Kamis, 01 Maret 2012

Catatan Bab II

2. Devaputtasamyutta

141
Devaputta secara harafiah berbati “putra para dewa,” tetapi karena para dewa digambarkan muncul di tempat kediaman surgawi melalui kelahiran langsung, saya menerjemahkan bentuk majemuk itu sekedar sebagai “dewaa muda”
Spk: Mereka terlahir kembali di pangkuan (anka) para dewa. Yang laki-laki disebut putra para dewa (devaputta); yang perempuan disebut putrid para dewa (devadhitaro). Jika nama mereka tidak dikenal, mereka disebut, “devata tertentu” (seperti di samyutta sebelumnya); tetapi yang namanya diketahui diacu sebagai “putra dewa yang bernama Anu” (seperti di sini). Spk-pt: Pertanyaan terakhir ini disebut hanya sebagai generalisasi, karena identitas beberapa devata diketahui.
142
Spk: Ketika Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma di surga Tavatimsaa selama vassa ke tujuh setelah pencerahan Beliau, dewa muda ini mendengar Beliau memberikan deskripsi bhikkhu itu (seperti di Vibh 245-46), tetapi tidak mendengar instruksi Beliau kepada bhikkhu itu, dorongan Beliau kepada bhikkhu itu, “Berpikirlah dengan cara ini, bukan dengan cara itu; perhatikan dengan cara ini; bukan dengan cara itu; tinggalkan hal ini, masuk dan berdiamlah di dalam hal itu” (seperti di DN I 214, 18-21). Beliau berbicara dengan acuan ke sini.
143
Tannev’ettha patibhatu. Harafiah “Biarlah hal itu terjadi pada dirimu sendiri sehubungan dengan ini.” Di seluruh karya ini, saya telah menerjemahkan idiom Pali yang kjas ini, dan variasi-variasinya, dengan cara yang paling sesuai dengan pilihan kata bahasa Inggris alami.
144
Nasihat yang diucapkan-dengan-baik (subhasitassa). Spk menginterprestasikan hal ini dengan pengertian bahwa orang seharusnya melatih diri hanya dalam perilaku ucapan baik berunsur-empat (lihat di bawah 8:5; juga MN I 288,1-22), (dan dalam percakapan) tentang Empat Kebenaran Mulia, sepuluh topik diskusi yang sesuai (lihat MN III 113,25-31), dan tiga puluh tujuh bantuan untuk pencerahan. Bagi saya, tampaknya lebih mungkin bila hal itu berarti orang harus sesuai dengan nasihat baik.
Spk menawarkan dua interprestasi samanupasana di pada b: (i) interprestasi yang harus diperhatikan oleh seorang petapa, yaitu, satu dari tiga –puluh-delapan subjek meditasi (lihat n. 133); dan (ii) yang melayani seorang petapa, yaitu, melayani bhikkhu-bhikkhu cendikia untuk meningkatkan kebijaksanaannya. Yang pertama kelihatannya lebih masuk akal. Penenang pikiran (cittupaasama) adalah latihan malalui delapan pencapaian meditatif(atthasamapatti).
145
Di pada b, saya sama dengan Be, Se, dan Ee2, berbeda dengan ca di Ee1,. Saya menguraikan sintaks yang berbelit-belit pada syair ini sesuai denngan Spk. Spk menjelaskan bahwa dia seharusnya terbebas di pikiran (vimuttacitto) melalui pembebasan (sementara) dengan membaktikan diri ke subjek meditasi [Spk-pt: pembebasan melalui pandangan terang dan jhana, yang merupakan jenis –jenis pembebasan sementara, karena pada titik ini dia belum mencapai tingkat Arahat, pembebasan akhir dan pikiran]. Pencapaian hati (hadayassanupatti) adalah tingkat Arahat, yang juga merupakan keuntungan (anisamsa) dan dia harus condong ke situ.
146
Spk: Magha adalah nama untuk Sakka, yang mengajukan serangkaian pertanyaan yang sama di bawah dan menerima jawaban yang sama (di syair 939-40), kata itu adalah derivat dari nama Magha, yang merupakan namanya selama hidupnya sebagai manusia. Di sekarang disebutnya Vatrabu karena memperoleh kekuasaan di antara para dewa dengan mengatasi dewa-dewa lain melalui perilakunya (vattena anne abhibhavati), atau karena dia mengatasi maklhuk asura yang bernama Vatra. Tak satu pun dari dua nama ini yang disebutkan di antara nama-nama Sakka di 11:12.
147
Dengan “brahmana” dia mengacu pada Arahat. Spk: Dewa muda ini percaya bahwa tidak ada akhir bagi tugas-tugas Arahat dan bahwa Arahat harus terus berjuang bahkan setelah mencapai tingkat Arahat. Sang Buddha menyampaikan balasan untuk membetulkan dia. Syair Sang Buddha memang unik (asankinna) di Tipitaka, karena tidak ada di tempat lain Sang Buddha mengkritik pembangkitan energi, tetapi di sini Beliau berbicara demikian untuk menunjukkan bahwa ada akhir bagi tugas Arahat.
148
Di dalam kata-kerja ayuhati yang ditemui di 1:1, lihat n. 2. Telah pergi ke seberang (paragata) berarti telah mencapai Nibbana.
