Kamis, 01 Maret 2012

Karaniya Metta Sutta

KHOTBAH CINTA-KASIH

1
[8]Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan,
Untuk mencapai Keadaan Damai adalah ini.
Dia harus mampu, benar, lurus,
Serta patuh dan lemah lembut dan tidak sombong,
2.
Berpuas hati, mudah ditopang,
Tidak sibuk, sederhana, dan tenang
Inderanya, berhati-hati, sopan
Tidak menjilat pada keluarga-keluarga.
3.
Dia sama sekali tidak akan melakukan hal sekecil apa pun
Yang oleh para bijak lainnya mungkin disesali.
[Kemudian dia berpikir] ’Gembira dan aman
‘Semoga hati setiap mahluk bergembira.
4.
‘Apapun mahluk bernafas yang ada,
‘Tak peduli apakah lemah atau kokoh,
‘Tak ada satu pun dikecualikan, panjang atau besar
‘Atau berukuran-sedang atau pendek atau kecil
5.
‘Atau gemuk, atau mereka yang terlihat atau tak-terlihat,
‘Atau yang berdiam jauh atau pun dekat,
‘Yang ada atau yang masih mencari dumadi,
‘Semoga hati setiap mahluk bergembira.
6.
‘Semoga tak seorang pun yang merusak yang lain
‘Atau mengabaikan dia sama sekali di mana pun;
‘Semoga mereka tidak saling mengharapkan celaka
‘Melalui provokasi atau pemikiran yang menentang.’
7.
Demikianlah, bagaikan seorang ibu [dengan kehidupannya
Menjaga putranya, anak satu-satunya
Dia akan mempertahankan secara tak terbatas
Pemikirannya untuk setiap mahluk hidup.
8.
Pemikiran cinta-kasihnya untuk seluruh dunia
Dia akan mempertahankannya secara tak-terbatas,
Ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling,
Tanpa penghalang, tanpa kebencian atau permusuhan.
9.
Ketika berdiri atau berjalan, juga duduk,
Atau berbaring selagi tidak mengantuk,
Dia akan melanjutkan kewaspadaan ini:
Inilah Kediaman-Luhur di sini, mereka berkata.
10.
[9]Tetapi dia yang tidak memperdagangkan pandangan-pandangan
Adalah luhur dengan penglihatan yang disempurnakan
Sehingga, bersih dari keserakahan terhadap nafsu-indera,
Dia pasti tidak akan muncul lagi di rahim mana pun juga.
Bab IX
Khotbah Cinta-Kasih
(Metta-Suttam)
1.      Sekarang tiba giliran untuk komentar tentang Sutta Cinta-kasih, yang ditempatkan setelah Sutta Simpanan-Harta. Jadi, seteah menyatakan tujuan menempatkannya di sini, berikutnya
Saya akan mulai menjelaskan
Sumbernya, yang juga menjelaskan
Oleh siapa hal itu disampaikan, kapan, di mana, mengapa,
Dan kemudian saya akan memberikan komentar.
2.      Di sini, keelokan jasa kebajikan yang didasarkan atas berdana, moralitas, dsb., telah dinyatakan di [Sutta] Simpanan Harta, dan [Sutta Cinta-Kasih ini ditempatkan sesudahnya di sini untuk menunjukkan] betapa besarnya bantuan yang diberikan oleh cinta-kasih pada keelokan jasa kebajikan, karena bila cinta-kasih dipraktekkan terhadap para mahluk, buah [keelokan jasa kebajikan] itu menjadi sangat besar dan mampu membawa kemajuan sampai pada tingkat Pencerahan. Atau pilihan lain, bagi mereka  yang telah memasuki Sasana melalui sarana Perlindungan dan telah memantapkan diri di dalam moralitas melalui Sarana Peraturan-peraturan Pelatihan, Beliau telah menunjukkan subjek meditasi dengan Pernyataan Si anak Lelaki dapat menyebabkan ditinggalkannya kebodohan batin; kemudian dengan Sutta Pertanda-Baik, perlindungan-diri [ditunjukkan] sebagai sifat pertanda-baik di dalam kemunculan [perbuatan meninggalkan]itu, sedangkan melalui Sutta Permata ditunjukkan perlindungan oranng-orang lain yang sejalan dengan [sifat pertanda-baik] itu; kemudian dengan Sutta Di-Luar-Dinding [ditunjukkan] kegagalan dalam kemunculan [perbuatan meninggalkan] dari jenis yang sudah disebutkan, dan khotbah itu menunjukkan jenis-jenis mahluk tertentu di antara para mahluk yang telah disebutkan di Sutta Permata; dan kemudian dengan Sutta Penyimpanan-Harta ditunjukkan keelokan yang merupakan kebalikan dari kegagalan yang telah disebutkan di Sutta Di-Luar-Dinding. Tetapi sejauh ini,belum ditunjukkan subjek meditasi yang mampu menyebabkan ditinggalkannya kebencian. Nah, untuk menunjukkan subjek meditasi yang mampu menyebabkan ditinggalkannya kebencian maka Sutta Cinta-Kasih ini ditempatkan di sini; karena dengan demikian Kitab-kitab Minor diselesaikan secara total. Beginilah tujuan menempatkan sutta tersebut di sini.
[Sumber]
3.      Di dalam Susunan di atas dikatakan:
‘Saya akan mulai menjelaskan
Sumbernya, yang juga menjelaskan
Oleh siapa hal itu disampaikan, kapan, di mana, mengapa,
Dan kemudian saya akan memberikan komentar.’
Di sini, [232] Sutta Cinta-Kasih ini disampaikan oleh Yang Terberkahi, bukan oleh siswa-siswa Beliau, dsb.; dan hal itu terjadi pada waktu para Bhikkhu- yang telah diganggu oleh para dewa di lereng pegunungan Himalaya- menghadap Yang Terberkahi; sutta tersebut diucapkan pada waktu itu di Savatthi sebagai suatu objek meditasi dengan tujuan [memberikan] Perlindungan yang aman bagi para Bhikkhu tersebut. Dari awalnya, harus dipahami bahwa demikianlah penjelasan ringkas tentang sumbernya menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut
4.      Tetapi penjelasannya secara detail harus dipahami sebagai berikut. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi ketika [waktu untuk] Menetap selama Masa Hujan1 telah mendekat. Pada kesempatan itu, banyak bhikkhu dari banyak daerah-yang ingin menetap selama musim hujan di berbagai tempat setelah memperoleh subjek meditasi dari Yang Terberkahi-menghadap Yang Terberkahi. Di sana Beliau menjelaskan berbagai subjek meditasi yang cocok untuk delapan puluh empat ribu kecenderungan tempramen dengan cara berikut, yaitu: bagi mereka yang memiliki tempramen bernafsu, Beliau menunujukkan Sifat-Menjijikkan sebagai subjek meditasi yang ada sebelas jenis- seperti misalnya dengan kesadaran dan tanpa kesadaran;2 bagi mereka yang memiliki tempramen membenci, subjek meditasi yang berunsur-empat yang bermua dengan Cinta-kasih; bagi mereka yang memiliki tempramen bodoh, subjek meditasi yang dilandasi Kewaspadaan-akan-kematian, dan sebagainya; bagi mereka yang memiliki tempramen pikiran-spekulatif, Kewaspadaan-akan-Nafas, Universal Tanah, dsb.; mereka yang memilki tempramen bakti, subjek meditasi yang terdiri dari Perenungan-perenungan tentang Yang Tercerahkan, dsb.; dan bagi mereka yang memiliki tempramen cerdas (menemukan), Definisi empat elemen.
5.      Maka ketika [sekelompok] liam ratus bhikkhu masing-masing telah mempelajari satu objek meditasi di hadapan Yang Terberkahi dan mencari tempat yang cocok di dekat desa sebagai penopang dana makanan, akhirnya di suatu desa di luar daerah itu mereka melihat sebuah tempat yang merupakan bagian dari pegunungan Himalaya. Walaupun permukaan gemerlap bagaikan kristal biru kwarsa, tempat itu memilki hutan lebat yang teduh, sejuk, dan hijau. Ada pula, bentangan tanah berpasir yang menyerupai jarring mutiara atau hamparan perak, dan dilengkapi dengan mata air yang bersih dan sejuk. Ketika para bhikkhu telah melewatkan satu malam di sana dan fajar hamper menyingsing, mereka melakukan apa yang merupakan kebutuhan jasmani dan kemudian pergi untuk mengumpulkan dana makanan ke kota yang tidak jauh. Kota itu dihubungkan dengan seribu kelompok dan dibangun3 sebagai tempat tinggal komunitas, dan orang-orang di sana [233] adalah orang yang percaya dan memiliki keyakinan. Karena  penduduk di sana sulit melihat orang-orang yang meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tak-berumah, maka mereka amat bahagia dan gembira ketika melihat para Bhikkhu itu. Mereka memberikan dana makanan serta memohon agar para Bhikkhu itu tinggal di sana selama tiga bulan [keharusan untuk berdiam selama musim hujan] penuh, dan mereka membangun lima ratus ruang-kerja yang dilengkapi dengan segala kebutuhan seperti misalnya tempat tidur, kursi, bejana untuk air minum dan air cuci, dan sebagainya. Pada hari berikutnya, para bhikkhu pergi ke kota lain untuk mengumpulkan dana makanan dan di sana penduduknya pun melayani mereka dengan cara yang sama dan memohon mereka untuk tinggal selama Musim Hujan. Para Bhikkhu setuju karena tidak ada halangan. Mereka kembali masuk hutan, dan di situ mereka [mengatur untuk menghimpun]energi siang malam. Untuk mengetahui waktu,4mereka menggunakan balok-kayu yang dipukul, dan dengan berdiam dalam perhatian bernalar, mereka pergi ke akar pohon dan duduk.
6.      Para dewa pohon merasa kacau melihat keberanian para bhikkhu yang luhur itu. Maka mereka turun dari istana-istana mereka sendiri dan berkelana kian kemari dengan anak-anak mereka. Sama halnya ketika sekelompok rumah disita dari penduduk desa oleh raja atau menteri-menteri kerajaan  dan para penghuni rumah-rumah itu –yang harus mengosongkannya dan pergi untuk hidup di tempat lain- memandang dari jauh [sambil bertanya-tanya] ‘Kapan mereka akan pergi ?’, demikian juga para dewa itu turun dari istana-istana mereka dan berkelana kian kemari, memandang dari jauh [dan bertanya-tanya] ‘Kapan mereka yang terhormat ini akan pergi?’ Selanjutnya mereka berpikir demikian ‘Para bhikkhu yang memasuki periode pertama tinggal selama Musim Hujan tentunya akan tetap tetap tingga selama tiga bulan; tetapi dengan anak-anak ini kia bisa meninggalkan istana kita selama itu. Matilah kita tunjukkan pada para bhikkhu itu subjek yang akan membuat mereka ketakutan’. Maka pada malam hari ketika tiba waktunya bagi para Bhikkhu untuk mempraktekkan Dhamma para bhikkhu, mereka menciptakan bentuk-bentuk mahluk mengerikan. Dan berdiri di depan setiap bhikkhu, mereka mengeluarkan suara yang menakutkan. Ketika para Bhikkhu melihat berbagai bentuh dan mendengar suara itu, hati mereka pun gemetar, [234] dan mereka menjadi pucat. Kulit mereka berubah menjadi kuning, dan mereka metidak lagi dapat menyatukan pikiran mereka. Ketika mereka diganggu lagi dan lagi oleh rasa takut ini, dengan perhatian yang tak-terpusat mereka me,upakan kewaspadaan. Dan begitu mereka melupakan perhatian mereka, para dewa menggangu mereka dengan berbauan busuk sebagai objek. Pikiran mereka seakan bergelimang di dalam bau busuk, dengan rasa tertekang di kepala mereka. Tetapi mereka tidak saling mengungkapkan gangguan-gangguan  mahluk itu satu sama lain.
7.      Kemudian pada suatu hari, ketika semuanya telah berkumpul untuk melayani Thera Senior Sangha, Thera ini bertanya kepada mereka ‘Sahabat-sahabat, ketika kalian dulu masuk hutan ini, warna kulit kalian murni dan terang selama beberapa hari dan kemampuanmu jernih; tetapi kalian sekarang kurus, pucat, dan kuning. Apa yang tidak cocok bagi kalian di sini?’Maka seorang bhikkhu menjawab ‘Yang Mulia Bhante, di malam hari saya melihat dan mendengar objek mengerikan yang begini-begitu dan saya mencium bau ini-dan itu, sehingga  pikiran saya tidak terkonsentrasi.’ Semua bhikkhu memberitahukan hal yang sama. Thera Senior tersebut berkata ‘Sahabat-sahabat, dua cara untuk Memasuki Masa Berdiam di Musim Hujan telah dijelaskan oleh Yang Terberkahi (A. i. 51), dan tempat berdiam ini tidak sesuai bagi kita. Jadi, marilah kita pergi menghadap Yang Terberkahi dan bertanya tentang tempat berdiam lain yang akan sesuai bagi kita.
