Kamis, 01 Maret 2012

Navaka

BAB SEMBILAN

Kelompok Sembilan
175. Meghiya
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Calika, di Bukit Calika. Di sana, Y.M. Meghiya – yang pada waktu itu adalah pendamping Yang Terberkahi1 – menghampiri Yang Terberkahi, memberi hormat kepada Beliau, dan berkata sambil berdiri di satu sisi:
“Bhante, saya ingin pergi ke Jantugama untuk mengumpulkan dana makanan.”
“Engkau boleh melakukan apa yang kau pikir tepat, Meghiya.”
Maka Y.M. Meghiya setelah berpakaian di pagi hari, mengambil jubah serta mangkuknya – pergi ke Jantugama untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah berkeliling mengumpulkan dana dan kemudian makan, dia pergi ke tepi Sungai Kimikala.
Di sana, ketika berjalan berkeliling untuk meregangkan kaki, dia melihat hutan mangga yang menyenangkan dan indah. Pada saat melihat hutan itu, dia berpikir: “Sungguh menyenangkan hutan mangga ini; sungguh indah. Benar-benar tempat ini cocok bagi orang yang ingin berjuang dalam meditasi. Jika Yang Terberkahi mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga ini untuk berjuang dalam meditasi.”
Kemudian Y.M. Meghiya menemui Yang Terberkahi dan berkata: “Bhante, setelah mengumpulkan dana makanan dan makan di Jantugama, saya pergi ke tepi Sungai Kimikala. Ketika berjalan di sana, saya melihat hutan mangga yang menyenangkan dan indah, yang saya pikir cocok bagi orang yang ingin berjuang dalam meditasi. Jika Yang Terberkahi mengizinkan, saya akan pergi ke sana dan berjuang dalam meditasi.”
“Tunggu sebentar Meghiya. Kita sedang sendirian di sini. Biarlah bhikkhu lain datang dahulu.”
Tetapi Y.M. Meghiya mengulangi permohonannya: “Bhante, bagi Yang Terberkahi memang tidak ada lagi yang harus dicapai dan Beliau tidak perlu lagi menguatkan apa yang telah dicapai. Namun bagi saya, Bhante, masih ada yang harus dicapai dan saya perlu menguatkan apa yang telah saya capai. Jika Yang Terberkahi mengizinkan, saya akan pergi ke hutan mangga itu dan berjuang.”
Sekali lagi Yang Terberkahi memintanya untuk menunggu, dan sekali lagi Y.M. Meghiya mengajukan permohonannya untuk ketiga kalinya. (Kemudian Yang Terberkahi berkata,)
“Karena kamu bicara tentang berjuang, Meghiya, apa yang bisa kukatakan? Engkau boleh melakukan apa yang kau pikir tepat.”
Y.M. Meghiya kemudian berdiri dari tempat duduknya dan menghormat Yang Terberkahi. Sambil tetap menjaga Beliau berada di sebelah kanannya, Y.M. Meghiya pergi ke hutan mangga itu. Setelah tiba di sana, dia masuk ke dalam hutan dan duduk di bawah sebuah pohon untuk menghabiskan harinya di sana. Tetapi sementara berdiam di hutan mangga itu, tiga pemikiran yang jahat dan tak-bajik terus-menerus mengganggunya, yaitu: pemikiran sensual, pemikiran niat jahat, dan pemikiran kekerasan.2
Maka dia berpikir: “Benar-benar aneh, sungguh mengherankan! Aku telah meninggalkan rumah untuk masuk ke dalam kehidupan tak-berumah karena keyakinanku. Namun masih saja aku diganggu oleh tiga pemikiran yang jahat dan tak-bajik ini, yaitu: pemikiran sensual, pemikiran niat jahat dan pemikiran kekerasan.”
Kemudian Y.M. Meghiya kembali kepada Yang Terberkahi, dan setelah memberi hormat pada Beliau, dia menceritakan apa yang terjadi: “Benar-benar aneh, sungguh mengherankan! Saya telah meninggalkan rumah untuk masuk ke dalam kehidupan tak-berumah karena keyakinan saya. Namun masih saja saya diganggu oleh tiga pemikiran yang jahat dan tak-bajik ini.”
“Meghiya, jika pikiran masih kurang matang untuk pembebasan, ada lima kondisi yang mendukung untuk membuatnya matang. Apakah yang lima itu?
