Selasa, 28 Februari 2012

RATTHAPALA SUTTA

Demikianlah telah kudengar :
Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berkelana di negeri Kuru bersama-sama dengan sejumlah besar bhikkhu dan tiba di kota Thullakotthita, yakni sebuah kota dari suku Kuru.
Para brahmana dan para kepala rumah tangga dari Thullakotthita mendengar : “Sang Pertapa Gotama, putera suku Sakya yang meninggalkan rumah tangganya, terlihat sedang berkelana di negeri Kuru dengan serombongan bhikkhu dan sekarang tiba di Thullakotthita. Kabar baik tentang Sang Guru Gotama telah tersiar sebagai berikut : ‘Demikianlah Sang Bhagava, Yang Maha Suci dan Yang Maha Bijaksana, Sempurna Pengetahuan Serta Tindak-tanduk-Nya, Sang Sugata, Pengenal Semua Alam, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, itulah Sang Buddha, Sang Bhagava.’
Beliau telah memperlihatkan kepada para dewa, Mara, Brahma, para pertapa dan brahmana serta para manusia lainnya sesuatu yang Beliau sendiri dapat merealisasikannya. Beliau mengajarkan Dhamma yang penuh berkah pada permulaannya, penuh berkah pada pertengahannya dan penuh berkah pada akhirnya, baik dalam sarinya maupun dalam aksaranya. Beliau memperkenalkan penghidupan suci yang benar-benar murni sempurna.
Sesungguhnya merupakan berkah untuk dapat melihat Yang Maha Sempurna itu.”
Kemudian para brahmana dan kepala-kepala keluarga dari Thullakotthita berduyun-duyun datang mengunjungi Sang Bhagava. Beberapa antara mereka menghormat Beliau dan mengambil tempat duduk di satu sisi; beberapa lagi memberi hormat kepada Sang Bhagava dan setelah tukar-menukar ucapan yang menyenangkan sesuai dengan sopan santun duduklah mereka di satu sisi; beberapa lainnya lagi, sebelum mengambil tempat duduk terlebih dulu menyembah kepada Sang Bhagava; ada juga yang memperkenalkan nama dan nama keluarga mereka sebelum duduk; sedang ada juga yang datang dan kemudian duduk dengan diam-diam.
Setelah mereka duduk, Sang Bhagava membahagiakan hati mereka dengan pembabaran dan pembahasan Dhamma. Pada saat itu seorang anak muda yang bernama Ratthapala, anak dari satu keluarga ternama di kota Thullakotthita, berada di antara mereka yang duduk mendengarkan. Kemudian pikiran ini timbul dalam dirinya : ‘Aku sekarang mengerti bahwa Dhamma yang diajar oleh Sang Bhagava tidak mudah bagi seorang yang masih berkeluarga untuk melaksanakan penghidupan suci itu secara sempurna dan murni. Sebaiknya aku mencukur rambut dan janggutku, memakai jubah kuning dan pergi berkelana sebagai seorang bhikkhu.’
Para brahmana dan para kepala keluarga dari Thullakotthita, setelah hati mereka gembira mendengar uraian Dhamma yang membangkitkan semangat, bangkit dari tempat duduk masing-masing dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagava lalu meninggalkan tempat itu dengan Sang Bhagava selalu di sebelah kanan mereka.
Setelah mereka pergi, Ratthapala mendekati Sang Bhagava dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagava lalu duduk di satu sisi. Kemudian ia mengucapkan kata-kata sebagai berikut : “Bhante, sebagaimana hamba dapat mengerti dari uraian yang Bhante berikan, tidak mudahlah bagi seorang yang masih hidup berkeluarga untuk melaksanakan penghidupan suci secara sempurna dan murni sesuai dengan Dhamma yang diajar Sang Bhagava. Hamba ingin mencukur rambut serta janggut hamba, memakai jubah kuning dan pergi berkelana sebagai seorang bhikkhu. Semoga hamba diperkenankan memasuki Sangha dan ditahbiskan menjadi bhikkhu.”
“Sudahkah engkau mendapat izin orang tuamu, Ratthapala, untuk memasuki Sangha dan ditahbiskan menjadi bhikkhu?”
“Belum, Bhante.”
“Sang Tathagata tak dapat menerima seseorang menjadi anggota Sangha tanpa izin orang tuanya, Ratthapala.”
“Bhante, hamba akan memenuhi syarat ini dan akan mohon izin terlebih dulu dari orang tua hamba.”
Kemudian Ratthapala bangkit dari tempat duduknya dan setelah memberi hormat lalu mengundurkan diri dengan Sang Bhagava tetap di sisi kanannya.
