Minggu, 19 Februari 2012

PAYASI SUTTA

Pada suatu Ketika, Ayasma Kumara Kassapa Sedang mengembara dari kota ke kota di negara Kosala, dengan diiringi lima ratus orang bhikkhu, dan tibalah mereka di sebuah hutan dekat kota Setavya. Di kota Setavya juga bertempat tinggal seorang raja muda, panglima perang, yang bernama Payasi. Payasi ini menganut pandangan (keliru) sebagai berikut :
“Tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir secara spontan (opapatiko), tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”
Ketika mendengar bahwa Ayasma Kassapa berdiam di hutan dekat kota Setavya, Payasi memutuskan untuk pergi menjumpainya. Setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, Payasi lalu memberitahukan Ayasma Kassapa tentang pandangannya yang sudah dikenal oleh khalayak ramai.
Ayasma Kassapa menjawab : “Akupun sudah mendengar tentang hal itu. Tetapi bagaimanakah orang dapat mempunyai pandangan seperti itu? Apakah anda mungkin mempunyai alasan-alasan tertentu?”
“Memang demikian halnya,” jawab Payasi, dan kemudian melanjutkan : “Kawan-kawanku, keluargaku dan saudara-saudaraku yang biasa membunuh, mengambil barang-barang yang tidak diberikan (mencuri), pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, pada suatu hari sakit payah dan sangat menderita. Ketika aku mendengar ajalnya akan segera tiba, aku memerlukan menjenguknya untuk menitipkan pesan : ‘Saudaraku yang tercinta. Para pertapa dan bhikkhu percaya bahwa siapa yang suka membunuh, mencuri, melakukan perbuatan asusila, berdusta, memfitnah, suka bertengkar dan berbicara hal-hal yang tidak berguna, pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin; kalau kelak mereka meninggal dunia dan badan jasmaninya hancur, roh mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Dan begitu pulalah kehidupan saudaraku. Kalau sekiranya ucapan para pertapa dan bhikkhu itu benar dan saudaraku betul-betul masuk ke dalam neraka, aku mohon dengan sangat agar saudaraku mau kembali lagi ke dunia untuk memberi kabar kepadaku : ‘Memang benar ada dunia lain,…’
Saudaraku yang tercinta. Aku percaya penuh kepada Anda; apa yang Anda lihat sama juga seperti aku melihatnya sendiri. Mohon dengan sangat agar harapanku tidak sia-sia hendaknya. Dengan kata-kata : ‘Tentu saja tidak’, ia dengan khikmat berjanji kepadaku. Tetapi kenyataannya tidak seorangpun pernah kembali untuk memberi kabar kepadaku. Inilah salah satu sebab yang memperkuat pandanganku.”
Setelah mendengar uraian tersebut, Ayasma Kassapa lalu menceritakan satu perumpamaan tentang penjahat dan algojonya.
“O, Payasi, andaikata pada suatu hari seorang penjahat dibawa kehadapan Anda dan Anda diminta untuk mengadilinya; dan Anda memerintahkan agar penjahat itu dipenggal lehernya sekarang juga. Andaikata penjahat itu memohon kepada algojo agar pelaksanaan hukuman ditunda dulu hingga ia sempat memberi kabar kepada kawan-kawannya dan keluarganya. Apakah menurut pendapat Anda, algojo itu mau menunda pelaksanaan hukuman orang itu ataukah ia segera melaksanakan hukuman mati tersebut?”
Payasi harus mengakui bahwa algojo pasti tidak mau meluluskan permohonan penjahat itu.
“Nah, Payasi yang terhormat. Kalau seorang penjahat tidak diberi ampun oleh algojo di dunia ini, apakah Anda mengira bahwa kawan-kawan Anda yang terdiri dari pembunuh, pencuri, orang cabul, pendusta, pemfitnah dan yang suka omong kosong, pikirannya penuh dengan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin dapat diberi ampun?