149
Spk: Dikatakan bahwa di dalam kehidupan sebelumnya, dewa muda ini adalah seorang meditator, tetapi dia mempunyai kekotoran batin yang tebal. Hanya dengan banyak usaaha maka dia dapat menekannya. Walaupun dia melakukan pekerjaan petapa, namun karena kondisi-kondisi penopangnya lemah, dia meninggal dan terlahir kembali di alam dewa tanpa mencapai tingkat manusia-manusia mulia. Dia datang ke hadapan Yang Terberkahi untuk menyampaikan kesulitan kehidupan petapa.
150
Spk: Walaupun jalan mulia bukannya tidak dapat dilalui dan bukan pula tak-mantap (duggamo visamo), hal ini dikatakan karena ada banyak rintangan di bagian awal jalan itu.
151
Di AN IV 449-51, Y.M. Ananda memberikan penjelasan rincian tentang syair itu. Pembacaan-pembacaan kata-kerja Yunani di pada b dan c berbeda di antara berbagai edisi, tetapi artinya tetap tidak terpengaruh. Spk menjelaskan bahwa ada dua jenis kungkungan (sambadha): kungkungan karena lima penghalang dan kungkungan karena lima tali kesenangan indera, namun yang pertamalah yang dimaksudkan di sini. Lubang (okasa) adalah nama untuk jhana. Tetapio di dalam analisa yang diberikan oleh Ananda, kungkungan dan lubangnya dijelaskan secara beruntutan: pertama lima tali kesenangan indera disebut kungkungan dan jhana pertama lubangnya; kemudian vitakka-vicara adalah kungkungan dan jhana kedua adalah lubangnya; dan seterusnya, yang memuncak pada hancurnya asava sebagai lubang terakhir.
Banteng pemimpin yang menarik diri (patilinanisabho): Sang Buddha disebutkan banteng pemimpin di 1:38 Di AN II 41, 29-32 seorang bhikkhu dikatakan sebagai patilina, “menarik diri,” ketika dia telah meninggalkan kesombongan tentang “aku”.
152
“Dhamma untuk pencapaian Nibbana” (dhammam nibbanapattiya) agaknya adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Spk-pt: Dewa muda ini sudah mendapatkan jhana pertama dalam kehidupan sebelumnya. Dia menyampaikan syair ini untuk memuji Yang Terberkahi karena memperoleh sukacita jhana. Jawaban Sang Buddha bermaksud menunjukkan bahwa jhana lingkup-bentuk pertama hanyalah penggalan dari kualitas Buddha yang tak-terbatas dan tak-terukur. Melalui kewaspadaan (sati) Beliau mengacu pada kewaspadaan pandangan terang dan kewaspadaan jalan mulia. Terkonsentrasi dengan sempurna (susamahita) menunjukkan konsentrasi duniawi dan di-atas-duniawi.
153
Spk menjelaskan “sekte keagamaan” (tittha) sebagai enam puluh dua pandangan (di Brahmajala Sutta, DN Ni. 1). Jika dia mendirikan sekte yang berdasar atas salah satu pandangan ini, mengapa dia bisa terlahir kembali di surga? Karena dia menegaskan doktrin kamma dan banyak melakukan perbuatan luhur. Ketika dia dilahirkan kembali di surga, dia mengenali sasana Bnuddhaa yang bersirat membebaskan dan datang ke hadapan Sang Guru untuk mengulang syair-syair yang memuji energi yang cocok dengan sasana itu.
154
Di pada a, parakkamma adalah sebuah absolutif, bukan imperatif, sehingga menurut artinya seharusnya mendahului chinda sotam. Paarakkaama, kata-bendanya adalah anggota ketiga dari rangkaian tiga istilah yang menunjukkan tahap-tahap yang berirutan dalam pengembangan energi: arambhadhatu, nikkamadhatu, parakkaamadhatu; di 46:2, 46:51 kata-kata itu diterjemahkan menjadi “elemen penggugahan, elemen usaaha, elemen pengerah tenaga.”
155
Spk menjelaskan sankassaram di pada c sebagai sankaya saritam, “diingat dengan kecurigaan”: “Ini terkena keraguan dan kecurigaan seperti misalnya, ‘Dia pasti telah melakukan ini, dia pasti telah melakukan itu.’”
156
Candima adalah dewa yang berdiam di istana rembulan; kata itu sendiri biasanya sekadar berarti rembulan. Jelas penangkapannya oleh Rahu mewakili gerhana rembulan.
157
Walaupun Rahu dan Vepacitti digambarkan sebagai “raja – raja asura” (asurinda), tampaknya Vepacitti lebih tinggi dan Rahu adalah bawahannya. Vepacitti adalah lawan abadi Sakka, raja para dewa, seperti yang dilihat di 11:4, 11:5, 11:23, dan 35:248.