“Meghiya, hal pertama yang membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan adalah memiliki teman yang mulia, sahabat yang mulia, kawan yang mulia.”3
“Kemudian, Meghiya, seorang bhikkhu harus bermoral, mengendalikan diri dengan peraturan Patimokkha, sempurna di dalam tindakan dan usaha, melihat bahaya di dalam kesalahan terkecil sekalipun. Setelah mengambil peraturan-peraturan latihan, dia harus berlatih diri di dalamnya. Inilah hal kedua yang membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Kemudian, Meghiya, pembicaraan dimana bhikkhu itu terlibat harus cocok dengan kehidupan yang sederhana dan membantu kejernihan mental; ini berarti pembicaraan tentang sedikitnya keinginan, tentang kepuasan, tentang kesendirian, tentang ketenangan, tentang pengerahan semangat, tentang moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, dan tentang pengetahuan serta pandangan pembebasan. Jika seorang bhikkhu memperoleh kesempatan untuk terlibat di dalam pembicaraan tentang hal-hal itu dengan mudah dan tanpa kesulitan, inilah hal ketiga yang membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Kemudian, Meghiya, seorang bhikkhu hidup dengan semangat yang ditujukan untuk melepaskan semua yang tak-bajik dan mengumpulkan semua yang bajik, maka dia kokoh dan kuat di dalam usahanya, tidak melalaikan tugas-tugasnya sehubungan dengan kualitas-kualitas yang bajik. Inilah hal keempat yang membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Kemudian, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki kebijaksanaan; dia dilengkapi dengan kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya fenomena, yang agung dan menembus, yang menuju pada hancurnya penderitaan secara total. Inilah hal kelima yang membuat pikiran yang tidak matang menjadi matang untuk pembebasan.”
“Meghiya, bila seorang bhikkhu memiliki teman yang mulia, sahabat dan kawan yang mulia, dapat diharapkan bahwa dia akan menjadi bermoral … bahwa dia akan terlibat di dalam pembicaraan yang cocok dengan kehidupan yang sederhana dan bermanfaat untuk kejernihan mental … bahwa energinya akan dikerahkan untuk meninggalkan semua yang tak-bajik dan mengumpulkan semua yang bajik … bahwa dia akan dilengkapi dengan kebijaksanaan yang membawa pada hancurnya penderitaan secara total.”
“Kemudian, Meghiya, bila seorang bhikkhu telah mantap dalam lima hal ini, dia harus mengembangkan empat hal lain: dia harus mengembangkan meditasi tentang kekotoran (tubuh) untuk menghilangkan nafsu; dia harus mengembangkan cinta kasih untuk meninggalkan niat jahat; dia harus mengembangkan kewaspadaan terhadap pernafasan untuk memotong pemikiran yang mengganggu; dia harus mengembangkan pengertian tentang ketidakkekalan untuk menghilangkan kesombongan tentang ‘Aku’. Di dalam diri orang yang memahami ketidakkekalan, pemahaman tentang tanpa-diri akan tertanam dengan mantap; dan orang yang memahami tanpa diri akan mencapai hapusnya kesombongan tentang ‘Aku’ dan mencapai Nibbana di dalam kehidupan ini juga.” 4
(IX, 3)
176. Terbebas dari Lima Ketakutan
O para bhikkhu, ada empat kekuatan. Apakah yang empat itu? Kekuatan kebijaksanaan, kekuatan semangat, kekuatan kehidupan yang tak ternoda dan kekuatan kebaikan hati.
Dan apakah, O para bhikkhu, kekuatan kebijaksanaan itu? Mengenai hal-hal yang tak-bajik dan dianggap sebagai tak-bajik, mengenai hal-hal yang bajik dan dianggap sebagai bajik; yang tak tercela dan yang tercela, dan dianggap sebagai demikian; yang gelap dan terang, dan dianggap sebagai demikian; yang cocok dan tidak cocok untuk dilatih, dan dianggap sebagai demikian; yang berharga dan tidak berharga bagi para mulia, dan dianggap sebagai demikian untuk – melihat hal-hal ini dengan jelas dan untuk mempertimbangkan dengan baik, inilah yang disebut kekuatan kebijaksanaan.
Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan semangat? Mengenai hal-hal yang tak-bajik, tercela, gelap, tidak cocok untuk dilatih, yang tidak berharga bagi para mulia, dan yang dianggap sebagai demikian untuk membangkitkan keinginan, untuk mengerahkan usaha dan menggugah semangat seseorang untuk meninggalkan hal-hal ini; dan mengenai hal-hal yang bajik, tak tercela, terang, cocok untuk dilatih, berharga bagi para mulia, dan yang dianggap sebagai demikian untuk membangkitkan keinginan, untuk mengerahkan usaha dan menggugah energi seseorang dalam mencapai semua hal-hal ini. Inilah yang disebut kekuatan semangat.
Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan kehidupan yang tak-ternoda? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia tak ternoda dalam perbuatannya, tak ternoda dalam ucapannya, tak ternoda dalam pikirannya. Inilah yang disebut kekuatan kehidupan yang tak ternoda.
Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan kebaikan hati? Ada empat dasar kebaikan hati:5 dengan hadiah, dengan ucapan yang bersahabat, dengan tindakan membantu, dan dengan pemberian kesetaraan. Inilah hadiah yang terbaik: hadiah Dhamma. Dan inilah ucapan bersahabat yang terbaik: mengajarkan Dhamma terus-menerus kepada mereka yang ingin mendengarkan dan yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan inilah tindakan membantu yang terbaik: untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat keyakinan pada mereka yang tidak memiliki keyakinan; untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat moralitas pada mereka yang tidak bermoral; untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat kedermawanan pada mereka yang kikir; untuk membangkitkan, menjaga dan memperkuat kebijaksanaan bagi mereka yang bodoh. Dan inilah pemberian kesetaraan yang terbaik: jika seorang Pemasuk-Arus menjadi setara dengan Pemasuk-Arus; jika Yang-Kembali-Sekali-Lagi setara dengan Yang-Kembali-Sekali-Lagi; jika seorang Yang-Tidak-Kembali-Lagi setara dengan Yang-Tidak-Kembali-Lagi; dan seorang Arahat setara dengan Arahat. Inilah, para bhikkhu, yang disebut kekuatan kebaikan hati.
Demikianlah akhir dari empat kekuatan.
Sekarang, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang memiliki empat kekuatan ini telah meninggalkan lima ketakutan: ketakutan akan kehidupannya, ketakutan akan nama buruk, ketakutan akan merasa malu di depan umum, ketakutan akan kematian dan ketakutan akan nasib masa depan yang tidak bahagia.
Seorang siswa mulia yang memiliki empat kekuatan ini akan berpikir: “Aku tidak memiliki ketakutan akan kehidupanku. Mengapa aku harus memiliki ketakutan akan hal itu? Bukankah aku memiliki empat kekuatan kebijaksanaan, semangat, kehidupan tak ternoda dan kebaikan hati? Hanya orang yang dungu dan malas, yang memiliki noda dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, serta yang tidak memiliki kebaikan hati orang seperti itulah yang mungkin memiliki ketakutan akan kehidupannya.
“Aku tidak memiliki ketakutan akan nama buruk atau merasa malu di depan umum, tidak pula ketakutan akan kematian dan akan nasib masa depan yang tidak bahagia. Mengapa aku harus memiliki ketakutan-ketakutan ini? Bukankah aku memiliki empat kekuatan kebijaksanaan, semangat, kehidupan tak ternoda dan kebaikan hati? Hanya seorang yang dungu dan malas, yang memiliki noda dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, serta yang tidak memiliki kebaikan hati – orang seperti inilah yang mungkin memiliki semua ketakutan ini.”
Demikianlah semua ini harus dipahami, para bhikkhu, bahwa seorang siswa mulia yang memiliki empat kekuatan ini telah meninggalkan lima ketakutan.
(IX, 5)
177. Apa yang Tidak Bisa Dilakukan Arahat
Di masa lalu, Sutava, dan juga di masa sekarang, kunyatakan bahwa seorang bhikkhu yang juga Arahat – orang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah mengerjakan tugasnya, telah melepaskan semua beban, telah mencapai tujuannya, telah menghancurkan penghalang dumadi dan menjadi terbebas lewat pengetahuan akhir – tidak bisa melakukan pelanggaran yang berhubungan dengan sembilan hal: dia tidak bisa menghancurkan kehidupan, melakukan percurian, terlibat dalam tindakan seksual, berbohong dengan sengaja, dan menggunakan kenikmatan yang tersedia seperti yang dilakukannya di masa lalu ketika masih sebagai perumah tangga; selanjutnya, dia tidak bisa melakukan tindakan yang salah berdasarkan nafsu keinginan, kebencian, kebodohan atau ketakutan. Di waktu lalu, Sutava, dan juga di masa sekarang, kunyatakan bahwa seorang bhikkhu Arahat tidak bisa melakukan pelanggaran yang berhubungan dengan sembilan hal ini.
