Jumat, 02 Maret 2012

Mucalinda

BAB 2
MUCALINDA

2.1 Mucalinda
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di hutan Uruvela, di dekat sungai Neranjara, di bawah pohon Mucalinda, baru saja beliau mencapai Penerangan Sempurna.
Pada saat itu Sang Bhagava duduk bermeditasi selama tujuh hari menikmati kebahagiaan dari Kebebasan. Saat itu walaupun bukan masanya, terjadilah hujan badai yang besar, dan selama tujuh hari terdapat awan-awan hitam, angin dingin dan cuaca yang tidak menentu. Waktu itu Mucalinda, Raja-Naga, meninggalkan tempat tinggalnya dan sesudah melingkari tubuh Sang Bhagava tujuh kali dengan tubuhnya, dia berdiri dengan kerudung kepalanya yang terbentang di atas kepala Sang Bhagava, (sambil berpikir) untuk melindungi Sang Bhagava dari dingin dan panas, dari pengganggu, nyamuk, angin, matahari, dan sentuhan makhluk-makhluk yang menjalar. [1]
Pada akhir tujuh hari itu, Sang Bhagava berhenti dari meditasi-Nya. Saat itu Mucalinda, Raja-Naga, melihat bahwa langit telah cerah dan awan-awan hujan telah berlalu, melepas lingkaran tubuhnya dari tubuh Sang Bhagava. Dengan merubah penampilannya dan membentuk penampilan sebagai seorang pemuda, dia berdiri di depan Sang Bhagava, dengan tangan dirangkapkan, untuk menghormat beliau.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Berbahagia adalah ketidakterikatan bagi seseorang yang puas hati,
bagi seseorang yang sudah belajar Dhamma dan yang melihat;
berbahagia adalah tidak adanya penderitaan di dunia ini,
mengendalikan diri terhadap makhluk-makhluk hidup;
berbahagia adalah tidak adanya nafsu di dunia ini,
mengalahkan nafsu-nafsu indria;
tetapi menghilangkan kesombongan “aku”,
itu adalah benar-benar kebahagiaan tertinggi.

2.2 Raja-raja
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu setelah selesai makan, ketika kembali dari mengumpulkan makan, sejumlah bhikkhu telah berkumpul di ruang pertemuan ketika pembicaraan ini muncul: “Yang manakah dari kedua raja ini, kawan, yang mempunyai kekayaan lebih besar, harta milik yang lebih banyak, harta karun yang lebih besar, wilayah, kendaraan, tentara, kesejahteraan, dan kekuasaan yang lebih besar: Seniya Bimbisara raja dari Magadha, atau Pasenadi raja dari Kosala?” Dan percakapan para bhikkhu berlanjut tanpa akhir.
Saat itu Sang Bhagava muncul dari bermeditasi Nya di sore hari, menuju ke ruang pertemuan dan duduk di tempat duduk yang sudah disediakan untuk Nya. Duduk di sana Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu: “Apa yang tadi sedang kalian bicarakan, wahai bhikkhu, sementara berkumpul di sini? Apakah pokok bahasan yang dibiarkan tidak terselesaikan?”
“Setelah makan, Sang Bhagava,…..pokok pembicaraan ini muncul: “yang manakah dari kedua raja ini yang mempunyai kekayaan lebih besar ….. Seniya Bimbiska raja dari Magadha atau Pasenadi raja dari Kosala ? Inilah Sang Bhagava, yang merupakan bahasan yang belum selesai ketika Sang Bhagava tiba”.
“Tidaklah benar, wahai bhikkhu, bahwa kalian anak-anak dari keluarga yang baik, yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari keadaan berumah menuju keadaan tak berumah, membicarakan pokok bahasan semacam itu. Jika kalian berkumpul bersama, bhikkhu, kalian harus melakukan salah satu dari dua hal ini: berbicaralah mengenai Dhamma atau pertahankan kesunyian yang agung”. [2]
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Kebahagiaan apapun yang diperoleh melalui kesenangan indria di dunia ini,
dan apapun yang ada dari kebahagiaan surgawi,
semua ini tidaklah sepadan dengan seperenambelas dari kebahagiaan yang
muncul ketika nafsu keinginan berakhir.

