Sabtu, 16 Juni 2012

KALĀYA-MUṬṬHI-JĀTAKA

[74] “Seekor kera bodoh,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, mengenai seorang Raja Kosala.
Di suatu musim hujan, pemberontakan terjadi di daerah perbatasannya. Para pasukan berpangkalan di sana, setelah dua atau tiga pertempuran gagal untuk menaklukkan musuhnya, mereka mengirimkan pesan kepada sang raja.
Meskipun musim hujan, raja turun dalam pertempuran, dan berkemah di dekat Jetavana. Kemudian dia mulai berpikir, “Ini adalah musim yang buruk untuk (melakukan) perjalanan; setiap celah dan lubang terpenuhi dengan air, dan medannya menjadi berat. Saya akan pergi mengunjungi Sang Guru. Beliau pasti akan menanyakan ‘hendak ke mana’, kemudian saya akan memberitahukannya kepada Beliau. Sang Guru bukan hanya melindungi (diriku) dari sesuatu (yang buruk) di masa yang akan datang, tetapi Beliau juga melindungi dari sesuatu yang dapat kita lihat sekarang. Jika kepergian saya tidak membuahkan hasil, maka Beliau akan mengatakan ‘ini adalah waktu yang tidak baik untuk melakukan perjalanan, Paduka’, tetapi jika bakal berhasil, Beliau tidak akan mengatakan apa-apa. Maka dia pergi berkunjung ke Jetavana dan, setelah mengucapkan salam kepada Sang Guru, dia duduk di satu sisi.
“Mengapa Anda datang, wahai Paduka,” tanya Sang Guru, “pada waktu yang tidak tepat?” “Bhante”, jawabnya, “saya sedang dalam perjalanan untuk memadamkan pemberontakan di perbatasan; dan saya datang terlebih dahulu ke sini untuk berpamitan dengan-Mu.” Terhadap ini, Sang Guru berkata “Kejadian Ini sudah pernah terjadi sebelumnya, raja-raja yang sangat berkuasa, sebelum pergi bertempur, terlebih dahulu mendengarkan kata-kata orang bijak dan berbalik dari perjalanan mereka yang tidak sesuai pada musimnya.” Kemudian, atas permintaan sang raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, dia mempunyai seorang menteri yang menjadi tangan kanannya dan memberinya nasehat dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Kala itu, terjadi pemberontakan di perbatasan, dan para pasukan yang berpangkalan di sana mengirimkan pesan kepada raja. Raja pun berangkat meskipun kala itu adalah musim hujan, dan mendirikan sebuah kemah di tamannya. Bodhisatta berdiri di depan raja.
Pada waktu itu, orang-orang telah merebus kacang-kacangan untuk kuda-kuda dan menuangkannya ke dalam palungan. Salah seekor kera yang tinggal di dalam taman melompat dari pohon ke bawah, mengisi mulut dan tangannya dengan kacang-kacang tersebut, kemudian naik kembali ke atas, dan duduk di pohon, sembari mulai makan. Selagi dia makan, salah satu kacangnya jatuh dari tangannya ke tanah. Kemudian semua kacangnya dibuang dari tangan dan mulutnya, [75] dan karenanya dia turun ke bawah, untuk mencari satu kacang yang jatuh itu. Tetapi kacang itu tidak bisa ditemukannya. Dia memanjat ke atas pohon kembali dan duduk diam, sangat sedih, kelihatan seperti seseorang yang telah kehilangan uang seribu keping di dalam suatu tuntutan perkara.
Raja mengamati bagaimana kera itu bertingkah laku, dan menunjukkan hal itu kepada Bodhisatta. “Teman, bagaimana pendapatmu tentang itu?” tanyanya. Bodhisatta memberikan jawaban, “Paduka, ini adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang bodoh yang kurang cerdas; mereka menghabiskan banyak hal untuk mendapatkan sesuatu yang sedikit,” dan dia melanjutkan dengan mengulangi bait pertama:
Seekor kera bodoh, tinggal di pohon,
wahai Paduka, di saat kedua tangannya penuh dengan kacang,
malah membuang semuanya untuk mencari satu:
Tidak ada kebijaksanaan di dalam hal seperti ini.
Kemudian Bodhisatta menghampiri sang raja, dan menjelaskan kepadanya, mengulangi bait kedua:
Demikianlah diri kita, wahai Paduka,
demikian juga orang-orang yang tamak;
Kehilangan banyak untuk mendapatkan sedikit,
seperti kera dan kacang (tersebut).
[76] Setelah mendengar penjelasan ini, raja berbalik dan langsung kembali ke Benares. Dan kemudian para pemberontak yang mendengar bahwasanya raja telah berangkat dari ibukota untuk menghancurkan musuh-musuhnya pun tergesa-gesa pergi meninggalkan perbatasan.

Pada masa kisah ini diceritakan, para pemberontak (pada cerita pembuka di atas) melarikan diri dengan cara yang sama. Setelah mendengarkan ucapan Sang Guru, raja bangkit dan berpamitan, kemudian kembali ke Sāvatthi.
Sang Guru, pada akhir uraian ini, mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan menteri yang bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”

Kamis, 14 Juni 2012

PARAYANA THUTI GATHA

Inilah yang dikatakan Sang Buddha ketika enam belas brahmana itu datang ke Vihara Batu Karang di Magadha untuk memohon Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Jika kamu mengetahui apa arti sejati dari setiap pertanyaan itu, melihat apa yang tersirat dalam setiap pertanyaan dan hidup sesuai dengan Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya, maka kamu akan terbebas. Kamu akan menyeberangi samudera kematian dan usia tua, dan mencapai pantai seberang.
Hal-hal ini akan membawa menuju pantai seberang. Itulah sebabnya ajaran ini disebut PARAYANA — ‘Jalan Menuju ke Seberang’.
1. Ada enam belas brahmana yang datang menjumpai Sang Buddha pada waktu itu. Mereka adalah Ajita, Tissa-Metteyya, Punnaka, Mettagu, Dhotaka, Upasiva, Nanda dan Hemaka; (1124)
2. Todeyya, Kappa dan Jatukanni yang terpelajar; Badhravudha, Udaya, Posala, Mogharaja yang berpengetahuan, dan Pingiya yang agung dan bijaksana. (1125)
3. Ada orang-orang yang datang menjumpai Sang Buddha, manusia yang sempurna tindakannya. Mereka datang kepada Sang Buddha untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka yang rumit kepada suri teladan pemahaman ini. (1126)
4. Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan kebenaran sejati, persis seperti apa adanya; para brahmana itu gembira mendengar kata-kata manusia bijaksana ini. (1127)
5. Maka, dipenuhi dengan sukacita karena pandangan jernih Putra Matahari ini,1 mereka memantapkan diri di dalam kehidupan kemurnian dan kebaikan yang dilewatkan dalam naungan kebijaksanaan Sang Buddha yang berharga. (1128)
6. Siapa pun yang hidup sesuai dengan yang diajarkan Sang Buddha lewat jawaban jawaban ini akan pergi menuju samudera seberang. Dari sini menuju ke luar, (1129)
7. dari pantai ini ke pantai seberang, inilah menyeberang samudera, inilah berjalan pada jalan yang paling tinggi. Inilah jalan yang membawa menuju pantai seberang itu; itulah sebabnya ini disebut Parayana ‘Jalan Menuju seberang’. (1130)

Pujian-pujian Pingiya tentang Jalan Menuju ke Seberang
8. ‘Saya akan menyanyikan pujian-pujian Jalan Menuju Seberang kepadamu,’ kata Pingiya (ketika dia kembali ke tempat tinggal Brahmana Bavari di tepian sungai Godhavari), ‘Jalan itu dijelaskan kepada kami oleh manusia itu sebagaimana yang Beliau lihat. Bagaimanapun juga, tidak ada alasan apa pun yang membuat manusia semacam Beliau berbohong — Beliau adalah tanpa nafsu, sumber pengetahuan dan sepenuhnya murni. (1131)
9. Jika suara tidak memiliki kefasihan kesombongan dan tak satu pun noda ketidaktahuan yang terpahat, maka kata-kata itu penuh dengan kemanisan dan keindahan. Kata-kata semacam itulah yang saya puji sekarang. (1132)
10. Mereka menyebut Beliau Buddha, yang tercerahkan, yang sadar, yang menguak kegelapan, dengan penglihatan total, yang mengetahui dunia sampai ke akhirnya, yang telah pergi melampaui semua keadaan makhluk dan dumadi. Beliau tidak memiliki semburan racun dari dalam: Beliau adalah pemusnahan penderitaan secara total. Manusia ini, wahai brahmana Bavari, adalah manusia yang saya ikuti. (1133)
11. Ini ibarat seekor burung yang meninggalkan semak-semak tanah belukar dan terbang menuju pohon-pohon buah di hutan. Saya juga telah meninggalkan sinar berbagai opini yang suram. Bagaikan seekor angsa, saya telah mencapai danau yang luas. (1134)
12. Sampai sekarang ini, sebelum saya mendengar ajaran-ajaran Gotama, orang-orang selalu mengatakan kepadaku demikian: ‘Ini memang selalu demikian, dan akan selalu demikian’; ini hanyalah kekangan tradisi yang terus menerus, suatu ladang berkembangnya spekulasi. (1135)
13. Putra mahkota ini, berkas sinar ini, Gotama, merupakan satu-satunya orang yang menguak kegelapan. Manusia Gotama ini adalah alam semesta kebijaksanaan, dan suatu dunia pemahaman, (1136)
14. Seorang guru yang ajarannya adalah Sebagaimana Adanya, dapat dilihat saat ini juga, langsung dan terlihat di mana-mana, mengikis nafsu tanpa akibat sampingan, tiada apa pun seperti itu di dunia ini. (1137)
15. ‘Kalau demikian, Pingiya,’ kata Bavari, ‘mengapa kau tidak menghabiskan seluruh waktumu, setiap saatmu, dengan Gotama ini, alam semesta kebijaksanaan ini, dunia pemahaman ini, (1138)
16. Guru yang ajarannya adalah Sebagaimana Adanya, dapat dilihat saat ini juga, langsung dan terlihat di mana-mana, mengikis nafsu tanpa akibat sampingan, tak ada apa pun yang seperti itu di dunia ini?’ (1139)
17. ‘Brahmana, Tuan,’ kata Pingiya, ‘tidak ada saat bagiku, betapa pun sekejapnya, yang dilewatkan tanpa Gotama, tanpa alam semesta kebijaksanaan ini, tanpa dunia pengetahuan ini, (1140)
18. Guru yang ajarannya adalah Sebagaimana Adanya, dapat dilihat saat ini juga, langsung dan terlihat di mana-mana, mengikis nafsu tanpa akibat sampingan, tiada apa pun seperti itu di dunia ini.’ (1141)
19. ‘Kau lihat, Tuan,’ kata Pingiya, ‘dengan semangat yang cermat dan tak kunjung padam, saya dapat melihat Beliau dengan pikiranku, sejernih dengan mataku, di malam hari dan juga di siang hari. Dan karena saya melewatkan malam-malamku menghormat beliau, menurut saya tidak ada satu saat pun yang terlewatkan tanpa Beliau. (1142)
20. Saya sekarang tidak dapat meninggalkan ajaran Gotama. Kekuatan keyakinan dan suka cita, dalam intelek dan kesadaran, menahanku di sana. Kemana pun Alam semesta kebijaksanaan ini pergi, Beliau menarikku bersama-Nya. (1143)
21. Secara fisik, saya tidak bisa bergerak seperti itu — tubuhku melapuk, saya sudah tua dan lemah — tetapi kekuatan pikiran yang terpusat mendorong pada tujuan ini dan menggerakkan saya untuk bersama Beliau tanpa putus. (1144)
22. Ada saat di mana saya menggelepar di lumpur rawa, hanya bisa terapung dari satu batu ke batu berikutnya. Tetapi kemudian saya melihat Sambuddha, sepenuhnya sadar dan bebas dari kekotoran.’ (1145)