8.      Para bhikkhu lain setuju. Maka mereka semua merapikan tempat berdiam mereka, dan kemudian mereka mengambil mangkuk dan jubah [luar] mereka. Tanpa memberitahu siapa pun- karena mereka tidak memiliki kemelekatan pada penduduk itu- mereka pergi berkelana  secara bertahap menuju Savatthi. Lalu mereka menghadap Yang Terberkahi. Ketika melihat para bhikkhu itu, Yang Terberkahi pun berkata, ‘Para Bhikkhu, suatu peraturan pelatihan telah diberitahukan olehku yang mengatakan bahwa tak seorang pun boleh pergi berkelana selama Musim Hujan (Vin. i. 138].[235] Mengapa kalian berkelana ?’
9.      Mereka memberitahukan apa yang telah terjadi kepada Yang Terberkahi. Yang Terberkahi mengarahkan perhatian ke seluruh Jambudipa, tetapi Beliau tidak melihat bahkan suatu tempat selebar kursi berkaki-empat pun yang cocok bagi mereka untuk menetap. Kemudian Beliau memberitahu mereka ‘Para Bhikkhu, tidak ada tempat menetap lain yang cocok bagi kalian. Hanya dengan tinggal di sanalah kalian dapat mencapai padamnya noda-noda. Jadi pergi dan tinggallah di tempat menetap yang sama itu. Tetapi bila engkau ingin bebas dari rasa takut pada para dewa itu, maka pelajarilah perlindungan ini; karena ini akan menjadi perlindungan dan sekaligus subjek meditasi bagimu’. Dan beliau menyampaikan Sutta ini.
10.  [Tetapi]Menurut yang lain, [Beliau mengatakan] ‘Jadi pergi dant tinggallah di tempat menetap yang sama itu’. Sesudah mengatakan demikian, Yang Terberkahi menambahkan ‘Seorang Bhikhhu yang berdiam di hutan harus tahu [prosedur] perlindungan, yaitu, setiap petang dan pagi melakukan dua [pancaran dari] Cinta-Kasih, dua[dari] Perlindungan, dua Sifat-sifat yang Menjijikkan, dan dua Kewaspadaan akan Kematian, dan juga dengan menyebutkan Delapan Landasan Prinsip untuk Rasa Kemendesakan-dan Delapan Landasan Prinsip untuk Rasa Kemendesakan adalah kelahiran, kematian, usia tua, penyakit, dan kematian, kemudian penderitaan yang di alam-alam kekurangan sebagai yang kelima, penderitaan yang berakar dalam pencarian untuk makanan’. Dan [mereka berkata bahwa] ketika Yang Terberkahi telah memberitahu para bhikkhu itu tentang prosedur perlindungan, kemudian Beliau menyampaikan Sutta ini demi untuk Cinta-Kasih, demi untuk Perlindungan, dan demi untuk jhana [yang dapat diperoleh melalui cinta-kasih yang akan digunakan] sebagai landasan untuk Pandangan Terang [ke dalam Tiga Ciri, yaitu ketidakkekalan, penderitaan, dan Tanpa-diri].
11.  Demikianlah penjelasan sumber, yang menjelaskan juga kata-kata ‘oleh siapa itu diucapkan, kapan, di mana, mengapa’, harus dipahami secara mendetil. Dan pada titik ini apa yang tertulis di dalam Susunan, yaitu,
‘Saya akan mulai menjelaskan
Sumbernya, yang juga menjelaskan
Oleh siapa hal itu disampaikan, kapan, di mana, mengapa’,
[236]telah diberikan secara mendetil dalam semua aspeknya. Sekarang, karena juga dikatakan
‘Dan kemudian saya akan memberikan komentar’,
maka dimulailah komentar mengenai arti khotbah ini yang sumbernya baru saja dijelaskan dengan cara demikian. Di sini, pertama-tama akan diberikan komentar-kata mengenai bait pertama:
[Bait 1]
Karaniyam atthakusalena [yan tam santam padam abhisamecca.
Sakko uju ca suju ca suvaco c’assa mudu anatimani]
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan,
[‘Untuk mencapai Keadaan Damai adalah ini.
‘Dia harus mampu, benar, lurus,
‘Serta patuh dan lemah lembut dan tidak sombong,]’
[Bait 1:komentar-arti]
12.  Harus dilakukan : karaniyam=katabbam (gerund alternative); pantas dilakukan (karanaraham). Kebaikan(attha) adalah Sang Jalan;atau pilihan lain, apa pun yang bermanfaat untuk diri sendiri (attano hitam) –karena sudah seharusnya dihormati (araniya)-5 adalah ‘kebaikan’ (attha). Dan ‘karena sudah seharusnya dihormati’ berarti karena sudah seharusnya didekati. Oeh seseorang yang terampil dalam kebaikan: atthakuselana=at the kusalena (ketentuan bentuk majemuk); oleh orang yang pandai dalam kebaikan, itulah yang dimaksudkan. Apa (yam): bisa berarti (1) kata ini merupakan [kata ganti] tak-tentu nominative [yang sesuai dengan karaniyam], dan ini (tam) merupakan [kata ganti] tertentu akusatif [yang sesuai dengan satam padam], atau  bisa juga berarti (2) kata yam tam (di sini ‘hal itu yang’) keduanya merupakan nominative [yang sesuai dengan karaniyam], dan [hanya] satam padam (‘keadaan Damai6 saja yang merupakan akusatif. Di sini, yang terakhir ini menunjuk pada pemadaman, karena hal itu adalah ‘kedamaian’ (satam) melalui cirinya dan merupakan ‘keadaan’ (padam) melalui sifatnya yang dapat diraih (pattabbata). Mencapai(abhisameca) : telah menemui (abhisamagantva).
13.  Dia dapat (sakkoti), jadi dia mampu (sakko); yang dimaksudkan adalah bahwa dia mampu, memiliki kekkuatan. Benar (uju): terikat kepada kebenaran moral (ajjava). Dia sungguh-sungguh benar (sutthu uju), jadi dia lurus (suju). Bagaimana pun juga, berbicara (vaca) [kepadanya] adalah mudah (sukha), jadi dia patuh (suvaco-harfiah ‘mudah diajak bicara’).7 Dia harus: assa=bhaveyya (bentuk tata bahasa alternative). Lemah lembut (mudu-harfiah ‘dapat dibentuk’) terikat pada kelembutan (maddava). Tidak sombong: anatimani=na atimani (negative alternative).
[Bait 1 paruh pertama: komentar mengenai arti)
14.  Ini adalah komentar mengenai arti dua anak kalimat tersebut:
‘Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan,
Untuk mencapai Keadaan Damai adalah ini.’
15.  Di sini,ada hal-hal yang harus dilakukan dan ada hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Di sin, ringkasnya apa yang harus dilakukan adalah tiga Pelatihan8 dan apa yang seharusnya tidak dialkukan terdiri dari kegagalan dalam moralitas, kegagalan dalam pandangan-pandangan, kegagalan dalam perilaku, kegagalan dalam penghidupan, dan sebagainya.
16.  Demikian pula, ada orang yang terampil dalam kebaikan dan ada orang yang tak memiliki ketrampilan dalam kebaikan. Di sini, orang yang tak memiliki  ketrampilan dalam kebaikan adalah orang yang telah meninggalkan keduniawian dan masuk ke dalam Sasana, namun tidak membaktikan diri secara benar, yang moralitasnya robek. (lihat A. iii.54), yang menjalani kehidupan dengan bergantung pada dua-puluh-satu9 jenis pencaharian yang tidak benar –yaitu, bergantung [sebagai bhikkhu] pada memberikan (memperdagangkan) bamboo, memberikan dedaunan, memberikan bunga-bungaan, memberikan buah-buahan, memberikan tusuk gigi, memberikanair pembasuh mulut, memberikan fasilitas mandi, memberikan bubuk-mandi, memberikan tanah liat, pujian kosong, bicara melebih-lebihkan, menimang-nimang, berkomunikasi sambil berjalan, mempraktekkan pengobatan, bertindak sebagai kurir, menjadi pesuruh, [237] memperoleh dana makanan yang diberikan sebagai dana makanan itu, ilmu tentang tanah, ilmu tentang lading, ilmu astrologi, ilmu tentanga anggota tubuh-, yang pergi ke tempat berunsur enam yangsalah –yaitu, ‘Wanita tuna-susila sebagai tempat hiburan, atau janda, perawan tua, orang kasim, bhikkhuni, atau kedai-minum; yang hidup berhubungan dengan raja, menteri raja, penganut sekte lain, siswa dari penganut sekte lain, dengan hubungan yang tidak sesuai [dengan Dhamma], yang berhubungan dekat, sering mengunjungi, dan menghormati keluarga-keluarga yang tidak percaya, tanpa keyakinan, suka melecehkan dan suka menfitnah dan tidak menginginkan kebaikan melainkan menginginkan kejahatan, ketidak-nyamanan, dan apa yang tidak terbebas dari ikatan, di mana menyangkut para bhikkhu [dan bhikkhuni dan umat pria] dan pengikut perempuan’ (Vbh. 246).
17.  Tetapi orang yang terampil dalam kebaikan adalah orang yang meninggalkan keduniawian dan masuk ke dalam Sasana ini, yang membaktikan diri dengan benar, yang meninggalkan pencahariannya yang tidak benar dan ingin memantapkan diri dalam Keluhuran Kemurnian Berunsur-empat (lihat Vis. Bab 1, § 42 / hal.15), menjalankan Pengendalian-Diri melalui Kemampuan pada bagian Kewaspadaan, Kemurnian-Penghidupan pada bagian Energi, dan Penggunakan [secara benar] Kondisi-kondisi-Kebutuhan [bagi kehidupan bhikkhu] pada bagian Pemahaman.10
18.   Dan orang itu juga terampil dalam Kebaikan bila dia memurnikan Pengendalian-Diri melalui Peraturan Patimokkha dengan sarana pemurnian di dalam tujuh kategori pelanggaran (lihat Bab v, §129), [memurnikan] Pengendalian-Kemampuan melalui sarana tidak-membangkitkan ketamakan [dan niat jahat]ketika objek-objek telah menyerang enam pintu [dari lima kemampuan yang bermula dengan mata, dan kemampuan pikiran], [memurnikan] penghidupan melalui sarana menghindari pencarian yang tidak pantas dan dengan menggunakan apa yng dipuji oleh para bijaksana dan dipuji oleh Para Yang Tercerahkan serta siswa-siswa mereka, [memurnikan] penggunaan [empat] kondisi-kebutuhan melalui sarana kajian yang sudah disebutkan,11 dan [memurnikan] Kesadaran Penuh (lihat M. i.57) melalui sarana kajian, dalam hal pengubahan postur, tujuan, [kesesuaian, tempat berdiam, dan tanpa-kebodohan (lihat MA. i. 253-70)]
19.  Dan orang itu juga terampil dalam kebaikan bila dia mengetahui bahwa ‘moralitas dibersihkan dengan pengetahuan, seperti halnya kain kotor dibersihkan dengan air-kacang atau kaca cermin dengan abu, atau emas dengna perapian, dan dia membersihkan moralitasnya dengan mencucinya di dalam air pengetahuan. Dan itulah ketika dia menjaga Kategori Moralitasnya12-nya sendiri dengan amat rajin, seperti halnya induk burung menjaga telur-telurnya, seperti binatang yang menjaga ekornya, seperti ibu yang anaknya hanya satu menjaga anak tunggal yang amat dicintainya, atau seperti orang bermata-satu menjaga mata satu-satunya [bandingkan Vis. Bab I, § 98 /hal. 36],[238] dan dia memeriksanya pagi dan petang smpai dia melihat tidak ada sedikit pun kesalahan di sana.
20.  Dan orang itu juga terampil dalam kebaikan bila dia menjadi mantap dalam moralitas yang memberikan tanpa-penyesalan, bila dia mendorong dirinya sendiri dengan cara menekan13 kekotoran batin dan pada waktu mengejar hal itu dia melakukan pekerjaan awal pada Universal (kasina: lihat Vis. Bab iv-v), dan bila –ketika melakukan pekerjaan awal pada Universal itu-dia membangkitkan pencapaian [jhana].
21.  Tetapi puncak ketrampilan dalam kebaikan itu terjadi ketika –setelah muncul dari suatu pencapaian- dia memahami tekad-tekad(Vis. Bab xviii-xxi) sampai dia [akhirnya] mencapai tingkat Arahat.
22.  Di sini, mereka ‘yang terampil dalam kebaikan, yang dipuji karena mantap dalam hal moralitas yang memberikan tanpa-penyesalan, atau juga [dalam hal] mereka mengerahkan diri di dalam ‘cara menekan kekotoran batin’, [atau dalam hal mereka mencapai] sang jalan dan buahnya14 adalah ‘mereka yang terampil dalam kebaikan’ dalam pengertian ini. Dan para bhikkhu itu termasuk jenis ini.
