Jumat, 02 Maret 2012

Sona

BAB 5
SONA

5.1 Raja
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala pergi ke lantai atas istana kerajaannya dengan sang Ratu, Mallika. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallika, “Adakah seseorang, Mallika, yang lebih kamu sayangi daripada kamu sendiri?”
“Tidak ada seorangpun – Raja yang Agung, yang lebih saya sayangi lebih dari diriku sendiri. Tetapi adakah seseorang, Baginda Raja, yang lebih Anda cintai daripada Anda sendiri?”
“Tidak seorangpun, Mallika, yang lebih saya sayangi lebih dari diriku sendiri.” Raja Pasenadi dari Kosala turun dari kerajaannya dan pergi mengunjungi Sang Bhagava. Ketika mendekati Sang Bhagava dia bersujud, duduk di satu sisi dan melaporkan percakapan itu.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Ketika menjelajahi segala penjuru tempat dengan pikiran,
Seseorang akan menemukan tidak seorangpun yang tidak
lebih menyayangi dirinya sendiri.
Demikian juga setiap orang menganggap dirinya yang paling
disayang,
Maka orang yang mencintai dirinya sendiri tidak boleh
mencelakakan yang lain.

5.2 Yang Berusia Pendek
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Kemudian Yang Ariya Ananda, ketika selesai bermeditasi sore hari, mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Bagus sekali, Bhante! Hebat sekali, Bhante! Betapa pendek kehidupan ibunda Sang Bhagava. Tujuh hari setelah Sang Bhagava lahir, ibunda Sang Bhagava meninggal dunia dan dilahirkan kembali di Alam Sorga Tusita (para Dewa).”
“Begitulah, Ananda. Begitu pendeknya kehidupan para ibu Sang Bodhisatta. Tujuh hari setelah Bodhisatta lahir, ibunda mereka meninggal dunia dan lahir kembali dalam Alam Sorga Tusita (para Dewa).” [1]
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Mahluk apapun yang lahir atau akan lahir,
Mereka akan berproses terus dengan meninggalkan tubuhnya,
Tahu bahwa semua yang dimiliki seseorang harus ditinggalkan,
Orang bijak akan bersemangat menjalani kehidupan suci.

5.3. Suppabuddha Penderita Lepra
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Rajagaha, di Hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu di Rajagaha ada seorang penderita kusta yang bernama Suppabuddha, seorang yang miskin, perlu dikasihani, malang hidupnya.
Pada suatu saat Sang Bhagava sedang duduk mengajarkan Dhamma dikelilingi oleh banyak orang. Suppabuddha, si penderita kusta melihat dari jauh bahwa banyak orang berkumpul bersama, dan ketika melihat itu ia berpikir: “Pasti ada makanan yang sedang dibagikan. Misalnya saya mendekati gerombolan orang itu, saya mungkin juga mendapatkan makanan di sana.” Maka Suppabuddha, si penderita lepra mendekat kelompok orang-orang itu dan melihat Sang Bhagava duduk dan mengajarkan Dhamma dikelilingi oleh banyak orang. Ketika melihat itu, ia berpikir: “Tidak ada makanan yang sedang dibagikan di sini. Ini adalah pertapa Gotama yang sedang mengajarkan Dhamma pada umat-umat Nya. Misalnya saya juga mendengarkan Dhamma.” Maka dia duduk di satu sisi (berpikir), “Saya juga akan mendengarkan Dhamma.”
Pada saat itu Sang Bhagava, yang memahami pikiran (setiap orang di dalam) seluruh kelompok itu dengan pikiran Nya sendiri, mempertimbangkan: “Siapa di sini yang mampu memahami Dhamma?” Kemudian Sang Bhagava melihat Suppabuddha, si penderita lepra duduk di antara kelompok orang-orang itu, dan ketika melihatnya beliau berpikir: “Inilah orang yang di sini mampu memahami Dhamma.” Demi kepentingan Suppabuddha, si penderita lepra beliau kemudian memberikan penjelasan Dhamma yang tepat, yaitu penjelasan mengenai kedermawanan, mengenai kesusilaan, mengenai kebahagiaan surga; beliau membuat ia mengerti mengenai kekecewaan, keburukan, dan bahayanya nafsu keinginan indria dan manfaat dari meninggalkan nafsu keinginan indria itu. Ketika Sang Bhagava tahu bahwa pikiran Suppabuddha, si penderita lepra sudah siap, dapat ditundukkan, bebas dari halangan-halangan, sangat gembira, dan bersih, beliau kemudian membabarkan Dhamma yang khusus untuk para Buddha: penderitaan, asal mulanya, berhentinya, dan jalan menghentikannya. Dan persis seperti sepotong kain bersih tanpa noda dengan baik akan menyerap pewarna, begitu juga dalam diri Suppabuddha, si penderita lepra, bahkan ketika dia sedang duduk di sana, muncullah penembusan Dhamma yang tidak ternoda, tidak tercemarkan, bahwa apapun yang terkena asal mula juga akan terkena penghentian. [2]
Kemudian Suppabuddha, si penderita lepra, sesudah melihat Dhamma, mencapai Dhamma, mengetahui Dhamma, mencebur ke dalam Dhamma, melewati keraguan dan menjadi terbebas dari ketidakpastian. Sesudah memiliki keyakinan utuh terhadap ajaran Sang Guru dan tanpa memerlukan peneguhan orang lain mengenai hal itu, ia bangkit dari duduknya, mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bagus sekali, Bhante! Hebat sekali, Bhante! Persis, Bhante, seperti seseorang yang seharusnya menegakkan apa yang terbalik, atau seharusnya membuka tutup apa yang tersembunyi, atau seharusnya menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau seharusnya membawakan lampu minyak di dalam kegelapan sehingga mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda yang tampak, demikianlah, dengan berbagai macam cara, Sang Bhagava telah menerangkan Dhamma. Saya, Bhante, pergi mencari perlindungan kepada Sang Bhagava kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Sudilah Sang Bhagava menerima saya sebagai pengikut awam yang berlindung dari hari ini dan selanjutnya selama kehidupan ini berlangsung.”