Setelah meninggal dunia, roh (? – red) mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Di neraka mereka memohon kepada para algojo dengan kata : ‘Mohon dengan hormat kepada Bapak Algojo agar sudi menunda dulu pelaksanaan hukuman kami hingga kami dapat memberi kabar kepada raja muda Payasi di dunia, bahwa setelah mati memang ada dunia lain (halus).’ Apakah Anda berpendapat bahwa para algojo mau meluluskan permintaan mereka?”
Karena Payasi rupa-rupanya masih belum dapat diyakinkan, maka Ayasma Kassapa lalu menanyakan tentang kemungkinan masih ada sebab-sebab lain.
Atas pertanyaan ini Payasi menceritakan, bahwa iapun mempunyai kawan dan sanak-keluarga yang belum pernah membunuh makhluk-makhluk hidup dan selalu melaksanakan tata hidup yang saleh dan terpuji.
Kepada merekapun diminta untuk memberi kabar setelah mereka mati dan kelak masuk sorga. Tetapi mereka tidak pernah kembali atau kirim berita.
“Baiklah, Panglima yang terhormat. Sekarang aku ingin menceritakan sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dapat menangkap arti yang sesungguhnya dari suatu kotbah.
Andaikata ada orang yang terjatuh ke dalam jamban dan Anda memerintahkan budak Anda untuk menariknya keluar dari jamban tersebut. Lalu orang itu disikat dan dicuci bersih, kemudian disiram tiga kali dengan minyak wangi, rambut serta janggutnya disisir rapi, diberi pakaian bagus dan dibawa ke sebuah istana di mana ia dapat menikmati kesenangan dari kelima indriyanya.
Sekarang aku ingin bertanya : Apakah orang itu ingin kembali ke dalam jamban? Mengapa tidak? Jamban adalah kotor dan berbau busuk, memualkan, mengerikan dan memperlihatkan perbedaan seorang manusia biasa dari seorang dewa.
O, Payasi yang baik. Dari jarak seratus mil bau seorang manusia dapat mengusir para dewa. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Anda yang menyukai kehidupan saleh dan sekarang masuk ke sorga, ingin kembali ke dunia untuk memberi kabar kepada Anda : ‘Memang benar terdapat suatu dunia lain (halus), memang benar terdapat tumimbal lahir spontan ….”
“Selain dari itu”, Ayasma Kassapa melanjutkan : “kalau kita di dunia ini satu abad, di alam sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa berarti satu hari satu malam. Tiga puluh malam demikian itu merupakan satu bulan, dua belas bulan merupakan satu tahun; dan kehidupan di alam Tigapuluh Tiga Dewa tersebut berlangsung selama seribu tahun yang demikian itu.
Nah, kawan-kawan serta sanak keluarga Anda yang tidak pernah membunuh makhluk hidup, tidak pernah berdusta, … setelah badan jasmani mereka hancur pasti masuk ke alam sorga.
Andaikata mereka berpikir : ‘Setelah kami berdiam di alam sorga ini untuk dua atau tiga hari dan menikmati dulu kesenangan kelima indriya kami, maka kami baru kembali ke dunia untuk memberitahukan Payasi bahwa memang benar terdapat sebuah dunia lain (halus), bahwa tumimbal lahir spontan memang benar adanya dan menanam bibit serta memetik buahnya (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya merupakan kenyataan.’ Apakah mereka dapat melaksanakan apa yang mereka pikir?”
“Tentu saja tidak”, jawab Payasi, “sebab kami semua pasti sudah meninggal dunia. Tetapi, Ayasma Kassapa, siapakah yang memberitahukan Anda tentang adanya alam dari Tigapuluh Tiga Dewa dan bahwa mereka dapat hidup sampai sekian lama? Aku menyesal harus tidak percaya apa yang Anda katakan.”
Ayasma Kassapa lalu menjawab ; “O, Payasi, Anda mirip dengan seorang yang sejak lahir buta matanya, seorang yang tidak dapat melihat benda-benda yang berwarna hitam, putih, biru, kuning, merah atau hijau; tidak dapat melihat apa yang sama dan apa yang tidak sama; tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Orang itu kemudian berkata :’Aku tidak tahu tentang hal itu; aku tidak melihat apa-apa, karena itu benda-benda tersebut tidak mungkin ada.’