(IX, 7; ringkasan)
178. Raungan Singa Sariputta
Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Y.M. Sariputta menghampiri Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dia duduk di satu sisi dan berkata:
“Bhante, saya telah menyelesaikan masa vassa di Savatthi dan berkeinginan untuk melakukan perjalanan.”
“Sariputta, engkau boleh pergi bilamana engkau siap.” Y.M. Sariputta bangkit dari tempat duduknya, menghormat Yang Terberkahi. Dengan tetap menjaga Beliau berada di sebelah kanannya, dia berangkat.
Segera setelah Y.M. Sariputta berangkat, seorang bhikkhu berkata kepada Yang Terberkahi: “Y.M. Sariputta telah memukul saya dan pergi tanpa minta maaf.” 6
Maka Yang Terberkahi memanggil seorang bhikkhu lain dan berkata, “Pergilah, bhikkhu, dan panggillah Y.M. Sariputta. Katakan, ‘Guru memanggilmu, Sariputta.’” 7 Bhikkhu itu melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan Y.M. Sariputta menjawab dengan berkata, “Ya, sahabat.”
Kemudian Y.M. Mahamogallana dan Y.M. Ananda mengambil kunci-kunci, dan pergi ke sekeliling tempat tinggal para bhikkhu dan berkata, “Mari, tuan-tuan yang terhormat, datanglah! Karena hari ini Y.M. Sariputta akan mengeluarkan raungan singanya di depan Yang Terberkahi.”
Y.M. Sariputta menghampiri Yang Terberkahi dan setelah memberi hormat, duduk di satu sisi. Setelah Y.M. Sariputta duduk, Yang Terberkahi berkata:
“Salah satu bhikkhu temanmu di sini mengeluh bahwa engkau telah memukulnya dan pergi tanpa minta maaf.”
“Bhante, seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya 8 mungkin dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti orang-orang membuang ke bumi benda-benda yang bersih dan tidak bersih, tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, namun walaupun demikian bumi tidak memiliki rasa muak, benci atau jijik terhadap semua itu; 9 demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti bumi, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan, dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya mungkin dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti orang-orang menggunakan air untuk mencuci benda-benda yang bersih dan tidak bersih, benda-benda yang terkotori oleh tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, namun walaupun demikian air tidak memiliki rasa muak, benci, atau jijik terhadap semua itu; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti air, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti api membakar benda-benda yang bersih dan tidak bersih, benda-benda yang terkotori oleh tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, tetapi walaupun demikian api tidak memiliki rasa muak, benci, atau jijik terhadap semua itu; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti api, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti angin bertiup pada benda-benda yang bersih dan tidak bersih, pada tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, namun walaupun demikian angin tidak memiliki rasa muak, benci, atau jijik terhadap semua itu; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti angin, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti kain lap yang membersihkan benda-benda yang bersih dan tidak bersih, benda-benda yang terkotori oleh tahi, kencing, ludah, nanah dan darah, namun walaupun demikian kain lap tidak memiliki rasa muak, benci, atau jijik terhadap semua itu; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati yang seperti kain lap, luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti seorang anak laki laki atau perempuan dari kasta buangan – dengan wadah untuk mengemis di tangan dan pakaian compang-camping – memasuki sebuah desa atau kota dengan rendah hati; demikian pula, Bhante, saya hidup dengan hati seperti anak dari kasta yang rendah itu, dengan hati yang luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti seekor kerbau dengan tanduk yang telah dipotong, lembut, jinak dan terlatih baik, ketika berjalan dari satu jalan ke jalan yang lain, dari satu lapangan ke lapangan yang lain, tidak akan melukai seorang pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, saya hidup seperti kerbau dengan tanduk yang telah dipotong, dengan hati yang luas, sangat kuat dan tidak terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat. Tetapi seseorang yang … dan pergi tanpa minta maaf.
“Bhante, sama seperti seorang pemuda atau pemudi, yang masih muda dan menyukai perhiasan dan baru saja mencuci kepalanya, akan dipenuhi rasa muak, benci dan jijik jika bangkai seekor ular, anjing atau manusia dikalungkan ke lehernya; demikian pula, Bhante, saya dipenuhi rasa muak, benci dan jijik terhadap tubuh kotor saya ini. Tetapi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya mungkin dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.”