Ia menghadap orang tuanya dan berkata : “Ibu dan ayah, sebagaimana aku dapat mengerti, Dhamma yang diajar Sang Bhagava tidaklah mudah untuk dilaksanakan secara sempurna dan murni oleh seorang yang masih berkeluarga. Aku ingin mencukur rambut serta janggutku, memakai jubah kuning dan pergi berkelana sebagai seorang bhikkhu. Berilah aku izin untuk meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu.”
Setelah mendengar permohonan Ratthapala, orang tuanya menjawab : “Ratthapala tercinta, engkau adalah anak kami satu-satunya, terkasih dan tersayang; kamu dibesarkan dalam kesenangan dan tidak pernah mengalami kekurangan apapun; engkau sama sekali tidak mengenal apa yang dinamakan penderitaan. Karena itu, Ratthapala tercinta, marilah makan dan minum dan bersenang-senang. Sebab dengan makan, minum serta bersenang-senang engkau dapat menikmati kehidupan ini dan dapat melakukan jasa-jasa. Kami tidak akan memberikan izin untuk menuntut kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan meninggalkan kehidupan berkeluarga. Andaikata kamu meninggal dunia, hati kami akan hancur karena perasaan sedih. Bagaimana mungkin, sewaktu engkau masih hidup kami memberikan izin agar kamu meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu.”
Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya Ratthapala berkata : “Ibu dan ayah, … Berilah aku izin untuk meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu.”
Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya orang tuanya menjawab : “Ratthapala tercinta … Bagaimana mungkin, sewaktu engkau masih hidup kami memberikan izin agar kamu meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu.”
Karena tidak mendapat izin orang tuanya untuk meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu, Ratthapala kemudian duduk bersimpuh di lantai tanpa alas dan berkata : “Baiklah kalau begitu aku akan mati di sini atau mendapat izin untuk menjadi bhikkhu.”
Kemudian orang tua Ratthapala membujuknya dengan berkata : “Ratthapala tercinta, engkau adalah anak kami satu-satunya, terkasih dan tersayang; kamu dibesarkan dalam kesenangan dan tidak pernah mengalami kekurangan apapun; engkau sama sekali tidak mengenal apa yang dinamakan penderitaan. Bangunlah Ratthapala sayang, makan dan minum serta bersenang-senanglah, sebab dengan makan, minum serta bersenang-senang engkau dapat menikmati kehidupan ini dan dapat melakukan jasa-jasa. Kami tidak akan memberikan izin untuk kamu menuntut kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Andaikata kamu meninggal dunia, hati kami akan hancur karena perasaan sedih. Bagaimana mungkin, sewaktu engkau masih hidup kami memberikan izin agar kamu meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu?”
Mendengar bujukan di atas, Ratthapala diam saja.
Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya orang tua Ratthapala membujuknya dengan berkata : “Ratthapala tercinta, engkau adalah anak kami satu-satunya, … Bagaimana mungkin, sewaktu engkau masih hidup kami memberikan izin agar kamu meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu?”
Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya Ratthapala diam saja.
Atas permintaan ibu dan ayah Ratthapala, maka teman-temannya juga turut membujuk dengan berkata : “Ratthapala yang baik, kamu adalah anak tunggal dari orang tuamu, yang terkasih dan tersayang; kamu dibesarkan dalam kesenangan dan tidak pernah mengalami kekurangan apapun; engkau sama sekali tidak mengenal apa yang dinamakan penderitaan. Bangunlah Ratthapala yang baik, makan … Bagaimana mungkin, sewaktu kamu masih hidup orang tuamu memberikan izin agar kamu meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu?”
Mendengar bujukan di atas, Ratthapala diam saja.
Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya teman-teman Ratthapala membujuknya dengan berkata : “Ratthapala yang baik, kamu adalah anak tunggal dari orang tuamu, ….. Bagaimana mungkin, sewaktu kamu masih hidup orang tuamu memberikan izin agar kamu meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu?”
Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya Ratthapala diam saja.
Teman-teman itu kemudian menemui ibu dan ayah Ratthapala dan berkata : “Ibu dan ayah yang baik, Ratthapala berbaring di atas lantai tanpa alas dan berkata : ‘Di sinilah aku akan mati atau diberi izin untuk menjadi bhikkhu.’ Bila Anda tidak memberinya izin untuk meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu, ia akan mati di tempat itu. Tetapi, bila Anda memberinya izin, Anda masih dapat melihatnya sebagai seorang bhikkhu. Dan bila di kemudian hari ia sudah jemu dengan penghidupan sebagai bhikkhu dan ingin kembali menjadi seorang yang berumah tangga, ia pasti akan kembali lagi ke rumah ini. Karena itu, berikan saja ia izin untuk meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang bhikkhu.”
Ibu dan ayah Ratthapala kemudian memberikan izin mereka dengan syarat, bahwa setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Ratthapala harus datang kembali untuk mengunjungi mereka.