Kemudian Sang Buddha berkata:
23. ‘Pingiya,’ Beliau berkata, ‘orang-orang lain telah membebaskan diri mereka sendiri lewat kekuatan keyakinan. Vakkali, Badhravudha dan Alavi-Gotama semuanya telah melakukan ini. Kamu juga harus membiarkan kekuatan itu membebaskanmu; kamu pun akan pergi menuju pantai yang lebih jauh, di luar tarikan kematian.’ (1146)
24. ‘Kata-kata ini,’ kata Pingiya, ‘adalah kata-kata manusia bijaksana. Selagi saya mendengarnya, saya menjadi lebih yakin. Manusia ini adalah Sambuddha. Beliau telah menyibak tirai dan membangunkan. Tidak ada yang gersang di sana; pikirannya jernih dan bersinar. (1147)
25. Segala yang dapat dikenali oleh pengetahuan dikenal oleh-Nya, termasuk halusnya alam dewa tertinggi. Tidak ada lagi pertanyaan di benak orang ragu-ragu yang datang kepadanya: Guru itu telah menjawab semua pertanyaan. (1148)
26. Ya saya akan pergi ke sana. Saya akan pergi melampaui perubahan, saya akan pergi melampaui perpaduan, saya akan pergi melampaui perbandingan. Tidak ada lagi keraguan. Engkau dapat menganggap ini sebagai pikiran yang terbebas.’ (1149)
Catatan
  1. Adicca. Gelar yang merupakan sinonim untuk kata yang lebih sering digunakan, yaitu suriya. Sang Buddha kadang-kadang dijuluki Putra Matahari (adiccabandhu).

PERTANYAAN AJITA

1. ‘Apakah,’ tanya Ajita, ‘yang menutupi dunia? Apa yang membuat dunia ini amat sulit dilihat? Apa yang mempolusi dunia, dan apa yang paling mengancamnya?’ (1032)
2. ‘Ketidaktahuanlah yang menutupi dunia,’ kata Sang Buddha, ‘dan kecerobohan serta keserakahanlah yang membuat dunia tidak dapat dilihat. Kelaparan akan nafsulah yang mempolusi dunia, dan sumber ketakutan yang besar adalah pedihnya penderitaan.’ (1033)
3. ‘Di setiap arah,’ kata Ajita, ‘sungai-sungai nafsu mengalir. Bagaimana kita dapat membendungnya dan apa yang dapat menahannya? Apa yang dapat kita gunakan untuk menutup pintu-pintu banjir?’ (1034)
4. ‘Sungai apa pun dapat dihentikan dengan waduk perhatian-kewaspadaan,’ kata Sang Buddha, Kusebut itu penghenti banjir. Dan dengan kebijaksanaan engkau dapat menutup pintu-pintu banjir.’ (1035)
5. ‘Yang Mulia,’ kata Ajita, ‘di mana ada kebijaksanaan dan perhatian-kewaspadaan, di sana juga ada cangkokan materi dan batin [generasi individualitas]. Apa yang membuat semua itu berhenti?’ (1036)
6. ‘Inilah jawaban pertanyaanmu, Ajita,’ kata Sang Buddha. ‘Individualitas dapat dihentikan total lewat berhentinya kesadaran.’ (1037)
7. ‘Yang Mulia,’ kata Ajita, ‘ada orang-orang di sini yang telah menguasai semua ajaran, dan ada juga murid dan pemagang, serta orang-orang biasa. Beritahukanlah bagaimanakah orang-orang ini harus hidup dan bekerja.’ (1038)
8. ‘Hendaknya mereka seperti kelana, seperti bhikkhu,’ kata Sang Buddha. Dengan waspada dan penuh perhatian serta terampil dalam segala cara, mereka harus membebaskan diri dari kelaparan akan kenikmatan dan membuat pikiran mereka [tenang dan] tidak terganggu. (1039)

PERTANYAAN TISSA-METTEYYA

Kemudian siswa brahmana Tissa-Metteyya bertanya kepada Sang Buddha:
1. ‘Siapakah yang berbahagia di dunia ini?’ dia bertanya.’Adakah orang yang tidak dipenuhi gejolak? Adakah orang yang dapat memahami alternatif-alternatif tanpa terjepit di dalam pemikirannya sendiri, di antara pilihan-pilihan itu? Menurut Yang Mulia, siapakah yang pantas mendapat gelar ‘makhluk super’?
Siapakah yang tidak terperangkap di dalam dunia keserakahan yang tak keruan ini?’
(1040)
2. ‘Ada orang yang tidak dipenuhi gejolak,’ jawab Sang Buddha.Ia adalah bhikkhu yang bertindak murni dan baik di dalam dunia sensual. Dia tidak memiliki kehausan akan nafsu keinginan, dia tidak pernah kehilangan perhatian-kewaspadaan, dan dengan keputusannya sendiri, dia telah menjadi padam, tenang. (1041)
3. Dia memahami alternatif-alternatif tanpa terjepit dalam pemikiran di antara pilihan-pilihan itu. Inilah yang kusebut makhluk super: manusia yang ada di luar dunia keserakahan yang tak keruan ini. (1042)

PERTANYAAN PUNNAKA

Siswa brahmana Punnaka adalah penanya berikutnya:
1. ‘Saya datang,’ katanya, ‘untuk mengajukan pertanyaan mengenai orang yang tanpa nafsu, orang yang, memiliki penglihatan yang berakar dalam. Yang Mulia, saya mohon penjelasan, mengapa para bijaksana di dunia, para brahmana, para penguasa dan lain-lain, selalu memberikan persembahan kepada para dewa?’ (1043)
2. ‘Orang-orang itu,’ kata Sang Buddha, ‘selalu memberikan persembahan kepada para dewa, karena sementara bertambah tua mereka ingin mempertahankan kehidupan mereka seperti dahulu.’ (1044)
3. ‘Tetapi, Yang Mulia,’ kata Punnaka, ‘dengan melakukan semua persembahan yang khidmat ini, apakah mereka akan pernah melampaui usia tua dan kelahiran?’ (1045)
4. ‘Doa-doa mereka,’ kata Sang Buddha, ‘puji-pujian, persembahan dan aspirasi mereka semuanya dibuat atas dasar ingin memiliki, ingin ganjaran: Mereka merindukan kenikmatan sensual. Orang-orang, para ahli dalam persembahan ini, bersuka ria di dalam nafsu untuk dumadi (menjadi). Orang-orang ini tidak dapat melampaui usia tua dan kelahiran.’ (1046)
5. ‘Engkau harus menjelaskan hal ini, Yang Mulia,’ kata Punnaka. Jika semua persembahan yang diberikan para ahli itu tidak dapat membawa mereka menyeberangi usia tua dan kelahiran, siapakah di antara manusia, di antara para dewa yang telah pernah berhasil melampauinya?’ (1047)
6. ‘Ketika seseorang telah memeriksa dunia dari atas sampai bawah,’ jawab Sang Buddha, jika tidak ada apa pun di dunia ini yang menimbulkan percikan gejolak, maka dia telah menjadi manusia yang bebas dari asap, getaran dan kelaparan nafsu. Dia telah menjadi tenang. Dia telah melampaui usia tua; dia telah melampaui kelahiran.’ (1048)

PERTANYAAN METTAGU

Kemudian siswa brahmana Mettagu mengajukan pertanyaannya:
1. ‘Yang Mulia,’ dia berkata, ‘jelas sekali Yang Mulia memiliki pikiran yang berkembang penuh dan adalah Guru pengetahuan. Dari manakah asalnya segala macam penderitaan yang berbeda-beda itu?’ (1049)
2. ‘Ini adalah pertanyaan,’ kata Sang Buddha, ‘tentang kelahiran dan tumbuhnya penderitaan. Akan kujawab dengan cara yang telah kutemukan sendiri. Inilah jawabannya: berbagai macam penderitaan yang berbeda itu berkembang dari kemelekatan dasar. (1050)
3. Jika orang tidak menyadari ini, dia membuat kemelekatan dasar, dan pikiran yang lemah ini akan mengalami penderitaan. Jika orang menyadari hal ini, dia tidak akan membuat kemelekatan dasar, karena dia melihat di mana penderitaan bermula dan tumbuh.’ (1051)
4. ‘Itu jelas menjawab apa yang saya tanyakan, Yang Mulia,’ kata Mettagu. Karena Tuan memiliki pengetahuan, saya mohon jawaban untuk pertanyaan ini juga. Bagaimana orang bijaksana menyeberangi samudra? Bagaimana mereka dapat melampaui proses ketuaan? Bagaimana mereka dapat melampaui kelahiran? Atau kesedihan? Atau penderitaan?’ (1052)
5. Sang Buddha menjawab: ‘Akan kujelaskan kepadamu tentang Kebenaran, tidak berdasar pada apa yang dikatakan orang. Pertama-tama, sadarilah bahwa ini adalah Sang Jalan yang dapat diketahui di sini dan kini. Sebagai hasilnya, orang yang hidup dengan waspada dan penuh perhatian akan melepaskan genggamannya pada dunia.’ (1053)
6. ‘Tuan Guru,’ kata Mettagu, bagiku hanya ada suka cita dan kegembiraan mendengar Engkau membicarakan Jalan agung. Jika orang yang hidup dengan waspada dan penuh perhatian mengetahui Jalan ini, ia akan melepaskan genggamannya pada dunia!’ (1054)
7. Sang Buddha melanjutkan: ‘Di setiap arah, ada hal-hal yang engkau ketahui dan kenali, di atas, di bawah, di sekeliling dan di dalam. Biarkanlah saja semua itu: jangan mengharapkan mereka berhenti atau mereda, jangan biarkan kesadaran berdiam pada hasil eksistensi, pada hal-hal yang datang dan pergi. (1055)
8. Beginilah cara hidup bhikkhu yang berkelana. Dia pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan penuh perhatian dan mantap. Dia menjalani kehidupan tanpa obyek-obyek yang disenangi dan sampai pada pemahaman tentang dunia. Jadi dia meninggalkan ketuaan dan kelahiran di belakangnya; dia meninggalkan kesedihan dan penderitaan di belakangnya; dan dia melepaskan penderitaan itu sendiri di sini.’ (1056)
9. ‘Bagiku, kata-kata kebijaksanaan yang agung ini penuh dengan suka cita,’ kata Mettagu. ‘Penjelasan Gotama mengenai tidak-melekat benar-benar sempurna. Guru ini jelas-jelas telah melepaskan penderitaan: Beliau telah menemukan dan memahami Sang Jalan, bagaimana segala sesuatu bekerja. (1057)
10. Wahai Guru Kebijaksanaan, orang-orang yang dengan teratur belajar dari-Mu pasti akan menghapus penderitaan. Sedangkan bagiku, saya datang kemari untuk menghormat Engkau, untuk membungkuk dalam-dalam di hadapan-Mu, Sang Pahlawan. Saya memohon, o, Yang Mulia, agar Guru sering mengajar saya.’ (1058)
11. Sang Buddha menjawab: Jika kamu sadar bahwa seseorang itu adalah brahmana, penguasa pengetahuan, orang yang tidak memiliki apa pun, makhluk yang tidak memiliki ikatan dengan kehidupan atau kesenangan, maka Mettagu, telah kautemukan orang yang telah menyeberang samudera, kelana yang telah melampaui gurun dan keraguan, pelaut yang telah mencapai pantai seberang. (1059)
12. Inilah Yang Mengetahui, penguasa pengetahuan, pahlawan yang telah menghilangkan tarikan kelahiran yang terus menerus, orang yang telah menghilangkan kemelekatan, gemetaran dan kelaparan nafsu. Kukatakan, inilah manusia yang telah pergi melampaui usia tua; dia telah pergi melampaui kelahiran. (1060)