23.  (1)Jadi Yang Terberkahi mengatakan Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan (karaniyam atthakusalena) dengan mengacu para bhikkhu-bhikkhu tersebut, tetapi Beliau memberikan ajaran itu dengan memakai kata ‘seseorang’. Kemudian , ketika mereka bertanya-tanya di dalam hati  ‘Apa yang harus dilakukan?’, Beliau memberitahukan Untuk mencapai Keadaan Damai adalah ini (yan tam santam padam abhisamecca). Nah, maksudnya [dapat dipahami] sebagai berikut. [Hal itu adalah] apa(yam) yang harus dilakukan (karaniyam)oleh orang yang menginginkann, setelah [berusaha] untuk mencapai (abhisamecca)[hal itu] melalui penembusan, untuk berdiam di dalam pemadaman ini (tam), yaitu Keadaan Damai (santam nibbana-padam), yang dipuji oleh para Yang Tercerahkan dan yang serupa. 15Dan di sini, ‘apa’ (yam) menyiratkan hanya praktek16 yang ‘harus dilakukan’(karaniyam)-sebagaimana dikatakan di awal baris bait ini; tetapi kemudian anak kalimat ‘untuk mencapai Keadaan Damai adalah ini’ (Tam santam padam abhisamecca) harus dipahami sebagai anak kalimat yang artinya masih perlu dilengkapi, sehingga di atas (pada alinea ini)17 dikatakan ‘oleh’orang yang menginginkan….untuk berdiam di dalam’.
24.  (2) Atau pilihan lain, maksudnya dapat dipahami sebagai berikut. Ketika melalui kabar angina dsb. Sampai pada hal ini, yaitu,’Mencapai (abhisamecca)Keadaan Damai’, dengan pemahaman duniawi dia mengetahui Keadaan-padam itu (nibbana-padam) sebagai keadaan Damai (santam). Dan ketika dia ingin tiba di tempat itu, maka ‘apa’ itu (yan tam) adalah tepat karena praktek yang harus dilakukan (karaniyam) olehnya adalah ini (tam)yang harus dilakukan oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan (atthakusalena).
25.  (3) Atau pilihan lain, telah dikatakan bahwa ada sesuatu yang ‘harus dilakukan oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan’ (karaniyam atthukusalena), dan [para bhikkhu] bertanya-tanya di dalam hati ‘Apa?’, dan kemudian [Yang Terberkahi] memberitahu ‘Keadaan Damai yang harus dicapai adalah ini’ (yan tam santam padam abhisamecca), yang maksudnya dapat dipahami sebagai berikut. Setelah [berusaha] untuk mencapai (abhisamecca) dengan pemahaman duniawi Keadaan Damai (santam padam), apa (yam) yang harus dilakukan (karaniyam)[adalah] ini (tam) –apa yang harus dilakukan (katabbam)adalah apa yang seharusnya dilakukan (karaniyam); hanya18 itulah yang pantas dilakukan (karanaraham), begitulah maksudnya-. Tetapi apakah hal itu?[239]Apa lagi yang harus dilakukan kecuali [menjalankan hal itu] yang merupakan sarana untuk mencapai [keadaan] itu? Dan, tentu saja, [sarana] ini sudah dinyatakan melalui anak kalimat permulaan dengan petunjuk mengenai Tiga Pelatihan dalam pengertian bahwa hal itu pantas dilakukan. Kami telah mengatakan sebanyak itu di dalam komentar-arti, yaitu,’Ada hal-hal yang harus dilakukan dan ada hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Di sini, ringkasnya, yang harus dilakukan adalah Tiga Pelatihan (§ 15)’.19
26.  Walaupun ada beberapa bhikkhu yang memahaminya, ada beberapa yang tidak memahaminya karena ajaran itu amat singkat. Oleh sebab itu, untuk membuat agar mereka yang belum memahami bisa paham, Beliau mengucapkan paruh bait kedua, yaitu,
‘Dia harus mampu, benar, lurus,
‘Serta patuh dan lemah lembut dan tidak sombong’,
yang menjelaskan secara mendetik apa yang terutama harus dijalankan oleh seorang bhikkhu yang berdiam di hutan.
[Bait paruh-kedua:komentar mengenai arti]
27.  Apa yang dimaksudkan ? seorang bhikkhu yang berdiam di hutan, yang ingin berdiam di dalam Keadaan Damai, setelah berusaha untuk mencapainya, atau yang, setelah berusaha untuk mencapainya dengan [hanya] pemahaman duniawi, sedang mempraktekkan jalan yang akhirnya tiba pada di situ,20 harus mampu (sakkoassa) dengan memiliki faktor-faktor usaha21 yang kedua dan keempat untuk berpraktek menebus kebenaran-kebenaran tanpa memperhatikan tubuh dan kebaikan. Demikian pula, dia akan mampu, yaitu, pandai, tidak menggangur, mampu, di dalam kerja awal untuk suatu Universal (kasina: lihat Vis. Bab iv), di dalam menjalankan tugas-tugas, dsb., dan22 di dalam mereparasi mangkuk, jubah, dan sebagainya sendiri, dan di dalam hal-hal lain –baik yang besar maupun yang kecil-yang harus dilakukan untuk hidup bersama dalam kehidupan Luhur.
28.  (Berada dalam keadaan)23 mampu, dia juga harus benar (uju) dengan memiliki faktor usaha ketiga. 24Karena benar, alih-alih merasa puas dengan menjadi benar satu kali, dia akan lebih benar secara menyeluruh (sutthutaram uju), [yaitu,lurus (suju)] dengan cara berulang-ulang meningkatkan tiada-kendor seumur hidupnya. Atau pilihan lain, dia benar melalui sarana tidak-menipu dan lurus melalui sarana tidak-berbohong. Atau, dia benar karena meninggalkan penyelewengan tubuh dan ucapan, serta lurus karena meninggalkan penyelewengan pikiran. Atau, dia benar karena tidak-mempublikasikan sifat-sifat khusus apa pun [mengenai jhana dan sang jalan] yang tidak ada [di dalam dirinya] (lihat Vin. Parajika 4) dan lurus karena tidak-menahan perolehan yang muncul karena sifat-sifat khusus yang tidak-ada [semacam itu]. Jadi, dia harus benar dan lurus dengan kemurnian tujuan-tujuan dan sarana-sarana25 yanng didasari meditasi pada objek-objek [konsentrasi murni] dan pada [tiga ciri umum] [yaitu, ketidakkekalan dsb.]yang masing-masing dilakukan melalui pasangan Pelatihan pertama, [yaitu, Moralitas yang Lebih Tinggi dan Kesadaran yang Lebih Tinggi,] dan melalui pasangan ketiga, [yaitu, Pemahaman yang Lebih Tinggi.]26
29.  Dan dia bukan hanya benar dan lurus, melainkan juga patuh (suvaco)27; orang yang –bila diberitahu- ‘Hal ini seharusnya tidak dilakukan’ mengatakan ‘Kamu lihat apa? Kamu dengar apa? Kamu ini siapa sehingga berbicara padaku; apakah kamu Penahbis, Guru, teman, kenalan?’ atau menghalangi dengan diam tidak bicara atau menerima [teguran] tetapi tidak melaksanakannya, berarti jauh dari mencapai rasa hormta;tetapi orang yang-bila dinasehati-berkata ‘Bagus, Yang Mulia, ucapan yang bagus. Apa yang tercela [240] memang sulit dilihat di dalam diri sendiri. Jika engkau melihatku lagi demikian, beritahulah aku karena welas kasih. Semoga saya bisa lama memperoleh nasihat darimu’ dan mempraktekkan sesuai dengan yang diajarkan, berarti tidak jauh dari mencapai rasa hormat. Itulah sebabnya dia patuh (mudah diajak bicara) karena menerima [nasihat orang lain], dan melaksanakannya.
30.  Dan dia lemah lembut (mudu: harfiah ‘dapat diolah’) sebagaimana dia patuh. Dia tegas dalam hal  tidak mempraktekkan sifat dapat diolah ini terhadap umat awam ketika dia didesak oleh mereka untuk pergi menyampaikan pesan, disuruh-suruh, dsb., namun dia tetap bersifat dapat diolah (lemah lembut) dalam hal melaksanakan28 seluruh Kehidupan Suci bagaikan emas murni yang akan diolah menjadi ini dan itu (lihat misalnya M. ii.18). Atau pilihan lain, kata lemah lembut [berarti] dia tanpa-seringai (lihat Vis. § 61/hal. 23), berwajah-terbuka, mudah diajak bicara, dan bersifat ramah seperti arungan yang baik yang mudah didekati.
31.  Dan dia tidak hanya lemah lembut tetapi juga tidak sombong (anatimani); dia tidak sombong terhadap orang lain karena adanya alasan kesombongan seperti kelahiran, ras, dsb. Dia akan berdiam seperti Sariputta Thera yang berpikiran-setara [sama terhadap semua] tak peduli apakah kasta buangan atau pangeran (A. iv. 376).
[Bait 2]
32.  Demikian Yang Terberkahi memberitahukan sebagian apa yang harus dilakukan-khususnya oleh bhikkhu yang berdiam di hutan-yang menginginkan, setelah berusaha untuk mencapai Keadaan Damai, untuk berdiam di dalamnya, atau bhikkhu yang mempraktekkan sang jalan untuk sampai pada[keadaan] itu. Karena ingin mengatakan ebih daripada itu, Beliau mengucapkan bait selanjutnya:
Santussako ca subharo ca appakicco ca sallahukavutti
Santindriyo canipako ca apagabbho kulesu ananugiddho

‘Berpuas hati, mudah ditopang,
‘Tidak sibuk, sederhana, dan tenang
‘Inderanya, berhati-hati, sopan
‘Tidak menjilat pada keluarga-keluarga.’
33.  Di sini, dia puas hati (santussati) dengan kepuasan berunsur-duabelas (santosa) dari jenis yang teah dinyatakan pada ‘Dan berpuas hati serta bersikap penuh terima kasih’ (Bab v. § 161 dst.), jadi dia berpuas hati (santussako). Atau pilihan lain, dia memperoleh kepuasan hati (tussati), jadi dia adalah orang yang merasa puas (tussaka); dia puas dengan dirinya sendiri (SAkena TUSSAKA), dan dia adalah orang yang puas dengan apa yang ada (SANtena TUSSAKA), dan dia adalah yang puas secara merata [dengan semuanya] (SAMena TUSSAKA), jadi dia merasa puas (santussaka). Di sini, yang disebut ‘dirinya sendiri’ adalah yang dimaksudkan dalam Upacara Penahbisan Penuh demikian ‘Bergantung pada gumpalan-gumpalan dana makanan’ (Vin. i. 58,96), dan apa pun di antara empat kondisi-kebutuhan [untuk kehidupan bhikkhu] yang telah diterima olehnya. Dia disebut ‘orang yang puas dengan dirinya’ bila –tanpa menunjukkan perubahan [ekspresi] apa pun pada saat menerima atau pada saat menggunakannya-dia menggunakannya tidak peduli dananya baik atau buruk, apakah diberikan dengan hati-hati atau sembrono. Yang disebut ‘apa yang ada’ adalah apa yang nyata dan telah diperoleh oleh dirinya sendiri. [241] Dia disebut ‘orang yang puas dengan itu saja tanpa berkeinginan untuk mendapatkan lebih daripada itu, dan dengan demikian dia meninggalkan banyaknya keinginan.29 Yang disebut ‘secara merata [dengan semuanya]’ adalah meninggalkan persetujuan dan penolakan sehubungan dengan yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Dia disebut ‘orang yang puas secara merata [dengan semuanya]’ bila dia puas dengan jenis kesama-rataan seperti itu berkenaan dengan semua objek.
34.  Dia gampang ditopang (sukhena bhariyati), jadi dia mudah ditopang(subharo); dia mudah disokong, itulah yang dimaksudkan. Seorang bhikkhu sulit ditopang jika-ketika mangkuknya diisi dengan nasi khusus, daging dan nasi tim- dia menunjukkan wajah muram merengut atau penuh kecurigaan, dan di depan si pemberi dia berkata, ‘Apa ini yang kamu berikan?’, lalu memberikannya kepada samanera atau umat awam. Ketika orang-orang meihat hal itu, mereka akan menjauh, [sambil berpikir] ‘Bhikkhu yang sulit ditopang tidak akan pernah bisa dipertahankan’. Tetapi dia mudah ditopang jika dengan wajah riang dan penuh keyakinan dia menerima apa pun yang dia peroleh, atk berduli apakah dana itu jelek atau bagus, sedikit atau banyak. Ketika orang-orang melihat hal itu, mereka menjadi mentap, dan menyatakan demikian ‘Yang Mulia kita ini mudah ditopang, dia puas dengan bahkan yang sedikit. Kita sendiri akan menopangnya’, dan mereka memang menopangnya. Orang seperti inilah yang dimaksudkan di sini sebagai ‘mudah ditopang’.
35.  Keadaaan kesibukannya sedikit (appam kiccam assam), jadi dia tidak sibuk (appakicco). Dia tidak disibukkan dengan berbagai macam kesibukan seperti misalnya senang bekerja, senang bicara, senang berkumpul, dan sebagainya. Atau pilihan lain, di seluruh vihara dia tidak memiliki kesibukan apa pun sehubungan dengan pekerjaan-membanngun, harta benda Sangha, instruksi30 untuk samanera dan pembantu-vihara,dsb. Alih-alih, dia sibuk31 [hanya] dalam kesibukan yang dilandasi Dhamma para bhikkhu setelah memotong rambutnya sendiri, dan memotong kukunya sendiri, serta menyiapkan mangkuk dan jubahnya sendiri.32
36.  Cara hidupnya ringan (sederhana), jadi dia sederhana (sallahukavuti), tidak seperti beberapa bhikkhu yang punya harta bergerak, yang –bila tiba waktunya untuk pergi- akan pergi setelah mereka menitipkan kepada banyak orang bungkusan-bungkusan untuk dijunjung di kepala, dijinjing di pinggang, dsb. Yang berisi mangkuk, jubah, tikar, minyak, gula,dsb.: tetapi –bila tiba waktunya untuk pergi –karena punya hanya sedikit perlengkapan –kebutuhan, dia membawa hanya20 delapan kebutuhan bhikkhu, yaitu, mangkuk, [tiga] jubah, [pisau cukur, jarum, ikat pinggang, dan penyaring air]dan dengan membawa hanya ini, [242]dia pergi seperti seekor burung membawa hanya sayapnya sendiri (D. i. 71). Orang seperti inilah yang dimaksudkan di sini melalui kata ‘sederhana’.