2.3 Tongkat
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu, di daerah antara Savatthi dan hutan Jeta, sejumlah anak laki-laki sedang memukuli seekor ular dengan tongkat. Sang Bhagava sesudah memakai jubah Nya di pagi itu dan membawa mangkok dan jubah luarNya, sedang pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan, ketika beliau melihat anak-anak ini di daerah antara Savatthi dan hutan Jeta sedang memukuli seekor ular dengan sebuah tongkat.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Siapa yang menyakiti mahluk hidup dengan tongkat untuk
memperoleh kebahagiaan,
walaupun dia sendiri mencari kebahagiaan,
dia tidak mendapatkannya sesudah kematian.
Siapa yang tidak melukai mahluk hidup dengan tongkat untuk
memperoleh kebahagiaan,
sementara dia sendiri mencari kebahagiaan,
dia mendapatkannya sesudah kematian.

2.4 Terhormat
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava dihormati, dipuja, dihargai, dimuliakan, dan disembah dan beliau mendapat kebutuhan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Dan Sangha pun dihormati. Tetapi para pertapa kelana dari ajaran lain tidak dihormati, dihargai, dimuliakan, diagungkan, dan disembah, dan mereka tidak mendapatkan keperluan-keperluan pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Maka para pertapa kelana dari ajaran lain karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditujukan terhadap Sang Bhagava dan Sangha; ketika melihat para bhikkhu di desa dan di hutan, mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan para bhikkhu dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar.
Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagava bersujud dan duduk di satu sisi. Ketika duduk di sana para bhikkhu berkata kepada Sang Bhagava: “Pada saat ini, Bhante, Sang Bhagava dihormati, …… dan Sangha juga dihormati, ….. tetapi pertapa kelana dari ajaran lain tidak dihormati, ….. dan sekarang, Bhante, para pengembara itu, karena tidak dapat bertoleransi menghadapi rasa hormat yang ditujukan kepada Sang Bhagava ….. ketika melihat para bhikkhu, menggusarkan dan membuat jengkel mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar”.
Kemudian ketika menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Bila terpengaruh rasa senang dan rasa tidak senang di desa dan di hutan,
seseorang seharusnya tidak mengkaitkannya pada dirinya
sendiri atau orang lain,
kontak mempengaruhi seseorang yang tergantung pada kemelekatan, [3]
bagaimanakah kontak dapat mempengaruhi seseorang yang
tanpa kemelekatan ?

2.5. Pengikut Awam
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu seorang pengikut awam dari Icchanangala tiba di Savatthi karena suatu urusan. Kemudian setelah urusan di Savatthi selesai, pengikut awam mendekati Sang Bhagava bersembah sujud, dan duduk di satu sisi. Ketika dia duduk di sana Sang Bhagava berkata kepada pengikut awam tersebut: “Akhirnya, hai pengikut awam, engkau telah mendapat kesempatan untuk datang kemari”.
“Bhante, sudah lama saya ingin datang dan menemui Bhante, tetapi karena terlibat dalam berbagai macam urusan dagang yang harus dilaksanakan, saya tidak dapat datang secara pribadi dan menemui Bhante”.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Memang membahagiakan tidak memiliki apa-apa,
bila seseorang telah mempelajari dan menguasai Dhamma,
lihat bagaimana orang-orang yang memiliki benda-benda
itu akan menderita,
terikat kepada hal itu karena kewajiban-kewajiban mereka.

2.6. Wanita Hamil
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu isteri seorang kelana yang masih muda berkata kepada suaminya -si kelana- itu: “pergi dan ambilkan minyak, brahmana, saya akan menggunakannya waktu melahirkan”.
Ketika permohonan itu sudah diucapkan, si kelana menjawab kepada isterinya: “Tetapi dimana saya mendapat minyak untukmu?”
Untuk kedua dan ketiga kalinya wanita itu berkata kepada suaminya: “Pergi dan ambilkan minyak, brahmana, saya akan menggunakannya waktu melahirkan”.
Pada saat itu di rumah perbekalan milik Raja Pasenadi dari Kosala sedang dibagikan ghee (mentega murni dari susu kerbau) atau minyak bagi para pertapa atau brahmana sebanyak yang dia inginkan, untuk diminum, tetapi tidak untuk dibawa pergi. Maka si kelana itu berpikir: “Di rumah perbekalan Raja Pasenadi dari Kosala sedang diadakan pemberian ghee atau minyak sebanyak yang diinginkan brahmana untuk diminum, tetapi tidak untuk dibawa pulang. Bagaimana seandainya saya pergi ke rumah perbekalan dan minum minyak sebanyak yang saya inginkan, dan sesudah pulang, lalu memuntahkannya kembali, saya dapat memberikannya kepada isteriku untuk digunakan pada saat melahirkan”. Maka si kelana itu pergi ke rumah perbekalan milik Raja Pasenadi dari Kosala dan sesudah minum minyak sebanyak yang dia inginkan, dia pulang, tetapi ia tidak dapat memuntahkannya atau mengeluarkannya kembali. Karena mengalami perasaan yang gawat, sakit, menusuk dan parah, dia menggulung-gulung kesakitan.
Saat itu Sang Bhagava sesudah memakai jubahNya sebelum siang hari, membawa mangkok dan jubah luarNya, pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan. Dan Sang Bhagava melihat si kelana sedang bergulung-gulung kesakitan.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Benar-benar bahagia orang yang tidak memiliki apa-apa,
mereka yang memiliki pengetahuan tertinggi tidak memiliki apa-apa,
lihatlah bagaimana orang-orang yang memiliki benda-benda itu
akan menderita,
terikat kepada hal itu karena kewajiban-kewajiban mereka.

2.7. Anak Satu-satunya
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu anak tunggal tercinta seorang pengikut awam meninggal dunia. Kemudian sejumlah pengikut awam dengan pakaian dan rambut basah mendekati Sang Bhagava di tengah hari, bersujud dan duduk di satu sisi. Sementara mereka duduk di sana Sang Bhagava berkata kepada para pengikut awam itu: “Mengapa kalian datang kemari di tengah hari, pengikut awam, dengan pakaian dan rambut basah ?”
Ketika hal itu telah diucapkan, pengikut awam tersebut berkata kepada Sang Bhagava: “Sang Bhagava, anak tunggal yang sangat saya cintai meninggal dunia. Itulah sebabnya kami datang kemari di tengah hari dengan pakaian dan rambut basah”. [4]
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Para dewa dan sebagian besar manusia benar- benar terbelenggu,
oleh apa yang mereka anggap sebagai yang tersayang dan menyenangkan,
lesu karena kesedihan (ketika orang-orang yang mereka
sayangi meninggal dunia),
mereka jatuh ke dalam kuasa raja kematian, [5]
tetapi mereka yang waspada siang dan malam,
yang melepaskan apapun yang dicinta,
kedatangan kematian yang begitu sulit ditanggulangi,
mereka telah mencabut akar kesedihan.

