Kamis, 01 Maret 2012

PENDAHULUAN I

Tempat Anguttara Nikaya di dalam
Kitab Suci Buddhis Theravada
Asal Mula Kitab
Kitab Suci Buddhis Theravada merupakan satu-satunya koleksi lengkap yang memuat teks teks Buddhis India yang masih bertahan secara utuh di dalam bahasa India. Demikian pula, pelindung spiritualnya, mazhab Theravada, merupakan mazhab Buddhis India satu-satunya yang masih bertahan hidup secara utuh. Kitab-kitab dari mazhab Buddhisme India lainnya telah dibakar atau dikubur di bawah reruntuhan pada waktu bangsa Turki Muslim menyapu India Utara di abad 11 dan 12, namun kitab-kitab Theravada dilestarikan dengan sangat baik di vihara-vihara Sri Lanka, Myanmar, dan daerah daerah lain di Asia Tenggara. Di sana, jauh sebelumnya, kitab-kitab itu ditulis dalam bentuk naskah daun palma, yang dipelajari dan dihormati, dibaca ulang dan dijelaskan, serta disalin tak terhitung banyaknya sebagai perbuatan jasa keagamaan. Dewasa ini seluruh kitab Theravada tersedia dalam bentuk buku-buku yang dijilid secara rapi, jumlahnya 45 jilid dalam berbagai tulisan, termasuk tulisan Romawi. Hampir seluruh teks sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, walaupun tingkat kecermatannya beraneka. Akhir-akhir ini beberapa versi lengkap telah diterbitkan dalam bentuk compact disc, yang menyatukan Sabda Sang Buddha yang sudah amat kuno dengan inovasi terbaru dari teknologi komputer.
Kitab Theravada ditulis dalam dialek Indo-Arya Tengah yang sekarang disebut bahasa Pali, sehingga karena itu secara umum dikenal sebagai Kitab Pali. Penganut Theravada tradisional menganggap kitab mereka menggunakan bahasa Magadhi, bahasa yang digunakan pada zaman dahulu di negara timur laut Magadha (lebih kurang sama dengan Bihar sekarang ini), di mana Sang Buddha sering tinggal dan mengajar. Mereka juga menganggap bahwa bahasa Pali adalah bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha sendiri. Kedua pernyataan ini tidaklah masuk akal. Opini ilmiah dewasa ini menganggap bahwa bahasa Pali mungkin diciptakan sebagai lingua franca untuk digunakan para bhikkhu Buddhis di daerah yang luas di India Utara, mungkin di abad ke-3 SM, 200 tahun setelah wafatnya Sang Buddha.1 Memang bahasa kitab Theravada mungkin tidak sama dengan bahasa manapun yang digunakan oleh Sang Buddha sendiri. Namun, berbagai dialek Indo-Arya Tengah cukup dekat dalam hal kosa kata dan strukturnya, sehingga berbagai teks yang diterima di satu dialek dapat dipindahkan ke dialek lain dengan menerapkan serangkaian peraturan yang cukup sederhana. Jadi, masuk akallah bila kita anggap bahwa berbagai catatan khotbah-khotbah Sang Buddha yang terdapat di jantung Kitab Pali merupakan turunan langsung dari stratum teks Buddhis yang paling kuno, yang bergeser dari suatu dialek timur kuno menjadi dialek baru yang lebih luas, yang dapat dipahami oleh lebih banyak pendengar.2