Sesudah itu Suppabuddha, si penderita lepra, setelah diberi pelajaran, dibangkitkan kesadarannya, diberi inspirasi dan digembirakan oleh pembicaraan Sang Bhagava mengenai Dhamma, karena merasa gembira dan penuh penghargaan terhadap apa yang sudah dikatakan Sang Bhagava, bangkit dari duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan sambil tetap mengarahkan sisi kanannya pada Sang Bhagava, berlalu.
Kebetulan pada saat itu seekor sapi betina dengan anaknya yang masih muda menyerang Suppabuddha, si penderita lepra dan membunuhnya. [3] Kemudian sekelompok bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Bhante, si penderita lepra, Suppabuddha yang tadi sudah diberi pelajaran, dibangkitkan kesadarannya, diberi inspirasi dan digembirakan oleh pembicaraan Sang Bhagava mengenai Dhamma, telah meninggal dunia. Bagaimana keberadaannya? Bagaimanakah kehidupannya yang akan datang?”
“Suppabuddha si penderita lepra, o bhikkhu, adalah seorang yang bijaksana. Dia berlatih menurut Dhamma dan tidak merepotkan saya dengan membantah mengenai Dhamma. Suppabuddha, si penderita lepra, ….. Bhikkhu, dengan menghancurkan tiga belenggu, ia adalah seorang yang telah memasuki Sang Jalan, tidak mungkin lagi jatuh, dipastikan, menuju ke Penerangan.”
Ketika hal itu sudah dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagava: “Bhante, apakah penyebabnya, apakah alasannya, sehingga Suppabuddha, si penderita lepra dulu hidup sebagai seorang yang malang, patut dikasihani dan miskin?”
“Dahulu kala, O, bhikkhu, Suppabuddha, si penderita lepra adalah anak seorang pedagang kaya di Rajagaha ini. Ketika diajak ke kebun yang menyenangkan, dia melihat Tagarasikhi, seorang Paccekabuddha, [4] memasuki kota untuk mengumpulkan dana makanan, dan ketika melihatnya, dia berpikir, “Siapakah orang lepra yang berkelana itu?” Dan sesudah meludahinya dan (dengan tidak sopan) menghadapkan sisi kirinya padanya, dia berlalu. Melalui akibat kematangan perbuatannya itu saja, dia menderita di alam neraka selama bertahun-tahun, selama beratus-ratus tahun. Dan melalui akibat kematangan perbuatannya itu saja, dia menjadi seorang yang malang, patut dikasihani dan miskin di Rajagaha ini. Tetapi ketika bertemu dengan Dhamma dan Vinaya yang diperkenalkan oleh Sang Tathagata, dia mendapatkan keyakinan, kesusilaan, pengetahuan luas, pelepasan dan kebijaksanaan. Dan pada saat tubuhnya terurai, sesudah kematian, ia lahir kembali di alam yang bahagia, di alam surga, berkawan dengan para Dewa Surga Tavatimsa. Di sana dia melampaui keindahan dan keagungan para dewa lainnya.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Seperti orang yang penglihatan matanya bagus, dalam perjalanan,
Akan berusaha menghindari tempat apapun yang berbahaya,
Begitu juga seorang bijaksana hidup di dunia ini
Harus menghindari tindakan-tindakan yang tercela.

5.4. Anak-anak Laki
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu sejumlah anak-anak laki di daerah antara kota Savatthi dan Hutan Jeta sedang menyiksa ikan (dalam kolam). [5]
Kemudian Sang Bhagava, sesudah mengenakan jubahnya sebelum siang hari dan membawa mangkuk dan jubah luar Nya, pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Beliau melihat anak-anak itu di antara kota Savatthi dan Hutan Jeta sedang menyiksa ikan. Ketika melihat hal ini beliau mendekati anak-anak itu dan berkata: “Apakah kamu, anak-anak takut rasa sakit? Apakah kamu tidak suka rasa sakit?”
“Ya, Bhante, kami memang takut rasa sakit. Kami tidak menyukai rasa sakit.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Jika kamu takut sakit, jika kamu tidak menyukai rasa sakit,
Jangan melakukan perbuatan jelek secara terbuka atau secara tersembunyi.
Jika kamu sudah melakukan perbuatan jelek atau melakukannya sekarang,
Kamu tidak akan bisa lolos dari rasa sakit, walaupun kamu
mencoba melarikan diri.

