Kamis, 01 Maret 2012

SUB-BAB PERTAMA

I. SUB-BAB PERTAMA
(SURIYA)

1 (1) Kassapa (1)
Demikianlah yang saya dengan. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Ananthapindika. Kemudian, Ketika malam telah larut, dewa muda Kassa, dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, menghampiri Yang Terberkahi.141 Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Yang Terberkahi:
”Yang Terberkahi telah menunjukkan bhikkhu tetapi bukan petunjuk untuk bhikkhu.”142
“Kalau demikian, Kassapa, jernihkanlah hal ini olehmu sendiri.”143
255 “Dia seharusnya berlatih dalam nasihat yang diucapkan dengan baik,
Dan dalam latihan petapa,
Di tempat duduk kesendirian , sendiri,
Dan di dalam penenangan pikiran.”144 <105>
Demikianlah yang dikatakan oleh dewa muda Kassapa. Sang Guru menyetujui. Kemudian dewa muda Kassapa, dengan berpikir, “Sang Guru telah setuju denganku,” memberi hormat kepada Yang Terberkahi. Dan dengan tetap menjaga agar Beliau berada di sisi kanan, dia lenyap di sana seketika itu juga.
2 (2) Kassapa (2)
Di Savatthi. Dengan berdiri di satu sisi, dewa muda Kassapa menucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:
256 “Seorang bhikkhu seharusnya menjadi meditator,
Manusia yang terbebas di pikiran,
Jika dia menginginkan pencapaian – hati,
Condong ke situ sebagai keuntungannya.
Setelah mengetahui muncul dan lenyapnya dunia,
Biarlah pikirannya menjadi tinggi dan tidak-melekat.”145[47]
3 (3) Magha
Di Savatthi. Kemudian, ketika malam telah larut, dewa muda Magha, dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, menghampiri Yang Terberkahi. Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, berdiri di satu sisi, <106> dan berkata kepada Ynag Terberkahi dengan syair:146
257 “Setelah membunuh apa orang tidur dengan nyenyak?
Setelah membunuh apa orang tidak bersedih hati?
Apakah satu hal, O Gotama,
Yang pembunuhannya engkau setujui?”
258 “Setelah membunuh kemarahan, orang tidur dengan nyenyak;
Setelah membunuh kemarahan, orang tidak bersedih hati;
Pembunuhan kemarahan, O Vatrabhu,
Dengan akarnya yang beracun dan ujungnya yang bermadu:
Inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia,
Karena setelah membunuhnya, manusia tidak bersedih hati.”
4(4) Magadha
Di Savatthi. Dengan berdiri di satu sisi, dewa muda Magadha berkata kepada Yang Terberkahi dengan syair:
259 “Berapa banyak sumber cahaya ada di dunia
Yang membuat dunia menjadi terang? <107>
Kami datang untuk menanyakan hal ini kepada Yang Terberkahi:
Bagaimana kami harus memahaminya?”
260 “Ada empat sumber cahaya di dunia;
Yang kelima tidak ditemukan di sini.
Matahari bersinar pada siang hari
Rembulan bercahaya di malam hari,
261 Dan api menyala di sana-sini
Baik siang maupun malam.
Tetapi Sang Buddha adalah yang terbaik dari yang bersinar:
Beliau adalah cahaya yang tak-tertandingi.”
5 (5) Damali
Di Savatthi. Kemudian, ketika malam telah larut, dewa muda Damali, dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, menghampiri Yang Terberkahi. Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, berdiri di satu sisi, dan mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:
262 “hal ini seharusnya dijalankan oleh brahmana:
Berjuang tanpa lelah, <108>
Bahwa dengan meninggalkan nafsu-nafsu indera
Dia tidak merindukan kehidupan.” 147
263 “Bagi brahmana itu tidak ada tugas yang harus dilakukan,
[O Damali,” kata Yang Terberkahi],
“Karena brahmana itu telah melakukan apa yang
seharusnya dilakukan. Sementara dia belum
memperoleh pijakan di sungai, [48]
manusia akan berjuang dengan semua kaki-tangannya;
tetapi ketika satu pijakan telah diperoleh, dengan berdiri di tanah,
Dia tidak perlu lagi berjuang karena dia telah melampauinya.
264 “Ini adalah kiasan untuk brahmana, O Damali,
Untuk dia yang tanpa-noda, meditator yang berhati-hati.
