Jumat, 02 Maret 2012

Meghiya

BAB 4
MEGHIYA

4.1 Meghiya
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di Calika, di Bukit Calika. Pada saat itu Yang Ariya Meghiya, pelayan Sang Bhagava [1] mendekati Sang Bhagava, bersujud, berdiri di satu sisi dan berkata: “Saya ingin pergi ke desa Jantu untuk mengumpulkan dana makanan, Bhante.”
“Lakukan sekarang, Meghiya, apa yang menurutmu sudah waktunya untuk dikerjakan.”
Kemudian Yang Ariya Meghiya, sesudah memakai jubahnya sebelum siang dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki desa Jantu untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah berjalan di desa Jantu untuk mengumpulkan dana makanan, setelah selesai makan dan ketika kembali dari mengumpulkan dana makanan, beliau mendekati tepi sungai Kimikala. Sementara beliau berjalan kian kemari di tepi sungai untuk berolahraga, beliau melihat hutan pohon mangga yang indah dan menyenangkan. Ketika melihat hal itu beliau berpikir: “Rumpun pohon mangga ini sangat menyenangkan dan indah. Jelas ini akan cocok untuk usaha (dalam meditasi) seorang laki-laki muda dari keluarga baik-baik yang berniat mencoba usaha itu. Jika Sang Bhagava memberikan ijin, saya akan datang dan berusaha di rumpun pohon hutan mangga ini.”
Kemudian Yang Ariya Meghiya mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, sesudah memakai jubah sebelum siang ….. saya mendekati tepi sungai Kimikala dan melihat rumpun pohon mangga yang menyenangkan dan indah. Ketika melihat ini saya berpikir: “Rumpun pohon mangga ini sangat menyenangkan dan indah. Ini jelas cocok untuk usaha (dalam meditasi) bagi seorang laki-laki muda dari keluarga baik-baik yang bermaksud mencoba usaha itu. Jika Bhante memberi saya ijin, maka saya ingin kesana dan mencoba (bermeditasi) di rumpun pohon mangga ini.”
Ketika itu sudah dikatakan, Sang Bhagava menjawab Yang Ariya Meghiya: “Karena kita sendirian, Meghiya, tunggulah sebentar sampai beberapa bhikkhu datang.”
Untuk kedua kalinya Yang Ariya Meghiya berkata kepada Sang Bhagava : “Bhante, Sang Bhagava tidak mempunyai kebutuhan lain yang harus dikerjakan dan tidak ada apapun yang harus ditambahkan untuk semuanya yang sudah dilakukan. Tetapi bagiku, Bhante, ada sesuatu yang harus dilakukan dan sesuatu yang harus ditambahkan pada apa yang telah saya lakukan. Jika Bhante memberi ijin, saya akan pergi ke rumpun pohon mangga untuk berusaha (bermeditasi).”
Kedua kalinya Sang Bhagava menjawab Yang Ariya Meghiya, “Karena kita sendirian, Meghiya, tunggulah sebentar sampai beberapa bhikkhu datang.”
Ketiga kalinya Yang Ariya Meghiya berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, Sang Bhagava tidak mempunyai kebutuhan lain yang harus dikerjakan …. saya akan pergi ke rumpun pohon mangga itu untuk berusaha (bermeditasi).”
“Karena kamu berbicara mengenai berusaha, Meghiya, apa yang dapat saya katakan? Lakukanlah sekarang, Meghiya, apa yang kamu pikir sudah waktunya untuk dilakukan.”
Kemudian Yang Ariya Meghiya bangkit dari duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan dengan menjaga sisi kanannya selalu menghadap Sang Bhagava, beliau pergi ke Hutan Mangga. Ketika memasuki rumpun pohon mangga itu, beliau duduk di kaki sebuah pohon selama masa istirahat di tengah hari itu.
Ketika Yang Ariya Meghiya sedang tinggal di rumpun pohon mangga itu, dalam benaknya terus muncul 3 macam pikiran yang jelek dan tidak bermanfaat: pikiran nafsu indriya, pikiran jahat, dan pikiran kejam. Yang Ariya Meghiya kemudian berpikir: “Memang benar-benar aneh! Memang benar-benar menakjubkan! Walaupun saya telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari keadaan berumahtangga menuju keadaan tidak berumahtangga, tetapi saya masih dipenuhi oleh ketiga macam pikiran yang jelek dan tidak bermanfaat ini: pikiran nafsu indriya, pikiran jahat, dan pikiran kejam.”[2]
Kemudian, Yang Ariya Meghiya meninggalkan pengasingan dirinya di sore hari itu, mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Bhante, ketika saya berada di rumpun pohon mangga itu, 3 macam pikiran yang jelek dan tidak bermanfaat terus muncul …. dan saya berpikir: “Memang benar-benar aneh. Saya dipenuhi oleh ketiga macam pikiran yang jelek dan tidak bermanfaat ini: pikiran nafsu indriya, pikiran jahat, dan pikiran kejam.”