Cobalah Anda pikir, apakah orang buta yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, mengatakan sesuatu yang benar?”
“Tentu saja tidak”, jawab Payasi.
“Nah, demikianlah sebenarnya keadaan Anda, Payasi yang terhormat. Anda mirip dengan seorang yang sejak dilahirkan buta matanya. Ketahuilah bahwa alam halus tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
Para pertapa dan bhikkhu yang hidup menyepi dan melakukan meditasi untuk waktu yang lama, telah melatih mata batin mereka sehingga dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan mata batin mereka dapat melihat dunia ini dan juga alam halus dan mereka yang bertumimbal lahir secara spontan.
Payasi masih saja belum dapat diyakinkan dan memberi bantahan baru, bahwa melihat para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan selalu mempunyai itikad baik; tetapi mereka memilih untuk tetap hidup dan tidak ingin cepat-cepat mati. Mereka tetap ingin menikmati hidup dan membenci kematian. Karena itu aku berkata kepada diriku : “Kalau saja para pertapa dan para bhikkhu yang terhormat itu benar-benar tahu bahwa keadaan mereka setelah mati akan menjadi lebih baik, maka pastilah sekarang juga mereka akan minum racun atau membunuh diri dengan menggunakan senjata tajam atau menggantung diri atau menjatuhkan diri mereka dari atas batu karang yang tinggi. Tetapi justru karena sangsi, apakah mereka kelak setelah mati dapat masuk sorga, maka mereka memilih untuk hidup lebih lama dalam dunia ini dan tidak ingin cepat mati; mereka memilih hidup senang dan mengelakkan penderitaan.”
Inilah sebab lain lagi, sehingga aku percaya bahwa dunia halus tidak ada dan tumimbal lahir secara spontan tidak ada,…”
Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah perumpamaan dari seorang yang mempunyai dua orang istri. Istri pertama mempunyai anak laki-laki berumur duabelas tahun, sedang istri kedua sedang hamil ketika suaminya meninggal dunia.
Setelah ayahnya meninggal dunia, anak laki-laki itu menagih warisan kepada istri kedua dari mendiang ayahnya. Atas tagihan ini istri kedua mohon ditunda dulu sampai bayi yang sedang dikandungnya itu lahir. Kalau bayi itu seorang anak laki-laki, maka bayi laki-laki itu berhak atas sebagian warisan ayahnya. Kalau bayi itu perempuan, maka warisan itu seluruhnya akan menjadi milik si anak laki-laki dari istri pertama.
Tetapi si anak laki-laki itu tak sabar menanti dan terus-menerus mendesak. Karena kesal, istri kedua itu lalu masuk ke kamarnya dan membedah perutnya sendiri untuk melihat apakah bayi yang sedang dikandungnya itu laki-laki atau perempuan. Dengan demikian tentu saja ia kehilangan nyawa bayinya, kehilangan nyawanya sendiri dan kehilangan bagian dari warisan mendiang suaminya.
Dengan cara yang sama, Payasi yang terhormat, Anda akan mengalami malapetaka hanya karena keingintahuan Anda tentang alam halus. Para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan mempunyai itikad baik tidak akan memetik buah yang belum matang. Lagi pula, lebih lama mereka hidup di dunia ini, lebih banyak dapat mereka manfaatkan hidup mereka untuk kepentingan para manusia dan para dewa. Ini merupakan bukti pula, Payasi, bahwa memang terdapat dunia lain…”
Namun Payasi masih mempunyai alasan lain untuk membela pendiriannya. Ia mengatakan bahwa ia pernah menyuruh membakar seorang penjahat sampai mati dalam sebuah tempayan besar yang ditutup rapat dan disegel. Sesudah itu dengan hati-hati ia menyuruh buka tempayan itu, tetapi tidak ada roh yang tampak keluar dari tempayan tersebut.
Ayasma Kassapa lalu bertanya kepada Payasi apakah ia pernah mimpi waktu tidur.
