Jumat, 02 Maret 2012

Bodhi Vagga

BAB 1
POHON BODHI

1.1 Pohon Bodhi (1)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di hutan Uruvela, di tepi sungai Neranjara, di bawah pohon Bodhi, baru saja Sang Bhagava mencapai Penerangan Sempurna. Pada saat itu Sang Bhagava duduk bermeditasi selama tujuh hari sedang menikmati kebahagian dari Kebebasan. Kemudian pada akhir hari ketujuh itu, Sang Bhagava berhenti bermeditasi, dengan pandangan Nya yang terang pada pengamatan malam permulaan, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan maju; demikian [1]
“Ini ada, itu ada; karena munculnya ini maka muncullah itu. Yaitu: dengan adanya ketidaktahuan sebagai kondisi, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak muncul; dengan adanya bentuk-bentuk pemikiran/kehendak sebagai kondisi, kesadaran muncul; dengan adanya kesadaran sebagai kondisi, batin dan jasmani muncul; dengan adanya batin dan jasmani sebagai kondisi, enam landasan indria sebagai kondisi, kontak terjadi, dengan adanya kontak sebagai kondisi, perasaan muncul; dengan adanya perasaan sebagai kondisi, nafsu keinginan muncul; dengan adanya nafsu keinginan sebagai kondisi, kemelekatan muncul; dengan adanya kemelekatan sebagai kondisi, dumadi muncul; dengan adanya dumadi sebagai kondisi, kelahiran muncul; dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, kelahiran muncul; dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, umur tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan dan keputusasaan muncul. Inilah asal mula dari seluruh rangkaian penderitaan”.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Jika Kebenaran [2] menjadi jelas
bagi Brahmana yang bermeditasi dengan giat, [3]
maka semua keraguan lenyap karena ia mengerti
bagaimana tiap faktor yang muncul ada penyebabnya.

1.2 Pohon Bodhi (2).
Demikianlah yang saya dengar. Suatu ketika Sang Bhagava sedang tinggal di hutan Uruvela selama tujuh hari menikmati kebahagiaan dari Kebebasan. Kemudian pada akhir hari ketujuh itu, Sang Bhagava berhenti bermeditasi dan dengan pandangan Nya yang terang selama pengamatan malam pertengahan, memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan balik, demikian:
“Ini tidak ada, itu tidak ada, dari berhentinya ini, maka itu berhenti. Yaitu: dari berhentinya ketidaktahuan, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak berhenti; dari berhentinya bentuk-bentuk pemikiran/kehendak, kesadaran berhenti; dari berhentinya kesadaran, batin dan jasmani berhenti; dari berhentinya batin dan jasmani, enam landasan indria berhenti; dari berhentinya enam landasan indria, kontak berhenti; dari berhentinya kontak, perasaan berhenti; dari berhentinya perasaan, nafsu keinginan berhenti; dari berhentinya nafsu keinginan, kemelekatan berhenti; dari berhentinya kemelekatan, dumadi berhenti; dari berhentinya dumadi, kelahiran berhenti; dari berhentinya kelahiran, usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan berhenti. Ini merupakan berhentinya seluruh rangkaian penderitaan”.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Jika Kebenaran menjadi jelas
bagi Brahmana yang bermeditasi dengan giat,
semua keraguan lenyap karena ia sudah tahu
berakhirlah kondisi untuk muncul.

1.3 Pohon Bodhi (3).
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di hutan Uruvela selama tujuh hari mengalami kebahagiaan dari Kebebasan. Kemudian pada akhir hari ketujuh itu, Sang Bhagava dengan pandangan Nya yang terang pada malam terakhir, memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan maju maupun balik, demikian:
“Karena ini ada, itu ada; dari timbulnya ini, timbullah itu; karena tidak ada ini, itu tidak ada; dari berhentinya ini, itu berhenti. Yaitu: dengan adanya ketidaktahuan sebagai kondisi, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak muncul; dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, maka usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Ini merupakan asal mula seluruh rangkaian penderitaan.
Tapi dari lenyap dan berhentinya sama sekali ketidaktahuan keseluruhan maka bentuk-bentuk pemikiran/kehendak berhenti; dari berhentinya kelahiran maka usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan berhenti. Ini merupakan berhentinya seluruh rangkaian penderitaan”.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Jika Kebenaran menjadi jelas
bagi Brahmana yang bermeditasi dengan giat,
ia bertahan dan mengalahkan gangguan Mara
seperti matahari bersinar di langit. [4]