2.8. Suppavasa
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di Kundiya, di hutan Kunditthana. [6] Pada saat itu Suppavasa putri Koliya telah mengandung selama 7 tahun dan 7 hari sedang mengalami kesulitan melahirkan. [7] Tetapi walaupun dia mengalami perasaan yang gawat, menyakitkan, menusuk, tajam dan parah, pikirannya dipenuhi tiga hal: “Sang Bhagava benar-benar seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna, yang mengajar Dhamma untuk melepaskan penderitaan semacam ini; Sangha pengikut Sang Bhagava memang benar maju menuju jalan yang benar, mengikuti jalan untuk melepaskan penderitaan semacam ini; Nibbana memang benar-benar kebahagiaan sempurna, di sana penderitaan semacam ini tidak diketemukan”.
Kemudian Suppavasa putri Koliya berkata kepada suaminya: “Tuanku, pergilah kepada Sang Bhagava dan datangilah beliau atas namaku, hormatilah Sang Bhagava dengan kepalamu di kaki Nya, dan tanyakan mengenai kesehatan dan keadaan, kesejahteraan, kekuatan dan kenyamanan beliau dengan mengatakan: “Suppavasa, putri Koliya, Bhante, menghormat Sang Bhagava dengan kepalanya di kaki Bhante dan menanyakan tentang kesehatan dan keadaan, ….. “. Dan juga katakan: “Suppavasa, Bhante, telah hamil 7 tahun dan selama 7 hari mengalami kesulitan melahirkan. Tetapi walaupun dia mengalami perasaan gawat,….., pikirannya dipenuhi tiga hal: “Sang Bhagava benar-benar seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna,…..; Nibbana memang benar-benar kebahagiaan sempurna, di sana penderitaan semacam ini tidak diketemukan “.
“Baiklah” jawab putra Koliya [8] kepada Suppavasa, dan dia mendatangi Sang Bhagava, bersujud dan duduk di satu sisi. Sementara duduk di sana, dia berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, Suppavasa, putri Koliya menghormat Sang Bhagava dengan kepalanya di kaki Bhante ….. Tetapi walaupun dia mengalami perasaan gawat ….. pikirannya dipenuhi tiga hal …..”
“Semoga Suppavasa putri Koliya dalam keadaan baik dan sehat dan melahirkan seorang anak lelaki yang sehat”. (Ketika Sang Bhagava telah mengucapkan hal itu, Suppavasa putri Koliya menjadi sembuh dan sehat dan melahirkan seorang anak lelaki sehat).
Putra Koliya berkata: “Semoga demikian, Bhante”, gembira dan penuh penghargaan terhadap kata-kata Sang Bhagava. Dia bangkit dari duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, sambil tetap berada di sebelah kanan beliau, pulang ke rumah.
Dan putra Koliya melihat bahwa Suppavasa dalam keadaan baik dan sehat dan telah melahirkan seorang anak lelaki yang sehat. Ketika melihat ini dia berpikir: “Memang benar-benar hebat, memang betul-betul mengagumkan kemampuan dan kekuatan luar biasa Sang Tathagata [9] yang sangat besar. Ketika kata-kata itu diucapkan oleh Sang Bhagava; Suppavasa menjadi sembuh dan sehat dan melahirkan seorang anak lelaki yang sehat”. Dan dia sangat senang dan gembira, dan menjadi riang dan bahagia.
