Kamis, 29 Maret 2012

KAṆḌINA-JĀTAKA

“Betapa buruknya panah cinta,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya dalam kehidupan berumah tangga; berhubungan dengan Indriya-Jātaka45 di Buku Kedelapan. Sang Bhagawan berkata kepada bhikkhu tersebut, “Bhikkhu, karena wanita inilah, di kehidupan yang lampau engkau menemui ajalmu dan dipanggang di atas bara api yang berpijar.” Para bhikkhu kemudian memohon Sang Bhagawan menjelaskan apa yang selama ini tidak diketahui mereka karena kelahiran kembali.
[154] (Mulai sekarang, kita akan menghilangkan katakata mengenai permintaan para bhikkhu yang memohon penjelasan dan penjelasan tentang hal tidak diketahui oleh mereka akibat adanya kelahiran kembali; Kita hanya akan mengatakan, “menceritakan kisah kelahiran lampau ini.” Saat kata-kata itu diucapkan, semua akan dilengkapi dan diulangi seperti kalimat di atas, — permohonan, kiasan dengan latar membebaskan bulan dari awan, dan menjelaskan tentang apa yang tersembunyi karena adanya kelahiran kembali.)
____________________
Sekali waktu di Kerajaan Magadha, di saat raja memegang kekuasaan di Rājagaha, saat tanaman telah tumbuh, rusa-rusa berada dalam bahaya besar, sehingga mereka pindah ke dalam hutan. Saat itu, seekor rusa jantan yang tinggal di dalam hutan, tertarik pada seekor rusa betina yang datang dari tempat di sekitar pedesaan. Digerakkan oleh rasa cintanya, ia menemani rusa betina itu ketika kawanan rusa itu hendak kembali ke rumah mereka. Rusa betina itu berkata pada kepadanya, “Tuan, kamu adalah seekor rusa gunung yang benar-benar hanya tinggal di hutan, lingkungan di sekitar pedesaan penuh dengan bahaya dan risiko. Jadi, jangan bergabung bersama kami.” Namun, karena sangat menyukai rusa betina itu, ia memilih untuk pergi bersamanya, bukan tetap tinggal di hutan.
Ketika mereka tahu telah tiba saat dimana rusa-rusa akan turun gunung, para penduduk Magadha mengambil posisi mereka masing-masing untuk menyergap rusa-rusa itu di tengah jalan; di antara mereka, ada seorang pemburu yang sedang berbaring menanti di jalanan yang akan dilalui oleh rombongan itu. Mencium adanya manusia di tempat itu, rusa betina yang merasa curiga akan keberadaan pemburu yang akan menyergap mereka, meminta rusa gunung jantan itu berjalan di depan, sementara ia sendiri mengikuti dari belakang dengan jarak yang lumayan jauh. Hanya dengan satu anak panah, pemburu itu membunuh rusa gunung tersebut; rusa betina yang melihat kejadian itu, kabur secepat kilat. Pemburu itu keluar dari tempat persembunyiannya, menguliti rusa gunung dan menyalakan api untuk memasak daging segar itu di atas bara api. Setelah puas makan dan minum, ia membawa pulang sisa-sisa bangkai yang masih mengeluarkan darah itu dengan cara diikatkan di sebatang galah, agar anak-anaknya juga dapat menikmati daging tersebut.
Saat itu Bodihsatta merupakan dewa pohon yang menetap di pohon mangga, ia mengetahui apa yang akan melewati tempat itu. “Bukan ayah maupun ibu, namun nafsu itu sendiri yang membinasakan rusa bodoh itu [155]. Nafsu diawali dengan kebahagiaan, namun selalu diakhiri dengan kesedihan dan penderitaan, — kehilangan yang sangat menyakitkan dan lima bentuk penderitaan dari kemelekatan dan kemarahan. Menyebabkan kematian bagi orang lain adalah tindakan yang sangat keji di dunia ini; nama buruk juga untuk tempat dimana seorang wanita berkuasa dan memerintah; dan nama buruk jika laki-laki menyerahkan dirinya di bawah kekuasaan wanita.” Bersamaan itu, saat makhluk dewata lainnya yang berada di hutan itu bertepuk tangan dan mempersembahkan wewangian, bunga dan sejenisnya dengan penuh penghormatan, Bodhisatta merangkai ketiga keburukan itu dalam satu syair tunggal, dan menggaungkan suaranya yang merdu di hutan itu, saat mengajarkan kebenaran dalam bait-bait berikut ini :
Betapa buruknya panah cinta yang membuat laki-laki menderita!
Betapa buruknya tempat dimana wanita memegang puncak pimpinan,
Betapa buruknya si dungu yang membungkuk pada kekuasaan wanita!
Di dalam satu syair tunggal itu, terdapat tiga keburukan yang diulang oleh Bodhisatta, hutan menggemakan kembali apa yang diajarkannya tentang Kebenaran dengan penuh keunggulan dan keagungan dari seorang Buddha [156].
____________________
Saat ajaran-Nya berakhir, Sang Guru membabarkan Empat Kebenaran Mulia, dimana pada akhir khotbah, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Setelah menyampaikan kisah tersebut, Sang Guru mempertautkan kedua kisah dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut.
(Mulai sekarang, kita akan menghilangkan kata ‘setelah menceritakan kedua kisah itu’ dan hanya berkata ‘menunjukkan hubungan, dan seterusnya’, kata-kata yang hilang akan dilengkapi seperti sebelumnya.)
“Pada waktu itu,” kata Sang Guru, “bhikkhu yang menyesal itu adalah rusa jantan itu, istrinya saat ia masih merupakan perumah-tangga adalah rusa betina itu, dan Saya sendiri adalah dewa pohon yang membabarkan Kebenaran untuk menunjukkan keburukan dari nafsu (kesenangan indriawi).”
[Catatan : Lihat hal.330 dari Pañca-Tantra karya Benfey]
Catatan kaki :
45 No. 423.

Tidak ada komentar: