“Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin,” dan seterusnya. Kisah ini
diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang ibunda
dari Thera Kassapa. Seperti yang diketahui, ia adalah putri dari seorang
saudagar kaya di Rājagaha, ia sangat menjunjung kebaikan dan memandang
rendah hal-hal yang bersifat duniawi; ia telah mencapai kelahiran
terakhirnya, di dalam dirinya seperti nyala lampu dalam kegelapan,
terpancar keyakinan untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Begitu
memahami keinginannya, ia tidak lagi menikmati kesenangan indriawi, yang
ada hanya niat untuk meninggalkan keduniawian. Untuk mencapai
keinginannya, ia mengatakan kepada ibu dan ayahnya, “Orang tuaku yang
tercinta, saya tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan keduniawian
ini, saya merasa malu jika tidak menjalankan ajaran Buddha. Biarkan saya
menjadi anggota Sanggha.”
“Apa, Anakku? Kita adalah keluarga yang sangat kaya, dan kamu adalah
putri tunggal kami. Kamu tidak boleh menjadi anggota Sanggha.”
Gagal mendapatkan persetujuan orang tuanya walaupun ia mengulangi
permintaan itu lagi dan lagi, akhirnya ia berpikir, “Kalau begitu,
setelah saya menikah, saya akan meminta persetujuan dari suami saya dan
menjadi anggota Sanggha.” Setelah dewasa ia menikah, ia menjadi seorang
istri yang berbakti, dan menjalani hidup dengan penuh kebaikan dan
kebajikan
41 di rumah barunya. Telah tiba saat baginya untuk melepaskan impiannya, walaupun ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya.
Saat sebuah perayaan berlangsung di kota, [146] semua orang
mendapatkan libur, kota itu dihiasi menyerupai kota dewa. Namun ia,
bahkan di saat puncak perayaan, tidak berdandan maupun memakai
perhiasan, ia hanya tampil seadanya seperti hari-hari biasa. Suaminya
bertanya, “Istriku, semua orang sedang bergembira, mengapa engkau tidak
bersemangat?”
“Pemimpin dan Tuanku,” ia menjawab, “badan ini diisi dengan tiga
puluh dua komponen, jadi mengapa ia harus dihias? Badan ini bukan
cetakan dari dewa maupun brahma; tidak terbuat dari emas, permata, atau
kayu cendana; tidak dikandung dalam bunga teratai, baik yang putih,
merah maupun biru; tidak
diisi dengan balsem keabadian. Tidak, badan ini akan rusak,
dilahirkan oleh manusia biasa, mutu badan ini ditentukan oleh apa yang
ia pakai dan yang dihabiskannya, ia akan hancur dan binasa karena
bersifat sementara; sudah pasti ia akan dikubur, dan juga dipenuhi
dengan nafsu keinginan; sumber penderitaan dan ratapan kita; tempat
tinggal segala jenis penyakit, dan tempat dimana kita menimbun karma. Di
dalamnya juga kotor — selalu mengeluarkan kotoran. Yah, seperti yang
dapat dilihat semua orang, diakhiri oleh kematian, dibawa ke pemakaman,
kemudian dijadikan tempat tinggal bagi cacing-cacing
42 [147].
Apa yang dapat saya peroleh, Suamiku, dengan membuatnya menarik?
Bukankah mendandaninya sama dengan menghiasi bagian luar dari kotoran
yang telah dibungkus?”
“Istriku,” balas saudagar muda itu, “jika engkau menganggap tubuh ini
begitu menjijikkan, mengapa engkau tidak menjadi seorang bhikkhuni
saja?”
“Jika saya diterima, Suamiku, saya akan bergabung secepat mungkin.”
“Baiklah,” jawab suaminya, “saya akan membuatmu diterima oleh Sanggha
Bhikkhuni.” Suaminya memberikan sejumlah hadiah dan bersikap ramah
terhadap Sanggha, mengirimkan sejumlah orang untuk mendampingi istrinya
di kuti, ia pun diterima menjadi bhikkhuni, — namun dalam Sanggha yang
dipimpin oleh Devadatta. Bagian yang baik adalah, ia merasa bahagia
karena keinginannya untuk menjadi bhikkhuni telah terpenuhi.