Kemudian Suppavasa berkata kepada suaminya: “Tuanku, pergilah kepada Sang Bhagava dan datangilah beliau atas namaku, hormatilah Sang Bhagava dengan kepalamu di kaki beliau dan katakan: “Suppavasa putri Koliya, Bhante, menghormat Sang Bhagava dengan kepalanya di kaki Bhante”. Dan juga katakan: “Suppavasa, Bhante, telah hamil selama 7 tahun dan selama 7 hari mengalami kesulitan melahirkan. Dia sekarang dalam keadaan baik dan sehat dan telah melahirkan seorang anak lelaki yang sehat. Dia mengundang Sangha untuk menerima dana makanan selama 7 hari. Mohon, Bhante, mengabulkan Suppavasa untuk menyediakan dana makanan selama 7 kali kepada Sang Bhagava bersama dengan Sangha”.
Pada saat itu seorang pengikut awam lain telah mengundang Sangha yang dipimpin Sang Buddha untuk menerima dana makanan hari berikutnya dan pengikut awam tersebut adalah pendukung Yang Ariya Mahamoggallana. Kemudian Sang Bhagava memanggil Yang Ariya Mahamoggallana dan berkata: “Mahamoggallana, Suppavasa, putri Koliya, mengundang Sangha yang dipimpin Sang Buddha untuk menerima dana makanan selama 7 hari. Ijinkan Suppavasa memberikan 7 kali dana makanannya. Pendukungmu dapat memberikan dana makanannya sesudah itu”.
“Baiklah, Bhante”, Yang Ariya Mahamoggallana menjawab Sang Bhagava dan dia pergi ke pendukung awam tersebut dan mengulang apa yang Sang Bhagava katakan.
“Bhante, jika Yang Ariya Mahamoggallana mau menjadi penanggungku untuk 3 hal – untuk kekayaan, untuk kehidupan dan untuk keyakinan – maka biarlah Suppavasa, putri Koliya memberikan 7 kali dana makanan dan saya akan memberikan bagianku sesudah itu”.
“Untuk dua dari hal-hal itu, sahabat, saya akan memberikan tanggunganku, untuk kekayaan dan kehidupan; tetapi untuk keyakinan, kamu adalah penanggungmu sendiri”.
“Bhante, jika Yang Ariya Mahamoggallana mau menjadi penanggungku untuk dua hal yaitu untuk kekayaan dan kehidupan, saya mengijinkan Suppavasa untuk memberikan 7 kali dana makanannya. Saya akan memberikan bagianku sesudah itu”.
Kemudian Yang Ariya Mahamoggallana, sesudah mendapatkan persetujuan dari pengikut awam tersebut, mendekati Sang Bhagava dan berkata: “Pengikut awamku telah setuju, Bhante. Biarlah Suppavasa putri Koliya memberikan 7 kali dana makanannya. Ia akan memberikan bagiannya sesudah itu “.
Maka Suppavassa, putri Koliya, dengan tangannya sendiri, melayani dan memenuhi kebutuhan Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan makanan mewah yang lunak dan padat, selama 7 hari. Dan dia menyuruh anaknya memberi hormat kepada Sang Bhagava dan kepada seluruh bhikkhu. Kemudian Yang Ariya Sariputta berkata kepada anak itu: “Apakah kamu baik-baik saja, nak ? Apakah kamu sehat ? Apakah kamu merasakan sakit?”
“Yang Ariya Sariputta, bagaimana saya baik-baik saja ? Bagaimana saya dapat sehat ? Saya sudah melewatkan 7 tahun di dalam kawah darah”. [10]
Kemudian Suppavasa (berPikir), “Putraku sedang bercakap-cakap dengan Jenderal Dhamma”, [11] merasa senang dan gembira dan menjadi riang dan bahagia. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Suppavasa: “Apakah kamu berharap bisa mempunyai putra seperti itu lagi ?”
“Saya berharap, Bhante, saya bisa mempunyai 7 putra seperti itu lagi !”
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Ketidaksenangan dalam samaran kesenangan,
yang tidak dicinta dalam samaran cinta,
penderitaan dalam samaran kebahagiaan,
menguasai orang yang tidak waspada.