“Ketika pembebasan pikiran belum matang, Meghiya, lima hal akan menyebabkan kematangannya. Apakah yang lima itu?”
“Dalam hal ini, Meghiya, seorang bhikkhu mempunyai teman-teman yang baik, pendamping-pendamping yang baik, dan rekan-rekan yang baik. Ketika pembebasan pikiran belum matang, Meghiya, inilah hal pertama yang akan menuju ke kematangannya.
“Selain dari itu, Meghiya, seorang bhikkhu yang luhur, ia hidup mematuhi peraturan-peraturan Patimokkha[3], terlatih dalam tindakan dan upaya; melihat bahaya dalam kesalahan terkecilpun, ia berlatih dalam peraturan latihan yang sudah ia terima. Jika kebebasan-pikiran belum matang, Meghiya, ini adalah hal kedua menuju ke kematangannya.
“Selanjutnya, Meghiya, seorang bhikkhu dengan tekadnya sendiri, tanpa masalah maupun kesulitan; bercakap-cakap dengan cara tanpa menonjolkan diri, suatu bantuan untuk membuka pikiran, dan yang membantu menyebabkan perubahan menyeluruh, padamnya nafsu, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, penerangan, dan Nibbana – yaitu: percakapan mengenai sedikitnya keinginan, percakapan mengenai kepuasan batin, percakapan mengenai pengasingan diri, percakapan mengenai tidak senang berkumpul-kumpul dan berhura-hura, percakapan mengenai pengerahan upaya, percakapan mengenai keluhuran, percakapan mengenai konsentrasi, percakapan mengenai kebijaksanaan, percakapan mengenai pembebasan, percakapan mengenai pengetahuan dan gambaran pembebasan. Bila pembebasan pikiran belum masak, Meghiya, ini merupakan hal ketiga yang akan menuju ke kematangannya.
“Selanjutnya, Meghiya, seorang bhikkhu hidup dengan upaya yang dikerahkan untuk meninggalkan keadaan yang tidak bermanfaat dan untuk memperoleh keadaan yang bermanfaat; dia bersemangat, ulet berupaya dan tekun sehubungan dengan keadaan yang bermanfaat. Bila pembebasan pikiran belum matang, Meghiya, ini merupakan hal keempat yang menuju ke kematangannya.
“Selanjutnya, Meghiya, seorang bhikkhu itu bijaksana, dikaruniai pengertian tajam yang ada pada para orang luhur mengenai kemunculan dan kelenyapan yang akan menuju ke berakhirnya penderitaan sepenuhnya. Bila pembebasan-pikiran belum matang, Meghiya, ini merupakan hal kelima yang akan menuju ke kematangannya.
Sudah sepantasnya diharapkan dari seorang bhikkhu yang mempunyai teman-teman yang baik, pendamping-pendamping yang baik, rekan-rekan yang baik; bahwa ia berbudi luhur, ia hidup mematuhi peraturan-peraturan Patimokkha, yang dilengkapi dengan tindakan dan upaya, bahwa ketika melihat bahaya dalam kesalahan paling kecilpun, dia akan berlatih dalam peraturan-peraturan latihan yang telah ia terima. Diharapkan dari seorang bhikkhu yang mempunyai teman-teman baik …. bahwa ia akan memperoleh dengan tekadnya sendiri, tanpa masalah dan kesulitan, percakapan yang tidak menyombongkan diri, yang merupakan bantuan dalam membuka pikiran ….. percakapan mengenai pengetahuan dan gambaran pembebasan. Diharapkan dari seorang bhikkhu yang mempunyai teman-teman yang baik …. bahwa ia akan hidup dengan upaya yang dikerahkan ….bersemangat, ulet berupaya dan tekun sehubungan dengan keadaan yang bermanfaat. Diharapkan dari seorang bhikkhu yang mempunyai teman-teman yang baik …. bahwa ia akan bijaksana, dilengkapi dengan pemahaman yang menembus dari para orang-orang suci mengenai kemunculan dan kelenyapan yang akan menuju ke akhir penderitaan sepenuhnya.