5.5. Hari Uposatha
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Taman Timur, di rumah induk Ibu Migara. Pada saat itu Sang Bhagava sedang duduk dikelilingi oleh bhikkhu sangha, karena hari itu adalah hari Uposatha. [6] Kemudian, ketika malam telah larut, dan masa jaga pertama telah berakhir, Yang Ariya Ananda bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya di satu bahu, mengangkat kedua tangannya yang terlipat, dan berkata kepada Sang Bhagava: “Malam telah larut, Bhante, masa jaga pertama telah berakhir dan para bhikkhu sudah lama duduk. Bhante, biarlah Sang Bhagava mengulang Patimokkha kepada para bhikkhu.” Ketika ini telah dikatakan, Sang Bhagava tetap berdiam diri.
Ketika malam (semakin) larut lagi dan masa jaga pertengahan telah berakhir, untuk kedua kalinya Yang Ariya Ananda bangkit dari tempat duduknya ….. dan berkata kepada Sang Bhagava: “Malam telah larut, Bhante, masa jaga pertengahan telah berakhir dan para bhikkhu sudah lama duduk. Bhante, biarlah Sang Bhagava mengulang Patimokkha kepada para bhikkhu.” Untuk kedua kalinya Sang Bhagava tetap diam.
Ketika malam (semakin) lebih larut lagi dan masa jaga terakhir telah berakhir, ketika fajar akan menyingsing dan malam akan berakhir, untuk ketiga kalinya Yang Ariya Ananda bangkit dari tempat duduknya ….. dan berkata kepada Sang Bhagava: “Malam telah sangat larut, Bhante, masa jaga terakhir telah berakhir; fajar akan menyingsing dan malam akan berakhir dan para bhikkhu sudah lama duduk. Bhante, biarlah Sang Bhagava mengulang Patimokkha kepada para bhikkhu.”
“Perkumpulan itu tidak murni, Ananda.”
Kemudian Yang Ariya Mahamoggallana berpikir: “Sehubungan dengan siapakah Sang Bhagava ini berkata, ‘Perkumpulan itu tidak murni, Ananda.’ Dan Yang Ariya Mahamoggallana, yang memahami pikiran seluruh bhikkhu itu dengan pikirannya sendiri, melihat seseorang yang duduk di tengah kelompok para bhikkhu – tidak bermoral, jahat, bertingkah laku tidak murni dan mencurigakan, penuh rahasia dalam tindakannya, bukan pertapa walaupun berpura-pura sebagai pertapa, tidak menjalankan kehidupan suci walaupun berpura-pura demikian, busuk di dalam, penuh nafsu dan menyeleweng. Ketika melihat orang itu, Yang Ariya Mahamoggallana bangkit dari tempat duduknya, mendekati orang itu dan berkata: “Bangkitlah, teman. Anda telah dilihat oleh Sang Bhagava. Anda tidak dapat tinggal dalam kelompok masyarakat bhikkhu.” Tetapi orang itu tetap diam.
Untuk kedua kali dan ketiga kalinya Yang Ariya Mahamoggalana memberitahu orang itu untuk bangkit, dan untuk kedua dan ketiga kalinya orang itu tetap diam. Kemudian Yang Ariya Mahamoggallana memegang tangan orang itu, menariknya keluar dari pintu gerbang dan mengunci pintu itu. Kemudian beliau mendekati Sang Bhagava dan berkata: “Bhante, saya mengeluarkan orang itu. Perkumpulan ini sekarang sudah murni. Bhante, biarlah Sang Bhagava mengulangi Patimokkha kepada para bhikkhu.”
“Aneh, Moggallana, luar biasa Moggallana, bagaimana orang yang bodoh itu menunggu sampai ia dikeluarkan dengan dipegang tangannya.”
Kemudian Sang Bhagava berbicara kepada para bhikkhu: “Mulai sekarang, O, bhikkhu, saya tidak akan ikut serta di dalam upacara Uposatha atau mengulang Patimokkha. Mulai sekarang kamu sendiri yang harus berperan serta di dalam upacara Uposatha dan mengulang Patimokkha. Tidaklah mungkin, O, bhikkhu, tidak bisa terjadi, bahwa Sang Tathagata harus mengambil bagian di dalam upacara Uposatha dan mengulang Patimokkha dengan kelompok yang tidak murni.”
“Bhikkhu, ada 8 sifat yang luar biasa dan menakjubkan mengenai samudera yang besar, yang karena melihat hal-hal itu para asura bergembira di samudera yang luas. Apakah kedelapan sifat itu?
  1. “Samudera yang luas, O, bhikkhu, sedikit demi sedikit tersusun, melandai dan menurun, dan tidak ada ngarai yang secara tiba-tiba curam. Samudera yang luas itu sedikit demi sedikit tersusun ….. ini merupakan sifat yang luar biasa dan menakjubkan mengenai samudera luas, yang karena melihatnya demikian, para asura bergembira di samudera luas itu.
  2. “Selanjutnya, samudera luas bersifat stabil dan tidak melebihi batas garis pasang. Ini merupakan sifat samudera luas kedua yang luar biasa dan menakjubkan ……..
  3. “Selanjutnya, samudera luas tidak mentoleransi jasad yang mati; karena bila ada jasad mati di samudera luas, samudera segera membawanya ke pantai dan mendamparkannya pada tanah yang kering. Inilah sifat samudera luas ketiga yang luar biasa dan menakjubkan ……
  4. “Selanjutnya, sungai-sungai besar apapun yang ada – sungai Gangga, sungai Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi ketika mencapai samudera luas kehilangan nama dan identitasnya yang lama dan hanya disebut “samudera luas”. Inilah sifat samudera luas keempat yang luar biasa dan menakjubkan ……
  5. “Selanjutnya, walaupun sungai-sungai di dunia ini mengalir ke samudera luas dan curah hujan jatuh dari langit, tidak tampak ada pengurangan maupun penambahan samudera luas. Ini merupakan sifat samudera luas kelima yang luar biasa dan menakjubkan …..