Dengan berlalunya waktu, para bhikkhuni melihat ada perubahan dalam
dirinya, keringat di tangan dan kakinya serta badan yang semakin gemuk,
berkata, “Ayya, kamu terlihat seperti orang yang sedang mengandung; apa
yang telah terjadi sebenarnya?”
“Saya tidak tahu, Ayya; saya hanya tahu saya sedang menjalankan hidup yang suci.”
Para bhikkhuni membawanya menghadap Devadatta, berkata, “Yang Mulia,
wanita ini, yang menjadi bhikkhuni dengan persetujuan yang diberikan
secara berat hati oleh suaminya, terlihat sedang mengandung. Namun
apakah ini terjadi sebelum atau sesudah ia menjadi bhikkhuni, tidak bisa
kami katakan. Apa yang harus kami lakukan?”
Belum menjadi Buddha dan tidak mempunyai kebaikan hati, cinta kasih
dan belas kasih, Devadatta berpikir, “Akan menjadi kabar yang merusak
citraku jika hal ini tersebar keluar, bahwa salah seorang bhikkhuni
pengikutku sedang mengandung dan aku mengampuni pelanggaran yang
dilakukannya. Sudah jelas apa yang harus aku lakukan — aku harus
mengeluarkannya dari Sanggha.” Tanpa melakukan penyelidikan terlebih
dahulu, tangannya bergerak ke depan seakan mendorong tumpukan batu, ia
berkata, “Pergi, usir wanita ini !”
Menerima jawaban itu, mereka bangkit, memberikan hormat, kemudian
kembali ke kuti mereka. Wanita itu berkata kepada para bhikkhuni, “Ayya,
Devadatta bukanlah Sang Buddha. Saya tidak mengambil sumpah terhadap
Devadatta, namun terhadap Buddha, yang terkemuka di seluruh dunia.
Jangan rampas kesempatan yang telah saya peroleh dengan susah payah ini;
bawa saya ke Jetawana untuk menghadap Sang Guru.” Maka mereka
membawanya ke Jetawana, dengan menempuh perjalanan sejauh empat puluh
lima yojana dari Rājagaha, setelah tiba di sana, mereka memberikan
penghormatan kepada Sang Guru dan memaparkan kejadian tersebut kepada
Beliau.
Sang Guru berpikir, “Sekalipun anak ini dikandung sewaktu ia masih
umat awam, hal ini akan memberi kesempatan kepada orang-orang untuk
mengatakan bahwa Petapa Gotama [148] menerima bhikkhuni yang diusir
oleh Devadatta. Untuk menghindari hal tersebut, kasus ini harus
dibicarakan di hadapan raja dan pengadilannya.” Maka keesokan harinya
Beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anāthapiṇḍika dan anaknya,
Visākhā – upasika yang terkenal dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.
Sorenya, keempat kelompok siswa Sang Buddha telah berkumpul – bhikkhu,
bhikkhuni, upasaka, dan upasika – Beliau berkata kepada Thera Upāli,
“Pergilah untuk menjelaskan masalah bhikkhuni tersebut di hadapan
keempat kelompok siswa-Ku.”
“Akan segera saya laksanakan, Bhante,” jawab thera itu, dan segera
pergi ke tempat mereka berkumpul. Di sana, ia duduk di tempatnya,
kemudian memanggil Visākhā – upasika yang merupakan siswa Sang Buddha,
di bawah tatapan raja, memintanya untuk memimpin penyelidikan tersebut,
dengan berkata, “Pertama, tegaskan pada tanggal berapa bulan berapa
wanita ini bergabung dalam Sanggha Bhikkhuni, Visākhā; kemudian hitung
apakah ia mengandung sebelum atau sesudah tanggal tersebut.”