Sejarah Kitab Theravada mengacu kembali ke masa persis setelah Sang Buddha parinibbana- kemangkatan mutlak Beliau ke Nibbana (sekitar tahun 486 SM). Ketika tubuh Sang Buddha telah dikremasi dan ritual penguburan telah selesai, YM Mahakassapa, murid senior Sang Buddha yang paling terkemuka, mengingatkan sesama bhikkhu mengenai perlunya mengulang ajaran-ajaran Sang Guru “Sebelum apa yang berlawanan dengan Dhamma bersinar dan Dhamma menjadi pudar, sebelum apa yang berlawanan dengan Disiplin bersinar dan Disiplin menjadi pudar”. Maka, Mahakassapa memilih 500 bhikkhu semuanya arahat atau telah terbebas agar bertemu di Rajagaha, ibukota Magadha, dengan tujuan untuk mengulang ajaran-ajaran itu.3
Pengulangan itu terjadi dalam dua tahap utama. Yang pertama, Mahakassapa bertanya kepada Upali Thera, pakar terkemuka dalam hal disiplin kehidupan rohaniwan, tentang Vinaya, peraturan-peraturan perilaku yang mengatur Sangha. Kemudian pada tahap kedua, beliau bertanya kepada YM Ananda mengenai Dhamma, yaitu sutta-sutta, berbagai diskusi, khotbah dan percakapan Sang Buddha. Ananda merupakan pendamping pribadi Sang Guru selama dua puluh lima tahun terakhir dan hampir selalu menyertai Sang Buddha, “mengikuti Sang Buddha bagaikan bayang-bayang”. Hal ini memungkinkan Ananda mendengarkan hampir semua khotbah Sang Buddha. Tentang khotbah-khotbah yang tidak diikutinya, Ananda kemudian akan bertanya kepada Sang Guru atau bhikkhu-bhikkhu lain. Tetapi Ananda tidak hanya mendengarkan; beliau juga memiliki kelebihan lain yaitu ingatan luar biasa tajam yang telah diasahnya sampai pada titik sempurna. Kemampuan ini membuatnya menjadi ideal bagi ajaran-ajaran itu, menjadi “Bendahara Dhamma”. Setelah pengulangan Dhamma dan Vinaya selesai, semua Thera bersama-sama melantunkan seluruhnya, sebagai tanda pengesahan lisan.
Jadi, dari Konsili Buddhis Pertama ini muncullah bentuk vinaya dan sutta, yang secara resmi disetujui dan disusun secara sistematis. Inilah yang menjadi sumber bagi seluruh warisan literatur Buddhis. Untuk menghargai sifat sastra khusus dari teks-teks yang yang kita miliki dewasa ini, perlu kita sadari bahwa teks-teks itu merupakan produk tradisi lisan. Memang ada sejumlah bukti bahwa sistem penulisan sudah dipakai pada saat Buddhisme muncul, namun materi-materi yang tersedia bukan merupakan media yang dapat diandalkan untuk melestarikan literatur keagamaan. Tetapi ada alasan lain mengapa transmisi lisan itu dipakai sebagai sarana untuk melestarikan teks: sejak zaman Kitab Veda, tradisi India selalu menekankan bahwa kitab suci harus dipelajari dengan cara dihafalkan. Bahkan selama masa kehidupan Sang Buddha, para bhikkhu dilatih untuk mendengarkan ajaran dengan penuh perhatian, menyimpannya di dalam pikiran, dan mengajar murid-murid mereka untuk mempelajari ajaran-ajaran itu dengan menghafalnya berulang-ulang sebelum artinya dijelaskan. Selama 400 tahun pertama dalam sejarah Buddhis, metode yang sama digunakan.