1.4 Pohon Beringin.
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di hutan Uruvela, di dekat sungai Neranjara, di bawah Pohon Beringin Gembala Kambing, setelah baru saja memperoleh Penerangan Sempurna. Pada saat itu Sang Bhagava duduk bermeditasi selama tujuh hari menikmati kebahagiaan dari Kebebasan. Kemudian ketika tujuh hari itu sudah berlalu, Sang Bhagava berhenti bermeditasi.
Pada saat itu seorang Brahmana [5] yang sombong mendekati Sang Bhagava. Sesudah mendekat, ia bertegur sapa dengan sopan dan berdiri pada satu sisi. Berdiri di sana, Brahmana itu berkata kepada Sang Bhagava: “Gotama yang baik, bagaimanakah seseorang bisa disebut Brahmana dan apakah hal-hal yang membuat seseorang menjadi Brahmana?”
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Seorang Brahmana adalah seseorang yang sudah membuang semua kejahatan,
Tidak sombong, bebas dari kekotoran batin, [6] mempunyai pengendalian diri,
Sempurna dalam pengetahuan, seseorang yang sudah menjalani hidup suci.
Dia mempunyai hak menggunakan kata “Brahmana” [7]
Yang tidak akan menjumpai rintangan-rintangan [8] dimanapun di dunia

1.5. Para Sesepuh.
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Sariputta, Yang Ariya Mahamoggallana, Yang Ariya Mahakasssapa, Yang Ariya Mahakaccayana, Yang Ariya Mahakotthita, Yang Ariya Mahakappina, Yang Ariya Mahacunda, Yang Ariya Anuruddha, Yang Ariya Revata, Yang Ariya Devadatta, dan Yang Ariya Ananda sedang mendekati Sang Bhagava. Melihat mereka datang, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Yang datang itu adalah Brahmana, wahai bhikkhu, yang datang itu adalah para Brahmana”.
Setelah hal itu dikatakan, seorang bhikkhu yang memang seorang brahmana sejak lahir, bertanya kepada Sang Bhagava: “Sang Bhagava, bagaimanakah seseorang disebut seorang Brahmana dan hal-hal apakah yang membuat seseorang menjadi seorang Brahmana?”
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Mereka yang telah sadar dan tanpa belenggu,
Telah membuang kejahatan,
Dan bertingkah laku selalu waspada,
Mereka lah Brahmana dunia.

1.6. Mahakassapa.
Demikianlah yang saya dengar. Suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Rajagaha, di Hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu Yang Ariya Mahakassapa sementara tinggal di Gua Pipphali, jatuh sakit, menderita dan sengsara. Setelah beberapa saat Yang Ariya Mahakassapa sembuh dari sakit, [9] kemudian beliau berpikir, “Bagaimana jika saya memasuki Rajagaha untuk mengumpulkan makanan?”.
Pada saat itu 500 dewata sibuk mengumpulkan makanan bagi Yang Ariya Mahakassapa, tetapi sesudah menolak tawaran 500 dewata itu, Yang Ariya Mahakassapa memakai jubahNya sebelum siang hari, dan dengan membawa mangkok dan jubah luarNya, memasuki Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan; berjalan di jalan-jalan rumah orang miskin dan orang papa, jalan-jalan rumah para pemintal.
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Mahakassapa di Rajagaha sedang berjalan untuk mengumpulkan dana makanan; di jalan-rumah orang miskin, jalan-jalan rumah para pemintal.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Tidak melekat pada yang lain dan tidak dikenal, [10]
terkendali, teguh dalam hal-hal penting,
telah terbebas dari kekotoran dan bebas dari kesalahan, [11]
Dialah yang saya sebut seorang Brahmana.

