Kamis, 29 Maret 2012

TITHA-JĀTAKA

“Gantilah tempatnya olehmu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berada di Jetawana, mengenai seorang mantan tukang emas yang telah menjadi bhikkhu dan tinggal bersama sang Panglima Dhamma (Sāriputta).
Hanya seorang Buddha yang memiliki pemahaman isi hati dan dapat membaca pikiran manusia. Oleh karena itu, tanpa kekuatan itu, sang Panglima Dhamma hanya dapat memahami sedikit isi hati dan pikiran dari teman satu ruangannya, memberikan objek perenungan terhadap noda pikiran kepadanya. Inilah alasan mengapa objek itu tidak begitu bermanfaat baginya. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, ia dilahirkan selama lima ratus kali berturut-turut sebagai seorang tukang emas. Akibat terus menerus melihat keindahan emas murni dalam waktu yang begitu lama, objek perenungan yang diberikan oleh Thera Sāriputta menjadi tidak begitu membantunya. Ia menghabiskan waktu empat bulan tanpa mendapatkan kemajuan apa pun selain yang berhasil dicapainya saat permulaan latihan. Mengetahui bahwa ia tidak mampu membantu teman satu ruangannya mencapai tingkat kesucian Arahat, sang Panglima Dhamma berpikir, “Tidak ada orang lain lagi, selain Buddha sendiri, yang mampu memperbaiki hal ini. Saya akan membawanya menemui Sang Buddha.” Maka saat fajar menyingsing, ia membawa bhikkhu itu menemui Sang Buddha.
“Ada apa, Sāriputta?” tanya Sang Guru, “Apa yang membuatmu datang bersama bhikkhu ini?” “Bhante, saya memberikan sebuah objek perenungan untuknya. Setelah menghabiskan waktu empat bulan, ia masih belum mencapai kemajuan apa pun selain hasil yang dicapainya di awal pelatihan; Saya membawanya menemui Anda, karena berpikir tidak ada orang lain selain seorang Buddha yang dapat mengubah keadaan ini.” “Objek meditasi apa yang engkau berikan padanya, Sāriputta?” “Objek perenungan terhadap noda pikiran, Bhagawan.” “Sāriputta, engkau masih belum memiliki kemampuan untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Engkau boleh pergi terlebih dahulu, dan kembali di sore hari untuk menjemput teman satu ruanganmu ini.”
Setelah meminta thera senior itu pergi, Sang Guru memberikan jubah dalam dan luar yang bagus kepadanya, membuat bhikkhu itu tetap berada di sisinya saat Beliau pergi ke kota melakukan pindapata, melihat Beliau menerima berbagai macam makanan yang didanakan. Saat kembali ke wihara, ia dikelilingi oleh para bhikkhu, sementara Sang Bhagawan beristirahat siang [183] di ruangan yang wangi (gandhakuṭi). Di sore harinya, Sang Guru bersama bhikkhu itu berjalan di sekitar wihara tersebut, Beliau menciptakan sebuah kolam dengan rumpun bunga teratai di dalamnya, dimana teratai itu terlihat sangat indah. “Duduklah di sini, Bhikkhu,” kata Beliau, “dan tataplah bunga ini.” Meninggalkan bhikkhu itu disana, Beliau kembali ke ruangan-Nya yang wangi.
Bhikkhu itu terus menerus menatap bunga itu. Sang Bhagawan membuat bunga tersebut layu. Saat bhikkhu itu masih menatap bunga tersebut, bunga tersebut mulai melayu; kelopaknya berguguran, mulai dari bagian pinggirnya, sejenak kemudian, semua kelopaknya menghilang, berikutnya, benang sari bunga tersebut mulai berjatuhan hingga bagian yang tersisa hanyalah jantung bunga. Melihat proses tersebut, bhikkhu ini berpikir, “Walaupun awalnya bunga ini begitu cantik dan segar; namun akhirnya, warnanya pudar, kelopak dan benang sarinya berguguran, hingga yang tersisa hanyalah jantung bunga. Jika pembusukan dapat menimpa bunga teratai yang seindah ini; apa yang tidak akan menimpa jasmaniku? Semua benda yang terbentuk dari penggabungan beberapa komponen adalah tidak kekal adanya!” Dengan pikiran tersebut, ia mencapai pencerahan.
Mengetahui pikiran bhikkhu itu telah tercerahkan, Sang Guru yang sedang duduk di ruangan wangi itu mengirimkan seberkas bentuk yang mirip dirinya ke tempat tersebut, dan mengucapkan syair ini : —
Buanglah rasa cinta terhadap diri sendiri, dengan tangan
yang kau gunakan untuk memetik
bunga teratai di musim gugur. Persiapkan hatimu
untuk ini, tidak untuk yang lainnya; Jalan menuju kedamaian yang sempurna,
dan menuju pemadaman (terhadap nafsu keinginan)
yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Pada akhir syair ini, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat. Dengan pikiran bahwa ia tidak akan dilahirkan lagi, tidak dipusingkan oleh keadaan kehidupan dalam bentuk seperti apa pun setelah ini, dengan sepenuh hati ia mengucapkan syair berikut ini :
Ia yang hidup dengan pikiran yang matang;
ia yang telah bersih dan bebas dari segala jenis kekotoran,
dengan raga yang terakhir ini; Ia menjalani kehidupan yang suci,
adanya pemahaman yang mendalam, menjadikan ia sebagai seorang raja yang berkuasa; —
Ia, seperti bulan yang pada akhirnya memenangkan
jalannya dari cengkeraman Rāhu61,
telah memenangkan pembebasan yang tertinggi.
Kebodohan yang menutupiku, yang dibentuk oleh
khayalan yang timbul akibat adanya kegelapan, telah ditolak olehku ;