“Sering”, jawab Payasi. “Siang hari ini aku mimpi tentang sebuah taman yang indah, juga sebuah hutan dengan pemandangan alam yang menarik dan laut yang tenang.”
“Akan tetapi”, Ayasma Kassapa bertanya : “Apakah Anda ketika itu dijaga oleh badut-badut istana, orang-orang kerdil istana, dayang-dayang yang ditugaskan untuk mengipas dan gadis-gadis lain? Apakah mereka tidak melihat roh Anda keluar dari badan Anda? Demikian pula, mana mungkin Anda dapat melihat roh yang masuk dan keluar dari orang yang sudah mati?”
Tetapi Payasi masih memiliki alasan lain untuk membenarkan pandangannya. Ia pernah menyuruh untuk menimbang seorang penjahat ketika masih hidup dan kemudian memerintahkan para algojo untuk menjirat leher penjahat itu sampai mati. Setelah mati mayatnya kembali ditimbang. Dan ternyata bahwa ketika masih hidup timbangannya lebih ringan dibandingkan dengan ketika sudah menjadi mayat. Karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang, bahkan rohpun tidak.
Ayasma Kassapa lalu membuktikan, bahwa jalan pikiran yang demikian itu salah dengan menuturkan cerita tentang sebuah bola besi.
“Bila sebuah bola besi dibakar sampai membara, maka timbangannya akan berkurang dibandingkan ketika masih belum dibakar. Begitu pula bila seorang manusia masih hidup, masih berhawa panas dan memiliki kesadaran, ia akan lemas dan lebih ringan daripada sesosok tubuh manusia yang mati, dingin dan tidak memiliki kesadaran lagi. Tubuh ini akan menjadi kaku dan berat.”
Payasi lalu bercerita tentang suatu percobaan lain.
Seorang penjahat dihukum mati tanpa merusak kulit, daging dan tulang atau sumsum. Setelah orang itu mati, Payasi memerintahkan orang-orangnya untuk membaringkan mayat itu terlentang lalu menelungkup, miring, dan ditaruh dengan kepala di bawah. Setelah itu digosok-gosok, dipukul dengan batu, disikat dengan kayu lalu dengan pisau. Namun yang hadir tak dapat melihat ada roh yang keluar dari mayat itu.
Ayasma Kassapa lalu menceritakan sebuah kisah dari seorang peniup suling keong yang mengembara ke suatu negara asing, di mana para penduduknya belum pernah melihat orang meniup suling keong. Ia meniup tiga kali lalu meletakkan keong itu disampingnya. Penduduk setempat berduyun-duyun datang untuk melihat keong tersebut. Mereka miringkan keong itu ke kiri, kemudian ke kanan; mereka menggosok-gosok, menekan-nekan dan mengocok-ngocok, tetapi tidak ada suara yang keluar dari keong tersebut.
Akhirnya dengan tertawa peniup suling itu mengambil keong tersebut dan meniup tiga kali. Para penduduk setempat sekarang tahu bahwa hanya dengan ditiup keong itu dapat mengeluarkan suara.
Demikian pula halnya dengan tubuh manusia. Digabung dengan kehidupan, digabung dengan hawa panas, digabung dengan kesadaran, tubuh seorang manusia dapat berjalan, berdiri, duduk, berbaring, melihat bentuk-bentuk dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium wewangian dengan hidung, menyentuh dengan jari tangan serta merasakan benda-benda dengan badan dan dapat mengerti paham dengan pikiran. Tetapi kalau tubuh kosong dari kehidupan, hawanya tidak lagi panas dan tidak lagi bergabung dengan kesadaran, maka tubuh itu tidak lagi dapat berjalan, berdiri…. Ini merupakan bukti pula untuk Anda, bahwa seyogyanya Anda harus percaya bahwa ada dunia lain…
Sekali lagi Payasi menceritakan Ayasma Kassapa tentang percobaan lain yang ia lakukan untuk menemukan roh manusia.