“Bhante, sama seperti jika seseorang harus membawa lemak cair di dalam mangkuk retak yang penuh lubang, yang merembes dan menetes; demikian pula, Bhante, ke mana-mana saya membawa tubuh ini, yang retak dan penuh lubang, yang merembes dan menetes. Tetapi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan terhadap tubuhnya mungkin dapat memukul sesama bhikkhu dan pergi tanpa minta maaf.”
Maka bhikkhu yang menuduh Y.M. Sariputta itu pun berdiri dari duduknya, dan mengatur jubah atasnya pada satu bahu. Dengan kepalanya merunduk menghormat di kaki Yang Terberkahi dia berkata: “Tuan, saya telah melakukan kesalahan ketika saya begitu bodoh, tolol dan tidak terlatih sehingga menuduh Y.M. Sariputta secara salah, dengan tidak semestinya, dan dengan tidak benar. Semoga Yang Terberkahi menerima pengakuan kesalahan saya dan memaafkan saya, dan saya akan melatih pengendalian diri di masa mendatang.”
“Benar, bhikkhu, engkau telah melakukan kesalahan ketika engkau begitu bodoh, tolol dan tidak terlatih sehingga menuduh Sariputta secara salah, dengan tidak semestinya, dan dengan tidak benar. Tetapi karena engkau telah melihat kesalahanmu dan melakukan perbaikan sesuai peraturan, engkau kumaafkan. Merupakan tanda pertumbuhan di dalam Vinaya Yang Mulia bila seseorang melihat kesalahannya, melakukan perbaikan sesuai dengan peraturan dan melatih pengendalian diri di masa mendatang.”
Yang Terberkahi kemudian berpaling kepada Y.M. Sariputta dan berkata: “Maafkan orang tolol ini, Sariputta, sebelum kepalanya terbelah menjadi tujuh bagian di tempat ini juga.”
“Saya akan memaafkan dia, Bhante, jika bhikkhu terhormat ini minta maaf kepada saya. Dan semoga dia juga memaafkan saya.”
(IX, 11)
179. Samiddhi
(Suatu ketika Y.M. Samiddhi pergi mengunjungi Y.M. Sariputta dan Y.M. Sariputta bertanya demikian:)
“Apa, Samiddhi, yang menjadi dasar pengkondisian bagi pemikiran berkehendak yang muncul di dalam diri seseorang?” – “Batin-dan-jasmani, Yang Mulia.” 10
“Berasal dari apakah berbagai variasinya?” – “Dari elemen-elemen.”
“Apa yang menjadi asal-mulanya?” – “Kontak.”
“Pada apa mereka menyatu?” – “Perasaan.”
“Apa pemimpin mereka?” – “Konsentrasi.”
“Apa penguasa mereka?” – “Kewaspadaan.”
“Apa klimaks mereka?” – “Kebijaksanaan.”
“Apa intisari mereka?” – “Pembebasan.”
“Di mana mereka melebur?” – “Di dalam Tanpa-Kematian.” 11(Di dalam teks aslinya, Y.M. Sariputta mengulang pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban ini dan menyimpulkan:)
“Baik sekali, Samiddhi, baik sekali! Engkau telah menjawab dengan baik semua pertanyaan yang ditujukan kepadamu. Tetapi janganlah engkau menjadi sombong karena hal itu!”
(IX, 14)
180. Berakar di dalam Keserakahan
Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kepadamu sembilan hal yang berakar di dalam keserakahan. Dengarkan dan perhatikan dengan saksama, aku akan berbicara.
Apakah sembilan hal yang berakar di dalam keserakahan itu? Karena keserakahan ada pengejaran; karena pengejaran ada perolehan; karena perolehan ada penentuan; karena penentuan ada keinginan dan nafsu; karena keinginan dan nafsu ada kecenderungan memikirkan diri sendiri; karena kecenderungan memikirkan diri sendiri ada kepemilikan; karena kepemilikan ada ketamakan; karena ketamakan ada keinginan untuk melindungi; karena demi melindungi ada penggunaan tongkat dan senjata dan hal-hal lain yang jahat dan tak-bajik, seperti misalnya perselisihan, konflik, percekcokan dan pembicaraan yang menyudutkan, fitnah dan kebohongan-kebohongan.12
Inilah sembilan hal yang berakar di dalam keserakahan.