158
Suriya (yang biasanya hanya berarti matahari) adalah dewa yang berdiam di istana matahari. Di sini gerhana matahari diwakili. Spk, setelah mengesankan kita dengan dimensi fisik Rahu, menawarkjan beberapa wawasan ke dalam pandangan-pandangan Buddhis kuno tentang gerhana: Ketika Rahu melihat matahari dan rembulan yang bersinar terang, dia menjadi iri dan memasuki jalur orbit mereka. Disana dia berdiri dengan mulut menganga. Maka tampaknya seolah-olah istana-istana matahari dan rembulan diceburkan ke neraka besar, dan para dewa di istana-istana itu semuanya berteriak ketakutan berbarengan. Walaupun Rahu dapat menutupi istana-istana itu dengan tangan, rahang dan lidahnya, dan bahkan dapat mengisi pipinya dengan istana-istana itu, dia tidak dapat menghalangi gerakan mereka. Seandainya dia memang melakukan usaha semacam itu, istana-istana itu bisa memecahkan kepalanya dan keluar menembus sisi lainnya atau menarik dan mendorongnya jatuh [Spk-pt: karena gerakan mereka ditentukan oelh hokum kamma dan amat sangat keras sehingga siapa pun tidak dapat menghentikan secara langsung].]
159
Pajam mama. Spk: Dikatakan bahwa pada hari Sang Buddha membabarkan Mahaasamaya Sutta (DN No. 20) dua dewa muda Candima dan Suuriiya mencapai buah Pemasuk-Arus. Maka Yang Terberkahi mengatakan “anakku,” yang artinya “dia adalah putra (spiritual)-ku.” Dugaan C.Rh.D (ddi KS 1:72, n. 2) bahwa Sang Buddha berbicara demikian dengan mengacu pada keturunan matahari (legendaries)nya sendiri tampaknya tidak mungkin.
160
Spk menerangkan kacce va di pada b dengan kacche viya, “seperti ketiak” [Spk-pt: dalam arti tempat yang terbatas]. Spk: Kaccha (yang digunakan secara kiasan) berarti jalan gunung yang terbatas (pabbatakaccha) atau penyempitan di sungai (naadikaccha).
161
Spk: Dengan cacat yang telah dibuang (rananjaha): dengan kekotoran batin yang telah dibuang (kilesanjaha). Di MLDB, dalam terjemahan MN No. 139, arena diterjemahkan “bukan-konflik” atau “tanpa konflik,” sedangkan sa-rana “dengan konflik.” Tetapi, walaupun dalam bahasa Pali maupun Sanskerta rana dapat berarti medan pertempuran atau konflik, para komentator Pali terus-menerus menerangkannya dengan raja kilesa, “debu, kekotoran batin.” Jadi Ps V 32 mempunyai sa-rano ti sarajo sakileso, arano ti arajo nikkileso. Lihat juga syair 585c dan n. 398.
162
Saya mengambil Se dan Ee2 Venhu ketimbang Be dan Ee1 Vendu; tetapi pembacaan Vennu di SS mungkin merupakan dalam bentuk histories. Nama itu adalah padan-kata Pali untuk Visnu dalam Sanskerta; mungkin dewa muda ini adalah prototype dewa Hindu.
163
Pembacaan di pada c tidak pasti: Ee dan Se4 terbaca yunjam ()bnentuk participle jamak yang diubah?), Ee1 & 2 yunja, dan SS yajja. VAT menyarankan absolutif yujja.
164
Pertanyaan dan jawabannya ditemukan, dengan beberapa perbedaan, di Sn 173-75. Saya mencantumkan pada a dengan Se, Ee2 dan Sn 173 ko su’dha, berbeda dari katham su di Be dan Ee1; Skt yang dikutip di Ybhus 10:1 mempunyai ka etam ogham tarati (Enomoto, CSCS, hal. 52). Spk menjelaskan pada c dari pertanyaan: di bawah ia tanpa penyangga (appatithe), di atas ia tanpa pegangan (analambe di teks, analambaane di catatan). Kata-kata Pali patitthaa dan alambana (atau arammana) secara doktrin mempunyai nuansa-nuansa yang penting; lihat n. 2 di atas dan 12:38-40 serta 22:53-54.
165
Di pada c, saya sama dengan Ee1 dan SS nandibhavaparikkhino, yang berbeda dari Be, Se, dan Ee2 nandiragaparikkhino (baik di teks maupun Spk). Catatan Spk tentang nandiraga di sini (tayo kammabhisankhara) amat dekat berhubungan dengan catatannya tentang nandibhava di syair 2 (lihat n. 8) sehingga kita bisa saja menganggap teks asli yang tersedia bagi komentator itu terbaca – bhava – ketimbang – raga -. Sn 175 juga terbaca – bhava-, sama seperti versi syair yang disebutkan di Nett 146,22.
Spk: Dengan menyebutkan persepsi indera (kamasanna), lima belenggu yang lebih rendah disiratkan; denngan belenggu bentuk (rupasamyojana), lima belenggu yang lebih tinggi; dengan sukacita dalam dumadi, tiga jenis bentukan-kamma berkehendak (tidak berjasa, berjasa, tidak-terganggu – lihat 12:51). Maka orang yang telah meninggalkan sepuluh belenggu dan tiga jenis bentukan kamma tidak tenggelam di kedalaman, di banjir besar. Atau kalau tidak demikian: persepsi indera berarti kehidupan lingkup-indera; belenggu bentuk, kehidupan lingkup-bentuk; dan dumadi lingkup-tanpa-bentuk disiratkan oleh dua sebelumnya. Sukacita dalam dumadi menunjukkan tiga jenis bentukan kamma. Maka orang yang tidak membangkitkan tiga jenis bentukan berkehendak sehubungan dengan tiga alam kehisupan tidak tenggelam di kedalaman.