“Seorang bhikkhu, Meghiya, yang sudah mapan dalam lima hal ini juga harus mengolah empat hal lainnya. Kebersihan batin[4] harus diolah untuk menanggulangi nafsu; kebaikan yang penuh cinta kasih harus diolah untuk menanggulangi kejahatan; kewaspadaan pernafasan harus diolah untuk memotong pemikiran (yang menyeleweng); pemahaman mengenai ketidakkekalan harus diolah untuk menghilangkan kesombongan “keakuan”. Karena jika seseorang memahami ketidakkekalan, Meghiya, pandangan bukan-aku akan terbentuk. Jika seseorang memahami bukan-aku, penghilangan kesombongan “aku” juga tercapai, (dan seseorang mencapai) Nibbana di sini dan sekarang.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Buah pikiran yang sepele, buah pikiran yang tidak berarti,
Jika diikuti akan menyelewengkan pikiran.
Karena tidak memahami buah pikiran itu
Pikiran yang mengembara berlari kesana kemari.
Tetapi dengan memahami buah pikiran itu
Seseorang yang giat dan waspada mengawasi pikiran.
Seseorang yang telah mendapat penerangan sudah
mengatasi buah pikiran itu
Sehingga mereka tidak muncul untuk mengacaukan pikiran.

4.2 Orang-orang Yang Penuh Gejolak
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Kusinara, di Upavattana, di hutan pohon-sala suku Malla.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang tinggal di gubug-gubug di hutan tidak jauh dari Sang Bhagava, dan mereka meledak-ledak, sombong, sembrono, pemberang, bercakap-cakap bebas, tidak waspada, tidak ada pengertian, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran-pikiran yang mengembara dan indriya yang tidak terkendali.
Sang Bhagava melihat para bhikkhu yang bertempat tinggal dekat gubug-gubug di hutan itu ….. dengan pikiran-pikiran yang mengembara dan indriya yang tidak terkendali.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dengan “bentuk” yang tidak terjaga[5],
Dan terpengaruhi oleh pandangan keliru,
Dikuasai oleh kemalasan dan kelambanan,
Seseorang akan berjalan seiring dengan kekuasaan Mara.
Maka biarlah pikiran seseorang terjaga,
Biarlah seseorang dikuasai oleh pikiran benar,
Dengan menaruh pandangan benar di garis depan,
Dengan memahami kemunculan dan kelenyapan,
Serta menanggulangi kemalasan dan kelambanan,
Seorang bhikkhu akan meninggalkan semua tujuan yang jelek.

4.3 Gembala Sapi
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berkeliling diantara orang-orang suku Kosala bersama dengan bhikkhu sangha. Kemudian Sang Bhagava menepi, dan beliau pergi ke kaki sebuah pohon, duduk di tempat yang sudah disediakan untuk beliau. Seorang gembala sapi mendekati Sang Bhagava, bersujud, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagava kemudian mengajar, membangkitkan, memberi inspirasi, dan menggembirakan si gembala sapi itu dengan percakapan mengenai Dhamma. Dan si gembala sapi itu, karena diberi pelajaran, dibangkitkan, diberi inspirasi dan digembirakan oleh percakapan Sang Bhagava mengenai Dhamma, berkata pada Sang Bhagava: “Bhante, kabulkanlah keinginan saya untuk menyediakan makanan besok bagi Sang Bhagava bersama bhikkhu sangha.”
Sang Bhagava meyetujui dengan berdiam diri. Kemudian, ketika melihat Sang Bhagava telah setuju, si gembala sapi bangkit dari duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan dengan tetap mengarahkan sisi kanannya pada Sang Bhagava, dia lalu pergi. Ketika malam telah berakhir, gembala sapi itu menyiapkan di tempat tinggalnya sendiri banyak bubur nasi kental yang dimasak dalam susu, (sejumlah) ghee segar, dan mengumumkan kepada Sang Bhagava mengenai waktu (untuk makan, dengan mengatakan), “Sudah waktunya, Bhante, makanan telah siap.”
Kemudian Sang Bhagava, dengan memakai jubahnya di pagi itu dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, bersama dengan bhikkhu sangha pergi ke tempat tinggal gembala itu. Sesampainya di sana Sang Bhagava duduk di tempat duduk yang disediakan bagi beliau. Kemudian si gembala, dengan tangannya sendiri, melayani dan memenuhi kebutuhan bhikkhu sangha yang diketuai oleh Sang Buddha dengan bubur nasi yang kental dan ghee segar. Ketika Sang Bhagava selesai makan dan mengangkat tangannya dari mangkuk, si gembala sapi memilih tempat duduk yang rendah dan duduk di satu sisi. Sang Bhagava kemudian mengajar, membangkitkan, memberi inspirasi dan menggembirakan si penggembala dengan percakapan mengenai Dhamma, dan kemudian bangkit dari duduknya dan pergi.