Ia memerintahkan membedah seorang penjahat dengan cara memotong kulitnya, dagingnya, tulangnya dan sumsumnya, tetapi lagi-lagi tidak dapat ditemukan roh yang dicari.
Dalam hubungan ini Ayasma Kassapa menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang pemuja api yang telah memungut seorang anak yatim piatu yang ditinggal dari sebuah kafilah. Ketika anak itu berumur duabelas tahun, pemuja api itu (yang juga seorang pertapa) ingin berkelana untuk beberapa waktu lamanya.
Ia memesan kepada anak itu untuk menjaga api baik-baik dan jangan sampai padam. Tetapi kalau padam ia harus menyalakan kembali dengan menggosok-gosok dua batang kayu terus-menerus hingga keluar api.
Ketika pertapa itu sudah pergi, anak itu sepanjang hari terus-menerus bermain, sehingga api pujaan benar-benar padam. Anak itu ingat apa yang dikatakan ayah angkatnya, tetapi lupa cara menggunakan alat pembangkit api tersebut. Batang kayu itu dipotong-potong menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian ditumbuk dalam sebuah lumpang. Tentu saja dengan cara itu ia tidak dapat menyalakan api. Ketika ayah angkatnya pulang dan melihat api pemujaan padam, ia lalu mengambil dua batang kayu dan digosok-gosok terus-menerus hingga panas dan akhirnya keluar api.
“O, Payasi, dalam hal yang sama adalah bodoh untuk mencari dunia halus dengan memakai cara yang salah seperti yang Anda lakukan hingga kini. O, Payasi, lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda tidak tertimpa malapetaka dan penderitaan.”
“Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan tersebut. Raja Pasenadi dari Kosala dan semua raja tahu, bahwa Payasi memiliki pandangan tersebut. Yaitu, bahwa tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir dengan spontan dan tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Kalau sekarang aku melepaskan pandangan tersebut, tentu saja mereka akan berkata : ‘Sungguh bodoh Payasi itu dan ia sangat bebal untuk diberi pengertian. Untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaan (gengsi) dan sebagai tipu daya aku akan terus menerus menganut pandanganku tersebut.”
“Kalau demikian halnya”, berkata Ayasma Kassapa, “aku akan menceritakan lagi sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dengan jelas dapat melihat arti dari suatu persoalan.
Pada suatu ketika sebuah kafilah yang terdiri dari seribu kereta melakukan perjalanan dari negara Timur ke negara Barat. Dimanapun mereka tiba, biasanya rumput, air, rumput kering dan makanan habis terkuras. Karena itu mereka memutuskan untuk memecah kafilah mereka menjadi dua rombongan dari lima ratus buah kereta yang masing-masing dikepalai seorang kepala rombongan.
Kafilah pertama berangkat lebih dulu dengan membawa cukup bekal rumput, air, rumput kering dan makanan. Baru saja berjalan beberapa hari lamanya mereka bertemu dengan hantu jahat yang menyamar sebagai manusia. Kulitnya hitam, matanya merah, rambutnya awut-awutan dan dihias dengan bunga lotus. Pakaiannya basah dan ia mengendarai sebuah kereta bagus yang roda-rodanya basah dan penuh lumpur. Ketika ditanya dari mana ia datang, ia menjawab dalam perjalanan dilanda hujan lebat. Jalanan menjadi berlumpur dan rumput, kayu serta air dapat dijumpai dalam jumlah yang berlimpah-limpah. Pemimpin kafilah itu lalu memerintahkan untuk membuang semua persediaan rumput, kayu dan air, agar dapat berjalan lebih cepat karena lebih ringan. Mereka melanjutkan perjalanan satu hari, dua hari … hingga enam hari. Tetapi mereka gagal menemui rumput, kayu atau air, sehingga pada hari ketujuh semuanya mati karena kehausan. Hantu jahat lalu datang makan daging mereka, sehingga dari mayat-mayat orang dan binatang yang tertinggal hanya tulang-belulang saja.