Untuk melaksanakan perkataan thera itu, para wanita memasang tirai
membentuk penyekat, ke sanalah Visākhā dan wanita itu pergi. Dengan
memperhatikan tangan, kaki, pusar, dibandingkan dengan hari dan bulan,
Visākhā mendapatkan bahwa kehamilan itu terjadi sebelum wanita itu
menjadi bhikkhuni. Hal ini kemudian di sampaikan kepada Thera Upāli,
yang mengumumkan bahwa bhikkhuni tersebut tidak bersalah di hadapan
semua orang yang berkumpul di tempat tersebut. Setelah dinyatakan tidak
bersalah, ia memberikan penghormatan kepada Sanggha dan Sang Guru,
kemudian kembali ke tempat tinggal mereka.
Ketika waktu untuk melahirkan telah tiba, ia melahirkan seorang bayi
laki-laki yang penuh semangat, seperti apa yang pernah ia minta di kaki
Buddha Padumuttara di kelahiran lampau. Suatu hari, saat raja melewati
kuti itu, ia mendengar suara tangisan bayi dan bertanya kepada para
menterinya mengapa terdapat bayi di kuti itu. Para menteri yang
mengetahui kejadian tersebut menjelaskan kepada raja bahwa itu adalah
tangisan dari bayi yang dilahirkan oleh bhikkhuni tersebut. “Tuan-tuan,”
kata raja, “mengasuh anak akan menghalangi para bhikkhuni menjalani
kehidupan suci mereka, biar kita yang bertanggung jawab mengasuh anak
itu.” Bayi itu kemudian diambil dari ibunya atas perintah raja. Ia pun
diasuh layaknya seorang pangeran. Saat pemberian nama tiba, ia diberi
nama Kassapa, namun lebih dikenal sebagai Pangeran Kassapa, karena ia
dibesarkan layaknya seorang pangeran.
Pada usia tujuh tahun, ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan
Sang Guru, dan menjadi bhikkhu setelah ia cukup dewasa. Dengan
berlalunya waktu, ia menjadi terkenal karena kemampuannya dalam
menjelaskan Dhamma secara terperinci. Sang Guru memberinya hak istimewa
dengan mengatakan, “Para Bhikkhu, di antara para siswa-Ku, Kassapa
adalah orang pertama yang paling fasih dalam menyampaikan Dhamma.”
Kemudian, melalui pengamalan Vammika Sutta
43 ia mencapai
tingkat kesucian Arahat. Demikian pula dengan ibunya, bhikkhuni itu,
dengan pandangan yang jernih berhasil mencapai jhana tertinggi. Kassapa
adalah seorang thera yang bercahaya dalam ajaran Buddha, [149] laksana
bulan purnama di langit. Suatu siang, setelah Sang Tathāgata kembali
dari pindapata, Beliau membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, kemudian
masuk ke dalam kamarnya yang wangi (gandhakuṭī) untuk beristirahat.
Setelah khotbah berakhir, para bhikkhu menghabiskan sepanjang siang, di
luar waktu istirahat siang mereka hingga menjelang sore hari saat
berkumpul di Dhammasabhā (Balai Kebenaran), membicarakan hal berikut ini
: — “Awuso, Devadatta, yang bukan seorang Buddha dan tidak memiliki
kemurahan hati, cinta kasih dan belas kasih, hampir saja mengacaukan
hidup Thera Kassapa dan hidup ibunya yang juga seorang bhikkhuni itu.
Namun, Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, Raja Dhamma
yang sempurna dalam kebajikan, cinta kasih dan belas kasih, telah
menyelamatkan hidup mereka.” Saat mereka sedang memuji tindakan Sang
Buddha, Beliau memasuki balai itu dengan kemuliaan seorang Buddha.
Setelah duduk di tempatnya, Beliau menanyakan apa yang sedang mereka
bicarakan pada saat itu. “Tentang kebaikan-Mu, Bhante,” jawab mereka,
lalu menceritakan semua pembicaraan mereka kepada Beliau.
“Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sang
Tathāgata membuktikan dan menyelamatkan hidup mereka berdua; hal yang
sama juga terjadi di kehidupan lampau.”
Kemudian, atas permintaan para bhikkhu, Beliau menjelaskan apa yang tidak diketahui mereka karena adanya kelahiran kembali.