1.7. Ajakalapaka.
Demikinlah yang saya dengar. Suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di Pava, di kuil Ajakalapaka, yaitu tempat tinggal Yakkha Ajakalapaka.
Pada saat itu Sang Bhagava sedang duduk di udara terbuka di malam yang gelap gulita sementara hujan turun rintik-rintik. Kemudian Yakkha Ajakalapaka, karena ingin membuat takut dan kekacauan dalam diri Sang Bhagava dan ingin membuat bulu kuduk beliau berdiri, mendekati Sang Bhagava dan ketika sudah dekat meneriakkan 3 kali jeritan yang mengerikan, mengatakan: “Inilah setan bagimu, pertapa!&quot. [12]
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu, mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Ketika seorang Brahmana telah mencapai akhir
dari pencapaiannya sendiri, [13]
maka dia berada di luar jangkauan
setan ini dan hiruk pikuknya

1.8. Sangamaji.
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Sangamaji telah tiba di Savatthi untuk menemui Sang Bhagava. Bekas isteri Yang Ariya Sangamaji setelah mendengar bahwa Tuan Sangamaji tiba di Savatthi, membawa anaknya dan pergi ke hutan Jeta.
Pada saat Yang Ariya Sangamaji sedang duduk di bawah pohon untuk beristirahat di tengah hari itu. Lalu bekas isterinya mendekati dan berkata: “Ini anakmu, pertapa, rawatlah dia”. Ketika itu diucapkan Yang Ariya Sangamaji tetap diam. Untuk kedua kali dan ketiga kali: “Ini anakmu, pertapa, rawatlah dia”. Dan untuk ketiga kalinya Yang Ariya Sangamaji tetap diam.
Kemudian bekas isteri Yang Ariya Sangamaji meletakkan anak itu di depannya dan pergi sambil mengatakan: “Itu anakmu, pertapa, besarkanlah dia”. Tetapi Yang Ariya Sangamaji tidak memandang anak itu maupun mencoba berbicara dengan dia. Kemudian isterinya setelah berjalan beberapa langkah, menengok kembali dan melihat bahwa Yang Ariya Sangamaji tidak memandangi anak itu maupun berbicara kepadanya. Melihat ini dia berpikir: “Pertapa ini bahkan tidak membutuhkan anaknya”. Dia kembali mengambil anak itu dan pergi. Dengan mata suci Nya yang telah dimurnikan dan melebihi manusia biasa, Sang Bhagava melihat tindakan isteri Yang Ariya Sangamaji yang tidak sopan itu.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dia tidak bergembira melihat wanita itu datang
tidak juga bersedih ketika dia pergi
Sangamaji terbebas dari ikatan. [14]
Dia lah yang saya sebut Brahmana.

1.9. Pertapa-pertapa Jatila.
Demikianlah yang saya dengar. Suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Gaya, di bukit Gaya. [15] Pada saat itu di malam musim dingin di antara “delapan hari terdingin” [16] di musim salju, banyak pertapa Jatila [17] di Gaya menceburkan diri masuk dan keluar (dari air), menyiramkan air (ke tubuh mereka), dan melakukan penghormatan api; mereka berpikir bahwa dengan tindakan-tindakan ini, kesucian dapat dicapai.
Sang Bhagava melihat para pertapa Jatila itu mencebur dan keluar dari air, menyiramkan air (ke tubuh mereka) dan melaksanakan penghormatan api.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Tidak oleh air seseorang disucikan
banyak orang mandi di air,
di dalam diri yang memiliki Kebenaran dan Dhamma,
dia dibersihkan, dia seorang Brahmana.

1.10. Bahiya.
Denikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Bahiya yang berpakaian kulit kayu sedang tinggal di pantai Supparaka. Dia dihormati, dipuja, dihargai, dimuliakan. Dia disembah dan juga dia telah mendapat kebutuhan pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. [18]
Ketika dia sedang bertapa, pemikiran ini muncul di benak Bahiya yang berpakaian kulit kayu. “Apakah saya salah satu dari mereka di dunia ini yang sudah menjadi Arahat, atau yang sudah memasuki jalan menuju tingkat Arahat?”
Saat itu seorang dewata yang dulunya kerabat Bahiya yang berpakaian kulit kayu memahami pemikiran di benak Bahiya itu. [19] Karena kasihan dan berkeinginan untuk membantu, dewata itu mendekati Bahiya dan berkata: “Anda, Bahiya, bukan seorang Arahat atau sudah memasuki jalan menuju tingkat Arahat. Anda tidak mengikuti praktek yang membawa anda menjadi Arahat atau memasuki jalan menuju tingkat Arahat”.
“Kalau demikian di dunia ini termasuk para dewa, siapakah yang Arahat atau sudah memasuki jalan menuju tingkat Arahat?”.
“Ada, Bahiya, di negeri jauh, di suatu kota yang disebut Savatthi. Di sanalah Sang Bhagava tinggal. Beliau seorang Arahat, yang telah mencapai Penerangan Sempurna. Sang Bhagava itu, Bahiya, benar-benar seorang Arahat dan beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai kesucian Arahat”.
Kemudian Bahiya yang berpakaian kulit kayu, yang tergugah secara mendalam oleh kata-kata dewata itu, saat itu juga berangkat dari Supparaka. Dengan perjalanan satu malam saja, [20] dia pergi ke Savatthi tempat Sang Bhagava sedang berada, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan ke sana kemari di udara terbuka. Bahiya yang berpakaian kulit kayu mendekati para bhikkhu itu dan berkata: “Tuan-tuan yang terhormat, dimanakah Sang Bhagava sekarang tinggal; Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna? Kami ingin menjumpai Sang Bhagava, yang merupakan seorang Arahat, yang telah mencapai Penerangan Sempurna”.
“Sang Bhagava, Bahiya, sudah pergi untuk mengumpulkan makanan dari rumah ke rumah”.
Kemudian Bahiya dengan bergegas meninggalkan hutan Jeta. Memasuki Savatthi, dia melihat Sang Bhagava sedang berjalan mengumpulkan makanan di Savatthi – menyenangkan, indah dipandang, dengan indria yang tenang dan pikiran yang tentram, telah mencapai sikap yang sempurna dan tenang, terkendali, seorang yang sempurna, waspada dengan indra yang terlatih. Ketika melihat Sang Bhagava, dia mendekat, bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagava dan berkata: “Ajarilah saya Dhamma, Sang Bhagava; ajarilah saya Dhamma, Sugata, demi kebaikan dan kebahagiaan saya sendiri untuk waktu yang lama”.
Ketika diajak berbicara demikian, Sang Bhagava berkata kepada Bahiya yang berpakaian kulit kayu: “Ini bukan waktu yang tepat, Bahiya, kami akan pergi mengumpulkan makanan”.
Kedua kalinya Bahiya berkata kepada Sang Bhagava: “Sulit untuk tahu dengan pasti, Sang Bhagava, berapa lama Sang Bhagava akan hidup atau berapa lama saya akan hidup. Ajarilah saya Dhamma, Sang Bhagava; ajarilah saya Dhamma, Sugata, demi untuk kebaikan dan kebahagiaan saya sendiri untuk waktu yang lama”. Untuk kedua kalinya Sang Bhagava berkata kepada Bahiya: “Ini bukan waktu yang tepat, Bahiya, kami akan pergi mengumpulkan makanan”. Ketiga kalinya Bahiya berkata kepada Sang Bhagava: “Sulit untuk tahu dengan pasti…..; ajarilah saya Dhamma, Sugata, demi kebaikan dan kebahagiaan saya untuk waktu yang lama”.
“Dalam hal ini, Bahiya, kamu harus melatih dirimu sendiri: di dalam apa yang dilihat hanya ada apa yang dilihat; di dalam apa yang didengar hanya ada apa yang didengar; di dalam apa yang dirasakan hanya ada apa yang dirasakan; di dalam apa yang diketahui hanya ada apa yang diketahui. Dengan cara ini kamu harus melatih dirimu sendiri, Bahiya”.
Jika, Bahiya, dalam apa yang dilihat hanya ada apa yang dilihat,….., di dalam yang diketahui hanya ada apa yang diketahui, maka Bahiya, kamu tidak akan “bersama itu”; bila Bahiya, kamu tidak lagi “bersama itu”, kamu tidak akan berada di dalam itu; bila, Bahiya, kamu tidak ada di dalam itu, maka Bahiya, kamu tidak akan berada di sini maupun di sana tidak juga di antara keduanya. Inilah akhir penderitaan”. [21]
Melalui ajaran Dhamma yang singkat dari Sang Bhagava ini, pikiran Bahiya yang berpakaian kulit kayu segera terbebas dari kekotoran tanpa kemelekatan. Kemudian, sesudah mengajar Bahiya dengan petunjuk yang ringkas itu, Sang Bhagava pergi. [22]
Tidak lama sesudah kepergian Sang Bhagava, seekor lembu dengan anaknya menyerang Bahiya yang berpakaian kulit kayu dan membunuh beliau. [23] Ketika Sang Bhagava sudah selesai mengumpulkan makanan di Savatthi, pulang dari mengumpulkan makanan dengan sejumlah bhikkhu, pada waktu meninggalkan kota tersebut, Beliau melihat bahwa Bahiya yang berpakaian kulit kayu sudah meninggal dunia.
Melihat hal itu beliau berkata kepada para bhikkhu: “O, para bhikkhu, ambillah tubuh Bahiya, letakkan di atas tandu, bawalah pergi dan bakarlah, dan buatlah stupa untuk itu. Temanmu dalam kehidupan suci telah meninggal dunia”.
“Baiklah, Sang Bhagava”, jawab para bhikkhu itu.
Diambillah tubuh Bahiya, yang diletakkan dia atas tandu, dibawa pergi dan dibakar, dan dibuatlah stupa untuk Nya. Kemudian mereka pergi menghadap Sang Bhagava, bersujud dan duduk di satu sisi. Duduk di sana, para bhikkhu berkata kepada Sang Bhagava : “Tubuh Bahiya telah dibakar, Sang Bhagava, dan sebuah stupa telah dibuat untuk itu. Bagaimanakah keadaannya dan kehidupannya yang akan datang?”
“O, para bhikkhu, Bahiya berpakaian kulit kayu adalah seorang yang bijaksana. Dia berlatih menurut Dhamma dan tidak merepotkan saya dengan berselisih paham soal Dhamma. O, para bhikkhu, Bahiya telah mencapai Nibbana Akhir”.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dimana tidak ada air maupun tanah.
Tidak ada api maupun udara yang bertumpu.
Di sana tidak ada bintang yang bersinar,
tidak ada matahari yang bercahaya.
Tidak ada bulan yang bercahaya,
tetapi sebaliknya tidak ada juga kegelapan yang menyelimuti.
Jika seorang bijaksana, seorang brahmana sudah memahami ini
untuk dirinya melalui pengalamannya sendiri.
maka dia terbebas dari yang berbentuk maupun yang tidak berbentuk,
bebas dari rasa senang dan dari rasa sakit. [24]

