Kamis, 01 Maret 2012

Ekadasaka

BAB SEBELAS

Kelompok Sebelas
207. Meditasi Keturunan Murni
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Natika di Aula Batu Bata. Kemudian Y.M. Sandha menghampiri Yang Terberkahi … dan Yang Terberkahi berkata kepadanya:
“Bermeditasilah dengan perenungan yang dilakukan oleh kuda keturunan murni, Sandha. Janganlah bermeditasi dengan perenungan kuda jantan liar.”
“Dan bagaimana, Sandha, kuda jantan liar bermeditasi? Ketika diikat di dekat palung makanan, seekor kuda jantan liar merenung, ‘Makanan! Makanan!’ Karena apa? Karena pada saat seekor kuda jantan liar diikat di dekat palung makanan, tidak muncul di dalam pikirannya, ‘Tugas apa yang akan diberikan oleh pelatihku hari ini, dan apa yang dapat kulakukan untuknya sebagai balasan?’ Dia hanya merenung: ‘Makanan! Makanan!’ Demikian juga, Sandha, manusia yang seperti kuda jantan liar, ketika pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubug kosong, dia berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan dihimpit oleh nafsu sensual. Dan dia tidak memahami bahwa meditasi memang benar-benar merupakan jalan keluar dari nafsu sensual. Dengan memupuk nafsu sensual di dalam diri, dia bermeditasi hilir mudik, bermeditasi ke sana kemari.1 Seperti itu juga, dia berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan dihimpit oleh niat jahat, kelambanan dan kemalasan, kegelisahan dan kecemasan, serta keraguan, dan tidak memahami jalan keluar dari semua itu. Dengan memupuk semua itu di dalam diri, dia bermeditasi hilir mudik, bermeditasi ke sana kemari. Dia bermeditasi bergantung pada tanah, bergantung pada air, bergantung pada api, bergantung pada udara, bergantung pada landasan ketakterbatasan ruang, bergantung pada landasan ketakterbatasan kesadaran, bergantung pada landasan ketiadaan, bergantung pada landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, bergantung pada dunia ini, bergantung pada dunia lain, bergantung pada apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disadari, diraih, dicari dan diperiksa oleh pikiran.2 Demikianlah meditasi manusia yang seperti kuda jantan liar.
“Dan bagaimana, Sandha, manusia yang seperti kuda keturunan murni bermeditasi? Ketika seekor kuda keturunan murni yang baik diikat di dekat palung makanan, dia tidak merenung, ‘Makanan! Makanan!’ Karena apa? Karena pada saat seekor kuda keturunan murni diikat di dekat palung makanan, muncul di dalam pikirannya, ‘Tugas apa yang akan diberikan oleh pelatihku hari ini, dan apa yang dapat kulakukan untuknya sebagai balasan?’ Dia tidak merenung, ‘Makanan! Makanan!’ Karena itu, kuda keturunan murni yang bagus menganggap penggunaan tongkat sebagai hutang, ikatan, denda dan kerugian. Demikian juga, Sandha, manusia yang seperti kuda keturunan murni, ketika pergi ke hutan, ke bawah pohon atau ke gubug kosong, dia tidak berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan dihimpit oleh nafsu sensual. Dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu sensual yang muncul. Seperti itu juga, dia tidak bermeditasi dengan pikiran yang dikuasai dan dihimpit oleh niat jahat, kelambanan dan kemalasan, kegelisahan dan kecemasan, serta keraguan, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari semua itu. Dia tidak bermeditasi bergantung pada tanah … bergantung pada apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disadari, diraih, dicari dan diperiksa oleh pikiran, namun dia toh tetap bermeditasi.3
“Ketika dia bermeditasi seperti ini, para dewa bersama dengan Indra, Brahma dan Pajapati memujanya dari jauh, dan berkata:4
Hormat bagimu, O manusia keturunan murni!
Hormat bagimu, O manusia agung!
Kami sendiri tidak memahami Engkau bermeditasi bergantung pada apa.
“‘Ketika Yang Terberkahi selesai berbicara, Y.M. Sandha berkata pada Beliau: “Tetapi bagaimana, Bhante, manusia keturunan murni yang baik bermeditasi? Jika dia tidak bermeditasi bergantung pada tanah atau pada apa pun namun dia toh tetap bermeditasi, bagaimana dia bermeditasi sehingga para dewa memujanya dari jauh?”
