Jumat, 02 Maret 2012

Cula

BAB 7
BAGIAN MINOR

7.1. Bhaddiya (1)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Sariputta, dengan berbagai macam sarana, sedang mengajar, menyadarkan, memberi inspirasi dan menggembirakan Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil [1] dengan percakapan mengenai Dhamma. Pada saat itu, sementara Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil sedang diberi pelajaran oleh Yang Ariya Sariputta ….. dengan percakapan mengenai Dhamma, pikirannya terbebas dari noda tanpa ketamakan.
Sang Bhagava melihat bahwa sementara Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil sedang diberi pelajaran oleh Yang Ariya Sariputta ….. dengan percakapan mengenai Dhamma, pikirannya terbebas dari noda tanpa ketamakan.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Di atas, di bawah, dan di manapun terbebaskan,
Seseorang yang tidak menyatakan “Saya adalah ini” [2]
Telah menyeberangi banjir yang tidak terseberangi sebelumnya,
Terbebas tanpa pembaharuan dumadi.

7.2. Bhaddiya (2)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Sariputta, dengan berbagai macam sarana, sedang mengajar, menyadarkan, memberi inspirasi, dan menggembirakan Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil dengan percakapan mengenai Dhamma, jauh lebih banyak karena beliau menganggap Bhaddiya (masih) seorang pelajar.
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Sariputta ….. mengajar, menyadarkan, memberi inspirasi dan menggembirakan Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil dengan percakapan mengenai Dhamma …..
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dia sudah memutuskan lingkaran, [3] memenangkan yang
tanpa nafsu,
Air sungai yang sudah kering tak lagi mengalir,
Lingkaran yang sudah diputuskan tidak berputar
Inilah akhir dari penderitaan.

7.3. Kemelekatan (1)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu kebanyakan laki-laki di Savatthi melekat secara berlebihan kepada kesenangan indria. Mereka hidup serakah untuk menuruti kesenangan indriya, merindukannya, terikat olehnya, tergila-gila dengannya, ketagihan, dan teracuni oleh kesenangan-kesenangan indria itu.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu, sesudah memakai jubah mereka sebelum tengah hari dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan dan sesudah makan, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini di Savatthi, Bhante, kebanyakan laki-laki melekat secara berlebihan kepada kesenangan indria. Mereka hidup serakah untuk menuruti kesenangan indriya, merindukannya, terikat olehnya, tergila-gila dengannya, ketagihan, dan teracuni oleh kesenangan indria itu.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Kemelekatan pada kesenangan indria, terhadap hawa nafsu,
Di dalam belenggu tidak melihat ada yang bisa disalahkan,
Mereka yang terikat oleh belenggu-belenggu itu akan tidak pernah
Menyeberangi banjir yang begitu lebar dan dahsyat.

7.4. Kemelekatan (2)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu kebanyakan laki-laki di Savatthi melekat [4] kepada kesenangan indria. Mereka hidup serakah untuk menuruti kesenangan indria, merindukannya, terikat olehnya, tergila-gila dengannya, ketagihan, dan teracuni oleh kesenangan indria itu.
Pada saat itu Sang Bhagava sesudah memakai jubahnya sebelum tengah hari dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan makanan. Sang Bhagava melihat bagaimana laki-laki di Savatthi itu melekat kepada kesenangan indria dan serakah akan ….. kesenangan indria.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Terjerat dalam jaring, dibutakan oleh kesenangan indria,
Tertutup oleh baju nafsu keinginan,
Terikat dalam jerat kelalaian,
Seperti ikan dalam perangkap,
Mereka menuju pada kebusukan dan kematian,
seperti seekor anak kerbau yang masih menyusu pada induknya.

7.5. Bhaddiya (3)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil, yang mengikuti sejumiah bhikkhu, mendekati Sang Bhagava.
Sang Bhagava melihat dari jauh Yang Ariya Bhaddiya, si kerdil, menghampiri, dengan berjalan di belakang sekelompok bhikkhu – orang yang buruk rupa, tidak enak dipandang, cacat, [5] dan umumnya dihina oleh para bhikkhu itu. Ketika melihat dia, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “O bhikkhu, apakah kamu melihat bhikkhu itu menghampiri, berjalan di belakang sejumlah bhikkhu – orang yang buruk rupa, tidak enak dipandang, cacat, dan biasanya dihina oleh para bhikkhu?”
“Ya, Bhante.”
“O, bhikkhu, si bhikkhu itu mempunyai kekuatan luar biasa yang hebat. Tidaklah mudah mencapai penerangan yang sudah dicapai si bhikkhu itu. Dia sudah menyadari di sini dan sekarang ini, melalui pengetahuan langsungnya sendiri, tujuan kehidupan suci yang tidak terbandingkan, yang untuk itu anak-anak keluarga baik sepantasnya berpindah dari keadaan berumah menjadi keadaan tak berumah, dan setelah memasukinya dia tinggal di dalamnya.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Tidak salah, dengan atapnya yang putih,
Kereta yang berjeruji satu itu berlalu;
Melihat dia mendatang, bebas dari kesulitan,
Dia yang sudah memotong arus,
Dia yang tidak lagi dalam keterikatan. [6]