____________________
Sekali waktu Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir
sebagai seekor rusa. Saat dilahirkan, ia berwarna keemasan, matanya
bulat bagaikan batu permata; tan-duknya berkilau keperakan; bibirnya
merah bagai sekumpulan kain merah tua; kuku di keempat kakinya terlihat
seperti di pernis; ekornya bagaikan ekor yak; dan tubuhnya sebesar anak
kuda. Bersama lima ratus ekor rusa lainnya, ia tinggal di sebuah hutan,
ia di kenal sebagai Raja Rusa Beringin (Nigrodhamiga). Di dekat mereka,
terlihat seekor rusa lain bersama lima ratus ekor rusa pendampingnya,
rusa tersebut bernama Rusa Cabang (Sākhamiga), juga berwarna keemasan
seperti Bodhisatta.
Pada masa itu, Raja Benares sangat suka berburu dan selalu memakan
daging setiap kali ia makan. Setiap hari ia mengumpulkan semua
penduduknya, baik orang desa maupun orang kota, untuk meninggalkan
pekerjaan mereka dan pergi berburu bersamanya. Rakyat kemudian berpikir,
“Raja menghentikan semua kegiatan kami. Kami harus [150] menyebarkan
makanan dan menyediakan air minum untuk rusarusa yang berada di taman
peristirahatan raja, kemudian menggiring sejumlah rusa liar ke tempat
tersebut, mengurung mereka di dalam dan menyerahkan mereka kepada raja!”
Maka mereka menyebarkan rumput untuk rusa-rusa di taman peristirahatan
raja, menyediakan air minum, dan membuka pintu gerbang selebar mungkin.
Kemudian mereka meminta orangorang kota masuk ke dalam hutan dengan
membawa tongkat dan semua jenis senjata lainnya untuk mencari rusa.
Mereka mengelilingi hutan itu dengan radius satu yojana, bertujuan untuk
menangkap rusa-rusa yang berada dalam lingkaran yang mereka buat. Saat
berkeliling, mereka tiba di tempat yang sering didatangi oleh kawanan
Rusa Beringin dan Rusa Cabang. Begitu melihat kawanan rusa itu, mereka
mulai memukuli pepohonan, rerumputan dan tanah dengan menggunakan
tongkat mereka, hingga akhirnya kawanan rusa itu berhasil mereka giring
keluar dari sarang mereka. Setelah itu mereka membuat suara hiruk pikuk
dengan memukulkan pedang, tongkat dan busur mereka untuk menggiring
kawanan rusa tersebut ke taman peristirahatan raja, dan segera menutup
pintu gerbang tempat tersebut. Kemudian mereka menghadap raja, berkata,
“Paduka, Anda memerintahkan kami menghentikan semua kegiatan kami dan
meminta kami pergi berburu; sekarang kami telah menggiring sejumlah
besar rusa untuk memenuhi taman peristirahatanmu. Mulai sekarang,
jadikanlah mereka santapanmu.”
Raja segera mengunjungi taman peristirahatan, saat mengamati kawanan
rusa itu, ia melihat dua ekor rusa yang berwarna keemasan, dan
menganugerahkan kekebalan terhadap hukuman mati kepada mereka.
Kadang-kadang raja mengunjungi tempat itu, menembaki salah seekor rusa
lalu membawa bangkai rusa itu pulang; Kadang-kadang, koki istana yang
akan datang untuk membunuh salah seekor kawanan rusa itu. Begitu melihat
busur, kawanan rusa itu berlari ketakutan untuk menyelamatkan nyawa
mereka; setelah mendapat dua hingga tiga luka di badan, mereka menjadi
lemas dan jatuh pingsan, kemudian dibunuh. Kawanan rusa ini menceritakan
hal tersebut kepada Bodhisatta, ia kemudian mengundang Rusa Cabang dan
berkata, “Teman, sejumlah rusa telah dibunuh; walaupun mereka tidak bisa
lolos dari kematian, paling tidak mereka tidak perlu menerima luka yang
tidak perlu mereka derita. Mereka akan menerima kematian
44
secara bergiliran. Satu hari dari kawananku dan keesokan harinya giliran
kawananmu, — rusa yang mendapat giliran harus pergi ke tempat
pelaksanaan hukuman mati itu dan berbaring dengan posisi kepala berada
di balok hukuman mati tersebut. Dengan cara ini, rusa-rusa yang lain
tidak perlu menderita luka.” Rusa Cabang itu setuju; mulai saat itu,
rusa yang mendapat giliran, pergi ke sana [151] dan berbaring dengan
leher berada di balok tersebut. Koki yang datang hanya akan membunuh
korban yang telah menunggu kematiannya.