Setelah mencapai akhir dari kelahiran dan kematian,
Dia tidak perlu lagi berjuang karena dia telah pergi ke seberang.” 148 <109>
6 (6) Kamada
Di Savatthi. Dengan berdiri di satu sisi, dewa muda Kamada berkata kepada Yang Terberkahi:
“Sulit dilakukan, Yang Terberkahi! Sangat sulit dilakukan, Yang Terberkahi!” 149
265 “Mereka melakukan bahkan apa yang sulit dilakukan,
[O Kamada,” kata Yang Terberkahi,]
“Mereka yang berlatih, yang memiliki moralitas, kokoh.
Bagi dia yang telah memasuki kehidupan tak-berumah
Kepuasan-hati menghasilkan kebahagiaan.”
“Itu sulit diperoleh, Yang Terberkahi, yaitu, kepuasan-hati.”
266 “Mereka memperoleh bahkan apa yang sulit diperoleh,
[O Kamada,” kata Yang Terberkahi,]
“Yang bersukacita dalam menenangkan pikiran,
Yang pikirannya, siang dan malam,
Bersukacita dalam pengembangan.”
“Itu sulit dikonsentrasikan,. Yang Terberkahi, yaitu, pikiran.”
267 “Mereka mengkonsentrasikan bahkan apa yang sulit dikonsentrasikan,
[O Kamada, “Kata Yang Terberkahi,]
“Yang bersukacita dalam menenangkan indera.
Setelah memotong jala Kematian,
Para mulia, O Kamada, melanjutkan perjalanan mereka.”
“Jalan itu tak dapat dilewati dan tak-mantap, Yang Terberkahi.”150 <110>
268 “Walaupun jalan itu tak dapat dilewati dan tak-mantap,
para mulia melewatinya, Kamada.
Mereka yang tak-luhur jatuh terjungkal,
Persis di sana, di jalan yang tak-mantap itu,
Tetapi jalan bagi mereka yang mulia itu mantap,
Karena para mulia itu mantap di antara yang tak-mantap.”
7 (7) Pancalacanda
Di Savatthi. Dengan berdiri di satu sisi, dewa muda Pancalacanda mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:
269 “Dia yang memiliki kebijaksanaan luas telah benar-benar menemukan
Lubang di tengah kungkungan,
Sang Buddha yang menemukan jhana,
Sang banteng pemimpin yang m,enarik diri, sang petapa.”151
270 “Bahkan di tengah kungkungan mereka menemukannya,
[O Pancalacanda,” kata Yang Terberkahi,]<111>
D hamma untuk pencapaian Nibbana –
Mereka yang telah memperoleh kewaspadaan,
Mereka terkonsentrasi dengan sempurna.”152 [49]
8(8) Tayana
Di Savatthi. Kemudian, ketika malam telah larut, dewa muda Tayana, yang dulunya adalah pendiri suatu sekte agama, dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, menghampiri Yang Terberkahi.153 Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang terberkahi, berdiri di satu sisi, dan mengucapkan syair-syair ini di hadapan Yang Terberkahi:
271 “Setelah mengerahkan diri sendiri, potonglah arus!
Halaulah nafsu-nafsu indera, O brahmana!
Tanpa, meninggalkan nafsu-nafsu indera,
Seorang petapa tidak mencapai kesatuan.154
272 “Jika orang mau melakukan apa yang seharusnya dilakukan,
Dia seharusbnya dengan tegas menyerahkan diri. <112>
Karena kehidupan kelana yang kendor
Hanya menebarkan lebih banyak debu.
273 “Lebih baik tidak dilakukan tindakan yang salah itu,
Tindakan yang nantinya membawa penyesalan.
Lebih baik dilakukan tindakan baik itu
Yang ketika telah dilakukan tidak disesalkan.
274 “Bagaikan rumput-kusa, bila salah-gemggam
Hanya akan melukai tangan seseorang,
Demikian juga kehidupan petapa, bila salah dijalani,
Akan menyeretnya ke neraka.
275 “Perbuatan apa pun yang dilakukan dengan kendor,
sumpah apa pun yang dirusak,
Kehidupan suci yang membiakkan kecurigaan,
Tidak menghasilkan buah yang besar.” 155
Demikianlah yang dikatakan oleh dewa muda Tayana. Setelah mengatakannya, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi. Dan dengan tetap menjaga agar Beliau berada di sisi kanan, dia lenyap disanan seketika itu juga.