37.  Dia memiliki indera yang tenang (santani indriyani assa), jadi dia tenang inderanya (Santindriyo); indera-indera-33nya tidak  dikacau oleh nafsu terhadap objek-objek yang diinginkan [atau niat jahat ibjek-objek yang tidak diinginkan], itulah yang dimaksudkan.
38.  Berhati-hati (nipako): memiliki pengetahuan, cerdas, memiliki pemahaman; maksudnya adalah, dia memiliki pemahaman tentang menjaga moralitas, pemahaman tentang mengatur jubah dan lainnya, dan pemahaman sebagai tindakan-pemahaman tujuh jenis kesesuaian, yaitu, yang berhubungan dengan tempat kediaman, [tempat-memperoleh-dana, ucapan, orang, makanan, iklim, dan postur (lihat Vis. Bab iv, § 35 dst. / hal. 127)]
39.  Dia tidak kurang-ajar (na pagabbha). Jadi dia sopan (apagabbho): artinya dia tidak kurang-ajar secara fisik dalam delapan hal, tidak kurang-ajar secara ucapan dalam empat hal, dan tidak kurang-ajar secara mental dalam banyak hal (bandingkan Nd1.228).
40.  Yang disebut ‘kurang-ajar secara fisik dalam delapan hal’ adalah bertindak secara tidak senonoh melalui tubuh di hadapan Sangha, di hadapan Perkumpulan, di hadapan seseorang, di ruang makan, di rumah  mandi air panas, di tempat mandi, di jalan ketika mengumpulkan dana makanan, dan di pintu masuk ke rumah-rumah, yang dikatakan: ‘Di sini ada orang di tengah-tengah Sangha yang duduk bermalas-malasan [dengan dua tangan disatukan mendekap lutut] atau dengan kaki disilangkan ‘( )’, dan sebagainya. Demikian pula di tengah-tengah Perkumpulan; dan ‘di tengah-tengah Perkumpulan [termasuk] pertemuan empat kelompok [yaitu, bhikkhu, bhikkhuni, pengikut pria dan perempuan]. Demikian pula di hadapan para senior. Demikian pula, di ruang makan dia tidak memberikan tempat duduk kepada yang senior, dia mencegah [bhikkhu-bhikkhu] baru –yaitu mereka yang senioritasnya kurang dari lima tahun-untuk memperoleh tempat duduk (bandingkan Vin. ii. 162 dst, 274). Demikian pula di rumah mandi air panas (bandingkan Vin. i. 47, ii.220); [dan] dia menyalakan api dsb, tanpa bertanya kepada para senior tentang hal itu (bandingkan Vin. ii. 220). Dan di tempat mandi, tanpa mempedulikan apa yang dikatakan, yaitu, ‘Tanpa memberi standar “junior dan senior”, mandi harus dilakukan sesuai urutan kedatangan’ (    ), dia datang setelah [bhikkhu-bhikkhu lain] namun masuk ke air dan mendesak para senior dan [bhikkhu-bhikkhu]baru [tanpa menunggu gilirannya]. Dan di jalan ketika mengumpulkan dana makanan dia berjalan di depan para senior, menabrak lengan mereka dengan lengannya untuk memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, dan dana makanan terbaik. Dan di pintu masuk ke rumah-rumah dia memasuki rumah di depan para senior dan ikut permainan-permainan jasmani bersama anak-anak, dan sebagainya.
41.  Yang disebut ‘kurang-ajar secara ucapan dalam empat hal’ adalah mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh di hadapan Sangha, Perkumpulan, seseorang, dan di antara rumah-rumah, yaitu: ‘Di sini seseorang di tengah-tengah Sangha mengkhotbahkan Dhamma tanpa diminta’ (   ). Dan demikian pula di hadapan Perkumpulan dan senior sebagaimana sudah dinyatakan. [243] Dan ketika diberi pertanyaan oleh orang-orang di sana, dia menjawab tanpa bertanya kepada senior [apakah dia boleh melakukannya]. Di antara rumah-rumah dia berbicara demikian ‘Hai, engkau, Si Anu, apa yang ada? Apakah ada bubur-nasi atau apaa pun yang dapat dimakan atau dikunyah? Apa yang akan kau berikan padaku? Apa yang akan kita makan hari ini? Apa yang akan kita minum?’ (  ).
42.  Yang disebut kurang-ajar secara mental dalam banyak hal adalah pemikiran yang tidak senonoh, yaitu, pemikiran-pemikiran nafsu indera, [buah-pikir niat-jahat, atau buah-pikir kekejaman, dsb.] dalam hal ini dan itu, yang dilakukan hanya dengan pikiran tanpa adanya pelanggaran melalui fisik atau ucapan.
43.  Tidak menjilat pada keluarga-keluarga (kulesu ananugiddho): keluarga (keturunan) apa pun yang dia datangi, dia tidak menjilat (harfiah menunjukkan emosi yang sejajar dengan) mereka semua-entah karena nafsu keserakahan terhadap kondisi-kondisi kebutuhan atau karena berhubungan dengan umat awam yang tidak sesuai [dengan Dhamma]; yang dimaksudkan adalah dia bukanlah orang yang bersedih dengan mereka dan bersukacita dengan mereka, yang bergembira ketika mereka gembira dan menderita ketika mereka menderita, dan yang aktif melibatkan dirinya sendiri di dalam urusan atau pun pekerjaan apa pun yang telah muncul.
44.  Dan di bait ini, kata-kata ‘dia harus’ (c’assa), yang telah dinyatakan [di bait sebelumnya] demikian ‘dia harus…patuh’ (suvaco c’assa), berlaku juga untuk semua dengan cara ini: ‘dia harus merasa puas, dia harus mudah ditopang,….’
[Bait 3 paruh pertama]
45.  Setelah Yang Terberkahi menyampaikan apa lagi yang harus dilakukan khususnya oleh seorang bhikkhu yang berdiam di hutan yang menginginkan –setelah berusaha untuk mencapai Keadaan Damai, untuk berdiam di dalamnya-atau yang mempraktekkan sang jalan untuk mencapai [Keadaan] itu,
Beliau sekarang mengucapkan bait berikut
Na ca khuddam samacare kinci, yena vinnu pare upavadeyyum
‘Dia sama sekali tidak akan melakukan hal sekecil apa pun
‘Yang oleh para bijak lainnya mungkin disesali’,
Karena ingin menyampaikan juga apa yang seharusnya tidak dilakukan.
46.  Berikut inilah artinya. Ada beberapa hal kecil (khudda) di dalam perilaku-salah secara fisik, ucapan, atau mental yang disebut ‘buruk’, dan bila dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan maka dia tidak akan  melakukan hal sekecil apa pun (na cam khuddam samacare) di dalam hal itu, dan di dalam tidak melakukannya, bukan saja dia tidak melakukan yang kasar melainkan tidak sama sekali (kinci); yang dimaksudkan adalah, dia tidak akan melakukan sedikit, bahkan sebesar atom pun. Dan Beliau kemudian menunjukkan bahaya yang harus dilihat di sini di dalam kehidupan ini bagi orang yang melakukan hal-hal semacam itu [dengan mengatakan] yang oleh para bijak lainnya mungkin disesali (yena vinnu pare upavadeyyum); dan di sini orang-orang lain yang tidak bijak bukan merupakan standar karena mereka melakukan apa yang tidak disesali atau apa yang disesali atau apa yang agak disesali atau sangat disesali. Yang dijadikan standar hanyalah para bijak, karena mereka –setelah bertanya dan menyelidiki –berbicara tidak memuji apa yang tidak pantas dipuji [224] dan memuji apa yang pantas dipuji, itulah sebabnya disebutkan ‘para bijak lainnya’.
[Bait 3 paruh-kedua]
47.  Dengan dua setengah bait ini sekarang Yang Terberkahi memberikan pendekatan terhadap subjek meditasi demikian. Dan pendekatan itu dibagi menjadi: apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan khusunya oleh bhikkhu yang berdiam di hutan yang menginginkan –setelah berusaha untuk mencapai Keadaan Damai –untuk berdiam di dalamnya, atau yang mempraktekkan sang jalan untuk mencapai [keadaan] itu. Dan di bawah judul ‘penghuni-hutan’ termasuk semua orang yang ingin [datang untuk] berdiam di dalam [Keadaan] itu dengan cara mengambil subjek meditasi. Setelah melakukan hal itu, Beiau sekarang mulai memberikan penjelasan tentang cinta-kasih, yang dimulai dengan kata-kata:
Sukhino va khemino hontu,
[sabbe satta bhavantu sukhitatta]

‘(Kemudian dia berpikir) :Gembira dan aman
[‘Semoga hati setiap mahluk bergembira”]’
Tujuannya adalah untuk meayani para bhikkhu sebagai perlindungan untuk mengusir rasa takut para dewa dan sebagai subjek meditasi untuk [menghasilkan]jhana sebagai landasan pandangan terang.
48.  Disini,34 gembira (sukhino: harfiah’memiliki kesenangan’) berarti memiliki kesenangan. Dan aman (khemino): memiliki keamanan; yang dimaksudkan adalah, tanpa rasa takut, tidak menderita. Setiap(sabbe): tanpa sisa. Makhluk (satta): benda bernafas. Hati bergembira (sukhitatta: harfiah ‘memiliki diri yang senang’): dengan kesadaran yang senang; dan di sini dapat dipahami bahwa mereka ‘gembira’ dengan kesenangan jasmani, bahwa ‘hati mereka gembira’ dengan kesenangan mental, dan bahwa mereka ‘aman’ dengan keduanya; atau kalau tidak demikian, bersama lenyapnya semua rasa takut dan penderitaan. Tetapi mengapa dinyatakan demikian? Untuk menunjukkan berbagai cara untuk mempertahankan agar cinta-kasih tetap ada; cinta-kasih dapat dipertahankan agar tetap ada demikian:’Semoga mahluk bergembira’ atau ‘Semoga mereka selamat’ atau ‘Semoga hati mereka bergembira.’ (bandingkan Ps. ii. 130 dst.).
[Bait 4 dan 5]
49.  [Setelah Yang Terberkahi] menunjukkan secara ringkas cara mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada dari akses sampai ke jhana35 sebagai batasnya, Beliau sekarang mengucapkan pasangan bait berikut ini:
Ya keci panabhut’ atthi tasa va thavara va anavasesa
Digha va ye mahanta va majjhima rassaka anukathula
Dittha va ye addittha ye ca dure vasanti avidure
Bhuta va sambhavesi va: sabbe satta bhavantu sukhitatta

‘Apa pun mahluk bernafas yang ada,
‘Tak peduli apakah lemah atau kokoh,
‘Tak ada satu pun dikecualikan, panjang atau besar
‘Atau berukuran-sedang atau pendek atau kecil
‘Atau gemuk, atau mereka yang terlihat atau tak-terlihat,
‘Atau yang berdiam jauh atau pun dekat,
‘Yang ada atau yang masih mencari dumadi,
‘Semoga hati setiap mahluk bergembira.’
Beliau melakukannya untuk menunjukkan hal tersebut secara mendetil juga. Atau pilihan lain, kesadaran yang digunakan untuk keragaman biasa dalam objeknya tidak menjadi mantap pada penyatuan di awalnya, tetapi lambat laun menjadi mantap melalui pengelompokan objeknya. Itulah sebabnya Beliau mengucapkan pasangan bait yang bermula dengan ‘Apa pun’,yang bertujuan untuk memantapkan36 itu pada objeknya yang dimasukkan dalam kelompok-dua atau tiga yang bermula dengan ‘lemah atau kuat’ dan Beliau melakukannya melalui pengelompokan ini. Atau pilihan lain, setelah suatu objek sepenuhnya jelas bagi seseorang, kesadarannya [245] dengan mudah akan tinggal di situ; itulah sebabnya Beliau mengucapkan pasangan bait yang bermula dengan ‘Apa pun’, yang menjelaskan pengelompokkan objek melalui kelompok dua atau tiga tersebut yang bermula dengan ‘lemahatau kokoh’, karena Beliau ingin memantapkan kesadaran para bhikkhu itu tentang objek yang dibuat sepenuhnya jelas bagi mereka. Dan sebenarnya, Beliau menunjukkan empat kelompok-2, yaitu pasangan lemah/kokoh, pasangan yang terlihat/tak-terlihat, pasangan yang jauh/yang dekat, pasangan yangtelah ada/yang mencari dumadi, dan kemudian dengan enam istilah yang bermula dengan ‘panjang’ beliau juga menunjukkan kelompok-tiga, yaitu, pasangan panjang/berukuran-sedang/kecil, pasangan gemuk/ berukuran-sedang/kecil, karena arti istilah ‘berukuran-sedang’ itu tersirat ditiga kelompok-tiga seluruhnya dan arti istilah ‘kecil’ di dua kelompok-tiga itu.