—Seperti, tertipu oleh ribuan sinar yang disorotkan oleh matahari,
yang menghiasi langit dengan siraman cahaya.
Setelah syair dan ungkapan kebahagiaan yang baru saja diucapkannya, ia menemui Sang Bhagawan dan memberikan penghormatan kepada Beliau. Thera Sāriputta yang datang setelahnya, memberikan penghormatan kepada Sang Guru, dan pergi bersama teman satu ruangannya.
Saat para bhikkhu mendengar kabar ini, [184] mereka semua berkumpul di Balai Kebenaran, duduk sambil memuji kebajikan Yang Maha Bijaksana, mereka berkata, “Awuso, karena tidak mengetahui isi hati dan pikiran manusia, Thera Sāriputta tidak mengetahui kecenderungan sifat teman satu ruangannya. Namun Sang Guru mengetahuinya. Hanya dalam waktu satu hari, Beliau mampu mengarahkan bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, sekaligus mencapai pengetahuan sempurna. Oh, betapa luar biasanya kemampuan yang mengagumkan dari seorang Buddha!”
Sang Guru memasuki balai tersebut dan duduk di tempat yang telah disediakan untuknya, bertanya, “Apa topik pembicaraan pertemuan ini, para Bhikkhu?”
“Tidak ada yang lain, Bhante, selain bahwa Engkau memiliki pemahaman tentang isi hati dan dapat membaca pikiran dari bhikkhu yang tinggal bersama sang Panglima Dhamma.”
“Hal ini bukan sesuatu yang mengagumkan, para Bhikkhu. Sebagai seorang Buddha, memang sudah seharusnya saya mengetahui kecenderungan sifat bhikkhu itu. Di kehidupan yang lampau saya juga mengetahui hal itu dengan baik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu, Brahmadatta memerintah di Benares. Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai penasihat raja dalam urusan pemerintahan dan spiritual.
Suatu ketika, para penduduk memandikan seekor kuda liar di tempat pemandian kuda kerajaan. Saat tukang kuda membawa kuda kerajaan mandi di tempat pemandian tersebut, kuda itu merasa terhina sehingga ia menolak untuk mandi di tempat itu. Maka tukang kuda menghadap raja dan berkata, “Paduka, kuda kerajaan menolak untuk mandi.”
Raja meminta Bodhisatta menghadap dan berkata padanya, “Pergilah, wahai Yang bijak, dan temukan penyebab mengapa hewan tersebut tidak mau masuk ke dalam air saat tukang kuda membawanya ke tempat pemandian.” “Baik, Paduka,” jawab Bodhisatta. Ia segera pergi ke sisi perairan itu. Setibanya di sana, ia memeriksa kuda tersebut, menemukan bahwa kuda itu tidak mempunyai luka di bagian manapun dari tubuhnya. Ia mencoba memprediksikan penyebabnya, akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ada kuda lain yang telah mandi di tempat tersebut, sehingga kuda kerajaan merasa terhina dan tidak mau masuk ke dalam air. Ia bertanya kepada tukang kuda itu hewan apa yang telah mereka mandikan di sana sebelum ini. “Seekor kuda lain, Tuanku, — seekor hewan yang biasa-biasa saja.” “Ah, karena rasa cinta kepada dirinya sendiri, ia merasa tersinggung sehingga tidak mau masuk ke dalam air,” kata Bodhisatta kepada dirinya sendiri, “hal yang harus dilakukan adalah memandikan dia di tempat lain.” Maka ia berkata kepada tukang kuda itu, “Orang akan merasa bosan, Temanku, bahkan tentang pemilihan tempat, jika ia selalu mendapatkan hal yang sama. Ini juga terjadi pada kuda ini. Ia telah dimandikan di sini sebegitu banyak kalinya sehingga tak terhitung lagi. Bawalah ia ke tempat pemandian yang lain [185], mandikan dan beri ia minum di sana.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini :
Gantilah tempatnya olehmu, dan biarkan kuda itu minum.
Kadang di sini, kadang di sana, dengan selalu mengganti tempatnya.
Bahkan nasi-susu dapat memuakkan bagi manusia pada akhirnya.
Setelah mendengar perkataannya, mereka membawa kuda itu ke tempat yang lain, di sana ia minum dan mandi tanpa kesulitan. Saat tukang kuda memandikan kuda kerajaan tersebut setelah memberinya minum, Bodhisatta kembali untuk menghadap raja. “Baiklah,” kata Raja, “sudahkah kudaku minum dan mandi, Teman?” “Sudah, Paduka.” “Mengapa ia menolak untuk melakukan hal itu sebelumnya?” “Karena alasan berikut ini,” kata Bodhisatta, dan menceritakan keseluruhan kisah itu kepada Raja. “Orang ini benar-benar pintar,” kata raja, “ia bahkan bisa membaca pikiran seekor hewan.” Raja kemudian memberikan penghargaan kepada Bodhisatta. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya. Demikian juga dengan Bodhisatta, setelah meninggal ia terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya semasa hidup.
____________________
Setelah uraian itu berakhir, Beliau mengulangi apa yang telah dikatakan-Nya bahwa kecenderungan bhikkhu itu di masa lampau sama seperti saat sekarang ini. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan menga-takan, “Bhikkhu ini adalah kuda kerajaan itu, Ānanda merupakan sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”
Catatan kaki :
61 Rāhu adalah sebangsa Titan yang disebut-sebut menciptakan gerhana sementara dengan menelan matahari dan bulan.