  6. “Selanjutnya, samudera luas mempunyai satu rasa, rasa garam. Ini merupakan sifat samudera luas keenam yang luar biasa dan menakjubkan ……….
  7. “Selanjutnya, samudera luas mengandung banyak benda yang berharga, berbagai macam benda berharga, seperti misalnya: mutiara, kristal, batu beryl, conch, quart, karang, perak, emas, batu rubi, mata kucing. Ini merupakan sifat samudera luas ketujuh yang luar biasa dan menakjubkan ……
  8. “Selanjutnya, samudera luas adalah tempat tinggal para mahluk yang sakti, seperti misalnya: timi, timingala, timirapingala, asura, naga, dan gandhabba. [7] Di sana ada mahluk samudera luas yang ukurannya seratus yojana, mahluk yang berukuran dua ratus, tiga ratus, empat ratus yojana. [8] Ini adalah sifat samudera luas kedelapan yang luar biasa dan menakjubkan ….
“Inilah, O, bhikkhu, kedelapan sifat samudera luas yang luar biasa dan menakjubkan, yang karena melihatnya para asura bergembira di samudera luas.
“Demikian pula, O, bhikkhu, ada delapan sifat Dhamma dan Vinaya ini yang luar biasa dan menakjubkan, yang karena melihatnya para bhikkhu bergembira dalam Dhamma dan Vinaya. Apakah kedelapan sifat itu?
  1. “Seperti samudera luas, O, bhikkhu, yang secara sedikit demi sedikit tersusun, melandai dan menurun, dan tidak ada ngarai yang tiba-tiba turun, begitu juga dalam Dhamma dan Vinaya ini ada latihan yang bertahap, jalan yang bertahap, kemajuan yang bertahap, dan tidak ada pencapaian tiba-tiba ke dalam pengetahuan akhir. [9] Karena di dalam Dhamma dan Vinaya ini ada latihan yang bertahap, ….. inilah sifat pertama yang luar biasa dan menakjubkan dalam Dhamma dan Vinaya, yang karena melihatnya demikian, para bhikkhu bergembira di dalam Dhamma dan Vinaya ini.
  2. “Seperti samudera luas yang stabil dan tidak melebihi batas garis pasang, begitu juga murid-muridku tidak akan melanggar peraturan latihan yang saya tetapkan untuk para murid sekalipun demi keperluan kehidupan mereka. Ini adalah sifat yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini.
  3. “Seperti samudera luas yang tidak mentoleransi jasad yang mati dan mendamparkannya di tanah yang kering, begitu juga siapapun orang yang tidak bermoral, jahat, dan bertingkah laku tidak murni dan mencurigakan, penuh rahasia dalam tindakannya, bukan pertapa walaupun berpura-pura menjadi pertapa, tidak melatih kehidupan suci walaupun berpura-pura melakukannya, busuk di dalam, penuh nafsu dan menyeleweng, Sangha tidak mau berhubungan dengan dia, dan jika Sangha bertemu dengannya akan membuangnya keluar. Walaupun dia mungkin duduk di tengah-tengah Sangha, tapi dia jauh dari Sangha dan Sangha jauh dari dia. Inilah sifat yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini ….
  4. “Seperti sungai-sungai besar apapun yang ada …. waktu mencapai samudera luas kehilangan nama dan identitas mereka yang lama dan hanya sekedar disebut “samudera luas,” begitu juga (mereka-mereka dari) empat kasta – para bangsawan, brahmana, pedagang dan pekerja – yang sudah berpindah dari keadaan berumah menuju ke keadaan tidak berumah dalam Dhamma dan Vinaya yang dibabarkan oleh Sang Tathagata, meninggalkan nama dan identitas mereka dan hanya disebut “Pertapa, pengikut Putra Sakya.” Inilah sifat keempat yang luar biasa dari Dhamma dan Vinaya ini …..
  5. “Seperti halnya, walaupun sungai dari dunia ini mengalir ke dalam samudera dan curah hujan jatuh dari langit, tidak terlihat ada pengurangan maupun peluapan samudera luas, begitu juga, walaupun banyak bhikkhu mencapai Nibbana Akhir dalam elemen-Nibbana tanpa adanya residu yang tersisa, [10] tidak ada pengurangan atau peluapan elemen-Nibbana itu yang tampak. Inilah sifat kelima yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini …….
  6. “Seperti samudera luas yang mempunyai satu rasa, rasa garam, begitu juga Dhamma dan Vinaya ini mempunyai satu rasa, yaitu rasa kebebasan. Inilah sifat keenam yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini ……
  7. “Seperti samudera luas yang mengandung banyak benda yang berharga, berbagai macam benda yang berharga, ….. begitu juga Dhamma dan Vinaya ini mengandung banyak hal yang berharga, berbagai macam hal yang berharga, seperti misalnya ini: empat landasan kesadaran, empat upaya yang benar, empat dasar mencapai sukses, lima kemampuan, lima kekuatan, tujuh faktor penerangan, dan jalan utama berunsur delapan. [11] Inilah sifat ketujuh yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini ….
  8. “Seperti samudera luas yang merupakan tempat tinggal mahluk-mahluk sakti ….. begitu juga Dhamma dan Vinaya ini merupakan tempat tinggal mahluk-mahluk sakti, seperti misalnya ini: orang yang memasuki sang jalan (sotapatti-phala) dan orang yang berada di jalan menuju realisasi hasil memasuki sang jalan (sotapatti-magga), orang yang dilahirkan sekali lagi (sakadagami-phala) dan orang yang berada di jalan menuju realisasi hasil dilahirkan sekali lagi itu (sakadagami-magga), orang yang tidak dilahirkan lagi (anagami-phala) dan orang yang berada di jalan menuju realisasi hasil tidak dilahirkan lagi itu (anagami-magga), para arahat (arahat-phala) dan orang yang berada di jalan menuju arahat (arahat-magga). Inilah sifat kedelapan yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini.
“Inilah, bhikkhu-bhikkhu, delapan sifat yang luar biasa dan menakjubkan dari Dhamma dan Vinaya ini, yang karena melihatnya demikian, para bhikkhu bergembira di dalam Dhamma dan Vinaya ini.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Hujan membasahi apa yang tertutup,
Hujan tidak membasahi apa yang terbuka.
Maka bukalah apa yang tertutup,
Sehingga hujan tidak akan membasahinya. [12]

5.6. Sona
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Mahakaccana sedang tinggal di antara orang-orang Avanti dekat Kuraraghara di bukit Pavatta dengan pengikut awam Sona Kotikanna sebagai pembantunya.
Pada saat itu, sementara pengikut awam Sona Kotikanna sedang bertapa, arus pikiran ini muncul di dalam benaknya: “Menurut cara Tuan Mahakaccana mengajar Dhamma, tidaklah mudah bagi seseorang yang hidup di rumah untuk mempraktekkan kehidupan suci agar terpenuhi seluruhnya, murni seluruhnya, dan tergosok seperti kulit kerang. Seandainya saya memotong rambut dan jenggot saya, berpakaian jubah kuning, dan pindah dari keadaan berumah menuju keadaan tidak berumah.”
Maka pengikut awam Sona Kotikanna pergi menemui Yang Ariya Mahakaccana, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Bhante, tadi sementara dalam bertapa (saya berpikir): ‘Menurut cara Tuan Mahakaccana mengajar Dhamma ….. dan pindah dari kehidupan berumah menuju ke kehidupan tidak berumah.’ Ijinkanlah saya, Tuan Mahakaccana, untuk pindah.”
Ketika ini diucapkan, Yang Ariya Mahakaccana menjawab pengikut awam Sona Kotikanna: “Sona, adalah sulit untuk menjalani kehidupan suci dengan satu kali makan sehari dan tidur sendiri selama sisa hidup seseorang. Marilah Sona, abdikanlah dirimu untuk ajaran para Buddha sementara tetap menjadi perumah tangga, dan cobalah selama suatu waktu yang terbatas untuk menjalani kehidupan suci, makanlah satu kali sehari dan tidurlah sendiri.”
Kemudian ide pengikut awam Sona Kotikanna untuk berpindah agak mereda.
Pada kesempatan kedua, sementara pengikut awam Sona Kotikanna sedang bertapa, pikiran yang sama muncul lagi. Dia pergi menghadap Yang Ariya Mahakaccana dan meminta ijin untuk berpindah, tetapi sekali lagi dia menerima jawaban yang sama. Tetapi pada kesempatan ketiga, Yang Ariya Mahakaccana mengijinkan pengikut awam Sona Kotikanna untuk melakukan itu.
Pada saat itu ada sedikit bhikkhu di daerah sebelah selatan Avanti, maka (hanya) setelah selang waktu 3 tahun Yang Ariya Mahakaccana, dengan susah payah dan kesulitan, mampu mengumpulkan dari sana sini kelompok bhikkhu yang terdiri dari sepuluh orang (untuk membentuk) bhikkhu sangha [13] dan memberikan pentahbisan yang lebih tinggi kepada Sona.
Kemudian, sewaktu keluar dari pertapaan sesudah pengasingan musim hujan, pikiran berikut ini muncul di dalam benak bhikkhu Sona: “Saya belum pernah bertatap muka dengan Sang Bhagava. Saya hanya mendengar bahwa beliau seperti ini dan seperti itu. Jika Guruku mau memberi saya ijin, saya ingin pergi menemui Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna.”
Maka bhikkhu Sona, setelah keluar dari pertapaannya di petang itu, mendekati Yang Ariya Mahakaccana, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Bhante, tadi, sementara dalam kesendirian (saya berpikir): ‘Saya belum pernah berjumpa Sang Bhagava …. Jika Guruku bersedia memberi saya ijin, saya ingin pergi menemui Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna.”
“Baik, baik, Sona. Pergilah, Sona dan jumpailah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna. Sona, kamu harus bertemu Sang Bhagava yang memberi inspirasi kepercayaan dan keyakinan, yang memiliki indria yang tenang dan pikiran yang damai, yang sudah mencapai keseimbangan sempurna dan ketenangan, yang terkendali, yang sempurna, waspada dengan indria yang terkendali. Jika kamu berjumpa beliau, sampaikan sembah sujudku dengan kepalamu di kaki Sang Bhagava dan bertanyalah apakah beliau bebas dari sakit dan penyakit dan dalam keadaan sehat, kuat dan hidup dalam keadaan yang nyaman, dengan mengatakan: “Sang Bhagava, guruku Mahakaccana, menyampaikan sujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagava dan bertanya apakah beliau bebas dari sakit …… dan hidup dalam keadaan yang nyaman.”