50.  Di sini, apa pun (ye keci)merupakan istilah tanpa sisa. Mahluk bernafas (pana)adalah para mahluk itu sendiri (bhuta), jadi mereka adalah mahluk bernafas (panabhuta); atau pilihan lain, mereka bernafas (pananti), 37 jadi mereka adalah mahluk bernafas (pana). Melalui istilah itu Beliau mencakupkan para mahluk yang masuk ke dalam [jenis] dumadi (kehidupan) lima-bagian,38 yang terikat pada nafas-masuk dan nafas-keluar;39 dan dengan demikian mereka ada (bhavanti), jadi mereka mahluk (bhuta: pp dari kata kerja bhavanti), dan melalui hal itu Beliau mencakupkan mahluk satu-bagian dan empat-bagian. Ada: atthi=santi (bentuk tata bahasa alternative); mereka nyata.
51.  Setelah menunjukkan secara panjang lebar melalui kata-kata apa pun mahluk bernafas yang ada, semua mahluk yang akan dumadi dicakupkan dalam kelompok-dua dan kelompok-3 [yang disebutkan di atas], Beliau sekarang menunjukkan semuanya [lagi] dengan mencakupkannya di dalam kelompok-2 [yang pertama], yaitu, tak peduli apakah lemah atau kuat tak ada satu pun dikecualikan (tasa va thavara va anavasesa). Di sini, mereka kehausan (tasanti), jadi mereka lemah (tasa);40 ini merupakan penandaan bagi mereka yang memiliki nafsu keinginan dan mereka yang ketakutan. Mereka berdiri (titthanti), jadi mereka kokoh (thavara); ini merupakan penandaan untuk para Arahat, yang telah meninggalkan nafsu keinginan dan rasa takut. Tidak ada satu pun dari mereka yang dikecualikan, jadi mereka tak ada satu pun yang dikecualikan (anavasesa); semua, itulah yang dimaksudkan.
Dan apa yang dikatakan di akhir pasangan bait kedua harus dijelaskan dengan kelompok-dua dan tiga demikian:’Apa pun mahluk bernafas yang ada, tak peduli apakah lemah atau kokoh, semoga hati setiap mahluk bergembira’, dan seperti inilah turun sampai ke kelompok-dua ‘yang ada atau yang masih mencari dumadi, semoga hati setiap mahluk bergembira’.
52.  Berkenaan dengan enam istilah yang bermula dengan : ‘panjang’ yang mewakili [tiga] kelompok-tiga yang bermula dengan panjang/berukuran-sedang/pendek: yang panjang (digha) adalah mereka dengan tubuh yang panjang seperti misalnya para Naga (Ular), ikan, kadal,dsb.; karena di samudera besar ada Naga-naga dengan tubuh yang ukurannya ratusan depa, dan ada ikan, kadal,dsb. Dengan tubuh yang ukurannya kiloan meter. Besar (mahanta): dengan tubuh besar seperti misalnya penyu,dsb., di air, [246] seperti misalnya gajah, naga, dsb. Di darat, dan seperti misalnya Raksasa Danava, dsb. Di antara mahluk bukan-manusia. Dan dikatakan ‘Rahu adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki tubuh’(A. ii. 17); tubuh [Raksasa Gerhana] adalah 4800 league tingginya (1 league kira-kira 4 km), lengan-lengannya berukuran 1200 league, jarak di antara alisnya 50 league, dan begitu juga jarak di antara jari-jari tangan dan kakinya, dan besar telapak tangannya 200 league. Yang berukuran-sedang(majjhima) adalah kuda, lembu, kerbau, babi,dsb. Yang pendek (rassaka) adalah para mahluk yang jenis kelahiran (spesies)-nya ada di bawah ukuran [norma] menurut ukuran besar dan sedang, seperti misalnya para kerdil dsb. Kecil (anuka): ini adalah para mahluk yang bukan untuk mata-daging tetapi masuk ke bidang objektif mata-dewa, dan mereka muncul di ait, dsb. Dengan tubuh yang halus; atau mereka adalah kutu, dsb. Selain itu, para mahluk jenis kelahiran apa pun yang berukuran lebih kecil daripada yang besar atau berukuran berukuran sedang atau lebih kecil daripada yang gemuk atau berukuran-sedang dapat dipahami sebagai kecil. Yang gemuk (thula) adalah para mahluk dengan tubuh yang bulat, seperti misalnya (beberapa) ikan, kura-kura, tiram, kerang, dsb.
53.  Setelah menunjukkan mahluk tanpa perkecualian dengan tiga kelompok-tiga ini, Beliau sekarang menunjukkan mereka lagi dengan mencakupkannya ke daam tiga kelompok-dua [yang tesisa] yang bermula dengan ‘atau mereka yang terlihat atau yang tak-terlihat’. Di sini, mereka yang terlihat (dittha) adalah apa pun yang sudah terlihat karena masuk ke dalam cakrawala mata. Yang tak-terlihat (adittha) adalah mereka yang tinggal di luar lautan, di luar gunung, di luar system-dunia ini, dan seterusnya. Melalui kelompok-dua ‘atau yang berdiam jauh atau pun dekat’ Beliau menunjuk pada mahluk yang berdiam jauh atau tidak jauh dari dirinya sendiri. Mereka ini dapat dipahami sebagai yang tanpa-kaki dan berkaki-dua; mahluk yang berdiam di tubuhnya sendiri adalah dekat (avidure), sedangkan mereka yang berdiam di luar itu adalah jauh (dure). Demikian pula, mereka yang berdiam di lingkungan-rumah adalah dekat, sedangkan yang tinggal di luar lingkungan ini adalah jauh.[sekali lagi] mereka yang berdiam di kediamannya sendiri, desanya sendiri, negaranya sendiri, benuanya sendiri, system-dunianya sendiri adalah dekat, sedangkan yang berdiam di luar [kediaman,…] system d-dunia [berturut-turut] adalah jauh. Yang ada (bhuta): yang telah lahir, telah muncul; mereka dianggap demikian ‘Mereka ada(telah ada), mereka tidak akan ada lagi, yang merupakan penandaan bagi mereka yang noda-nodanya telah padam [yaitu, para Arahat]. Yang masih mencari dumadi: sambhavesino = sambhavam esanti (ketentuan bentuk majemuk); ini merupakan penandaan bagi para pemula41 dan orang biasa, yang mencari dumadi (sambhavam esantanam) di masa depan [247] karena mereka belum meninggalkan belenggu keberadaan (kehidupan). Atau piliha lain, mengenai empat jenis generasi rahim, (lihat misalnya M. i. 73), para mahluk yang terlahir melalui telur atau uterus (rahim) disebut mahluk yang masih mencari dumadi selama mereka belum memecah selaput-telur atau selaput-pembungkus-janin; tetapi bila mereka telah memecah selaput-telur atau selaput-pembungkus-janin dan telah keluar, mereka disebut yang ada. Tetapi, mahluk-mahluk yang terlahir melalui kelembaban dan mereka yang muncul secara spontan disebut yang masih mencari dumadi pada momen pertama kesadaran mereka, dan mereka disebut yang ada sejak saat momen kesadaran kedua,; atau kalau tidak demikian, mereka adalah yang masih mencari dumadi selama mereka belum mencapai postur selain postur ketika mereka lahir dulu, tetapi setelah itu, mereka disebut yang ada.
54.  Setelah Yang Terberkahi, melalui dua setengah bait yang bermula dengan ‘Gembira’ menunjukkan kepada para bhikkhu pemeliharaan cinta-kasih –dengan berbagai aspeknya- agar tetap ada terhadap para mahluk dengan cara mengharapkan agar mereka mencapai kesejahteraan dan kesenangan, Beliau sekarang berkata:
Na paro param nikunnetha,
[natimannetha katthaci nam kanci,
Vyarosana patighasanna nannamannassa dukkham iccheyya]

‘Semoga tak seorang pun merusak yang lain
[‘Atau mengabaikan dia sama sekali di mana pun;
‘Semoga mereka tidak saling mengharapkan celaka
‘Melalui provokasi atau pemikiran yang menentang.’]
Beliau melakukannya dengan menunjukkan hal itu juga melalui aspirasi agar mereka tidak celaka atau menderita. Itulah pembacaan Para kuno; tetapi sekarang mereka juga membaca param hi [alih-alih param ni-] yang tak dapat diterima.
55.  Di sini, seorang (paro-nominatif maskulin tunggal) adalah individu (parajano), dan yang lain (param-akusatif maskulin tunggal) adalah individu yang lain (parajanam). Semoga tak….merusak (na nikubbetha): semoga dia tidak menghianati. Tidak mengabaikan (natimannetha): semoga tidak juga (na) menunjukkan kesombongan (manneyya) dengan cara berada di atas(atikamitva). Di mana pun (katthaci): di mana pun juga, di tempat terbuka, di desa, di lading, di tengah sanak saudara, atau di tengah serikat kerja, dsb. Dia (nam): orang itu (etam). Sama sekali(kanci): siapa pun tak peduli apakah Bangsawan-Pejuang (khattiya) atau Brahmana Pendeta (brahamana) atau perumah-tangga atau yang telah meninggalkan keduniawian, apakah kaya atau miskin, dsb.
56.  Melalui provokasi dan pemikiran yang menentang (vyarosana patighasanna): melalui provokasi dengan cara perubahan pada tubuh atau ucapan, dan melalui pemikiran yang menentang dengan cara perubahan pikiran; dan vyarosana patighasanna [instrumental atau ablative yang diringkas] dikatakan walaupun biasanya seharusnya dikatakan vyarosanaya patighasannaya [instr. Atau abl. Tunggal fem.], sama halnya seperti sammad anna vimuccati ‘(Sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir’: A. iv. 362) dikatakan walaupun biasanya seharusnya dikatakan sammad annaya vimuccati, dan sama halnya seperti anupubbasikkha anupubbakiriya anupubbapatipada (‘Melalui latihan progresif, kerja progresif, praktek progresif’: bandingkan M. i. 479, iii, 1) dikatakan walaupun biasanya seharusnya dikatakan anupubbasikkhaya anupubbakiriyaya anupubbapatipadaya.
57.  Semoga mereka tidak saling mengharapkan celaka: nannamannassa dukkham iccheyya=nannamannassa dukkham [248] na iccheyya (pengaturan-kata alternative)Apa maksudnya? Cinta-kasih harus dipertahankan agar tetap ada tidak hanya melalui perhatian yang diberikan demikian ‘Gembira dan aman’,dsb. Melainkan juga harus dipertahankan agar tetap ada sebagai berikut: ‘Oh semoga sama sekali tidak ada orang yang merusak orang lain sama sekalin dengan pengrusakan seperti misalnya berkhianat, dsb., atau mengabaikan orang lain sama sekali di mana pun Karena alasan kesombongan (manavatthu) disadarkan atas kelahiran, [harta benda]dsb. (lihat M. iii. 37), dan semoga masing-masing tidak mengharapkan yang lain celaka melalui provokasi dan pemikiran yang menentang.
[Bait 7]
58.  Setelah Beliau menunjukkan cara mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada melalui –berkenaan dengan artinya- aspirasi agar tidak terjadi celaka dan penderitaan, Beliau sekarang mengatakan
Mata yatha [niyam puttam ayusa ekaputtam anurakkhe,
Evam pi sabbabhutesu manasam bhavaye aparimanam
]
Demikianlah, bagaikan seorang ibu [dengan kehidupannya
Menjaga putranya, anak satu-satunya,
‘Dia akan mempertahankan secara tak-terbatas
‘Pemikiran untuk setiap mahluk hidup’,]
yang menjelaskan [pertanyataan] yang sama itu]dengan kiasan.
59.  Beginilah artinya. Bagaikan seorang ibu [yatha mata] menjaga (anurakkhe) putranya (niyam puttam), anak di dekapannya yang dilahirkannya sendiri, dan sebagai anak satu-satunya (ekaputtam), dia menjaganya dengan kehidupannya (ayusa) dengan mengorbankan hidupnya sendiri untuk menghalau penderitaan yang datang, demikianlah (evam pi) dia akan mempertahankan (bhavaye), akan membangkitkan lagi dan lagi, akan menambah, pemikiran yang penuh cinta-kasihnya (manasam) untuk setiap mahluk hidup (sabbabhutesu)), dan dia akan mempertahankannya agar tetap ada secara tak-terbatas (aparimanam) melalui sarana objek [dari kesadaran]yang terdiri dari mahluk yang tak-terbatas atau melalui sarana perluasan (peresapan) sifat-tanpa-sisa (sepenuhnya)dalam satu mahluk tunggal.
[Bait 8]
60.  Setelah menunjukkan cara mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada dalam semua caranya, Beliau sekarang berkata
Mettan ca sabbalokasmim [manasam bhavaye aparimanam
Uddham adho ca tiriyan ca asambadham averam asapattam]

‘Pemikiran cinta-kasihya untuk seluruh dunia
[‘Dia akan mempertahankannya secara tak-terbatas,
‘Ke atas, ke bawah, dan ke sekelilingnya,
‘Tanpa penghalang, tanpa kebencian atau permusuhan’],
yang menunjukkan peningkatannya.
61.  Di sini, dia menggemukkan (mejjati)42 dan memelihara (tayati), jadi dia adalah seseorang teman (mitta); yang berarti bahwa karena kecenderungannya ke arah kesejahteraan, dia bertindak sebagai pelumas (siniyhati) dan melindungi dari datangnya bahaya. Keberadaan tean (mittassa bhavo) adalah cinta (metta=cinta-kasih). Bagi semua (sabba-): tak terkecuali  untuk. Dunia (lokasmim): dunia para mahluk. Pemikiran (manasam): [keadaan] dumadi yang ada di pikiran (MANASi bhavAM); hal itu dikatakan karena berhubungan dengan kesadaran. Dia akan mempertahankan (bhavaye): akan meningkatkan. Pemikiran itu tidak memiliki ukuran (batasan), jadi hal itu [dilakukan] secara tak-terbatas (aparimanam); dinyatakan demikian sebagai objek yang terdiri dari [jumlah] mahluk yang tak-terukur.
62.  Ke atas (uddham): ke arah atas; melalui hal ini Beliau mengacu ke alam (kehidupan) tanpa-bentuk. Ke bawah (adho): ke arah bawah; melalui hal ini Beliau mengacu ke alam (kehidupan)nafsu-indera. Ke sekeliling (tiriyam): di tengah; melalui hal ini Beliau mengacu ke alam (kehidupan)bentuk.43 Tanpa penghalang (asambadham): kosong dari rintangan ; dengan penghalang-penghalang yang dirobohkan, itulah yang dimaksudkan (lihat Vis. Bab ix, § 40 dst./hal. 307). Musuhlah yang disebu ‘penghalang’; artinya, pemikiran itu harus diarahkan bahkan kepada musuh. Tanpa kebencian (aneram): kosong dari kebencian; [249] yang dimaksudkan adalah, kosong dari perwujudan –meskipun hanya kadang kala- dari pilihan apa pun [yang dikuasai] oleh kebencian. Atau permusuhan (asapattam): tanpa musuh; Karen orang yang berdiam di dalam cinta-kasih disayangi oleh manusia dan disayangi oleh mahluk bukan-manusia, dan dia sama sekali tidak mempunyai musuh; maka pemikiran itu (manasa) disebut ‘tanpa musuh’ karena tak adanya lawan. Istilah-istilah ini, yaitu, ‘musuh’ dan ‘lawan’ merupakan ungkapan-ungkapan metaphor.44 Inilah komentar kata-demi-kata.
63.  Sekarang inilah komentar mengenai arti yang dimaksudkan. Dia akan mempertahankan (bhavaye –‘akan mempertahankan agar tetap ada’), akan menekankan, akan membawa menuju pertumbuhan, peningkatan dan kelengkapan, secara tak-terbatas (aparimanam) untuk seluruh dunia (sabbalokasmim) pemikiran (manasam) akan cinta-kasihnya (mettam), yang telah disebutkan dengan cara ini ‘Demikianlah.. dia akan mempertahankan pemikirannya secara tak-terbatas untuk setiap mahluk hidup’ [bait 7]. Bagaimana ? Ke atas (uddham) dan ke bawah (adho) dan  e sekeliling (tiriyam) dengan memperluas(meresap) tanpa-sisa ke atas sampai Puncak Kehidupan (Dumadi): [yaitu, landasan yang terdiri dari bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi,] ke bawah sampai ke Avici [neraka terendah,]dan ke sekeliling ke semua arah lainnya. Atau kalau tidak demikian [dengan meresap tanpa-sisa] alam-alam tanpa-bentuk di atas, alam elemen-nafsu-indera di bawah, dan semua alam elemen-bentuk di sekelilingnya (di antaranya). Dan sementara mempertahankan [pemikiran]ini dengan cara demikian, dia akan mempertahankannya agar tetap ada dengan memastikan tidak adanya penghalang, kedengkian, atau permusuhan apa pun sehingga bisa tanpa penghalang, tanpa kebencian atau permusuhan (asambadham averam asapattam). Atau kalau tidak, dia akan mempertahankan, menambah, untuk seluruh dunia, dalam tiga pembagian yaitu ke atas, ke bawah, dan ke sekelilingnya, pemikiran cinta-kasihnya (kebaikan yang penuh cinta-kasih) secara tak-terbatas setelah mencapai keelokan dalam mempertahankan-agar tetap-ada dan tanpa penghalangan karena pemikiran itu menemukan kesempatan-kesempatan di mana-mana, pemikiran itu tidak memiliki kebencian karena kejengkelannya sendiri terhadap yang lain telah dihilangkan, dan tidak mempunyai musuh karena kejengkelan orang lain terhadap dirinya telah dihilangkan.
[Bait 9 tiga baris pertama]
64.  Setelah menunjukkan cara mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada, Beliau sekarang berkata
Tittham caram nisinno va sayano va yavat’assa vigatamiddho
Etam satim adhittheyya:

‘Ketika berdiri atau berjalan, juga duduk,
‘Atau berbaring selagi tidak mengantuk,
‘Dia akan melanjutkan kewaspadaan ini:’.
Beliau melakukannya dengan menunjukkan aturan-postur bagi orang yang berdiam tekun mempertahankan kewaspadaan itu agar tetap ada.
65.  Beginilah artinya. Ketika dia sedang mempertahankan ‘pemikiran cinta-kasih’ itu agar tetap ada, [250] alih-alih mengambil aturan-postur apa pun seperti yang telah diberikan di bacaan-bacaan seperti misalnya ‘dia duduk, setelah melipat kakinya bersila, mengatur tubuhnya tegak’ (D. i. 71), sebaliknya dia membuat [aturan-postur di sini] yaitu menghalau-sesuka hatinya –ketidak-nyamanan apa pun pada postur khusus apa pun [yang terus terjadi karena terlalu-lama mempertankannya], sehingga tak peduli apakah dia sedang berdiri (tittham) atau berjalan (caram) atau juga duduk (nisinno va) atau berbaring (sayano va) selagi(yavata) dia (assa) tidak mengantuk (vigatamiddho), maka dia akan melanjutkan (adhittheyya- menentukan) kewaspadaan (satim )jhana-cinta-kasih ini (etam).
66.  Atau pilihan lain, setelah menunjukkan penekanan cara mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada [di bait sebelumnya], Beliau sekarang berkata ‘Ketika berdiri, berjalan’ untuk menunjukkan penguasaan; karena orang yang telah menunjukkan penguasaan ingin melanjutkan (menentukan)kewaspadaan jhana-cinta-kasih melalui postur selagi (yavata) dia sedang berjalan atau duduk.
67.  Atau pillihan lain, berdiri, dsb. Bukanlah penghalang baginya; tetapi apakah dia sedan berdiri atau apakah dia sedang berjalan, selagi (yavata) itu dia ingin melanjutkan (menentukan) kewaspadaan jhana-cinta-kasih demikian, untuk sekian lama (tavata)itu –karena tidak mengantuk (vigatamiddho)- dia melanjutkan (menentukan) hal itu –dia tidak memiliki kemalasan-: maka Beliau berkata ‘Ketika berdiri atau berjalan, juga duduk, Atau berbaring selagi tidak mengantuk, Dia akan melanjutkan kewaspadaan ini’.
68.  Niatnya adalah sebagai berikut. Dia akan mempertahankan agar tetap ada apa yang dinyatakan demikian ‘Pemikiran cinta-kisahnya untuk seluruh dunia Dia akan mempertahankan’ bahwa (1) [seandainya dia (assa) ingin melanjutkan (menentukan)kewaspadaan jhana cinta-kasih (satim)] ini (etam) melalui postur, [dia akan melanjutkan kewaspadaan ini] selagi (yavata) [dia sedang terlibat dengan] berjalan, dsb.; atau kalau tidak demikian (2) selagi (yavata) itu, tanpa peduli apakah dia sedang berdiri, dsb., dia mungkin (assa) ingin melanjutkan (menentukan) kewaspadaan jhana cinta-kasih (satim)] ini (etam), selama (tavata) itu dia akan melanjutkkan kewaspadaan ini.
69.  Setelah memberikan dorongan menuju kediaman dalam cinta-kasih demikian ‘Dia akan melanjutkan kewaspadaan seperti itu’, yang dengan melakukannya Beliau sekarang berkata
Brahmam etam viharam idha-m-ahu
‘Inilah Kediaman-Luhur di sini, mereka berkata’,
untuk memuji kediaman itu.
70.  Beginilah artinya. Ada kediaman dalam cinta-kasih ini yang dimulai dengan cara yang bermula dengan [kata-kata] ‘Gembira dan aman’ dan turun sejauh [kata-kata] ‘Dia akan melanjutkan kewaspadaan ini’. Sekarang, ini-lah (etam) hal itu –karena di antara kediaman-kediaman surgawi, kediaman-kediaman luhur, kediaman-kediaman agung, kediaman-kediaman dalam postur, 45 hal itulah yang sempurna dan bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi yang lain –yaitu, mereka berkata (ahu) ada di sini (idha), di dalam Dhamma dan Vinaya, suatu Kediaman Luhur (brahmam viharam).[251] Mereka berkata bahwa inilah kediaman yang paling utama, sehingga dia akan melanjutkan (menentukan) kewaspadaan semacam itu secara terus-menerus, berkelanjutan dan tak-terputus, tak peduli apakah sedang berdiri atau berjalan, juga duduk, atau berbaring selagi tidak mengantuk.
[Bait  10]
71.  Demikianlah Yang Terberkahi menunjukkan kepada para bhikkhu cara mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada dalam berbagai aspeknya. Dan sekarang, karena cinta-kasih itu dekat dengan pandangan [salah] tentang diri sebab ia memiliki mahluk sebagai objeknya, maka Beliau melengkapi ajaran tersebut dengan bait berikut
Ditthin ca anupagamma [silava dassanena sampanno
Kamesu vineyya gedham na hi jatu gabbaseyyam puna-r-eti.]

‘Namun dia yang tidak tukar-menukar pandangan-pandangan
[‘Adalah luhur dengan penglihatan yang disempurnakan
‘Sehingga, bersih dari keserakahan terhadap nafsu-indera,
‘Dia pasti tidak akan muncul lagi di rahim mana pun juga’].
Beliau melakukan hal ini sebagai pencegahan terhadap [penyimpangan mereka ke dalam] belukar pandangan-pandangan [spekulatif] (lihat M. i. 8) dengan menunjukkan kepada para bhikkhu bagaimana Alam Agung dicapai dengan cara membuat jhana cinta-kasih yang sama itu sebagai landasan untuk pandangan terang.
72.  Inilah artinya. Setelah keluar dari kediaman dala jhana cinta-kasih, yang dijelaskan (dirinci) demikian’Ini adalah Kediaman Yang Luhur di sini, mereka berkata’, [dia memahami] ide-ide [bentuk-bukan-materi] di sana [di dalam jhana itu] yang berdasar pada berpikir dan menjaelajahi dan lain-lainnya, 46 [yang Beliau definisikan sebagai ‘nama’.] Kemudian, setelah pendefinisian, dsb. Tentang faktor-faktor [jhana sebagai ‘nama’], dia memahami ide-ide tentang bentuk [-materi] di sana, [yang Beliau definisikan sebagai ‘bentuk’.] Karena pembatasan nama-dan-rupa47 ini dia tidak tukar-menukar pandangan-pandangan (ditthin ca anupagamma), [menghindari hal tersebut dengan memahami] dalam cara yang dinyatakan demikian ‘seonggok bentukan-bentukan (sankhara)semata; Tak ada mahluk yang dapat ditemukan di dalamnya’(S. i. 135), sampai akhirnya dia menjadi luhur (silava) dengan jenis keluhuran di-atas-duniawi48 karena dia sekarang telah disempurnakan (sampanno) dalam pandangan benar yang termasuk dalam Jalan Pemasuk Arus, yang disebut penglihatan (dassanena), dan yang dihubungkan dengan keluhuran di-atas-duniawi. Setelah itu, keserakahan (gedham) apa pun di dalam dirinya yang tetap belum lenyap dalam penyamaran nafsu-indera (kamesu) sebagai objek-objek (lihat Nd1. 1), dia dibersihkan (vineyya) dari hal itu-vineyya(harfiah ‘telah menghilangkan’ atau ‘telah mendisplinkan’)= vinayitva (gerund alternative); yaitu, dia menjadi sembuh –dengan cara melemahkan [kekotoran-kekotoran tertentu] dan dengan cara meninggalkan [kekotoran yang lain] tanpa-sisa (lihat misalnya M. i. 34) melalui [pencapaian] Jalan Yang-Kembali-Sekali-Lagi dan Yang-Tidak-Kembali-Lagi, Dia pasti tidak akan muncul lagi di rahim mana pun juga (na hi jatu gabbaseyyam puna-r-eti); mutlak tidak akan pernah kembali lagi ke rahim apa pun, dia akan terlahir lagi hanya di Kediaman Murni, dan di situ dia mencapai tingkat Arahat dan mencapai pemadaman.49
[Kesimpulan]
73.  Setelah Yang Terberkahi menyelesaikan ajaran-Nya demikian, Beliau memberitahu para bhikkhu’Pergilah,para bhikkhu, dan hiduplah di hutan yang sama itu. Pada hari kedelapan di setiap bulan yang digunakan untuk mendengarkan Dhamma, pukullah gong4 dan ulangilah khotbah ini, dan kemudian adakan khotbah Dhamma, dan ingatlah untuk memberikan pemberkahan (berbagai jasa kebajikan). Kembangkan subjek meditasi yang sama ini, [252] pertahankanlah agar tetap ada dan kembangkanlah. Maka alih-alih menunjukkan kepada kalian objek-objek yang mengerikan, para mahluk bukan-manusia itu pasti akan mengharapkan agar kalian sehat dan mendoakan kebaikan kalian’.