Beberapa hari kemudian, kafilah kedua berangkat dengan membawa bekal rumput, kayu dan rumput kering dengan cukup. Baru berjalan beberapa hari, hantu jahat yang sama, dengan menyamar sebagai manusia, kembali mencegat perjalanan kafilah yang kedua dan menuturkan kisah yang sama. Kemudian ia membujuk agar semua persediaan rumput, kayu dan air dibuang saja. Tetapi pemimpin rombongan kafilah kedua ini adalah seorang cerdas dan berpengetahuan luas yang tidak begitu saja mau percaya omongan orang yang tidak dikenal. Ia memerintahkan melanjutkan perjalanan dan jangan membuang persediaan kayu, rumput dan air. Pada hari ketujuh mereka menjumpai reruntuk serta tulang-belulang dari kafilah yang pertama. Pemimpin rombongan lalu berkata : ‘Kafilah ini telah musnah, karena kebodohan dari pemimpinnya. Sekarang tukarlah barang-barang yang kurang berharga dari keretamu dengan barang-barang yang lebih berharga yang dapat diketemukan dari kafilah pertama dan kemudian marilah kita lanjutkan perjalanan kita.’
Akhirnya tibalah mereka dengan selamat di tempat tujuan berkat pemimpin mereka yang pintar dan berpengetahuan luas. Begitu pulalah, Payasi, sebagaimana juga pemimpin rombongan kafilah pertama Anda akan hancur dengan mencari dunia lain (halus) dengan memakai cara yang salah. Lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda kelak tidak mengalami celaka.”
“Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak mau melepaskan pandanganku tersebut untuk menjaga kewibawaan dan mencegah cemooh orang dan sebagai tipu daya”, jawab Payasi.
Lalu Ayasma Kassapa menceritakan lagi sebuah perumpamaan dari seorang peternak babi yang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sebuah kampung lain melihat timbunan besar kotoran yang sudah kering. Ia berpikir : “Kotoran ini merupakan makanan yang baik untuk babi-babiku.” Kemudian ia membuat bungkusan besar dari kotoran kering tersebut dan dipikul di pundak untuk dibawa pulang. Tetapi dalam perjalanan pulang ia ditimpa hujan lebat, sehingga ketika tiba di rumah pakaian dan badannya basah kuyup dan berlumuran kotoran. Orang kampung yang melihat kejadian tersebut mentertawakan peternak itu atas ketololannya.
Peternak babi itu dengan marah menjawab : “Kamu sendiri yang tolol. Kotoran itu merupakan makanan baik untuk babiku!”
“Dalam hal yang sama Anda mirip dengan orang yang memikul kotoran itu, Payasi.”
Tetapi Payasi tetap tidak mau melepaskan pandangannya yang keliru untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaannya dan sebagai tipu daya.
Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah kisah tentang dua orang pemain dadu. Salah seorang pemain setiap kali sebelum bermain memasukkan biji dadu ke dalam mulutnya dan ia selalu menang. Karena itu pemain kedua berkata kepadanya : “Kamu selalu menang. Marilah sekarang kita saling tukar biji dadu dulu.”
Biji-biji dadu mereka ditukar. Pemain kedua lalu mengoleskan racun pada biji dadu tersebut. Kemudian mengajak mengajak pemain pertama untuk bermain dadu lagi. Biji-biji dadu mereka kembali ditukar. Seperti biasa ia memasukkan biji dadu itu sebelum bermain ke dalam mulutnya; dan tentu saja ia mati keracunan.
“Nah, Anda mirip dengan pemain dadu tersebut. Lepaskanlah pandangan keliru Anda, sehingga Anda kelak tidak mengalami celaka.”
Tetapi Payasi tetap kukuh pada pendiriannya, sehingga Ayasma Kassapa terpaksa menuturkan sebuah perumpamaan lagi.
