Minggu, 25 Maret 2012

VAṆṆUPATHA-JĀTAKA

“Tanpa mengenal lelah, semakin dalam mereka menggali,” ‒ Kisah ini disampaikan oleh Bhagawan ketika Beliau menetap di Sawatthi.
Anda tentu mereka-reka, mengenai siapakah kisah ini? Kisah ini mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam daya upaya pelatihan dirinya.
Suatu waktu, saat Buddha menetap di Sawatthi, datanglah seorang keturunan keluarga Sawatthi ke Jetawana. Sewaktu mendengarkan khotbah Bhagawan, ia menyadari bahwa nafsu keinginan merupakan sumber penderitaan, jadi ia memutuskan untuk menjadi seorang samanera. Selama lima tahun lamanya ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang bhikkhu 15 , ia mempelajari dua rangkuman dan melatih diri dengan menggunakan metode Vipassana, ia mendapatkan petunjuk dari Guru mengenai objek meditasi yang sesuai untuknya. Ia pun masuk ke dalam hutan untuk melatih diri, melewati musim hujan di hutan itu. Namun setelah berupaya dalam latihan selama tiga bulan, ia tidak memperoleh kemajuan apapun. Keraguan menyerangnya, “Guru berkata ada empat jenis manusia di dunia ini, saya pasti jenis terendah dari semuanya. Tidak akan ada hasil yang dapat saya capai, baik tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna dalam kelahiran kali ini. Apa gunanya saya tinggal di hutan? Saya akan kembali ke sisi Guru untuk menyaksikan keagungan Beliau dan mendengarkan Dhamma-Nya yang indah.” Maka ia pun kembali ke Jetawana.
Semua teman dan kerabatnya berkata, “Awuso (Āvuso), bukankah engkau telah mendapatkan objek pelatihan yang diberikan oleh Guru dan telah pergi untuk berlatih dalam penyepian diri sebagai orang bijak? Sekarang engkau kembali untuk bergabung bersama para bhikkhu lainnya. Apakah engkau telah berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat dan tidak akan mengalami kelahiran kembali lagi?” “Awuso, saya tidak berhasil mencapai apa pun, baik tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna, saya merasa telah gagal, jadi saya memutuskan untuk menyerah dan kembali lagi ke tempat ini.” “Awuso, engkau telah melakukan kesalahan, berputus asa di saat engkau telah bertekad untuk melaksanakan ajaran dari seorang Sang Guru. [107] Mari, kami akan membawamu menemui Sang Guru untuk meminta petunjuk-Nya.” Lantas mereka membawanya menemui Sang Guru.
Saat Sang Guru mengetahui kedatangan mereka, Beliau berkata, “Wahai Bhikkhu, kalian membawa seorang bhikkhu yang datang bukan atas kehendaknya. Apa yang telah ia lakukan?”
“Bhante, setelah bertekad melaksanakan ajaran kebenaran sejati, bhikkhu ini menyerah dalam daya upaya melatih diri hidup menyepi sebagai orang bijak, dan telah kembali ke sini.”
Sang Guru bertanya kepadanya, “Apakah benar, sebagaimana yang mereka katakan, engkau menyerah berdaya upaya dalam pelatihanmu?” “Hal itu benar adanya, Bhante.” “Bagaimana hal itu dapat terjadi? Setelah engkau bertekad melaksanakan ajaran ini, mengapa engkau tidak menunjukkan pada dirimu sendiri bahwa engkau adalah orang dengan sedikit keinginan, penuh rasa puas, hidup dalam penyepian dan penuh tekad, melainkan menjadi orang yang kurang berdaya upaya? Bukankah engkau begitu berani di kehidupan lampau? Bukankah berkat kegigihanmu, engkau seorang diri, saat berada di padang pasir bersama para pengikut dan sapi-sapi dari lima ratus buah gerobak, berhasil mendapatkan air dan menerima sorakan kegembiraan? Bagaimana mungkin engkau menyerah sekarang?” Ucapan Guru menyentuh hati bhikkhu itu.