Tidak lama setelah Sang Bhagava pergi, seorang laki-laki membunuh gembala sapi itu di perbatasan desa.
Kemudian sekelompok bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Bhante, gembala yang hari ini dengan tangannya sendiri melayani dan memenuhi kebutuhan bhikkhu sangha yang diketuai oleh Sang Buddha dengan bubur nasi kental dan ghee segar telah dibunuh, kata orang, oleh seorang laki-laki di perbatasan desa.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Apapun yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang musuh
terhadap orang yang dimusuhinya,
Atau oleh seorang pembenci kepada yang ia benci,
Pikiran yang diarahkan dengan keliru,
Bahkan dapat melakukan kerugian yang jauh lebih besar.

4.4. Malam Purnama
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada dekat Rajagaha, di hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Mahamoggallana tinggal di Gua Burung Dara. Kebetulan Yang Ariya Sariputta, pada suatu malam yang disinari rembulan, sedang duduk di udara terbuka dengan kepala yang baru saja dicukur dan telah mencapai suatu (tahap) konsentrasi tertentu.[6]
Pada saat itu dua yakkha yang berteman sedang bepergian dari utara ke selatan untuk suatu urusan, ketika melihat Yang Ariya Sariputta, di malam yang disinari rembulan, duduk di udara terbuka dengan kepala yang baru saja dicukur. Ketika melihat beliau, yakkha yang satu berkata kepada temannya: “Muncul ide dalam diriku, kawan, untuk memberi pukulan kepada pertapa ini di kepalanya.”
Ketika dia mengatakan ini, yakkha kedua berkata: “Hati-hatilah kawan! Jangan memukul pertapa ini! Dia seorang pertapa yang sakti, kawan, yang mempunyai kemampuan dan kekuatan luar biasa yang sangat besar.”
Kedua kalinya dan ketiga kalinya yakkha pertama itu berkata kepada temannya: “Muncul ide dalam diriku, kawan, untuk memberi pukulan kepada pertapa ini di kepalanya.”
Untuk kedua dan tiga kalinya yakkha kedua berkata: “Hati-hatilah, kawan! Jangan memukul pertapa ini! Dia seorang pertapa yang sakti, kawan, yang mempunyai kemampuan dan kekuatan luar biasa yang sangat besar.”
Kemudian, yakkha pertama, yang tidak memperhatikan (peringatan) yakkha kedua, memukul kepala Yang Ariya Sariputta. Dan pukulan itu begitu keras sehingga sebenarnya dapat menjatuhkan seekor gajah yang tingginya 7 atau 7, 5 kubit (1 kubit kira-kira 45-56 cm), atau membelah puncak gunung yang besar. Setelah itu yakkha itu berteriak, “Saya terbakar, saya terbakar” dan segera jatuh dan masuk ke alam neraka yang besar. Yang Ariya Mahamoggallana, dengan batin yang suci yang telah disempurnakan dan melebihi batin manusia biasa, melihat yakkha itu memukul kepala Yang Ariya Sariputta. Ketika melihat itu, beliau mendekati Yang Ariya Sariputta dan berkata: “Apakah Anda baik-baik saja kawan? Apakah Anda dapat bertahan? Apakah Anda merasakan sakit?”
“Saya baik-baik saja, sahabat Moggallana. Saya dapat bertahan, sahabat Moggallana, walaupun kepala saya memang agak sakit.”
“Bagus sekali, sahabat Sariputta! Hebat sekali, sahabat Sariputta. Betapa besarnya kemampuan dan kekuatan luar biasa Yang Ariya Sariputta! Baru saja, sahabat Sariputta, seorang yakkha memukul kepala Anda. Dan begitu keras pukulan itu sehingga sebenarnya dapat menjatuhkan seekor gajah yang tingginya 7 atau 7,5 kubit atau membelah puncak gunung besar. Tetapi Yang Ariya Sariputta hanya mengatakan, ‘Saya baik-baik saja, sahabat Moggallana, saya dapat bertahan, sahabat Moggallana, walaupun kepala saya memang agak sakit.’”
“Bagus sekali, sahabat Moggallana. Hebat sekali, sahabat Moggallana! Betapa besar potensi dan kekuatan luar biasa yang dimiliki Yang Ariya Moggallana, sehingga anda benar-benar dapat melihat yakkha-yakkha tersebut. Sekarang kita bahkan tidak dapat melihat peri lumpur.”[7]
Sang Bhagava, dengan pendengarannya yang hebat yang sudah disempurnakan dan melebihi pendengaran manusia biasa, mendengar percakapan dua orang yang telah sempurna ini.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Mereka yang pikirannya kokoh tak tergoyahkan bagaikan
batu karang,
Tidak terikat kepada benda-benda yang menimbulkan
keterikatan,
Tidak marah oleh hal-hal yang menyebabkan kemarahan,
Bila pikirannya telah terolah demikian
Bagaimanakah penderitaan dapat mendatanginya?