(IX, 23)
181. Penghancuran Noda-noda
Kunyatakan, O para bhikkhu, bahwa penghancuran noda-noda muncul bergantung pada jhana pertama, jhana kedua, jhana ketiga, jhana keempat; bergantung pada landasan dari ketidakterbatasan ruang, landasan dari ketidakterbatasan kesadaran, landasan dari ketiadaan, landasan dari bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi; bergantung pada berhentinya persepsi dan perasaan.13
Ketika dikatakan, “Kunyatakan, O para bhikkhu, bahwa penghancuran noda-noda muncul bergantung pada jhana pertama,” dengan alasan apa dikatakan demikian? Di sini, para bhikkhu, terpisah dari kenikmatan indera, terpisah dari keadaan-keadaan tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama, yang diiringi dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang terlahir karena keterpisahan ini. Apa pun keadaan yang termasuk di dalamnya terdiri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak atau kesadaran: dia memandang keadaan-keadaan itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai borok, sebagai anak panah, sebagai kesedihan, sebagai penyebab penderitaan, sebagai sesuatu yang asing, sebagai sesuatu yang terpisah-pisah, sebagai sesuatu yang kosong, sebagai bukan-aku. 14 Setelah melihatnya demikian, kemudian pikirannya akan teralih dari keadaan-keadaan itu dan terpusat pada elemen-elemen tanpa-kematian: “Ini damai, ini amat indah: yaitu berhentinya segala bentukan, lepasnya semua perolehan, hancurnya nafsu, tanpa-nafsu, berhenti, Nibbana.” 15 Jika dia mantap dalam hal ini, dia mencapai penghancuran noda-noda; tetapi jika dia tidak mencapai penghancuran noda-noda karena kemelekatannya pada Dhamma, dan kesenangannya pada Dhamma, maka dengan hancurnya lima penghalang yang rendah dia akan secara spontan terlahir kembali (di alam surga) dan di sana mencapai Nibbana, tanpa pernah kembali dari alam itu.
Sama halnya, para bhikkhu, seorang pemanah atau muridnya yang berlatih dengan orang-orangan jerami atau seonggok tanah liat yang kemudian menjadi sasaran jarak jauh, seorang pembidik jitu yang bisa menjatuhkan sasaran yang besar, demikian pula halnya dengan seorang bhikkhu yang mencapai hancurnya noda-noda bergantung pada jhana pertama.16
(Perumusan yang sama diterapkan pada tiga jhana yang lain dan tiga pencapaian tanpa-bentuk yang lebih rendah, hanya saja di pencapaian tanpa-bentuk tidak ada pandangan akan keadaan-keadaan yang terdiri atas bentuk.)
Demikian, para bhikkhu, penembusan pada pengetahuan akhir terjadi sampai pada tahap adanya pencapaian dengan persepsi. Tetapi mengenai dua landasan ini – pencapaian landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, dan berhentinya persepsi dan perasaan – kukatakan bahwa keduanya ini harus dijunjung tinggi oleh para bhikkhu yang bermeditasi, yang terampil dalam pencapaian dan terampil keluar dari pencapaian itu, setelah mereka mencapainya dan keluar darinya.17
(IX, 36)
Catatan
1 Selama dua puluh tahun pertama masa pengabdian-Nya, Sang Buddha tidak mempunyai pembantu tetap. Beliau memilih bhikkhu yang berlainan untuk tugas ini, dan tidak semuanya terbukti memuaskan. Dua puluh tahun kemudian, pada usia lima puluh lima tahun, Sang Buddha menunjuk Y.M. Ananda sebagai pembantu tetapnya. Ananda melakukan tugas ini dengan rajin selama dua puluh lima tahun sampai Sang Guru parinibbana.