ĀJAÑÑA-JĀTAKA

“Tidak masalah kapan maupun dimana,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu lain yang juga menyerah dalam pelatihan dirinya. Namun dalam kasus ini, Beliau menasihati bhikkhu itu dengan berkata, “Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan tetap tekun walaupun sedang terluka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terdapat tujuh raja yang mengepung kerajaan tersebut, sama seperti cerita sebelumnya.
Maka seorang kesatria dikirim untuk bertempur dengan sebuah kereta tempur yang ditarik oleh dua ekor kuda Sindhu (merupakan dua bersaudara). Setelah keluar dari gerbang kota, ia mengalahkan enam kubu dan menawan enam orang raja. Di saat genting itu, kuda yang lebih tua terluka. Penunggang kuda itu menunggang kudanya hingga tiba di gerbang kerajaan, tempat ia melepaskan kuda yang lebih tua itu dari kereta tempur dan setelah melepaskan baju kuda dari kuda yang sedang terbaring itu, ia mulai menyiapkan perlengkapan untuk kuda lain. Menyadari maksud pejuang itu, Bodhisatta memikirkan hal yang sama seperti pada kisah sebelum ini, ia menyampaikan permintaan pada penunggang kuda itu, dengan mengulangi syair ini, dengan keadaan masih terbaring : —
Tidak masalah kapan maupun dimana, dalam keadaan mapan maupun sengsara,
ia yang merupakan keturunan murni akan terus berjuang, sementara kuda yang lain menyerah.
Penunggang kuda itu menunggu Bodhisatta berdiri di atas kakinya lagi dan memberinya pakaian kuda. Kemudian ia mengalahkan kubu ketujuh dan berhasil menawan raja ketujuh yang kemudian dibawanya [182] ke gerbang kerajaan, hal itu cukup menghabiskan tenaga kuda yang agung itu. Sambil terbaring di tanah, Bodhisatta menyampaikan sedikit nasihat kepada raja sama seperti kejadian di kisah sebelum ini, ia kemudian meninggal. Raja menguburkannya dengan penuh penghormatan, memberikan penghargaan kepada penunggang kuda itu, dan setelah memerintah dengan penuh keadilan, raja meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian ini berakhir dan Sang Guru telah selesai membabarkan Dhamma (saat khotbah Beliau berakhir, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat); Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan mengatakan, “Thera Ānanda adalah raja tersebut dan Buddha Yang Maha Sempurna adalah kuda tersebut.”

BHOJĀJĀNĪYA-JĀTAKA

“Meskipun dalam keadaan lemah,”dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam pelatihan dirinya. Saat menegur bhikkhu itu, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, Ia yang bijaksana dan tekun dalam melakukan kebajikan, meskipun berada di tengah kepungan musuh dan dalam keadaan terluka, tetap tidak menyerah.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Suatu ketika, Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhu (Sindhavā) keturunan murni. Ia merupakan kuda utama kerajaan, yang dikelilingi oleh kemegahan dan kebesaran. Makanannya berupa beras usia tiga tahun yang sangat halus, disajikan dalam mangkuk emas yang bernilai uang seratus ribu keping, lantai istalnya diberi wewangian dengan empat keharuman yang berbeda. Tirai merah tua tergantung di sekeliling dinding istalnya, sementara di atas istal itu, terdapat sebuah langit-langit yang bertaburkan bintang-bintang emas. Dindingnya dihiasi dengan rangkaian dan untaian bunga yang wangi, dan sebuah lampu dengan minyak yang beraroma selalu menyala di sana.
Di masa itu, semua raja di sekitar Benares menginginkan Kerajaan Benares. Sekali waktu, tujuh raja mengepung Benares dan mengirimkan sebuah pernyataan perang kepada raja yang berbunyi, “Serahkan kerajaanmu kepada kami atau kita akan bertempur.” Raja mengumpulkan semua menterinya dan memaparkan masalah tersebut di hadapan mereka semua, menanyakan apa yang harus ia lakukan. Mereka menjawab, “Anda tidak boleh keluar untuk berperang sendiri pada tahap pertama, Paduka. [179] Pertama-tama, kirim kesatria ini dan itu terlebih dahulu untuk bertempur dengan mereka; selanjutnya, jika mereka kalah, kita akan memutuskan apa yang harus dilakukan.”
Raja meminta kesatria itu menghadapnya, dan berkata, “Dapatkah engkau menghadapi ketujuh raja itu, Kesatriaku?”