7.6. Akhir dari Nafsu Keinginan
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Annata Kondanna sedang duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menahan tubuhnya tegak dan memeriksa kebebasannya dengan cara menghancurkan nafsu keinginan. [7]
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Annata Kondanna duduk bersila tidak jauh, menahan tubuhnya tegak dan memeriksa kebebasannya dengan cara menghancurkan nafsu keinginan.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Bagi orang yang tidak mempunyai akar dan tanah,
Tidak ada daun, jadi bagaimana menjalar? [8]
Siapa yang dapat menyalahkan pertapa pahlawan itu
Yang bebas dari setiap bentuk kemelekatan?
Bahkan para dewa pun memuji orang seperti itu,
Oleh Brahma dia juga dipuji.

7.7. Akhir dari Konseptualisasi
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang duduk memeriksa kebebasan Nya sendiri dari konsep, yang berkembang melalui Perkembangan Pencerapan. [9]
Kemudian, Sang Bhagava, karena menyadari pembebasan Nya sendiri dari konsep-konsep yang berkembang melalui Perkembangan Pencerapan, pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Yang tidak punya konsep, tidak punya sudut pandang [10]
Yang sudah menanggulangi ikatan dan jeruji, [11]
Dunia dengan para dewanya tidak akan memandang rendah
Tingkah laku pertapa yang bebas dari nafsu keinginan.

7.8. Kaccana
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Mahakaccana sedang duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menahan tubuhnya tegak, waspada terhadap sikap tubuh dan mantap di dalam dirinya: [12]
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Mahakaccana duduk bersila tidak jauh, menahan tubuhnya, tegak, waspada terhadap sikap tubuh dan mantap di dalam dirinya.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dia yang selalu mempunyai kesadaran
Yang terus menerus terbentuk dalam tubuh, demikian:
Seandainya saja tidak ada, tidak akan ada bagiku sekarang;
Tidak akan ada sekarang, dan tidak akan ada lagi bagiku kelak, [13]
Jika dia selalu tinggal di situ,
Pada waktunya dia harus lewat melampaui keterikatan.

7.9. Sumur
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang mengadakan perjalanan di antara orang suku Malla [14] bersama dengan rombongan besar bhikkhu sangha dan sampai di desa brahmana suku Malla yang namanya Thuna. Para perumah tangga brahmana yang tinggal di Thuna mendengar: “Pertapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan kaum Sakya, yang mengadakan perjalanan di antara orang suku Malla bersama dengan rombongan besar bhikkhu sangha tentu sudah tiba di Thuna.” Mereka kemudian mengisi sumur itu sampai ke bibirnya dengan rumput dan sekam, dan berpikir, “Jangan biarkan pertapa-pertapa gundul itu [15] mendapatkan air untuk minum.”
Pada saat itu Sang Bhagava berjalan menepi, dan pergi menuju kaki sebuah pohon, duduk di tempat duduk yang telah disediakan oleh Yang Ariya Ananda: “Ananda, tolong ambilkan saya air dari sumur itu.”
Kemudian Yang Ariya Ananda berkata kepada Sang Bhagava: “Baru saja, Bhante, para perumah tangga brahmana yang tinggal di Thuna mengisi sumur sampai ke bibirnya dengan rumput dan sekam ….. berpikir, ‘Jangan biarkan pertapa-pertapa gundul itu mendapatkan air untuk minum.’”
Untuk kedua kalinya, Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda: “Ananda, tolong ambilkan …..”
Dan untuk kedua kalinya, Yang Ariya Ananda berkata kepada Sang Bhagava: “Baru raja, Yang Mulia, para perumah tangga brahmana mengisi sumur sampai ke bibirnya dengan rumput dan sekam …..”
Kemudian untuk ketiga kalinya, Sang Bhagava berkata pada Yang Ariya Ananda: “Ananda, tolong ambilkan saya air dari sumur itu.”
“Ya, Bhante,” Yang Ariya Ananda menjawab, dan sambil membawa mangkuk ia pergi ke sumur. Pada saat Yang Ariya Ananda sedang mendekatinya, sumur itu menumpahkan semua rumput dan sekam dari mulutnya, dan sampai ke bibirnya penuh dengan air yang bersih, jernih, dan murni, seolah-olah akan meluap. Kemudian Yang Ariya Ananda berpikir: “Memang luar biasa, memang menakjubkan, kemampuan luar biasa dan kekuatan yang besar dari Sang Tathagata! Ketika saya sedang mendekatinya, sumur ini menumpahkan semua rumput dan sekam dari mulutnya dan sekarang sampai ke bibirnya penuh dengan air yang bersih, jernih, dan murni, seolah-olah akan meluap.” Dan dengan membawa air di mangkuk ia mendekati Sang Bhagava dan berkata: “Memang luar biasa, memang menakjubkan, kemampuan luar biasa dan kekuatan yang besar dari Sang Tathagata! Sumur ini ….. sekarang sampai ke bibirnya penuh dengan air yang bersih, jernih, dan murni, seolah-olah akan meluap. Minumlah air ini, Sang Bhagava; minumlah air ini, Sang Sugata.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Apakah gunanya sebuah sumur
Jika ada air dimana saja?
Jika akar nafsu keinginan sudah diputuskan
Apa yang harus dicari seseorang?