Mendengar perkataan itu, para bhikkhu bertanya pada Bhagawan, “Bhante, kami tahu jelas keputusasaan bhikkhu pada saat ini; namun kami tidak mengetahui bagaimana berkat kegigihan satu orang, para pengikut dan sapi-sapi mendapatkan air di padang pasir dan akhirnya ia menerima sorakan kegembiraan. Hal ini hanya diketahui oleh Sang Guru, Yang Mahatahu; berkenanlah untuk menceritakan kejadian itu kepada kami.”
“Wahai Bhikkhu, dengarkanlah” tutur Bhagawan, setelah mereka bersemangat dalam perhatian penuh, Beliau menyampaikan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
_____________________
Suatu ketika di masa lampau, Brahmadatta terlahir sebagai seorang raja di Benares, Negeri Kāsi, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga saudagar. Setelah dewasa, ia selalu melakukan perjalanan untuk berdagang dengan lima ratus buah gerobaknya. Pada suatu kesempatan, ia tiba di sebuah padang pasir yang terbentang sepanjang enam puluh yojana, pasir yang demikian halus, sehingga saat digenggam, mereka dapat melewati sela-sela jari yang paling rapat sekalipun. Sesaat setelah matahari terbit, bentangan pasir itu menjadi sepanas bara arang yang terbakar, tidak ada seorang pun yang mampu berjalan melintasinya. Dengan demikian, gerobak-gerobak yang membawa kayu bakar, air, minyak, beras dan sebagainya melintasi dan hanya dapat menempuh perjalanan di kala malam hari. Saat fajar tiba, mereka menyusun gerobak-gerobak dengan membentuk formasi di sekeliling sebagai benteng, memasang tenda di atasnya. Setelah menikmati santapan pagi, mereka senantiasa duduk di bawah tenda sepanjang hari. Saat matahari terbenam, mereka menikmati santapan malam dan segera setelah permukaan pasirnya lebih dingin, mereka segera mempersiapkan gerobak dan bergerak melintasi padang pasir itu. Menempuh perjalanan di padang pasir seperti itu sama halnya dengan berlayar mengarungi laut; seorang ‘pemandugurun’, begitu ia disebut, harus mengiringi mereka dengan cara melihat posisi bintang [108]. Dengan cara demikian juga saudagar kita melintasi padang pasir tersebut.
Saat berada sekitar tujuh mil atau lebih dari padang pasir tersebut, ia berpikir, “Malam ini kami akan keluar dari padangpasir ini.” Jadi setelah selesai menikmati santapan malam, ia memerintahkan para pengikutnya untuk membuang persediaan air dan kayu mereka, mempersiapkan gerobak dan segera memulai perjalanan. Di barisan gerobak terdepan, duduk seorang pemandu, melihat posisi bintang di langit dan memberikan petunjuk arah sesuai dengan pengamatannya. Namun, karena telah lama tidak tidur, pemandu itu kelelahan dan jatuh tertidur, akibatnya ia tidak mengetahui bahwa sapi telah berjalan memutar arah dan menapaki arah dari mana mereka datang. Sepanjang malam sapi-sapi itu berjalan. Saat fajar, pemandu itu terbangun dan mengamati posisi bintang di atas, kemudian berteriak, “Putar arah gerobaknya! Putar arah gerobaknya!” Saat gerobak-gerobak diputar dan kembali berbaris, hari sudah pagi. “Ini adalah tempat dimana kita berkemah semalam,” teriak orang-orang dalam rombongan itu. “Tidak ada air dan kayu lagi. Kita telah tersesat.” Selesai berkata, mereka melepaskan sapi dari gerobak, menyusun gerobak dengan membentuk formasi membentengi sekeliling dan memasang tenda di atasnya; kemudian dengan keputusasaan, mereka menghempaskan diri di bawah gerobak masing-masing. Bodhisatta berpikir, “Jika saya menyerah saat ini, maka semua orang akan kehilangan nyawa.” Ia berjalan ke sana kemari saat hari masih pagi dan permukaan pasir masih dingin, akhirnya ia menemukan