakah kesadaran itu Sati?”
“Bhante, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan serta mengalami akibat dari perbuatan baik dan jahat di sini maupun di sana”
6. “Orang bodoh, dari siapakah kamu pernah mendengar saya mengajar Dhamma seperti itu? Orang bodoh, bukankah saya telah nyatakan dalam banyak kotbah bahwa kesadaran muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi kamu telah salah menginterprestasikan dengan pengertian kamu yang salah dan mengatakan pandangan salahmu, itu akan menyebabkan banyak akibat buruk (apunna), karena hal ini maka kamu akan lama terganggu dan menderita”
7. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, bagaimana pendapat kamu sekalian. Sudahkah Sati Kevattaputta menyalakan (usmikato) dhamma dan vinaya ini?”
“Bhante, mengapa harus dia? Tidak, Bhante” Setelah hal ini dinyatakan, Bhikkhu Sati Kevattaputta duduk diam, cemas, bahu turun, kepala tertunduk, muram dan tak berkata sepatah katapun. Menyadari keadaan bhikkhu Sati, maka Sang Bhagava berkata kepadanya “Orang bodoh, ketahuilah karena pandangan jahatmu, Saya akan menanyakan hal ini kepada para bhikkhu”
8. Lalu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu “Para bhikkhu, apakah kamu sekalian tahu Dhamma yang Saya ajarkan adalah seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sati Kevattaputta, ketika ia salah menginterprestasikan karena pengertiannya yang salah dan mengatakannya yang salah, yang menyebabkan banyak akibat buruk, maka ia akan lama terganggu dan menderita”
“Tidak, bhante, karena kesadaran telah dinyatakan dalam banyak kotbah Sang Bhagava bahwa itu muncul karena adanya sebab karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul”
“Baik, para bhikkhu, bahwa kamu sekalian mengetahui dhamma yang telah Saya ajarkan. Karena kesadaran telah saya nyatakan dalam banyak kotbah bahwa itu muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi Bhikkhu Sati Kevattaputta telah salah menginterprestasikan …. terganggu dan mencerita.”
9. “Para bhikkhu, kesadaran hanya muncul, tergantung pada sebabnya: bila kesadaran (vinnana) muncul tergantung pada mata (cakkhu) dan bentuk-bentuk (rupa), disebut kesadaran mata (cakkhuninnana): kesadaran muncul tergantung pada telinga (sota) dan suara (sadda) disebut kesadaran telinga (sotavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada hidung (nasa) dan bau (gandha) disebut kesadaran hidung (nasavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada lidah (jivha) dan rasa (rasa) disebut kesadaran lidah (jivhavinnana); kesadaran yang muncul tergantung pada tubuh (kaya) dan sentuhan (photthabba) disebut kesadaran tubuh (kaya vinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada pikiran (mano) dan obyek pikiran (dhamma) disebut kesadaran pikiran (manovinnana). Seperti api yang hanya diperhitungkan tergantung pada sebab yang memunculkannya, api terbakar tergantung pada batang kayu di sebut api batang kayu, bila api terbakar tergantung pada kayu bakar disebut api kayu bakar, bila api terbakar tergantung pada rumput disebut api rumput, bila api terbakar tergantung pada kotoran sapi disebut api kotoran sapi, bila api terbakar tergantung pada dedak disebut api dedak, bila api terbakar tergantung pada sampah disebut api sampah. Demikian pula, kesadaran hanya muncul tergantung pada sebabnya. Ketika kesadaran muncul tergantung pada mata dan bentuk disebut kesadaran mata …. bila kesadaran muncul tergantung pada pikiran dan obyek pikiran disebut kesadaran pikiran.”
10. “Para bhikkhu, bagaimana kamu sekalian melihat ‘ini ada’?”
“Begitulah, bhante”
“Para bhikkhu, keberadaan makhluk karena sari makanan. Begitukah kamu sekalian melihatnya?”
“Ya, bhante”
“Bagaimanapun keberadaan (makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan maka itu akan lenyap. Begitukah kamu sekalian melihatnya?”
“Ya, bhante”
11. “Para bhikkhu, apakah keberadaan ini tidak ada? Apakah ketidak pastian muncul karena cara yang meragukan seperti itu?”
“Ya, bhante.”
“Para bhikkhu, apakah keberadaan makhluk karena sari makanan atau bukan? Bukankah ketidakpastian muncul karena cara yang meragukan seperti itu?”
“Ya, bhante.”