Suatu hari, giliran itu jatuh ke tangan seekor rusa betina dari
kawanan Rusa Cabang yang sedang mengandung. Ia mencari Rusa Cabang dan
berkata, “Tuanku, saya sedang mengandung. Setelah saya melahirkan, kami
berdua akan menerima giliran kami. Biarkanlah saya melompati giliran
kali ini.” “Tidak, saya tidak bisa mengganti giliranmu dengan rusa yang
lain,” jawabnya, “kamu harus menerima peruntunganmu sendiri. Pergilah!”
Tidak mendapat bantuan dari Rusa Cabang, rusa betina itu mencari
Bodhisatta dan menceritakan masalah yang ia hadapi. Bodhisatta menjawab,
“Baik, pergilah, saya berjanji engkau telah melewati giliran tersebut.”
Bersamaan itu, ia pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati dan
membaringkan dirinya dengan kepala berada di atas balok. Koki berteriak
saat melihat Rusa Beringin itu, “Mengapa Raja Rusa yang mendapat
kekebalan itu bisa berada di sini? Apa maksud kejadian ini?” Ia segera
berlari menemui raja dan menceritakan hal tersebut. Mendengar kejadian
itu, raja naik kereta perangnya dan tiba bersama sejumlah pengawal.
“Raja Rusa temanku,” ia berkata sambil memandang Bodhisatta, “bukankah
saya telah menjanjikan kehidupan untukmu? Mengapa engkau bisa berbaring
di sini?”
“Paduka, seekor rusa betina yang sedang hamil tua datang menghadapku,
memohon agar gilirannya digantikan oleh rusa lain; karena saya tidak
bisa memindahkan kematian dari satu rusa ke rusa yang lain, maka saya
menukarkan nyawa saya untuknya dan kematiannya untuk saya dengan
berbaring di sini. Jangan berpikir ada alasan lain untuk tindakan ini,
Paduka.”
“Raja Rusa Emas,” kata Raja, “saya belum pernah melihat, bahkan di
antara para manusia, seseorang dengan kebaikan hati, cinta kasih dan
belas kasih sebesar yang engkau miliki. Hal ini membuat saya merasa
senang terhadap keberadaanmu. Bangkitlah! Saya bebaskan nyawamu dan
nyawa rusa betina itu.”
“Meskipun dua nyawa telah diselamatkan, apa yang akan terjadi pada
rusa-rusa lainnya, wahai Raja Para Manusia?” “Akan saya bebaskan juga
nyawa mereka, Raja Rusa.” “Paduka, hanya rusa di taman peristirahatanmu
yang bebas dari hukuman mati, apa yang akan terjadi pada semua rusa lain
yang ada?” “Nyawa mereka akan saya bebaskan juga, Raja Rusa.” “Paduka,
rusa-rusa akan aman; namun, apa yang akan terjadi pada makhluk berkaki
empat lainnya?” [152] “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.”
“Paduka, makhluk-makhluk berkaki empat akan merasa aman, namun apa yang
akan terjadi pada kawanan burung?” “Nyawa mereka juga akan saya
bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, burung-burung akan aman, bagaimana dengan
ikan-ikan yang hidup di air?” “Saya akan membebaskan nyawa mereka juga,
Raja Rusa.”
Setelah memohon pengampunan Raja atas nama seluruh makhluk hidup,
makhluk yang agung itu pun bangkit, ia mengukuhkan lima latihan
moralitas (Pañca Sīla) kepada raja, dan berkata, “Berjalanlah di jalan
kebenaran, Raja yang agung. Berjalan di jalan kebenaran dan keadilan
untuk orang tua, anakanak, orang-orang kota dan para penduduk desa,
sehingga saat raga ini hancur, engkau akan memasuki alam bahagia.”
Dengan keagungan dan ketulusan yang merupakan tanda-tanda dari seorang
Buddha, ia membabarkan Kebenaran kepada raja. Selama beberapa hari ia
tinggal di taman peristirahatan raja atas perintah raja, kemudian
kembali ke hutan bersama kawanan rusa pengikutnya.
Rusa betina itu melahirkan seekor anak rusa yang cantik, seperti
kuncup teratai yang hendak mekar. Anak rusa itu sering bermain bersama
Rusa Cabang. Melihat itu, ibunya berkata, “Anakku, jangan bermain
bersama Rusa Cabang, bermainlah bersama kawanan Rusa Beringin.” Dengan
tujuan menasihati anaknya, ia mengulangi syair berikut ini : —
Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin,
dan hindari bersama kawanan Rusa Cabang;
Lebih banyak kebahagiaan, jauh dari kematian, Anakku,
bersama dengan Rusa Beringin, dibanding syarat-syarat hidup yang berlebihan dari Rusa Cabang.
Setelah itu, rusa-rusa yang mendapat kekebalan, makan hasil panen
manusia, dan para manusia, yang mengingat kekebalan yang dianugerahkan
kepada mereka, tidak berani memukul atau menggiring pergi rusa-rusa itu.
Mereka berkumpul di ruang pengadilan kerajaan dan menyampaikan masalah
itu kepada raja. Raja berkata, “Saat Rusa Beringin mendapatkan
bantuanku, [153] saya telah menjanjikan anugerah untuknya. Lebih baik
saya melepaskan kerajaan dari pada menarik kembali janji yang telah saya
ucapkan. Pergilah! Tidak boleh ada orang di kerajaanku yang melukai
rusa-rusa itu.”
Saat kabar itu terdengar oleh Rusa Beringin, ia mengumpulkan semua
kawanan rusanya, dan berkata, “Mulai saat ini, kalian tidak boleh makan
hasil panen para manusia.” Setelah memberi larangan pada rusa-rusa itu,
ia mengirimkan pesan kepada manusia, yang berbunyi, “Mulai hari ini,
para petani tidak perlu memagari ladang mereka, namun berikan tanda
berupa daun yang diikatkan di sekeliling ladang.” Sebagaimana yang kita
ketahui, sejak adanya ide mengikat dedaunan untuk menandai
ladang-ladang, tidak ada lagi rusa yang memasuki ladang-ladang yang
telah ditandai. Semua itu berkat petunjuk yang diberikan oleh
Bodhisatta.
Setelah memberikan nasihat kepada kawanan rusa itu, dan setelah hidup
cukup lama, akhirnya Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali sesuai
dengan karmanya. Demikian juga dengan raja yang mematuhi ajaran
Bodhisatta, setelah menghabiskan hidup dengan melakukan kebaikan, ia
meninggal dunia dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya.
____________________
Setelah uraian itu berakhir, Sang Buddha mengulangi bahwa saat ini,
sama di seperti di kelahiran lampau, Beliau telah menyelamatkan sepasang
nyawa, kemudian Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Setelah itu
Sang Bhagawan mempertautkan kedua kisah tersebut, dan menjelaskan
kelahiran itu dengan berkata, “Devadatta adalah Rusa Cabang, dan
pengikutnya adalah pengikut Rusa Cabang; bhikkhuni itu adalah rusa
betina di masa itu, dan Kassapa adalah anak rusa betina itu; Ānanda
adalah raja tersebut; dan Saya sendiri adalah Raja Rusa Beringin.”
[Catatan : Jātaka ini berhubungan dengan Milindapañho (hal.289 dari
terjemahan Rhys Davids), dan tertera di Plates XXV.(1) dan XLIII.(2)
dari Stupa of Bharhut karya Cunningham. Lihat juga Huen Thsang,II.361
karya Julien. Untuk syair dan cerita pembuka, lihat Dhammapada,
hal.327-330.]
Catatan kaki :
41 Mungkin juga, “dengan penuh keindahan.”
42 Rentetan yang panjang dari syair tentang kejijikan dari anggota tubuh telah dihilangkan.
43 Sutta kedua puluh tiga dari Majjhima-Nikāya.
44 Untuk dhammagaṇḍikā lihat Jāt.II.124;III.41