2 Lihat Bab III, no. 69. AA memberikan penjelasan yang menarik mengapa pemikiran-pemikiran ini tiba-tiba menyerangnya secara kuat: “Berturut-turut selama 500 kelahiran kembali, Meghiya menjadi raja. Ketika pergi ke taman kerajaan untuk berolahraga dan bersenang-senang dengan para penari wanita dalam tiga kelompok umur, dia biasanya duduk persis di tempat itu, yang disebut ‘meja batu yang menjanjikan keberhasilan’. Maka, ketika Meghiya duduk persis di tempat itu, dia merasakan seakan-akan kebhikkhuannya meninggalkannya dan dia menjadi raja yang dikelilingi oleh penari-penari cantik. Dan ketika – sebagai raja – dia sedang menikmati keindahan itu, suatu pemikiran nafsu indera muncul di dalam dirinya. Tepat pada saat itu kebetulan para pengawal ksatrianya menyerahkan kepadanya dua bandit yang telah mereka tangkap, dan Meghiya melihat mereka dengan sangat jelas seakan-akan mereka sedang berdiri di depannya. Kini, ketika (sebagai raja) dia menjatuhkan hukuman mati pada satu bandit, suatu pemikiran niat jahat muncul di dalam dirinya; dan ketika dia memerintahkan agar bandit satunya diborgol dan dipenjara, suatu pemikiran kekerasan muncul di dalam dirinya. Oleh sebab itulah, kini dia – sebagai bhikkhu Meghiya – menjadi terbelenggu di dalam pemikiran tak-bajik itu bagaikan sebatang pohon dibelenggu oleh jaringan tanaman rambat atau bagaikan pencari madu di tengah sekelompok lebah madu.”
3 Sang Buddha berulang kali menekankan pentingnya persahabatan mulia di dalam menjalani kehidupan suci. Di tempat lain Beliau menyebut sahabat mulia sebagai pendukung eksternal utama untuk pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan (dengan Perhatian Benar sebagai pendukung internal utama; SN 45-49, 55) dan pada beberapa kesempatan Beliau bahkan menyatakan bahwa persahabatan mulia merupakan seluruh kehidupan suci (SN 45:2-3).
4 Teks ini juga terdapat di Ud IV, 1 dengan bait penutup tambahan.
5 Sangaha-vatthu. Ini adalah sarana untuk mengambil hati orang lain.
6 AA menerangkan bahwa bhikkhu ini telah merasa diabaikan oleh Sariputta, dan karena dendamnya pada Sariputta dia berpikir: “Aku akan menciptakan penghalang bagi perjalanannya.” Ketika berangkat, Sariputta melewati sekelompok bhikkhu dan angin yang bertiup membuat ujung jubahnya mengenai wajah bhikkhu itu. Inilah yang digunakan oleh bhikkhu itu sebagai alasan keluhan. Cerita ini – dengan lebih mendetail – juga terdapat di Kitab Komentar Dhp (pada syair 95); lihat Burlingame, 2:203-205.
7 Menurut AA, Sang Buddha mengetahui dengan baik bahwa Sariputta tidak mungkin menyakiti orang lain, tetapi agar tidak dianggap pilih kasih, Beliau memanggilnya.
8 Kaye kayagatasati; Lihat Teks 11.
9 Perumpamaan tentang empat elemen juga terdapat di MN 62, walaupun di sana elemen-elemen ini dikembangkan secara agak berbeda.
10 Di sini Arammana tidak mengandung arti yang sering dipakai, yaitu ‘objek’, melainkan arti harfiahnya yaitu ‘memegang’ atau ‘menopang’. AA menjelaskannya sebagai kondisi (paccaya). ‘Batin-dan-jasmani’ (nama-rupa) dijelaskan oleh AA sebagai empat kelompok mental (= ‘batin‘) dan empat elemen materi dengan turunan materinya (= ‘jasmani‘); ini semua merupakan kondisi-kondisi bagi munculnya pemikiran berkehendak.
11 Penjelasan yang diperoleh dari AA adalah sbb.: Elemen-elemen (dhatu) merupakan enam objek indera, yaitu bentuk, suara, dsb.; pemikiran tentang bentuk merupakan satu pemikiran, pemikiran tentang suara merupakan pemikiran lain, dsb. “Kontak” adalah kontak yang diasosiasikan dengan pemikiran semacam itu. Pemikiran-pemikiran menyatu pada perasaan (vedana-samosarana), karena perasaan – yaitu nilai afeksi dari suatu pengalaman (dalam bentuk menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral) – menyatukan berbagai aspek dari satu momen sadar. Konsentrasi adalah ‘pemimpin’ (samadhi-pamukha) dalam pengertian memainkan peran kunci yang membawa pikiran menuju intensitas tertinggi. Kewaspadaan dikatakan sebagai ‘penguasa, master’ (satadhipateyya) untuk menekankan perannya yang dominan di dalam penguasaan pikiran. Kebijaksanaan adalah ‘klimaks’ (paññuttara) karena kebijaksanaanlah yang menghasilkan pencapaian jalan di luar duniawi. Kebebasan adalah ‘intisari’ atau inti (vimutti-sara), tujuan yang merupakan puncak dari Sang Jalan; menurut AA, intisarinya adalah tingkat kebebasan yang merupakan buah (phala-vimutti). Semua pemikiran ini dikatakan ‘melebur di dalam Tanpa-Kematian’ (amatogadha) karena mereka melebur dengan ‘Nibbana’ dengan cara mengambil Nibbana sebagai objeknya (dalam jalan dan buah) dan karena mereka dimantapkan di situ.