“Apapun keberadaan (makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, apakah itu memiliki sifat berubah atau tidak? Apakah ketidakpastian muncul karena cara yang meragukan seperti itu?”
“Ya, bhante.”
12. “Para bhikkhu, ‘ini ada’ : apakah keragu-raguan ditinggalkan oleh orang yang melihat itu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, ‘makhluk itu muncul karena sari makanan’ : apakah keragu-raguan ditinggalkan oleh orang yang melihat itu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?” “Ya, bhante”
“Apapun keberadaan (makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, itu memiliki sifat berubah”
“Apakah keragu-raguan lenyap pada orang yang melihat itu sebagai mana apa adanya dengan pengertian benar?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, apakah kamu sekalian (berpandangan) begitu karena dalam hal ini kamu sekalian bebas dari keragu-raguan?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, ‘makhluk itu muncul karena sari makanan’, apakah kamu sekalian (berpandangan) begitu karena dalam hal ini kamu sekalian bebas dari keragu-raguan?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, apapun keberadaan (makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, itu memiliki sifat berubah, apakah kamu sekalian (berpandangan) beliau karena dalam hal ini kamu sekalian bebas dari keragu-raguan?” “Ya, bhante”
13. “Para bhikkhu, ‘ini dia’, apakah kamu sekalian berpandangan begitu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, makhluk itu muncul karena sari makanan, apakah kamu sekalian berpandangan begitu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, apapun keberadaan (makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, itu memiliki sifat lenyap. Karena itu dipandang dengan baik sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?”
“Ya, bhante”
14. “Para bhikkhu, murni dan cemerlang seperti pandangan inilah yang kamu harus anut, hargai, jadikan harta dan menjadi milikmu sendiri, apakah kamu mengerti dhamma yang telah diajarkan sama, seperti sebuah rakit, yang dipakai untuk menyeberangi sungai, tetapi bukan untuk dipegang saja?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, murni dan cemerlang seperti pandangan inilah, apabila kamu tidak menganutnya, tidak menghargainya, tidak menjadikannya sebagai harta dan tidak menjadi milikmu sendiri, apakah kamu akan mengerti dhamma yang telah diajarkan sama seperti sebuah rakit, yang dipakai untuk menyeberangi sungai, tetapi bukan untuk dipegang saja?”
“Ya, bhante”
15. “Para bhikkhu, ada empat jenis sari makanan untuk mempertahankan atau menjaga kelestarian hidup makhluk-makhluk yang ada serta untuk membantu mereka yang mencari untuk memperbaharui keberadaannya. Apa keempat jenis itu? Sari-sari makanan itu adalah makanan fisik sebagai sari makanan keras maupun lunak, kontak (phassa), kehendak pikiran (manosancetana) dan kesadaran (vinnana)”
16. “Empat jenis sari makanan ini memiliki sumber (dana), asal (samudaya), memunculkannya (jati) dan yang menjadikannya (pabhava). Empat jenis sari makanan ini bersumber, berasal, dimunculkan dan dijadikan oleh keinginan (tanha)”
17. “Keinginan ini memiliki sumbernya … keinginan bersumber pada perasaan (vedana) ….
Perasaan ini memiliki sumbernya perasaan bersumber pada kontak (phassa) …
Kontak ini memiliki sumbernya …. kontak bersumber pada landasan enam indera (salayatana) ….
Landasan enam indera ini memiliki sumbernya …. landasan enam indera ini bersumber pada batin jasmani (nama rupa) …..
Batin jasmani ini memiliki sumbernya … batin jasmani bersumber pada kesadaran (vinnana) ….
Kesadaran ini memiliki sumbernya … kesadaran bersumber … pada bentuk-bentuk karma (sankhara) …
Bentuk-bentuk karma ini memiliki sumber, asal, memunculkannya dan menjadikannya. Bentuk-bentuk kamma ini bersumber, berasal, dimunculkan dan dijadikan oleh kebodohan (avijja)
18. “Para bhikkhu, begitulah, kebodohan mengkondisikan bentuk-bentuk karma, bentuk-bentuk karma mengkondisikan kesadaran, kesadaran mengkondisikan batin jasmani, batin jasmani mengkondisikan landasan enam indera, landasan enam indera mengkondisikan kontak, kontak mengkondisikan perasaan, perasaan mengkondisikan keinginan, keinginan mengkondisikan kemelekatan (upada), kemelekatan mengkondisikan perwujudan (bhava), perwujudan mengkondisikan kelahiran, kelahiran mengkondisikan usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan putus asa: itu adalah bagaimana sebab dari penderitaan.”