Kesatria itu menjawab, “Berikan kuda utamamu yang agung itu kepadaku, maka bukan hanya tujuh raja itu saja yang akan saya hadapi, namun semua raja yang ada di India.” “Kesatriaku, bawalah kuda utamaku maupun kuda lain yang engkau sukai, dan pergilah bertempur!” “Baiklah, Raja yang penuh kuasa,” jawab kesatria itu. Dan dengan sebuah busur, ia turun dari lantai atas istana, kemudian mengeluarkan kuda utama yang agung itu dan menyarungkan baju kuda padanya serta melengkapi dirinya sendiri secara menyeluruh dan mempersiapkan pedangnya. Dengan menunggang kuda yang agung itu, ia keluar dari gerbang kota, dan dengan cepat, ia mengalahkan kubu pertama serta menangkap seorang raja hidup-hidup, membawanya sebagai tawanan di bawah penjagaan pasukannya. Kemudian ia kembali ke medan perang, mengalahkan kubu kedua dan ketiga, dan seterusnya hingga ia menangkap lima raja hidup-hidup. Ia baru saja mengalahkan kubu keenam dan menawan raja keenam, saat kuda perangnya itu mendapatkan sebuah luka, yang terus mengucurkan darah dan membuat hewan yang agung itu menderita kesakitan yang hebat. Mengetahui kuda itu telah terluka, kesatria itu membaringkannya di gerbang istana, melepaskan baju kudanya dan mempersiapkan perlengkapan untuk kuda yang lain. Saat Bodhisatta yang sedang terbaring sepanjang sisi tubuhnya itu membuka matanya, ia melihat apa yang dilakukan oleh kesatria itu. “Penunggangku,” pikirnya, “sedang mempersiapkan kuda lain. Kuda itu tidak akan mampu mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh; ia akan menghilangkan semua yang telah saya perjuangkan. Kesatria yang tidak tertandingi ini akan dibunuh, demikian juga dengan raja, ia akan jatuh ke tangan musuh. Hanya saya sendiri, tidak ada kuda lain yang bisa, yang dapat mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh.” Maka, sambil berbaring, ia memanggil kesatria itu dan berkata, “Tuan Kesatria, tidak ada kuda yang lain selain saya sendiri yang bisa mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh. Saya tidak akan melepaskan apa yang telah saya kerjakan; beri waktu agar kaki saya siap untuk berdiri dan pakaikan kembali baju kuda itu pada saya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair ini: — [180]
Meskipun dalam keadaan lemah dan tertusuk anak panah, saya terbaring,
masih belum ada kuda yang dapat menandingi kuda perang ini.
Maka, pakaikan baju kuda padaku,
bukan pada kuda lain, wahai Penunggang kuda.
Kesatria itu menunggu Bodhisatta berdiri kembali, membalut lukanya dan melengkapinya dengan perlindungan. Dengan menunggang kuda perang itu, ia mengalahkan kubu ketujuh dan membawa pulang raja ketujuh hidup-hidup, yang diserahkannya dalam penjagaan pasukannya. Mereka membawa Bodhisatta ke gerbang kerajaan, raja sendiri keluar untuk melihatnya. Makhluk yang agung itu berkata kepada raja, “Raja yang baik, jangan bunuh ketujuh raja ini. Ikatlah mereka dengan sumpah dan biarkan mereka pergi. Biarkan kesatria itu mendapatkan penghargaan dari apa yang telah kami berdua lakukan, karena rasanya tidak benar jika seorang pejuang yang telah mempersembahkan tujuh orang raja sebagai tahanan diperlakukan dengan buruk, dan untuk Anda sendiri, lakukanlah perbuatan baik, jagalah sila dan pimpinlah kerajaanmu dengan penuh kebaikan dan keadilan.” Setelah Bodhisatta memberikan nasihat kepada raja, mereka melepaskan baju kudanya; namun saat mereka sedang melepaskannya satu per satu, ia meninggal dunia.
Raja menguburkannya dengan penuh hormat dan menganugerahkan penghargaan kepada ksatria itu, mengirim ketujuh raja itu pulang setelah mereka bersumpah untuk tidak akan bertempur melawannya lagi. Dan Raja menjalankan kerajaannya dengan penuh kebaikan dan keadilan. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Sang Guru berkata, “Demikianlah, para Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, ia yang bijaksana dan tekun dalam melakukan kebaikan, bahkan saat berada di antara musuhnya, dan berada dalam keadaan terluka berat, tetap tidak menyerah. Sementara engkau, yang telah memutuskan untuk menjalankan ajaran ini, bagaimana bisa menyerah dalam pelatihan dirimu?” Setelah itu Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang hatinya dipenuhi oleh keraguan itu mencapai tingkat kesucian Arahat. Saat uraian-Nya berakhir, Sang Guru [181] mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah raja di masa itu, Sāriputta adalah kesatria tersebut, dan Saya sendiri adalah kuda Sindhu keturunan murni itu.”