Untuk menjamin bahwa proses yang amat halus dan membutuhkan banyak usaha ini sungguh-sungguh dapat dijalankan dengan kecermatan sempurna, diambil dua langkah utama. Yang satu melibatkan teks itu sendiri, yang dirampingkan, dipadatkan dan distandarisasikan, dibentuk menjadi format yang cocok untuk dihafalkan. Maka terbentuklah berbagai frase, definisi yang bersifat perumusan, dan banyak pengulangan, yang masih ada sampai sekarang. Langkah lain melibatkan pembawa teks, dhammadhara atau pakar-pakar doktrin di antara para bhikkhu. Mereka ini dibagi menjadi kelompok-kelompok bhanaka (penghafal), dan masing-masing bertanggung jawab untuk bagian ajaran tertentu. Pengaturan ini memastikan bahwa setiap bagian ajaran akan disampaikan lewat kelompok khususnya sendiri dan tidak ada satu kelompok pun yang mendapat beban di luar batas kemampuan menghafal.4
Kitab-kitab komentar Theravada-yang memperoleh bentuk akhirnya di sekitar abad ke-5 tetapi didasarkan pada materi yang jauh lebih tua menjelaskan tentang Konsili Pertama seolah-olah Kitab Theravada sudah diatur pada saat itu juga menjadi kumpulan seperti yang kita miliki hari ini, yang sudah lengkap sampai seluruh kekhususannya.5 Versi laporan seperti itu lebih mengandung legenda daripada fakta. Jauh lebih mungkin bahwa tugas yang ditentukan sendiri oleh para redaktur pertama adalah menciptakan cetakan dasar untuk mengatur teks-teks, yang kemudian mereka isi dengan bahan yang ada. Dapat diduga bahwa tujuan cetakan ini bukanlah untuk membuang yang lain, melainkan untuk menjadi wadah sehingga laporan-laporan yang masuk tentang khotbah-khotbah Sang Buddha dapat dengan enak diakomodasikan lewat pokok bahasan dan format. Hipotesa ini menjelaskan mengapa berbagai mazhab awal dapat berbagi kitab (yang struktur formalnya mirip) dan banyak teks yang sama, tetapi tetap dengan banyak perbedaan yang jelas-baik dalam materi maupun dalam pengelompokan.6
Ketika Buddhisme menyebar luas di India Utara dan para bhikkhu mulai hidup dalam komunitas keagamaan yang pasti, dengan sendirinya muncul perbedaan-perbedaan dalam cara berpraktek dan menginterpretasikan ajaran. Kesatuan itu tampaknya masih bertahan selama abad pertama setelah Sang Buddha wafat, namun tak lama setelah itu muncul perselisihan antara para bhikkhu di Vesali -kota di daerah timur- dengan para bhikkhu dari daerah barat yang berbasis di Pava. Penyebab perselisihan itu bukanlah perihal doktrin melainkan interpretasi disiplin kehidupan rohaniwan. Para bhikkhu di daerah timur cenderung menjalankan praktek yang lebih kendor, sedangkan para bhikkhu di daerah barat lebih ketat. Pertemuan para Thera menyelesaikan perselisihan itu dengan memihak para bhikkhu di barat, dan akhirnya diadakanlah Konsili Kedua. Di situ sekali lagi ajaran ajaran itu diulang. Pertemuan ini mungkin mencakupkan teks yang telah ditambahkan setelah Konsili Pertama.7
Walaupun di permukaan tampak harmonis, ketegangan yang terpendam di dalam Sangha hampir tidak dapat diselesaikan dengan dekrit monastik resmi, sehingga pada suatu titik setelah Konsili Kedua ini perselisihan-perselisihan kecil mengenai Vinaya meletus menjadi pertikaian besar mengenai pokok-pokok doktrin. Hal ini memuncak dalam terpecahnya Sangha menjadi dua kelompok: Sthaviravada yang konservati f-nenek moyang Theravada- dan Mahasanghika yang lebih progresif. Selama abad berikutnya, perpecahan awal itu makin meluas, sehingga pada abad ke-2 SM, Sangha telah terpecah-pecah menjadi 18 nikaya atau mazhab, masing-masing dengan koleksi teks yang disahkan sendiri. Namun intisari koleksi-koleksi ini -yang berisi peraturan-peraturan disiplin monastik dan catatan khotbah-khotbah Sang Buddha- pada pokoknya sama di semua mazhab. Sebagian perbedaan terletak pada cara mereka mengatur teks di dalam kitab masing-masing. Perbedaan yang lebih menonjol adalah: pada teks-teks baru itu ada penambahan terhadap intisari yang kuno dan ada perubahan dalam kecenderungan mengenai pokok-pokok doktrin dan praktek yang lebih mendetil.8