4.5. Gajah Jantan
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada dekat Kosambi, di vihara Ghosita. Pada saat itu Sang Bhagava hidup dikelilingi oleh para bhikkhu dan bhikkuni, pengikut awam pria maupun wanita, raja-raja dan menteri-menteri kerajaan, guru-guru ajaran lain dan murid-murid mereka, dan beliau tinggal dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang.[8] Kemudian Sang Bhagava berpikir: “Pada saat ini saya tinggal terjepit diantara para bhikkhu dan bhikkhuni …. oleh para guru ajaran lain dan murid-murid mereka dan saya tinggal dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang. Seandainya saya tinggal sendirian, terpisah dari kelompok orang-orang ini?”
Kemudian Sang Bhagava, setelah memakai jubahnya sebelum siang dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah berjalan untuk mengumpulkan dana makanan di Kosambi dan kembali lagi setelah makan, beliau mengatur tempat tinggalnya, mengambil mangkuk dan jubahnya, dan tanpa memberitahu para umat atau mengucapkan selamat tinggal kepada bhikkhu sangha, Sang Bhagava berangkat sendirian, tanpa teman, menuju Parileyyaka. Berjalan terus tanpa berhenti, beliau tiba di Parileyyaka dan tinggal dekat Parileyyaka di suatu hutan yang terlindung di kaki pohon sala yang menyenangkan.
Pada saat itu seekor gajah jantan yang hidup dikelilingi oleh gajah-gajah jantan dan gajah-gajah betina, di antara anak-anak gajah dan bayinya; ia makan rumput yang ujungnya telah hilang dimakan dan mereka makan cabang-cabang yang telah ia patahkan. Ia minum air berlumpur dan ketika masuk dan keluar dari air ia didesak-desak oleh gajah-gajah betina; dan ia tinggal dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang. Kemudian gajah jantan itu berpikir: “Pada saat ini saya tinggal diantara gajah-gajah jantan dan gajah-gajah betina, oleh anak-anak gajah dan bayi-bayinya; saya makan rumput yang ujungnya telah hilang dimakan dan mereka makan dahan-dahan yang telah saya patahkan. Saya minum air berlumpur dan ketika masuk dan keluar dari air saya didesak-desak oleh gajah-gajah betina; dan saya hidup dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang. Seandainya saya hidup sendiri, terpisah dari kelompok ini?”
Maka gajah jantan itu meninggalkan kelompoknya dan pergi ke Parileyyaka, ke hutan yang terlindung, dan mendekati Sang Bhagava di kaki pohon sala yang nyaman. Ketika mendekati tempat dimana Sang Bhagava tinggal, gajah jantan itu menjaga tempat itu agar bebas dari lumpur dan membawakan air dengan belalainya untuk digunakan Sang Bhagava.
Kemudian, sementara Sang Bhagava sedang sendiri dan bertapa, pikiran ini muncul dalam benaknya: “Dulu saya hidup dikelilingi oleh bhikkhu dan bhikkhuni ….. dan saya hidup dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang.” Dan juga pikiran ini muncul dalam benak gajah jantan itu: “Dulu saya hidup dikelilingi oleh gajah-gajah jantan dan gajah-gajah betina ….. dan saya hidup dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang, tetapi sekarang saya tinggal tidak dikelilingi oleh gajah-gajah jantan dan gajah-gajah betina ….. saya makan rumput yang masih utuh dan (yang lain-lain) tidak makan dahan-dahan yang telah saya patahkan. Saya minum air bersih dan ketika masuk dan keluar dari air saya tidak didesak-desak oleh gajah-gajah betina, dan saya hidup dalam keadaan yang nyaman dan tenang.”
Kemudian, Sang Bhagava, waktu mengamati kesendiriannya ini, memahami dengan pikiran Nya buah pikiran yang ada di dalam kepala gajah jantan itu, dan mengungkapkan pada saat itu kotbah inspirasi ini:
Ini menyatukan pikiran dengan pikiran,
Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna dan gajah
jantan[9]
Dengan gading sepanjang tiang kereta-kuda,
Yang bergembira dalam kesendiriannya di hutan.