“Baiklah, Guru,” kata bhikkhu Sona, yang merasa senang dan penuh penghargaan terhadap kata-kata Yang Ariya Mahakaccana. Dia bangkit dari duduknya, bersujud di hadapan Yang Ariya Mahakaccana, dan pergi dengan tetap menghadapkan sisi kanannya kepada beliau. Sesudah mengatur tempat tinggal dengan rapi dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia berangkat menuju ke Savatthi. Berjalan secara bertahap, ia mencapai Savatthi, Hutan Jeta dan Vihara Anathapindika, dan pergi menghadap Sang Bhagava. Sesudah mendekati Sang Bhagava, dia bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, guruku Yang Ariya Mahakaccana ….. bertanya apakah Sang Bhagava …… hidup dalam keadaan yang nyaman.”
“Apakah kamu baik-baik saja, bhikkhu? Apakah kamu dalam kesehatan yang baik? Apakah kamu agak lelah karena perjalanan menuju kemari dan tidak mendapatkan kesulitan mengumpulkan dana makanan ?”
“Saya sehat-sehat saja, Sang Bhagava. Saya dalam keadaan sehat Sang Bhagava. Saya tidak lelah karena perjalanan menuju kemari Bhante, dan tidak mendapatkan kesulitan dalam mengumpulkan dana makanan.”
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda, “Aturlah tempat tinggal, Ananda, untuk bhikkhu yang baru saja tiba ini.”
Kemudian Yang Ariya Ananda berpikir: “Jika Sang Bhagava memerintah saya dengan mengatakan, ‘Aturlah tempat tinggal, Ananda, untuk bhikkhu yang baru datang ini,’ ini adalah karena beliau ingin sendiri bersama bhikkhu ini; Sang Bhagava ingin sendiri dengan bhikkhu Sona.” Maka di tempat Sang Bhagava berada, Yang Ariya Ananda mengatur tempat bermalam untuk bhikkhu Sona.
Kemudian Sang Bhagava, sesudah lama melewatkan waktu di malam hari duduk di udara terbuka, mencuci kaki Nya dan masuk ke tempat tinggal beliau. Bhikkhu Sona juga berbuat demikian. Ketika hampir fajar Sang Bhagava bangun dari tempat duduk Nya dan meminta bhikkhu Sona, “Saya ingin kamu, bhikkhu, untuk mengulang Dhamma.”
“Baiklah, Bhante,” bhikkhu Sona menjawab Sang Bhagava, dan mengulang seluruh 16 bagian dari Atthakavagga. [14] Pada akhir pembacaan Dhamma oleh bhikkhu Sona, Sang Bhagava sangatlah senang dan berkata: “Baik, baik, bhikkhu. Kamu telah mempelajari ke enambelas bagian dari Atthakavagga dengan baik, bhikkhu; kamu telah memahami dan mengingatnya semua dengan baik. Kamu memiliki suara yang bagus, tajam dan jelas serta khas, yang membuat artinya jelas. Berapa tahun (senioritas) [15] yang telah kamu punyai, bhikkhu ?”
“Saya mempunyai 1 tahun, Sang Bhagava.”
“Mengapa, bhikkhu, kamu menunda sedemikian lama?”
“Telah lama, Bhante, saya telah melihat kekecewaaan dalam keinginan indria, tetapi kehidupan berumahtangga, dengan sekian banyak kegiatan dan hal-hal yang harus dikerjakan, menahan saya.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Melihat dunia tidak memuaskan,
Mengetahui keadaan tanpa ikatan,
Seorang yang luhur tidak bergembira di dalam kejahatan;
Dalam kejahatan, orang yang telah murni tidak menemukan kegembiraan. [16]

5.7. Revata
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Revata, si peragu duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menjaga tubuhnya tegak dan memeriksa kemurniannya sendiri dengan menanggulangi keragu-raguan. [17]
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Revata, si peragu duduk bersila tidak jauh, dengan menahan tubuhnya tegak dan memeriksa kemurniannya sendiri dengan menanggulangi keragu-raguan.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Keraguan apapun yang ada di sini atau di sana,
Dalam pengalaman diri sendiri atau orang lain,
Semua ditinggalkan oleh orang yang bermeditasi,
Oleh seseorang yang giat, yang menjalani hidup suci.

5.8. Ananda
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Rajagaha, di Hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu, pada hari Uposatha, Yang Ariya Ananda telah mengenakan jubahnya sebelum siang, membawa mangkuk dan jubah luarnya, dan memasuki Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan. Devadatta [18] melihat Yang Ariya Ananda berjalan untuk mengumpulkan dana makanan di Rajagaha, dan ketika melihatnya, ia mendekati Yang Ariya Ananda dan berkata: “Mulai hari ini, sahabat Ananda, saya akan mejadikan upacara Uposatha dan menjadikan urusan Sangha terpisah dari Sang Bhagava dan terpisah dari bhikkhu sangha.”