Teman-teman Ratthapala kemudian menyampaikan kabar gembira ini kepada sahabatnya : “Bangunlah Ratthapala yang baik, orang tuamu telah memberikan izin mereka dan engkau dapat meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu. Tetapi bila kamu sudah ditahbiskan kamu harus kembali untuk mengunjungi mereka.”
Ratthapala kemudian bangkit dan ketika tenaganya pulih kembali ia segera menghadap Sang Bhagava. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagava ia mengambil tempat duduk di satu sisi dan berkata : “Bhante, hamba telah memperoleh izin dari orang tua hamba untuk meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang bhikkhu. Hamba mohon dengan hormat, sudilah kiranya Bhante berkenan memberikan pentahbisan sebagai bhikkhu kepada diri hamba.”
Dengan demikian Ratthapala ditahbiskan menjadi bhikkhu dan diterima menjadi anggota Sangha.
Dua minggu setelah mentahbiskan Ratthapala menjadi bhikkhu, Sang Bhagava meninggalkan kota Thullakotthita dan kembali berkelana hingga tiba di Savathi dan berdiam di hutan Jetavana di vihara sumbangan Anathapindika.
Sejak ditahbiskan menjadi bhikkhu Ratthapala selalu menyendiri, mengasingkan diri, rajin dan tekun. Dan dalam waktu tidak terlalu lama beliau mencapai tujuan yang menjadi idam-idaman dari mereka yang meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi bhikkhu; yaitu tujuan yang tertinggi dari penghidupan suci. Beliau telah memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi, sehingga dapat melihat dengan jelas hakekat sesungguhnya dari benda-benda. Beliau tahu bahwa : tumimbal lahir sudah dimusnahkan, penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak ada sesuatu lagi yang masih tertinggal. Dan Ratthapala menjadi salah satu dari para Arahat.
Setelah itu Ratthapala datang menemui Sang Bhagava dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya dan duduk di satu sisi lalu berkata : “Bhante, hamba mohon izin agar dapat mengunjungi orang tua hamba di Thullakotthita.”
Sang Bhagava merenung sejenak untuk mengetahui keadaan batin dan pikiran apa yang dikandung oleh Ratthapala. Beliau kemudian mengetahui bahwa Ratthapala tidak mungkin lagi meninggalkan kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan kembali menjadi ‘orang biasa’, lalu berkata : “Ratthapala, kerjakanlah apa yang kamu anggap baik.”
Ratthapala bangkit dari tempat duduknya dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagava lalu meninggalkan tempat itu dengan Sang Bhagava tetap di sebelah kanannya.
Setelah bersiap-siap dan membawa jubah serta mangkuknya, berangkatlah Ratthapala menuju Thullakotthita. Tiba di tempat yang dituju beliau lalu berdiam di taman menjangan milik raja Kuru.
Keesokan paginya setelah mengenakan jubahnya dan membawa mangkuk, Ratthapala lalu memasuki kota Thullakotthitauntuk mengumpulkan makanan. Dalam perjalanan dari rumah ke rumah ini tibalah Beliau di depan rumah orang tuanya.
Ketika itu ayah Ratthapala sedang duduk di ruang tengah dengan pintu terbuka yang memberi pandangan ke jalan besar. Dari jauh ia sudah dapat melihat Ratthapala sedang berjalan menuju rumahnya. Ia kemudian keluar dan menyapanya : “Puteraku satu-satunya yang terkasih dan tersayang, sekarang engkau sudah menjadi seorang pertapa yang berkepala gundul.”
Dengan demikian di rumah orang tuanya sendiri Ratthapala tidak diberi makanan ataupun penolakan. Yang beliau peroleh ialah ejekan belaka.
Pada saat itu seorang budak dari keluarga Ratthapala keluar untuk membuang bubur, sisa makanan kemarin. Melihat itu Ratthapala menyapa budak itu dengan kata-kata : “Adik, bila bubur itu akan dibuang, tuang saja ke dalam mangkuk ini.”
Ketika budak itu sedang menuang bubur itu ke dalam mangkuk dengan terkejut ia mengenali tangan, kaki serta suara tuan mudanya. Dengan tergesa-gesa budak itu pergi menghadap ibu Ratthapala dan berkata : “Nyonya, hamba mempunyai suatu berita yang baik, yaitu tuan muda Ratthapala telah kembali.”
“Apa katamu? Bila berita itu benar maka engkau akan kubebaskan sebagai budak.”
Kemudian ibu Ratthapala pergi menemui suaminya dan berkata : “Aku membawa kabar gembira untuk suamiku, yaitu anak kita Ratthapala telah kembali.”
Ketika itu Ratthapala sedang makan bubur, sisa makanan kemarin, di sudut luar rumah. Ayahnya kemudian datang menemuinya dan berkata : “Ratthapala tercinta, mengapa engkau makan bubur sisa makanan kemarin hari. Sudah selayaknya engkau masuk ke rumahmu sendiri.”