4.6. Pindola
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Pindola Bharadvaja duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menjaga tubuhnya tetap tegak – seorang penghuni hutan, pengumpul makanan, pemakai jubah compang-camping, pemakai tiga lembar jubah, orang yang tidak banyak keinginan, puas hati, terpencil, sendiri, penuh semangat, seorang pertapa, mengabdi untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi.[10]
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Pindola Bharadvaja duduk bersila tidak jauh ….. mengabdi untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Tidak menghina, tidak menyakiti,
Terkendali oleh peraturan Patimokkha,
Makan secukupnya,
Bertempat tinggal di tempat yang sunyi,
Bertujuan untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi,
Inilah ajaran para Buddha.[11]

4.7. Sariputta
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Sariputta duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menjaga tubuhnya tetap tegak, sebagai orang yang tidak banyak keinginan, puas hati, terpencil, sendiri, penuh semangat, mengabdi untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi.
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Sariputta duduk bersila tidak jauh ….. mengabdi untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Rajin, mengabdi untuk mengembangkan batin yang lebih
tinggi,
Seorang suci yang terlatih dalam cara-cara kebijaksanaan,
Tidak ada kesedihan untuk orang yang tenteram,
Yang tenang dan selalu waspada.

4.8. Sundari
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava dihormati, dipuja, dimuliakan, dihargai dan disembah, dan merupakan orang yang terpenuhi kebutuhan hidup Nya (jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan).[12] Dan bhikkhu sangha juga dihormati …..
Tetapi para pertapa kelana aliran lain tidak dihormati, dipuja, dimuliakan, dihargai dan disembah, dan mereka tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya akan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Kemudian para pertapa kelana aliran lain itu, karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditunjukkan banyak orang terhadap Sang Bhagava dan bhikkhu sangha, mendekati Sundari si pertapa kelana wanita dan berkata, “Saudari, maukah anda melakukan sesuatu yang berguna bagi kerabatmu?”
“Apa yang dapat saya lakukan, tuan-tuan? Apa yang dapat saya lakukan? Saya akan mengorbankan bahkan hidup saya demi kerabat-kerabat saya.”
“Kalau demikian, saudari, seringlah pergi ke Hutan Jeta.”
“Baiklah, tuan-tuan,” Sundari si pertapa kelana wanita itu menjawab, dan dia sering pergi ke Hutan Jeta. Kemudian, ketika para pertapa kelana itu mengetahui bahwa Sundari si pertapa kelana wanita telah dilihat banyak orang sering pergi ke Hutan Jeta, mereka membunuhnya dan menguburnya di sana, di sebuah lubang yang digali di parit Hutan Jeta. Kemudian mereka pergi ke Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata, “Raja yang Agung, Sundari si pertapa kelana wanita tidak dapat ditemukan.”
“Kamu curiga dia berada di mana?”
“Di Hutan Jeta, Paduka Raja.”
“Kalau begitu, periksa Hutan Jeta.”
Waktu memeriksa Hutan Jeta para pertapa kelana itu menggali mayat Sundari dari lubang di parit tempat dia dikuburkan, dan meletakkannya di tandu, dan membawanya ke Savatthi. Waktu berjalan dari jalan ke jalan dan dari perempatan ke perempatan, mereka menimbulkan kemarahan orang-orang dengan mengatakan: “Lihatlah, tuan-tuan, pekerjaan para pengikut putra Sakya.[13] Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, adalah orang yang tidak tahu malu, tidak bermoral, tidak baik kelakuannya, pembohong, bukan penganut kehidupan suci. Mereka menyatakan bahwa mereka hidup dengan Dhamma, bahwa mereka menjalani kehidupan yang seimbang, bahwa mereka menjalani kehidupan suci, bahwa mereka adalah pembicara-pembicara kebenaran, bahwa mereka saleh dan berkelakuan baik, tetapi mereka tidak pantas sebagai pertapa, mereka tidak pantas sebagai brahmana; status pertapa mereka rusak, status brahmana mereka rusak. Dimana status pertapa mereka? Dimana status brahmana mereka? Mereka telah kehilangan status pertapa mereka, mereka telah kehilangan status brahmana mereka. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”
Karena ini, ketika orang-orang melihat para bhikkhu di Savatthi, mereka mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan dan kata-kata kasar: “Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak punya malu, tidak bermoral, berkelakuan buruk ….. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”
Kemudian sejumlah bhikkhu, setelah mengenakan jubah sebelum siang hari dan mengambil mangkuk serta jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan makanan dan kembali; setelah bersantap, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Saat ini, Bhante, bila orang-orang melihat bhikkhu di Savatthi, mereka mencerca, memaki, menghasut, dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar…..”
“Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Ini akan berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu akan lenyap. Jadi, O, bhikkhu, bila orang-orang mencerca para bhikkhu, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar, kamu harus menanggapi dengan syair ini:
Penuduh salah[14] pergi ke neraka,
Dan juga ia yang menyangkal perbuatan yang telah ia lakukan,
Keduanya ini menjadi sama di sana,
Manusia yang perbuatannya tidak terhormat akan berada di alam sana.