12 ‘Keputusan’ (vinicchaya) mengacu pada pemikiran yang memutuskan kegunaan atau nilai dari apa yang telah diperoleh; apakah harus digunakan, atau disimpan, dll. ‘Keinginan dan nafsu’ (chanda-raga), menurut AA, berarti tingkat keinginan yang lebih lemah, yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran tak-bajik yang muncul dari objek; keinginan yang lebih lemah ini dikuatkan pada tingkat berikutnya, ‘kecenderungan memikirkan diri sendiri’ (ajjhosana), penekanan yang kuat terhadap ‘Aku’ dan ‘Milikku’. Sembilan hal ini juga disebutkan di Mahanidana Sutta (DN 15.9-18).
13 Berikutnya Sang Buddha akan menunjukkan pencapaian tingkat Arahat (atau keadaan Yang-Tidak-Kembali-Lagi) melalui metode yang menerapkan ketenangan sebagai landasan kebijaksanaan. Metode yang dijelaskan tampaknya cocok dengan “kebijaksanaan yang didahului oleh ketenangan”, walaupun hal ini mungkin dapat juga ditafsirkan sebagai “ketenangan dan kebijaksanaan yang digabungkan berpasangan” (Teks 83).
14 Pencapaian jhana adalah samatha atau ketenangan; perenungan fenomena pokok sebagai tidak kekal, dll., adalah vipassana atau pandangan terang, yang menurut AA adalah “kebijaksanaan-pandangan terang yang amat kuat”. Di sini Sang Buddha menjelaskan bagaimana meditator mengembangkan pandangan terang dengan menggunakan jhana sebagai landasan perenungan. Meditator memilah-milah pengalamanan jhana menjadi lima kelompok (bentuk, perasaan, dll.), dan kemudian memeriksa kelompok-kelompok itu dalam sebelas kualitas. Sebelas kualitas ini merupakan detail dari tiga sifat umum: dua istilah – tidak kekal dan terurai – berada di bawah sifat ketidakkekalan; tiga – asing, kosong dan tanpa-diri – di bawah sifat tanpa-diri; dan enam sisanya – penderitaan … penyebab penderitaan – di bawah sifat penderitaan.
15 Teks yang luar biasa ini menunjukkan transisi dari tingkat pandangan terang tertinggi sampai ke jalan di luar duniawi. Bila – lewat pandangan terang – bhikkhu itu telah sepenuhnya mengetahui sifat penderitaan pada lima kelompok, maka pikirannya akan beralih dari semua fenomena terkondisi dan akan berfokus pada Nibbana, ‘elemen tanpa-kematian’, sebagai satu-satunya jalan keluar murni dari keberadaan yang terkondisi. Dia kemudian mencapai tingkat Arahat, tetapi jika kemelekatan yang halus pada pengalaman itu masih ada, yaitu suatu kenikmatan halus karena hal itu, dia menjadi seorang Yang-Tidak-Kembali-Lagi, yang mencapai parinibbana setelah terlahir kembali di alam dewa.
16 AA tidak menjelaskan kiasan ini, namun tampaknya latihan dengan menggunakan orang-orangan dari jerami ini bagaikan perenungan pandangan terang tentang kelompok-kelompok kehidupan, sedangkan jatuhnya tubuh yang besar itu bagaikan hancurnya noda-noda karena menembus elemen tanpa-kematian.
17 Landasan dari bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi memang terlalu halus untuk dijelajahi oleh pengetahuan pandangan terang, sedangkan berhentinya persepsi dan perasaan sepenuhnya kosong dari unsur pokok mental. Jadi dua pencapaian ini tidak dapat secara langsung diambil sebagai objek penyelidikan dengan kebijaksanaan. Tetapi keduanya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai pemurnian pikiran secara sementara, dan pada landasan inilah meditator dapat mempraktekkan meditasi pandangan terang terhadap objek-objek yang lebih kasar. Setelah itu dia pun mencapai tingkat Arahat.