7.10. Udena
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Kosambi, di Vihara Ghosita. Pada saat itu penghuni gedung wanita di taman kerajaan Raja Udena yang berjumlah 500 wanita, yang diketuai oleh Samavati [16], meninggal dunia.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu, sesudah memakai jubahnya sebelum tengah hari, membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Kosambi untuk mengumpulkan dana makanan dan sesudah makan, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, penghuni gedung wanita dari taman kerajaan Raja Udena yang berjumlah 500 wanita yang diketuai oleh Samavati, telah meninggal dunia. Bagaimana keadaannya sekarang, bagaimanakah kelahiran berikutnya dari para pengikut awam wanita itu?”
“O bhikkhu, beberapa dari pengikut awam wanita itu adalah orang yang sudah memasuki jalan (stream enterer), beberapa adalah orang yang akan lahir sekali lagi (once enterer), beberapa adalah orang yang tak akan pernah lahir kembali. [17] Bukannya tidak berbuah kematian para pengikut awam wanita itu.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dunia berada dalam cengkeraman keterikatan ketidaktahuan
Dan hanya dumadi kelihatan ada.
Bagi seorang bodoh, yang terjerat dalam ikatan oleh kemelekatan
Dan terbungkus dalam ketidaktahuan,
Dunia tampaknya kekal.
Tetapi bagi orang yang melihat tidak akan mempunyai rintangan. [18]