Maka para bhikkhu itu mempelajari syair ini di hadapan Sang Bhagava, dan ketika orang-orang itu, waktu melihat para bhikkhu, mencerca mereka, mereka menanggapi dengan syair itu.
Kemudian orang-orang itu berpikir: “Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak melakukannya; itu tidak dilakukan oleh mereka. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, sedang menegaskan (ketidak-salahan mereka).”[15] Dan kegemparan itu berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu, lenyap.
Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bagus sekali, Bhante! Luar biasa! Alangkah bagusnya hal ini diramalkan Sang Bhagava: ‘Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Setelah tujuh hari akan lenyap.’ Bhante, kegemparan itu telah lenyap.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Orang yang tidak terkendali menusuk orang dengan kata-kata
Seperti halnya gajah perang ditusuk anak panah.
Waktu mendengar kata-kata kasar diucapkan padanya
Seorang bhikkhu harus menahannya tanpa benci.[16]

4.9. Upasena
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Rajagaha, di hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu, sementara Yang Ariya Upasena Vangantaputta[17] sedang bertapa, pikiran ini muncul dalam benaknya: “Keuntungan bagi saya; keuntungan yang besar bagi saya, bahwa guruku adalah Sang Bhagava, Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna; bahwa saya telah beralih dari keadaan berumah menuju keadaan yang tidak berumah dalam Dhamma yang telah dibabarkan dengan sempurna dan Vinaya(peraturan) ini; bahwa sesamaku dalam kehidupan suci ini berbudi luhur dan bertingkah laku baik; bahwa saya telah memenuhi keluhuran moral; bahwa saya terkendali dan terpusat dalam pikiran; bahwa saya seorang Arahat yang terbebas dari noda; bahwa saya mempunyai kemampuan dan kekuatan luar biasa yang besar. Beruntunglah kehidupan saya ini dan beruntung pula kematian saya!”
Kemudian Sang Bhagava memahami dengan pikiran Nya, pikiran yang ada dalam benak hati Yang Ariya Upasena Vangantaputta, dan pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Yang hidupnya tidak menyebabkan penyesalan yang dalam,
Dan yang tidak bersedih hati pada waktu kematian,
Orang bijaksana yang telah melihat keadaan itu.[18]
Tidak bersedih di tengah kesedihan.
Seorang bhikkhu yang pikirannya telah ditenangkan,
Yang sudah menghancurkan nafsu untuk dumadi,
Selesai dengan berkelana dalam kelahiran demi kelahiran,
Tidak ada keadaan dumadi selanjutnya baginya.

4.10. Sariputta (2)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Sariputta duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menjaga tubuhnya tegak dan memeriksa keadaan kedamaiannya sendiri.[19]
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Sariputta duduk bersila tidak jauh ….. memeriksa keadaan kedamaiannya sendiri.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Seorang Bhikkhu yang pikirannya tenang dan damai,
Yang telah memotong tali (nafsu untuk dumadi).[20]
Sama sekali selesai dengan pengembaraannya dalam
kelahiran,
Dia terbebas dari ikatan Mara.

Catatan Kaki :
  1. Tampaknya Sutta ini pasti berasal dari suatu periode sebelum Yang Ariya Ananda menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
  2. Menurut Comy., dalam 500 kelahiran yang lampau berturut-turut Meghiya adalah seorang Raja. Taman kerajaannya terletak dimana hutan mangga itu sekarang berada, dan dia dulu biasa duduk bersama dengan gadis-gadis penarinya tepat di tempat itu di bawah pohon dimana dia duduk untuk bermeditasi. Dengan demikian, ketika dia duduk di tempat itu, dia merasa seolah-olah kebhikkhuannya meninggalkan dia dan pikirannya tertutup oleh fantasi gadis-gadis cantik. Juga, dalam kehidupan-kehidupannya sebagai Raja, di tempat yang sama itulah dia memerintahkan pembunuhan dan pemenjaraan para bandit, maka ketika dia duduk di sana sebagai Meghiya, pikiran-pikiran yang dengki dan kejam muncul dalam dirinya.
  3. Peraturan disiplin dalam kehidupan bhikkhu sangha.
  4. Asubha: Ini merupakan cara meditasi mengamati aspek tubuh yang tidak menyenangkan dan fungsi-fungsinya, yang dilakukan untuk menghilangkan kemelekatan dan nafsu.