“Di manakah ada rumah lagi bagi seorang pertapa yang sudah meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya, kepala rumah tangga? Aku adalah seorang yang berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain, kepala keluarga. Aku sengaja datang ke rumah Anda, namun tidak diberi makanan ataupun penolakan. Yang aku terima hanya ejekan belaka.”
“Sudahlah, Ratthapala tercinta, terimalah undangan kami untuk makan esok hari.”
Ratthapala menerima undangan ini dengan cara membisu. Mengetahui, bahwa puteranya telah menerima undangan untuk makan esok hari, ayah Ratthapala kemudian masuk kembali ke rumahnya.
Ia lalu memerintahkan untuk membuat tumpukan-tumpukan besar yang terdiri dari mata uang emas dan benda-benda yang terbuat dari emas dan menutup tumpukan-tumpukan tersebut dengan tirai. Kemudian ia berkata kepada para istri Ratthapala : “Dengar menantuku, besok kalian harus merias diri dan mengenakan pakaian yang paling disenangi suamimu, Ratthapala.”
Keesokan harinya disiapkan makanan dan minuman yang lezat-lezat dan kemudian dikirim orang untuk mengundang Ratthapala bahwa makanan telah siap.
Setelah mengenakan jubahnya dan membawa mangkuk Ratthapala pergi ke rumah ayahnya dan kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan. Ketika itu ayahnya membuka tirai yang menutupi tumpukan-tumpukan mata uang dan benda-benda yang terbuat dari emas, serta mengatakan : “Ratthapala tercinta, ini adalah kekayaan ibumu; yang itu adalah kekayaan ayahmu dan yang lainnya adalah kekayaan kakek-kakekmu. Ratthapala tercinta, kamu dapat menggunakan harta kekayaan ini untuk membuat jasa-jasa dengan melakukan pebuatan-perbuatan baik. Karena itu hentikan latihanmu, kembalilah kepada penghidupan berkeluarga seperti sediakala dan gunakanlah kekayaan yang kamu miliki untuk membuat jasa-jasa.”
“Kepala rumah tangga, bila Anda dapat menyetujui pendapatku, maka sebaiknya emas itu dimuat di pedati, lalu membawanya pergi untuk selanjutnya dibuang di tengah-tengah sungai Gangga. Mengapa aku mengatakan demikian? Karena benda itu dapat menjadi sumber ratap tangis, penderitaan, kesedihan dan keputus-asaan.”
Kemudian para istri dari Ratthapala memeluk kaki Beliau dan berkata : “Tuan muda, coba ceritakan kepada kami tentang kecantikan dari para bidadari sehingga tuan muda rela menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa.”
“Aku menjalankan kehidupan sebagai seorang pertapa bukan disebabkan para bidadari, saudari.”
Mereka lalu menjerit : “Tuan muda Ratthapala memanggil kami ‘saudari’” dan jatuh pingsanlah mereka di tempat itu.
Kemudian Ratthapala berkata kepada ayahnya : “Kepala rumah tangga, jika ada makanan yang akan diberikan, sebaiknya berikanlah itu sekarang dan jangan terus menggoda aku.”
“Marilah makan, Ratthapala terkasih, makanan telah siap.”
Selanjutnya dengan tangannya sendiri ayah Ratthapala melayani puteranya makan hidangan yang mewah, yang padat dan yang lunak.
Ketika Ratthapala selesai makan dan menarik tangan Beliau dari mangkuk, Beliau lalu mengucapkan syair di bawah ini :
“Lihatlah lukisan ini yang berupa khayalan,
Badan yang penuh luka, dirangkai menjadi satu,
Tempat tumpukan penyakit, tempat timbunan pikiran,
Di mana tak terdapat kekekalan dan kelanggengan.Lihatlah badan jasmani ini yang berupa khayalan,
Disertai dengan perhiasan, cincin dan permata lainnya,
Tulang belulang yang dibungkus dengan kulit,
Dalam pakaian yang gemerlap.
Kakinya diwarnai dengan cat,
Mukanya disemir dengan bedak,
Cukup untuk memperdaya orang bodoh,
Namun tidak bagi seorang pencari Pantai Seberang.
Rambut dikepang delapan,
Mata disemir dengan salep mata,
Cukup untuk memperdaya orang bodoh,
Namun tidak bagi seorang pencari Pantai Seberang.
Bagaikan peti penyimpan salep mata yang diberi perhiasan,
Demikianpun tubuh yang kotor ini dipercantik dengan berbagai cara,
Cukup untuk memperdaya orang bodoh,
Namun tidak bagi seorang pencari Pantai Seberang.
Seorang pemburu memasang perangkap,
Namun sang menjangan tak mau masuk perangkap itu,
Umpannya dimakan lalu pergilah ia,
Meninggalkan si pemburu meratap-ratap.”