74.  Para bhikkhu setuju, dan setelah mereka bangkit dari tempat duduk dan memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dengan menjaga Beliau tetap di sisi kanan mereka,[mereka berangkat] dan kembali ke tempat asal mereka datang; dan mereka melakukan seperti yang diberitahu.[Sekarang mereka berpikir] ‘Para mulia ini mengharapkan kita sehat dan mendoakan kebaikan kita’, maka para dewa  dipenuhi kebahagiaan dan kegembiraan, dan mereka sendiri menyapu tempat-tempat istirahat, menyiapkan air hangat, melakukan perawatan-punggung dan perawatan-kaki untuk para bhikkhu, dan mengatur untuk melindungi mereka. Di sana para bhikkhu mempertahankan cinta-kasih agar tetap ada, dan dengan membuat hal itu sebagai landasan, mereka memantapkan pandangan terang [ke dalam tiga corak umum, yaitu ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa-diri,] sampai mereka semua mencapai tingkat Arahat, buah tertinggi, di masa Penghujan itu pula, dan mereka mampu mengadakan Upacara Pavarana dalam kemurnian.50
75.
Ketika mereka yang terampil dalam kebaikan telah melakukan kebaikan
Yang seharusnya dilakukan oleh orang yang terampil dalam Kebenaran,
Seperti yang diberitahukan oleh Tuan Kebenaran,[Yang Sempurna]
Sehingga memiliki pengetahuan tentang hal itu yang diperoleh dengan benar,
Kemudian, karena memahami Yang Benar, mereka mencapai
Keadaan Damai, pembebasan hati sejati.
Demikianlah jika orang-orang bijak ingin tetap
Berdiam dalam Keadaan Damai tanpa-kematian,
Keajaiban yang dicintai oleh Manusia-manusia Agung,
Setelah [mereka berhasil menjadikan
Demikian] mencapainya, semoga mereka kemudian
Melakukan Kebaikan yang seharusnya dilakukan terus-menerus:
Kebaikan yang menurut Moralitas tanpa noda,
Kemudian Konsentrasi, akhirnya Pemahaman.
Penjelasan mengenai Khotbah Cinta-Kasih di dalam Ilustrator Arti Tertinggi, Komentar mengenai Kitab-kitab Minor, diakhiri
Epilog
Telah dikatakan [di awal]:
‘Hormatku pertama-tama pada Tiratana
Yang harus dihormati paling tinggi.
Kemudian akan kubuat syair komentar
Di dalam Kitab-kitab Minor tertentu juga.’
(Bab i.§ 2)
Di sini, pertama-tama, komentar telah dibuat tentang Bacaan-bacaan Minor, yang mempunyai sembilan bagian, yaitu, Perlindungan, Peraturan Latihan, Aspek Berunsur-tiga-puluh-dua, Pertanyaan Si anak Lelaki, Sutta Pertanda-Baik, Sutta Permata, Sutta Di-Luar-Dinding, Sutta Simpanan-Harta, dan Sutta Cinta-Kasih. Maka hal ini dikatakan:
[253] Semoga jasa kebajikan yang didapatkan olehku,
Karena menginginkan Kebenaran berjalan lama
Sementara saya menjelaskan komentar ini
Tentang Bacaan-bacaan Minor, menjadi
Pengaruh yang dapat memberikan kebaikan
Pada orang-orang baik di dalam Doktrin Sejati,
Yang dinyatakan oleh para Agung, semoga mereka melihat
Pertumbuhan, peningkatkan, dan penggenapan juga.
Catatan Tambahan
Komentar tentang Bacaan-Minor dibuat oleh Thera yang memiliki keyakinan, kebijaksanaan dan energi yang murni. Di dalam dirinya terkumpul sifat yang lurus, lembut, serta sifat-sifat lain yang dihasilkan dari praktek moralitas, yang mampu mempelajari dan memahami opini-opininya sendiri dan kepercayaan-kepercayaan orang lain, yang memiliki ketajaman dan pemahaman, yang kuat dalam pengetahuan yang tepat tentang Sasana Sang Guru sebagaimana terbagi menjadi tiga Pitaka bersama kitab-kitab komentarnya. Beliau sungguh hebat dalam penguraian, berbakat untuk mengeluarkan ucapan yang manis dan anggun karena dilahirkan secara mudah dan memiliki keelokan alat vocal. Beliau adalah pembicara dari apa yang diucapkan dengan pantas, pembicara yang unggul, penyair besar, hiasan dalam garis keturunan para Thera yang telah berdiam di Vihara Agung dan yang memancarkan sinar dalam keturunan para Thera dengan pencerahan yang terbentuk-baik di dalam keadaan-keadaan manusia-super yang memiliki sifat-sifat khusus yang enam jenisnya, yaitu Pengetahuan-Langsung, Diskriminasi, dan lain-lainnya. Beliau memiliki kecerdasan murni yang melimpah, yang dianugerahi gelar kehormatan oleh para Mulia dan menyandang nama Buddhaghosa.
Semoga komentar ini berlangsung di sini untuk menunjukkan jalan
Menuju Moralitas murni dan lain-lainnya
Bagi mereka yang mencari sarana
Untuk membawa mereka menyeberangi alam-alam
Karena hanya selama di dunia inilah
Akan berlangsung nama ‘Yang Tercerahkan’
Demikian, karena termurnikan di pikiran,
Dikenal sebagai Pertapa Agung, Pemimpin Dunia.
Penjelasan mengenai Khotbah Cinta-Kasih di dalam Ilustrator Arti Tertinggi, Komentar mengenai Kitab-kitab Minor, berakhir.
Catatan
1Ada 3 musim yang masing-masing berlangsung 4 bulan, yaitu, Gimhana (Musim Panas=kira-kira April-Juli), Vassana (Musim Hujan =kira-kira Agustus-November), dan Hemanta (Musim Dingin =kira-kira Desember-Maret). Merupakan Peraturan Vinaya bahwa para bhikkhu berdiam di satu tempat selama bulan-bulan musim Hujan. Mereka dapat melakukannya pada hari pertama bulan pertama atau hari pertama bulan kedua. Peraturan ini dibuat agar hasil bumi yang ditanam tidak terinjak-injak oleh para bhikkhu yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Pada akhir Musim Hujan, diadakan upacara yang disebut Pavarana (‘Undangan’), yang didasarkan pada pertemuan para bhikkhu yang telah melewatkan masa Musim Hujan bersama di satu tempat, dan masing-masing anggota yang hadir mengundang (pavareti) bhikkhu-bhikkhu lain untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan (pelanggaran-pelanggaran peraturan Vinaya) yang dilakukan olehnya selama tiga bulan sebelumnya sebagaimana yang mungkin dilihat, didengar atau dicurigai oleh mereka.
2Inilah beberapa acuan untuk apa yang disebutkan di alinea ini:’11 macam sifat yang menjijikkan’ adalah Perenungan akan Tubuh sebagai 31 atau 32 bagian (misalnya M. Sutta 119; Vis. Bab viii, dan karya ini, Bab iii), yang’bersama kesadaran’, sementara 10 Meditasi Mayat (Vis. Bab vi; bandingkan juga dengan 9 di M. Sutta 119) adalah ‘tanpa kesadaran’. ‘Empat yang bermula dengan Cinta-Kasih’ adalah cinta-kasih, kasih-sayang, kegembiraan (karena keberhasilan orang lain) dan ketenang-seimbangan-menonton, dengan kata lain, Empat Kediaman Agung atau Keadaan-Keadaan Tak-Terukur (Vis. Bab ix). Untuk kewaspadaan akan kematian, lihat Vis. Bab viii, kewaspadaan akan Nafas, Bab viii, Universal Tanah Bab iv, Perenungan akan Yang Tercerahkan Bab vii, Definisi Empat Elemen Bab xi, dan ke Enam Tempramen Bab iii, § 74 dst..
3Sannivittha-dikonstruksi: tidak terdapat di kamus P.T.S; lihat sannivesa Bab viii, catatan 12. Tetapi di sini, artinya dapat juga ‘hidup secara berkelompok’.
4Yamagandikam kottetva-memukul balok-kayu sebagai jam’; bandingkan § 73 di bawah. Sebenarnya tidak ada keraguan tentang hal ini, dan P.E.D, di bawah yama, acuan ini, pastilah salah, tetapi lihat di sana di bawah gandi. Hal ini dilakukan di Burma dewasa ini, dan balok-balok semacam itu juga ditemukan di Ceylon. Tujuannya di sini adalah untuk menandai tiga bagian malam, bagian pertama harus dilewatkan untuk meditasi, yang kedua untuk tidur, dan yang ketiga untuk meditasi (lihat misalnya Nd1. 377-8; juga VbhA. 363-4). Untuk pembetulan kesalahan tentang Raja Yama di P.E.D. di bawah Yama, lihat Bab vi, catatan 8.
5Araniya-untuk dihormati’: lihat Bab iv, catatan 20 dan Daftar Kosa Kata.
6 Santa memiliki arti’benar’ (ppr. Dari atthi ‘ada’, ‘eksis’)dari akar as, dan dari situlah muncul sacca (‘kebenaran’), dan juga arti ‘damai’ (pp. dari sammati ‘ditenangkan’, ‘damai’) dari akar sam. Kedua arti itu cenderung bergabung.
7 Bandingkan dengan Bab v, § 167
8 Ketiganya adalah: Pelatihan  dalam Moralitas yang lebih Tinggi (=moralitas yang berhubungan dengan pencapaian jhana atau Jalan dan Buahnya). Pelatihan dalam Kesadaran Yang Lebih Tinggi (=Konsentrasi=jhana), dan Pelatihan dalam Pemahaman yang Lebih Tinggi (=Pandangan Terang dan Empat Jalan); lihat D. iii 219
9 Hanya 20 di dalam teks dan Ss.; memakai pindapatipindam danuppa-, dan nakkhattavijjam untuk khettavijjam; B. memakai pindapatipindadanupp- seperti di P.T.S, tetapi menambahkan nakkahattavijjam setelah khettavijjam. Masing-masing membuat jumlahnya benar.
10 Bisa dicatat bahwa keyakinan, semangat, kewaspadaan dan pemahaman adalah empat dari lima Kemampuan (indriya)(‘spritual’), yang lain adalah konsentrasi (lihat S v. 193). Lima lainnya adalah Kekuatan-kekuatan (bala) bila dipertahankan di hadapan oposisi oleh sifat-sifat kebalikannya (lihat S. v. 249; Ps.i. 17).
11 Disebutkan di mana? Bab v. § 161? Lihat Vis. Bab I, § 86 dst./hal. 30 dst. (juga Ss. Hal. 57). Secara teknis, ‘mengkaji ulang’ (paccavekkhana)paling tidak memiliki dua arti teknis, yaitu, (1) mengkaii-ulang keempat kebutuhan ketika diterima dan ketika digunakan (acuan Vis. Seperti di atas), (2) mengkaji-ulang apa yang dicapai melalui pencapaian Jalan-jalan itu (Vis. Bab xxii, § 20 dst,/ hal 676 dst.)
12’Kategori Moralitas’ (Silakkhandha) adalah tiga anggota pada Jalan Mulia Berunsur-Delapan, yaitu, ucapan benar, tindakan benar, dan penghidupan benar, anggota-anggota lain yang membentuk Kategori Pemahaman (pannakkhandha), yaitu,pandangan benar dan niat benar, serta Kategori Konsentrasi (samadhikkhandha), yaitu, usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi benar (lihat M. i. 301). Dua ‘Kategori’ lain kadang-kadang ditambahkan, yang semuanya berjumlah lima; mereka adalah Kategori Pembebasan (vimuttinanadassankkhandha), yang secara berurutan berarti jalan dan Buahnya.
13Vikkhambhana-penekanan’: istilah teknis untuk ‘penekanan sementara’ pada kekotoran-kekotoran bati selama pencapaian jhana. Sering dipasangkan dengan kesendirian (viveka), pahana (‘meninggalkan’), atau vimutti (‘pembebasan’); kemudian hal itu menyambung dengan empat istilah lain, yaitu, tadanga (‘penggantian melalui pertukaran dengan kebalikannya, -misalnya ketidak-kekalan untuk kekekalan-selama pandangan terang), samuccheda (‘pemotongan’ akhir melalui pencapaian jalan), patippassaddhi(‘ penenangan usaha’ melalui pencapaian buah jalan itu), dan nissarana (‘lolos’=pemadaman=nibbana): lihat misalnya Ps. i. 27; ii.220.