2.9. Visakha
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di Taman Timur, di rumah induk lbu Migara.
Pada saat itu, Visakha, Ibu Migara, [12] sedang terlibat suatu urusan dengan Raja Pasenadi dari Kosala, dan raja ini tidak menyelesaikan urusan seperti yang dia inginkan. Jadi Visakha mendatangi Sang Bhagava di tengah hari, bersujud dan duduk di satu sisi. Sementara duduk di sana, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Visakha, dari mana kamu di tengah hari ini ?”
“Saya terlibat suatu urusan, Bhante, dengan Raja Pasenadi dari Kosala, dan raja ini tidak menyelesaikan urusan seperti yang saya inginkan”.
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Tunduk kepada yang lain itu tidak menyenangkan,
bisa menguasai adalah menyenangkan,
perkongsian bisa berakibat penderitaan,
keterikatan-keterikatan sulit untuk ditanggulangi.

2.10. Bhaddiya
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di Anupiya, di kebun Buah Mangga. Pada saat itu Yang Ariya Bhaddiya, putra Kaligodha, ketika pergi ke hutan menuju kaki suatu pohon atau suatu tempat kosong, terus menerus mengatakan: “Ah, alangkah bahagianya ! Ah, alangkah bahagianya !”
Sejumlah bhikkhu mendengar Yang Ariya Bhaddiya ….. terus-menerus mengatakan: “Ah, alangkah bahagianya ! Ah, alangkah bahagianya !” dan pikiran ini muncul dalam benak hati mereka: “Tidak mengherankan, sahabat, Yang Ariya Bhaddiya, putra Kaligodha, tidak puas dalam menjalani hidup suci, karena dulu ketika dia menjadi seorang perumah tangga, dia menikmati kebahagiaan kebangsawanan. Dan ketika mengingat kembali itu semua, pada saat pergi ke hutan ….. ia mengatakan: “Ah, alangkah bahagianya ! Ah, alangkah bahagianya !
Kemudian sejumlah bhikkhu menghadap Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan melaporkan hal itu kepada Sang Bhagava.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu: “Bhikkhu, atas namaku, beritahu Bhikkhu Bhaddiya; Guru memanggilmu, sahabat Bhaddiya”.
“Baiklah, Bhante”, jawab bhikkhu itu dan ketika mendekati Yang Ariya Bhaddiya, putra Kaligodha, dia berkata: “Guru memanggil Yang Ariya Bhaddiya”.
“Baiklah, sahabat”, jawab Bhaddiya, dan ketika menghadap Sang Bhagava, bersujud dan duduk di satu sisi. Sang Bhagava kemudian berkata kepadanya: “Apakah benar, Bhaddiya, bahwa ketika pergi ke hutan ….. kamu berkata: “Ah, alangkah bahagianya ! Ah, alangkah bahagianya !”
“Ya, Bhante”.
“Tetapi, Bhaddiya, apa yang kamu lihat, yang menyebabkan kamu melakukan itu ?”
“Dulu, Bhante, ketika saya seorang perumah tangga menikmati kebahagiaan kebangsawanan; di dalam dan di luar terdapat penjaga rumah bagian dalamku; di dalam dan di luar terdapat penjaga kota dan di dalam dan di luar terdapat penjaga wilayah. Tetapi, Bhante, walaupun saya dijaga dan dilindungi sedemikian rupa, saya hidup penuh ketakutan, gelisah, tidak percaya diri dan cemas. Tetapi sekarang, Bhante, ketika saya pergi ke hutan, ke kaki pohon, atau ke tempat kosong; saya tidak takut, tidak gelisah, merasa percaya diri dan tidak cemas. Saya hidup lega, tenang, kebutuhan-kebutuhanku terpenuhi, dengan pikiran menjadi seperti pikiran seekor rusa. [13] Melihat hal ini, Bhante, menyebabkan saya, ketika pergi ke hutan ….. berkata terus-menerus: Ah, alangkah bahagianya ! Ah, alangkah bahagianya !”
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dalam diri mereka yang tidak memiliki pikiran amarah,
yang sudah melewati keadaan menjadi ini atau itu,
bebas dari rasa takut, bahagia dan tanpa derita,
para dewa tidak mampu melihat dia. [14]