KUKKURA-JĀTAKA

[175] “Anjing-anjing yang dipelihara dalam istana raja,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai tindakan demi kebaikan kerabat, yang berhubungan dengan Buku Kedua Belas, dalam Bhaddasāla-Jātaka 59 . Cerita itu mengantarkan uraian Beliau tentang kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Suatu waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, akibat dari perbuatannya di kelahiran yang lampau, Bodhisatta terlahir sebagai seekor anjing, ia tinggal di sebuah pemakaman besar sebagai pimpinan dari beberapa ratus ekor anjing.
Suatu hari, raja keluar dari tempat peristirahatannya dengan menggunakan kereta kerajaan yang ditarik oleh kudakuda yang warnanya seputih susu. Setelah puas mengelilingi wilayahnya sepanjang hari, ia kembali ke kota setelah senja. Mereka membiarkan tali kekang kereta kerajaan itu tergeletak begitu saja di halaman kerajaan, dalam keadaan masih terikat pada kereta. Malamnya turun hujan sehingga tali kekang itu menjadi basah. Ditambah dengan turunnya anjing kerajaan dari ruangan yang berada di atas istana, dan menggerogoti tali kekang dan hiasan kereta yang terbuat dari kulit. Keesokan harinya, mereka memberi tahu Raja dengan berkata, “Paduka, anjing-anjing masuk dari pipa pembuangan air dan menggerogoti tali kekang dan hiasan dari kulit yang terdapat di kereta kerajaan.” Merasa murka terhadap anjing-anjing tersebut, raja berkata, “Bunuh setiap anjing yang terlihat oleh kalian.” Dimulailah pembunuhan besar-besaran terhadap anjing yang ada. Anjing-anjing yang mengetahui bahwa mereka akan dibunuh jika ada yang melihat mereka, pergi ke pemakaman untuk mencari Bodhisatta. Ia bertanya, “Apa tujuan kalian berkumpul di sini?” Mereka menjawab, “Raja merasa murka karena ada laporan bahwa hiasan kulit dan tali kekang kereta kerajaan di halaman istana telah digerogoti oleh anjing-anjing, ia memberi perintah untuk membinasakan semua anjing. Sejumlah anjing telah dibunuh, dan bahaya besar masih akan timbul.”
Bodhisatta berpikir, “Tidak ada anjing yang bisa masuk ke tempat yang diawasi dengan begitu ketatnya, harusnya itu adalah hasil kerjaan anjing-anjing yang berada di dalam istana. Saat ini pelaku sebenarnya tidak menerima hukuman apa pun, sementara mereka yang tidak bersalah diberi hukuman mati. Bagaimana jika saya menemukan pelakunya untuk raja dan menyelamatkan hidup sanak keluargaku?” Ia menenangkan sanak keluarganya dengan berkata, “Jangan takut. Saya akan menyelamatkan kalian. [176] Tinggallah di sini sementara saya bertemu dengan raja.”
Dengan dipandu rasa kasih sayang dan berbekal Sepuluh Kesempurnaan dalam dirinya, ia menempuh perjalanan itu seorang diri tanpa pendamping, saat masuk ke dalam kota, ia mengucapkan kata-kata berikut, “Jangan ada tangan yang melemparkan kayu ataupun batu kepadaku.” Sesuai dengan harapannya, ketika ia muncul, tidak ada satu orang pun yang merasa marah saat melihatnya.
Sementara raja sendiri, setelah memerintahkan agar anjing-anjing itu di bunuh, duduk di ruang persidangan kerajaan. Bodhisatta berjalan menuju arahnya, kemudian melompat ke bawah singgasananya. Para pelayan raja berusaha mengeluarkannya, namun raja menghentikan usaha mereka. Tanpa basabasi, Bodhisatta keluar dari bawah singgasana, memberi hormat kepada raja, berkata, “Apakah anjing-anjing itu dibunuh atas perintah Anda?” “Ya, saya yang memberikan perintah itu.” “Apa kesalahan mereka, wahai Raja para manusia?” “Mereka menggerogoti tali kekang dan hiasan kulit yang melapisi keretaku.” “Apakah Anda mengetahui anjing mana yang melakukannya?” “Tidak, saya tidak tahu.” “Paduka, jika Anda tidak tahu pelaku yang sebenarnya, adalah suatu kesalahan dengan memberikan perintah untuk membunuh semua anjing yang terlihat.” “Karena anjinglah yang telah menggerogoti bahan kulit dari kereta kerajaan, maka saya memerintahkan agar semua anjing dibunuh.” “Apakah mereka membunuh semua anjing tanpa kecuali, atau ada anjing-anjing yang mendapat pengecualian?” “Beberapa mendapat pengecualian, — anjing keturunan murni yang ada di istana.” “Paduka, Anda baru saja mengatakan bahwa Anda memberi perintah membunuh semua anjing yang terlihat, karena anjing telah menggerogoti bahan kulit dari keretamu; di sisi lain, saat ini juga Anda mengatakan bahwa anjing keturunan murni yang berada dalam istana lolos dari kematian. Oleh karena itu, Anda telah melakukan empat pelanggaran terhadap sikap memihak, tidak suka, ketidaktahuan, dan ketakutan. Sikap itu salah dan tidak mencerminkan sikap seorang raja. Untuk seorang raja, saat mengadili masalah, harus bersikap tidak memihak, seperti timbangan yang tepat. Namun dalam kejadian ini, anjing kerajaan bebas dari hukuman sementara anjing-anjing malang lainnya dibunuh. Ini bukanlah kehancuran yang merata terhadap semua anjing, namun hanya pembunuhan terhadap anjing-anjing yang malang itu.” Lebih lanjut lagi, makhluk yang agung ini mengeraskan suaranya yang merdu, dengan berkata, “Paduka, sikap Anda itu sama sekali tidak menunjukkan adanya keadilan.” Dan ia mengajarkan Kebenaran kepada raja melalui syair berikut ini : — [177]
Anjing-anjing yang dipelihara di dalam istana raja,
anjing keturunan murni, dengan bentuk yang kuat dan cantik;
Namun bukan mereka, hanya kami, yang diberi hukuman mati.
Tidak ada kata adil yang diberikan kepada semua makhluk yang sejenis;
ini hanyalah pembunuhan terhadap mereka yang malang.
Setelah mendengarkan kata-kata Bodhisatta, Raja berkata, “Apakah dengan kebijaksanaanmu, kamu bisa mengetahui siapa yang telah menggerogoti bahan kulit di keretaku?” “Ya, Paduka.” “Siapakah dia?” “Anjing keturunan murni yang tinggal di dalam istana.” “Bagaimana caramu menunjukkan bahwa mereka yang menggerogoti bahan kulit itu?” “Akan saya buktikan pada Anda.” “Lakukanlah, engkau yang bijaksana.” “Mintalah anjing-anjing kerajaan untuk datang kemari dan kirimkan sedikit dadih serta daun kusa ke tempat ini.” Raja melaksanakan permintaannya.
Makhluk yang agung itu berkata, “Campurkan daun kusa dengan dadih, dan minta anjing-anjing itu untuk meminumnya.”
Raja melaksanakan apa yang dikatakannya;— dengan hasil, setiap anjing yang minum, langsung muntah. Mereka memuntahkan serpihan-serpihan bahan kulit! “Ini seperti pertimbangan yang diberikan sendiri oleh Buddha Yang Maha Sempurna,” seru Raja dengan gembira, dan memberikan penghormatan kepada Bodhisatta dengan menganugerahkan payung kerajaan kepadanya. Bodhisatta mengajarkan Kebenaran dalam sepuluh syair mengenai keadilan dalam Tesakuṇa-Jātaka60, yang diawali dengan kata-kata : —
Berjalanlah di jalan keadilan,
Raja agung dari kaum bangsawan,
dan seterusnya.
Kemudian ia mengukuhkan raja dalam lima latihan moralitas, dan setelah menasihati raja untuk tetap setia pada Kebenaran, Bodhisatta mengembalikan payung putih kerajaan kepadanya.
Setelah makhluk agung itu selesai mengucapkan katakatanya, [178] raja memerintahkan bahwa semua anjing yang merupakan keturunan Bodhisatta akan mendapatkan kiriman makanan sama seperti apa yang dimakan olehnya secara rutin. Dengan mematuhi ajaran yang diberikan oleh Bodhisatta, ia menghabiskan sisa umurnya yang panjang dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam dewa. ‘Ajaran Anjing’ itu bertahan selama sepuluh ribu tahun lamanya. Bodhisatta juga hidup hingga usia yang lanjut, setelah meninggal dunia, ia terlahir di alam bahagia.
____________________
Setelah menyelesaikan kisah ini, Sang Guru berkata, “Bukan hanya di kehidupan ini, para Bhikkhu, Sang Buddha melakukan tindakan yang menguntungkan para kerabatnya, tetapi di kehidupan yang lampau ia juga melakukan hal yang sama.” — Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah raja di waktu tersebut, para pengikut Buddha adalah anjing-anjing yang ada, dan Saya sendiri adalah anjing tersebut.”
Catatan kaki :
59 No.465.
60 No.521