Ratthapala mengucapkan syair ini dengan berdiri dan kemudian pergi kembali ke taman raja Kuru. Di taman ini beliau duduk di bawah sebuah pohon untuk melewati tengah hari.
Dikisahkan, bahwa raja Kuru, Koravya, memerintahkan tukang kebunnya : “Tukang kebun, bersihkan taman menjangan karena kami akan ke sana untuk menikmati pemandangan dan udara yang segar.”
“Baik, Tuanku,” jawab si tukang kebun.
Ketika membersihkan kebun ia melihat Ratthapala sedang beristirahat di bawah pohon. Hal ini dilaporkan kepada raja dengan mengatakan : “Tuanku, taman sudah dibersihkan, tetapi Bhikkhu Ratthapala berada di sana, yaitu anak seorang keluarga terpandang di kota Thullakotthita yang Tuanku selalu menyanjung-nyanjungnya.”
“Baiklah, tukang kebun. Sekarang marilah kita pergi menemui Bhikkhu Rattapala untuk menyampaikan hormat kita.”
Sejumlah kereta kerajaan disiapkan dan raja sendiri memakai sebuah kereta yang indah sekali. Kemudian rombongan itu berangkat ke taman menjangan untuk mengunjungi Bhikkhu Ratthapala.
Setelah berkereta sejauh mungkin yang dapat dilalui oleh kereta, dengan perasaan gembira rombongan raja Kuru melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Setelah tukar-menukar ucapan yang menyenangkan sesuai dengan sopan santun dengan Bhikkhu Ratthapala, raja Kuru kemudian berkata : “Ini adalah alas duduk dari kulit gajah. Silakan Bhante Ratthapala duduk di atasnya.”
“Tak usah sungkan, Baginda, marilah duduk. Aku duduk di tikarku sendiri.”
Raja Koravya duduk di tempat yang sudah disiapkan dan kemudian berkata : “Bhante Ratthapala, terdapat empat macam kemalangan. Setelah orang mengalami kemalangan tersebut terdapat kemungkinan, bahwa ia mencukur rambut serta janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya dan menjadi pertapa.
Apakah empat kemalangan itu? Empat macam kemalangan itu adalah : kemalangan karena berusia lanjut, kemalangan karena terserang penyakit, kemalangan karena kehilangan harta dan kemalangan karena kehilangan sahabat dan kerabat.
Yang pertama adalah kemalangan karena berusia lanjut. Dalam hal ini orang itu sudah berusia lanjut, tua renta, merasa bahwa ajalnya akan segera tiba.
Orang ini lalu berpikir : ‘Aku sekarang sudah berusia lanjut, tua renta dan ajalku akan segera tiba. Tidak mudahlah bagiku untuk mengumpulkan lagi harta; bahkan harta yang kumiliki juga tidak lagi dapat memberi aku kepuasan dan kebahagiaan. Karena itu lebih baik aku mencukur rambut serta janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya dan menjadi seorang pertapa.’
Inilah yang dinamakan terkena kemalangan karena berusia lanjut. Tetapi Bhante Ratthapala masih muda belia, berambut hitam, penuh kegairahan hidup dan sama sekali tak dapat ditemukan gejala ‘kemalangan karena berusia lanjut’ dalam diri Bhante Ratthapala. Apakah sebenarnya yang Bhante Ratthapala ketahui, lihat atau dengar, sehingga meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa?
Yang kedua adalah kemalangan karena terserang penyakit. Dalam hal ini orang itu terserang penyakit, menderita sakit yang hebat dan penyakitnya parah. Orang itu berpikir : ‘Aku sekarang diserang penyakit, menderita sakit yang hebat dan penyakitku sudah parah. Tidak mudahlah bagiku untuk … lebih baik aku meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa.’
Tetapi Bhante Ratthapala sekarang tidak terserang penyakit, tidak sedang sakit, masih memiliki pencernaan yang baik, tidak kedinginan atau kepanasan. Tak terdapat tanda sedikitpun bahwa Bhante Ratthapala terkena ‘kemalangan diserang penyakit’. Apakah sebenarnya yang Bhante Ratthapala ketahui, lihat atau dengar, sehingga meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa?
Yang ketiga adalah kemalangan karena kehilangan harta. Dalam hal ini orang itu kaya, memiliki banyak harta; orang yang kaya sekali. Namun kekayaan itu makin lama makin berkurang. Orang itu berpikir : ‘Dulu aku kaya, memiliki banyak harta dan kaya sekali. Makin lama kekayaanku makin berkurang. Tidak mudahlah bagiku untuk … lebih baik aku meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa.’
Tetapi Bhante Ratthapala adalah anak dari keluarga yang terpandang di kota Thullakotthita. Tak terdapat tanda sedikitpun bahwa Bhante Ratthapala terkena ‘kemalangan kehilangan harta’. Apakah sebenarnya yang Bhante Ratthapala ketahui, lihat atau dengar, sehingga meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa?