Catatan Kaki :
  1. Lakuntaka Bhaddiya. Bhaddiya ini adalah orang yang berbeda dari Bhaddiya, putra Kaligodha, yang diacu dalam 2.10. Bhaddiya si kerdil adalah penduduk Savatthi yang kaya raya, yang sangat pendek dan buruk rupa dan tidak enak dipandang.
  2. Ini menyiratkan ketidakadanya kesombongan maupun pandangan yang salah, yang keduanya telah dicabut akarnya oleh seorang Arahat; atau ini menyiratkan perenungan dengan pengetahuan mendalam mengenai semua hal yang berkondisi sebagai “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,” yang dilalui seseorang mencapai tingkat Arahat.
  3. Lingkaran kelahiran dan kematian.
  4. Kotbah ini menghapuskan kata “secara berlebihan” yang ditemukan dalam kotbah sebelumnya.
  5. Okotimakam: cacat, tidak berbentuk normal; yaitu bongkok dan berperut besar.
  6. Nelaggam, diterjemahkan sebagai “tidak ada cacatnya”, kata yang berasal dari “tidak mempunyai kesalahan mengeluarkan air liur atau meneteskan air liur,” menurut Comy. Seluruh syair itu dengan halus membandingkan kemurnian dan keindahan pikiran Bhaddiya yang mencapai penerangan, dengan penampilan luarnya. Dalam S. iv, 291 perumah tangga Citta memberikan keterangan mengenai syair yang penuh teka-teki ini sebagai suatu penggambaran Arahat: “tidak salah” mengacu pada kebaikan moral, “atap putih” berarti pembebasan atau hasil dari tingkat Arahat, “berjeruji satu” berarti kewaspadaan, “kereta” adalah tubuh, “arus” adalah kemelekatan, dan “bebas dari kesulitan” dan “tidak lagi dalam keterikatan” mengacu pada Arahat yang sudah bebas dari keempat kekotoran.
  7. Kondanna adalah salah seorang dari kelompok lima pertapa yang kepada mereka Sang Buddha menyampaikan kotbah pertama Nya dan murid pertama yang mendapatkan pemahaman mendalam dalam Dhamma. Ketika Sang Buddha menyadari hal ini beliau mengatakan “Kondanna sudah mengerti.” Sesudah itu beliau menjadi dikenal sebagai Annatakondanna, “Kondanna, yang sudah mengerti.”
  8. Comy. membaca baris kedua (panna natthi kuto lata) sebagai natthi lata kuto panna, “Tidak ada pohon menjalar, bagaimana ada daun?” Ini menerangkan bahwa kebodohan merupakan akar dari pohon keberadaan individu; dan kekotoran, halangan-halangan, serta pertimbangan yang tidak bijaksana disebut “tanah” karena mereka merupakan dasar penyebab kebodohan. Ini semua tidak terdapat dalam individu mulia yang diacu, karena semuanya telah dihapus melalui jalan mulia (dari kearahatan). Individu seperti itu tidak lagi punya “pohon-pohon menjalar” yaitu kesombongan dan keangkuhan, lalu darimana kemudian muncul “daun-daun,” yaitu kecongkakan, kelalaian, kemunafikan, kelicikan, dsb.? Comy. juga mengakui bahwa baris kedua dapat dibaca sebagai apa adanya, yang menerangkan bahwa daun-daun itu muncul dulu bila tunasnya tumbuh, dan jalarannya tumbuh kemudian. Pada bacaan ini, kamma adalah bijinya, kesadaran adalah tunasnya, nama-dan-rupa adalah daunnya, dan keenam landasan indria dll. adalah jalarannya.
  9. Papanca-sanna-sankha-pahana. Ini adalah kelompok kata yang sangat sulit yang mempunyai arti yang sangat dalam, dan dalam berbagai konteks dimana ini muncul ada banyak terjemahan yang berbeda. Batu sandungannya adalah istilah penting papanca, yang sulit didefinisikan sekalipun oleh para komentator kuno sekalipun. Di sini saya mengikuti Bhikkhu Nanananda, yang dalam bukunya “Concept and Reality”, menginterpretasikannya sebagai “perkembangan konseptual”. Dengan kemelekatan, kesombongan dan pandangan salah, kita mengkonsepkan apa yang dicerap melalui indria dan melalui pikiran, mengubahnya dengan label-label tertentu apa yang secara alami merupakan sebuah situasi “hidup” yang berubah-ubah. Orang biasa mengukur dan mengevaluasi, memilih dan menolak, isi dari persepsinya dari sudut pandang ego atau “diri”, suatu konsep akhir yang harus dihancurkan jika penerangan telah dicapai. Sang Buddha dengan membuang kemelekatan dan lain-lainnya, tidak lagi mengkonsepkan dengan cara ini (lihat Dhp. 195, 254).
  10. Thiti. Dalam Netti (hal. 37) Thiti dikelompokkan sebagai “anusaya”: kecenderungan tersembunyi atau yang tak aktif terhadap keserakahan, kejijikan, kesombongan, dsb., yang mewujudkan dirinya jika kondisi yang cocok muncul.
  11. Atau rantai dan batang penghalang (dari kereta yang ditarik kuda) yaitu ikatan dan penghalang dari kemelekatan dan ketidaktahuan.
  12. Mahakaccana, yang mempunyai kelebihan dalam menguraikan Dhamma, adalah pembimbing Sona dalam 5.6 di atas.
  13. Kata-kata yang samar ini dapat diuraikan lebih lanjut dengan bantuan Comy. maka: “Seandainya saja tidak ada” perbuatan yang buruk (kilesa-kamma) yang sudah saya lakukan di masa lampau, makan “tidak akan ada bagiku” sekarang ini, dalam hidupku, pengalaman kematangannya (vipaka). Dan karena “tidak akan ada” perbuatan buruk lagi jika dia seorang Arahat, maka “tidak akan ada lagi” apapun yang jadi masak dalam masa yang akan datang.
  14. Nama suatu bangsa dan negara pada waktu Sang Buddha masih hidup.
  15. Mundaka samanaka: ini adalah istilah caci maki.
  16. Samawati, salah satu istri raja Udena, adalah pengikut awam wanita Sang Buddha yang menonjol dalam kebaikan cinta kasihnya (metta). Menurut Comy., api itu dengan sengaja dinyalakan oleh Magandiya, istri lain sang raja. Dia membenci Sang Buddha dan juga Samawati karena pengabdian Samawati kepada Sang Buddha. Cerita selengkapnya dan berbagai rencana yang dihasilkan oleh Magandiya terdapat dalam Buddhist Legends, 1:274-93.
  17. Ini adalah tiga tahap pertama dari jalan siswa yang luhur, yang terakhir dan keempat adalah menjadi arahat atau yang sempurna.
  18. Karena dapat bertindak dengan bebas dan tak tergantung pada ketidaktahuan.