PERTANYAAN DHOTAKA

Siswa brahmana Dhotaka adalah penanya berikutnya:
1. ‘Yang Mulia,’ dia berkata, ‘saya amat ingin mendengar Engkau berbicara. O, Guru, jelaskanlah: dapatkan seorang siswa yang mempelajari ajaran-ajaranmu menemukan ketenangan penghentian [Nibbana] untuk dirinya sendiri?’ (1061)
2. ‘Siapa pun yang mempelajari ajaranku,’ kata Sang Buddha, ‘yang bersemangat, pandai dan sadar, di situ dan kini, dapat menemukan ketenangan Nibbana bagi dirinya sendiri.’ (1062)
3. ‘Saya dapat melihat sekarang,’ kata Dhotaka, bahwa di dunia ada seseorang yang tidak memiliki apa pun, seorang Brahmana, seorang kelana. Saya membungkuk dalam-dalam dan menghormat Engkau, wahai Mata yang Melihat Segalanya. Tolonglah, wahai orang Sakya, bebaskanlah saya dari kebingungan! (1063)
4. ‘Bukan praktekku yang membebaskan siapa pun dari kebingungan,’ kata Sang Buddha. ‘Bila engkau telah memahami ajaran-ajaran yang paling berharga, maka engkau sendiri akan menyeberangi samudra ini.’ (1064)
5. ‘Kasihanilah saya, wahai brahmana,’ kata Dhotaka. ‘Ajarkanlah cara untuk tidak melekat, agar saya dapat mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, agar saya dapat menjalani kehidupan ini, dalam kedamaian dan kebebasan, sebebas udara di semesta.’ (1065)
6. ‘Akan kujelaskan kedamaian yang tidak didasarkan pada kata-kata orang, dan dapat dicapai di sini dan kini. Ini adalah kedamaian yang –jika dipahami oleh orang yang waspada dan penuh perhatian– akan melepaskan genggamannya pada dunia.’ (1066)
7. ‘Guru Agung,’ kata Dhotaka, ‘saya merasakan suka cita mendengar tentang kedamaian tertinggi yang, jika dipahami oleh orang yang waspada dan penuh perhatian, akan dapat melepaskan genggamannya pada dunia ini. (1067)
8. ‘Di setiap arah,’ kata Sang Buddha, ‘di atas, di bawah, di sekeliling dan di dalam, ada hal-hal yang kau ketahui dan kenali. Jika engkau sadari bahwa ini adalah hal-hal yang mengikatmu pada dunia, maka engkau akan menghapus kehausan akan nafsu keinginan, dan nafsu untuk terus menerus lahir.’ (1068)

PERTANYAAN UPASIVA

Kemudian siswa brahmana Upasiva mengajukan pertanyan:
1. ‘Manusia Sakya,’ katanya, ‘tidaklah mungkin bagi saya untuk menyeberangi samudra yang amat luas sendirian, dan tanpa bantuan. Engkau adalah mata yang melihat segalanya, beritahukanlah apa yang dapat digunakan untuk membantu saya menyeberangi samudra.’ (1069)
2. Sang Buddha berkata kepada Upasiva: ‘Gunakanlah dua hal ini untuk membantumu menyeberangi samudra: persepsi (pemahaman) tentang Kekosongan1 dan kesadaran bahwa ‘tidak ada apa pun’. Tinggalkanlah kenikmatan-kenikmatan indera dan bebaskanlah dirimu dari keraguan, sehingga engkau mulai melihat dan merindukan akhir dari nafsu keinginan.’ (1070)
3. ‘Yang Mulia,’ kata Upasiva, ‘jika orang telah terbebas dari kemelekatan terhadap segala kesenangan dan tidak bergantung lagi pada apa pun, dan dia lepaskan juga apa pun lainnya, maka dia bebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Tetapi apakah dia abadi berada di sana dan tidak akan kembali lagi?’ (1071)
4. ‘Jika seseorang telah terbebas,’ kata Sang Buddha, ‘dari semua kesenangan indera dan tidak bergantung pada apa pun, dia terbebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Dia akan tinggal di sana dan tidak kembali lagi.’ (1072)
5. ‘Yang Mulia, Engkau memiliki mata yang melihat segalanya,’ kata Upasiva. ‘Jika orang ini tinggal bertahun-tahun di dalam keadaan ini tanpa kembali, apakah dia akan menjadi dingin dan terbebas di sana sendiri? Katakanlah, apakah kesadaran masih ada bagi orang seperti ini.’ (1073)
6. ‘Ini bagaikan lidah api yang tiba-tiba diterpa hembusan angin,’ kata Sang Buddha. Dalam sekejap ia lenyap dan tidak ada lagi yang diketahui tentangnya. Sama halnya dengan orang bijaksana yang terbebas dari keberadaan mental: dalam sekejap dia telah pergi dan tidak ada yang dapat diketahui tentang dia.’ (1074)
7. ‘Tolong terangkanlah hal ini secara jelas, Tuan,’ kata Upasiva, ‘Engkau manusia bijaksana yang tahu secara tepat cara hal-hal bekerja: apakah orang itu telah lenyap, apakah dia hanya sekadar tidak ada, ataukah dia ada dalam kesejahteraan yang abadi? (1075)
8. Jika seseorang telah pergi, maka tidak ada apa pun yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Sesuatu yang dapat dipakai untuk membicarakannya tidak lagi ada baginya; kamu tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak ada. Bila semua cara untuk ada sudah hilang, berarti seluruh fenomena hilang, maka seluruh cara menjelaskannya juga lenyap.’ (1076)

PERTANYAAN NANDA

Siswa brahmana berikutnya yang bertanya adalah Nanda. Inilah yang ditanyakannya kepada Sang Buddha:
1. ‘Banyak orang,’ kata Nanda, berbicara tentang manusia-manusia bijaksana yang –kata mereka– hidup di dunia. Apa pendapat Yang Mulia tentang ini? Bila mereka menyebut seseorang ‘bijaksana’, apakah mereka berbicara tentang pengetahuannya atau cara hidupnya?’ (1077)
2. “Bagi para ahli,” kata Sang Buddha, “kata ‘bijaksana’ tidak ada hubungannya dengan cara orang melihat hal-hal, atau dengan apa yang telah diajarkan kepadanya, atau dengan apa yang dia pahami. Bagiku, Nanda, orang bijaksana adalah orang yang telah melepaskan senjatanya: dia hidup dalam kesendirian, tanpa gemetar atau kelaparan akan nafsu.” (1078)
3. ‘Kalau demikian, Yang Mulia,’ kata Nanda, ‘ada pertanyaan lain yang harus saya ajukan. Semua guru agama dan brahmana telah berbicara tentang cara untuk menjadi murni. Beberapa mengatakan bahwa kemumian datang dari pandangan-pandangan duniawi dan dari ajaran; beberapa mengatakan bahwa kemurnian datang dari perbuatan-perbuatan baik dan ritual-ritual keagamaan; yang lain mengatakan kemurnian datang dari hal-hal lain. Apakah Engkau mengatakan bahwa orang-orang ini, yang hidup di dunia ini, yang telah mengajarkan hal-hal ini, telah pergi melampaui kelahiran dan usia tua? (1079)
4. ‘Akan kukatakan ini tentang pemimpin-pemimpin agama yang mengajarkan bahwa pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran, atau perbuatan serta ritual, atau apa pun lainnya akan membuatmu murni; kukatakan bahwa orang-orang ini, yang hidup di dunia ini, belum pergi melampaui kelahiran dan ketuaan.’ (1080)
5. ‘Tetapi Yang Mulia,’ kata Nanda, ‘orang-orang yang mengajarkan kemurnian yang datang dari pandangan dan ajaran, atau tindakan dan ritual, atau hal-hal lain ini, mereka adalah pemimpin keagamaan. Engkau mengatakan bahwa mereka bukanlah orang yang telah menyeberangi samudera. Saya harus menanyakan satu pertanyaan lagi: Dapatkah Engkau, wahai Yang Bijaksana, mengatakan siapakah orang di dunia ini yang telah pergi melampaui kelahiran dan ketuaan?’ (1081)
6. ‘Aku tidak mengatakan bahwa semua guru agama dan brahmana ini terbungkus dalam selubung kelahiran dan ketuaan,’ kata Sang Buddha. ‘Ada beberapa yang telah melepaskan pandangan-pandangan dunia, melepaskan tradisi-tradisi buah-pikir ajaran. Mereka telah melepaskan praktek-praktek keagamaan dan ritual, mereka telah meninggalkan segala macam bentuk, dan mereka memiliki pemahaman total tentang kemelekatan. Bagi mereka, tidak ada lagi dorongan-dorongan beracun dari dalam. Inilah yang benar-benar merupakan penyeberang samudera.’ (1082)
7. ‘Betapa sempurnanya penjelasan Guru Kebijaksanaan mengenai tidak melekat!’ kata Nanda. ‘Saya merasakan kegembiraan ketika mendengarnya, dan ketika mendengar ada orang-orang yang telah mau melepaskan pandangan, tradisi buah-pikir; praktek-praktek keagamaan dan ritual; serta melepaskan segala macam bentuk. Dan orang-orang ini memiliki pemahaman total tentang kemelekatan — mereka telah menghapuskan dorongan-dorongan beracun dari dalam! Inilah orang-orang yang akan saya sebut juga penyeberang samudera (1083)

PERTANYAAN HEMAKA

Hemaka adalah penanya berikutnya:
1. ‘Sebelum Gotama mulai mengajar,’ katanya, ‘semua ajaran yang telah saya dengar hanya mengatakan, ‘Beginilah hal-hal itu dahulu’ dan ‘Beginilah hal-hal itu akan menjadi’. Segalanya didasarkan pada tradisi dan kata orang, dan itu makin menambah keraguanku. (1084)
2. Jadi sekarang, Guru Kebijaksanaan, jelaskanlah ajaranmu tentang cara mengakhiri nafsu keinginan. Jelaskanlah ajaranmu yang bila dipahami — membuat orang yang hidup dengan penuh perhatian akan melepaskan genggamannya pada dunia.’ (1085)
3. ‘Pengikisan nafsu keinginan dan emosi yang kuat terhadap hal-hal menyenangkan, yang dilihat, didengar atau dikognisi merupakan jalan yang pasti menuju realisasi Nibbana. (1086)
4. Dengan memahami ini, mereka yang penuh perhatian telah mencapai ketenangan Nibbana total di dalam kehidupan ini juga. Mereka selamanya tenang. Mereka telah menyeberangi kemelekatan di dunia ini.’ (1087)

PERTANYAAN TODEYYA.

Siswa brahmana Todeyya berbicara berikutnya:
1. ‘Yang Mulia, apakah sifat kebebasan,’ dia bertanya kepada Sang Buddha, bagi orang yang tidak lagi memiliki nafsu untuk kesenangan, telah melampaui keraguan dan hidup tanpa nafsu keinginan?’ (1088)
2. ‘Orang yang tidak memiliki nafsu,’ kata Sang Buddha, ‘yang telah pergi melampaui keraguan dan yang hidup tanpa nafsu keinginan, telah benar-benar menemukan kebebasan akhir. Baginya, tidak ada lagi yang harus dibebaskan.’ (1089)
3. ‘Manusia Sakya yang Maha Melihat,’ kata Todeyya, ‘jelaskanlah satu hal ini. Saya ingin tahu bagaimanakah cara mengenali orang bijaksana ketika saya melihatnya. Apakah manusia bijaksana masih memiliki nafsu, atau apakah dia sepenuhnya tidak memiliki keinginan? Apakah dia masih perlu belajar, atau apakah kebijaksanaannya telah lengkap?’ (1090)
4. ‘Orang bijaksana, Todeyya,’ kata Sang Buddha, ‘tidak memiliki nafsu, tidak juga dia perlu belajar. Dia tanpa keinginan, dia memiliki kebijaksanaan, dan kamu dapat mengenalinya karena dia adalah manusia tanpa apa pun: dia tidak berpegang pada kesenangan atau pada kelahiran.’ (1091)

PERTANYAAN KAPPA

Yang berikutnya bertanya adalah siswa brahmana Kappa:
1. ‘Yang Mulia,’ kata Kappa, ‘ada orang-orang yang terjebak di tengah arus dalam teror dan ketakutan akan derasnya sungai dumadi, dan kematian serta kelapukan menguasai mereka. Untuk kepentingan mereka, Yang Mulia, beritahukanlah di mana dapat ditemukan sebuah pulau, beritahukanlah di mana ada tanah kokoh yang berada di luar jangkauan segala penderitaan ini.’ (1092)
2. ‘Kappa,’ kata Sang Buddha, ‘demi kepentingan orang-orang yang terjebak di tengah-tengah sungai dumadi, yang dikuasai oleh kematian dan kelapukan, akan kuberitahu di mana dapat ditemukan tanah yang kokoh. (1093)
3. Ada sebuah pulau, pulau yang tidak dapat kamu lampaui. Itu adalah tempat tanpa-apa pun, tempat tanpa-kepemilikan dan tanpa-kemelekatan. Itu adalah akhir total dari kematian dan kelapukan. Itulah sebabnya kusebut Nibbana [yang padam, yang dingin]. (1094)
4. Ada orang-orang yang waspada dan penuh perhatian sehingga telah mewujudkan hal ini, serta sepenuhnya padam di sini dan kini. Mereka tidak menjadi budak yang bekerja untuk Mara, untuk kematian; mereka tidak dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya.’ (1095)

PERTANYAAN JATUKANNI

Kemudian siswa brahmana Jatukanni berbicara:
1. ‘Saya telah mendengar,’ katanya, ‘bahwa ada seorang penyeberang samudera, seorang pahlawan, yang menginginkan sesuatu yang tanpa-nafsu. Jadi saya datang untuk mengajukan pertanyaan kepada manusia tanpa nafsu ini. Katakanlah, wahai mata yang langsung tahu-melihat: apakah keadaan kedamaian itu? Jelaskanlah itu sebagaimana sesungguhnya.’ (1096)
2. ‘Wahai Guru, engkau menguasai nafsu dan kesenangan bagaikan matahari, dengan panas dan sinarnya, yang menguasai dan mengendalikan bumi. Hanya sedikit pemahaman saya, Yang Mulia, sedangkan Engkau adalah dunia yang penuh kebijaksanaan. Beritahukanlah bagaimana mencari dan mengetahui Jalan untuk melepaskan dunia kelahiran dan ketuaan ini.’ (1097)

Sang Buddha menjawab Jatukanni:
3. ‘Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. (1098)
4. Keringkanlah sisa-sisa masa lampaumu dan tak usahlah memiliki apa pun untuk masa depanmu. Jika engkau tidak melekati masa kini, maka engkau dapat pergi dari satu tempat ke tempat lain dalam kedamaian. (1099)
5. Ada keserakahan yang tertancap pada materi-dan-batin individu. Bila keserakahan itu telah sepenuhnya lenyap, maka, wahai brahmana, tidak akan ada lagi dorongan-dorongan beracun dari dalam. Tanpa itu kamu akan kebal terhadap kematian.’ (1100)

PERTANYAAN BADHRAVUDHA

Siswa brahmana Badhravudha selanjutnya bertanya:
1. ‘Saya datang,’ katanya, ‘untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Wahai pemutus-kehausan, yang tanpa keinginan, yang bebas dan bijaksana, yang tak terbatas oleh waktu dan rumah — kehidupan dan kesenangan — tolonglah, wahai penyeberang samudera, (1101)
2. Bagi semua orang di sini yang telah datang dari berbagai tempat untuk mendengarkan kata-kata-Mu, beritahukanlah Jalan yang telah Engkau temukan dan Engkau ketahui.’ (1102)

Sang Buddha menjawab:
3. ‘Ketika mengambil sesuatu, akan terdapat rasa haus, kemelekatan, dan perenggutan. Engkau harus menghilangkannya sama sekali, di atas, di bawah, di sekeliling dan di dalam. Tidak ada bedanya apa pun yang kamu renggut: bilamana seseorang merenggut, Mara berdiri di sampingnya. (1103)
4. Oleh karena itu, para bhikkhu yang menyadari ini seharusnya tidak merenggut apa pun, karena mereka waspada dan penuh perhatian. Dia harus mengamati para makhluk yang merupakan makhluk kemelekatan yang diikatkan pada kekuatan kematian. (1104)

PERTANYAAN UDAYA

Kemudian siswa brahmana Udaya berbicara:
1. ‘Telah pergi melampaui dalam segalanya,’ katanya, ‘adalah yang tertinggi di dalam segalanya. Ketika dia duduk bermeditasi, tidak ada racun yang menyakitinya, tidak ada debu yang menghalanginya: Dia telah melakukan apa yang harus dilakukan.[Pada orang inilah saya datang untuk bertanya, dan inilah pertanyaan saya:] Dapatkah Yang Mulia menjelaskan tentang pengetahuan yang membebaskan? Dapatkah Yang Mulia menjelaskan bagaimana melenyapkan ketidaktahuan?’ (1105)
2. ‘Pengikisan nafsu terhadap dua hal, yaitu obyek sensual yang sangat kuat,’ kata Sang Buddha, ‘serta kesedihan, penolakan kemalasan dan daya tahan terhadap kecemasan’. (1106)
3. Kemurnian kewaspadaan yang sempurna dan seimbang, yang dibangun di atas dasar Melihat Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya: Inilah pengetahuan pembebasan dan inilah penghancuran ketidaktahuan.’ (1107)

[Udaya menanyakan pertanyaan lain:]
4. ‘Apakah yang membelenggu dan mengikat dunia? Apakah yang menyebabkan pengembaraan? Apakah yang Engkau tinggalkan untuk mencapai Nibbana?’ (1108)
5. ‘Apa yang mengikatmu,’ kata Sang Buddha, ‘adalah nafsu akan kesenangan. Pengembaraan adalah pikiran pemicu. Sedangkan cara menuju Nibbana adalah melepaskan kehausan akan nafsu.’ (1109)
6. ‘Saya datang dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Yang Mulia, dan saya ingin bertanya satu hal lagi,’ kata Udaya. ‘Bagaimanakah pengembara yang penuh kewaspadaan itu membawa arus-pikirannya ke suatu akhir?’ (1110)
7. Sang Buddha menjawab: ‘Sensasi-sensasi yang dia rasakan dari dalam tidak lagi memiliki daya tarik baginya. Dan sensasi-sensasi yang dia rasakan dari luar tidak lagi memukau. Sang Kelana selalu penuh perhatian dan membawa arus pikirannya menuju ke suatu akhir. (1111)

PERTANYAAN POSALA

Kemudian siswa Posala bangkit untuk berbicara:
1. ‘Di dalam segalanya,’ dia berkata kepada Sang Buddha, ‘Engkau telah mencapai kesempurnaan. Tidak ada gerakan nafsu maupun jejak keraguan yang tersisa di dalam dirimu. Maka saya datang kepada Engkau untuk mengajukan pertanyaan ini, siapakah yang dapat menerangkan apa yang telah terjadi di masa lampau. (1112)
2. Saya ingin bertanya kepadamu, Manusia Sakya, tentang pengetahuan. Jika seseorang tidak lagi terbelenggu dalam melihat bentuk, jika dia telah membuang keterbatasan-keterbatasan materi, dan dia melihat bahwa tidak ada lagi substansi-dalam atau substansi-luar pada benda-benda, apakah ada lagi yang harus diketahuinya?’ (1113)
3. ‘Bagi Sang Tathagata, Yang Telah Datang Dan Pergi,’ jawab Sang Buddha, ‘semua aspek dan tahap pikiran telah menjadi jelas. Dengan demikian, bila orang yang memusatkan pandangannya pada kebebasan telah mencapai tujuannya, Tathagata mengetahui tahap apa yang telah dicapainya. (1114)
4. Ketika dia telah menyadari bahwa kekuatan kesenangan yang mengikat itu berakar pada kekosongan, maka dia telah sampai ke suatu pemahaman yang jelas mengenai proses ini. Pengetahuan ini telah dicapai sepenuhnya, olehnya, oleh brahmana yang telah mantap.’ (1115)

PERTANYAAN MOGHARAJA

Yang berikutnya bertanya adalah siswa brahmana yang bernama Mogharaja:
1. ‘Manusia Sakya,’ katanya, ‘telah dua kali saya menanyakan hal ini sebelumnya tanpa menerima jawaban dari Mata Kebijaksanaan. Tetapi pernah saya dengar bahwa bila dewa-kebijaksanaan ditanya untuk ketiga kalinya, dia akan memberikan jawaban. (1116)
2. Saya tidak tahu, Gotama yang masyhur, sikap apakah yang Engkau ambil terhadap dunia ini dan terhadap dunia lain, dunia Brahma dan dewa-dewa lain. (1117)
3. Jadi, karena Engkau memiliki pandangan terang yang sempurna, saya datang untuk menanyakan hal ini kepadamu. Apakah cara yang terbaik untuk menyikapi dunia sehingga Raja Kematian tidak akan melihatnya?’ (1118)

Sang Buddha menjawab:
4. ‘Jika engkau selalu sadar, Mogharaja, engkau akan memandang dunia dan melihat kekosongannya. Jika engkau tidak lagi memandang dirimu sendiri sebagai suatu jiwa [sebagai suatu identitas yang pasti dan khusus], maka engkau sudah memberi pada dirimu sendiri jalan melampaui kematian. Pandanglah dunia seperti ini dan Raja Kematian tidak akan melihatmu.’ (1119)

PERTANYAAN PINGIYA

Kemudian brahmana Pingiya berbicara:
1. ‘Saya sudah tua dan melapuk. Tubuhku lemah dan kulitku pucat. Saya hampir tidak dapat melihat dan pendengaran saya sudah payah. Jangan biarkan saya mati dalam keadaan masih bingung. Ajarkanlah pada saya Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya sehingga saya tahu bagaimana meninggalkan kelahiran dan ketuaan.’ (1120)
2. ‘Lihatlah,’ jawab Sang Buddha, ‘lihatlah betapa banyaknya orang yang tersiksa oleh penderitaan. Lihatlah betapa cerobohnya mereka, dan betapa menderitanya mereka karena tubuh dan bentuk. Jika engkau tidak ingin terus menerus terlahir, Pingiya, engkau harus melepaskan tubuh dan bentuk.’ (1121)
3. ‘Di kesepuluh arah,’ kata Pingiya, ‘di atas, di bawah, dan di setiap sudut penjuru, tidak ada satu pun yang tidak Engkau dengar, lihat, ketahui, atau pahami. Ajarilah saya tentang Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya, sehingga saya mengetahui bagaimana saya dapat meninggalkan kelahiran dan usia tua. (1122)
4. ‘Dapatkah kau lihat,’ jawab Sang Buddha, bagaimanakah orang-orang dikuasai oleh nafsu? Dapatkah kau lihat bagaimana mereka disakiti dan didera oleh ketuaan? Jika engkau tidak ingin terus-menerus lahir, engkau harus melepaskan nafsu keinginan.’ (1123)

ĀDICCUPAṬṬHĀNA- JĀTAKA

“Tidak ada bangsa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu (curang).


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga brahmana di Kāsi. Setelah dewasa, dia pergi ke Takkasilā dan menyelesaikan pendidikannya di sana. Kemudian dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa, mengembangkan kesaktian, pencapaian meditasi, dan menjadi pembimbing dari sekelompok besar murid, dia menjalankan kehidupannya di Himalaya.
Di sana dia tinggal dalam jangka waktu yang lama; sampai suatu hari, dia turun dari gunung dan pergi ke perbatasan desa untuk memperoleh garam dan rempah-rempah, dan dia tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari daun.
Ketika semuanya pergi berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, seekor kera jahat biasanya memasuki pertapaan mereka dan memorak-porandakan semua isinya, menumpahkan air dari kendi-kendi, memecahkan kendi-kendi tersebut, dan mengakhirinya dengan mengacaukan tempat perapian.
Setelah musim hujan berakhir, para petapa berpikir untuk kembali dan berpamitan kepada penduduk desa; “Sekarang ini,” pikir mereka, “bunga-bunga dan buah-buahan yang ada di gunung sudah masak.” “Besok,” jawab para penduduk, “kami akan datang ke tempat tinggal Bhante dengan membawa dana makanan; makanlah terlebih dahulu sebelum pergi.” Maka pada keesokan harinya, mereka datang ke sana dengan membawa makanan yang banyak, keras dan lunak.
Sang kera berpikir di dalam hatinya, “Saya akan menipu dan membujuk orang-orang ini agar memberikan sedikit makanan kepadaku juga.” Jadi dia menunjukkan dirinya seperti petapa yang sedang meminta derma makanan, [73] dan dengan berdiri di dekat para petapa, dia memuja matahari.
Ketika orang-orang melihatnya, mereka berpikir, “Mereka yang tinggal bersama dengan orang suci adalah orang suci juga,” dan mengulangi bait pertama:
Tidak ada bangsa hewan
yang memiliki disiplin moral seperti ini:
Lihatlah bagaimana kera malang ini
berdiri di sini memuja matahari!
Dengan cara itu orang-orang memuji moralitas sang kera. Tetapi Bodhisatta, yang mengamatinya, menjawab, “Kalian tidak mengetahui kelakuan dari seekor kera jahat. Jika kalian tahu, maka kalian tidak akan memuji dia yang hanya berhak mendapatkan sedikit pujian,” dan menambahkan bait kedua:
Kalian memuji sifat makhluk ini
karena tidak mengenalnya;
Dia telah merusak api suci
dan memecahkan semua kendi air.
Pada saat orang-orang mendengar betapa jahatnya kera tersebut, dengan menggunakan kayu-kayu dan bongkahan-bongkahan tanah, mereka melemparinya dan memberikan dana makanan mereka kepada para petapa.
Orang-orang suci itu kembali ke Himalaya; dan tanpa terputus dalam meditasi (jhana), mereka akhirnya terlahir di alam brahma.

Pada akhir uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bhikkhu yang menipu pada masa itu adalah sang kera; para pengikut Buddha adalah sekelompok orang suci itu, dan pemimpin mereka adalah diri-Ku sendiri.”

DŪBHIYA-MAKKAṬA-JĀTAKA

[70] “Air yang banyak,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Veluvana, tentang Devadatta.
Suatu hari para bhikkhu sedang berbicara di dalam balai kebenaran tentang Devadatta yang tidak tahu berterima kasih dan mengkhianati teman-temannya, kemudian Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini saja, Para Bhikkhu, Devadatta tidak tahu berterima kasih dan mengkhianati teman-temannya sendiri, tetapi sebelumnya juga dia melakukan hal yang sama.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di sebuah keluarga brahmana di sebuah desa di Kāsi, dan ketika dewasa, dia menikah dan hidup berumah tangga. Adapun pada saat itu terdapat sebuah sumur yang dalam, di dekat jalan raya di Kerajaan Kāsi, yang tidak memiliki jalan untuk turun ke bawahnya.
Orang-orang yang melewati jalan tersebut, untuk melakukan jasa kebajikan, biasanya mengambil air dengan sebuah tali yang panjang dan sebuah ember kayu, dan mengisi palungan55 untuk hewan-hewan; demikianlah cara mereka memberikan air minum kepada hewan-hewan. Di sekeliling itu adalah hutan yang lebat sekali, tempat sekumpulan kera tinggal.
Terjadi pada suatu ketika, selama dua atau tiga hari persediaan air terhenti, yang biasanya diambil oleh para pejalan kaki; dan hewan-hewan tidak mendapatkan minuman. Seekor kera, tersiksa dengan kehausan, berjalan naik dan turun di dekat sumur untuk mencari air.
Kala itu, Bodhisatta tiba di tempat tersebut dalam perjalanannya untuk suatu urusan tertentu, mengambil air untuk dirinya sendiri, minum, dan mencuci tangannya; kemudian dia melihat sang kera. Melihat betapa hausnya kera tersebut, sang pejalan kaki mengambil air dari sumur itu dan mengisikannya ke dalam palungan untuknya. Kemudian dia duduk di bawah sebuah pohon, untuk melihat apa yang akan dilakukan makhluk tersebut.
Kera tersebut minum, duduk di dekat sana, dan membuat suatu tampang menyeringai, untuk menakuti Bodhisatta. “Ah, monyet yang jahat!” katanya, ketika melihatnya demikian— “Ketika Anda kehausan dan menderita, [71] saya memberikanmu air yang banyak; dan sekarang Anda memperlihatkan tampang kera itu kepadaku. Baik, baik, menolong seorang yang jahat hanyalah akan menyia-nyiakan pengorbananmu.” Dan dia mengulangi bait pertama:
Air yang banyak kuberikan kepadamu
ketika Anda kepanasan dan juga kehausan:
Sekarang dengan penuh keburukan,
Anda duduk mengoceh,—terhadap orang-orang jahat,
lebih baik tidak melakukan apa-apa.
Kemudian kera yang dengki tersebut membalas, “Menurutku Anda pasti berpikir hanya itulah yang dapat kulakukan. Sekarang saya akan menjatuhkan sesuatu di kepalamu sebelum pergi.” Kemudian, sambil mengulangi bait kedua, dia meneruskan—
Siapa yang pernah melihat
seekor kera yang berkelakuan baik?
Akan kujatuhkan kotoran di atas kepalamu;
karena demikianlah tingkah laku kami.
Segera setelah mendengar ini, Bodhisatta bangkit untuk pergi. Tetapi pada saat yang bersamaan, kera tersebut, dari dahan tempat dia duduk, membuang kotoran seperti menjatuhkan hiasan, di atas kepalanya, dan kemudian lari masuk ke dalam hutan sambil bersuara keras.
Bodhisatta membersihkan dirinya dan kemudian kembali melanjutkan perjalanan.


[72] Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, setelah berkata, “Bukan hanya sekarang Devadatta seperti itu, tetapi pada masa lalu juga dia tidak mengakui kebaikan hati yang Aku tunjukkan kepadanya,” Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Devadatta adalah kera pada saat itu, dan brahmana itu adalah diri-Ku sendiri.

Catatan kaki :
54 Putra Buddha Gotama.
55 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): bak tempat makanan dan minuman ternak (kuda, kerbau, burung, dsb).

MAKKAṬA-JĀTAKA

[68] “Ayah, lihatlah orang tua malang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu (curang).—Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Uddāla-Jātaka53, Buku XIV.
Di sini juga Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini orang ini menjadi seorang penipu, tetapi juga di masa lampau, ketika terlahir sebagai seekor kera, dia menipu demi (mendapatkan) api.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah di masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan di sebuah keluarga brahmana di suatu desa di Kāsi. Ketika tumbuh dewasa, dia mendapatkan pendidikannya di Takkasilā, dan menetap di sana.
Istrinya pada waktu itu melahirkan seorang putra; dan ketika anaknya baru bisa berlari, dia meninggal dunia. Suaminya melakukan upacara pemakamannya, dan kemudian berkata, “Apalah gunanya rumah (ini) bagiku sekarang? Saya dan anak saya akan menjalani kehidupan sebagai petapa.”
Meninggalkan teman-teman dan sanak keluarganya dalam linangan air mata, dia membawa anaknya ke Himalaya, menjadi seorang petapa, dan hidup dengan memakan buah-buahan dan akar-akaran yang terdapat di dalam hutan.
Pada suatu hari di musim hujan, setelah hujan lebat reda, dia menyalakan api, dan berbaring di alas tidurnya, menghangatkan dirinya di perapian. Dan anaknya duduk di sampingnya, sembari menggosok kakinya.
Kala itu seekor kera hutan, yang menderita karena kedinginan, melihat api di gubuk daun milik petapa tersebut. “Sekarang,” pikirnya, “kalau saya masuk ke dalam, mereka akan berteriak, ‘Kera! kera,’ dan memukuli saya. Saya tidak akan mendapat kesempatan untuk menghangatkan diri—Saya ada ide!” katanya kemudian. “Saya akan mengambil sehelai jubah petapa, dan masuk ke dalam dengan sebuah muslihat!”
Lalu dia pun memakai jubah bekas milik seorang petapa yang telah meninggal, mengangkat keranjang dan tongkat (galah), dan berdiri di depan pintu gubuk, tempat dia membungkuk di samping sebuah pohon kelapa. Sang anak melihatnya dan berkata kepada ayahnya (tidak mengetahui bahwa dia adalah seekor kera), “Di sini ada seorang petapa tua, sudah pasti, menderita karena kedinginan, datang untuk menghangatkan dirinya di perapian.” [69] Kemudian dia menjelaskan kepada ayahnya di dalam kata-kata di bait pertama, memohon ayahnya untuk memperbolehkan orang malang tersebut untuk menghangatkan dirinya:
Ayah, lihatlah orang tua malang
yang berdiri di dekat sebuah pohon kelapa di sana!
Di sini kita memiliki sebuah gubuk untuk berteduh,
marilah kita memberikan tempat teduh kepadanya.
Ketika mendengar ini, Bodhisatta berdiri dan berjalan ke pintu. Tetapi ketika melihat makhluk itu adalah seekor kera, dia berkata, “Anakku, manusia tidak memiliki wajah seperti itu, dia adalah seekor kera, dan dia tidak boleh dipersilakan untuk masuk.” Kemudian dia mengulangi bait kedua:
Dia hanya akan mengotori tempat tinggal kita
jika dia melangkah masuk melewati pintu;
Wajah seperti ini—sangat mudah diketahui—
tidak ada brahmana yang memilikinya.
Bodhisatta mengambil sebatang kayu, berkata dengan keras—“Apa yang Anda inginkan di sana?”—melemparkan kayu itu ke arahnya dan mengusirnya. Si kera menanggalkan jubah usangnya, memanjat pohon, dan menghilang di dalam hutan.
Kemudian Bodhisatta mengembangkan empat kediaman luhur (brahmavihāra) hingga akkhirnya terlahir di alam brahma.

Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bhikkhu yang menipu ini adalah kera pada masa itu; Rāhula54 adalah anak petapa, dan Aku sendiri adalah sang petapa.”

Catatan kaki :
53 No. 487.

DADDARA-JĀTAKA

“Siapakah gerangan dengan teriakan yang sangat keras,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana tentang Kokālika (Kokalika).
Dikatakan bahwasanya terdapat beberapa bhikkhu yang pandai di daerah Manosilā, yang berbicara seperti singa-singa muda, cukup keras untuk menurunkan Gangga Surgawi50, [66] ketika melafalkan sutta di tengah-tengah para bhikkhu.
Dan ketika mereka melafalkan sutta-sutta, Kokalika (dengan tidak mengetahui kebodohan apa yang dia tunjukan pada dirinya sendiri) berpikir bahwa dia akan melakukan hal yang sama. Maka dia pergi menghampiri para bhikkhu, tanpa memperkenalkan namanya, berkata, “Mereka tidak memintaku untuk melafalkan sutta. Seandainya mereka memintaku, saya pasti akan melakukannya.”
Para bhikkhu mengetahui hal ini dan mereka berpikir bahwa mereka akan menguji dirinya. “Āvuso Kokalika,” kata mereka, “perdengarkanlah beberapa pelafalan sutta kepada para bhikkhu hari ini.” Dia setuju untuk melakukannya, tanpa menyadari kebodohannya; pada hari itu juga dia akan membacakannya di depan para bhikkhu.
Dia pertama-tama menyantap bubur yang dibuat sesuai seleranya, memakan makanan utama, dan meminum beberapa hidangan sup kesukaannya. Di saat senja, bunyi gong berkumandang untuk (menandakan) waktu pemberian khotbah Dhamma; para bhikkhu berkumpul bersama. Jubah (dalam) yang dikenakannya berwarna kuning seperti warna bunga landep51, dan jubah luarnya berwarna putih seperti bunga kaṇikāra 52. Dengan berpakaian demikian, dia masuk ke tengah-tengah para bhikkhu lainnya, memberi salam kepada para bhikkhu senior, melangkah naik ke alas duduk di bawah paviliun yang berhiaskan batu berharga, memegang sebuah kipas yang diukir dengan sangat bagus; dia duduk, bersiap diri untuk memulai melafalkan sutta.
Tetapi pada saat itu, butiran-butiran keringat mulai bercucuran keluar dari tubuhnya, dan dia merasa malu. Bait pertama dari sutta dia lafalkan, tetapi dia tidak mampu mengingat bait-bait selanjutnya. Maka dia bangkit dari duduknya dalam kebingungan, keluar dari pertemuan para bhikkhu itu dan kembali ke kamarnya.
Seorang bhikkhu yang pandai kemudian melafalkan sutta tersebut. Sejak saat itu, semua bhikkhu mengetahui betapa kosongnya dia.
Pada suatu hari, para bhikkhu membicarakan hal ini di dalam balai kebenaran: “Āvuso, sebelumnya sangatlah tidak mudah untuk melihat betapa kosongnya si Kokalika. Akan tetapi, sekarang dia telah bersuara kembali sesuai dengan dirinya, dan menunjukkannya demikian.” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka diskusikan bersama. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata—“ Para Bhikkhu, Ini bukan pertama kalinya Kokalika menipu dirinya dengan ucapannya sendiri; hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya,” dan kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah di masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa, [67] dan merupakan raja dari semua singa. Dengan sejumlah singa-singa lainnya, dia tinggal di Gua Perak. Di dekat sana hiduplah seekor serigala, yang tinggal di gua yang lain.
Suatu hari, setelah hujan reda, semua singa berkumpul bersama di depan pintu masuk gua milik raja mereka, saling mengaum dengan sangat keras dan bermain lompat-lompatan ke sana ke sini. Saat mereka mengaum dan bermain, sang serigala juga meninggikan suaranya. “Serigala ini, mengeluarkan suara yang sama seperti kita!” kata singa-singa; mereka merasa malu dan diam.
Ketika mereka semua diam, anak dari Bodhisatta menanyakan pertanyaan ini kepadanya, “Ayah, semua singa yang tadinya mengaum dan bermain sekarang menjadi diam atas sesuatu yang memalukan setelah mendengar suara dari makhluk di sana. Makhluk apakah yang menipu dirinya sendiri dengan suaranya?” dan dia mengulangi bait pertama:
Siapakah gerangan dengan teriakan yang sangat keras
yang membuat (Gunung) Daddara bergema?
Siapakah dirinya, Raja dari para hewan?
Dan mengapa dia tidak mendapatkan sambutan yang baik?
Terhadap kata-kata anaknya, sang singa tua mengulangi bait kedua:
Serigala, yang paling hina di antara semua hewan,
dirinyalah yang membuat suara itu:
Singa-singa tidak menyukai kerendahan dirinya,
ketika mereka duduk melingkar dalam keheningan.

“Para Bhikkhu,” Sang Guru menambahkan, “ini bukan pertama kalinya Kokalika menipu dirinya sendiri dengan ucapannya, hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya,” dan mengakhiri uraian-Nya, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Kokālika (Kokalika) adalah sang serigala, Rāhula adalah singa muda, dan Aku sendiri adalah raja singa.”

Catatan kaki :
49 Fausbøll, Lima kisah Jātaka hal. 45 (tidak diterjemahkan); dibawah, No. 188 and 189.
50 ākāsagaṅga; terjemahan bahasa Inggris menuliskan ‘The Milky Way’ pada catatan kaki. Lihat cerita pembuka pada no. 1.
51 kaṇṭakuranda; Barleria cristata.
52 Pterospermum acerifolium.

KALYĀṆA-DHAMMA-JĀTAKA

“Oh Paduka, ketika orang mengelu-elukan kita,“ dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana, tentang seorang ibu mertua yang tuli.
Dikatakan bahwa ada seorang tuan tanah di Sāvatthi, seorang yang berkeyakinan, yang percaya, yang telah berlindung di bawah Tiga Permata dan seorang yang menjalankan lima sila.
Pada suatu hari, dia pergi untuk mendengarkan (khotbah) Sang Guru di Jetavana, dengan membawa banyak sekali mentega cair (gi) dan beragam jenis rempah-rempah, bunga-bunga, wewangian, dan yang lainnya. Pada waktu yang sama, ibu dari istrinya (ibu mertuanya) datang untuk mengunjungi anak perempuannya dan membawa bingkisan makanan yang keras dan yang lunak. Dia memiliki sedikit kesulitan mendengar.
Setelah makan—biasanya orang mengantuk setelah makan—dia berkata, untuk berusaha tetap terjaga—“Nah, apakah suamimu hidup bahagia denganmu? Apakah kalian berdua akur satu sama lain?” “Mengapa, Bu, apa yang Anda tanyakan ini? Anda bahkan susah mencari seorang petapa suci yang sangat baik dan berbudi seperti dirinya!” Sang ibu tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan putrinya, tetapi dia menangkap kata—‘petapa’ dan dia pun menjerit—“Oh, Anakku, mengapa suamimu menjadi seorang petapa?” dengan tingkah yang berlebihan.
Semua orang yang tinggal di dalam rumah itu mendengarnya, dan menjerit, “Berita (baru)—tuan tanah telah menjadi seorang petapa!” Orang-orang mendengar keributan itu, dan segerombolan orang datang berkumpul di depan pintu untuk mencari tahu apa yang terjadi. “Tuan tanah yang tinggal di sini telah menjadi petapa!” hanya itulah yang mereka dengar.
Tuan tanah itu, setelah mendengar khotbah dari Sang Buddha, kemudian meninggalkan wihara untuk kembali ke kota.
Di tengah perjalanannya, seorang laki-laki berjumpa dengannya, dan berkata—“Mengapa, Tuan, mereka mengatakan Anda telah menjadi seorang petapa dan seluruh keluargamu dan pelayan-pelayanmu sedang menangis di rumah!” [64]
Kemudian pikiran-pikiran ini terlintas di kepalanya, “Orang-orang mengatakan bahwa saya telah menjadi seorang petapa meskipun saya tidak melakukan hal apa pun yang seperti itu. Sebuah ucapan yang (demikian) baik tidak boleh diabaikan; hari ini juga saya harus menjadi seorang petapa.” Kemudian, di tempat itu juga, dia berbalik dan kembali ke tempat Sang Guru. “Tadi Anda telah mengunjungi Sang Buddha,“ kata Sang Guru, “dan telah pulang. Apa yang membawamu kembali lagi ke sini?” Laki-laki itu menceritakannya kepada Sang Guru, dan menambahkan, “Sebuah ucapan yang baik, Bhante, tidak boleh diabaikan. Demikianlah saya sekarang berada di sini, dan saya berkeinginan untuk menjadi seorang petapa.” Kemudian dia ditahbiskan dan diupasampada, dan menjalani kehidupan yang bajik. Dalam waktu yang singkat, dia pun mencapai tingkat kesucian Arahat.
Kisah ini pun diketahui oleh para bhikkhu. Suatu hari, ketika mereka sedang membicarakannya demikian di dalam balai kebenaran, “Āvuso 48, tuan tanah anu menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa karena dia mengatakan ‘Suatu ucapan beruntung tidak boleh diabaikan’, dan sekarang dia mencapai tingkat kesucian Arahat!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Para Bhikkhu, orang bijak di masa lampau juga menjadi seorang petapa karena mereka mengatakan bahwa suatu ucapan yang baik tidak boleh diabaikan,” dan menceritakan sebuah kisah di masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai anak seorang pedagang kaya. Kemudian setelah tumbuh dewasa dan ayahnya meninggal, dia menggantikan posisi ayahnya.
Pernah sekali dia pergi mengunjungi raja dan ibunya datang menjenguk anaknya. Dia memiliki sedikit kesulitan mendengar, dan apa yang terjadi berikutnya semua itu sama seperti yang telah diceritakan. Suaminya sedang dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke istana ketika berjumpa dengan seseorang di tengah jalan, yang berkata, “Mereka mengatakan Anda telah menjadi seorang petapa, dan terjadi kegemparan di rumahmu!” Bodhisatta berpikir bahwa ucapan yang (demikian) baik tidak boleh diabaikan, kemudian berbalik dan kembali menjumpai raja.
Raja menanyakan apa yang membawanya kembali ke sana. “Paduka,” dia berkata, “semua orang-orangku meratapiku, seperti yang diceritakan kepadaku, karena saya telah menjadi seorang petapa, padahal saya tidak melakukan hal apa pun yang seperti itu. Tetapi ucapan yang (demikian) baik ini tidak boleh diabaikan, dan saya pun akan menjadi petapa. Saya meminta izin paduka untuk menjadi seorang petapa!” dan dia menjelaskan keadaannya dalam bait berikut: [65]
Wahai Paduka, ketika orang mengelu-elukan kita
di dalam nama kesucian (menjadi seorang petapa),
maka kita pun harus melakukan demikian;
Kita tidak boleh ragu-ragu dan tidak melakukannya;
Kita harus memikul akibatnya.

Wahai Paduka, nama ini telah dianugerahkan kepadaku;
Hari ini mereka meratapi bagaimana saya menjadi seorang petapa suci;
Karena itu saya akan hidup dan mati sebagai petapa;
Saya tidak lagi tertarik dengan nafsu dan kesenangan indriawi.
Demikianlah Bodhisatta memohon izin kepada raja untuk menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa. Kemudian dia pergi ke pegunungan Himalaya, dan sebagai seorang petapa, dia mengembangkan kesaktian, pencapaian meditasi, dan akhirnya terlahir kembali di alam brahma.


Sang Guru, setelah menyampaikan uraian ini, mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah pedagang kaya (di) Benares.”

Catatan kaki :
47 No. 20 di Jātaka-Mālā: Çreṣṭhi-jāntaka.
48 Panggilan akrab sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior, biasa diartikan sebagai sahabat atau saudara; bisa juga digunakan sebagai panggilan akrab bhikkhu (petapa) terhadap umat awam.

Rabu, 13 Juni 2012

KAKAṆṬAKA-JĀTAKA

[63] Kakaṇṭaka-jātaka ini akan diceritakan di bawah, di Kelahiran Mahā-Ummagga-jātaka 46.

ARAKA-JĀTAKA

“Hati dengan perasaan belas kasih yang tak terbatas,” dan seterusnya”. Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana, tentang Metta Sutta.
Pada suatu kesempatan, Sang Guru menyapa para bhikkhu: “Para Bhikkhu, cinta kasih dengan semua pengabdian pikiran, [61] merenungkannya, meningkatkannya, menjadikan sebuah alat pengembangan, menjadikan tujuan Anda satusatunya, pelatihan, menjadi yang baik, dengan harapan untuk menghasilkan sebelas berkah44, Apa saja sebelas ini?
Dia tidur dengan gembira dan dia bangun dengan gembira; dia tidak bermimpi buruk; orang-orang menyukainya; dewa melindunginya; api, racun dan pedang tidak dapat mendekatinya; dengan cepat dia menjadi terserap dalam pikiran; tampangnya menjadi tenang; dia mati tanpa rasa takut; tidak perlu kebijaksanaan yang lebih jauh, dia pergi ke alam brahma. Cinta kasih, Para Bhikkhu, dilatih dengan penolakan keduniawian dari harapan seseorang”—dan selanjutnya—“bisa diharapkan untuk menghasilkan Sebelas Berkah. Untuk menyanjung cinta kasih yang bisa menghasilkan sebelas berkah ini, Para Bhikkhu, seorang bhikkhu seharusnya menunjukkan cinta kasih kepada semua mahkluk hidup, dengan sengaja atau tidak, dia harus menjadi seorang teman terhadap yang ramah, juga teman terhadap yang tidak ramah, dan seorang teman terhadap yang biasa: demikianlah terhadap semuanya tanpa perbedaan, apakah diundang atau tidak, dia harus menunjukkan cinta kasih: dia harus menunjukkan rasa simpati dengan suka dan duka dan melatih ketenangan hati; dia harus melakukan pekerjaannya melalui empat kediaman luhur (brahmavih ā ra). Dengan melakukan seperti itu, dia akan mencapai alam brahma bahkan tanpa ‘jalan’ ataupun ‘buah’. Orang bijaksana di masa lampau, dengan melatih cinta kasih selama tujuh tahun, telah berdiam di alam brahma selama tujuh zaman, masing–masing dengan satu periode pasang surut45.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, di masa lampau, Bodhisatta dilahirkan di dalam keluarga Brahmana. Ketika tumbuh dewasa, dia meninggalkan kesenangan indriawi dan menjalankan kehidupan seorang petapa, dan mengembangkan empat kediaman luhur. Namanya adalah Araka, dan dia menjadi seorang Guru, dan tinggal di wilayah Himalaya, dengan sekelompok pengikut. Menasihati kelompok orang-orang bijaksananya, dia berkata, “Seorang petapa harus menunjukkan cinta kasih, haruslah dia menunjukkan cinta kasih, baik suka maupun duka, dan penuh ketenangan hati; selama pikiran cinta kasih ini ada, maka dicapai dengan tekad mempersiapkannya ke alam brahma.” Dan sambil menjelaskan berkah dari cinta kasih ini, dia mengulangi bait-bait berikut:—
Hati dengan perasaan cinta kasih yang tak terbatas
kepada segala sesuatu yang hidup,
di surga atas, di alam bawah, dan di tengah bumi ini.
Dipenuhi semua perasaan cinta kasih tanpa batas,
kemurahan hati tanpa batas,
demikian sebuah hati tidak akan pernah sempit dan terbatas.
[62] Demikianlah Bodhisatta menguraikan kepada murid-muridnya tentang melatih cinta kasih dan berkahnya. Dan tanpa terputus dalam meditasi (jhana)-nya, dia pun terlahir kembali di alam brahma, dan selama tujuh zaman, masing-masing dengan waktunya pasang surut, dia tidak lagi muncul di dunia ini.

Setelah menyelesaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, kelompok orang bijaksana adalah pengikut Sang Buddha sekarang, dan Aku sendiri adalah Guru Araka.”

Catatan kaki :
44 Kesebelas berkah dibahas di Question of Milinda, iv. 4. 16 (trans. in the S. B. E., i. hal. 279).
45 Lihat Childers, Dict. hal. 185 b. Kepercayaan ini masih ada. Dua orang pria yang mengunjungi Pemimpin Lamaism China dan Bhante Tinggi Buddhism di Pekin, tahun 1890, berbicara dengan mereka tentang kemunduran Buddhism di zaman ini. Keduanya mengakuinya, Buddhist menghubungkannya dengan keinginan dukungan pemerintah, sedangkan Lama itu mengira ini adalah karena periode peringatan dalam keagamaan; tetapi karena pasang mengikuti surut dia mengharapkan ada kebangkitan kembali. (Baptist Missionary Herald, 1890.)

SAKUṆAGGHI-JATAKA

“Seekor burung puyuh sedang berada di tempat mencari makan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang Sakuṇovāda Sutta.
Pada suatu hari, Sang Guru memanggil para bhikkhu dan berkata, ”Para Bhikkhu, pada saat kalian mencari sedekah, tetaplah di daerahmu sendiri.” Dan mengulangi sutta itu dari Mahāvagga yang sesuai dengan kejadian ini, [39] Beliau menambahkan, “Tetapi tunggu sebentar: di masa lampau, yang lain bahkan dalam wujud hewan pun menolak untuk menetap di daerah masing-masing, dan dengan memburu tempat makan orang lain, mereka jatuh di tangan musuh mereka, dan berhasil bebas dari tangan musuh melalui kecerdasan diri dan akal mereka.” Dengan ini, Sang Guru menceritakan kisah di masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir ke dunia ini sebagai burung puyuh. Dia mendapatkan makanan dengan melompat-lompat di atas gumpalan-gumpalan tanah yang sudah dibajak.
Suatu hari, burung puyuh berpikir dia akan meninggalkan lahan makanannya dan mencoba yang lain; maka terbanglah dia ke tepi hutan. Pada saat burung puyuh sedang memungut makanannya, ada seekor elang melihatnya, menyerang dengan ganasnya dan menangkapnya dengan cepat.
Ditangkap oleh elang ini, burung puyuh mengeluarkan rintihannya: “Ah, betapa malangnya diriku! Betapa sedikitnya pengertianku! Saya sedang memburu tempat makan orang lain! Oh kalau saja saya tetap di tempatku, di mana leluhurku berada, maka tentu saja elang ini tidak mungkin bisa menandingiku, maksudku kalau dia berkelahi!”
“Mengapa, Puyuh, elang berkata, “seperti apakah tempatmu, di mana leluhurmu diberi makan?”
“Ladang yang telah dibajak dan penuh gumpalan-gumpalan tanah!”
Pada saat ini, elang melepaskan tenaganya, “Pergilah burung puyuh! Anda tidak akan lepas dariku meskipun di sana!”
Burung puyuh terbang kembali ke tempat asalnya dan bertengger di atas gumpalan tanah yang besar, dan dia berdiri di sana, memanggil—“Kemarilah sekarang, Elang!”
Menegangkan semua urat dan menyeimbangkan kedua sayap, elang menyambar ke bawah dengan ganas terhadap burung puyuh, “Dia datang dengan membawa dendam!” pikir burung puyuh; dan pada saat burung puyuh melihat elang dengan gerakan cepat, dia membalik dan membiarkan elang menyerang penuh ke gumpalan tanah. Elang tidak bisa menahan dirinya, dan menghantam dadanya ke tanah; dan dia jatuh mati dengan matanya yang terbuka.


[60] Setelah kisah ini diceritakan, Sang Guru menambahkan, “Sekarang Anda lihat, Para Bhikkhu, bagaimana bahkan hewan pun jatuh ke dalam tangan musuh mereka karena meninggalkan tempat mereka; tetapi pada saat mereka tetap di sana, mereka dapat menaklukkan musuh mereka. Maka dari itu, kalian harus berjaga untuk tidak meninggalkan tempat kalian sendiri dan mengganggu yang lain. Oh, Para Bhikkhu, pada saat seseorang meninggalkan tempatnya sendiri, Mara42 menemukan pintu dan mendapatkan tumpuan. Apakah yang disebut oleh tempat asing, Para Bhikkhu, dan apakah tempat yang salah untuk seorang bhikkhu? Yang saya maksud adalah lima kesenangan indriawi. Apa saja kelima ini? Nafsu yang disebabkan oleh mata… [dan seterusnya]43. Para bhikkhu, ini adalah tempat yang salah untuk seorang bhikkhu.” Kemudian dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengulangi bait pertama:—
Seekor burung puyuh sedang berada di tempat mencari makan,
ketika menyambar dari ketinggian,
seekor elang datang;
tetapi dia jatuh dan menghadapi kematian seketika.
Ketika dia telah binasa, burung puyuh pun keluar, berseru, “Saya telah melihat kekuatan musuhku!” dan bertengger di atas dada musuhnya, dia mengeluarkan suara yang sangat gembira dengan kata-kata yang ada di bait kedua:—
Sekarang saya gembira akan kesuksessanku:
rencana yang cerdik kudapatkan.
Untuk melenyapkan musuhku dengan tetap berada di tempat sendiri.

Di akhir uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kesimpulan kebenaran-kebenarannya, banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian:—“Pada masa itu, Devadatta adalah elang, dan burung puyuh adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
42 Mara adalah kematian, dan digunakan oleh Sang Buddha untuk Yang Terjahat.
43 Jalan yang sudah rusak; tertulis ‘ cakkhu-adi-vinneya’.

SAMIDDHI-JĀTAKA

“Petapa peminta-minta, apakah Anda tahu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Taman Tapoda dekat Rājagaha, tentang Thera Samiddhi.
Suatu hari sang thera bergejolak dengan semangat sepanjang malam. Saat fajar tiba, dia mandi; kemudian berdiri dengan jubah luarnya, sambil memegang yang lainnya di tangannya, ketika dia mengeringkan badannya, yang semuanya kuning seperti emas. Sama seperti sebuah patung keemas-emasan dari hasil karya yang elok, keindahan yang sempurna; [57] dan karena itulah dia dipanggil Samiddhi.
Seorang putri keturunan dewa, melihat kecantikan sang thera yang tidak ada bandingannya, jatuh hati kepadanya dan kemudian menyapanya. “Anda masih muda, Bhikkhu, dan segar, seorang remaja, dengan rambut hitam, terberkatilah Anda! Anda muda, Anda sangat menawan dan enak dipandang mata. Mengapa laki-laki seperti Anda beralih menjadi orang yang meninggalkan keduniawian, tanpa sedikit kesenangan? Cicipilah kesenangan terlebih dahulu dan kemudian baru Anda menjadi orang yang meninggalkan keduniawian dan lakukan apa yang dilakukan oleh para petapa!” Dia menjawab, “Bidadari, suatu waktu saya akan mati dan waktu kematiannya saya tidak tahu; waktu itu tersembunyi dari saya. Oleh karena itu dalam kesegaran masa mudaku, saya akan menjalankan kehidupan menyendiri dan mengakhiri penderitaan.”
Menemukan bahwa dia tidak mendapat dukungan, dewi itu pun menghilang seketika. Thera itu pulang dan menceritakan kepada Sang Guru mengenai hal itu. Kemudian Sang Guru berkata, “Tidak hanya sekarang, Samiddhi, Anda digoda oleh seorang bidadari dewa. Pada zaman dahulu, seperti sekarang, para bidadari menggoda para petapa.” Dan kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta menjadi putra seorang brahmana di Kāsi. Beberapa tahun berlalu, dia berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan menjalankan kehidupan suci sebagai petapa; dan dia tinggal di Himalaya, dekat sebuah danau alami, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi.
Sepanjang malam, dia telah bergejolak dalam semangat; dan pada saat fajar dia mandi dan dengan sehelai pakaian kulit kayu dan yang lainnya di tangan, dia berdiri, membiarkan air di badannya kering. Saat itu seorang putri keturunan dewa melihat keindahan yang tidak ada bandingannya, dan jatuh hati kepadanya. Menggodanya, dia mengulangi bait pertama:—
Petapa peminta-minta, apakah Anda tahu
kesenangan apa yang dapat ditunjukkan oleh dunia?
Sekarang adalah waktunya
—tidak ada yang lain: kesenangan dahulu
—Petapa peminta!
[58] Bodhisatta mendengar sapaan bidadari itu dan kemudian membalas, menerangkan tujuannya, dengan mengulangi bait kedua:—
Waktu itu tersembunyi—saya tidak dapat mengetahui saat saya harus pergi:
Sekarang adalah waktunya: tidak ada yang lain:
Jadi saya sekarang ini menjadi petapa peminta41.
Ketika bidadari mendengar kata-kata Bodhisatta, dia pun menghilang seketika.


Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bidadari itu adalah orang yang sama di dalam dua kisah itu, dan petapa pada saat itu adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
41 Komentator, dalam menjelaskan bagian ini, menambahkan bait yang lain: “Hidup, sakit, mati, tua, lahir kembali — kelima ini tersembunyi dalam dunia ini.”

UPASĀḶHA-JĀTAKA

“Empat belas ribu Upasāḷha,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana yang bernama Upasāḷha (Upasalha) yang baik dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekuburan.
Dikatakan bahwasanya orang ini kaya raya, tetapi meskipun dia hidup mengenal wihara, dia tidak menunjukkan sedikitpun kebaikan terhadap para Buddha, karena mengikuti pandangan salah. Akan tetapi, dia memiliki seorang putra yang bijaksana dan cerdas.
Di saat dia menjadi tua, dia berkata kepada anaknya, “Jangan biarkan tubuhku dibakar di pekuburan tempat orang buangan biasa dibakar, tetapi carilah tempat yang tidak tercemar untukku dibakar.” “Ayah,” kata anak muda ini, “saya tidak tahu kuburan mana yang cocok untuk membakar tubuhmu di dalamnya. Ayahku yang baik, bimbinglah dan tunjukkanlah kepadaku tempat seharusnya saya membakar jasadmu nantinya.” Lalu brahmana itu setuju dan membimbing anaknya keluar dari kota menuju ke atas puncak Gunung Burung Hering dan kemudian berkata, “Di sini, Anakku, tidak ada orang buangan yang pernah dibakar, di sini saya ingin Anda membakarku.” Kemudian dia turun bersama anaknya.
Pada hari itu, malamnya, Sang Guru meninjau keadaan dunia untuk mencari orang-orang yang dapat dibantu-Nya, dan melihat ayah ini dan anaknya telah siap mencapai Sotāpanna. Lalu Beliau mengikuti jalan mereka, dan datang ke kaki bukit, seperti seorang pemburu menunggu mangsanya, di sana Dia menunggu mereka turun dari puncak.
Sesampainya mereka di bawah, mereka bertemu Sang Guru. Beliau memberi salam kepada mereka, dan bertanya, “Ke manakah Anda, Brahmana?” Anak muda itu memberitahu Sang Guru tentang perjalanannya. “Ikutlah ke sini kalau demikian,” kata Sang Guru, “tunjukkan tempat yang diberitahukan ayahmu.” Lalu mereka mendaki gunung. “Di mana tempatnya?” Beliau bertanya. “Guru”, kata anak muda, “tempat yang berada di antara tiga bukit ini adalah tempat yang ditunjukannya kepadaku.” [55] Sang Guru berkata, “ini bukan pertama kalinya, Anak Muda, kalau ayahmu pintar dalam hal pekuburan, dia sama seperti dahulu. Sekarang juga dia menunjukkan kepadamu tempat ini sebagai tempat untuk pembakaran; dahulu kala, dia juga menunjukkan tempat yang sama persis.” Dan atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, di tengah Kota Rājagaha, hiduplah seorang brahmana yang sama, Upasāḷhaka40, dan dia mempunyai anak yang sama persis. Pada waktu itu, Bodhisatta telah lahir di dalam keluarga brahmana di Magadha, dan ketika pendidikannya selesai, dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan tinggal lama di kawasan Himalaya, melatih meditasi (jhana).
Suatu waktu dia meninggalkan pertapaannya di puncak Gunung Burung Hering untuk memperoleh garam dan rempah-rempah. Ketika dia pergi, brahmana ini berbicara dengan cara yang sama kepada anaknya, seperti sekarang ini. Anak ini memintanya untuk menunjukkan sebuah tempat yang cocok, dan dia datang dan menunjukkan tempat yang sama persis. Ketika turun dengan anaknya, dia melihat Bodhisatta, dan menghampirinya, dan Bodhisatta memberi pertanyaan yang sama persis, dan menerima jawaban sang anak. “Ah,” katanya, “kita akan melihat apakah tempat yang ditunjukkan ayahmu itu tercemar atau tidak,” dan membuat mereka pergi dengannya ke atas puncak lagi. “Tempat di antara tiga bukit ini,” kata anak  muda, “adalah suci.” “Anakku,” Bodhisatta membalas, “tidak ada akhir untuk orang yang telah dibakar persis di tempat ini. Ayahmu sendiri, lahir sebagai seorang brahmana, seperti sekarang, di Rājagaha dan memakai nama yang persis sama Upasāḷha, telah dibakar di bukit ini selama empat belas ribu kelahiran. Di seluruh bumi tidak bisa ditemukan sebuah tempat yang tidak pernah ada mayat yang dibakar, yang belum pernah menjadi kuburan, dan yang belum pernah ditutupi oleh tengkorak-tengkorak.”
Ini dipahami dengan kesaktian mengetahui kehidupan-kehidupan masa lampau, dan kemudian dia mengulangi dua bait berikut:—[56]
Empat belas ribu Upasāḷha telah dibakar di tempat ini,
tidak juga di dunia luas, tempat kematian itu tidak ada.

Di mana ada kebaikan, kebenaran, dan keadilan,
kesederhanaan dalam tingkah laku dan pengendalian diri,
maka di sana tidak ada kematian dapat menemukan sebuah pintu masuk,
ke sana semua yang berjiwa suci berakhir.
Ketika Bodhisatta telah memberikan wejangan kepada sang ayah dan anak, dia mengembangkan kediaman luhur dan kemudian terlahir kembali di alam brahma.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, sang ayah dan anak mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Sang ayah dan anak sama persis dengan yang sekarang, dan petapa itu adalah diri-Ku sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
40 tambahan akhiran ini tidak membuat perbedaan praktis di dalam kata: sering dipakai pada kata-kata sifat dan kata-kata benda tanpa mempengaruhi artinya. Tetapi kadang mempunyai sedikit pengaruh.