166
Spk: Dewa muda ini sedang bermain-main di Hutan Nandana bersama dengan kelompok pengikutnya yaitu seribu peri. Lima ratus peri naik ke pohon dan sedang bernyanyi-nyanyi serta melempar-lemparkan bunga ke bawah ketika mereka tiba-tiba meninggal dan segera terlahir kembali di neraka Avici. Ketika dewa muda itu menyadari bahwa lima ratus pengikutnya telah hilang dan mendapati mereka telah terlahir kembali di neraka, dia memeriksa kekuatan kehidupannya sendiri dan melihat bahwa dia sendiri serta liam ratus peri lainnya akan meninggal tujuh hari lagi dan akan terlahir kembali di neraka. Maka, dengan ketakutan yang mencekam, dia datang kepada Sang Buddha untuk mencari penghiburan.
Cerita ini (bersama dengan syairnya) juga dikisahkan di dua kitab komentar untuk Satipatthana Sutta (Sv III 750,3-27; Ps I 235,16-236,3). Walaupun kitab-kitab komentar itu mengatakan demikian, saya lebih suka menganggap pertanyaan dewa muda itu sebagai ungkapan kekwatiran mencekam yang senantiasa ada di hakikat situasi manusiawi (dan surgawi).
167
Di pada c, saya mencantumkan kicchesu seperti Be, Se, dan Ee2, berbeda dari kiccesu (kewajiban-kewajiban) di Ee1 dan SS tertentu. Kicchesu dijelaskan dengan lebih baik oleh komentar di Spk: imesu uppannanuppannesu dukkhesu, “penderitaan-penderitaan, baik yang sudah muncul maupun belum muncul ini.”
168
Saya mencantumkan pada a seperti Be: nannatra bojjha tapasa. Pembacaan bojjhanga-tapasa, di Se dan Ee1 & 2 mungkin telah merayap masuk ke dalam teks dari penyederhanaan komentar di Spk, yang paling jelas pembacaannya di Be: Nannatra bojjha tapasa ti bojjhangabhavanan ca taponunnan ca annatra muncitva sotthim na passami. Spk-pt memberikan dukungan lebih jauh untuk pembacaan ini dengan memberikan catatan bojjha dengan bodhito dan menjelaskannya sebagai ablatif. Versi Skt yang disebutkan di Ybhuoe 5:2 mempunyai jhanatapaso (Enomoto, CSCS, hal. 8.).
Spk: Walaupun pengembangan factor-faktor pencerahan disebutkan pertama dan baru kemudian pengendalian kemampuan indera sesudahnya, pengendalian indera harus dipahami dahulu. Karena ketika hal ini disebutkan, pemurnian moralitas berunsur – empat disiratkan (lihat Vism 15,29- 16,16; Ppn 1:42). Setelaa mantap di dalamnya. Seorang bhikkhu menjalankan praktek-praktek ketetapan, yang disini disebut latihan keras (tapa), masuk ke hutan, dan dengan mengembangkan factor-faktor pencerahan bersama dengan pandangan terang. Kemudian jalan mulia pun muncul di dalam dirinya dengan Nibbana sebagai objeknya; yang terakhir inilah yang dimaksud dengan melepaskan semuanya (sabbanissagga). [Spt-pt: Di sini, segala yang terdiri dari bentukan-bentukan itulah yang dilepaskan.] Maka Yang Terberkahi mengubah khotbah itu menjadi khotbah tentang Empat Kebenaran Mulia. Di akhiri khotbah, dewa muda tersebut mantap dalam buah Pemasuk-Arus.
Spk-pt: Walaupun di sini yang disebutkan hanyalah pencapaian keelokannya sendiri, harus dipahami bahwa lima ratus peri itu juga mantap di dalam buah Pemasuk-Arus; karena hal itu dikatakan di dalam kitab komentar untuk Mahasatipatthana Sutta.
Spk maupun Spk-pt tidak berkomentar tentang baris prosa tunggal yang mengikuti syair tersebut (di Be: idam avoca, pa, tatth’ eva antaradhayi ti). Mungkin dewa muda itu telah memperoleh rasa kemendesakan yang amat menekan sehingga dia dengan cepat kembali ke alam dewa untuk berlatih sesuai dengan instruksi Sang Buddha. Versi Skt memiliki syair tambahan, yang dalam terjemahan terbaca:
Setelah waktu yang lama akhirnya saya melihat
Seorang brahmana yang telah sepenuhnya padam,
Yang telah pergi melampaui segala rasa permusuhan
Dan rasa takut (sarvavairabhayatitam),
Yang telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia.
(Ybhuoe 5:3; Enomoto, CSCS, hal 8)
169
Teks menunjukkan berbagai variasi antara anagho, anigho, dan anigho di pada a dari syair-syair 305-7. Ee2 menggunakan anigho secara menyeluruh.
170
Syair tersebut berbeda dari syair 1 hanya di pada c saja.
171
Yavatakam kho Ananda takkaya pattabbam anuppattam tam taya. Harafiah,” Apa pun yang dapat dicapai melalui penalaran, Ananda, itu telah engkau capai.” Spk: Sang Buddha telah berbicara tentang kunjungan dewa muda itu tanpa menyebutkan namanya untuk menunjukkan kekuatan intelegensi Ananda Thera yang luar biasa dalam menyimpulkan.
172
Spk tidak memberikan komentar mengenai nama dewa muda ini, yang mungkin adalah prototype awal dari Siva, dewa Hindu.
173
Saya mengikuti Se, yang menambahkan akhiran ti setelah syair ketiga dan menganggap tiga syair berikutnya berasal dari Sang Buddha. Tidak ada perubahan pembicara yang ditunjukkan di Be atau Ee 1.
174
Syair-syair 330-31 dikutip di Mil 66-67. Di syair 330c saya sama dengan Be, Se, dan Ee2 sakatikacintaya; manta di pada d pastilah nominatif dari kata-benda pelaku mantar. Di syair 331a saya mengikuti Se dan Ee1 & 2, yang terbaca pantha, berbeda dari Be mattham; Mil (Ee dan Se) terbaca nama (suatu perubahan?). Spk menerangkan pada d: akkhachinno va jhayati ti akkhachinno avajhayati, yang menyarankan bahwa va bukannya awalan penekan yang tak dapat berubah, melainkan awalan verbal. Tetapi, Spk, mengambil va di syair 332d untuk mewakili viya. Menmgenai maccumukha (di syair 332c) sebagai “mulut Kematian,” bukan “wajah Kematian,” lihat Ja IV 271,7,Ja V 479,29, dan Vism 233,21-22 (Ppn 8:20).
175
Spk: koci = katthaci. Koci dalam penertian ini mungkin merupakan bentuk singkat dari kvaci.
176
Spk: Gelisah (uddhata): berwatak gelisah karena memahami apa yang tidak diizinkan dan tercela sebagai yang dapat diizinkan dan tak-tercela (menurut Vinaya), dan sebaliknya. Congkak (unnala): penuh dengan kesombongan bagaikan buluh yang tegak (tanpa isi). Pesolek (capala): dengan menghiasi mangkuk dan jubah mereka, dsb. Mukhara = mukhakara (“mulut-kasar”): suka bicara kasar. Melantur (vikinnavaca): berbicara tak terkendali, mengoceh tanpa ada maknanya sepanjang hari. Berpikiran-kacau (mutthasatino): dengan kewaspadaan yang hilang, tanpa kewaspadaan, lupa pada apa pun yang telah dikerjakan. Tanpa pengertian jernih (asampajana): tanpa kebijaksanaan. Tidak terkonsentrasi (asamahita): kosong dari konsentrasi akses dan penyerapan, bagaikan kapal yang terapung tanpa arus yang kuat. Pikirannya tercerai-berai (vibbhantacitta, harafiah “dengan pikiran yang berkelana”): bagaikan rusa tolol di tengah jalan. Kendor dalam kemampuan indera (pakatindriya): dengan kemampuan indera yang terbuka karena kurangnya pengendalian, sama seperti ketika mereka masih perumah tangga.
177
Spk : Dewa muda itu menyadari bahwa peringatannya tidak akan efektif bila dia mendekati setiap bhikkhu secara individu; maka dia pun mendekati mereka ketika mereka telah berkumpul untuk melaksanakan peraturan hari Uposatha.
178
Spk: Karena birahi yang disebabkan kekotoran batin [Spk-pt: oleh nafsu keinginan], mereka tergila-gila dengan para menantu perempuannya, dsb., dirumah orang lain.
179
Di pada b, saya mencantumkan vadamaham, seperti Be, Se, dan Ed2, berbeda dari Ee1 vandamaham. Ed1 mempunyai pembaaan pertama di paralelnya, syair 794b.
Spk: Sebagaimana tubuh yang sudah mati, yang dibuang ke tanah mayat, dimakan oleh berbagai binatang pemakan daging dan bahkan keluarganya pun tidak melindungi atau menjaganya, demikian pula orang-orang seperti itu ditolak, tanpa pelindung, karena mereka tidak memperoleh instruksi atau nasihat apa pun dari para penahbis dan gurunya. Mereka persis seperti orang mati.
180
Spk: Rohitassa mengajukan pertanyaan tentang akhir dunia dengan mengacu pada lingkup-dunia bintang (cakkaavala-loka), tetapi Yang Terberkahi menjawab dengan mengacu pada dunia bentukan (sankhara-loka).
181
Penjelasan umum tentang pemanah ini juga di 20:6 (II 265,27-266,2). Spk: Dalhadhammo = dalhadhanu; memiliki busur yang berukuran maksimum (uttaamappamanena dhanuna samannagato). Bentuk dhalhadhammino terjadi di bawah di syair 708b. Di EV I,n. sampai 1210, Norman menyarankan bahwa bentuk ini pastilah dipinjam dari suatu dialek di mana –nv-> -mm- bukannya –nn-, MW mencatat dua kata Skt yang berarti “dengan busur yang kuat,” drdhadhanvan dan drdhadhanvin. Kita mungkin berasumsi yang belakanglah yang muncul di Pali sebagai dalhadhamma, yang belakangan sebagai dalhadhammin; lihat juga n. 488. Suatu perkembangan serupa mempengaruhi hormonim dhanvan (=gurun); lihat n. 264.