Kemudian Yang Ariya Ananda, sesudah berjalan di Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan dan kembali setelah makan, mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, setelah saya mengenakan jubah sebelum siang, membawa mangkuk dan jubah luar saya, dan memasuki Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan, Devadatta melihat saya …. dan berkata kepada saya: “Mulai hari ini saya akan menjadikan upacara Uposatha ….. terpisah dari bhikkhu sangha.” Hari ini, Bhante, Devadatta akan membagi Sangha; [19] ia akan melaksanakan upacara Uposatha dan menangani urusan Sangha (terpisah).”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada waktu itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Bagi yang baik, mudah untuk melakukan apa yang baik,
Bagi yang jelek, sulit untuk melakukan apa yang baik,
Bagi yang jelek, mudah untuk melakukan apa yang jelek,
Bagi yang mulia, sulit untuk melakukan apa yang jelek. [20]

5.9. Mencaci Maki
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang mengadakan perjalanan di antara orang-orang Kosala bersama dengan bhikkhu sangha. Pada saat itu sejumlah pemuda meneriakkan kata-kata caci maki [21](satu sama lain) tidak jauh dari Sang Bhagava.
Sang Bhagava melihat pemuda-pemuda itu meneriakkan caci maki (satu sama lain) ……
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Kata-kata bijaksana dilupakan,
Mereka mengeluarkan serangkaian kata-kata,
Semaunya dengan mulut ternganga;
Apa yang mejadikan mereka begitu, mereka tidak tahu. [22]

5.10. (Cula) Panthaka
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Culapanthaka [23] duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menahan tubuhnya tegak, sesudah mengatur kewaspadaan sebelumnya.
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Culapanthaka duduk bersila tidak jauh, menahan tubuhnya tegak, sesudah mengatur kewaspadaan sebelumnya.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Dengan tubuh terkendali dan pikiran terkendali,
Apakah berdiri, duduk, atau terbaring,
Seorang bhikkhu yang menjadikan kesadarannya kokoh,
Akan mendapatkan kemajuan yang berturut-turut. [24]
Sesudah mendapatkan kemajuan secara berturut-turut
Ia akan pergi melampaui pandangan Raja Kematian. [25]

Catatan Kaki :
  1. Bacaan ini dicakupkan dalam M. Sutta 123 diantara suatu deretan pernyataan yang dihubungkan dengan kelahiran seorang Bodhisatta (calon Buddha). Porsi prosa di sini tidak benar-benar cocok dengan syair yang diucapkan oleh Sang Bhagava.
  2. Munculnya penembusan Dhamma (dhammacakkhu, yang secara harafiah berarti “mata Dhamma”), menunjukkan pencapaian jalan menuju ke luar duniawi yang pertama, jalan stream-entry. Dengan mencapai tahap ini, pengikut memotong belenggu-belenggu paling kasar yang mengikat mereka pada kesengsaraan dan membatasi keberadaannya yang akan datang sampai batas maksimum tujuh kali.
  3. Seperti dalam Bahiya dalam 1.10.
  4. Paccekabuddha, “yang mencapai penerangan sendiri,” adalah individu yang telah menyadari kebenaran-kebenaran inti Dhamma melalui diri mereka sendiri, tanpa bimbingan dan petunjuk dari seorang Buddha, tetapi walaupun mencapai penerangan, mereka tidak mampu memimpin yang lain untuk menuju ke penerangan. Lihat Ria Kloppenborg, The Paccekabuddha: A Buddhist Ascetic (BPS Wheel No. 305/307). Untuk referensi lain lihat Tagarasikhi, lihat S.1, 92.
  5. Bandingkan 2.3.
  6. Uposatha atau “hari pengamatan” adalah saat bagi para bhikkhu untuk mengulang kembali Patimokkha, peraturan-peraturan disiplin sangha. Ini dilakukan 2 kali sebulan, pada hari bulan purnama dan bulan gelap.
  7. Timi adalah seekor ikan besar dari suatu species yang tak pasti. Woodward menterjemahkan ini sebagai “laviatan.” Timingala berarti “penelan – timi” dan timirapingala mampu menelan bahkan seekor timingala (Comy.) Tetapi, Mahasutasomajataka (Jat.v.462) mengatakan ketiganya hidup makan rumput laut (pasanasevala). Untuk mahkluk-mahkluk yang lain, lihat Pengantar.
  8. Yojana: ukuran jarak kira-kira 6 mil.
  9. Untuk suatu keterangan rinci secara tahap demi tahap mengenai latihan gradual, lihat M. Sutta 107. Secara ringkas latihan gradual dapat dijelaskan sebagai deretan moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan, masing-masing bersandar pada pendahulunya dan semuanya berkembang menuju pengetahuan akhir.
  10. Anupadisesaya nibbanadhatuya. “Residu” (upadhi) mengacu pada lima kumpulan yang masih dimiliki Arahat, komplek pikiran-tubuh yang berhenti hanya pada kematiannya. Pada saat dia menjadi seorang Arahat, kekotorannya hapus tetapi kumpulan-kumpulan itu tetap ada, karena itu aspek ini disebut “elemen Nibbana dengan residu yang masih tersisa.” Tetapi karena dia tidak lagi menyimpan kemelekatan yang menuju kelahiran yang akan datang, pada kematiannya bahkan kumpulan itu akhirnya berhenti. Karena residu dari kumpulan itu tidak lagi ada, ini disebut “elemen Nibbana dengan tidak ada residu yang tersisa.”
  11. Ini merupakan tiga puluh tujuh “unsur faktor penerangan” (bodhipakkhiyadhamma) dimana Sang Buddha meringkaskan praktek ajaran Nya.