Kemudian,. Ketika malam telah berlalu, Yang Terberkahi menyapa para bhikkhu demikian: “para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, dewa muda Tayana, yang dulunya adalah pendiri suatu sekte agama…<131>…menghampiriku …dan di hadapanku mengucapkan syair-syair ini:
276-80 “Setelah mengerahkan diri sendiri, potonglah arus!…[50]
Tidak menghasilkan buah yang besar.’
“Demikianlah yang dikatakan oleh dewa muda Tayana. Setelah mengatakannya, dia memberi hormat kepadaku. Dan dengan tetap menjaga agar aku berada di sisi kanan, dia lenyap di sana seketika itu juga. Pelajarilah syair-syair tayana, para bhikkhu kuasailah syair-syair Tayana, para bhikkhu. Ingatlah syair-syair Tayana, para bhikkhu. Syair-syair Tayana memang bermanfaat, para bhikkhu, dan berkenaan dengan dasar-dasar kehidupan suci.”
9 (9) Candima
Di Savatthi. Pada waktu itu, dewa muda Candima telah ditangkap oleh Rahu, raja para asura.156 Kemudian dengan mengingat Yang Terberkahi, dewa muda Candima pada saat itu mengucapkan syair ini:
281 “Biarlah hormatku tertuju padamu, Sang Buddha!
O pahlawan, di mana pun juga engkau terbebas.
Aku telah terjatuh menjadi tawanan,
Maka, kumohon jadilah perlindunganku.”
Kemudian, dengan mengacu pada dewa muda Candima, Yang Terberkahi menyapa Rahu, raja para asura, dengan syair:
282 “Candima telah pergi untuk perlindungan
pada Sang Tathagata, Sang Arahat.
Lepaskan Candima, O Rahu,
Para Buddha memiliki kasih saying pada dunia.”
Maka Rahu, raja para asura, melepaskan dewa muda Candima dan dengan segera menghampiri Vepacitti, raja para asura.157 Setelah mendekat, dengan tergoncang dan ketakutan, dia berdiri di satu sisi. <115> kemudian, Sementara dia berdiri di sana, Vepacitti, raja para asura, menyapannya dengan syair :
283 “mengapa, Rahu, engkau datang bergegas?
Mengapa engkau melepaskan Candima?
Setelah datang bagaikan tergoncang, <117>
Mengapa engkau berdiri di sana ketakutan?”
284 “Kepalaku akan terbelah menjadi tujuh bagian,
Sementara hidup aku tidak akan menemukan kemudahan,
Seandainya, ketika Sang Buddha mengucapkan syair-syair-Nya,
Aku tidak melepaskan Candima.” [51]
10 (10) Suriya
Di Savatthi pada waktu itu, dewa muda Suriya telah ditangkap oleh Rahu, raja para asura.158 Kemudian, dengan mengingat Yang Terberkahi, dewa muda Suriya pada saat itu mengucapkan syair ini:
285 “Biarlah hormatku tertuju padamu, Sang Buddha!
O Pahlawan, dimana pun juga engkau terbebas.
Aku telah terjatuh menjadi tawanan,
Maka, kumohon jadilah perlindunganku.” <116>
Kemudian, dengan mengacu pada dewa muda Suriya, Yang Terberkahi menyapa Rahu, raja para asura, dengan syair:
286 “Suriya telah pergi untuk perlindungan
Pada Sang Tathagata, Sang Arahat.
Lepaskan Candima, O Rahu,
Para Buddha memiliki kasih saying pada dunia.”
287 “Ketika bergerak melintasi angkasa, O Rahu,
Jangan menelan yang bersinar,
Pembuat cahaya di kegelapan.
Rahu, lepaskan putraku Suriya.”159
Maka Rahu, raja para asura, melepaskan dewa muda Suriya dan dengan segera menghampiri Vepacitti, raja para asura. Setalah mendekat, dengan tergoncang dan ketakutan, dia berdiri di satu sisi. Kemudian, sementara dia berdiri di sana Vepacitti, raja para asura, menyapanya dengan syair:
288 “ MENGAPA, Rahu,engkau datang bergegas?
Mengapa engkau melepaskan Suriya?
Setelah datang bagaikan tergoncang, <117>
Mengapa engkau berdiri disana ketakutan?”
289 “Kepalaku akan terbelah menjadi tujuh bagian,
Sementara hidup aku tidak akan menemukan kemudahan,
Seandainya, ketika Sang Buddha mengucapkan syair-syair-Nya,
Aku tidak melepaskan Suriya.”