Karena sesuatu sebab, pada suatu hari seluruh penduduk dari sebuah kampung pergi mengungsi. Seorang penduduk kampung lain berkata kepada kawannya : “Hai kawan, mari kita mengunjungi kampung tersebut. Barangkali saja kita akan menemukan sesuatu yang berharga tertinggal di sana.” Berangkatlah kedua kawan tersebut ke kampung yang telah kosong itu. Di sana mereka menemukan setumpuk rami. Mereka masing-masing lalu membuat dua ikatan besar, masing-masing memikul sebuah ikatan dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Tidak lama kemudian mereka menemukan tumpukan kulit kayu. Orang yang pertama mengatakan kepada kawannya : “Hai, kawan, lebih baik kita buang saja ikatan rami yang kita bawa sekarang dan menukarnya dengan kulit kayu ini yang lebih berharga.” Tetapi kawannya menjawab, bahwa ia sudah puas dengan ikatan rami dan tidak ingin menukarnya dengan kulit kayu.
Setelah itu mereka menemukan kemeja-kemeja berbulu, kemudia kain linnen. Seterusnya mereka menemukan timah putih, tembaga, perak dan akhirnya emas. Setiap kali orang yang pertama menukar bawaannya dengan yang lebih berharga, hanya kawannya dengan kukuh tetap saja memikul ikatan rami.
Akhirnya mereka tiba kembali di kampung tempat tinggal mereka. Orang yang memikul rami tidak disambut oleh istri, anak-anak dan kawan-kawan sekampung. Sebaliknya kawannya yang membawa pulang emas disambut dengan meriah oleh istrinya, anak-anaknya dan kawan-kawan sekampung, sehingga ia merasa bahagia sekali.
“O, Payasi, Anda mirip dengan si keras kepala yang memikul terus ikatan rami. Lepaskanlah pandangan Anda yang keliru dan janganlah menunggu ia kelak mengakibatkan Anda celaka!”
Akhirnya Payasi mengaku, bahwa sejak mendengar perumpamaan pertama ia sudah merasa gembira dan mengerti, namun ia ingin mendengar lebih banyak penjelasan dan keterangan. Karena itulah ia bersikeras dan tetap ingin berdebat dengan Ayasma Kassapa.
“Mengagumkan, Bhante, mengagumkan sekali! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : ‘Siapa yang punya mata, silakan melihat.’ Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Bhante. Karena itu aku ingin mencari perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Mohon Bhante berkenan menerima diriku sebagai siswa mulai hari ini hingga meninggal dunia. Mohon dengan hormat Bhante memberikan petunjuk kepadaku yang dapat digunakan untuk kesejahteraan dan keselamatanku.”
Ayasma Kassapa lalu meberikan petunjuknya.
“Apabila persembahan (dana) diberikan dengan jalan membunuh sapi, kambing, babi dan mahkluk-mahkluk lain, dan para pemberi dana masih dihinggapi pandangan salah dan pikiran salah, mengucapkan kata-kata salah, melakukan perbuatan dan mempunyai mata pencaharian salah, maka dana itu tidak bernilai tinggi, tak dapat membawa kemajuan apa-apa, tidak cemerlang dan tidak bercahaya. Seperti juga halnya seorang petani, dengan membawa bibit dan luku, ingin menanam sesuatu di tanah buruk yang belum dibersihkan dari belukar berduri dan akar-akar. Kalau bibit itu kelak menjadi kering oleh hembusan angin dan teriknya sinar matahari, sedang hujan tidak kunjung turun untuk menyiram tanah yang kering itu. Apakah mungkin bibit itu dapat bersemi dan menjadi besar?”
“Tidak mungkin, Bhante.”
“Sebaliknya, Payasi. Apabila persembahan (dana) diberikan dengan tidak membunuh binatang-binatang dan para pemberi dana memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar; persembahan (dana) demikian itu membawa pahala besar sekali, bercahaya, cemerlang dan bersinar hingga jauh. Kalau seorang petani menanam bibit di tanah subur dan hujan sewaktu-waktu turun, apakah bibit itu akan bersemi dan dapat menjadi besar kelak? Dan apakah Pak Tani itu tidak akan mendapat panen yang baik?”
Payasi, setelah pandangan kelirunya diluruskan oleh Ayasma Kassapa, setelah wafat masuk dalam alam sorga dari Empat Raja Dewa.

Tidak ada komentar: