Kamis, 01 Maret 2012

Catatan Bab I

1. Devatasamyutta

1
Marisa, “tuan yang baik,” merupakan istilah yang biasanya digunakan oleh para dewa untik menyapa Sang Buddha, Para bhikkhu yang terkenal (lihat, misalnya, 40:10; IV 270,16), dan anggota-anggota komuniitas mereka sendiri (11:3;1 218,34); para raja juga menggunakan istilah itu untuk saling menyapa (3:12; 1 80,4). Spk menjelaskan bahwa itu adalah istilah kasih sayang yang berarti “yang tidak memiliki penderitaan” (niddhukka), tetapi ada kemungkinan merupakan bentuk India Tengah dari Skt madrsa.
Kata “banjir” (ogha) digunakan secara kiasan, tetapi di sini dengan nada teknis, untuk menunjuk pada serangkaian doktrin tentang empat banjir (lihat 45:171). Disebut demikian, menurut Spk, “karena banjir-banjir itu membuat para makhluk terendam di dalam lingkaran kehidupan dan tidak mengizinkan mereka naik menuju keadaan-keadaan yang lebih tinggi dan ke Nibbana.” Empat banjir itu (dengan definisi dari Spk) adalah: (1) banjir indera (kamogha) = nafsu keinginan dan nafsu jasmani terhadap lima tali kenikmatan indera (bentuk-bentuk yang menyenangkan, suara-suara yang menyenangkan, dll. – lihat 45:176); (ii) banjir kehidupan (bhavogha) = nafsu keinginan dan nafsu jasmani terhadap kehidupan lingkup-bentuk dan kehidupan lingkup-tanpa-bentuk serta kemelekatan pada jhana; (iii) baniir pandangan (ditthogha) = enam puluh pandangan (DN I 12-38); dan (iv) banjir kebodohan (avijjogha) = kurangnya pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia. Perempuan banjir juga digunakan di syair 298 – 300. 511-13, dan 848-49.
2
Appatittham khvaham avuso anayuham ogham atarim. Spk: jawaban Sang Buddha dimaksudkan sebagai paradoks, karena biasanya orang menyeberang banjir dengan cara berhenti di tempat-tempat yang menawarkan tempat pijakan kaki dan dengan cara memegang di tempat-ditempat yang harus diseberangi.
Spk menerangkan appatittham hanya dengan appatitthahanto (bentuk alternatif dari present participle), tetapi Spk-pt menjelaskan “Tidak berhenti: tidak menjadi diam karena kekotoran batin dsb.; artinya adalah ‘tidak tenggelam (appatitthahanto ti kilesadiman vasena asantitthanto, asamsidanto ti attho).” Kata-kata patititthati biasanya berarti “menjadi terbentuk,” yaitu, melekat, terutama karena nafsu keserakahan dan kekotoran batin lainnya: lihat di bawah, di syair 46 dan n. 35. Kesadaran yang didorong oleh nafsu keserakahan menjadi “terbentuk” (lihat 12:38-40, 12:64, 22:53-54), dan ketika nafsu keserakahan dihapus, kesdaran itu “tidak terbentuk, tidak tertopang.” Arahat meninggal “dengan kesadaran yang tidak terbentuk” (appatitthitena ninnanena .. parinibbuto; lihat 4:23 (I 122,12-13). Semua nuansa ini bergema di dalam jawaban Sang Buddha.
Kata-kata ayuhati memang jarang ditemukan di Nikaya-Nikaya, tetapi lihat di bawah, syair 263df, syair 264d, dan Sn 210d. Kata itu merupakan intensifikasi dari uhati (ditambah dengan a- dan –y- sebagai sambungan); kata-kata sederhana itu terdapat di MN I 116, 13-14, yang dapat diterjemahkan sebagai “ditegangkan.” Pemakaiannya di sana terikat dengan konteks masa-kini: pikiran yang tegang itu jauh dari konsentrasi. Di dalam literature belakangan, bentuk kata-benda ayuhana memperoleh pengertian teknis yaitu “akumulasi,” yang khusus mengacu pada kamma; di dalam perumusan sebab-akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada), bentukan-bentukan berkehendak (sankhara) dikatakan memiliki fungsi ayuhana; lihat Patis I 52,14, 26; Vism 528,12 Ppn 17:51), 579,31 – 580,4 (Ppn 17:292-93).
Spk: Yang Terberkahi sengaja memberikan jawaban yang tak jelas kepada dewa itu untuk membuatnya rendah hati. Dewa itu bersifat keras kepala dan sombong, namun membayangkan dirinya bijaksana. Karena memahami dewa itu tidak akan dapat menembus ajaran kecuali dia mengubah sikapnya terlebih dahulu, Sang Buddha bermaksud mengejutkan agar kesombongannya runtuh. Pada titik itu, dengan rendah hati dewa itu pun memohon untuk dijelaskan dan Sang Buddha menjelaskan sedemikian rupa sehingga dia dapat mengerti.
3
Jawaban Sang Buddha yang sangat singkat menunjukkan pada jalan tengah (majjhima patipada) di dalam lingkupnya yang paling luas, baik secara praktis maupun filosofis. Untuk membuat agar maknanya jelas, Spk menyebutkan tujuh kelompok-dua itu:(i) “berhenti” karena kekotoran batin, orang tenggelam; “menegang” karena bentukan-bentukan berkehendak, orang terhanyut; (ii) karena nafsu keserakahan dan pandangan-pandangan, orang tenggelam; karena kekotoran-kekotoran lain, orang terhanyut; (iii) karena nafsu keserakahan, orang tenngelam, karena pandangan-pandangan, orang terhanyut; (iv) karena pandangan keabadian, orang tenggelam; karena pandangan pembinasaan, orang terhanyut (lihat lt 43,12-44,4); (v) karena kendor orang tenggelam, karena kegelisahan orang terhanyut; (vi) karena mencari kenikmatan-kenikmatan indera orang tenggelam, karena mencari penyiksaan diri orang terhanyut; (vii) karena semua bentuk berkehendak yang tak bajik, orang tenggelam; karena semua bentukan berkehendak duniawi yang bajik, orang terhanyut. Nanananda menghubungkan prinsip “tidak berhenti, tidak menegang” dengan masing-masing dari empat banjir: lihat SN-Anth 2:56-58.
4
Spk: Sang Buddha disebut brahmana dalam pengertian Arahat (lihat Dhp 388, 396-423). Beliau sepenuhnya padam (parinibbuto) dalam pengertian Beliau padam karena padamnya kekotoran batin (kilesanibbanena nibbutam). Nafsu keinginan ditandai kemelekatan (visattika) karena nafsu itu melekat dan menempel pada berbagai objek indera.
5
Spk: Ketika dewa itu mendengar jawaban Sang Buddha, dia mantap dalam buah Pemasuk-Arus.
6
Sattanam nimokkham pamokkham vivekam. Spk: “Pembebasan (nimokkha) adalah Sang Jalan, karena para makhluk dibebasskan dari ikatan kekotoran batin oleh Sang Jalan itu; pelepasan (pamokkha) merupakan buahnya, karena pada saat buah itulah para makhluk telah terlepas dari ikatan kekotoran batin; kesendirian (viveka) adalah Nibbana, karena ketika mereka mencapai Nibbana, para makhluk terpisah dari semua penderitaan. Atau pilihan lain, tiga hal itu semuanya merupakan penunjukan untuk Nibbana: karena setelah mencapai Nibbana, para maklhuk terbebas, terlepas, terpisah dari semua penderitaan.” Pengaturan kata pada syair ioni tampaknya menegaskan alternatif kedua.
7
Spk menjelaskan: Nandibhavaparikkaya ti nandimulakassa kammabhavassa parikkhayena; nandiya ca bhavassa ca ti pi vattati; Melalui penghancuran-kehidupan-sukacita: melalui hancur totalnya kehidupan proses-kamma yang berakar pada sukacita; bisa juaga artinya dipahami sebagai ‘(hancurnya) sukacita dan kehidupan.’” Tetapi, lebih masuk akal untuk manafsirkan tappurisa yang beristilah-tiga ini sebagai bentuk majemuk inversi yang diletakkan dengan susunan tak teratur- mungkin karena keadaan darurat syair. Penafsiran ini ditegaskan oleh Pj II 469,14 dan Dhp-a IV 192,7-8 di dalam keterangan tentang bentuk gabungan bahubbihi yang berhubungan nandibhava parikkhinam sebagai tisu bhavesu parikkinatanham; “orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan untuk tiga alam kehidupan.” Lihat juga dibawah, di syair 300c dan n.165.
8
Di syair ini, hanya dua pada pertama yang sesuai dengan matra (Vatta) yang dikenal, dan hal ini menunjukkan bahwa syair itu rusak. Ee2 mengubah pada ketiga dan menambahkan satu baris yang hanya terdapat di Lanna ms sehingga berbunyi: vedananam nirodha ca/ upasanto carissati ti. Tiga pada terakhir di edisi-edisi lainnya diperlakukan sebabagi prosa. Tetapi, hal ini mengubah arti syair sedemikian rupa sehingga tidak lagi langsung menjawab pertanyaan.
Spk: Melalui metode penjelasan pertama, sukacita dalam dumadi/kehidupan (nandibhava, atau mengikuti keterangannya: “kehidupan yang berakar dalam sukacita”), menjadi aktivitas bentukan kamma yang berunsur-tiga (tividhakammabhisankhara –lihat 12:51), berarti khandha bentukan-bentukan berkehendak (sankharakkhandha); persepsi dan kesadaran berarti dua khandha yang berhubungan itu; dan dengan menyebutkan hal ini, perasaan yang berhubungan dengan tiga khandha itu pun termasuk. Maka, karena tidak-adanya empat khandha mental yang aktif secara kamma (anupadinnaka-arupakkhandha), “Nibbana dengan sisa” (sa-upadisesa-nibbana) pun ditunjukkan. Frasa dengan berhentinya dan meredanya perasaan-perasaan (vedananam nirodha upasama) mengacu pada perasaan yang diperoleh secara kamma (upadinnaka), dan dengan menyebutkan hal ini, tiga khandha lain yang berhubungan pun secara tak-langsung dinyatakan secara tak langsung; khandha bentuk sudah termasuk sebagai landasan fisik dan objeknya. Jadi, dengan tidak-terjadinya lima khandha yang diperoleh secara kamma, “Nibbana tanpa sisa” (anupadisesa- nibbana) pun ditunjukkan. Melalui Metode kedua (dengan menganggap “sukacita” dan “kehidupan” sebagai istilah paralel), sukacita berarti khandha bentukan-bentukan berkehendak; kehidupan, khandha bentuk; dan tiga khandha ditujukan dengan namanya sendiri. Nibbana ditunjukkan sebagai tidak-terjadinya lima khandha ini. Demikianlah Yang Terberkahi menutup ajaran dengan Nibbana itu sendiri.
Mengenal dua elemen Nibbana, lihat Pendahuluan Umum, hal. 79.
9
Spk: “Kehidupan berlalu pergi” (upaniyati jivitam) berarti: “(Kehidupan) hancur, kehidupan berhenti; atau kehidupan bergerak ke arah kematian, yaitu, secara bertahap mendekati kematian” (upaniyati ti parikkhiyati nirujjhati; upagacchati va; anupubbena maranam upeti ti attho). “Sungguh pendek renteng kehidupan ini” (appam ayu): “Rentang kehidupan terbatas dalam dua cara: pertama, karena dikatakan, ‘Orang yang berumur panjang pun hidup hanya selama seratus tahun atau sedikit lebih lama’ (lihat 4:9); dan kedua, karena di dalam pengertian tertinggi, waktu-kehidupan para makhluk sungguh amat terbatas, berlangsung hanya selama satu tindakan kesadaran saja.” Spk melanjutkan seperti di Vism 238 (Ppn 8:39).
10
Spk: Dewa ini telah terlahir kembali di salah satu alam brahma dengan rentang kehidupan yang panjang. Ketika dia melihat para maklhuk berlalu dan terlahir kembali di alam-alam dengan rentang kehidupan yang pendek, dia tergerak karena merasa kasihan. Dewa itu mendorong mereka untuk melakukan “tindakan-tindakan berjasa” (punnani) – untuk mengembangkan jhana lingkup-bentuk dan jhana lingkup-tanpa-bentuk-agar mereka terlahir kembali di alam-alam bentuk-betuk dengan rentang kehidupan yang panjang. Syair Sang Buddha merupakan jawaban yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa nasihat dewa itu masih terikat pada lingkaran kehidupan dan tidak mengarah pada pembebasan. Kedamaian (santi) yang direkomendasi oleh Sang Buddha adalah Nibbana.
Spk menjelaskan dua petunjuk tentang lokamisa, yang secara harafiah berarti “benda-benda jasmaniah”: (i) secara kiasan (pariyayena), kata itu menunjuk pada seluruh lingkaran kehidupan dengan tiga tingkat kehidupannya, lingkup objektif kemelekatan, “umpan dunia”; (ii) secara harafiah (nippariyayena), Kata itu menunjuk pada empat kebutuhan (pakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan), landasan materi untuk bisa bertahan hidup. Untuk penggunaan kiasan dari amisa, lihat syair 371 d, syair 480, dan 35:230; tetapi, di dalam teks terakhir, enam objek indera lebih dibandingkan dengan pengait berumpan ketimbang dengan umpannya sendiri.
11
Vayoguna anupubbam jahati. Spk: Masa muda meninggalkan orang yang mencapai usia pertengahan; masa muda dan masa paruh – baya meninggalkan orang yang mencapai usia tua; dan pada saat kematian, semua tiga tahap itu meninggalkan kita.
12
Spk: Orang harus memotong (chinde) lima belenggu rendah (pandangan tentang identitas, keraguan, memegang peraturan dan sumpah secara salah, nafsu indera, niat jahat). Orang harus meninggalkan (jahe) lima belenggu halus (nafsu terhadap bentuk, nafsu terhadap tanpa bentuk, kesombongan, kegelisahan, ketidak – tahuan). Untuk memotong dan meninggalkan belenggu-belenggu ini, orang harus mengembangkan lima lagi (panca cittari bhavaye) yaitu, lima kemampuan spiritual (keyakinan, semar gat, kewaspadaan, konsentrasi, kebijaksanaan). Lima ikatan (pancasanga) adalah nafsu, kebencian, khayalan, kesombongan, dan pandangan-pandangan. Seorang bhikkhu yang telah mengatasi lima ikatan ini disebut penyeberang banjir (oghatinno), yaitu, penyeberang banjir berunsur-empat (lihat n.1).
Anehnya, walaupun syair-syair itu mengacu pada lima ikatan seolah-olah kelimanya itu merupakan serangkaian doktrin standar, tidak ada kelompok –lima (pentad) sanga yang dapat diketemukan demikian di dalam Nikaya-Nikaya; lima sanga itu disebutkan di Vibh 377,16-18.
13
Spk berkata, “Bila lima kemampuan itu terjaga lima penghalang pun tertidur, dan bila lima penghalang itu tertidur lima kemampuan itu pun terjaga,” tetapi hal ini tampak berlebihan; penjelasan itu akan lebih memuaskan bila kita mengambil frasa pertama yang menyatakan bahwa bila lima kemampuan itu tertidur lima penghalang pun terjaga, sehingga lebih jelaslah hubungan antara perlawanan diametric dan saling-tidak mencakup di antara dua pentad itu. Spk melanjutkan: “Oleh lima penghalang yang sama itulah orang mengumpulkan debu, yaitu, debu kekotoran batin; dan oleh lima kemampuan itulah orang dimurnikan.”
14
Spk menunjukkan dhamma dari pada a sebagai cetusaccadhamma, “hal-hal (atau ajaran-ajaran) tentang empat kebenaran (mulia).” Yang dapat dibawa ke dalam doktrin-doktrin dari sekte spiritual selain dari Ajaran Buddha disebut “doktrin-doktrin lain” (paravada); khususnya, doktrin-doktrin tentang enam puluh dua pandangan (DN I 12-38). Beberapa orang condong pada doktrin-doktrin ini atas kemauannya sendiri, beberapa dibawa ke dalam doktrin-doktrin itu dan mereka mengambilnya karena dipengaruhi orang lain.
15
Mereka yang terjaga (sambuddha). Spk: Ada empat jenis dari mereka yang terjaga: para Buddha yang maha-tahu, para paccekabuddha, “mereka yang terjaga pada empat-kebenaran” (yaitu, siswa-siswa Arahat), dan mereka yang terjaga melalui belajar. Tiga jenis yang pertama ditunjukkan dalam konteks ini. Mereka menjalani hidup dengan mantap di antara yang tidak mantap: mereka menjalani hidup dengan mantap di antara wilayah umum dunia yang tidak mantap, atau di antara komunitas makhluk hidup yang tidak mantap, atau diantara berbagai kekotoran batin yang tidak mantap.
16
Spk: Di sini, penjinakan (dama) menunjukkan kualitas mengenai konsentrai. Ketetapan (mona) adalah pengetahuan tentang empat jalan supra-duniawi, yang disebut demikian karena pengetahuan itu mengalami (munati ti monam); yaitu, pengetahuan itu mengetahui empat kebenaran. Alam Kematian (maccudheyya) adalah lingkup dengan tiga tingkatnya. Alam itu disebut demikian karena merupakan wewenang Kematian; pantai seberang (para) adalah Nibbana.
17
Spk melihat pasangan syair ini sebagai formulasi tak langsung dari pelatihan berunsur-tiga : dengan cara meninggalkan kesombongan, moralitas yang lebih tinggi disiratkan; dengan berkonsentrasi dengan baik (susamahitatto), pelatihan dalam konsentrasi atau pikiran yang lebih tinggi (adhicitta); dan dengan pikiran yang tinggi (sucetaso), yang menunjukkan pikiran yang memiliki kebijaksanaan, pelatihan di dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipanna). Dapat pula kita tambahkan bahwa frasa terakhir, dimana-mana terbebas (sabbadhi vippamutto), menunjuk pada puncak dari pelatihan berunsur-tiga di dalam pembebasan (vimutti). Lihat DN II 122,15-123,12.
18
Spk: Syair ini diucapkan oleh satu dewa yang terikat-bumi, yang berdiam di hutan. Setiap hari dia melihat para bhikkhu yang tinggal di hutan itu duduk bermeditasi setelah makan. Sementara duduk, pikiran mereka menjadi terpusat dan tenang, dan ketenangan pikiran mereka terpancar di air muka (vanna). Karena merasa heran mengapa mereka dapat memiliki wajah setenang itu sementara tinggal di dalam kondisi-kondisi pelatihan yang keras ini, dewa itu pun datang kepada Sang Buddha untuk menanyakan penyebabnya. Air muka di wajah (mukhavanna) atau di kulit (chavivanna) dipahami sebagai petunjuk keberhasilan dalam meditasi; lihat 21:3 (II 275,20-21), 28:1 (III 235,22); dan vin I 40,14 dan 41,2.
19
Tavatimsa, “alam tiga-puluh-tiga,” adalah surga lingkup-indera yang ketiga. Alam itu dinamakan demikian karena tiga-puluh-tiga pemuda, yang diketuai oleh pemuda bernama Magha, telah terlahir di sini sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan berjasa mereka. Magha sendiri menjadi Sakka, penguasa para dewa. Nandana adalah Taman Sukacita di Tavatimsa, yang disebut demikian karena taman ini memberikan sukacita dan kegembiraan pada siapa pun yang masuk ke situ. Menurut Spk, dewa ini baru saja terlahir disurga ini, dan ketika sedang berjalan-jalan di Hutan Nandana, dia mengucapkan syair itu sebagai cetusan kegembiraan spontan karena keagungan surgawinya. Spk menerangkan naradevanam dengan devapurisanam, “dewa pria”; ini jelas bukan bentuk majemuk dvanda. Tidasa, “Tiga-puluh” (harafiah “tiga kali sepuluh”), adalah julukan puitis untuk Tavatimsa.
20
Spk menjelaskan jawaban ini bagi satu dewa perempuan yang menjadi siswa agung (ariyasavika). Karena berpikir, “Dewa pria yang tolol ini membayangkan kemuliaannya kekal dan tidak berubah. Dia tidak menyadari bahwa kemuliaannya pun akan terpotong, lenyap, dan teruari,” maka dewa perempuan itu mengucapkan baitnya untuk menghapus khayalan dewa pria itu. “Pepatah tentang Arahat itu diucapkan oleh sang Buddha di 15:20 (II 193, juga di DN II 199,6-7); Sakka, raja para dewa mengulangnya pada saat Sang Buddha parinibbana (lihat syair 609). Baris pertama biasanya terbaca anicca vata sankhara, bukan – seperti juga di sini – anicca sabbsankhara. Pertukaran syair yang identik terjadi di bawah, di 9:6, dengan dewa perempuan Jalini dan Y.M. Anuruddha sebagai pembicara. Vocative feminine bale di pada b berarti bahwa dialog yang belakangan merupakan sumber dari syair itu, atau bagaimanapun juga, devata pertamanya adalah perempuan.
Spk: Bentukan-bentukan di sini semuanya adalah bentukan-bentukan tiga tingkat kehidupan (sabbe tebhumakasankhara), yang tidak kekal karena mereka menjadi tidak ada setelah dumadi (hutva abhavatthena anicca). Redanya bentukan-bentukan itulah kebahagiaan (tesam vupasamo sukho): Nibbana itu sendiri, yang disebut redanya bentukan-bentukan itu, merupakan kebahagiaan.
21
Upadhi, “perolehan” (dari upa+dha, “beristirahat pada”) secara harafiah berarti “benda yang padanya sesuatu beristirahat,” yaitu “fondasi” atau “perhiasan” kehidupan. Kata itu memiliki perluasan objektif dan sekaligus subjektif. Secara objektif, ia mengacu pada sesuatu yang diperoleh, yaitu, kekayaan dan harta milik seseorang; secara subjektif, pada tindakan mengambil yang berakar pada nafsu keserakahan. Di banyak contoh, dua pengertian itu menyatu, dan seringkali arti yang dimaksudkan mencakup keduanya. Kata itu berfungsi sebagai imbangan dekat dari upadana, “melekat,” tetapi secara etimologi kata itu tidak tidak berhubungan. Lihat dalam hubungan ini 12:66 dan II, n. 187, dan Sn hal. 141.
Spk (bersama dengan komnetar-komentar lain) menawarkan penggolongan berunsur-empat untuk upadhi: (i) kamupadhi, perolehan seperti misalnya kenikmatan-kenikmatan indera dan harta kekayaan materi; (ii) khandhupadhi, lima kelompok kehidupan; (iii) kilesupadhi, kekotoran-kekotoran batin, yang merupakan fondasi untuk penderitaan di alam sengsara; dan (iv) abhisankharupadhi, bentukan-bentukan berkehendak, akumulasi kamma, yang merupakan fondasi untuk penderitaan di dalam samsara. Di syair dewa itu, upadhi digunakan didalam pengertian pertama.
Di dalam jawabannya, Sang Buddha menjungkir-balikkan ekspresi devata “tanpa perolehan” (nirupadhi) itu dengan menggunakan istilah itu sebagai tanda untuk Arahat, yang sudah terbebas dari empat macam upadhi sehingga sepenuhnya terbebas dari penderitaan. Pasangan syair itu muncul lagi dibawah, di 4:8, dengan Mara sebgai teman berbicara.
22
Spk: Tak ada kasih saying seperti kasih saying bagi diri sendiri karena orang-orang – sekalipun jika mereka membuang orangtuanya dan mengabaikan anak-anaknya- tetapk saja masih peduli pada dirinya sendiri (lihat syair 392). Tak ada kekayaan yang setara dengan biji-bijian karena orang-orang – bila kelaparan – akan memberikan emas dan perak dan kekayaan lain untuk memperoleh biji-bijian. Tak ada sinar yang seperti kebijaksanaan karena kebijaksanaan dapat menerangi system dunia yang berunsur-sepuluh-ribu dan menghalau kegelapan yang menyembunyikan tiga tahap waktu, yang tidak dapat dilakukan bahkan oleh matahari sekalipun (lihat AN II 139-40). Di antara air, hujanlah yang paling tinggi karena jika seandainya hujan dihapus, bahkan samudera besar pun akan mengering. Tetapi bila hujan terus-menerus turun, dunia akan menjadi satu massa air bahkan sampai ke dunia dewa Abhassara.
23
Sejak dari poin ini, bila teks tidak secara spesifik menunjukkan identitas para pembicaranya, hal itu berarti bahwa syair pertama diucapkan oleh devata dan jawabannya oleh Sang Buddha.
24
Di pada b, Be dan Se terbaca sannisivesu, kata yang tidak ditemukan di tempat lain, sedangkan Ee 1 & 2, mengikuti SS, terbaca sannisinnnesu, yang mungkin merupakan “koreksi” bagi bacaan aslinya; teks yang tersedia bagi sub-komentator jelas terbaca sannisivesu. Spk menjelaskan: yatha phasukatthanam upagantva sannisinnesu vissamanesu. [Spk-pt: parissamavinodanattham sabbaso sannisidantesu; d-karassa hi v-karam katva niddeso.] Intisari penjelasan ini adalah bahwa di siang hari semua burung (dan binatang-binatang lain), yang kelelahan karena disengat panas, semuanya istirahat dengan diam untuk menghalau rasa lelah mereka.
Di pada c, penjelasan tentang sanateva masih merupakan masalah. Spk menerangkan: sanati viya mahaviravam viya muccati, “tampaknya mengeluarkan suara, tampak seolah-olah melepaskan raungan yang hebat.” Hal ini berarti bahwa Spk membagi sandhi menjadi sanate iva. Ee2 tampaknya menerima hal ini dengan bacaannya yang berbunyi sanate va. Mengikuti saran VAT, saya menetapkan sanati eva, yang mengandung pengertian bahwa hutan itu sendirilah yang mengeluarkan suara, Kata-kerja sanati berarti semata-mata mengeluarkan suara dan di tempat lain digunakan untuk menjelaskan sunagi kecil yang berisik (Sn 720 –21), jadi di sini suara itu mungkin lebih cocok dijelaskan sebagai desiran ketimbang raungan. Di pada d, kata –kerjanya adalah patibhati, yang diterangkan oleh Spk sebagai upatthati.
Spk: Pada musim kering, di tengah hari ketika binatang-binatang dan burung-burung semuanya duduk diam, muncullah suatu suara yang keras di kedalaman hutan sementara angin bertiup di antara pepohonan, rumpun bamboo, dan rongga. Pada saat itu, satu dewa yang bodoh, yang tidak punya teman untuk diajak duduk dan beramah-tamah, mengucapkan bait pertama. Tetapi ketika seorang bhikkhu kembali dari mengumpulkan dana makanan dan duduk sendirian di gubuk hutan terpencil, kembali memperhatikan subjek meditasinya, muncullah kebahagaiaan yang besar (sebagaimana diekspresikan di dalam bait balasannya).
25
Arati, tandi, vijambhika, dan bhattasammada muncul kembali di 46: 2 (V 64,31-32) dan 46:51 (V 103,13-14). Definisi-definisi formalnya adalah di Vibh 352. Spk: Jalan Mulia (ariyamagga) adalah sekaligus jalan duniawi dan supra-duniawi. Pembersihan jalan terjadi ketika orang membuang korupsi mental dengan sarana itu sendiri, dengan energi (viriya) yang lahir bersama dengan jalan itu.
Mengenai perbedaan antara jalan yang duniawi dan yang supra-duniawi, lihat Pendahuluan untuk Bagian V.
26
Spk menjelaskan pade pade, di pada c, demikian: “pada masing-masing objek (arammane arammane); karena di manapun suatu kekotoran batin muncul sehubungan dengan objek apa pun, persis di sanalah dia terperosok (visidati). Tetapi frasa itu dapat juga ditafsirkan melalui cara perilaku (inyapatha); jika suatu kekotoran batin muncul sementara seseorang sedang berjalan, (berdiri, duduk, atau berbaring), persis di sanalah dia terperosok. Di sini, niat (sankappa) harus dipahami melalui tiga niat yang salah, yaitu, mengenai sensualitas, niat buruk, dan yang mencelakakan.”
27
Perumpamaan tentang kura-kura diterangkan lagi di 35:240, yang diikuti oleh syair yang sama. Spk: Seseorang adalah mandiri (anissito), terbebas dari ketergantungan pada nafsu keserakahan dan pandangan-pandangan, dan sepenuhnya padam dengan cara memadamkan kekotoran batin (kilesaparinibbana). Dia tidak akan menegur orang lain yang perilakunya cacat, dsb. Karena ingin merendahkan orang itu, tetapi dia akan berbicara karena kasih saying, dengan ide untuk merehabilitasi orang itu karena dia sendiri telah membangun di dalam dirinya lima kualitas (berbicara di waktu yang tepat, tentang persoalan yang benar, dengan lembut, dengan cara yang bermanfaat, dengan pikiran yang penuh cinta-kasih; lihat AN III 244,1-3).
28
Be dan Se membaca kata-kerja di pada c sebagai apabodhati, Ee1 sebagai appabodhati, Ee2 sebagai appabodheti. Tampaknya, bacaan yang belakangan itu muncul karena menganggap bahwa kata itu dibentuk dari a + pabodh. Keterangan Spk – apaharanto bujjhati, “yang, karena menarik ke belakang, mengetahui” – mendukung apabodhati (apa + both). Paralel Skt di Uv 19:5 memiliki pada yang sama sekali berbeda, yaitu sarvapapam jahaty esa. Walaupun syair itu tidak mencakup bentuk-tanya yang nyata, Spk menafsirkan sebagai mengajukan pertanyaan. Saya menganggap koci sama dengan kvaci, walaupun Spk menerangkannya sebagai kata-ganti person.
Spk: Sebagai jenis keturunan murni yang baik, yang mengetahui bahwa mundur dari cambuk tidak akan membuat cambuk itu mengenainya, demikian pula seorang bhikkhu yang ingin menghindar dari kesalahan – yang tahu untuk mundur darinya- tidak membiarkan ada alasan yang baik bagi caci-maki untuk menyerangnya. Dewa itu bertanya: “Apakah ada Arahat seperti itu?” Tetapi tak seorang pun yang sepenuhnya bebas dari caci-maki dengan alasan yang salah. Sang Buddha menjawab bahwa hanya sedikit Arahat seperti itu, yang menghindari keadaan-keadaan tak bajik sehingga tidak ada perasaan malu.
29
Spk: dewa itu mengacu pada seorang ibu sebagai “gubug kecil” karena si anak tinggal di rahim ibu selama sepuluh bulan; pada seorang istri sebagai “sarang kecil” karena, setelah bekerja keras seharian, laki-laki beristirahat di samping wanita sebagaimana burung – yang setelah mencari makanan sepanjang hari- beristirahat di sarangnya di waktu malam; pada anak lelaki sebagai “garis yang diperpanjang” (santanaka) karena mereka memperpanjang garis keluarga; dan pada nafsu keserakahan sebagai belenggu. Sang Buddha menjawab seperti itu karena Beliau tidak akan pernah lagi tinggal di dalam rahim seorang ibu atau menopang istri, atau mempunyai anak.
30
Dewa itu menanyakan pertanyaan-pertanyaan tambahan ini karena dia heran mendengar jawaban-jawaban lugas Sang Buddha dan ingin mengetahui apakah dia telah benar-benar menangkap artinya.
Walaupun tiga edisi memakai bentuk tunggal santanakam di pada c syair ini, SS dan Eez memakai bentuk plural santanake, yang tampaknya lebih disukai untuk mempertahankan konsistensi dengan syair-syair lain. Kintaham harus dipecahkan kin te aham.
31
Bagian pembukaan sutta ini muncul, dengan penjelasan, di dalam prolog Samiddhi Jataka (Ja No. 167) yang juga mencakup pasangan syair pertama. MN No. 133 dibuka dengan cara yang mirip, dengan Samiddhi sebagai pelaku utama. Bhikkhu Samiddhi dinamakan demikian karena tubuhnya elok (samiddha), tampan dan indah. Spk menjelaskan bahwa ini adalah devata perempuan (yang disebut devadhita di Jataka), dewa-bumi (bhummadevata) yang tinggal di hutan. Ketika melihat Samiddhi di bawah sinar fajar pagi, dia pun jatuh cinta pada Samiddhi dan berencana untuk menggodanya. Samiddhi muncul di bawah, di 4:22 dan 35:65-68.
32
Syair ini menggunakan pemainan kata yaitu bhunjati yang mempunyai dua arti, yaitu menyantap makanan dan menikmati kesenangan-kesenangan indera. Devata itu sekan-akan menyuruh Samiddhi untuk makan sebelum berkeliling untuk mengumpulkan dana makanan (yaitu, untuk mencari pemuasan kesenangan-kesenangan indera sebelum menjalankan kehidupan bhikkhu), tetapi Samiddhi bersikeras dia tidak akan meninggalkan kehidupan bhikkhu demi untuk kenikmatan indera.
Spk: Devata itu telah membicarakan waktu dengan mengacu pada masa – muda, ketika seseorang masih mampu menikmati kesenangan-kesenangan indera. Di pada ab tentang jawabannya, Samiddhi berbicara dengan mengacu pada waktu kematian (maranakala), yang tersembunyi (channa) karena orang tidak pernah tahu kapan kematian datang. Di pada d, dia mengacu pada waktu untuk mempraktekkan tugas petapa (samanadhamma-karanakala), karena sulit bagi orang yang sudah tua untuk belajar Dhamma, mempraktekkan latihan yang keras, tinggal di hutan, dan mengambangkan pencapaian-pencapaian meditative. Kata vo di pada a hanyalah kata yang tidak dapat diubah (nipatamatta).
33
Di 4:21, Mara menawarkan nasihat yang sama paa sekelompok bhikkhu muda, yang menjawab dengan kata-kata yang sama dengan kata-kata Samiddhi. Penjelasan Sang Buddha tentang bahaya-bahaya di dalam kesenangan indera terdapat di MN I 85-87, 364-67, 506-8 dan di tempat lain. Jawaban Samiddhi mengulangi pertanyaan syair standar tentang penghormatan kepada Dhamma, dengan hanya menghilangkan istilah pertama (“dijelaskan dengan baik”), yang tidak relevan di sini. Spk menafsirkan sifat Dhamma yang “langsung” atau “tanpa-batas-waktu” (akalika) melalui doktrin abhidhamma bahwa buah (phala) muncul secara langsung berurutan dengan jalannya (magga) masing-masing, tetapi ide ini tentunya tampak terlalu sempit untuk konteks ini, dimana perbedaannya hanya dalam Dhamma yang langsung bermanfaat dan kesenangan-kesenangan indera yang “membuang-buang-waktu”. Keterangan lain tentang akalika, lihat II, n. 103.
Dibutuhkan beberapa kata untuk menjelaskan tentang yang saya terjemahkan opanayika menjadi “dapat diterapkan”, beranjak dari terjemahan yang telah ada yaitu “memimpin maju.” CPD menunjukkan dengan jelas bahwa tidak mungkin ada pengertian aktif yaitu ‘memimpin ke’ …. Melainkan seharusnya dinterprestasikan dalam pengertian pasif (gerundive) sesuai dengan komentar-komentarnya.” Untuk kepstiannya, Vism 217, 10-12 (Ppn 7:84) memang menguzinkan pengertian aktif dengan asal alternatifnya: nibbanam upaneti ti ariyamaggo upaneyyo … opanayiko, “hal itu memimpin terus menuju Nibbana, demikianlah jalan mulia itu memimpin-maju….maka ia memimpin maju”; tetapi asal ini, hampir pasti diusulkan dengan tujuan “perbaikan,” Sebelumnya, di bacaan yang sama kata itu diterangkan oleh upanetable gerundive “dibawa lebih dekat, diterapkan,” sehingga saya mengikuti yang ada di Vism 217, 3-9 (Ppn 7:83), yang mungkinsecara etimologi betul: bhavanavasesa attano cite upanayanam arahati ti opanayiko… asankhato pana attano cittena upanayanam arahati ti opanayiko; sacchikiriyavasena alliyanam arahati ti attho; “Dhamma (sebagai jalan mulia)dapat diterapkan karena Dhamma pantas diterapkan di dalam pikiran orang itu sendiri melalui pengembangan meditative … Tetapi Dhamma yang tak-terkondisi (yaitu Nibbana ) dapat diterapkan karena pantas diterapkan dengan pikirannya sendiri; artinya, Dhamma pantas dijalani melalui realisasi.” Walaupun kata opanayika tidak terdapat di konteks lain apa pun – sehingga kita tidak bisa menarik kesimpulan tentang artinya – namun ungkapan serupa att’ upanayiko (di 55:7 (v 353,21, 26) dan Vin III 91, 33-34 jelas berarti “dapat diterapkan bagi diri sendiri”, Sebaliknya, untuk menunjukkan bahwa Dhamma memberikan kondisi menuju Nibbana, banyak teks yang menggunakan ungkapan lain, niyyanika upasamasamvattanika (lihat, misalnya, 55:25 (V 380,11) dan MN I 67,13), yang tidak akan cocok pada konteks dimana perumusan di atas itu muncul.
34
Spk: “Setiap raja-dewa mempunyai pengikut seratus atau seribu koti dewa. Dengan menenpatkan diri mereka di posisi yang besar, mereka melihat Tathagata. Bagaimana dewa-dewa perempuan yang tak berdaya seperti kita mempunyai kesempatan untuk melihat Beliau? Satu koti = 10.000.000.
35
Spk: Apa yang dapat diekspresikan (akkheyya) adalah lima khandha, lingkup objektif dari referansi linguistik (bukan istilah ungkapan sendiri). Makhluk yang memahami apa yang dapat diekspresikan (akkheyyasannino satta): Ketika makhluk-maklhuk biasa memahami lima khandha, persepsi mereka dipengaruhi oleh ide kekekalan, kesenangan, dan diri, yang di tempat lain disebut “distorsi” (vipallasa, AN Ii 52,4 – 8). Persepsi yang melenceng ini kemudian memprovokasi kekotoran-kekotoran batin yang menyebabkan para makhluk menjadi mantap di dalam apa yang dapat diekspresikan (akkheyyasmin patitthita). Para makhluk “menjadi mantap di dalam” lima khandha dalam delapan cara: melalui nafsu keinginan, kebencian, khayalan, pandangan-pandangan, kecenderungan-kecenderungan yang mendasari, kesombongan, keraguan, dan kegelisahan (lihat n. 2).
It-a II 31-32, yang mengomentari pasangan syair yang sama di It 53 mengatakan bahwa “para makhluk yang memahami apa yang dapat diekspresikan adalah mereka yang memahami lima khandha melalui suatu persepsi yang terjadi dengan cara “aku,” “milikku,” “dewa,” “manusia,” “perempuan,” atau “laki-laki,” dst. Artinya, mereka memahami lima khandha sebagai suatu makhluk atau person, dst.
Spk menyarankan bahwa syair ini dinyatakan untuk menunjukkan bagaimana kesenangan-kesenangan indera itu “membuang-buang-waktu.” [Spk-pt: Kama di sini menunjukkan semua fenomena dari tiga tingkat kehidupan yang disebut kesenangan-kesenangan indera karena semua itu menyenangkan (kamaniya).] Saran ini tampaknya ditegaskan oleh baris terakhir: mereka yang tidak memahami lima khandha dengan benar” jatuh dibawah kuk Kematian”; mereka mengalami berulang-ulang kelahiran dan kematian dan dengan demikian tetap terperangkap di dalam samsara, jala sang waktu.
36
Spk: Seseorang “sepenuhnya memahami apa yang dapat diekspresikan” melalui tiga jenis pemahaman penuh: (i) melalui pemahaman penuh tentang yang diketahui (nataparinna) seseorang memahami lima khandha sehubungan dengan sifat-sifat individunya, dll.: (ii) melalui pemahaman penuh dengan cara pemeriksaan (tiranaparinna) seseorang memerikasa lima khanda itu dalam empat puluh dua cara sebagai yang tidak kekal, penderitaan, dsb.; (iii) melalui pemahaman penuh sebagai meninggalkan (pahanaparinna) seseorang meninggalkan nafsu keinginan dan nafsu terhadap kelompok-kelompok kehidupan melalui jalan yang agung. Untuki pembahasan yang lebih lengkap, lihat Vism 606-7 (Ppn 20:3-4) dan Vism 611-13 (Ppn 20:18-19), yang didasarkan atas Patis II 238 – 42. Tetapi, di situ hanya empat puluh cara yang dijelaskan di bawah (ii). Empat puluh dua cara ada di Vism 655,15 – 30 (Ppn 21:59), dalam hubungannya dengan “memahami bentukan sebagai kekosongan.”
Seseorang tidak memahami “dia yang mengekspresikan” (akkhataram na mannati). Spk: Arahat tidak memahami si pembicara sebagai satu individu (puggala); artinya, dia tidak lagi menganggap lima khandha sebagai “milikku,” “aku,” dan “diriku.”
Baginya hal seperti itu tidak ada (tam hi tassa na hoti ti): Di dalam pasangan ini saya mengikuti SS, yaitu menghilangkan, sebagai interpolasi, kata-kata na tassa atthi, yang tercakup di semua edisi cetak. Versi Skt juga, seperti dikutip di Ybhus 2:2 (Enomoto, CSCS hal. 23), tidak memasukkan Frasa seperti itu, melainkan berbunyi: tad vai na vidyate tasya, vadeyur yena tam pare, “Hal itu tidak ada baginya, yang digunakan orang-orang lain untuk berbicara tentang dia.”
Spk menjelaskan bahwa tidak ada landasan untuk mengatakan bahwa Arahat itu bernafsu, atau membenci, atau mengkhayal. Mungkin lebih cocok bila pasangan kedua ini dilihat sebagai mengacu pada Arahat setelah parinibbana, ketika dengan menghapus lima khandha (“apa yang dapat diekspresikan”) itu dia pergi melampaui eksprsi verbal (lihat Sn 1076). Harus dicatat bahwa secara tema dua syair ini amat sesuai dengan Mulapariyya Sutta (MN No. 1). Spk menyatakan bahwa syair ini membahas Dhamma supra-duniawi berunsur-sembilan yang “langsung dapat dilihat”, yaitu empat jalan, buahnya, dan Nibbana.
37
“Tiga perbedaan” (tayo vidha) adalah tiga cara kesombongan-kesombongan “Aku lebih baik” (seyyo ‘ham asmimana), kesombongan “Aku setara” (sadiso “ham asmimana), dan kesombongan “Aku lebih jelek” (hino ‘ham asmimana). Lihat 22:49 (III 48-49), 45:162, 46:41. Di Vibh 389-90 ditunjukkan bahwa tiga hal ini menjadi berunsur – sembilan sejauh masing-masing dari kelompok – tiga itu dapat dimiliki oleh orang yang sungguh-sungguh lebih baik, sungguh-sungguh setara, dan sungguh-sungguh lebih jelek. Orang “yang tidak goyah dalam tiga diskriminasi” itu adalah Arahat, yang telah sepenuhnya menghapus belenggu kesombongan. Spk menunjukkan bahwa pasangan pertama menunjukkan bagaimana kesenangan-kesenangan indera adalah membunag-buang- waktu, seangkan pasangan kedua membahas tentang Dhamma supra-duniawi.
38
Bacaan paling umum tentang pada ini adalah pahasi sankham na vimanam ajjhaga, yang terdapat di Be, Se, dan Ee 1 dari Syair 49, di Be dan Ee 1 tentang parallel syair 105, dan di tajuk di Spk (Be, Se) untuk syair 49. Dari komnetar-komnetarnya, jelas bahwa komentatornya mempunyai teks dengan vimana, yang dijelaskannya sebagai sama dengan vividhamana: “Dia tidak mengambil kesombongan berunsur-tiga dengan sembilan pembagiannya” (navabhedam tividhamanam na upagato). Penjelasan alternatif Spk, yang menganggap bahwa vimanam adalah rahim ibu, tempat tujuan proses proses kelahiran-ulang, tampaknya terlalu aneh untuk bisa dipertimbangkan secara serius. Vimanadassi muncul di Sn 887b dalam pengertian “merendahkan,” tetapi arti vimana ini mungkin terlalu sempit untuk konteks di sini.
Syair ini mungkin aslinya berbunyi na ca manam dan bacaan ini mungkin telah diubah sebelum zaman kitab komentar, karena bukannya tidak sering ada hal-hal yang membingingkan di dalam teks-teks Sinhala. Perubahan itu mungkin telah dipertahankan dan diabadikan oleh para komentator. Walaupun na vimanam mendominasi, bacaan na ca manam dapat ditemukan di syair 105 Se, di tajuk pada syair 49 in empat mss Sinhala dari Spk (diacu di catatan untuk Spk (Se)), dan di edisi Thai untuk SN dan Spk. Imbangan Skt (yang dikutip di Ybhus 2:4; Enomoto, CSCE, hal. 23) mempunyai prahaya manam ca mna sangam eti, yang lebih sesuai dengan bacaan alternatif dari kitab Suci Pali. Kata kerja aslinya mungkin merupakan bentuk reduplicative perfect yang jarang dari aja (seperti Di SS), atau aga (seperti di edisi Ee2 dan Thai). Lihat von Hinuber, “On the Perfect in Pali” (Tentang Perfect di dalam Bahasa Pali), Selected Papers, hal 174-76.
Menurut pemahaman Spk, pahasi sankham berarti bahwa Arahat sudah tidak lagi bisa dijelaskan oleh konsep-konsep seperti misalnya bernafsu, membenci, atau berkahayal, tetapi lebih mungkin diartikan bahwa Arahat telah berhenti membentuk papancasannasankha, ‘ide-ide dan pengertian-pengertian yang muncul dari pengembang-biakan mental” (lihat MN I 112,2-3). Bacaan Skt sangan sebenarnya memberikan pengertian yang lebih baik di konteks ini. Tampaknya, frasa ini mengacu kembali pada syair 47 dan na vimanam ajjhaga kembali pada syair 48. Juga ada kemungkinan bahwa baris-baris itu menjelaskan Arahat setelah parinibbana, ketika dia tak dapat lagi dianggap dengan cara lima khandha (lihat 44:1). Pada cf tampaknya menjelaskan Arahat setelah parinibbana, walaupun di tempat lain dia juga dia katakan tidak bisa ditemukan di sini dan kini (misalnya, di 22:86; III,35-36).
39
Spk menjelaskan penghindaran kejahatan di dalam tubuh, ucapan, dan pikiran melalui sepuluh jalan kamma bajik (lihat MN I 47,12-27, 287-288, dsb). Frasa setelah meninggalkan kesenangan-kesenangan indera secara berlebihan; orang seharusnya tidak mengejar suatu jalan yang menyakitkan dan merugikan menolak penyiksaan-diri yang keterlaluan. Maka, Spk berkata, syair ini menunjukkan pada jalan tengah yang menghindari dua ekstrem itu. Seluruh syair dapat juga ditafsirkan secara positif sehubungan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan: tidak melakukan kejahatan melalui tubuh dan ucapan berarti ucapan benar, tindakan benar, dan kehidupan benar; “waspada” berarti usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi benar; “dengan jelas memahami’ berarti pandangan benar dn niat benar. SPk berkata bahwa di akhir khotbah Sang Buddha, devata itu mantap dalam buah Pemasuk-Arus dan mengucapkan syair ini, “ajaran Dhamma yang luar biasa,” untuk menunjukkan jalan berunsur – delapan yang mambuat devata perempuan itu mencapai buahnya.
40
Di pada b, saya mencantumkan dayhamane va, dengan Ee 1 dan SS, berbeda dengan dayhamano va di Be, Se, dan Ee2. Dengan bhvaraga di dalam pada c, syair-syair ini juga muncul sebagai Th 39 – 40 dan 1162-63. Dalam bentuk yang sekarang ini, pasangan syair memberikan masalah ketika ditafsirkan, karena kamaraga, nafsu indera, ditinggalkan melalui jalan ketiga, sedangkan sakkyaditthi, pandangan identitas, ditinggalkan melalui jalan pertama, sehingga devata itu tampaknya menganjurkan pencapaian yang lebih tinggi daripada Buddha. Masalah ini tidak muncul di versi Th, karena bhavaraga, nafsu keinginan terhadap kehidupan, ditinggalkan melalui jalan keempat, yaitu jalan tingkat Arahat. Spk memberikan solusi yang cerdas: dewa itu mengucapkan syairnya dengan mengacu pada meninggalkan nafsu indera melalui penekanan saja (vikkhambhanappahanam eva), yaitu, hanya sementara saja melalui pencapaian jhana, sedangkan Sang Buddha merekomendasikan pencapaian Pemasuk-Arus, yang menghilangkan pandangan identitas dengan cara menghapus (samuccheda) sehingga bahkan kecendrungan mendasar yang halus (anusaya) pun tidak ada yang tertinggal. Dengan demikian pembebasan penuh dijamin dalam waktu paling banyak tujuh kali kehidupan lagi.
41
Syair ini memberikan teka-teki yang bergantung pada dua konotasi dari phusati, “menyentuh”: (i) memperoleh suatu kamma khusus, di sini kamma serius karena menyalahi orang yang tidak bersalah; dan (ii) menuai hasil dari kamma itu ketika kamma itu matang.
42
Di Sn 662, syair ini mnegacu pada fitnah Kokaliya terhadap Sariputta dan Moggallana (lihat 6:10, yang mencakup cerita ini tetapi bukan syair ini). Cerita latar belakang yang berbeda, namun tidak begitu dapat dipercaya, dikisahkan di Dhp-a III 31-33, yang memberikan komnetar tentang Dhp 125; lihat BL 2:282-84. Mengenai hasil kamma karena mencelakakan orang yang tidak bersalah, lihat Dhp 137 – 40.
43
Syair ini dan syair berikutnya membentuk tema pembuka dari Vism dan dikomentari di Vism 1-4 (Ppn 1:1-8); penjelasannya digabungkan menjadi Spk. VAT menyarankan bahwa kata-kata antojata bahijata seharusnya diambil sebagai bentuk majemuk bahubbihi di dalam keterangan tambahan untuk paja (“mempunyai kekusutan di dalam, mempunyai kekusutan di luar”), tetapi saya menerjemahkan sesuai dengan Spk, yang memperlakukannya sebagai tappurisa.
Spk: Kekusutan (jata) merupakan istilah untuk jaringan nafsu keserakahan dalam pengertian bahwa ia “mengikat bersama-sama,” karena ia seringkali muncul terus di antara objek indera seperti misalnya bentuk-bentuk. Ada kekusutan di dalam, kekusutan di luar, Karena nafsu keserakahan muncul sehubungan dengan harta miliknya sendiri dan harta milik orang-orang lain; sehubungan dengan tubuhnya sendiri dan tubuh orang-orang lain; dan sehubungan dengan landasan-landasan indera internal dan eksternal.
44
jawaban Sang Buddha merupakan pernyataan yang singkat tentang pelatihan berunsur-tiga, dengan samadhi yang diacu dengan kata citta. Spk mengatakan bahwa kebijaksanaan disebutkan tiga kali di dalam syair: pertama sebagai intelegensi swadaya (“bijaksana”); kedua, sebagai kebijaksanaan-pandangan-terang (vipasanna-panna), kebijaksanaan yang harus dikembangkan; dan ketiga sebagai “kebijaksanaan khas”, yaitu kebijaksanaan pragmatis yang memimpin dalam semua tugas (sabbakiccaparinayika parihariyapanna).
Spk: “sebagaimana seorang pria yang berdiri di atas tanah dan membawa pisau yang telah diasah dengan baik dapat mengurai banyak rumpun bamboo yang kusut, begitu juga bhikkhu ini… berdiri di atas tanah moralitas dan membawa- dengan tangan kecerdasan praktis yang mendorong oleh kekuatan energi – pisau kebijaksanaan pandangan-terang yang telah diasah dengan baik pada batu konsentrasi, dapat mengurai, memotong, dan membongkar seluruh kekusutan nafsu keserakahan yang telah tumbuh melampaui rangkaian kesatuan mentalnya sendiri” (disesuaikan dari Ppn 1:7).
45
Sementara syair sebelumnya menunjukan orang yang masih berlatih (sekha), yang mampu mengurai kekusutan itu, syair ini menunjukkan Arahat, orang yang sudah berada di luar latihan (asekha), yang telah selesai mengurai kekusutan itu.
46
Spk Mengatakan bahwa syair ini disebutkan untuk menunjukkan kesempatan (atau daerah) untuk mengurai kekusutan itu (jataya vijata – nokasa). Di sini, batin (nama) mewakili empat khandha mental. Spk memperlakukan pengaruh (patigha) sebagai mewakili persepsi pengaruh (patighasanna). Menurut Spk-pt, di pada c kita harus membaca bentuk gabungan dvanda yang dipadatkan, patigharupasanna (“persepsi-persepsi tentang pengaruh dan bentuk”), yang bagian pertamanya sudah dipotong, dipisahkan, dan disengaukan agar cocok dengan matranya. Karena pengaruh merupakan dampak dari lima objek indera pada landasan indera, “persepsi pengaruh” (patighasanna) didefinisikan sebagai persepsi indera berunsur – lima (lihat Vibh 261,31-34 dan Vism 329,22-24; Ppn 10: 16). Persepsi bentuk (rupasanna) mempunyai jangkauan yang lebih luas, yang juga terdiri atas persepsi-persepsi bentuk yang divisualisasikan di dalam jhana [Spk-pt:persepsi tentang bentuk dari kasina-bumi, dsb.] Spk menjelaskan bahwa yang pertama menyiratkan keberadaan lingkung-indera, yang kedua keberadaan lingkup-bentuk, sehingga lengkaplah tiga alam kehidupan.
Di sinilah kekusutan ini dipotong. Spk: Kekusutan dipotong, dalam arti bahwa lingkaran dengan tiga tingkat itu diputus; lingkaran itu dipotong dan berhenti bergantung pada Nibbana.
47
Bacaan-bacaan di pada b berbeda. Saya mengikuti Se dan Ee2, mano yatattam agatam, berbeda dari Be na mano samyatattam agatam.
Spk: Dewa ini memiliki pandangan bahwa orang seharusnya terkendali di dalam setiap keadaan pikiran; tidak perduli apakah bajik atau tidak, tidak peduli apakah duniawi atau di atas-duniawi, pikiran harus dikendalikan di dalam, bukan dirangsang. [Spk-pt: Dia percaya bahwa setiap keadaan pikiran membawa penderitaan dan bahwa keadaan bawah sadar adalah lebih baik.] Sang Buddha menyampaikan balasan untuk menunjukkan bahwa harus dibedakan antara pikiran yang harus dikendalikan di dalam dan pikiran yang harus dikembangkan. Lihat 35:205 (IV 195,15-30), di mana Sang Buddha menasihatkan mengendalian pikiran di dalam (tato cittam nivaraye) dari objek-objek yang membangkitkan kekotoran batin.
48
Spk: Dewa ini, yang berdiam di pepohonan di hutan, mendengar para bhikkhu hutan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti misalnya “Aku makan, aku duduk, mangkuk milikku, jubah milikku,” dsb. Karena berpikir: “Tadinya aku memabayangkan para bhikkhu ini Arahat, tetapi apakah Arahat berbicara dengan cara yang menyiratkan adanya kepercayaan akan suatu diri?” dia pun datang kepada Sang Buddha dan mengajukan pertanyaan ini.
49
Voharamattena so vohareyya. Spk: “Walaupun Arahat telah meninggalkan pembicaraan yang menyiratkan adanya kepercayaan akan suatu hari, mereka tidak melanggar sutta konvensional dengan mengatakan, ‘Kelompok khandha makan, kelompok khandha duduk, mangkuk milik kelompok khandha, jubah milik kelompok khandha’; karena tak seorang pun akan memahaminya.” Dalam hubungan ini, lihat DN I 202,7-9: “jadi, Citta, ada ungkapan-ungkapan duniawi, Istilah-istilah duniawi, ketentuan-ketentuan duniawi, konsep-konsep duniawi, yang digunakan Tathagata tanpa melekatinya.”
50
Spk: pada titik ini, dewa tersebut berpikir bahwa walaupun para Arahat mungkin tidak mengatakannya karena mereka masih memiliki pandangan (tentang diri), mereka mungkin melakukannya karena masih mempunyai kecongkakan (yaitu, asmimana, kecongkakan tentang “aku”). Oleh sebab itulah dia mengajukan pertanyaan kedua, dan jawaban Sang Buddha menunjukkan bahwa para Arahat telah meninggalkan kecongkakan berunsur-sembilan (lihat n. 37).
51
Spk memutuskan managanthassa di pada b sebagai mano ca gantha assa, “baginya kecongkakan dan simpul-simpul,” agar sesuai dengan tetrad gantha yang berhubungan dengan doktrin, yang tidak mencakup mana; lihat 45:174. Tetapi, di sini tampaknya managantha seharusnya dipahami dalam penegrtian yang agak longgar, sebagai manassa gantha. Di lt 4,16, di dalam sutta yang khusu tentang mana, kita mendapatkan managantha yang digunakan sebagai bentuk majemuk bahubbihi yang memenuhi syarat paja (“generasi yang diikat oleh kecongkakan”) dan para Arahat digambarkan sebagai managanthabhibhuno (“mereka yang telah menanggulangi simpul-simpul kecongkakan”), yang menopang terjemahan saya disini. Bacaan di pada c bervariasi: Be mengunakan mannatam, Se mannanam (yang merupakan keterangan di Spk (Be)), Ee 1 yamatam, Ee2 ya matam (=yam matam?). Spk menjelaskan bahwa dia telah mantrassendenkan pemahaman berunsur-tiga yang disebabkan oleh nafsu keinginan, pandangan, dan kecongkakan.
52
Spk: Pertanyaan itu mengacu pada “arus-arus” samsara, jawaban untuk Nibbana. Sebagian dari jawaban itu dapat ditemukan di DN I 223,13-15 dan Ud 9,4. Mengenai berhentinya arus-arus, lihat Sn 1034-37, dan tentang lingkaran yang tidak berputar, lihat ungkapan vattam…natthi pannapanaya di 22:56-57 dan 44:6 (IV 391,9).
53
Ee2 mendahului syair ini dengan syair lain (syair 70) yang ditemukan hanya di dua Lanna mss dari Thailand utara. Karena syair itu tidak dimasukkan di edisi lain mana mana pun atau ms dari SN yang dikenal, dan hampir tidak ada hubungannya dengan pokok bahasan dari dialog antara Sang Buddha dan devata itu, jelas syair ini tidak termasuk di sini; jadi saya tidak menerjemahkannya. Keputusan saya selanjutnya ditopang oleh tidak adanya keterangan apa pun tentang syair itu di Spk dan Spk-pt, yang menunjukkan bahwa syair itu tidak ditemukan di teks-teks yang tersedia bagi komentator. Di Ee2, hal. Xvii, penyunting membantah bahwa syair ini harus “diperbaiki” untuk memberikan pertanyaan yang akan diajukan oleh dewa itu, tetapi dia berasumsi bahwa sutta tersebut aslinya mencantumkan kata pertama dari syair 72d sebagai te yang kemudian diubah menjadi ko atau ke oleh tradisi teks guna memberikan suatu pertanyaan. Tetapi karena ke sebagai suatu pertanyaan memberikan arti yang benar-benar masuk akal, baik secara sintaks maupun semantic, maka tidak ada alas an untuk menganggap bahwa bacaan aslinya adalah te. Dengan demikian, syair baru tidak perlu ditambahkan untuk memberikan pertanyaan itu.
54
Spk: “di antara mereka yang telah menjadi begitu keranjingan (ussukkajatesu): Di anatara mereka yang sibuk dalam berbagai tugas, keranjingan menghasilkan bentuk-bentuk yang belum muncul, dsb., dan keranjingan ingin menikmati bentuk-bentuk yang telah muncul.” Di pada c dari syair kedua, saya mencantumkan ke ‘dha tanham seperti Be dan Se, berbeda dari gedhatanham (“keserakahan dan nafsu keinginan”) di Ee1 & 2, dan kodhatanham (“kemarahan dan nafsu keinginan”) di SS. Di pada d, Ee2 terbaca te lokaasmim, berbeda dari ke lokasmim di edisi-edisi lain.
Ussuka (Sanskerta utsuka) berarti menginginkan dengan gelisah, bersemangat, atau sibuk terlibat dalam suatu pencarian. Kata-benda yang cocok adalah ussukka, yang kadang-kadang terdapat di tempat yang lebih cocok untuk kata sifat. Ussuka digunakan baik dalam pengertian memuji maupun mengolok-olok. Di 41:3 (IV 288,12 = 291,4, 302,7), kata itu muncul dalam pengertian memuji, yang saya terjemahkan “bersemangat.” Lihat juga MN I 324,27 dan Vin I 49,19-50,8. Pengertian negatifnya – serakah, ambisius, atau “keranjingan” (terjemahan yang lebih saya sukai)- terdapat di sini dan di Dhp 199. Ungkapan apposukka, secara harafiah “memiliki sedikit semangat,” digunakan untuk menggambarkan orang yang menjauhkan diri dari aktivitas yang sibuk. Di SN kita menemukan ungkapan ini – yang biasanya saya terjemahkan, secara longgar, “(hidup) dengan nyaman” – di 9:10 (I 202,22), 21:4 (II 277,12), 35:240 (IV 178,1 di sini “tetap tak-bergerak”), dan 51:10 (V 262,18). Kata-benda abstrak appossukkata, di 6:1 (I 137,1, 6), mencirikan kecenderungan murni Sang Buddha – segera setelah pencerahan Beliau – ke arah kehidupan yang hening ketimbang ke arah “kerja yang sibuk” dengan berkhotbah Dhamma. Lihat juga di bawah, n. 366 dan n.551.
55
Spk: Empat roda adalah empat sikap tubuh (berjalan, berdiri, duduk, berbaring). Sembilan pintu adalah sembilan “lubang luka” (mata, telinga, lubang hidung, mulut, alat kelamin, anus). Ini terisi penuh dengan bagian-bagian tubuh yang tidak murni (rambut kepala, dsb.). dan terikat dengan keserakahan, yaitu, pada nafsu keinginan. Bagaimana orang lolos darinya?: Dari tubuh yang seperti itu, bagaimana bisa terjadi kemunculan? Bagaimana bisa ada kebebasan, pembebasan, pentransendenan dari hal itu? Spk-pt menambahkan: Tubuh terlahir dari rawa (pankajata) katena dihasilkan di dalam rawa busuk kandungan ibu. Ungkapan Palinya bisa juga diterjemahkan, ‘Tubuh ini memang rawa,” tetapi saya mengikuti Spk-pt. Perspektif yang keras tentang tubuh ini diuraikan di Sn I, 11, hal. 34 – 35.
56
Di pada a (=Dhp 398a), Ee1 nandim seharusnya diubah menjadi naddhim. Spk menjelaskan bahwa di syair Dhp varatta adalah nafsu keinginan (tanha), tetapi karena nafsu keinginan disebutkan terpisah di dalam syair kami, varatta diterangkan secara berbeda di sini.
Spk: Tali (naddhi) adalah rasa permusuhan upanaha), yaitu, kemarahan yang kuat; pengikat (varatta) adalah kekotoran batin yang tersisa. Nafsu dan keserakahan mengacu pada keadaan mental yang sama, yang dibicarakan dalam dua pengertian: nafsu (iccha) adalah tahap awal yang lemah, atau nafsu untuk apa yang belum diperoleh; keserakahan (lobha) adalah tahap berikutnya yang kuat, atau melekati objek yang diperoleh. Nafsu keinginan sampai akarnya: akar ketidak-tahuan
Spk: Tali (naddhi adalah rasa permusuhan (upanaha), yaitu, kemarahan yang kuat; pengikat (varatta) adalah kekotoran batin yang tersisa. Nafsu dan keserakahan mengacu pada keadaan mental yang sama, yang dibicarakan dalam dua pengertian : nafsu (iccha) adalah tahap awal yang lemah, atau nafsu untuk apa yang belum diperoleh; keserakahan (lobha) adalah tahap berikutnya yang kuat, atau melekati objek yang diperoleh. Nafsu keinginan sampai akarnya: akar ketidak-tahuan.
57
Syair pertanyaan ini muncul di Sn 165-66, walaupun dengan pasangan tambahan dan dengan baris berbeda sebagai ganti pertanyaan yang sebenarnya. Para penanya di sana adalah dua yakkha, yaitu Hemavata dan Satagira. Pertanyaannya (atau lebih tepatnya, rangkaian pertanyaan) diajukan hanya di Sn 168 dan jawabannya diberikan di Sn 169; pertanyaan itu identik dengan pertanyaan dan jawaban di syair 221-22. Baru setelah menerima jawaban inilah para yakkha itu mengajukan pertanyaan di sini, katham dukkha pamuccati?, dan jawaban yang diberikan pun identik. Memiliki betis rusa (enijangha) merupakan salah satu dari tiga puluh dua tanda dari seorang manusia besar (lihat DN III 156,5-12; MN II 136,14). Tentang naga, lihat di bawah, n. 84.
58
Spk: Di sini: di dalam batin – dan- materi ini (namarupa). Dengan menyebutkan lima tali kesenangan indera, bentuk pun ditujukan [Spk-pt: karena mereka memiliki sifat bentuk]. Malalui pikiran (mano), batin (nama) – yaitu, empat kelompok metal – pun ditujukan. Demikianlah landasan (dari keinginan) di sini dapat ditafsirkan melalui lima khandha. Dst.
59
Spk menjelaskan bahwa dewa-dewa ini disebut satullapakayika (“masuk dalam kelompok uang – memuji – kebaikan”) karena mereka telah dilahirkan di surga sebagai akibat memuji Dhamma orang baik dengan cara menjalankannya [Spk-pt: yaitu, Dhamma orang baik yang terdiri atas pergi untuk perlindungan, menjalankan sila, dsb.]
Cerita latar belakangnya adalah sebagai berikut: Suatu ketika, ada kapal pedagang dengan 700 awak kapal. Ketika menyeberangi lautan, kapal itu diserang badai yang mengerikan. Ketika kapal mulai tenggelam, para awak kapal yang berdoa dengan panik kepada dewa-dewa mereka, melihat salah satu anggotanya duduk engan tenang, bersila “seperti yogi,” bebas dari rasa takut. Ketika ditanya bagaimana bisa tetap begitu tenang, dia menjelaskan bahwa karena dia telah menjalankan Tiga Perlindungan dan Lima Sila (Moralitas), dia tidak punya alas an untuk takut. Mereka lalu meminta Tiga Perlindungan dan Lima Sila yang sama darinya. Setelah membagi mereka menjadi tujuh kelompok yang masing-masing terdiri dari seratus orang, dia secara bergantian memberikan perlindungan dan sila pada setiap kelompok. Semua prosedurnya selesai persis ketika kapal ditelan samudera. Sebagai buah dari tindakan jasa terakhir ini, mereka semua langsung terlahir kembali di surga Tavatimsa dalam satu kelompok dengan pemimpinnya di depan. Mengetahui bahwa keberuntungan sedemikian rupa itu diperoleh karena kebaikan hati pemimpin mereka, mereka pun datang di hadapan Yang Terberkahi untuk memujinya.
60
Spk: Sama halnya seperti minyak tidak diperoleh dari pasir, demikian pula kebijaksanaan tidak diperoleh ari yang lain, dari si dungu yang buta; tetapi sama halnya seperti minyak diperoleh dari biji wijwn, demikian pula orang memperoleh kebijaksanaan dengan mempelajari Dhamma para bijak dan dengan mengikuti orang bijak.
61
Saya mengambil satatam sebagai kata-keterangan akusatif dari kata-benda abstrak sata. Tetapi Spk mengambilnya sebagai kata-keterangan dari stata, “secara terus menerus,” yang kelihatannya kurang memuaskan.
62
Pariyayena. Spk memberikan catatan karanena, “untuk suatu alasan,” yang tidak banyak membantu. Saya memahami bahwa pada pokoknya syair-syair mereka hanya untuk saat ini saja benar, dan dapat diterima dari sudut pandang duniawi. Sebaliknya. Syair Sang Buddha bersifat pasti (nippariyayena) karena menunjuk pada tujuan tertinggi. Lihat perbedaan antara pariyayena dan nippariyayena di AN IV 449 – 54.
63
Noda (mala) adalah kekikiran itu sendiri; lihat penjelasan umum tentang pengikut awam yang dermawan sebagai orang yang “berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran” (vigata-malamaccherena cetasa agaram ajjhavasati).
64
Spk: Mereka tidak mati diantara yang mati: Mereka tidak mati di antara mereka yang “mati” karena kematian yang didasari kekikiran. Barang-barang si kikir persis seperti barang-barang orang mati, karena keduanya sama-sama tidak membagikan harta mereka.
65
Spk: Jika orang mempraktekkan Dhamma: jika orang mempraktekkan Dhamma melalui sepuluh jalan kamma baik. Walaupun bertahan hidup dengan mengumpulkan sisa-sisa (samunjakam care): dia bertahan hidup “dengan mengumpulkan sisa-sisa,” dengan memberikan lantai pengirik dsb., menggebuk jerami, dsb. Dari mereka yang mengorbankan seribu: dari mereka yang mengorbankan (memberikan seribu: dari mereka yang mengorbankan (memberikan dana makanan) kepada seribu bhikku, atau yang memberikan dana makanan yang dibeli dengan seribu keeping uang. Bila hal ini dilakukan seratus ribu kali, nilainya sama dengan dana makanan yang diberikan kepada sepuluh koti bhikkhu atau senilai sepuluh koti uang (satu koti = 10.000.000). Tidak sepadan bahkan dengan satu bagian: kata “bagian, atau pecahan” (kala) dapat berarti satu perenam belas bagian, atau satu per seratus bagian, atau satu per seribu bagian; di sini, yang dimaksud adalh satu per seratus bagian. Jika orang membagi menjadi seratus bagian (nilai) hadiah yang diberikan olehnya, hadiah 10.000 koti yang diberikan oleh yang lain tidak sepadan dengan satu bagian darinya.
Walaupun Spk berbicara tentang persembahan dana kepada para bhikkhu, syair 94 di bawah menyiratkan bahwa kurban binatang para brahmana itulah kurban yang ditolak.
66
Spk: “Keyakinan” di sini berarti keyakinan pada kamma dan buahnya. Sebagaimana dalam peperangan beberapa orang pahlawan saja dapat menaklukkan banyak pengecut, demikian pula orang yang memiliki keyakinan, dsb., dalam berdana – sekalipun hanya dana yang kecil – dapat menghancurkan banyak kekikiran, dan mencapai buah yang melimpah.
67
Spk menjelaskan dhammaladdhassa sebagai kekayaan yang diperoleh dengan halal, atau orang yang telah memperoleh keluhuran, yaitu, siswa agung. Alternatif pertama memberikan arti yang lebih baik, lihat AN II 68,13- 20. Yama adalah dewa dari alam yang lebih rendah. Veterani adalah padan kata Buddhist dari sungai Styx (lihat Sn 674 dan Pj II 482,4-6). Spk mengatakan bahwa Veterani disebutkan hanya sebagai “tajuk ajaran,” yaitu, sebagai contoh; dia sebenarnya telah melewati semua tiga puluh satu neraka besar.
68
Viceyyadanam. Ungkapan itu adalah bentuk mejemuk sintaktik obsolusif; lihat Norman, “Sintactical Compounds in Middle Indo-Aryan,” (Bentuk Majekuk Sintaktik di Indo – Aryan Tengah,” dalam Collected Papers, 4:218-19.
Spk: Dana yang diberikan setelah membuat perbedaan. Ada dua jenis pembedaan: (i) sehubungan dengan persembahan, yaitu, orang menyisihkan barang-barang yang jelek dan memberikan hanya barang-barang yang baik mutunya; dan (ii) sehubungan dengan si penerima, yaitu, orang menyingkirkan merekla yang cacat dalam moralitas atau para pengikut sembilan puluh lima kepercayaan bida’ah (pasanda, sekte-sekte non Buddhist; lihat n. 355) dan memberi mereka yang memiliki sifat seperti misalnya keluhuran, dsb., yang telah masuk ke dalam Buddha Sasana.
69
Di pada a, saya mencantumkan addha hi dengan Ee2 dan SS (juga di Ja III 472, 29), dan bukan saddha hi seperti di Be dan Ee 1 dan saddhabhi di Se. Spk menerangkan dhammapadam va di pada b demikian: nibbanasankhatam dhammapadam eva, “hanya keadaan Dhamma yang dikenal sebagai Nibbana.” Biasanya dhammapada merupakan suatu bait atau kata Dhamma (seperi di syair 785-86, 826), yang juga masuk akal dalam konteks ini, tetapi saya lebih suka mengambilnya sebagai singkatan metrik dari dhammapatipada, jalan-praktek Dhamma, arti yang ditegaskan di Sn 88, yang secara eksplisit menyamakan dhammapada dengan magga. Arti yang dinyatakan oleh Sang Buddha saat itu adalah bahwa praktek Dhamma (melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan yang mengarah pada Nibbana) adalah lebih baik daripada praktek berdana yang mengarah pada kelahiran-ulang surgawi.
Keterangan selanjutnya tentang syair di Ja III 474 menopang interprestasi di atas: “walaupun memberi itu pastilah (ekamsen’eva, mungkin keterangan untuk addha hi) dipuji dalam banyak cara, namun satu dhammapada – porsi Dhamma (dhamma-kotthasa) yang didasari ketenangan dan pandangan terang serta Nibbana-bahkan lebih baik daripada memberi. Mengapa demikian? Karena di masa lalu (pubb’ eva) – yaitu, di kalpa ini, Buddha Kassapa dan sebagainya- dan bahkan sebelum itu (pubbatar’eva), yaitu, Buddha Vessabhu dan sebagainya ( di kalpa-kalpa sebelumnya), manusia-manusia yang bajik, manusia –manusia superior (sappurisa), yang memiliki kebijaksanaan, mengembangkan ketenangan dan pandangan terang serta mencapai Nibbana.”
70
Di pada d, kita harus mengambil kata-benda pelaku aganta di Be, Se, dan Ee2, berbeda dari agantva di Ee1, yang membuat kalimat itu memiliki anak kalimat absolutif yang tak terpecahkan. Kita menemukan aganta yang digunakan secara dalam arti agami, dan anaganta yang digunakan secara sinonim dengan anagami (sehubungan dengan itthattam “keadaan dumadi ini”) di AN I 63,30-64,18.
Spk: Mereka tidak datang dari alam Kematian, yaitu, dari lingkaran kehidupan dengan tiga tingkatannya, menuju Nibbana, yang merupakan keadaan yang –tidak-kembali-lagi (apunagamana), yang disebut demikian karena para maklhuk tidak kembali dari Nibbana. Orang yang tidak waspada dan terikat pada kesenangan-kesenangan indera tidak dapat mencapainya.
71
Identitas pembicara bacaan ini sulit ditentukan dari teks. Saya mengikuti Ee2 dengan mengambilnya sebagai satu devata lain. Walaupun sebagian besar edisi memutus baris-baris itu seolah-olah itu adalah syair, tetapi tidak ada matra yang dapat dikenali dan tampaknya baris-baris itu mungkin memang dimaksudkan sebagai prosa. Ee2 tidak menomorinya sebagai syair.
Spk mengatakan bahwa kekikiran (agha) di baris pertama adalah penderitaan dari lima khandha, dan penderitaan (dukkha di baris kedua merupakan sinonimnya. Baris keempat diubah frasanya: “dengan menghilangkan lima khandha, penderitaan lingkaran pun dilenyapkan.”
72
Di pada b, bentuk majemuk sankapparaga yang tidak umum diberi catatan oleh Spk sebagai sankappitaraga,”nafsu yang diniati.” Mp III 407,5 menerangkan: sankappavasena uppannarago, “nafsu yang muncul melalui niat (atau pemikiran).” Spk-pt menambahkan: subhadivasena sankappitavatthumhi rago, ‘nafsu terhadap objek yang dipikir indah, dsb.” Tetapi kunci ungkapan itu mungkin adalah Dhp 339d (Th 760d), dimana kita mendapatkan sankappa raganissita, “niat-niat yang dilandasi nafsu.” Spk menyimpulkan pokok arti syair itu demikian: “Di sini, identifikasi sensualitas dengan objek sensual (indera) ditolak; kekotoran sensual-lah yang disebut sensualitas.”
Dhira mengizinkan dua derivat, yang satu artinya “bijaksana,” sedangkan yang lain “tegas, mantap”; lihat PED dan MW, s.v. dhira. Biasanya kata itu saya terjemahkan menjadi “bijaksana,” mengikuti catatan komentar pandita, tetapi di tempat lain (misalnya, di syair 411e, 413e, 493a, 495a) saya mengambil keuntungan dari ambivalensi kata itu dengan menerjemahkannya menjadi “mantap”. Kata itu memiliki nada tambahan yang tinggi dan kelihatannya digunakan hanya untuk syair.
73
Akincana di pada c merupakan julukan umum untuk Arahat. Spk menjelaskannya sebagai kosong akan “sesuatu” (atau rintangan) berkenaan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan batin (lihat 41:7; IV 297, 18-19= MN I 298,14-15).
74
Spk: Mogharaja adalah seorang thera yang terampil dalam struktur sutta yang berurutan (anusandhikusala). [Spk-pt: beliau adalah salah satu dari enam belas siswa brahmana Bavari; lihat Sn 1116-19.] Setelah mengamati bahwa arti syair terakhir tidak masuk urutan, beliau berbicara demikian untuk menghubungkannya dalam urutan (mungkin dengan mengambil arti-arti yang tersirat?). Spk menunjukkan bahwa walaupun semua Arahat dapat dijelaskan sebagai “manusia terbaik yang hidup demi kebaikan manusia” (naruttamam atthacaram naranam), thera tersebut menggunakan ungkapan ini dengan mengacu khusus pada Sang Buddha (dasabalam sandhay’ eva). Spk mengubah frasa-frasa dalam pernyataannya sebagai pertanyaan (te kim pasamsiya udahu apasamsiya), yang saya ikuti, tetapi itu mungkin dapat juga dibaca sebagai pertanyaan sederhana yang pada mulanya dipastikan dan kemudian diperbaiki oleh Sang Buddha.
75
Spk menjelaskan bhikkhu di pada a (dan barangkali di pada d juga ) sebagai bentuk penyeru yang ditujukan pada Mogharaja; tetapi karena yang terakhir ini juga disapa dengan namanya, kata di dua contoj itu tampaknya lebih baik diambil sebagai bentuk jamak nominatif. Di Be dan Se kata itu jelas jamak. Dengan demikian, Sang Buddha memastikan bahwa mereka yang menghormat Beliau memang pantas dipuji. Tetapi Beliau mengarahkan si penanya keluar dari sekadar bakti dengan cara menambahkan bahwa mereka yang memahami kebenaran dan meninggalkan keraguan (dengan cara mencapai jalan Pemasuk-Arus) bahkan jauh lebih pantas dipuji; karena mereka akhirnya akan menjadi “penakluk ikatan-ikatan” (sangatiga), yaitu, para Arahat.
76
Spk: Tidak ada alam dewa terpisah yang disebut “pencari-cari kesalahan” (ujjhanasannino). Nama ini diberikan kepada para dewa ini oleh para redaktur teks karena mereka tiba untuk mencari-cari kesalahan Tathagata sehubungan dengan “penyalah-gunaan” empat kebutuhan. Mereka berpikir: “Pertapa Gotama berbicara memuji kepuasan hati dengan kebutuhan-kebutuhan sederhana kepada para bhikkhu, tetapi dia sendiri hidup dengan mewah. Setiap hati, dia mengajarkan Dhamma kepada banyak orang. Pembicaraannya menuju satu arah, tindakan-tindakannya ke araha lain.” Kenyataan bahwa mereka menyapa Sang Buddha sementara masih bergelantungan di udara merupakan tanda tidak adanya penghormatan.
77
Spk mendefinisikan kitava sebagai seorang pemburu unggas (sakuniya) dan menjelaskan: “sebagaimana seorang pemburu unggas menyembunyikan diri di balik cabang-cabang dan dedaunan dan membunuh unggas yang mendekat, dengan demikian dia menopang istrinya, begitu juga seorang penipu menyembunyikan diri di balik jubah-kain-buruk dan menipu banyak orang dengan kata-kata yang pintar. Semua kegunaan yang dia lakukan dengan empat kebutuhan (jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan) merupakan kegunaan karena pencurian. Dewa itu menyampaikan syair ini dengan mengacu pada Yang Terberkahi.” Penjelasan yang sama tentang kitava diberikan di Dhp-a III 375 (pada Dhp 252). Tetapi, di Ja VI 228,19 kata itu muncul dalam konteks yang jelas menunjukkan bahwa kata itu berarti seorang penjudi; kata itu diterangkan dengan akkhadhutta, penjudi-dadu, dan saya menerjemahkan sesuai dengan itu di sini. Lihat Palihaawadana, “From Gambler to Camouflage: The Strange Semantic Metamorphosis of Pali Kitava” (Dari Penjudi ke Penyamaran: Metamorfosis Semantik yang Aneh dari bahasa Pali Kitava.)
78
Spk: Mengapa Sang Buddha menunjukkan senyuman? Dikatakan bahwa para dewa itu tidak minta maaf dengan cara yang sesuai dengan sifat sejati Sang Buddha (sabhavena); mereka bertindak seolah-olah tiak ada perbedaan antara Tathagata, manusia tertinggi di dunia, dan manusia-manusia duniawi biasa. Yang Terberkahi tersenyum dengan tujuan: “bila dari sini muncul pembahasan, akan kutunjukkan kekuatan Buddha, dan sesudahnya aku akan memaafkan mereka.”
79
Di pada d, saya mengikuti Se dalam pencantuman tenidha, berbeda dari kenidha di Be dan Ee1 serta ko nidha di Ee2. Baik Spk maupun Spk-pt tidak memberikan bantuan apa pun tentang syair itu. Saya menerjemahkan kusala di sini sesuai dengan catatan Spk-pt, anavajja. Di KS 1:35 syair ini telah diabaikan.
80
Baris ini tidak ada hanya di Ee1, yang memberikan kesan bahwa syair-syair berikutnya disampaikan oleh dewa yang sama (dan demikianlah C.Rh.D telah menerjemahkannya).
81
Syair ini identik dengan syair 104, kecuali bahwa di pada d sanga menggantikan dukkha. Tentang lima ikatan, lihat n. 12.
82
Sutta ini mengulang pembukaan Mahasamaya Sutta (DN No. 20). Cerita latar belakangnya, yang dikisahkan secara rinci di Spk (dan juga di Sv II 672-77 di DN No. 20), bermula ketika Sang Buddha menengahi untuk mencegah perang antara suku Sakya dan Kolila, sanak saudara dari pihak ayah dan ibu Beliau, yang memperebutkan air sungai Rohini. Setelah Beliau menjadi penengah untuk mencapai jalan keluar konflik mereka secara damai, 250 pemuda dari masing-masing komunitas meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhu di bawah Sang Buddha. Setelah menjalankan pengerahan usaha, mereka semua mencapai tingkat Arahat pada hari yang sama, hari purnama di bulan Jetthamula (Mei-Juni). Ketika sutta ini dimulai, pada malam yang sama, mereka semua telah berkumpul di hadapan Sang Guru guna mengumumkan pencapaian mereka. Kata samaya pada judul itu berarti pertemuan atau “kumpulan,” bukan “kesempatan”; Spk memberi catatan mahasamaya di syair 121 sebagai mahasamuha, “kumpulan besar.”
83
Kediaman-kediaman Murni (suddhavasa) adalah lima tingkatan di alam bentuk di mana hanya Yang-Tidak-Kembali-Lagi dapat dilahirkan: Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi, dan Akanittha. Di sini, mereka mencapai pembebasan akhir tanpa pernah kembali dari alam itu. Seluruh penghuninya adalah Yang-Tidak-Kembali-Lagi atau Arahat.
84
Di pada a, saya mencantumkan khilam seperti Se dan Ee1 & 2, berbeda dari khilam di Be. Karena indakhilam muncul di pada b, khilam menjadi mubazir di pada a. Kedua kata itu tidak berhubungan: khila adalah tanah kosong, secara harafiah maupun kiasan; khila, tiang atau pilar. Ada jenis khusus, indakhila, yang dipancangkan di depan gerbang kota atau di jalan masuk ke rumah sebagai symbol keberuntungan. Spk mendefinisikan ketiga istilah itu-khila, paligha, dan indakhila- dengan cara yang sama, sebagai nafsu, kebencian, dan kebodohan batin. Di 45:166, ketiganya ini disebut khila, tetapi di MN I 139,19-22 paligha diidentifikasikan dengan ketidak-tahuan (avijja). Serangkaian lima cetokhila disebutkan di MN I 101,9-27.
Bhikkhu-bhikkhu ini tak-goncang (aneja) oleh penggoncang (atau kegemparan, eja) nafsu keinginan (lihat 35:90). Naga adalah kata yang digunakan untuk menunjuk berbagai jenis makhuk yang kuat, khususnya sekelompok naga semi-dewa, tetapi dapat juga berarti kobra dan gajah jantan serta digunakan sebagai kiasan untuk Arahat; lihat MN I 145,5-7. Sehubungan dengan Arahat, arti dominannya adalah jantan (lihat Dhp bab 23), tetapi karena di dalam bahasa Inggris ungkapan yang belakangan itu kelihatan justru merendahkan dan bukannya memuji, kata naga tetap tidak saya terjemahkan. Spk menjelaskan kata itu dengan cara “memperbaiki etimologi” demikian: chandadihi na gacchanti ti naga; tena tena maggena pahine kilese na agacchanti ti naga; nanappakaram agum na karonti ti naga; “para naga, karena mereka tidak mengikuti nafsu dan seterusnya; para naga, karena mereka tidak kembali menuju kekotoran –kekotoran batin yang ditinggalkan melalui jalan yang berurutan; para naga, karena mereka tidak melakukan berbagai macam kejahatan.” Spk menyebut hal ini penjelasan ringkas dan menawarkan Nidd I 201-2 kepada para pembaca untuk penjelasan lengkap. Lihat juga Sn 522, yang menawarkan etimologi yang mirip. “Beliau yang Bervisi” (cakkhuma) adalah Sang Buddha, yang disebut demikian karena Beliau memiliki “lima mata” (lihat n.370).
85
Spk: Syair ini mengacu pada mereka yang telah pergi untuk berlindung dengan cara benar-benar pergi untuk berlindung (nibbematika saranagamana). Spk-pt: Yang dimaksudkan di sini adalah pergi untuk berlindung yang di-atas-duniawi (yaitu, setidak-tidaknya pencapaian Pemasuk-Arus). Tetapi mereka yang pergi berlindung pada Buddha melalui pergi untuk berlindung yang duniawi (yaitu, tanpa pencapaian agung) tidak akan jatuh ke alam penderitaan; dan jika ada kondisi-kondisi lain yang cocok, ketika meninggalkan tubuh manusia ini mereka akan memenuhi kelompok-kelompok dewa.
86
Kaki Sang Buddha terluka ketika Devadatta- sepupu Sang Buddha – yang jahat mencoba membunuh Beliau dengan menjatuhkan sebuah batu besar dari Puncak Gunung Nasar. Batu itu terbelokkan, tetapi sebuah pecahan melukai kaki Sang Buddha sehingga berdarah. Cerita lengkap tentang rencana-rencana jahat Devadatta dikisahkan di Vin II 184-203; lihat juga Nanamoli, life of the Buddha, Bab 13. Peristiwa yang sama membentuk latar belakang untuk 4:13 di bawah. Menurut Spk, antara tujuh ratus dewa yang datang untuk menjumpai Yang Terberkahi termasuk semua dewa kelompok Satullapa.
87
Spk: Sang Buddha disebut naga karena kekuatan Beliau (lihat n. 84); singa (siha) karena keberaniannya; keturunan murni (ajaniya) karena pengetahuan tentang apa yang telah Beliau pelajari (? Byattaparicayatthena), atau karena Beliau mengetahui mana yang merupakan sarana yang benar dan mana sarana yang salah; banteng pemimpin (nisabha) karena Beliau tanpa tandingan; binatang-beban (dhorayha) karena menanggung beban; jinak (danta) karena Beliau terbebas dari perilaku menyimpang.
Spk memberi catatan nagavata sebagai nagabhavena. Geiger mengambil nagavata sebagai instrumental kata-sifat nagavat yang digunakan sebagai kata-keterangan dalam arti perbandingan (GrmTr, hal. 93) Tetapi, saya mengikuti saran Norman (dalam komunikasi personal) bahwa – vata di sini mungkin adalah padan – kata bahasa Pali untuk bahasa Sanskerta-vrata, dalam arti “lingkup tindakan, fungsi, cara atau sikap hidup, sumpah” (MW). Ee2, yang didasari komentar Lanna, mengusulkan teks untuk terbaca nago va ta ca pan’ uppanna saririka vedana (dan demikian pula di bacaan-bacaan parallel yang mengikutinya); lihat Ee2, hal. Xviii. Tetapi saya meragukan apakah teks itu begitu tiba-tiba berubah dari metafor (dalam kalimat sebelumnya) ke kiasan, dan kemudian kembali ke metafor di bawah.
88
Saya mencantumkan dengan Se: Passa samadhim subhavitam cittan ca suvimuttam na cabhinatam ne capanatam na ca sasankharaniggayhavaritavatam. Be identik kecuali kata terkahir dalam gabungan itu terbaca sebagai – gatam; Ee1 – caritavatam jelas merupakan kesalahan, yang dibetulkan di PED, s.v. varitavata. Ee2 terbaca seperti dalam Se, tetapi dengan niggayha yang diambil sebagai bukan majemuk, sehingga sasankhara dibiarkan teruntai. Ungkapan yang sama muncul di tempat lain: di AN IV 428,9-10, seluruh perumusan itu digunakan untuk menggambarkan suatu samadhi yang disebut annaphala, buah pengetahuan akhir (atau mungkin, “memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya”); sasankharaniggayhavaritavata, di AN I 254,34, menjelaskan suatu samadhi yang dikembangkan sebagai landasan bagi enam abhinna (mungkin jhana keempat); dan di AN III 24,9, SN III 279,4, dan Vibh 334,15, hal itu mencirikan “konsentrasi yang benar tentang pengetahuan berunsur-lima (pancananika samma samadhi) cittam samadhi samadhi. Di dalam konteks di sini, tampaknya ekspresi itu memberi sifat cittam, pikiran, walaupun pikiran mempunyai sifat-sifat ini berdasar atas samadhi di mana pikiran diserap. Di AN IV 428,9-10 dan di tempat lain frasa ini jelas memberi sifat samadhi.
Spk (Se): Konsentrasinya aalah konsentrasi buah Arahat (arahattaphalasamadhi). Pikiran dikatakan terbebas dengan baik (suvimuttam) karena pikiran terbebas oleh buah. Tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang: pikiran yang dibarengi nafsu dikatakan “condong ke depan” (abhinatam), yang dibarengi kebencian “condong ke belakang” (apanatam). Karena menolak keduanya, Beliau berbicara demikian. Tidak dihalangi dan tidak dikendalikan oleh penekanan yang kuat: Pikiran tidak dihalangi dan dikendalikan karena kekotoran-kekotoran batin telah ditekan dengan kuat, dengan usaha; alih-alih, pikiran terkendali karena kekotoran batin telah diputus. Artinya, pikiran terkonsentrasi oleh konsentrasi buah (na ca sasankharaniggayhavaritavatan ti na sasankharena sappayogena kilese niggahetva varitavatam; kilesanam pana chinnatta vatam, phalasamadhina samahitan ti attho). (N.B. Walaupun Spk (Be terbaca – gatam di tajuk, di dalam penjelsan terbaca – vatam dua kali.)
Spk-pt: Hal ini tidak dicapai, tidak pasti, secara kuat, dengan usaha, dengan cara meninggalkan dalam hal tertentu atau dengan cara meninggalkan melalui penekanan seperti halnya pikiran jhana-duniawi atau pandangan terang; alih-aluh (hal ini dicapai) karena kekotoran batin telah sepenuhnya diputus (lokiyajjhanacittam viya vipassana viya ca sasankharena sappayogena tadangappahanavikkhambhanappahanavasena ca vikkhambetva na adhigatam na thapitam, kincarahi kilesanam sabbaso chinnataya).
Frasa Pali memang amat sulit dan pembacaan tepatnya tidak pasti. Sesungguhnya, di ms Skt Asia Tengah yang berhubungan dengan DN III 279,4 (Waldschmidt, Sanskrittexte ausden Turfanfunden IV, hal. 70, v.8 (3)), tampak jelas frase ini tidak ada. Versi Skt di Srav-bh (hal. 444,19-21) terbaca varivad dhrtam, “dipertahankan seperti air,” yang menurut saya tidak mungkin berhubungan dengan bacaan aslinya. Ee1 menaruh kekosongan setelah niggayha, dan Ee2 sama sekali memisahkannya; edisi-edisi lain memadukan niggayha ke dalam bentuk majemuk yang panjang itu. Tidak ada cara untuk menentukan, hanya dengan landasan tata-bahasa saja, yang mana yang benar. Setiap usaha untuk mengurai ungkapan itu menjadi elemen-elemennya menimbulkan masalah-masalah khususnya sendiri, dan bahkan atthakata dan tika menawarkan penjelasan yang bertentangan, misalnya, Sv III 1060,11-13 dan Vibh-a 421,13-15 mengambil niggayha sebagai absolutif (seperti Spk) dan megubah varita menjadi varetva absolutif; masing-masing tika, Sv-pt III 284,24-27 (be) dan Vibh-mt 205,16-18 (Be), mengambil niggayha sebagai niggahetabba dan varita gerundif sebagai varetabba gerundif. Memang niggayha muncul di tempat lain secara pasti sebagai sebuah absolutif (misalnya, di MN III 118,4, namun sungguh menarik, seperti terlihat di sini, tidak ada objek langsungnya), padahal tampaknya tidak ada contoh di Kitab Pali tentang kata itu yang muncul sebagai gerundif. Maka, besar kemungkinan bahwa atthakatha-lah yang benar. Norman mempertanyakan interprestasi ini karena tidak ada contoh-contoh lain yang diketahui di bahasa Pali tentang absolutif yang muncul sebagai anggota kedua dari suatu bentuk majemuk (komunikasi pribadi). Tetapi mungkin kita tidak boleh menghilangkan kemungkinan bahwa konstruksi seperti itu memang ada di sini. Saya menerjemahkannya sesuai dengan idiom English alami ketimbang memegang kesesuaian yang kaku dengan sintaks bahasa Pali.
Pembacaan bagian terakhir dari bentuk majemuk itu bervariasi di antara tradisi yang berbeda-beda: secara umum, varitavata bertahan di dalam tradisi Sinhala, varitagata di Burma, dengan vv.II. Burma varivavata dan varivavata yang juga tercatat. Varita di sini merupakan bentuk past participle dari vareti kausatif, menghalangi, mengendalikan. Anggota terminal dari bentuk majemuk itu bisa jadi adalah vata atau data. Gata jelas merupakan past participle. Vata bersifat lebih problematis. Di KS 1:39, varitavatam diterjemahkan sebagai “memiliki kebiasaan penolakan-diri.” Jelas C.Rh.D memahami vata sebagai padan-kata Skt vrata. Tetapi, catatan Spk, chinnatta vatam phalasamadhina samahitam, menyarankan bahwa kita memiliki past participle di sini, dan saya mengusulkan bahwa vata mewakili Skt vrta, yang menurut MW bisa berarti “dihentikan, dikendalikan, ditahan.” Saya tidak dapat menyebutkan ada lagi kemunculan simple participle vata di bahasa Pli, tetapi bentuk-bentuk berawalan memang cukup umum: samvutta, nibbuta, vivata, avata, dll. Jadi, disini kita mendapatkan dua past participle dari akar yang sama, yang satu kausatif, yang lain simple, sehingga bentuk majemuk varita-vata berabti “dihalangi dan dikendalikan” (sayangnya dibutuhkan dua kata bahasa Inggris yang berbeda untuk memperoleh nuansanya). Walaupun konstruksi ini pastilah tidak umum. Namun tidak perlu langsung ditolak, karena bisa dipakai untuk penekanan khusus. Jika pembacaan gata diterima, varitagata bisa berarti “pergi ke (mencapai) pengendalian,” dengan varita yang diambil sebagai kata benda keadaan. Hal ini pasti terdengar lebih alami daripada varitavata, tetapi meratanya vata di dalam tradisi teks merupakan penopang yang kuat untuk keabsahannya.
89
Tidaklah jelas siapa yang mengucapkan bail ini, dan syair-syairnya sendiri tidak memiliki hubungan yang jelas dengan bagian prosa sebelumnya di suta itu. Mungkin saja keduanya dihubungkan pada teks prosa oleh para redaktur kitab.
Saya mencantumkan pada a seperti di Be, Se, dan Ee2 sdemikian: pancaveda satam samam. Penyebutan lima Veda ini memang aneh, tetapi Spk menjelaskan: itihasapamcamanam vedaham, “kitab-kitab Veda dengan sejarah-sejarah sebagai yang kelima.” Spk memberikan catatan satam samam sebagai vassasatam: Geiger pasti salah karena menolak penjelasan ini (Germ Tr, hal. 41, n. 3). Spk juga memebrikan catatan hinattarupa sebagai hinattasabhava dan menyebutkan pilihan yang berbeda, hinattharupa, yang diberikan catatan oleh Spk-pt sebagai hinatthajatika parihinattha, “mereka dengan tujuan-tujuan rendah, mereka yang telah terjatuh keluar dari tujuan.”
90
Pajjunna (Skt Parjanya) adalah raja-dewa awan hujan yang aslinya merupakan dewa veda, Spk menugaskan dia ke surga Empat Raja Besar. Dia disebutkan di DN III 205,6. Tak ada hal lain yang diketahui tentang kedua putrinya, yang diberi nama seperti teratai merah (lihat v. 401a).
91
Empat syair ini, di dalam matra Arya lama, telah direkonstruksi oleh alsdof, Die Arya-Sthophen des Pali-Kanons, hal. 321.
92
Spk ataupun Spk-pt sama-sama tidak menawarkan bantuan dengan sattassa tunggal di pada a,. tetapi saya mengambil ini sekadar sebagai penyesuaian matra dati sattanam. Dengan demikian, baris itu mengungkapkan ide yang sama seperti 45:139 (V 41,23-42,2).
93
Spk: ada dua Neraka Roruva: Roruva yang Berasap (dhumaroruva) dan Roruva yang menyala (jalaroruva). Roruva yang Berasap merupakan neraka yang terpisah, tetapi yang Menyala merupakan nama untuk neraka besar Avici, yang disebut Roruva karena ketika para makhluk dibakar disana, mereka berteriak berulang-ulang (punappunam ravam ravanti). Di 3:20 Roruva yang Menyala dikatakan sebagai Roruva Besar (maharoruva).
94
Spk-pt memberi catatan khantiya di pada b sebagai nanakhantiya, yang menyiratkan bahwa di sini kata tersebut tidak mengandung arti seperti biasanya, yaitu kesabaran, melainkan arti khusus “persetujuan tanpa proses” (tentang Ajaran). Lihat ungkapan dhammanijjhanakkhanti di MN II 173,21-22.
95
Dhamma memiliki sifat sedemikian rupa (tadiso dhammo). Spk: “Karena memang demikianlah sifat Dhamma, O Yang Terberkahi, Dhamma memiliki struktur sedemikian rupa, pembagian sedemikian rupa, sehingga memberikan kemungkinan untuk dianalisis dengan banyak cara.” Spk-pt: “Dhamma adalah sedemikian rupa sehingga orang yang telah menembus kebenaran-kebenaran itu sebagaimana adanya, yang terampil dalam arti dan doktrinnya, bisa menjelaskan, mengajar, memproklamirkan, memantapkan, menyingkapkan, menganalisis, dan menguraikannya, dengan mengajukan berbagai contoh, alas an, dan kesimpulan.”
96
Ee2, sekali lagi tentang kesaksian Lanna mss, mendahului syair ini dengan syair lain (syair 138) tentang tak bisa diramalkannya kematian, yang juga ditemukan di Ja II 58. Tetapi seandainya syair itu aslinya merupakan bagian dari teks, Spk pasti sudah memasukkan ke sini komentar tentang hal ini yang ditemukan, bersama dengan syair itu sendiri, di Vism 236-37 (Ppn 8:29-34). Karena ada alas an-alasan kuat yang menentang syair ini dimasukkan di sini, saya melewatinya di dalam terjemahan ini.
97
Yakkha di pada c diberi catatan oleh Spk-pt sebagai satta. Walaupun ko merupakan sebuah pertanyaan, tampaknya kalimat itu merupakan pernyataan yang kuat. Syairnya mungkin menggemakan Taittitiyaka Upanisad, II.2, III.2, 7-10.
98
Spk menjelaskan teka-teki itu demikian: Samudera (samudda) atau jurang ngarai yang amat dalam (patala) adalah nafsu keinginan, yang disebut samudera karena tak dapat diisi dan disebut jurang ngarai karena tidak memberikan pijakan. Akar tunngalnya (ekamula) adalah ketidak0tahuan; dua pusarannya (dviravatta) adalah pandangan-pandangan tentang keabadian dan pemusuhan (anihilasi). [Spk-pt: Nafsu keinginan untuk dumadi berputar melalui pandangan tentang keabadian; nafsu keinginan untuk pemusnahan melalui pandangan anihilasi.] Tiga noda (timala) adalah nafsu, kebencian, dan kebodohan batin; lima perluasannya (pancapatthara), lima tali kesenangan indera; dan dua-belas pusarannya (dvadasavatta), enam landasan indera internal dan eksternal.
Nanananda mengajukan interprestasi alternatif tentang beberapa istilah ini: dengan acuan pada 36:4, dia mengartikan jurang ngarai sebagai perasaan yang menyakitkan, dan dengan acuan pada 35:228, samudera adalah enam kemampuan indera. Dua pusarannya adalah perasaan yang menyenangkan dan menyakitkan; satu akarnya, kontak. Untuk detilnya, lihat SN-Anth 2:63-66.
99
Spk: Memiliki nama sempurna (anomanama): dengan nama yang tercacat, dengan yang lengkap, karena Beliau (Sang Buddha) memiliki semua sifat yang luar biasa (lihat juga syair 927c dan n. 653). Sang penglihat tujuan yang halus (atau “arti-arti”:nipunatthadassim): karena beliau melihat arti-arti yang halus, yang jarang dimengerti orang – seperti misalnya keragaman khanda, dsb. Beliau adalah pemberi kebijaksanaan (pannadadam) dengan mengajarkan jalan praktek untuk pencapaian kebijaksanaan. Menapak pada jalan mulia (ariye pathe kamamanam): bentuk present tense digunakan dengan acuan pada masa lampau, karena Yang Terberkahi telah pergi mengikuti jalan mulia itu di tempat terjadinya pencerahan agung; Beliau tidak lagi berjalan di sana sekarang. Saya mempertanyakan penjelasan Spk tentang nipunattha, yang kelihatannya mengacu pada attha dalam pengertian tujuan, yaitu, Nibbana.
100
Spk mengisahkan latar belakang cerita: Di dalam kehidupan sebelumnya, dewa ini adalah seorang bhikkhu yang berlebihan ketekunannya. Dia mengabaikan tidur dan makan untuk memperhatikan subjek meditasinya. Karena semangatnya yang berlebihan, dia meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh angin dan segera terlahir kembali di surga Tavatimsa di antara kelompok peri surgawi (acchara). Perubahan itu terjadi begitu cepatnya sehingga dia bahkan tidak menyadari bahwa dia telah tiada. Pikirnya, dia masih seorang bhikkhu. Para peri itu berusaha merayunya, tetapi dia menolak rayuan penuh nafsu itu dan mencoba kembali ke praktek meditasinya. Akhirnya, ketika para peri membawanya ke depan cermin, barulah dia menyadari bahwa dia telah terlahir kembali sebagai dewa. Tetapi dia berpikir: “Aku dulu tidak mempraktekkan tugas petapa agar dapat terlahir kembali di sini, melainkan agar mencapai tujuan tertinggi tingkat Arahat.” Kemudian dengan moralitas yang tetap penuh utuh, dengan dikelilingi kelompok peri dia menghadap Sang Buddha dan menyampaikan syair pertama itu.
Syair itu berkisar sekitar permainan kata antara Nandana, taman sukacita, dan Mohana, taman khayalan. Taman itu “bergema dengan sekelompok peri” karena para peri bernyanyi dan memainkan alat-alat musik. Spk mengubah frasa pertanyaan itu sehubungan dengan maksudnya: “Ajarkan kepada saya meditasi pandangan terang, yang merupakan landasan tingkat Arahat.”
101
Spk: Jalan mulia berunsur delapan disebut jalan yang lurus (ujuko maggo) karena jalan itu kosong dari penyimpangan perilaku tubuh, dsb. Tujuan nya Nibbana, dikatakan sebagai tanpa rasa takut (abhaya) karena tidak ada apa pun yang ditakuti di dalamnya dan karena tidak ada rasa takut bagi orang yang telah mencapainya. Tidak seperti kereta sesungguhnya, yang gemeretak atau berderak bila asnya tidak diminyaki atau bila ditumpangi terlalu banyak orang, jalan berunsur delapan tidak gemeretak atau berderit (na kujati na viravati) bahkan bila ditumpangi berbarengan oleh 84.000 kahluk. Kereta itu sendiri juga merupakan jalan berunsur delapan, dan roda-roda-nya yaitu keadaan-keadaan yang bajik (dhammacakka) adalah energi tubuh dan mental. “Dhamma” yang disebut kusir kerata adalah jalan di-atas duniawi, dengan pandangan benar tentang pandangan terang (vipassana-sammaditthi) yang berlari di depan (purejava). Sebagaimana pelayan-pelayan raja membersihkan jalan sebelum raja keluar, demikian pula pandangan benar merenungkan khanda, dsb., sebagai tidak kekal, dsb., dan kemudian pandangan benar tentang jalan itu (magga-sammaditthi) muncul dengan sepenuhnya memahami lingkaran dumadi.
Di syair 150c saya mencantumkan akujano seperti Be dan Ee2, seperti yang dibedakan dari akujano di Se dan Ee1.
Geirger menurunkan akujano dari kujati, “melenceng” (Germ Tr, hal. 51, n.3), tetapi lihat Ja VI 252,20, dimana “kereta tubuh” digambarkan sebagai vacasanna-makujano, “tidak berderak melalui pengendalian ucapan,” yang menopang pembacaan dan penerjemahan yang dipakai disini. Kiasan yang diperluas itu seharusnya dibandingkan dengan kiasan brahmayana, kendaraan agung, di 45:4; lihat juga kiasan yang diperluas tentang kereta di Ja VI 252-53.
102
Spk: Setelah menyelesaikan khotbah (syair) itu, Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Muia. Dan di akhir khotbah, dewa itu mantap dalam buah Pemasuk-Arus; para makhluk lain yang hadir pun mencapai buah sesuai dengan kondisi-kondisi penopangnya sendiri.
103
Spk menjelaskan semua ini sebagai dana kepada Sangha. Taman-taman (arama) dibedakan karena adanya pohon-pohon berbunga dan pohon-pohon buah yang ditanam, sedangkan hutan-hutan kecil (vana) merupakan kumpulan pohon liar. Papa diberikan catatan sebagai gubuk untuk memberikan air minum.
104
Syair-syair ini diucapkan oleh Anathapindika, penopang utama Sang Buddha, setelah dia dilahirkan kembali di surga Tusita. Syair-syair itu muncul kembali di bawah, dengan teks prosa, di 2:20.
105
Anathapindika dulu khususnya amat berbakti kepada Sariputta, yang menyampaikan khotbah menyentuh kepadanya sementara dia terbaring di ranjang kematiannya: lihat MN No. 143, yang juga memebrikan cerita yang sama tentang kunjungan penopang besar itu ke Hutan Jeta, setelah kematiannya.
Spk: paling-paling hanya dapat menyamainya (etavaparamosiya): tidak ada bhikkhu, bahkan tak satu pun dari yang telah mencapai Nibbana, yang melampaui Sariputta Thera (na therena uttatitaro nama atthi).
106
“Alam Yama” (yamaloka) di sini jelas mengacu pada pettivisaya, alam setan. Yama adalah Raja Kematian; lihat MN III 179-86, AN I 138-42.
107
Saya mencantumkan dengan Se dan Ee1 ete sagge pakasenti, berbeda dari Be ete saga pakasanti, “surga-surga ini bersinar,” dan Ee2 ete sagge pakasanti, “ini bersinar disurga.” Saya mengambil sagge sebagai bentuk jamak akusatif ketimbang bentuk tunggal lokatif, yang juga masuk akal.
108
Spk-pt: Karena memiliki kebahagiaan, mereka bagaikan dewa-dewa yang menjalankan pengendalian atas barang-barang yang diciptakan oleh yang lain. Perbandingannya adalah dengan para dewa dari alam paranimmitavasavatti, surga lingup indera keenam.
109
Dewa Ghatikara dulu adalah pembuat tembikar selama sasana Buddha Kassapa, yang memiliki tempat duduk bhikkhu di Vehalinga, kota kelahiran pembuat tembikar itu. Pada waktu itu, calon Buddha Gotama adalah teman terdekatnya, yaitu pemuda brahmana Jotipala. Walaupun Jotipala meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu di bawah Buddha Kassapa. Ghatikara harus tetap hidup sebagai perumah-tangga untuk menopang orang tuanya yang sudah tua dan buta. Dia adalah penopang utama Sang Buddha dan telah mencapai tahap Yang-Tidak-Kembali-Lagi. Pokok-pokok penting dari cerita, yang dikisahkan di MN No. 81, muncul di syair-syair berikutnya di sini.
Avina adalah salah satu dari kediaman Murni (lihat n.83). Spk mengatakan bahwa tujuh bhikkhu terbebas melalui pembebasan buah tingkat Arahat, yang mereka capai segera setelah terlahir kembali di alam brahma Aviha.
110
Dp pada a, saya mencantumkan pankam seperti Be dan Ee1 yang berbeda dari sangam (“ikatan”) di Se dan Ee2. Spk menyatakan bahwa ditinggalkannya tubuh manusia menyiratkan penghapusan lima belenggu yang lebih rendah dan ikatan surgawi (dibbayoga) berarti lima belenggu yang lebih tinggi.
111
Saya mengikuti pengejaan nama-nama di Se. Upaka dulunya adalah pertapa Ajivaka yag ditemui oleh Sang Buddha segera setelah Beliau mencapai pencerahan, dalam perjalanan ke Isipatana (MN I 170,33-171,20). Di kemudian hari setelah pernikahan yang tidak bahagia, dia memasuki Sangha: lihat DPPN 1:386. Cerita Pukkusati diceritakan di MN No. 140 dan Ps V 33-63; lihat juga DPPN 2:214-16. Pingiya di sini mungkin identik dengan siswa Bavari yang syair-syairnya muncul di Sn 1131-49, Walaupun hal ini tetap tidak pasti. Identitas para Bhikkhu yang lain tidak dapat ditentukan.
112
Saya mencantumkan pada a seperti Be dan Se kusali bhasasi tesam. Spk: Kusalan ti idam vacanam imassa atthi ti kusali; tesam theranam tvam kusalam anavajjam bhasasi.
113
Tentang “dimana batin-dan-bentuk berhenti” lihat di atas n. 46. Spk memeprmudah baris kedua sebelum baris terakhir: “Para thera (melakukannya) karena telah memahami Dhamma di sini, di dalam sasanamu.”
114
Bhaggava adalah nama pembuat tembikar itu, mungkin nama keluarga.
115
Spk mengatakan bahwa syair penutup ditambahkan oleh para redaktur teks. Pernyataan bahwa keduanya telah berkembang di dalam (bhavittanam) dan membawa tubuh terkahir mereka (sarirantimadharinam) menyiratkan bahwa setelah kelahiran-ulangnya di Kediaman Murni, Ghatikara juga telah menjadi Arahat.
116
Se an Ee2 terbaca corehi ‘hariyam, Be corehyahariyam. Keduanya merupakan usaha ortografi (system mengeja) untuk menyelamatkan teks yang tampaknya justru memaksakan lawan dari ati yang dibutuhkan. Tanpa pembentukan editirial, corehi hariyam (pembaca Ee1) berarti, “Apakah sesuatu yang harus ditanggung oleh para pencuri?” – terjemahan yang digunakan di KS 1:51. Spk tidak menawarkan bantuan.
117
Pembacaan di pada a (di syair berikutnya juga) pavasato seperti Be, Se, dan Ee2, berbeda dari pathavato di Ee 1.
118
Spk: Para putra adalah penopang (vatthu) manusia karena mereka merawat orangtuanya di masa tua. Istri adalah pendamping terbaik karena seseorang dapat mempercayakan rahasia-rahasia yang paling pribadi kepadanya.
119
Spk: Jalan yang menyimpang (uppatha) adalah bukan-jalan (amagga) untuk menuju surga dan Nibbana. Mengalami kehancuran siang dan malam (rattindivakkhaya): kehidupan dihancurkan oleh siang dan malam atau selama siang dan malam. Perempuan adalah noda dalam kehidupan suci: dengan mencuci bersih noda luar, seseorang dapat menjadi bersih, tetapi jika dia terkotori oleh noda perempuan, tidaklah mungkin untuk membuat dirinya murni. Latihan keras (tapa) adalah nama untuk pengendalian diri, praktek-praktek petapa (dhutangaguna), energi, dan kepetapaan ekstrim (dukkarakarika); semua ini, kecuali kepetapaan ekstrim (yaitu, penyiksaan-diri) merupakan praktek-praktek yang membakar kekotoran batin. Kehidupan suci (brahmacariya) adalah pantang dari hubungan seksual.
Mengenai “mandi tanpa air”, lihat syair 646, 705. Untuk menghargai ungkapan ini, orang harus ingat bahwa bagi para brahmana di zaman Sang Buddha (begitu juga bagi banyak umat Hindu dewasa ini) mandi ritual adalah cara untuk mencuci bersih dosa-dosa seseorang. Sang Buddha menggantikan ini dengan “mandi internal” dipikiran; lihat 7:21 di bawah dan MN I 39,1-2, 280,8-20.
120
Spk: Matra adalah perencah syair (chando nidanam gathanam): Matra, yang bermula dengan gayantti, adalah perancah syair; karena orang yang akan menulis syair pendahuluan akan mempertimbangkan dahulu, “Di matra manakah syair itu seharusnya berada?” Suku kata membentuk penyusunan katanya (akkhara tasam viyanjanam): Karena suku kata membentuk kata, dan kata membentuk syair, dan syair menguak arti. Syair bertumpu pada landasan nama: Si penyusun syair menyusunnya dengan cara bergantung atas suatu nama, seperti misalnya “samudera” atau “bumi”. Penyair adalah tempat kediaman syair. Tempat kediaman (asya) syair adalah penopangnya (patittha); syair datang dari penyair, dan dengan demikian dia adalah penopangnya.
121
Di pada a, saya mencantumkan addhabhavi seperti Be dan Ee1 & 2, berbeda dari anvabhavi di Se. Addhabhavi adalah bentuk lampau kata-kerja Yunani dari adhibhavati, yang artinya menanggulangi, menguasai; lihat CPD, s.v. addhabhavati. Spk: Tidak ada makhluk hidup atau entitas yang bebas dari sebuah nama, tak peduli apakah nama itu alami atau dikarang-karang, bahkan pohon atau batu dengan nama yang tak dikenal pun masih disebut “yang tanpa nama.”
122
Kata kerja di pada b adalah pasif. Spk terhadap syair 246 mencatat bentuk aktif parikassati sebagai parikaddhati, menyeret keliling. Spk: Mereka yang masuk dalam kendali pikiran pasti terkena obsesi total. Spk-pt: Sutta itu berbicara tentang mereka yang telah sepenuhnya memahami khandha dan meninggalkan kekotoran batin, tidak akan masuk dalam kendali pikiran; sebaliknya, pikiranlah yang masuk di babawah kendali mereka.
123
Spk memberi catatan vicarana di pada b dengan padani, kaki, yang menjelaskan bahwa yang tunggal seharusnya dipahami sebagai jamak. Dalam konteks doktrin, vicara yang sama asalnya berarti pemeriksaan, dan secara teratur dipasangkan dengan vitakka untuk menggambarkan proses pemikiran, yaitu, dalam formula untuk jhana pertama. Tetapi di sini, pokok pembicaraannya adalah bahwa pemikiran bisa berkelana samapai jarak yang amat luas tanpa daya penggerak tubuh.
124
Saya sama dengan Be, Se, Ee1, dan Spk (Be) kissa dhupayito, berbeda dari kissa dhumayito di Ee2, SS dan Spk (Se). Syair itu juga ada di Th 448 dengan dhupayito Norman (di EV I, n. sampai 448) berpendapat kata ini berarti “deberi wewangian” atau “dikuburkan (oleh asap),” tetapi Spk memberi catatan sebagai aditto; lihat juga syair 542, di mana padhupito pasti berbarti “terbakar.”
125
Spk: Dunia ini dijerat oleh nafsu keinginan (tanhaya uddito) karena mata, terperangkap oleh tali nafsu keinginan, terjerat di pasak bentuk-bentuk; begitu juga telinga dan suara, dsb. Dunia tertutup oleh kematian (maccuna pihito): Walaupun kamma yang dilakukan di kehidupan lampau hanyalah satu momen-pikiran jauhnya, para makhluk tidak mengetahuinya karena mereka diputus dari situ, seolah-olah oleh sebuah gunung, oleh rasa sakit yang kuat yang muncul pada saat kematian.
126
Lihat di atas n.57. Mengikuti saran VAT, saya mengambil upadaya di pada c sebagai suatu absolutif dengan arti harafiah “melekat,” yang dilengkapi kata-kerja finite vihannati di pada d; dengan demikian, loko di syair 221c menjadi sekedar pengisi matra. Tetapi Spk telah mengambil jalan keluar alternatif, yang memberikan kata-kerja finite yang ditekan dan menginterprestasikan upadaya dalam arti yang diperluas “bergantung pada” demikian: tani yeva ca upadaya agamma paticca pavattati; “itu muncul bergantung atas, tergantung pada, dalam ketergantungan pada mereka.” Pj II 210,27-28, yang berkomentar tentang Sn 168, mengambil pendekatan yang serupa, walaupun dengan kata kerja finite yang berbeda.
Tetapi Hemavata Sutta itu sendiri menyarankan bahwa upadaya seharusnya diambil dalam arti harafiah “melekat pada.” Karena setelah Sang Buddha menjawab di Sn 169 dengan jawaban yang identik dengan yang ada di sutta ini, di Sn 170 yakkha itu bertanya: Katamam tam upadanam yattha loko vihannati? “kemelekatan apakah yang membuat dunia ini diusik?” – suatu pertanyaan yang tentu saja mengacu kembali pada upaya yang sama.
Spk: “Enam” dalam pertanyaan itu seharusnya dipahami melalui enam landasan indera internal, tetapi itu bisa juga diinterprestasikan melalui enam landasan internal dan eksternal. Karena dunia telah muncul di enam landasan internal, membentuk kedekatan dengan enam landasan-landasan eksternal, dan dengan melekat pada (atau bergantung atas) enam landasan internal, dunia diusik di enam landasan eksternal.
Syair tersebut menawarkan jalan keluar untuk masalah yang diajukan di bawah di 2:26, tentang bagaimana dunia ini ada dan muncul di dalam tubuh ini pula, tubuh yang dulengkapi dengan persepsi dan pikiran. Tentang asal mula dunia di enam landasan internal ini, lihat 12:44 (=35:107). Norman membahas syair-syair tersebut dari sudut pandang filologi di GD, hal 181-82, n. sampai 168.
127
Se, Ee2 jhatva pastilah pembacaan yang benar, chetva di Be dan Ee1 suatu normalisasi. Penjelasan di Spk, vadhitva, menopang jhatva, dan G-Dhp 288-89 mempunyai jatva, imbangan Prakrit Gandhari. Lihat Brough, Gandhari Dhammapada, hal. 164, 265-66. Jhatva juga ditemukan di dalam pembacaan SS pada syair 94b.
128
Spk: Kemarahan memiliki akar yang beracun (visamula) karena kemarahan mengakibatkan penderitaan. Kemarahan mempunyai ujung yang bermadu (madhuragga) karena kesenangan muncul bila seseorang membalas kemarahan dengan kemarahan, caci maki dengan caci maki, atau pukulan dengan pukulan.
129
Spk: Tanda adalah sesuatu yang membuat sesuatu dipahami (pannayati etena ti pannanam). Standar adalah tanda kerata karena kereta, yang dilihat dari jauh, diidentifikasi oleh standarnya sebagai milik dari raja anu. Seorang perempuan yang sudah menikah, bahkan anak perempuan penguasa alam semesta pun, diidentifikasi sebagai Nyonya Anu; karena itu suami adalah tanda seorang perempuan. Mengenai standar (dhaja) sebagai tanda kereta, lihat 11:2 dan n.611.
130
SS mencata suatu v.I. sadhutaram di pada c, tetapi catatan Spk madhutaram menunjukkan bahwa pembacaan yang tersedia bagi komentar di sini adalah sadutaram. Tetapi, Spk mengenali v.I. sehubungan dengan syair-syair 846-47. Lihat n. 597.
Spk: Seorang perumah-tangga yang hidup dengan kebijaksanaan (pannajivi) adalah orang yang menjadi mantap dalam Lima Sila dan memberikan dana makan, dsb. Secara teratur; orang yang telah meninggalkan keduniawian yang hidup dengan kebijaksanaan menggunakan kebutuhan-kebutuhannya dengan refleksi yang benar, memperhatikan subjek meditasi, membangun pandangan terang, dan mencapai jalan-jalan mulia dan buah-buahnya.
131
Spk: Dewa pertama telah menanyakan kepada Sang Buddha pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi dewa kedua menyela dengan berkata, “Mengapa bertanya kepada Sang Buddha? Aku akan menjawabmu,” dan kemudian memberikan ide-idenya sendiri. Tetapi dewa pertama menegurnya karena menyela dan sekali lagi menyampaikan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Sang Buddha.
Spk: Benih dari tujuh jenis biji-bijian adalah yang terbaik dari hal-hal yang muncul karena, bila benih muncul, makanan menjadi melimpah dan negeri pun menjadi aman. Hujan dari awan hujan adalah yang unggul dari hal-hal yang jatuh karena hal ini memastikan panen yang melimpah. Ternak adalah yang terbaik dari hal-hal yang pergi, yang berjalan kaki ke mana-mana, karena mereka menghasilkan lima jenis produk susu (milik, curd, mentega, ghee, dan krim ghee) yang membuat orang mempertahankan kesehatan mereka. Putra adalah yang terhebat dari para pembicara karena dia tidak mengatakan sesuatu yang merugukan kepada orangtuanya di pengadilan kerajaan, dsb.
Harus dicatat bahwa pavajamananam di pada v adalah bentuk present participle dari pavajati atau pabbajati, yang, di dalam konteks religi, artinya adalah tindakan mengendalikan kehidupan perumah-tangga untuk menjadi bhikkhu (pabbajja). Demikianlah jawaban Sang Buddha di dalam syair berikutnya.
132
Spk: Pengetahuan (vijja) adalah pengetahuan tentang empat jalan; kebodohan (avijja) adalah kebodohan yang besar pada akar lingkaran. Sangha merupakan yang terbaik dari hal-hal yang meninggalkan karena Sangha merupakan ladang jasa kebajikan yang subur. Buddha merupakan yang terbaik di antara para pembicara karena ajaran Dhamma Beliau membantu membebaskan beratus-ratus ribu makhluk dari belenggu.
133
Maggo c’anekayatanappavutto. Spk: Beliau berkata,” Jalan itu diterangkan dengan banyak metode (karanehi), melalui tiga puluh delapan objek meditasi. Maka dari itu, mengapa orang-orang ini menjadi ketakutan dan melekat enam puluh dua pandangan?” Tiga puluh delapan objek meditasi (attatimsarammana) adalah identik dengan empat puluh kammatthana klasik (misalnya, di Vism) kecuali daftar kasina-nya diambil dari Nikaya-Nikaya (misalnya, MN II 14,29-15,2), di mana dua yang terakhir (kasina ruang dan kasina kesadaran) itu sama dengan dua pencapaian tanpa-bentuk (aruppa) yang pertama sehingga tidak dianggap dua kali. Di system Vism, keduanya digantikan oleh kasina ruang yang terbatas dan kasina sinar, yang membuat jumlahnya menjadi empat puluh.
134
baris terakhir harus dibaca seperti Be, Se, da, Ee2 sebagai dhamme thito paralokam na bhaye. Ee1 menghilangkan dhamme thito, mungkin karena kekhilafan. Spk menafsirkan “ucapan dan pikiran yang dengan benar diarahkan” dan “tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan tubuh” sebagai factor-faktor pemurnian awal, dan mengambil empat sifat yang disebutkan di pada d sebagai “empat hal” yang harus dipertahankan seseorang. Tetapi Spk juga menyarankan interprestasi lain: perilaku tubuh, ucapan, dan mental yang benar merupakan tiga hal pertama, dan empat sifat di pada d yang disatukan merupakan yang keempat. Alternatif yang pertama kedengarannya lebih mungkin.
135
Istilah-istilah bahasa Pali untuk enam celah (childdani) adalah: alassa, pamada, anutthana, asamyama, nidda, tandi. Spk-pt: Enam hal ini disebut celah karena mereka tidak memberikan kesempatan untuk munculnya keadaan pikiran yang bajik.
136
Spk: Seorang perempuan disebut yang terbaik di antara benda karena seorang perempuan adalah benda yang tidak boleh diberikan (avissajjaniyabandatta); atau kalau tidak, dia disebut demikian karena semua bodhisatta dan penguasa pemutar-roda dikandung di rahim seorang ibu. Skp-pt: Bahkan permata yang paling berharga pun tidak disebut “yang terbaik di antara benda” karena permata masih termasuk kelompok benda yang bisa diberikan; tetapi seorang perempuan yang tidak meninggalkan adat keluarga tidak boleh dilepaskan pada siapa pun, dan dengan demikian dia disebut yang terbaik di antara benda. Lagi pula, seorang perempuan adalah yang terbaik di antara benda karena dia merupakan tambang bagi permata-permata terbaik, yaitu karena (tubuhnya) merupakan tempat bagi kelahiran keturunan-murni manusia (yaitu, para Buddha dan Arahat).
137
Abbuda (“wabah”) dicatat oleh Spk sebagai vinasakarana, penyebab kehancuran. Kata itu juga terdapat di syair 591 sebagai suatu jumlah yang amat tinggi, di 6:10 sebagai nama suatu neraka, dan di syair 803 sebagai tahap perkembangan janin.
138
Spk: Seseorang tiak boleh memberikan dirinya dengan cara menjadi budak orang lain, tetapi ada perkecualian bagi semua bodhisatta. Begitu juga, kecuali semua bodhisatta, seseorang tidak boleh memberikan dirinya pada singa dari harimau, dsb.
139
Saya menafsirkan pada c, baik di pertanyaan maupun jawabannya, dengan bantuan Spk, yang mengubah frasa jawabannya saja: Gavo kamme sajivanan ti kammena saha jivantanam gavo va kamme kammasahaya kammadutiyaka nama honti; “Untuk mereka yang hidup bersama dengan pekerjaan, ternak disebut teman-kerja, partner-kerja, di dalam pekerjaan; karena pekerjaan membajak, dsb. Diselesaikan dengan sekelompok ternak.”
Di pada d, sitassa (Ee2: sita ‘ssa) harus dipecah sitam assa. Spk mengambil assa untuk mengacu pada “massa makhluk” (atau massa manusia: sattakayassa) dan menjelaskan iriyapatha, “arah gerakan” (atau “sikap tubuh”), sebagai sarana penghidupan (jivitavutti); sita (galur) diberi catatan dengan nangala (bajak). Intinya, aktivitas membajak merupakan sarana penting untuk memeprtahankan kehidupan manusia.
140
Spk: Dengan tegas menjadi mantap di dalam moralitas.