Yang keempat adalah kemalangan karena kehilangan sahabat dan kerabat. Orang ini mempunyai banyak sahabat dan kerabat, namun sahabat dan kerabat itu makin lama makin berkurang. Ia lalu berpikir : ‘Dulu aku mempunyai banyak sahabat dan kerabat, tetapi makin lama sahabat dan kerabatku itu makin berkurang. Tidaklah mudah bagiku untuk … lebih baik aku meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa.’
Tetapi Bhante Ratthapala mempunyai banyak sahabat dan kerabat di kota Thullakotthita ini dan tidak ada sedikitpun tanda bahwa Bhante Ratthapala terkena ‘kemalangan karena kehilangan sahabat dan kerabat’. Apakah sebenarnya yang Bhante Ratthapala ketahui, lihat atau dengar, sehingga meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa?
Bhante, apa yang diuraikan di atas itu adalah empat kemalangan. Setelah orang mengalami kemalangan-kemalangan itu terdapat kemungkinan bahwa ia mencukur rambut serta janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan penghidupan berkeluarga untuk selama-lamanya dan menjadi pertapa. Tetapi tidak satupun kemalangan di atas yang menimpa diri Bhante. Sebenarnya apakah yang diketahui, dilihat atau didengar oleh Bhante, sehingga meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa?”
“Baginda raja, ada empat Ajaran pokok yang diberikan Sang Bhagava, Yang Maha Pengasih, Maha Suci dan Maha Bijaksana, yang telah memperoleh Penerangan Sempurna. Setelah mengetahui, melihat dan mendengar Ajaran tersebut aku telah meninggalkan penghidupan berkeluarga selama-lamanya dan menjadi seorang pertapa. Bagaimana bunyi empat Ajaran itu?
Dunia (tubuh) ini rapuh dan akan (segera) berakhir,
Inilah Ajaran pertama yang diberikan oleh Sang Bhagava,..
Dunia (tubuh) ini bukanlah perlindungan atau pernaungan,
Inilah Ajaran kedua yang diberikan oleh Sang Bhagava,..
Dunia (tubuh) ini bukan milik kita, semuanya harus kita tinggalkan,
Inilah Ajaran ketiga yang diberikan oleh Sang Bhagava,..
Dunia (tubuh) ini banyak kekurangannya dan tidak memuaskan, budak dari nafsu,
Inilah Ajaran keempat yang diberikan oleh Sang Bhagava,..
Setelah mengetahui, melihat dan mendengar empat Ajaran Sang Bhagava yang diuraikan di atas, maka aku lalu meninggalkan penghidupan berkeluarga selama-lamanya dan menuntut kehidupan sebagai seorang pertapa.”
“Bhante Ratthapala tadi mengatakan: ‘Dunia (tubuh) ini rapuh dan akan (segera) berakhir’. Tetapi bagaimanakah arti dari Ajaran ini?”
“Baginda raja, apakah yang Anda pikir mengenai hal ini: ‘Apakah Baginda ketika berumur dua puluh atau dua puluh lima tahun, ahli menunggang gajah, kuda dan ahli dalam mengemudi kereta perang, seorang ahli memanah, ahli pedang, memiliki kaki dan tangan yang kuat dan tangkas dalam peperangan?’”
“Memang demikian halnya, Bhante. Ketika berumur dua puluh atau dua puluh lima tahun aku adalah ahli menunggang gajah dan kuda, ahli dalam mengemudikan kereta perang, ahli dalam memanah dan tangkas dalam menggunakan pedang. Aku memiliki kaki dan tangan yang kuat dan tangkas dalam peperangan. Kadang-kadang aku berpikir bahwa tidak ada orang yang dapat menyamai kekuatanku.”
“Apakah yang Baginda pikir mengenai hal ini: ‘Apakah Baginda sekarang masih memiliki kaki dan tangan yang kuat serta tangkas dalam peperangan?’”
“Tidak, Bhante, sekarang aku sudah tua, usiaku sudah lanjut dan merasa bahwa ajalku sudah dekat tiba. Umurku sekarang sudah delapan puluh tahun dan kadang-kadang tak dapat lagi melangkahkan kaki dengan tepat.”
“Dalam hubungan inilah, Baginda, Sang Bhagava, Yang Maha Pengasih, … telah bersabda: ‘Dunia (tubuh) ini rapuh dan akan (segera) berakhir.’ Setelah aku mengetahui, melihat dan mendengar hal ini, maka aku meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi pertapa.”
“Mengagumkan sekali, Bhante Ratthapala, mengagumkan, sungguh tepat apa yang disabdakan Sang Bhagava, Yang Maha Pengasih … : ‘Dunia (tubuh) ini rapuh dan akan (segera) berakhir.”