Dari “18 mazhab” tradisional yang telah muncul selama masa ini, satu-satunya yang bertahan sampai sekarang adalah Theravada, Mazhab Para Thera, keturunan Sthaviravada yang tua, pada umumnya dianggap konservatif yang keras-kepala tetapi sebenarnya kreatif dan inovatif dalam cara mereka sendiri yang hati-hati. Kelangsungan hidup Theravada tidak terjadi karena kelompok ini memiliki keuletan khusus yang tidak dimiliki mazhab lain, melainkan karena adanya perbelokan arus sejarah secara tak terduga yang memiliki akibat-akibat momentum bagi masa depan. Di abad ke-3 SM, selama kekuasaan raja Asoka (268-239 SM?) penganut mazhab Theravada ini mengadakan konsili. Di situ mereka sekali lagi mengulang versi kitab mereka yang ada pada waktu itu. Setelah pertemuan ini, yang dianggap sebagai Konsili Ketiga resmi oleh tradisi itu, para pemimpin Sangha, di bawah bimbingan Moggaliputta Tissa Thera, memutuskan untuk mengirimkan misi ke seluruh “India yang lebih luas” guna menyebarkan pesan Yang Telah Tercerahkan.9
Salah satu daerah yang ditargetkan untuk aktivitas misionaris itu adalah pulau yang berbentuk seperti air mata di kaki India tenggara bernama Lankadipa, yang sekarang dikenal sebagai Sri Lanka. Putra Asoka sendiri, bhikkhu Mahinda, dipilih untuk mengepalai misi ini, dan tak lama setelah kedatangan beliau, saudara perempuannya, bhikkhuni Sanghamitta, datang untuk membentuk Sangha Bhikkhuni.10 Misi Mahinda sukses besar. Amat banyak pria dan wanita Sinhala yang memasuki Sangha, yang berarti tersedianya personel yang dibutuhkan untuk mempertahankan sistem bhanaka yang tua itu. Jadi selama dua atau tiga abad pertama di dalam sejarah Buddhisme di Sri Lanka, teks itu terus disampaikan secara lisan, persis seperti yang dilakukan di negara induknya.11
Tetapi pada abad pertama SM, tampak jelas bahwa sistem penyampaian kuno ini sangatlah rapuh. Serangan dari India Selatan, munculnya berbagai pandangan yang memecah belah di dalam Sangha, dan yang paling mengerikan, masa paceklik yang hampir membinasakan seluruh kelompok penghafal, memperingatkan para bhikkhu bahwa mutlak dibutuhkan metode yang lebih aman untuk melestarikan teks. Maka para Thera dari Mahavihara, pusat Theravada ortodoks di Anuradhapura, memutuskan untuk menuliskan teks-teks itu. Untuk melaksanakan tugas yang penting ini, lima ratus bhikkhu berkumpul di Aluvihara di Matale. Di kemudian hari, pertemuan ini dipandang tinggi oleh tradisi Theravada dan disebut Konsili Buddhis Keempat.12 Sejak saat ini, koleksi teks yang muncul dari pertemuan ini diterima sebagai Kitab Buddhis Theravada yang sah. Ketika Theravada kemudian menyebar ke Myanmar, Thailand, Kamboja dan Laos (abad 11-15), kitab yang sama ini diterima sebagai versi Sabda Sang Buddha (buddhavacana) yang paling otentik dan titik focus bagi studi Buddhis yang lebih tinggi. Dewasa ini, bagi banyak pengikut Buddhisme Theravada di Asia dan di Barat, kitab ini tetap merupakan kunci menuju pembebasan dan sumber tertinggi untuk bimbingan spiritual.
Struktur Kitab
Kitab Theravada terdiri dari tiga wadah utama teks. Karena itulah kitab ini sering disebut sebagai Tipitaka, “Tiga Keranjang” dari Ajaran. Pembagian tiga kelompok ini sama sekali tidak hanya digunakan oleh Theravada. Hampir semua mazhab Buddhis awal juga memiliki skema ini, dan di kemudian hari Mahayana juga menggunakannya. Rencana berunsur tiga jelas bukan merupakan cara tertua dalam mengelompokkan ajaran. Sutta-sutta sendiri kadang-kadang berbicara mengenai pembagian berunsur sembilan untuk Sabda Sang Buddha yang mengelompokkan teks-teks itu berdasarkan bentuk sastranya, bukan isinya.13 Tetapi sampai Konsili Ketiga, pembagian menjadi “Tiga Keranjang” mengalahkan berbagai cara pengelompokan sebelumnya dan tetap dominan selama abad-abad itu.
Tiga keranjang yang membentuk Tipitaka Pali adalah sebagai berikut:
  1. Vinaya Pitaka, Keranjang Disiplin, yang berisi peraturan-peraturan yang mengatur perilaku para bhikkhu dan bhikkhuni serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan urusan-urusan internal Sangha, kelompok monastik.
  2. Sutta Pitaka, Keranjang Khotbah, catatan khotbah dan diskusi Sang Buddha, serta berbagai dokumen ajaran dan sastra lainnya.
  3. Abhidhamma Pitaka, Keranjang Doktrin Sistematis, kumpulan tujuh risalat yang membentuk skema prinsip-prinsip fundamental sutta sesuai dengan program analisa filosofis dan psikologis yang sangat terperinci.
Jantung kehidupan ajaran Sang Buddha terdapat di Sutta Pitaka, yang mengungkapkan pada kita dengan amat mendetail mengenai visi spiritual unik dari Buddhisme awal dalam berbagai ragam dimensi praktis dan doktrin. Keranjang itu sendiri dibagi menjadi lima Nikaya atau kelompok:
  1. Digha Nikaya, Koleksi Khotbah Panjang, 34 sutta dalam 3 bagian.
  2. Majjhima Nikaya, Koleksi Khotbah Sedang, 152 sutta dalam 3 bagian.
  3. Samyutta Nikaya, Koleksi khotbah yang Saling Berhubungan, 56 bab dalam 5 bagian.
  4. Anguttara Nikaya, Koleksi Khotbah Menurut Angka, 11 bab.
  5. Khuddaka Nikaya, koleksi Teks Minor.
Koleksi yang kelima memiliki ciri yang agak berbeda dari yang lain, karena bukan merupakan pengaturan dari khotbah-khotbah Sang Buddha. Koleksi itu berisi aneka ragam kumpulan dari 15 teks, yang berdiri sendiri dan sebagian besar berbentuk syair. Beberapa darinya jelas bermula dari prototipe yang dibentuk selama masa sejarah sastra Buddhis paling awal, seperti misalnya Dhammapada, bagian dari Sutta Nipata, Thera-Therigatha, syair-syair para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah mencapai kesucian. Teks-teks ini memiliki pasangannya di dalam mazhab-mazhab Buddhis awal yang lain, sehingga mungkin telah ada sebelum terjadinya perpecahan-perpecahan itu. Teks-teks dari Koleksi Minor lain -seperti misalnya Apadana, Buddhavamsa, Patisambhidamagga, dan Niddesa- jelas merupakan sumber sesudahnya dan eksklusif Theravada.
Masing-masing dari empat koleksi utama itu dikumpulkan sesuai dengan prinsip yang menentukan, yang tampaknya telah diputuskan pada Konsili Pertama. Pada Digha dan Majjhima, prinsipnya hanyalah panjangnya khotbah: Digha memasukkan 34 khotbah yang panjang di dalam satu kesatuan, Majjhima 152 khotbah yang sedang panjangnya. Dua nikaya lainnya terdiri dari sutta-sutta yang umumnya lebih pendek daripada yang tercakup di dalam dua koleksi pertama.14 Samyutta Nikaya dikelompokkan menurut pokok bahasan, yang terdiri dari 56 samyutta atau bab yang masing-masing mengumpulkan serangkaian luas sutta-sutta pendek mengenai satu tema khusus atau ditujukan bagi teman bicara (atau tipe partner bicara) yang sama. Jadi kita memiliki samyutta terpisah yang terdiri dari sutta-sutta yang ditujukan pada para dewa (Bab 1), pada Raja Pasenadi (3), pada Mara Si Penggoda (4), pada para brahmana (7), dll.; ada juga, samyutta mengenai asal mula yang saling bergantungan (Bab 12), lima kelompok (khanda) (22), enam kemampuan indera (35), Jalan Mulia Berunsur Delapan (45), Empat Kebenaran Mulia (56), dll.