KURUṄGA-JĀTAKA

[173] “Kijang ini mengetahui dengan baik,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta. Sekali ketika para bhikkhu berkumpul di Balai Kebenaran, mereka duduk sambil mencela Devadatta dengan berkata, “Awuso56, dengan tujuan membunuh Sang Buddha, Devadatta menyewa pemanah, menjatuhkan batu besar dan melepaskan gajah Dhana-pālaka; ia melakukan itu untuk membunuh Raja Kebijaksanaan57 ”. Sang Guru masuk ke dalam ruangan dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk-Nya, Beliau bertanya, “Para Bhikkhu, apa topik pembicaraan dalam pertemuan ini?” “Bhante,” jawab mereka, “kami sedang membicarakan kejahatan Devadatta, tentang bagaimana ia selalu berusaha membunuh-Mu.” Sang Guru berkata, “Bukan di kelahiran ini saja, para Bhikkhu, Devadatta mencari cara untuk membunuh-Ku, ia juga mempunyai perilaku yang sama di kelahiran yang lampau, namun ia tidak pernah berhasil melakukannya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kijang, ia tinggal di sebuah hutan dan hidup dari buah-buahan yang ada di hutan tersebut. Pada waktu itu, ia hidup dari buah pohon sepaṇṇi (Gmelina Arborea). Di desa, terdapat seorang pemburu yang melakukan perburuan dengan cara membangun panggung kecil di cabang pohon tempat ia menemukan jejak rusa; ia mengamati dari atas saat rusa itu datang untuk makan buah dari pohon tersebut. Saat rusa muncul, ia membunuhnya dengan menggunakan tombak, dan menjual daging rusa itu untuk menghidupi dirinya. Suatu hari, ia menemukan jejak kaki Bodhisatta di sebuah pohon, ia pun membangun panggung kecil di cabang pohon tersebut. Setelah sarapan lebih awal, ia membawa tombaknya dan masuk ke hutan itu, kemudian duduk di panggung kecil yang telah dibangunnya. Bodhisatta juga muncul pagi-pagi untuk makan buah dari pohon tersebut, namun ia tidak segera menghampiri tempat itu. Ia berpikir, “Kadang-kadang pemburu membangun panggung kecil di dahan pohon. Apakah hal itu juga terjadi di pohon ini?” Ia berhenti di tengah jalan untuk mengintip. Melihat Bodhisatta tidak mendekat, pemburu yang masih duduk di panggung itu [174] melemparkan buah-buahan ke hadapan kijang itu. Berpikirlah kijang itu, “Buah-buahan ini datang sendiri kepadaku. Saya ragu apakah ada pemburu di atas sana.” Maka ia memperhatikan lebih teliti lagi, akhirnya terlihat juga olehnya pemburu yang berada di atas pohon itu, namun ia berpura-pura tidak melihatnya, Bodhisatta berkata kepada pohon itu, “Pohonku yang sangat berharga, sebelumnya engkau mempunyai kebiasaan untuk menjatuhkan buah ke tanah dengan gerakan laksana anting-anting yang menjalar turun, namun hari ini kamu berhenti bertingkah seperti sebuah pohon, saya juga harus berubah, dengan mencari makanan di bawah pohon yang lain.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :
Kijang ini mengetahui dengan baik buah yang engkau jatuhkan;
saya tidak menyukainya, saya akan mencari pohon lain58.
Pemburu itu melemparkan tombaknya ke arah Bodhisatta dari panggung itu, dan berteriak, “Pergi! Saya tidak mendapatkanmu kali ini.” Membalikkan badannya, Bodhisatta berhenti sejenak dan berkata, “Engkau memang tidak mendapatkan saya, Teman yang baik, namun percayalah, engkau tidak kehilangan akibat perbuatanmu, yakni delapan neraka besar (mahāniraya) dan enam belas neraka kecil (ussadaniraya), serta lima bentuk ikatan dan siksaan.” Diiringi dengan kata-kata ini, kijang itu meninggalkan tempat itu, pemburu itu juga turun dari panggung itu dan pergi dari sana.
____________________
Setelah Sang Guru menyelesaikan uraian-Nya dan mengulangi bahwa Devadatta juga mempunyai niat untuk membunuhnya di kelahiran yang lampau, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah pemburu itu, dan Saya sendiri adalah kijang tersebut.”
Catatan kaki :
56 Panggilan akrab sesama bhikkhu terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior, atau panggilan akrab bhikkhu terhadap umat awam.
57 Lihat Vinaya, Cullavagga,VII.3, untuk mengetahui rincian usaha Devadatta untuk membunuh Gotama. Di dalam Vinaya, gajah itu bernama Nālāgiri.
58 Lihat Dhammapada, hal.147,331.