serumpun rumput kusa. “Rumput ini,” pikirnya, “hanya bisa tumbuh jika ada air di bawah permukaannya.” Ia memerintahkan mereka mengambil sekop dan menggali sebuah lubang di tempat itu. Setelah menggali hingga mencapai kedalaman enam puluh hasta, sekop berantuk dengan bebatuan; mereka kembali kehilangan harapan. Namun Bodhisatta yang merasa yakin akan adanya aliran air di bawah bebatuan, turun masuk ke dalam lubang dan berdiri di atas bebatuan itu. Ia menunduk ke bawah, menempelkan telinganya ke bebatuan dan mendengarkan dengan teliti. Saat telinganya mendengar bunyi aliran air di bawah batu, ia keluar dan berkata kepada pelayannya yang masih muda, “Anakku, jika engkau menyerah saat ini, kita semua akan kehilangan nyawa. Tunjukkan keyakinan dan keberanianmu. Turunlah ke dalam lubang dengan membawa palu besi besar ini dan hancurkan bebatuan itu.”
Karena patuh pada perintah tuannya, [109] anak laki-laki itu berbulat tekad turun ke dasar sumur dan mulai menghancurkan bebatuan itu, sementara yang lain telah patah semangat. Batu yang membendungi aliran air itu hancur dan jatuh ke dalam lubang. Air menyembur dari lubang itu hingga setinggi pohon lontar. Setiap orang minum dan mandi. Setelah membelah poros roda cadangan gerobak, kayu tengkuk sapi dan perlengkapan lain yang berlebih, mereka menanak nasi dan menghabiskan makanan kemudian memberi makan sapi-sapi. Begitu matahari terbenam, mereka menancapkan bendera di salah satu sisi sumur dan melanjutkan perjalanan mereka. Sesampai di tempat tujuan, mereka menukar barang-barang muatan mereka dua hingga empat kali lipat dari harga semula. Dengan membawa hasil penukaran itu, mereka pulang ke rumah, tempat dimana mereka menghabiskan sisa hidup mereka dan setelah meninggal, mereka terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian juga halnya dengan Bodhisatta, setelah menghabiskan hidupnya dengan kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya, ia terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha, Yang
Mahatahu mengucapkan syair berikut ini: —
Tanpa mengenal lelah, semakin dalam
mereka menggali di tempat berpasir;
sekop demi sekop, sampai akhirnya air ditemukan.
Semoga orang bijak, tekun dalam daya upaya;
tidak kehilangan semangat maupun merasa letih,
hingga kedamaian ditemukan.
[110] Di akhir uraian ini, Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang putus asa itu mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.
Setelah menceritakan kedua kisah itu, Bhagawan menjelaskan pertautan keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan mengucapkan : — “Bhikkhu yang putus asa ini adalah pelayan muda di masa itu, yang dengan segala daya upaya menghancurkan batu dan mempersembahkan air kepada mereka; para pengikut Buddha adalah anggota rombongan lainnya; Saya sendiri adalah pemimpin mereka.”
Catatan :
15 Masa pelatihan pabbajjā dan upasampadā merupakan dua tingkatan pelatihan diri sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setara dengan gelar sarjana muda dan sarjana penuh di Universitas, sama halnya dengan tingkat pendeta dan pastor. Namun kurang sesuai jika kita memakai susunan kata umat Kristen untuk membicarakan falsafah agama Buddha, sehingga istilah-istilah tersebut dihindari pemakaiannya dalam penerjemahan sedapat mungkin. Sebagaimana terlihat dalam Vinaya ( Mahāvagga I hal.49-51 ), usia lima belas tahun adalah usia yang biasa untuk mengikuti pelatihan pabbajjā dan usia dua puluh untuk upasampadā, dengan jarak usia lima tahun seperti yang tercantum dalam teks tersebut.