182
Spk menerangkan loka dengan dukkhasacca dan masing-masing dari istilah-istilah lain melalui tiga kebenaran mulia lainnya. Demikianlah Sang Buddha menunjukkan : “aku tidak mengumumkan empat kebenaran ini di hal-hal eksternal seperti misalnya rumput dan kayu, tetapi persis di sini di tubuh yang terdiri dari empat eleman bessar.”
Ucapan tajam Buddha, yang mungkin merupakan hal yang paling dalam di sejarah pikiran manusia, diuraikan di 35:116 oleh Y.M. Ananda, yang menerangkan bahwa di Disiplin Para Mulia, “dunia” adalah “sesuatu di dunia yang membuat orang merasakan dan memahami dunia,: yaitu, enam landasan indera. Dari penjelasan Ananda kita dapat menarik pengertian :Dunia, yang dengannya ajaran Buddha khususnya berurusan, adalah “dunia pengalaman”,” dan bahkan ddunia objektif pun menarik hanya sejauh ada manfaatnya sebagai kondisi eksternal yang diperlukan untuk pengalaman. Dunia ini diidentifikasikan dengan enam landasan indera karena yang belakangan itu merupakan kondisi internal yang diperlukan untuk pengalaman, dan dengan demikian, untuk kehadiran suatu dunia. Selama enam landasan indera masih ada, suatu dunia akan selalu terbentang di hadapan kita sebagai rangkaian objektif persepsi dan kognisi. Maka, seseorang tidak dapat mencapai akhir dunia dengan cara bepergian, karena ke mana pun dia pergi, pastilah dia membawa juga enam landasan indera, yang tentu menyingkap suatu dunia yang terbentang di semua sisinya. Walaupun demikian, dengan cara membalik arah pencarian itu maka akhir dari dunia justru dapat dicapai. Karena jika dunia pada akhirnya berasal dari enam landasan indera, maka dengan cara mengakhiri enam landasan indera itulah akhir dunia dapat dicapai.
Enam landasan indera itu sendiri pada dasarnya terkondisi, karena telah muncul dari rantai kondisi yang berakar di dalam kebidihan dan nafsu keinginan orang itu sendiri (lihat 12:44 = 35:107). Maka dengan cara menghapus kebodohan dan nafsu keinginan, kemunculan-kembali enam landasan indera itu dapat dicegah, dan dengan demikian maka perwujudan dunia pun terhenti. Akhir dari dunia ini tidak dapat dicapai dengan cara bepergian, tetapi dapat dicapai dengan cara mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Perkembangan jalan yang sempurna akan menyebabkan hapusnya kebodohan dan nafsu keinginan, dan dengan terhapusnya hal itu maka landasan yang mendasarinya pun terhapus sehingga tidak ada kemunculan enam indera yang dipebarui, dan bersama itu juga tidak ada lagi kemunculan-kembali dari suatu dunia. Untuk komentar filosofis panjang tentang sutta ini oleh Nanananda, lihat SN-Anth 2:70-85.
183
Spk : Sang Buddha memberikan pertanyaan ini karena Beliau ingin berbicara untuk memuji Sariputta Thera. Beliau memilih menyapa Ananda karena dua bhikkhu itu memang bersahabat dan saling mengagumi moralitas satu sama lainnya. Dan Beliau mengetahui bahwa Ananda akan menjawab dengan cara yang baik.
184
Kata-kata pujian ini diucapkan oleh Sang Buddha sendiri tentang Sariputta di MN III 5,6 –10. Spk menjelaskan: Bijaksana (pandita) menunjuk pada orang yang memiliki empat jenis kebajikan (kosala) – di dalam elemen, di dalam landasan indera, di dalam sebab-akibat yang saling bergantung, dan di dalam apa yang mungkin dan tak mungkin (MN III 62,4-6).
Rangkaian definisi berikunya, yang berlanjut selama beberapa halaman, diambil dari Patis II 190-202. Si sini saya memberikan ringkasannya saja: Seseorang memiliki kebijaksanaan yang besar ( mahapanna) bila dia memiliki, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, dll. yang besar, tempat kediaman yang besar dan pencapaian-pencapaian meditative yang besar, perkembangan yang besar dari tiga puluh tujuh bantuan untuk pencerahan, jalan-jalan dan buah-buah yang besar, pengetahuan-pengetahuan langsung yang besar, dan pencapaian Nibbana, tujuan akhir tertinggi. Seseorang memiliki kebijaksanaan yang luas (puthupanna) bila pengetahuannya terjadi sehubungan dengan beraneka khandha, elemen, landasan indera, dsb. (Tampaknya Patis menganggap puthu Pali diambil dari prthak Vedic yang berarti “berbeda”, tetapi prthu, “luas” lebih mungkin merupakan pengertian aslinya.) Seseorang memiliki kebijaksanaan yang gembira (hasapanna) bila dia memenuhi semua langkah pelatihan dengan dipenuhi kegembiraan, inspirasi, sukacita, dan senang hati. Seseorang memiliki kebijaksanaan yang cepat (javanapanna) bila dia dengan cepat memahami semua lima khanda sebagai tiodak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. Seseorang memiliki kebijaksanaan yang tajam (tikkhapanna) bila dia memotong semua kekotoran batin dan realisasikan empat jalan dan buah-buahnya dalam satu kali duduk bermeditasi. Seseorang memiliki kebijaksanaan yang menembus (nibbehikapanna) bila, karena dipenuhi muak dan jijik terhadap semua bentukan, dia menembus dan memecah massa keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang belum ditembus sebelumnya. Istilah-istilah ini, dan jenis-jenis kebijaksanaan lainnya diuraikan di 55:62-74.