Angutara Nikaya diatur menurut skema nomor yang berasal dari ciri khas teknik instruksi Sang Buddha. Sebagai guru yang terampil, Sang Buddha sering menyajikan ajaran Beliau dalam himpunan bernomor, suatu format yang dengan sendirinya lebih mudah dipahami dan membantu agar ide-ide yang disampaikan dapat dengan mudah disimpan di pikiran. Anguttara mengumpulkan khotbah-khotbah bernomor ini menjadi satu karya utuh tunggal yang terdiri dari sebelas nipata atau bab, yang masing-masing mewakili sejumlah istilah yang memberi kerangka sutta yang bersesuaian. Berikut ini akan kita bahas secara lebih mendalam tentang struktur dan penekanan khusus dari Nikaya ini.
Angutara Nikaya sebagai Koleksi
Kata “Anguttara” merupakan kata majemuk, yang tidak ditemukan di tempat lain. Kata ini mungkin bisa diterjemahkan menjadi “meningkat karena suatu faktor”. Di kitab-kitab komentar, pengelompokan ini kadang-kadang diacu sebagai Ekuttara Nikaya, “koleksi yang meningkat satu per satu”. Nama ini sesuai dengan nama karya padanannya di dalam tradisi Buddhis Utara, Ekottaragama (atau Ekottarikagama), agama (“warisan”) merupakan kata yang digunakan dalam tradisi Buddhis Utara untuk menggantikan nikaya, yang lebih disukai oleh Theravada. Satu versi Ekottaragama dari tradisi Utara telah dilestarikan di dalam terjemahan Cina dan dimasukkan di dalam Tripitaka Cina.15
Kata “Anguttara” diberikan karena koleksi ini dibentuk berdasarkan skema bernomor. Sesuai dengan skema itulah setiap bab secara berturutan menjelaskan rangkaian istilah yang satu nomor lebih besar daripada penjelasan sebelumnya. Metode pengaturan ini umum dipakai di dalam kesusastraan India kuno. Metode ini terdapat di Dasuttara Sutta di Digha Nikaya, Itivuttaka (salah satu dari kitab Khuddaka Nikaya), dan Thera- serta Therigatha. Pengelompokan ini juga digunakan untuk beberapa teks Jainisme kuno.
Angutara Nikaya berisi sebelas nipata atau bab yang diberi nama sesuai dengan nomornya: Ekaka-nipata, Bab Kelompok Satu; Duka-nipata, Bab Kelompok Dua; Tika-nipata; Bab Kelompok Tiga; dan seterusnya sampai Ekadasa-nipata, Bab Kelompok Sebelas. Ada sejumlah bukti bahwa bab yang terakhir itu ditambahkan sesudahnya: bab ini jauh lebih kecil daripada yang lain, memuat sangat sedikit hal yang baru, dan juga mencakupkan dua sutta lengkap dari Majjhima Nikaya (no. 33 dan 52), yang mungkin disisipkan ke dalam Kelompok Sebelas agar lebih tebal. Dari Kelompok Enam dan seterusnya kami kadang-kadang menemukan bahwa jumlah butir yang dibutuhkan satu sutta agar cocok untuk masuk ke bab itu diperoleh dari menggabungkan rangkaian yang nomornya lebih kecil.16
Ringkasan syair (uddana) di akhir volume terakhir menyatakan bahwa Angutara Nikaya berisi 9557 sutta. Angka ini juga dikonfirmasikan oleh kitab-kitab komentar. Tetapi, teks-teks yang ada pada kami hanya berisi kira kira 2344 sutta. Sulit sampai pada hitungan yang tepat, karena di beberapa sutta tidak dapat dipastikan apakah sutta itu dihitung terpisah atau dianggap satu gabungan utuh. Sangat tidak mungkin bahwa pada suatu saat setelah zaman para komentator itu, tiga perempat dari teks aslinya lenyap. Yang jauh lebih mungkin adalah: kitab-kitab komentar itu sampai pada angka yang lebih tinggi karena cara menghitungnya. Semua perubahan pada bagian-bagian klise yang terdapat di akhir setiap bab, dimulai dari Kelompok Empat (tidak tercakup di dalam antologi ini), dihitung secara terpisah. Kadang-kadang bagian ini bahkan tidak diberi nomor di dalam edisi PTS.