“Bhante Ratthapala, di kerajaan ini terdapat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta perang dan pasukan berjalan kaki yang akan membela kerajaan bila ada serangan dari pihak luar. Tadi Bhante mengatakan: ‘Dunia (tubuh) ini bukanlah perlindungan atau pernaungan’. Tetapi bagaimanakah Ajaran ini harus diartikan?”
“Baginda raja, apakah yang Anda pikir mengenai hal ini: ‘Apakah Baginda mempunyai penyakit yang kronis?’”
“Aku sering terkena penyakit masuk angin, Bhante. Kadang-kadang para sahabat dan kerabatku yang sedang berdiri mengelilingi tempat tidurku berkata: ‘Sekarang raja Koravya akan mangkat. Sekarang raja Koravya akan mangkat.’”
“Sekarang, apa yang Baginda pikir mengenai hal ini? Misalnya kepada para sahabat dan kerabat Baginda mengatakan sebagai berikut: ‘Aku harap para sahabat dan kerabatku dapat mengurangi rasa sakit yang kuderita, yaitu dengan masing-masing mengambil sebagian dari sakitku sehingga dengan demikian rasa sakitku dapat berkurang.’ Ataukah Baginda harus seorang diri menanggung rasa sakit itu?”
“Tidak, Bhante, aku tak dapat melakukan hal itu karena para sahabat dan kerabatku juga tak akan mampu meluluskan permintaanku itu. Dengan demikian aku harus menanggung rasa sakitku seorang diri dan tak dapat membagi-baginya kepada orang lain.”
“Dalam hubungan inilah, Sang Bhagava, Yang Maha Pengasih, … telah bersabda: ‘Dunia (tubuh) ini bukanlah perlindungan atau pernaungan.’ Setelah aku mengetahui, melihat dan mendengar hal itu, maka aku meninggalkan penghidupan berkeluarga dan manjadi seorang pertapa.”
“Mengagumkan sekali, Bhante Ratthapala, mengagumkan, sungguh tepat apa yang disabdakan Sang Bhagava, Yang Maha Pengasih, … : ‘Dunia (tubuh) ini bukanlah tempat perlindungan atau pernaungan.’
“Bhante Ratthapala, di kerajaan ini terdapat mata uang emas dan emas lainnya, baik yang berada di dalam tanah maupun yang berada di atas tanah. Tadi Bhante mengatakan: ‘Dunia (tubuh) ini bukan milik kita, semuanya harus kita tinggalkan.’ Tetapi bagaimanakah Ajaran ini harus diartikan?”
“Sekarang, apa yang Baginda pikir mengenai hal ini? Meskipun Baginda sekarang masih memiliki dan dapat menikmati kesenangan dari panca indra Baginda, namun dapatkah Baginda menentukan dengan mengatakan: ‘Semoga aku tetap memiliki dan menikmati kesenangan panca indraku?’ Atau mungkin orang lain mengambil milik ini sementara Baginda harus menerima hasil-hasil dari kamma Baginda sendiri.”
“Bhante Ratthapala, meskipun aku masih memiliki dan dapat menikmati kesenangan dari panca indraku, namun aku tak dapat menentukan dengan mengatakan: ‘Semoga aku tetap memiliki dan menikmati kesenangan panca indraku.’ Sebaliknya orang lain dapat mengambil milik ini sementara aku harus menerima hasil-hasil dari kammaku sendiri.”
“Dalam hubungan inilah, Baginda, Sang Bhagava … telah bersabda: ‘Dunia (tubuh) ini bukan milik kita, semuanya harus kita tinggalkan.’ Setalah aku mengetahui, melihat dan mendengar hal itu, maka aku meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi seorang pertapa.”
“Mengagumkan sekali, Bhante Ratthapala, mengagumkan, … sungguh tepat apa yang disabdakan Sang Bhagava: ‘Dunia (tubuh) ini bukan milik kita. Semuanya harus kita tinggalkan.’
“Tadi Bhante Ratthapala mengatakan: ‘Dunia (tubuh) ini banyak kekurangannya dan tidak memuaskan, budak dari nafsu.’ Tetapi bagaimanakah Ajaran ini harus diartikan?”
“Sekarang, apakah yang Baginda pikir mengenai hal ini? Apakah negeri Kuru, negeri di mana Baginda menjadi raja, sekarang sudah makmur?”
“Benar, Bhante, negeri Kuru, di mana aku sekarang menjadi raja, sekarang makmur?”
“Sekarang, apa yang Baginda pikir mengenai hal ini? Apabila seorang jujur dan dapat dipercaya dari arah Timur datang menghadap Baginda dan mengatakan: ‘Baginda raja, hamba datang dari Timur. Di sana hamba melihat sebuah negeri yang luas, makmur serta banyak penduduknya. Di sana terdapat juga pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta perang, dan pasukan berjalan kaki. Di sana juga terdapat banyak gading, emas, dan perak, baik yang sudah dikerjakan maupun yang belum dikerjakan, dan di sana juga terdapat banyak wanita yang cantik-cantik. Dengan angkatan perang yang Baginda raja miliki, maka dengan mudah negeri itu dapat ditaklukkan. Mari serbu negeri itu, Baginda raja.’ Apa yang Baginda akan lakukan?”