Kotbah inspirasi ini diucapkan oleh Sang Bhagava, demikianlah yang saya dengar.
Catatan Kaki :
  1. Lihat pengantar untuk keterangan singkat mengenai kemunculan yang saling bergantungan dan arti istilah-istilah kuncinya. “Urutan ke depan” (anuloma) berarti urutan asal mulanya; “urutan mundur” (patiloma), yang dibahas di dalam sutta berikutnya, berarti urutan berhentinya. Di M. Sutta 26, di bab yang melukiskan meditasi Sang Buddha seorang diri segera setelah Penerangan Sempurna Nya, keberadaan yang saling bergantungan diidentifikasikan dengan Dhamma yang “agung, sulit untuk diterima, sulit untuk dimengerti” yang disadari oleh Sang Buddha dalam Penerangan Sempurna Nya (M.i.167). 
  2. Kebenaran (Dhamma), disini berarti Empat Kesunyataan Mulia (Comy.). 
  3. Sang Buddha menyebut dirinya sendiri sebagai seorang Brahmana di dalam pengertian orang yang telah sempurna. Lihat Dhp. 385423, dan Ud. 1.4. di bawah.
  4. Mara adalah Penggoda dalam Agama Buddha, yang mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan yang mencegah kemajuan dalam kehidupan spiritual. Dia digambarkan dalam kesenian Agama Buddha sebagai kepala dari suatu pasukan jahat yang disusun melawan Buddha yang akan datang pada malam Penerangan Sempurna Nya. Untuk keterangan mengenai pasukan Mara, lihat Snp. w. 436-439.
  5. Huhunkajatikobrahmano: seseorang yang mengatakan “humhum”, berarti mengutuk yang lain karena kesombongan (Comy.).
  6. Ada empat kekotoran batin (asava): nafsu indria, dumadi, pandangan salah dan ketidaktahuan.
  7. “Brahma” berarti yang tertinggi, yang agung atau yang luhur: ini juga merupakan nama dari salah satu jenis dewa istimewa. Seorang Brahmana adalah seseorang yang dilahirkan di dalam kasta pendeta yang istimewa dalam sistim sosial India, tetapi dalam Agama Buddha digunakan untuk menerangkan seorang Arahat, yaitu seseorang yang sudah merealisir tujuan kebebasan. “Kehidupan suci” (brahmacariya), sikap hidup terbaik atau tertinggi, adalah kehidupan spiritual selibat seorang bhikkhu. 
  8. Rintangan-rintangan (ussada) adalah nafsu indria, kebencian, ketidaktahuan, kesombongan dan pandangan salah (Comy). 
  9. Versi pilihan atau yang lebih luas dalam episode ini muncul di bawah pada 3.7. 
  10. Comy.: Dia dilukiskan sebagai “tidak melekat pada yang lain” (anannaposi) karena dia sendirian, tanpa seorang lain yang harus menjaga; ini dikatakan untuk menunjukkan betapa mudah beliau dibantu kehidupannya. Kelompok kata itu dapat juga berarti bahwa dia tidak dipelihara oleh yang lain, karena beliau tidak terikat kepada donor manapun untuk memenuhi kebutuhannya. Beliau disebut “tidak dikenal” (annata) karena beliau tidak membuat dirinya dikenal dengan keinginan untuk mendapatkan keuntungan, kehormatan dan kemashuran. Kata itu dapat juga berarti “terkenal”, yaitu karena sifat-sifatnya yang baik. 
  11. Dosa. Disini mungkin berarti “kesalahan” atau “noda”, tetapi dapat juga berarti “keadaan yang menyenangkan fisik,” jadi ada suatu referensi yang tersirat disini mengenai terbebasnya dari sakit. “Seseorang dengan noda yang sudah berakhir” (khinasava) adalah nama lain untuk seorang Arahat, seseorang yang telah menghancurkan kekotoran-kekotoran indria, dumadi, pandangan dan ketidaktahuan.
  12. Goblin, pisaca, di dalam cerita rakyat India adalah sejenis setan pemakan daging. Yakkha adalah istilah yang lebih umum untuk mahluk halus bukan manusia yang tinggal di pohon-pohon dan lapangan di tengah rimba, tidak harus jahat. Tempat pemujaan dibangun untuk mereka dimana sesaji dibuat orang desa untuk mendapatkan bantuan dan pengaruh perlindungan yang mereka berikan sebagai imbalannya.
  13. Sakesu dhammesu paragu. Dengan buah ke-Arahat-an dia sudah mencapai akhir dari pencapaiannya sendiri dalam kebijakan moral, dll., dengan menyempurnakannya tanpa perkecualian (Comy.).
  14. Sanga: Ikatan atau keterikatan. Ada permainan kata-kata disini mengenai nama Sangamaji. Dia terbebas dari kelima ikatan nafsu, kebencian, khayalan, kesombongan dan pandangan (Comy.).
  15. Gayasisa: Sebuah bukit satu mil di sebelah barat daya kota Gaya. 
  16. Antaratthaka: delapan hari terdingin dari musim dingin India Utara ketika salju jatuh, sekitar bulan purnama Januari atau Februari.
  17. Pertapa-pertapa ini disebut Jatila karena mereka memanjangkan rambutnya dan dianyam (jata). 