19. “Demikianlah dikatakan, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian. Apakah ini benar atau tidak, atau dalam hal ini bagaimana pendapat kamu sekalian?”
“Bhante, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian; dalam hal ini, kami berpendapat kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian.”
“…………….. perwujudan mengkondisikan kelahiran ……..”
“…………….. kemelekatan mengkondisikan perwujudan ………”
“…………….. keinginan mengkondisikan kemelekatan ……..”
“…………….. perasaan mengkondisikan keinginan ……..”
“…………….. kontak mengkondisikan perasaan …….. ”
“…………….. landasan enam indera mengkondisikan kontak ……..”
“…………….. batin jasmani mengkondisikan landasan enam indera ……….”
“…………….. kesadaran mengkondisikan batin jasmani ………….”
“…………….. bentuk-bentuk karma mengkondisikan kesadaran …….”
“…………….. kebodohan mengkondisikan bentuk-bentuk karma ……..”"Apakah ini benar atau tidak, atau dalam hal ini bagaimana pendapat kamu sekalian?”
“Bhante, kebodohan mengkondisikan bentuk-bentuk karma dalam hal ni kami berpendapat kebodohan mengkondisikan bentuk-bentuk karma ”
20. “Bagus, para bhikkhu. Kamu sekalian berkata begitu, Saya juga berkata sama dengan kamu, yaitu ‘Itu ada, bila ini ada; itu muncul karena ini muncul’, atau dengan kata lain kebodohan mengkondisikan bentuk-bentuk karma, bentuk-bentuk karma mengkondisikan kesadaran, kesadaran …….. kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan duka dan putus asa; itu adalah bagaimana sebab penderitaan”
21. “Dengan memudarnya dan berhentinya sisa-sisa kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap, dengan lenyapnya bentuk-bentuk karma maka kesadaran lenyap, dengan lenyapnya kesadaran maka batin jasmani lenyap, dengan lenyapnya batin jasmani maka lenyap landasan enam indera, dengan lenyapnya landasan enam indera maka kontak lenyap, dengan lenyapnya kontak maka perasaan lenyap, dengan lenyapnya perasaan maka keinginan lenyap, dengan lenyapnya keinginan maka kemelekatan lenyap, dengan lenyapnya kemelekatan maka perwujudan lenyap, dengan lenyapnya perwujudan maka kelahiran lenyap, dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap, juga kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa; itu adalah bagaimana semua penderitaan lenyap.”
22. “Dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap, begitu dikatakan. Apakah itu benar atau tidak, bagaimana hal ini terjadi?”
“Bhante, dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap; begitulah jadinya, dalam hal ini dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap”
“Dengan lenyapnya perwujudan maka kelahiran lenyap”
“Dengan lenyapnya kemelekatan maka perwujudan lenyap”
“Dengan lenyapnya keinginan maka kemelekatan lenyap”
“Dengan lenyapnya perasaan maka keinginan lenyap”
“Dengan lenyapnya kontak maka perasaan lenyap”
“Dengan lenyapnya landasan enam indera maka kontak lenyap”
“Dengan lenyapnya batin jasmani maka landasan enam indera lenyap”
“Dengan lenyapnya kesadaran maka batin jasmani lenyap”
“Dengan lenyapnya bentuk-bentuk karma maka kesadaran lenyap”
“Dengan lenyapnya kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap”"Begitu dikatakan. Apakah benar atau tidak, bagaimana hal ini terjadi”
“Bhante, dengan lenyapnya kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap, begitulah jadinya, dalam hal ini dengan lenyapnya kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap”
23. “Baik, para bhikkhu. Kamu sekalian mengatakan begitu, saya juga mengatakan : Itu benar, karena ini tidak benar; itu lenyap dengan lenyapnya ini, yakni dengan lenyapnya kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap, dengan lenyapnya bentuk-bentuk karma maka kesadaran lenyap ….. dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap, juga kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa, itulah bagaimana semua penderitaan lenyap.”
24. Para bhikkhu, setelah mengetahui dan melihat hal ini, akankah kamu sekalian lari kembali ke masa lampau dengan berkata: Adakah kami ini pada waktu yang lampau? Apakah kami ada di waktu yang lampau? Apakah kami ini pada waktu yang lampau? Bagaimana kami ini di waktu yang lampau? Jadi apakah kami ini di waktu yang lampau?”