“Aku akan menaklukkannya dan berdiam di negeri itu sebagai penguasa.”
“Sekarang, apa yang Baginda pikir mengenai hal ini? Apabila seorang lain yang juga jujur dan dapat dipercaya dari arah Barat datang menghadap Baginda dan mengatakan: ‘Baginda raja, hamba datang dari Barat. Di sana hamba melihat sebuah negeri yang luas, makmur … Mari serbu negeri itu, Baginda raja.’ Apa yang akan Baginda lakukan?”
“Aku akan melakukannya dan berdiam di negeri itu sebagai penguasa.”
“Dalam hubungan inilah, Baginda, Sang Bhagava … telah bersabda: ‘Dunia (tubuh) ini banyak kekurangannya dan tidak memuaskan, budak dari nafsu.’ Setelah aku mengetahui, melihat dan mendengar hal itu, maka aku meninggalkan penghidupan berkeluarga dan menjadi seorang pertapa.”
“Mengagumkan sekali, Bhante Rattahapala, mengagumkan, … ‘Dunia (tubuh) ini banyak kekurangannya dan tidak memuaskan, budak dari nafsu.’”
Kemudian bhikkhu Ratthapala mengucapkan syair di bawah ini :
Banyak orang kaya yang menumpuk harta,
Karena bodoh tidak mau melepaskannya;
Keserakahan yang membuat mereka menumpuk harta dan
Bertambahlah kemelekatan mereka kepada rangsangan indriya.
Raja yang menaklukkan negara lain dengan kekerasan,
Kemudian berdiam di negara itu yang berbatasan dengan lautan,
Tidak puas dengan negara di tepi lautan sebelah sini
Menginginkan juga negara di tepi lautan sebelah sana.
Para raja dan khalayak ramai sampai ajal tiba,
Tidak mereda nafsu keinginannya.
Masih banyak yang mereka inginkan ketika wafat,
Keinginan panca indra yang belum terpuaskan di dunia ini.
Dengan rambut terurai para kerabat menangis
Dan meratap: “O Yang Maha Esa, ia sudah tiada.”
Kemudian dibungkuslah mayat itu dengan kain kafan,
Diletakkan di atas timbunan kayu lalu diperabukannya.
Menjadi abulah mayat yang terbungkus kain kafan itu
Dan tertinggal semua harta kekayaannya.
Sanak saudara tidak dapat dijadikan tempat berlindung
Sebagaimana juga para sahabat ketika ia masih hidup.
Para ahli waris membagi harta yang ditinggalkannya,
Sedangkan yang wafat harus mempertanggungjawabkan kammanya.
Harta kekayaan harus ditinggal oleh orang yang wafat;
Demikianpun, anak dan istrinya, kekayaan atau kerajaannya.
Umur panjang bukan diperoleh dari kekayaan
Demikian juga usia tidak dapat dihilangkan oleh harta.
“Kehidupan hanya berlangsung singkat”, kata para bijaksana,
“Tidak abadi dan selalu berubah.”
Yang kaya maupun yang miskin akan terkena sentuhannya,
Yang bodoh dan yang bijaksana pun akan terkena.
Namun yang bodoh akan terjatuh dan tak berdaya,
Sedangkan yang bijaksana tak gentar sedikitpun.
Karena itu kebijaksanaan lebih baik dari harta,
Sebab dengan kebijaksanaan dapat diperoleh Penerangan Sempurna.
Bila belum memperoleh Penerangan Sempurna
Orang cenderung melakukan perbuatan jahat karena kebodohannya.
Ia bertumimbal lahir di alam yang lain, berkali-kali
Berputar-putar di roda Samsara;
Orang yang tidak memiliki kebijaksanaan, sesuai dengan kodratnya
Akan ditumimballahirkan melalui rahim atau di alam lain.
Seperti seorang pencuri yang tertangkap ketika sedang mencuri
Akan menderita karena perbuatannya sendiri.
Demikianlah manusia, sesudah mati, di alam lain
Akan menderita karena kamma buruknya.
Kesenangan indra yang menggiurkan dan beraneka ragam
Dapat menggelapkan batin seseorang;
Namun siapa yang sudah melihat bahayanya,
Seperti aku sendiri, akan meninggalkan kehidupan berkeluarga.
Bagaikan buah yang jatuh dari pohon, begitu juga manusia,
Muda maupun tua akan jatuh bila badan jasmaninya hancur,
Melihat ini, aku menjadi seorang pertapa
Sebab menuntut Penghidupan Suci adalah jauh lebih berharga.