14 P.T.S. Vi., B dan Ss., menghapus maggaphalena (‘karena pencapaian mereka pada jalan dan buahnya’) tetapi C. mencakupkannya. Konteks tidak membuatnya jelas apakah memang harus dihilangkan; tetapi jika dipertahankan, maka jalan Arahat dan buahnya jelas harus dipisahkan karena pada bhikkhu mencapai tingkat Arahat kemudian (§ 74).
15 Lihat Babvi, catatan 31.
16 Lihat Bab iii, catatan 61.
17 Tam dalam interpretasi ini adalah bentuk demonstrative netral yang mengacu kembali pada ‘Apa yang harus dilakukan’, yang sudah disebutkan.
18 Harus dicatat di suatu tempat bahwa P.E.D. hanya memberikan satu dari tiga arti prinsip tentang partikel eva, yaitu, (1) yang tegas. Dua yang lain adalah (2) ‘juga’, ‘pula’, dan (3) ‘hanya’ (seperti di sini dan § 36, dsb.).
19 Tiga terjermahan alternative yang disarankan oleh tiga interpretasi kitab komentar mungkin adalah : (1) ‘Apa (yam) yang harus dilakukan (karaniyam) oleh seseorang yang terampil dalam kebaikan (atthakusalena), ini (tam) sebenarnya [adalah] apa yang harus dilakukan oleh orang yang menginginkan, setelah berusaha mencapai (abhisamecca) Keadaan Damai (santam padam), untuk berdiam di dalamnya’, (2) ‘Inilah apa yang (yan tam, yaitu, ‘inilah yang’) harus dilakukan (karaniyam) untuk mencapai (abhisamecca) Keadaan Damai (santam padam)[adalah] apa yang harus dilakukan oleh orang yang terampil dalam kebaikan (atthakusalena)’, dan (3) ‘Apa (yam) yang harus dilakukan (karaniyam) oleh orang yang terampil dalam kebaikan (atthakusalena) setelah dia berusaha mencapai (abhisamecca) dengan pemahaman yang masih duniawi tentang Keadaan Damai (santam padam) [adalah] ini (tam), yaitu Tiga Pelatihan sebagai sarana untuk tiba di situ ‘. Terjermahan yang diberikan di dalam teks merupakan kompromi, yang hanya menggunakan kata-kata di cetak miring (kecuali ‘adalah’) yang ada di dalam ketiganya.
20 Frasa abhisamecca tadadhigamaya, yang harus diterjermahkan secara agak bebas dengan ‘setelah[berusaha] mencapai…[akhirnya] tiba’ adalah cara komentator yang agak putus asa; karena abhi+sam+I dan adhi+gam keduanya berarti hamper sama karena keduanya dalam bentuk gerund dan kedua akarnya berarti ‘pergi’; tetapi interpretasi ini perlu menahan beberapa keputusan akhir yang umum-yaitu ‘telah tiba’ –dari abhisamecca. Bandingkan juga akhir dari §12
21 Untuk Lima Faktor Usaha (padhaniyanga) lihat misalnya M. ii. 95. yang kedua dan keempat adalah : kesehatan dan pencernaan yang baik, dan energi untuk meninggalkan yang tidak bermanfaat.
22 Untuk’tugas-tugas’ lihat Vis. Bab iii, § 66 dst. / hal. 99 dst. ‘Memperbaiki mangkuknya sendiri, jubahnya sendiri, dsb.’ Adalah kiasan untuk apa yang di tempat lain disebut ‘memutus rintangan-rintangan yang lebih ringan’, lihat Vis. Bab iv, § 20/ hal.122.
23Honto-adalah, mahluk’: (ppr. Dari hoti) tidak terdapat di P.E.D.
24 Lihat catatan 21; faktor ketiga adalah ‘kejujuran dan ketulusan’.
25 Lihat Bab v, catatan 22
26 ‘Objek-objeknya’ adalah 40 subjek meditasi yang diberikan di Vis. Bab iv-xi dan ‘ciri-cirinya’ adalah yang dibahas di Vis. Bab xx-xxii. Kalimat ini adalah contoh dari ‘konstruksi ekor-burung-dara’ dalam bahasa Pali.
27 Lihat Bab v. § 170.
28 Pembacaan vattapatipattiyam dengan C., B dan Ss.
29 Untuk ‘banyaknya keinginan’ (atricchata, aticchata) lihat MA. ii. 138 dst. Dan Vbh. 350-1.
30 Vosasana- instruksi’; tidak terdapat di P.E.D.
31 Pembacaan samanadhammakiccakaro dengan C.; B dan Ss memakai –kiccaparo dengan edisi P.T.S.
32 Kiasan lain untuk Rintangan-rintangan yang Lebih Ringan, lihat catatan 22.
20 Lihat catatan 20
33 Kemampuan mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan juga pikiranlah yang dimaksudkan di sini.
34 Jika arsitektur Sutta ini tidak boleh terlalu dikaburkan, bacaan yang bermula di sini dan berakhir dengan kata-kata ‘melalui provokasi atau pemikiran yang menentang’ perlu dimengerti sebagai ucapan-langsung yang menyatakan pemikiran-pemikkiran cinta-kasih yang dimiliki oleh orang dari jenis yang digambarkan. Hal ini perlu sisipan, dalam versi bahasa inggris, dari beberapa frasa pengantar seperti misalnya ‘Kemudian dia berpikir’. Penggunaan bahasa Pali umum adalah menghapus frasa semacam itu. Penutupan kalimat-langsuing tanpa iti bukannya tidak biasa: hal semacam ini jelas dilakukan di Sutta ini, pada bait 9, baris terakhir (lihat §69). Sebenarnya, perencanaan arsitekturnya demikian ini:paruh pertama bait 1 sampai paruh pertama bait 3 menjelaskan moralitas-moralitas dasar; paruh kedua bait 3 sampai akhir bait 6 dalam kalimat langsung memberikan pemikiran-pemikiran cinta-kasih dari orang yang mempraktekkan moralitas tersebut; bait 7-9 menjelaskan sifat-sifat cinta-kasih yang sepenuhnya dipraktekkan sebagai konsentrasi (Samadhi atau samatha), yang disebut ‘Kediaman Luhur’ (brahma-vihara) di kehidupan ini karena membawa menuju kelahiran ulang di surga-surga Brahma (‘Dewa Tinggi’). Bait 10 menjelaskan perkembangan pandangan terang (vipassana), yang membimbing keluar dari alam kehidupan/tanpa-kehidupan menuju pemadaman (nibbana), menuju penghentian (bandingkan A.ii, 128-30).
35 Untuk konsentrasi akses (upacara) dan penyerapan (appana) lihat Vis. Bab iii, § 6/hal. 85 dan Bab iv, § 32 dst./ hal. 126 dst. Cinta-kasih dikatakan mampu menghasilkan tiga jhana pertama tetapi tidak yang keempat (Vis. Bab ix, §111/ hal. 322). Empat Kediaman Luhur maupun empat(atau lima) jhana, dan juga empat alam tanpa-materi tidak dinyatakan sebagai ‘ajaran khusus dari Mereka Yang Tercerahkan’ (buddhanam samukkamsika desana: M. i.380). Ajaran yang khusus adalah Empat Kebenaran Mulia, dan pandangan terang ke dalam Tiga Corak yaitu ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri, yang membawa menuju penembusan Kebenaran-Kebenaran itu.
36 Santhana- memantapkan’: tidak dalam pengertian ini di P.E.D., lihat santitthati.
37Pananti- bernafas’: tidak terdapat di P.E.D.
38 Istilah ‘kehidupan berunsur-lima’ (panca-vokara-bhava) mengacu pada jenis kehidupan (dumadi) di mana semua lima kategori, yaitu, bentuk (-materi), perasaan (afektif), persepsi, bentukan-bentukan (termasuk tindakan, pilihan, dsb.)dan kesadaran, selalu terwujud bersama sebagai berunsur-banyak. Itu mencakup alam nafsu-indera (kama-bhava), dan alam-materi (rupa-bhava) kecuali untuk mahluk tanpa-persepsi (lihat Vis. Bab xvii, § 253/hal. 571). Ada dua istilah gabungan, yaitu ‘kehidupan berunsur-empat’, yang mengacu pada empat alam tanpa-materi, di mana hanya ada empat kategori (minus materi), dan ‘kehidupan berunsur-satu’, yaitu, para mahluk tanpa-persepsi di alam-materi, yang hanya memiliki kategori materi.
39 Lihat M. i. 301. Yang tersirat adalah bahwa nafas, sebagaimana gizi, tidak dapat dipisahkan dari apa yang biasanya kita sebut ‘kehidupan’.
40 Kata Pali tasati dapat berarti ‘haus’ atau ‘gemetar karena ketakutan’, penjajaran alternative satanha dan sabhaya mungkin kelihatannya menunjukkan kesadaran komentator tentang 2 kata Sanskerta trsyati (kehausan, bandingkan Sanskerta trsna dan Pali tanha) dan trasati(gemetar, bandingkan Sansekerta uttrasa dan Pali uttasa); tetapi kata Pali tanha secara harfiah hamper tidak pernah berarti ‘haus’. Tetapi penjelasan Acariya Buddhaghosa pada prinsipnya tidak mencakupkan jalan lain apa pun ke Sanskerta sebagai prakrit dasar, karena seluruh system penjelasannya dirancang untuk mengembalikan lagi bahasa Pali untuk Buddhist Theravada sebagai ‘bahasa-akar’ (mula-bhasa): lihat Vis. Bab xix, §25/ hal. 441 dan VbhA. 387-8), walaupun ada ‘kata-kata pinjaman’ Sanskerta yang dipinjam secara bebas. Bahasa Sanskerta harus digantikan tempatnya dari posisi yang mungkin mengancam, sebagai media pengikut Sarvastivada dan Mahayana, untuk menenggelamkan bahasa Pali pada abad 5 di Ceylon dan India Selatan. Dalam penjelasannya, kadang-kadang beliau secara tak langsung memakai sumber-sumber Sanskerta sebagai argument penopang dalam diskusi-diskusi tata-bahasa dan sejenisnya (tidak ditunjukkan secara terbuka, tetapi biasanya sebagai ‘apa yang dikatakan di dunia (loke)’); tetapi dia tidak pernah mengakui kewenangan apa pun. Kenyataan ini harus dipertimbangkan sebelum bisa dipastikan bahwa pengetahuannya akan bahasa Sanskerta ternyata salah, berdasarkan –misalnya saja- penjelasan tentang dosina di MA. ii. 250 di mana Beliau tidak menyebutkan kata Sanskerta jyotsna, dan malahan menurunkannya dari kata Pali dosapagata. Dengan kebijakan ‘bahasa-akar’, yang jelas disebutkan, bagaimana kata itu dapat dijadikan turunan dari bahasa Sanskerta jyotsna (salah satu padanannya dalam bahasa Pali adalah junha)? Bahkan sekarang ini pun kita bisa mempertanyakan sejauh mana keabsahan dan kebenaran pernyataan bahwa semua prakrit berasal dari Sanskerta (lihat Dict. Intro dari Childers) dan apakah memang demikian.
41 Lihat Bab vi, catatan 51 dan Bab vii, catatan 4 untuk ‘dumadi’.
42 Lihat definisi yang diberikan di Vis. Bab ix, § 92/hal. 317. (Betulkan ‘meleleh’ menjadi ‘menggemukkan’ di Ppn.).
43 Untuk tiga jenis dumadi ini, lihat misalnya M. I. 50 dan A. i. 224-5 (dikutip di Bab vii, no. 4). Lihat Apendiks II.
44 ‘Metafor’ karena diskripsi-diskripsi sehubungan dengan manusia ada dalam hubungannya yang tidak-faktual (avijjamana-pannatti); lihat Bab v, catatan 19.
45 Tiga kediaman pertama adalah yang diberikan di D. iii.220. ‘Kediaman dalam empat postur’ adalah istilah untuk proses penghidupan, lihat misalnya Bab v, § 61.
46 Lima faktor jhana pertama adalah : berpikir (vitakka), menjelajahi(vicara), kebahagiaan (piti), kesenangan (sukha), dan kemanunggalan kesadaran (cittass’ekaggata=kosentrasi). Lihat Vis. Bab iv, § 106/hal 146. untuk ‘pemahaman’ (pariggaha) lihat Vis. Bab xviii dst.
47 Untuk ‘nama-dan-rupa’ lihat Bab iv, catatan 15.
48 Moralitas di-atas-duniawi’ adalah moralitas yang ditemukan di dalam diri orang yang telah merealisasikan penghentian, yaitu mencapai salah satudari empat jalan dan secara fakta telah disebut ‘Manusia-Agung’. Penghentian yang direalisasikan itu disebut ‘tak-terkondisi’ (asankhata) dan di-luar-duniawi (lokuttara) tak peduli apakah manusia atau dewa, dengan-materi (rupa) atau tanpa-materi(arupa), yang semuanya merupakan alam(loka) yang terkondisi (sankhata).
49 Bandingkan khususnya Sutta-sutta di A. ii. 128-30.
4 Lihat catatan 4
50 Lihat Bab vii, catatan 2.