185
Spk: Setelah Tathagata dan Ananda Thera memuji Sariputta Thera demikian, para dewa di 10.000 sistem dunia bangkit dan memuji beliau dengan enam belas istilah yang sama. Kemudian dewa muda Susima, yang dulu (ketika sebagai manusia) adalah siswa Sariputta, memutuskan untuk mendekati Yang Terberkahi dengan kelompoknya dan mengucapkan pujian yang sama tentang penahbisannya.
Spk tidak mengatakan bahwa Susima ini identik dengan tokoh di 12:70. Satu dewa dengan nama ini juga disebutkan di 11:2 sebagai bawahan Sakka.
186
Spk: Di tempat lain, uccavaca berarri: ucca = bagus sekali (panita) + avaca = rendah (hina). Tetapi di sini, artinya adalah beraneka(nanavidha), menerangkan vannanibha. Karena para dewa yang biru di dalam kelompok itu menjadi amat biru, dan demikian juga para dewa yang kuning, merah, dan putih menjadi amat kuning, merah, dan putih. Untuk menjelaskan hal ini, empat perumpamaan diberikan.
187
Be dan Ee2 mencakupkan di sini frasa saradasamaye viddhe vigatavalahake deve, tetapi karena ini tampaknya merupakan penyisipan yang berdasar atas alinea berikutnya, saya telah mengikuti Se dan Ee1, yang menghilangkannya.
188
Perumpamaan ini muncul lagi di 22:102 dan 45:147. Spk menerangkan nabham abbhussakkamano (seperti di Be) dengan akasam abhilanghanto dan mengatakan bahwa hal ini menunjukkan “waktu yang lebih lembut dari matahari [Spk-pt: waktu ketika matahari tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi]. Kata-kerja abbhusakkati berasal dari akar kata sakk, dan tidak ada hubungannya dengan kata-sifat sukka seperti yang diperkirakan Geiger.
189
Saya mencantumkan pada d dengan SS demikian: kalam kankhati bhavito sudanto. Bacaan ini disarankan oleh VAT, yang menulis: “Kata ketiga telah dihapuskan oleh Be dan Se, jelas karena percaya bahwa itu adalah sebuah pada Oeloka (tetapi, tidak dapat mengatur iramanya). Tetapi jika seseorang menganggapnya sebagai Aupacchandasaka pada, tidak ada apa pun yang perlu dihilangkan. Kepastian diperoleh dari Sn 516, perubahan dari sa danto sudanto menjadi sudato yang lebih cocok untuk konteks yang berbeda.”
Spk tidak menawarkan bantuan dengan pembacaannya tetapi menerangkan pengertiannya: “Beliau menunggu waktu untuk parinibbana-nya. Karena Arahat tidak bersukacita di dalam kematian atau pun merindukan kehidupan; dia merindukan waktu itu bagaikan seorang pekerja berdiri menunggui gajinya hari itu.” Spk kemudian mengutip Th 1003, yang mungkin menerangkan pergantian bhavito oleh bhatiko di Ed1. Untuk memperoleh satu baris Oeloka, Ee2 mempertahankan bhavito namun menghapus sudanto.
190
Spk: “Para dewa muda ini adalah penyokong kamma, karena itu mereka melakukan perbuatan-perbuatan berjasa dan terlahir kembali di surga. Berpikir bahwa mereka telah terlahir di sana karena keyakinannya pada gurunya masing-masing, mereka datang kepada Sang Buddha untuk mengucapkan syair-syair yang memuji guru-guru itu.” Baik Purana Kassapa maupun Makhali Gosala memberikan doktrin yang berlawanan dengan ajaran Sang Buddha tentang kamma; ajaran-ajaran mereka dikelompokkan di antara pandangan-pandangan yang umumnya membawa menuju kelahiran-ulang yang buruk.
191
Syair ini adalah pernyataan ringkas dari doktrin Purana Kassapa tentang tanpa-tindakan (akiriyavada). Untuk hal itu, lihat DN I 52,22-53,4 dan 24:6 (di dalam sumber yang terakhir, tidak ada anggapan pandangan terhadap guru). Catatan rinci tentang ajaran enam “guru bida’ah” (yang empat disebutkan di sini dan enam seluruhnya disebutkan di bawah, di 3:1) dapat ditemukan di Samannaphala Sutta, DN No. 2; untuk terjemahan dengan komentar, lihat Bodhi, The Discourse on the Fruits of Recluseship (Khotbah tentang Buah-buah Kepetapaan), terutama hal. 6-9, 19-26,69-86. Spk mengubah frasanya: “Dengan menyatakan bahwa tidak ada akibat dari kejahatan atau jasa kebajikan, dia mengajarkan kepada para makhluk apa yang patut dipercaya sebagai fondasi, penopang; maka dia pantas mendapat penghargaan, penghormatan,pemujaan.”
