Selasa, 28 Februari 2012

RIWAYAT HIDUP BUDDHA GAUTAMA

Ayah dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah
Sri Ratu Mahä Mäyä Dewi. Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran.
Setelah meninggal, beliau terlahir di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat
Pangeran Siddharta adalah Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di
bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja
Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena
apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan
Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa,
atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2.
Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai,
selalu dilayani oleh pelayan-peolayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana
yang megah dan indah. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang
dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat
peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya, setelah itu Pangeran Siddharta
tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.
Ketika beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran
Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat
membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.
Pertapa Siddharta berguru kepada Alära Käläma dan kemudian kepada Uddaka Ramäputra, tetapi tidak
merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan
ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, menjadi Buddha di bawah pohon
Bodhi di hutan Uruvela (kini tempat tersebut disebut Buddha Gaya). Untuk pertama kalinya Beliau
mengajarkan Dhamma yang maha sempurna kepada lima orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa
Isipatana di dekat Benares. Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondañña, Bodhiya, Vappa, Mahanama
dan Assaji.
Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondañña, segera menjadi Sotapanna dan kemudian
menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai
Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang Buddha sangat giat
mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun.

TIMBULNYA DUA ALIRAN BESAR

Segera setelah Buddha Gautama mencapai Pari-Nibbana, maka diadakanlah Sidang Agung (Sangha-
samaya) yang pertama di kota Rajagaha (543 S.M.). Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Kassapa dan dihadiri oleh
500 orang bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.
Maksud dari sidang ini ialah untuk menghimpun Ajaran-ajaran dari Buddha Gautama yang diberikan di
tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula
selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut Y.A. Upali mengulang tata-tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni
(Vinaya) dan Y.A. Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) dari Buddha Gautama. Ajaran-ajaran dan
khotbah-khotbah ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang lain dari mulut ke mulut.
Sidang Agung ke-dua diadakan di kota Vesali lebih kurang 100 tahun kemudian (l.k. 443 S.M.). Sidang
ini diadakan untuk membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu (golongan Mahasangika), yang menghendaki
agar beberapa peraturan tertentu dari Vinaya, yang dianggap terlalu keras, dirobah atau diperlunak. Dalam
sidang ini golongan Mahasangika dikalahkan dan sidang memutuskan untuk tidak merobah Vinaya yang
sudah ada.
Sidang Agung ke-tiga diadakan lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama (l.k. 313 S.M.), di
ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta. Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan
menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu
sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Di Sidang Agung ke-tiga ini
Ajaran Abidhamma diulang secara tersendiri, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang
terdiri dari tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di
luar kepala. Golongan bhikkhu-bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada
(pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.
Sidang Agung ke-empat diadakan di Srilangka pada 400 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia
dan dipimpin oleh seorang anak dari Raja Asoka, yaitu Mahinda. Sidang ini berhasil untuk secara resmi
menulis Ajaran-Ajaran Buddha Gautama di daun-daun lontar yang kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam
bahasa Pali.
Intisari Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
2
Sidang Agung ke-lima diadakan di Kanishka oleh Raja Kanishka pada kurang lebih 600 tahun setelah
Buddha Gautama meninggal dunia. Sidang ini diadakan oleh mereka yang memisahkan diri dari golongan
Sthaviravada dan di sidang ini buku Tipitaka menurut pandangan golongan Mahayana secara resmi ditulis
dalam bahasa Sansekerta.
Catatan :
Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau kalpa ; satu
kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha,
Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya).
Menurut Buddha Gautama, Ajaran Beliau akan dapat bertahan selama lebih kurang 5.000 tahun; setelah
itu Ajaran Beliau akan demikian diselewengkan, sehingga mungkin masih ada yang menggunakan nama
Agama Buddha, tetapi ajarannya akan jauh sekali berbeda dengan Ajaran Beliau yang asli. Karena itu akan
datang kembali Seorang Buddha lain yang akan dikenal sebagai Buddha Mettaya (Maitreya).