NAḶAPĀNA-JĀTAKA

[170] “Saya menemukan jejak-jejak kaki,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru saat melakukan pindapata melewati Kosala, ketika tiba di Desa Naḷakapāna (Bambu Minum), dan menetap di Ketakavana dekat Kolam Naḷakapāna, di sekitar batang-batang rotan. Saat itu, setelah mandi di Kolam Naḷakapāna, para bhikkhu meminta para samanera mengambilkan potongan bambu untuk dijadikan wadah jarum 52 , namun mereka menemukan bahwa seluruh batang bambu itu berongga, mereka mencari Sang Guru dan bertanya, “Bhante, kami mengambil potongan bambu untuk dijadikan wadah jarum, namun potongan itu berongga dari atas hingga bawah. Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “demikianlah yang saya tetapkan di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan tentang kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Dahulu kala, disampaikan pada kita, terdapat satu hutan belantara di tempat ini. Di dalam kolam ini, tinggallah seorang raksasa air yang melahap semua orang yang masuk ke dalam kolam. Di masa itu, Bodhisatta terlahir sebagai raja kera, dengan tubuh sebesar anak rusa merah. Ia tinggal di hutan sebagai pimpinan dari kawanan kera yang jumlahnya tidak kurang dari delapan puluh ribu ekor, yang ia lindungi dari semua mara bahaya. Demikian yang ia nasihatkan pada para pengikutnya: — “Teman-temanku, di hutan ini ada banyak pohon beracun dan kolam-kolam yang dihuni oleh para raksasa. Ingatlah untuk bertanya padaku sebelum kalian makan buah-buahan yang tidak pernah kalian makan sebelumnya, atau minum air di tempat yang  tidak pernah kalian minum sebelumnya.” “Baik,” jawab mereka dengan sigap.
Suatu hari, kawanan kera ini tiba di tempat yang tidak pernah mereka datangi sebelumnya. Saat sedang mencari air minum setelah melakukan pengembaraan sepanjang hari, mereka menemukan kolam ini. Namun mereka tidak langsung minum, melainkan duduk melihat Bodhisatta yang sedang mendekat ke arah mereka.
Setelah tiba di sana, ia bertanya, “Baiklah, Teman-teman, mengapa kalian tidak minum?”
“Kami menunggu kedatanganmu.”
“Bagus sekali, Teman-teman,” kata Bodhisatta.
Kemudian ia mengitari danau itu, dan meneliti dengan cermat setiap jejak kaki yang ada di sekitar tempat itu. Hasilnya, ia menemukan bahwa semua jejak mengarah ke danau itu dan tidak ada satu pun jejak yang naik dari danau. “Tidak ada keraguan lagi,” ia berpikir, “ini adalah sarang raksasa.” Ia pun berkata kepada para pengikutnya, “Kalian benar, Teman-temanku, dengan tidak minum air dari danau ini; danau ini dihuni oleh raksasa.”
Raksasa yang menyadari mereka tidak akan masuk ke dalam wilayahnya, [171] mengubah bentuknya menjadi makhluk yang mengerikan, dengan perut berwarna biru, wajah putih serta tangan dan kaki yang berwarna merah terang. Dengan bentuk seperti itulah ia keluar dari danau dan berkata, “Mengapa kalian duduk di sini? Turunlah ke danau dan minum.” Bodhisatta berkata padanya, “Bukankah engkau raksasa yang menghuni danau ini?” “Ya,benar,” jawabnya. “Apakah engkau memangsa semua makhluk yang masuk ke dalam danau ini?” “Benar, mulai dari burung yang paling kecil sampai makhluk lain yang paling besar. Saya tidak pernah melepaskan makhluk yang masuk ke dalam danau milikku. Saya akan memangsa sebagian dari kalian juga.” “Kami tidak akan membiarkan engkau memangsa kami.” “Minum saja airnya.” “Akan kami minum airnya, dan tetap tidak terjatuh dalam kekuasaanmu.” “Kalau begitu, bagaimana cara kamu meminum air itu?” “Ah, kamu mengira kami harus turun ke dalam kolam untuk minum; namun, tanpa itu pun, masing-masing dari delapan puluh ribu pengikut saya akan mengambil bambu dan minum air danau dari tempat ini, semudah kami minum melalui batang bunga teratai yang berongga. Jadi, engkau tidak akan bisa memangsa kami.” Ia mengulangi sebagian dari syair ini pada raksasa itu (bagian awalnya ditambahkan oleh Sang Guru ketika, sebagai seorang Buddha, Beliau menceritakan kembali kejadian ini) : —
Saya menemukan jejak-jejak kaki yang semuanya
mengarah turun tanpa ada satu jejak pun yang naik kembali.
Kami akan minum dengan menggunakan bambu;
engkau tidak akan bisa mengambil nyawa kami.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Bodhisatta mengambil sebatang bambu. Kemudian ia membangkitkan Sepuluh Kesempurnaan dalam pikirannya yang dikumpulkannya, ia melafalkannya dalam satu pernyataan kebenaran; setelah itu ia meniup bambu tersebut. [172] Seketika itu juga, bambu menjadi berongga, tanpa ada satu sekat pun di antara batangnya. Dengan cara seperti itu, ia mengambil satu demi satu batangan bambu itu dan meniupnya satu per satu. (Jika dilakukan seperti ini, ia tidak akan mampu menyelesaikannya sendirian. Oleh karena itu, kalimat sebelumnya tidak seharusnya dipahami secara harfiah). Kemudian Bodhisatta mengelilingi danau itu, dan memberi perintah, “Tumbuhlah semua bambu yang ada di sini dengan rongga di sepanjang batangnya.” Berkat kebajikan yang telah dikumpulkannya sehingga Bodhisatta memiliki timbunan karma baik yang besar, yang membuat perintahnya terpenuhi. Sehingga setiap batang bambu yang tumbuh di sekitar danau itu memiliki rongga di sepanjang batangnya.
(Pada kalpa ini, terdapat empat jenis keajaiban yang bertahan selama kalpa tersebut berlangsung. Apa saja keempat keajaiban itu? Keajaiban-keajaiban itu adalah — Pertama, gambar kelinci di bulan 53 yang bertahan di sepanjang kalpa tersebut; Kedua, tempat api dipadamkan seperti yang disebutkan dalam Vaṭṭaka-Jātaka54, tempat itu tetap tidak akan tersentuh oleh api sepanjang kalpa tersebut; Ketiga, Rumah Ghatīkārā55, dimana tidak ada hujan yang turun di sepanjang kalpa tersebut; dan yang terakhir, bambu yang tumbuh di sekitar danau ini menjadi berongga di sepanjang batangnya di sepanjang kalpa tersebut. Itulah empat Keajaiban Kalpa)
Setelah memberikan perintah ini, Bodhisatta duduk dengan sebatang bambu di tangan. Kedelapan puluh ribu ekor kera itu juga duduk di sekitar danau dengan bambu di tangan mereka. Saat Bodhisatta mengisap air melalui bambu yang dipegangnya, kawanan kera juga minum dengan cara yang sama, sambil duduk di pinggir danau. Dengan cara itulah mereka minum, dan tak ada seekor kera pun yang bisa ditangkap oleh raksasa tersebut. Maka pergilah raksasa itu dengan penuh kekesalan, kembali ke habitatnya. Bodhisatta dan para pengikutnya juga kemudian kembali ke dalam hutan.
_____________________
Saat Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya, dan telah mengulangi apa yang Beliau katakan mengenai rongga yang ada di bambu, yang disebabkan oleh suatu tindakan dari-Nya di kehidupan lampau, Beliau mempertautkan kedua kisah tersebut dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Devadatta adalah raksasa air, para siswa Buddha adalah kedelapan puluh ribu ekor kera tersebut, dan Saya sendiri adalah raja kera yang cerdik itu.”
Catatan kaki :
52 Di dalam Vinaya, (Cullav.V.11), Sang Buddha mengizinkan pemakaian wadah jarum yang terbuat dari bambu.
53 Lihat Jātaka No.316, dan Kathā-Sarit-Sāgara karya Tawney,Vol.II,hal.66, dimana terdapat sejumlah bagian yang berhubungan dengan gambar-gambar ini, dan Pañca-Tantra karya Benfey,I.349. Lihat juga Cariyā-Pitaka,hal.82.
54 No.35
55 Lihat Ghatīkārā Sutta (No.81 dari Majjhima Nikayā), Dhammapada hal.349, dan Milindapañha, hal.222.