192
Makkhali Gosala dulu adalah pendiri dan pemimpin sekte petapa yang dikenal sebagai Ajivika. Untuk doktrin tanpa sebab-musabab (ahetukavada), yang juga disebut “pemurnian dengan terus berkelana” (samsarasuddhi), lihat DN I 53,25-54,21 dan 24:7. Penjelasan lengkap tentang kehidupan dan ajarannya dapat ditemukan di Basham, History dan Doctrines of the Ajivika (Sejarah dan doktrin Ajivika).
193
Syair itu menyinggung gaya praktek kepetapaan Makkhali, tetapi, anehnya, tidak menyebutkan doktrinnya. Spk menjelaskan kekerasan latihannya (tapa) sebagai penyiksaan tubuh, dan ketelitiannya (jiguccha) sebagai kemuakan terhadap kejahatan [Spk-pt: menjalankan sumpah telanjang, dsb., karena percaya bahwa beginilah cara untuk menghapus kejahatan]. Penjelasan ini menunjukkan bahwa Spk menganggap tapojiguccha di sini sebagai majemuk dvanda kolektif,” kekerasan latihan dan ketelitian,” dan demikianlah saya menerjemahkannya. Tetapi Sv III 834,37, yang mengomentari DN III 40,13-52,22 (di mana Sang Buddha memberikan penjelasan panjang tentang bagaimana tapojiguccha itu tak sempurna dan sempurna (aparipunna, paripunna), menjelaskan bentuk majemuk itu sebagai tappurisa yang artinya “ketelitian melalui kekerasan latihan”: Tapojiguccha ti viriyena papajiguccha papavivajjana; “Kekerasan Latihan-ketelitian: ketelitian sehubungan dengan kejahatan, penghindaran kejahatan, dengan sarana energi.” Tapassi dan jegucchi (kata benda yang sesuai dengan acuan pribadi) digunakan untuk menunjuk factor-faktor terpisah dari “kehidupan suci berunsur-empat” dari seorang Bodhisatta yang dipraktekkan sebelum pencerahannya di MN I 77,23-27 dan 78,32-36. Lihat juga Basham, hal. 109 – 15, untuk diskripsi kepetapaan Ajivika.
194
Nighata Nataputta identik denganm Mahavira, cikal bakal sejarah Jainisme. Disiplin pengendalian dirinya melalui empat pengendalian (catuyamasamvara) dijelaskan di DN I 57,25-27 dan MN I 377,1-2. Di MLDB, hal. 482, formula itu diterjemahkan: “(dia) dikekang oleh semua kekangan, dikepit oleh semua kekangan, dibersihkan oleh semua kekangan, dan ditegaskan oleh semua kekangan.” Memang meragukan apakah teks atau komentarnya (Sv I 168-69, Ps III 58-59) mewakili tradisi Jain murni.
195
Pakudhaka Katiyana adalah ejaan alternatif dari Pakudhaka Kaccayana, yang doktrinnya tentang tujuh tubuh (sattakaya) dijelaskan di DN I 56,21-57,34 dan di 24:8 Spk mengatakan ,pernyataan bahwa “mereka tidak jauh dari manusia-manusia superior” berarti, sebetulnya, bahwa mereka adalah manusia-manusia superior (sappurisa), yaitu, para arya atau para mulia.
196
Di pada a, Be dan Se terbaca sahacaritena; Ee1 terbaca sagaravena, yang dikoreksi di Ee2 menjadi saharavena, “bersama dengan lolongan(-nya).” Spk-pt mendukung hal ini: “Hanya dengan melolong bersama dengan raungan singa; yaitu, serigala (bukanlah tandingan singa) hanya dengan mengeluarkan lolongan serigala pada saat yang sama ketika singa mengelurakan raungannya.” Serigala dan singa membentuk pasangan klasij yang berlawanan dalam literature India kuno; lihat Ja No. 143 dan 335. Di situ, serigala berakhir dengan kematian ketika mencoba menyamai kecakapan singa dalam berburu. Terutama Ja No. 172, di situ serigala mempermalukan sekelompok singa muda karena mencoba meniru raungan mereka sehingga kelompok itu pun terdiam.
197
Spk: Mara berpikir,” Dia telah berbicara mencela guru-guru lain. Saya akan membuat dia berbicara memuji mereka melalui mulutnya sendiri.”
198
Namuci adalah nama Mara, yang dijelaskan Spk-pt (untuk 4:1) sebagai berarti “dia tidak membebaskan” (na muci): vattadukkhato aparimuttapaccayatta namuci; “Dia disebut Namuci karena dia tidak membiarkan siapa pun bebas dari penderitaan lingkaran itu.” Spk menerangkan jawaban Sang Buddha dengan kata-katanya sendiri: “Sewbagaimana nelayan melempar umpan di ujung kail dengan tujuan menangkap ikan, demikian pula, dengan memuji bentuk-bentuk ini, engkau melempar mereka untuk menangkap makhluk hidup.” Lihat 35:230.