Selain ada pembagian menjadi nipata bernomor, sutta-sutta itu kemudian dikumpulkkan menjadi 160 vagga (bagian atau kelompok). Di dalam analogi ini, vagga tidak ditunjukkan karena pembagian itu hanya bermakna di dalam koleksi lengkap. Setiap vagga idealnya berisi sepuluh sutta, walaupun di kasus khusus, jumlah yang sesungguhnya bervariasi – dari yang paling banyak berjumlah 262 sampai yang paling sedikit tujuh. Kadang-kadang, semua atau sebagian besar sutta di dalam satu vagga bisa berhubungan melalui satu topik, yang ditunjukkan dengan judul vagga itu. Tetapi hal itu jarang terjadi. Yang jauh lebih umum adalah hanya dua atau tiga sutta – dan sering hanya satu – yang ada hubungannya dengan judul vagga itu. Tidak jelas apa makna urutan vagga, walaupun kita bisa menganggap bahwa para redaktur mencakupkan di beberapa vagga pertama masalah-masalah yang mereka anggap amat berbobot, dan di dua nipata terakhir kami menemukan sejumlah sutta yang berhubungan dengan pencapaian-pencapaian meditatif yang sangat dalam. Walaupun bila pertama dibaca, pengaturan pada Anguttara yang kelihatannya kacau balau itu bisa mengganggu, setelah beberapa saat hal itu justru menjadi salah satu ciri yang paling menyenangkan. Para pembaca dibawa untuk terus bergerak dalam perubahan tentang topik dan ide yang berturutan, tanpa bisa menduga apa yang akan muncul berikutnya. Yang dapat diketahui secara pasti oleh semua pembaca adalah bahwa sutta-sutta berikutnya akan sesuai dengan rencana penomoran yang mengatur setiap bab.
Empat Nikaya utama dari Sutta Pitaka masing-masing sangat bervariasi isinya, namun dalam studi banding akan tampak bahwa masing-masing memiliki kepentingan dominan yang melengkapinya agar dapat memainkan perannya sendiri dalam mengkomunikasikan pesan-pesan Sang Buddha. Harus saya tekankan bahwa kepentingan ini sama sekali tidak tampak bila dilihat di setiap sutta dalam koleksinya masing-masing. Semua baru menjadi jelas jika koleksi itu dipandang secara keseluruhan dan dipertimbangkan lewat tema-tema yang dipertahankan.17 Jika ini dilakukan, akan kita dapati bahwa Digha Nikaya memiliki kepentingan untuk mengembangkan Buddhisme, yang bertujuan untuk membentuk supremasi Sang Buddha dan ajaran Beliau, yang berlawanan dengan pesaing-pesaing mereka dalam hal pandangan religius dan sosial India. Sutta pertama Digha sebenarnya merupakan survei mengenai pandangan-pandangan filosofis yang tak ada gunanya, yang ditolak mentah-mentah oleh Sang Buddha; banyak dari teks berikutnya memasukkan Sang Buddha ke dalam debat melawan para brahmana dan anggota sekte lainnya; sutta-sutta lain bertujuan untuk mengagungkan Sang Buddha dan menunjukkan kelebihan Beliau dibanding para dewa, makhluk-makhluk halus dan guru-guru pengembara pesaing yang bermukim di lembah Gangga. Sebaliknya, Majjhima Nikaya, memiliki penekanan yang langsung mengarah ke dalam, pada komunitas Buddhis itu sendiri; banyak sutta yang berhubungan dengan meditasi dan dasar-dasar doktrin, sehingga buku ini khususnya sangat sesuai untuk instruksi para bhikkhu.