  5. “Bentuk” (kaya), menurut Comy., disini mengacu pada enam “bentuk kesadaran.” yaitu, kesadaran 5 indria dan kesadaran pikiran, yang dijaga oleh kewaspadaan sehingga kekotoran tidak muncul sehubungan dengan kontak indria. Ada pembacaan pilihan mengenai “pikiran” (citta) dan bukannya mengenai “bentuk” (kaya), tetapi hal ini tidak banyak, atau tidak membedakan arti.
  6. Keadaan batin luhur (brahmavihara) dari ketenangan, menurut Comy. Beberapa guru menyatakan pencapaian berhentinya perasaan dan pencerapan (nirodhasamapatti), guru-guru lain menyatakan pencapaian hasil yang harus diperoleh (phalasamapatti). Karena hanya ketiga hal inilah yang mampu melindungi tubuh.
  7. Pamsupisacakam: setan kecil atau jin yang menghantui rawa-rawa dan tempat kotoran (Comy. ). Comy. menerangkan bahwa Sariputta, yang telah mencapai ketinggian pencapaian dan kerendahan hati, mengatakan hal ini dalam arti bahwa beliau tidak melihat mereka itu karena, pada saat itu, beliau tidak menyatakan mereka, seperti yang disiratkan dari kata “sekarang” (etarahi).
  8. Comy. menerangkan bahwa Sang Buddha hidup dikelilingi oleh kedelapan kesatuan ini, bukan karena senang berkumpul-kumpul, tetapi karena kasih sayang, karena dia menginginkan kesejahteraan mereka, sesuai dengan tekadnya untuk membebaskan orang-orang lain dan menyelamatkan mereka dari empat banjir.
  9. Nagassa nagena. “Yang Sempurna” atau Arahat dan gajah jantan, dan juga dewa ular, semuanya disebut naga.
  10. Adhicittamanuyutto. Pikiran yang lebih tinggi dapat diartikan sebagai memiliki delapan pencapaian (empat jhana materi dan empat jhana tanpa materi), atau sebagai memiliki pencapaian hasil buah kearahatan: tetapi disini, mereka katakan, diartikan hasil kearahatan (Comy). Adhicitta, latihan dalam konsentrasi (samadhi), merupakan latihan kedua dari tiga latihan yang lebih tinggi, yang didahului oleh disiplin moral yang lebih tinggi (adhisila) dan diikuti oleh kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipanna). Dalam syair berikutnya, Comy mengartikan adhicitta sebagai meditasi yang ditujukan untuk mencapai delapan pencapaian.
  11. Etam buddhana(m) sasanam. Ketika “buddha” jamak muncul dalam teks-teks ini mungkin tidak mengacu kepada para sammasambuddha yang muncul pada abad-abad sebelumnya tetapi mengacu pada Sang Buddha dan murid-murid utamanya yang mencapai penerangan, savakabuddha, juga disebut anubuddha, “seperti Buddha”, atau yang mencapai penerangan dengan mengikuti petunjuk (anu-).” Ini berlaku terutama bagi para murid yang menyampaikan kotbah seperti Sariputta, Mahakassapa, Mahakaccana, dll.; dan yang pada mulanya dianggap sebagai yang berada pada pijakan yang sama dengan Sang Guru sehubungan dengan kebebasan mereka dari kekotoran. Mungkin imbangan anubuddha adalah paccekabuddha, yaitu seseorang yang mencapai penerangan tanpa petunjuk.
  12. Seperti pada 2.4.
  13. Sakyaputtiya. “Putra Sakya” adalah salah satu dari nama yang dikenal untuk Sang Buddha. Sakya adalah marga asal beliau.
  14. Abhutavadi. Kebanyakan terjemahan syair ini (juga ditemukan dalam Dhp 306) menterjemahkan baris pertama, “Pembohong masuk ke neraka.” Tetapi ini tidak jelas membedakan subjek dari orang dalam baris berikutnya. Terjemahannya disini disarankan oleh cerita, juga ditemukan dalam Buddhist Legends, 3:189-91.
  15. Sapanti. Sapati berarti bersumpah, berjanji, untuk membuat pernyataan yang tegas (mengenai kebenaran).
  16. Bandingkan dengan Dhp. 320.
  17. Upasena ini dikatakan sebagai adik Sariputta. Cara kematiannya, setelah dia digigit oleh ular, dicatat dalam S.iv,40.
  18. Ditthapado: yang telah melihat atau merealisir Nibbana. “Pada” berarti “keadaan”, “tempat” “sudut pandang” dan digunakan sebagai istilah untuk Nibbana, keadaan terakhir.
  19. Upasamam: ini mengacu pada dumadi menjadi Arahat dengan semua kekotoran lenyap.
  20. Dalam tanda kurung disarankan oleh Comy.