“Di sini, Sandha, bagi manusia keturunan murni yang baik, persepsi tentang tanah telah hilang sehubungan dengan tanah,5 persepsi tentang air telah hilang sehubungan dengan air, persepsi tentang api telah hilang sehubungan dengan api, persepsi tentang udara telah hilang sehubungan dengan udara, persepsi tentang landasan ketakterbatasan ruang … landasan ketakterbatasan kesadaran … landasan ketiadaan … landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi telah hilang sehubungan dengan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi … persepsi tentang dunia ini telah hilang sehubungan dengan dunia ini … persepsi tentang dunia lain telah hilang sehubungan dengan dunia lain … persepsi tentang apa pun yang dilihat, didengar, dirasakan dan disadari telah hilang di sana. Dengan bermeditasi seperti ini, Sandha, manusia keturunan murni yang baik tidak bermeditasi bergantung pada tanah atau bergantung pada hal-hal lain, namun dia toh tetap bermeditasi. Dan karena dia bermeditasi dengan cara ini, para dewa bersama Indra, Brahma dan Pajapati memujanya dari jauh, dengan berkata:
Hormat bagimu, O manusia keturunan murni!
Hormat bagimu, O manusia agung!
Kami sendiri tidak memahami Engkau bermeditasi bergantung pada apa
. “‘
(XI, 10)
208. Berkah-berkah Cinta Kasih
Jika, O para bhikkhu, pembebasan pikiran dengan cinta kasih dikembangkan dan ditumbuhkan, sering dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan seseorang, ditegakkan dengan mantap, disatukan, dan dijalankan dengan tepat, maka sebelas berkah bisa diharapkan. Apakah yang sebelas itu?
Dia tidur dengan tenang; dia tidak bermimpi buruk; dia dicintai oleh manusia; dia dicintai oleh makhluk bukan-manusia; dia akan dilindungi oleh para dewa; api, racun dan senjata tidak bisa melukainya; pikirannya mudah terkonsentrasi; kulit wajahnya jernih; dia akan meninggal dengan tidak bingung; dan jika tidak menembus lebih tinggi, dia akan terlahir kembali di alam Brahma.6
(XI, 16)
Catatan
1 Lihat Teks 125 dan Bab VI, no. 21. Lima hal yang “dipupuk di dalam diri” adalah lima penghalang.
2 AA berkata bahwa untuk bermeditasi “bergantung pada” (nissaya) sesuatu berarti bermeditasi dengan kemelekatan pada pencapaian meditasi. Deretan hal-hal yang ada ini sesuai dengan Teks 184, yang ditegaskan oleh pengulangan “apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disadari”. Semuanya dikelompokkan menjadi satu untuk memperoleh sebelas hal yang dibutuhkan untuk bab ini.
3 AA: “‘Dia tidak bermeditasi bergantung pada tanah’: dia tidak bermeditasi dengan persepsi empat jhana yang mengambil tanah sebagai objeknya, karena tidak adanya kemelekatan pada kenikmatan pencapaian. ‘Tetapi toh dia tetap bermeditasi’: dia bermeditasi di dalam pencapaian buah yang mempunyai Nibbana sebagai objeknya.”
4 Indra, Brahma dan Pajapati adalah dewa-dewa Veda tua yang diambil menjadi kelompok dewa Buddhis. Di sini mereka ditunjukkan sebagai makhluk di bawah Arahat, dan mereka tidak dapat memahami pikiran Arahat.
5 Pathaviyam pathavisañña vibhuta hoti. AA menjelaskan vibhuta di sini berarti ‘jelas’ (pakata). Dikatakan: “Persepsi tentang empat jhana yang muncul dengan tanah, dsb. sebagai objek telah menjadi jelas karena semuanya telah dilihat dengan pandangan terang sebagai tidak kekal, menderita, dan tanpa diri; transendensi ini terjadi karena praktek pandangan terang. Jadi dia bermeditasi di dalam pencapaian buah yang telah dicapai lewat rangkaian kebijaksanaan.”
Penjelasan ini meragukan, karena di dalam semua Nikaya tampaknya vibhuta selalu berarti “lenyap, hilang”. Lihat ekpresi vibhutasaññi di Sn 874, dan vibhutarupasaññissa di Sn 1113; di dua contoh itu vibhuta hanya dapat berarti “lenyap”, dan tampaknya tidak ada alasan yang memaksa untuk mengartikannya secara lain. Lagi pula, terjemahan ini secara sempurna konsisten dengan pengertian Teks 184.