Karena formatnya yang padat, sutta-sutta pendek pada Samyutta dan Anguttara kurang memiliki skenario yang memukau dan konfrontasi dramatis. Hal ini membuat dua koleksi yang lebih panjang itu memiliki kelebihan lebih mudah diingat. Tetapi masing-masing tetap memiliki kontribusinya sendiri, yang berasal dari cara pengaturannya. Samyutta Nikaya – yang diatur menurut tema – berfungsi sebagai gudang bagi banyak sutta yang walaupun pendek namun amat berisi. Sutta-sutta ini menjelaskan kebijaksanaan Sang Buddha yang radikal mengenai sifat realitas, dan jalan unik Sang Buddha menuju pembebasan spritual. Koleksi ini memenuhi kebutuhan dua kelompok khusus di dalam kehidupan monastik: pertama, para bhikkhu dan bhikkhuni yang mampu menggenggam dimensi terdalam tentang kebijaksanaan Buddhis dan yang berkewajiban menjelaskan kepada orang lain perspektif halus yang diungkapkan oleh ajaran Sang Buddha; dan kedua, mereka yang telah menyelesaikan tahap-tahap awal latihan meditasi dan bertekad mengerahkan usaha untuk mencapai realisasi kebenaran tertinggi.
Bergerak dari Samyutta Nikaya menuju Anguttara, ada pergeseran dalam hal penekanannya, yaitu dari pemahaman menuju perbaikan pribadi. Karena sutta-sutta pendek yang mencetuskan teori filsafat dan struktur utama latihan telah masuk ke dalam Samyutta, apa yang tersisa untuk dicakupkan ke dalam Anguttara adalah sutta-sutta pendek yang kepentingan utamanya adalah kepraktisan. Sampai batas tertentu, dalam orientasi praktisnya, sebagian Angutara Nikaya bertumpang tindih dengan bagian akhir Samyutta, yang tujuh bab pertamanya dikhususkan untuk tujuh rangkaian yang membentuk “tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan spiritual” (bodhipakkhiya dhamma), Jalan Mulia Berunsur Delapan (Bab 45), tujuh faktor pencerahan spiritual (46), empat landasan kewaspadaan (47), lima kemampuan spiritual (48), dll. Untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu, para redaktur dari kitab ini tidak mencakupkan topik-topik ini lagi di dalam Anguttara di dalam Kelompok Delapan, Kelompok Tujuh, Kelompok Empat dan Kelompok Lima. 18 Dengan demikian teks Anguttara dapat terfokus pada aspek-aspek latihan praktis yang tidak termasuk ke dalam rangkaian standar yang diulang-ulang. Hal ini membantu kita untuk melihat latihan Buddhis dari berbagai sudut yang baru, yang tidak tersedia bila kelompok faktor yang sudah umum itu dibicarakan terpisah. Bahkan dapat kita katakan bahwa jika bagian akhir Samyutta memberikan anatomi tentang jalan spiritual Buddhis, maka Anguttara menyajikan suatu kecenderungan fisiologis pada jalan itu.
Namun tidak realistis jika kita menekankan bahwa satu kriteria saja telah mengatur formasi Angutara Nikaya, yang mencakup materi dari Vinaya, daftar murid yang menonjol, informasi kosmologi dan daftar istilah asing yang tidak masuk ke dalam kategori yang sudah ada. Tetapi bila kita melihat koleksi ini secara singkat, akan kita dapati bahwa teks amat berkepentingan untuk menunjukkan bentuk-bentuk primer praktek Buddhis. Ajaran-ajaran ini berkisar dari pengendalian etis mendasar yang disarankan bagi pria atau wanita yang sibuk di dunia ini, sampai pada instruksi-instruksi yang lebih keras mengenai latihan mental yang diberikan kepada bhikkhu dan bhikkhuni. Di dalam dua bab terakhir, kita menemui amat banyak uraian teks mengenai tingkat meditasi yang paling tinggi, yang amat sulit, yaitu samadhi yang dicapai oleh orang yang berdiam pada realisasi tujuan.