  18. Cerita latar belakang komentar untuk Sutta ini terdapat dalam Buddhist Legends (Legenda Buddhist), 2.222-26; dicetak ulang di dalam Buddhist Stories From the Dhammapada Commentary (Cerita Agama Buddha dari Komentar Dhammapada), 2:156-63 (BPS Wheel No 324/325). Cerita ini membentuk latar belakang bagi Dhp. 101: “Walaupun seribu syair tersusun dari baris-baris yang tidak berarti, adalah lebih baik satu baris tunggal berarti yang ketika mendengarnya seseorang dapat merasa damai.”
  19. Menurut Comy., dewata itu sebenarnya adalah seorang rahib kawan Bahiya selama masa Buddha Kassapa sebelumnya. Pada saat itu tujuh bhikkhu, karena ingin sekali mencapai kebebasan dengan cepat, menggunakan tangga untuk menaiki suatu gunung yang curam, kemudian menendang tangga itu dan membaktikan diri mereka ke meditasi. Yang tertua dalam kelompok itu dengan cepat mencapai Arahat dan yang tertua berikutnya mencapai buah dari yang-tidak-kembali, tetapi lima orang lainnya, yang menolak makan makanan yang diperoleh dua orang yang disebut terdahulu melalui kekuatan batin mereka, mati sesudah tujuh hari. Yang tidak-kembali dilahirkan lagi di dalam dunia Brahma dan sekarang muncul di hadapan Bahiya sebagai “familinya yang dulu”. Kelima rahib yang mati, sesudah lahir kembali di dalam dunia surgawi, lahir lagi sebagai manusia pada masa Buddha sekarang. Salah satunya adalah Bahiya, lainnya adalah Dabba Malla, yang juga muncul di dalam Udana (8.9 ,8.10). 
  20. Comy. menerangkan ungkapan sabbattha ekarattiparivasena yang berarti bahwa Bahiya melengkapi seluruh perjalanan (dari 120 yojana, 1 yojana kira-kira 6 mil) dalam suatu malam, dan ditambahkan bahwa dia mampu menempuh jarak sedemikian ini dalam waktu sedemikian singkat karena dia dibantu oleh kekuatan luar biasa dewata. Walaupun ungkapan itu mungkin dapat dipahami dengan pengertian bahwa Bahiya tinggal hanya satu malam di setiap tempat selama perjalanan, keterangan ini tidak disetujui oleh tradisi tafsir.
  21. Ini merupakan suatu bacaan yang sulit. Keterangan untuk hal ini yang diperoleh dari komentar akan merupakan keterangan seperti ini: “Dalam yang dilihat hanyalah ada apa yang dilihat” tanpa menambahkan pandangan pribadinya sendiri, opini maupun konsepnya sendiri, suka maupun tidak suka pribadi, dan sebagainya; yaitu hanya melihat apa yang ada seperti apa adanya. “Kamu tidak akan bersama itu”, yang terikat oleh pandangan itu, oleh daya tarik atau kebencian, dan sebagainya. “Kamu tidak akan berada di dalam itu”, situasi dimana seseorang berkayal dan terhanyut dalam arus pandangan dan emosi. “Kamu tidak akan berada di sini maupun di sana tidak juga di antara keduanya”: tidak di dunia ini maupun di dunia lain. Ini berarti mengalami Nibbana atau kebebasan, yang merupakan suatu jalan keluar dari keduniawian, dari dunia.
  22. Pencapaian Arahat Bahiya secara tiba-tiba hanya ketika mendengar percakapan yang ringkas, yang merupakan suatu kejadian yang amat langka, ini merupakan suatu kesaksian, baik untuk dalamnya pernyataan tersamar Sang Buddha maupun untuk kematangan kemampuannya sendiri. Walaupun Bahiya mati beberapa menit sesudah bertemu Sang Buddha, Sang Buddha menggolongkan dia sebagai pengikut bhikkhu yang terdepan dalam kecepatan pengertian (khippabhinnanam)
  23. Woodward salah menterjemahkan kalimat ini dan mengartikannya bahwa itu adalah sapi muda yang menyerang Bahiya; tetapi ungkapan gavi tarunavaccha, sebenarnya berarti “seekor sapi yang bersama anak sapinya.” yang lebih masuk akal. Walau biasanya lembut dan tidak menyerang, seekor sapi dapat menjadi berbahaya dan tidak dapat diterka bila dia mempunyai anak yang harus dilindungi. Keadaan yang sama terjadi pada Suppabuddha, si lepra dalam 5.3 di bawah.
  24. Kotbah ini memberikan suatu “gambaran mengenai pengalaman seorang Arahat, saat Penerangan yang sinarnya bahkan jauh lebih terang dibanding matahari dan bulan. Comy. mengambil empat baris pertama untuk dihubungkan dengan Nibbana, seperti yang dialami oleh pertapa yang mempunyai kebijaksanaan dalam hal jalan agung (ke-Arahat-an). Beliau kemudian dibebaskan dari “berbentuk dan tidak berbentuk,” yaitu bebas dari bidang lingkup dumadi yang berbentuk dan yang tidak berbentuk; dan “dari rasa senang dan dari rasa sakit”, yaitu dari dualisme bidang lingkup indria.