Catatan Kaki :
  1. Naga adalah golongan mahluk setengah dewa dalam cerita rakyat India yang menghuni lautan, sungai dan kolam; mereka dianggap sebagai penjaga harta karun tersembunyi. Mereka mempunyai bentuk kobra dan digambarkan dalam kesenian sebagai setengah manusia, setengah ular. Nama Muccalinda berasal dari pohon yang tumbuh di sebelah kolam yang merupakan tempat tinggalnya.
  2. Comy. menerangkan “kesunyian yang agung” (ariyo tunhibhavo) sebagai tidak berbicara sementara sedang sibuk mengembangkan ketenangan dan pengertian yang dalam. Hal ini mengulang pernyataan Sang Buddha ketika menasihati para bhikkhu bahwa ketika mereka hidup dalam kesendirian untuk tujuan mencapai pelepasan mental, jika bertemu, mereka seharusnya saling membantu dengan cara membahas Dhamma atau menghindari saling mengganggu dengan cara berdiam diri dalam pencapaian Jhana.
  3. Phusanti phassa upadhim paticca, secara harafiah berarti “kontak menyentuh seseorang yang tergantung pada kemelekatan.” Walaupun Comy. disini mengambil upadhi dalam arti lima kumpulan, yang menerangkan bahwa kontak muncul hanya jika kumpulan itu ada, dalam lingkup upadhi kelihatannya diambil dalam pengertian kemelekatan atau keterikatan, dan menginterpretasikan kata “menyentuh” secara metafora dalam arti “mempengaruhi.”
  4. Sudah merupakan adat di sana untuk melakukan mandi dan pembersihan diri ritual setelah penguburan. “Di tengah hari” berarti pada waktu berkunjung yang tidak cocok, salah atau tidak biasa.
  5. Maccuraja, identik dengan Mara yang dipersonifikasikan sebagai Tuan dari orang-orang yang (secara spiritual) mati.
  6. Juga disebut Kundadhana, Kundikana, dan sebagainya.
  7. Mulhagabbha: kesulitan dalam melahirkan, “komplikasi.” Malalasekera menyarankan “tujuh tahun” itu berarti sederetan keguguran.
  8. Nama sesungguhnya tidak diberikan. Comy. mengatakan dia adalah putra (putta) dari raja Koliya seperti halnya Suppavasa adalah putri (dhita) dari raja, yang berarti bahwa mereka merupakan bangsawan Koliya, bukan berarti mereka bersaudara.
  9. Comy. membutuhkan tiga puluh halaman untuk menguraikan arti kata “Tathagata” Untuk terjemahan set pertama keterangan dan suatu komentar lain, lihat Bhikkhu Bodhi, Discourse on the Allembracing Net of Views (Kandy: BPS, 1978), hal. 331-44.
  10. Yaitu kandungan. Dia akan menjadi Tetua Sivali. Mampu untuk bercakap-cakap sebagai bayi yang baru lahir, hanya merupakan salah satu dari sejumlah perbuatan menakjubkan yang beliau bisa lakukan.
  11. Dhammasenapati: gelar Sariputta sebagai salah satu dari dua murid utama Sang Buddha, yang lain adalah Maha Moggallana.
  12. Walaupun Visakha sebenarnya adalah menantu perempuan Migara, Migara menghormatinya dengan menyebutnya ibunya, karena melalui Visakhalah Migara menjadi pengabdi Sang Buddha dan mencapai Sotapanna. Cerita itu terdapat dalam Buddhist Legends, 2:74-75.
  13. Comy. menerangkan: “Sebagai mana seekor rusa, yang hidup dalam hutan yang tidak dijelajah manusia, berdiri, duduk dan tidur dengan penuh percaya diri, dan pergi kemanapun dia inginkan tanpa terhalang geraknya, begitulah juga saya hidup.”
  14. Comy. menerangkan: “Kecuali bagi mereka yang sudah mencapai jalan (Arahat), tidak satupun dari mereka yang lahir kembali sebagai dewa mampu untuk melihat Nya; mereka tidak dapat melihat Nya sekalipun jika mereka mencoba, dalam pengertian bahwa mereka tidak dapat melihat keadaan batin Nya (cittacara). Apalagi manusia. Karena seperti mahluk dunia, sekalipun pengikut latihanpun (sekha) tidak dapat memahami proses batin seorang Arahat.” Bandingkan dengan Dhp.92: “Mereka yang tidak mengumpulkan, dan mereka yang bijaksana dalam hal makan, yang objeknya adalah kekosongan, kebebasan yang tak berkondisi, jalur mereka tidak dapat ditelusuri, seperti jalur burung di udara.”