“Tidak, bhante”
“Setelah mengetahui dan melihat hal ini, apakah kamu sekalian lari ke depan ke masa yang akan datang dengan berkata: Akan adakah kita di masa datang? Akan tidak adakah kita di masa datang? Akan jadi apakah kita di masa datang? Akan jadi apakah kita di masa datang?”
“Tidak, bhante”
“Setelah mengetahui dan melihat hal ini kamu sekalian akan ragu-ragu tentang keadaan kamu sekarang dengan berkata : Adakah saya? Tidak adakah saya? Apakah saya? Bagaimanakah saya? Dari manakah makhluk ini datang? Ke mana makhluk ini akan pergi?”
“Tidak, bhante”
25. “Para bhikkhu, setelah mengetahui dan melihat hal ini, apakah kamu akan berkata: Guru kami hormati, kami bicara (sama dengan perbuatan) karena menghormati Guru?”
“Tidak bhante?”
“Mengetahui dan melihat hal ini apakah kamu akan berkata: Seorang bhikkhu mengatakan kepada kami, bhikkhu-bhikkhu yang lainnya berkata begitu juga, tetapi kami tidak berkata begitu!”
“Tidak, bhante”
“Mengetahui dan melihat hal ini, apakah kamu akan memberitahukan yang lain?”
“Tidak, bhante”
“Mengetahui dan melihat hal ini, apakah kamu sekalian akan kembali pada pekerjaan-pekerjaan para petapa dan brahmana biasa, kepada pertanda-pertanda baik yang dapat menyebabkan kericuhan.”
“Tidak, bhante”
“Apakah kamu berbicara hanya tentang apa yang kamu sendiri ketahui, lihat dan alami?”
“Ya, bhante”
26. “Bagus, para bhikkhu. Dengan demikian kamu telah dibimbing olehKu dengan Dhamma yang nyata pada kehidupan sekarang di sini, bukan setelah beberapa waktu kemudian, mengundang untuk dibuktikan, maju terus dan dapat dialami sendiri oleh setiap orang bijaksana.
Karena berdasarkan pada hal ini maka telah dikatakan: Para bhikkhu, inilah dhamma yang nyata pada kehidupan sekarang di sini, bukan setelah beberapa waktu kemudian, mengundang untuk dibuktikan, maju terus dan dapat dialami sendiri oleh setiap orang bijaksana”
27. “Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan) terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu, tetapi ibu tidak ada makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir (kembali), maka terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.
28. Ibu mengandung selama sembilan atau sepuluh bulan dengan penuh beban kecemasan. Selanjutnya pada akhir sembilan atau sepuluh bulan dengan penuh beban kecemasan ibu melahirkan anaknya. Ketika bayi telah lahir, ia memeliharanya dengan darahnya sendiri; karma dalam vinaya ariya, susu ibu disebut sebagai darah.
29. Karena kebutuhan untuk pertumbuhan maupun kebutuhan untuk pematangan indera-inderanya, anak itu bermain permainan anak-anak (ghatikam), seperti boneka bajak, pemukul kayu pendek dengan kayu panjang berjumpalitan, boneka, kincir angin, kereta, pengukur, busur dan anak panah.
30. Karena kebutuhan untuk pertumbuhan maupun kebutuhan untuk pematangan indera-inderanya, anak remaja itu dilengkapi dan diliputi dengan lima macam keinginan indera dan menikmatinya, yaitu mata mengamati bentuk-bentuk (jasmani) yang diinginkan, disukai, sesuai, menyenangkan, berhubungan dengan keinginan indera dan membangkitkan nafsu; telinga mendengar suara-suara yang diinginkan, disukai, hidung membaui bau-bau yang diinginkan; lidah mengecap rasa yang diinginkan tubuh merasakan sentuhan yang diinginkan dan membangkitkan nafsu.
31. Setelah melihat bentuk-bentuk dengan mata ia bergairah kalau hal itu menyenangkan; ia kesal kalau hal itu tidak menyenangkan; ia berada dalam keadaan perhatian tubuh (kayasati) tidak terbina dan pikiran terbatas (parittacetasa) tanpa mengerti bagaimana mencapai kesucian (cetovimutti) dan kesucian kebijaksanaan (pannavimutti) sehingga semua akusala dhamma yang jahat lenyap tanpa sisa. Sibuk karena ia melayani yang disukai dan tidak disukai, ketika ia merasakan suatu rasa yang menyenangkan, menyedihkan atau bukan menyenangkan maupun bukan menyedihkan, ia menyukai perasaan itu, mantap dengan itu dan melekat padanya. Ketika ia berbuat begitu, rasa suka muncul padanya. Sesungguhnya menyukai salah satu dari perasaan-perasaan itu adalah kemelekatan. Kemelekatan mengkondisikan ‘perwujudan’ (bhava), perwujudan mengkondisikan kelahiran, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, jika kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa. Itulah, bagaimana semua penderitaan ini.
Karena mendengar suara dengan telinga ……..
Karena mencium bau dengan hidung …………
Karena mengecap rasa dengan lidah ………….
Karena menyentuh sentuhan dengan tubuh ……..
Karena mengetahui obyek pikiran (dhamma) dengan pikiran ia bergairah kalau hal itu menyenangkan, ia kesal kalau hal itu tidak menyenangkan; ia berada dalam keadaan perhatian tubuh (kayasati) tak terbina dan pikiran terbatas (parittacetasa) tanpa mengerti bagaimana mencapai kesucian batin (cetovimutti) dan kesucian kebijaksanaan (pannavimutti) sehingga semua akusala dhamma yang jahat lenyap tanpa sisa. Sibuk karena ia melayani yang disukai dan tidak disukai, ketika ia merasakan suatu rasa yang menyenangkan, menyedihkan atau bukan menyenangkan maupun bukan menyedihkan, ia menyukai perasaan itu, mantap dengan itu dan melekat padanya. Ketika ia berbuat begitu, rasa suka muncul padanya. Sesungguhnya menyukai salah satu dari perasaan-perasaan itu adalah kemelekatan. Kemelekatan mengkondisikan ‘perwujudan’ (bhava), perwujudan mengkondisikan kelahiran, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, juga kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa. Itulah bagaimana asal mula semua penderitaan ini.”
32 – 33. “Para bhikkhu sekarang Tathagata muncul di dunia Arahat Samma Sambuddha (lihat Culahatthipadopama Sutta 13-21) ia mensucikan pikirannya dari keragu-raguan (vicikiccha)”
34 – 37. “Setelah melenyapkan lima rintangan (nivarana), kotoran-kotoran batin yang melemahkan pengertian, jauh dari keinginan nafsu, jauh dari akusala dhamma, ia mencapai dan berada dalam Jhana I (seperti dalam Bhayabherava Sutta 23-26) Jhana II, Jhana III, Jhana IV dan telah mensucikan batinnya karena keseimbangan batin.”
38. “Setelah melihat bentuk-bentuk dengan mata, ia tidak bergairah kalau hal itu menyenangkan; ia tidak kesal kalau hal itu tidak menyenangkan; ia berada dalam perhatian tubuh (kayasati) yang terbina dan pikiran berpengertian yang tak terbatas bagaimana mencapai kesucian batin (cetovimutti) dan kesucian kebijaksanaan (pannavimutti) sehingga semua akusala dhamma yang jahat lenyap tanpa sisa. Setelah meninggalkan yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, ketika ia merasa suatu perasaan yang apakah menyenangkan, menyedihkan atau bukan menyenangkan maupun bukan menyedihkan, ia tidak menyukai perasaan itu tidak mantap dengan itu dan tidak melekat padanya. Ketika ia berbuat begitu rasa suka pada perasaan-perasaan itu lenyap. Dengan lenyapnya rasa suka maka kemelekatan lenyap; dengan lenyapnya kemelekatan maka ‘perwujudan’ lenyap dengan lenyapnya perwujudan maka kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap, juga kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa. Itulah bagaimana semua pendeitaan lenyap.
Karena mendengar suara dengan telinga …….
Karena mencium bau dengan hidung ………..
Karena mengecap rasa dengan lidah ………
Karena menyentuh sentuhan dengan tubuh ……..
Karena mengetahui objek pikiran (dhamma) dengan pikiran. Itulah bagaimana semua penderitaan lenyap”
39. “Para bhikkhu, ingatlah kesucian karena pelenyapan total dari keinginan (tanhasankhayavimutti) yang saya uraikan ini. Tetapi bhikkhu Sati Kevattaputta telah terperangkap dalam jaring nafsu yang besar dan terkungkung oleh nafsu.”
Inilah yang dikatakan oleh Sang Tathagata. Para bhikkhu sangat puas dan senang terhadap kata-kata dari Sang Bhagava.