  12. Menurut Comy., syair teka-teki ini berarti seorang bhikkhu harus tidak menyembunyikan (menutupi) suatu pelanggaran, karena kalau tidak maka kekotoran (hujan) akan tetap tinggal di dalam dirinya dan menumpuk. Dengan mengungkapkan pelanggaran itu kepada sesama bhikkhu, pelanggaran itu akan dibetulkan dan dia belajar untuk menghindari melakukan pelanggaran-pelanggaran lebih jauh di masa yang akan datang. 
  13. Dasavaggam bhikkhusangham. Menurut Vinaya, sangha yang terdiri dari sedikitnya sepuluh bhikkhu dapat melakukan upacara upasampada, pentahbisan yang lebih tinggi, yang mengangkat seorang samanera menuju status bhikkhu. Atas permintaan Mahakaccana jumlah ini dikurangi menjadi lima bhikkhu bagi mereka yang tinggal di negara-negara yang terpencil. Lihat Vin.i, 194 dst., dimana cerita mengenai Sona Kotikanna dicakupkan dan yang merupakan saat untuk modifikasi peraturan mengenai pentahbisan. Tetapi, “masuk” sebagai samanera dapat dilakukan seorang bhikkhu senior tunggal tanpa hadirnya bhikkhu yang lain. Jadi Sona akan menerima pentahbisan sebagai samanera sesudah gurunya memberikan ijinnya, dan hidup sebagai seorang samanera selama tiga tahun sebelum menerima pentahbisan yang lebih tinggi.
  14. Ini sekarang merupakan Bab ke 4 dari Sutta Nipata. Dari bacaan ini dapat disimpulkan bahwa dulu bab ini muncul sebagai karya yang terpisah. “Atthakavagga” berarti “Bab Berunsur Delapan” dan disebut demikian karena empat dari enam belas suttanya mempunyai atthaka dalam judul mereka, dengan alasan bahwa masing-masingnya terdiri dari 8 syair. Sutta itu juga dikenal sebagai bagian tertua dari karya canon Pali yang masih ada, yang membuat karya-karya itu mempunyai daya tarik yang besar.
  15. Vassa, secara harafiah berarti, “berdiam musim hujan.” Senioritas bhikkhu ditentukan oleh jumlah vassa yang sudah dijalani oleh seorang bhikkhu sejak pentahbisannya yang lebih tinggi. Seandainya Sona ditahbiskan pada permulaan musim hujan, percakapan ini mungkin muncul kira-kira enam bulan kemudian, dengan memperhitungkan dua bulan untuk perjalanan dari Avanti ke Savatthi.
  16. Dalam Vin. i.197, syair ini mempunyai akhir pilihan: “Yang murni bergembira di dalam pengajaran.”
  17. Ini merupakan penyucian keempat dari tujuh penyucian. Lihat M. Sutta 24 dan Vism. Bab XIX. Sebelum dia menjadi seorang arahat, dikatakan bahwa Revata sangat dikotori oleh keraguan, sehingga dia diberi sebutan “si Peragu”.
  18. Menarik untuk dicatat bahwa teks itu menghilangkan ayasma, “Yang Ariya,” di depan nama Devadatta, mungkin karena apa yang terjadi; tetapi, dia disebut “Yang Ariya Devadatta” dalam 1.5 di atas. 
  19. Bhindissati, yaitu akan menyebabkan perpecahan. Bandingkan Vin.ii.198, dimana episode ini dicakupkan sebagai bagian dari cerita pemecahan Devadatta.
  20. Bandingkan Dhp. 163. Dhp. 163-64 diucapkan sehubungan dengan Devadatta.
  21. Saddayamanarupa atikkamanti: “sedang membuat kegaduhan yang luar biasa”; tetapi Comy. membaca vadhayamanarupa (mencerca, menggoda), diterangkan sebagai mengejek, mencemooh, memandang rendah. Comy. juga menyebutkan bahwa saddayamanarapa merupakan bacaan alternatif.
  22. Syair ini muncul di Vin.i.349 and M. iii, 154 dimana syair itu diucapkan oleh Sang Buddha dalam penghukuman golongan-golongan yang saling bertengkar di Kosambi, ketika ada pertikaian yang serius dalam Sangha. Yang menarik adalah bahwa kotbah ini segera mengikuti kotbah yang mengacu ke perpecahan Devadatta, walaupun tidak ada hubungan yang jelas di antara keduanya.
  23. Dalam awal permulaannya sebagai seorang bhikkhu, dia tidak dapat belajar dengan menghafal bahkan satu baitpun. Sang Buddha mengajarnya menggosok sepotong kain dengan menghafalkan, “Penghilangan kekotoran, penghilangan kekotoran” dan sementara melakukan ini dia mencapai Arahat. Dia mempunyai kelebihan dalam kekuatan supernormal yaitu memperbanyak tubuhnya. Lihat Vism. XII, 60-66 (387-89).
  24. Kemajuan berturut-turut; dengan cara ketenangan (samatha) harus dimengerti sebagai jhana yang berbentuk dan tak berbentuk, sedangkan cara pengetahuan yang dalam (vipassana) sebagai pengetahuan pandangan terang yang memuncak dalam kearahatan (Comy).
  25. Ungkapan ini juga ditemukan dalam Dhp.46. Raja Kematian (maccuraja) merupakan nama lain untuk Mara, seperti pada 2.7.