ĀYĀCITABHATTA-JĀTAKA

[169] “Pikirkan tentang kehidupan setelah ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai persembahan korban karena sumpah yang diucapkan kepada para dewa. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, dewasa ini, penduduk yang akan melakukan perjalanan untuk berdagang, biasanya membunuh makhluk hidup dan mempersembahkan mereka sebagai korban kepada para dewa, dan memulai perjalanannya setelah mengucapkan sumpah seperti ini — “Jika kami kembali dengan selamat dan membawa keuntungan, kami akan membunuh korban yang lain untukmu.” Saat mereka kembali dari perjalanan itu dan membawa keuntungan, pikiran bahwa ini adalah karena bantuan para dewa, membuat mereka membunuh lebih banyak makhluk hidup dan mempersembahkan korban-korban itu agar bebas dari sumpah yang telah mereka ucapkan.
Saat para bhikkhu mengetahui hal ini, mereka bertanya pada Sang Bhagawan, “Apakah ada kebaikan dengan melakukan hal ini, Bhante?”
Sang Bhagawan pun kemudian menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu di Negeri Kāsi, seorang penjaga sebuah desa kecil membuat janji untuk memberikan korban kepada dewa pohon dari sebuah pohon beringin yang tumbuh di dekat pintu gerbang desa. Sesudahnya, saat kembali, ia membunuh sejumlah makhluk hidup dan pergi ke bawah pohon agar ia terlepas dari sumpah yang telah diucapkannya. Namun sang dewa pohon, dengan berdiri di cabang pohon tersebut, mengulangi syair berikut ini:
Pikirkan tentang kehidupan setelah ini saat engkau mencari ‘pembebasan’;
Pembebasan yang sekarang ini (engkau lakukan) adalah merupakan suatu ikatan.
Tidak dengan cara demikian, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan membebaskan diri mereka sendiri; Bagi mereka yang bodoh, kebebasan mereka berakhir dalam ikatan.
Setelah itu, para manusia menahan diri dalam melakukan pembunuhan, dan dengan berjalan di jalan yang benar, mereka kemudian terlahir kembali di alam dewa.
____________________
Saat uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kedua kisah itu, dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Saya adalah dewa pohon di masa itu.”
[Catatan : Feer menyebutkan judul kedua, Pānavadha-Jātaka (J.As.1876, hal.516).]

MATAKABHATTA-JĀTAKA

“Jika mengetahui hukuman,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai (perayaan) makanan untuk orang-orang yang telah meninggal. Saat itu, para penduduk membunuh kambing, domba, hewan-hewan lainnya, dan mempersembahkan mereka dalam sebuah ritual yang disebut perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal demi keselamatan sanak keluarga mereka yang mereka tinggalkan. Melihat para penduduk sedang melaksanakan upacara tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Guru, “Bhante, barusan para penduduk membunuh sejumlah makhluk hidup dan mempersembahkan mereka dalam sebuah ritual yang disebut sebagai perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal. Dapatkah hal itu membawa kebaikan, Bhante?”
“Tidak, para Bhikkhu,” jawab Sang Guru, “pembunuhan yang dilakukan dengan tujuan mengadakan sebuah perayaan, tidak akan membawa kebaikan apa pun juga. Di kehidupan yang lampau, mereka yang bijaksana membabarkan Dhamma dengan melayang di udara, dan menunjukkan akibat buruk dari praktik yang salah itu, membuat semuanya meninggalkan praktik tersebut. Namun dewasa ini, saat pengaruh kelahiran sebelumnya telah mengacaukan pikiran mereka, praktik salah itu muncul kembali.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
______________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, seorang brahmana yang sangat menguasai ajaran Tiga Weda, dan terkenal di seluruh dunia sebagai seorang guru, mempunyai ide mengadakan perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal. Ia mengambil seekor kambing dan berkata pada para muridnya, “Anak-anakku, bawa kambing ini ke sungai di bawah sana dan mandikan; kemudian pasangkan untaian bunga di lehernya, berikan padanya semangkuk padi-padian dan rapikan ia sedikit, lalu bawa ia kembali kepadaku.”
“Baiklah,” jawab mereka, dan membawa kambing itu turun ke sungai, tempat ia dimandikan. Setelah itu, mereka merapikan kambing itu dan membawanya ke tepi sungai. Kambing yang mempunyai kesadaran akan perbuatannya di kelahiran yang lampau, merasa gembira memikirkan bahwa ia akan terbebas dari kesengsaraannya, ia tertawa dengan suara yang nyaring seperti bunyi panci yang jatuh. Namun saat memikirkan brahmana itu akan mendapatkan kesengsaraan karena membunuhnya, ia merasa sangat kasihan pada brahmana tersebut dan menangis dengan suara yang nyaring pula. “Teman,” kata seorang brahmana muda [167], “saat tertawa maupun menangis, suaramu sama nyaringnya; apa yang membuatmu tertawa dan apa juga yang membuatmu menangis?”
“Tanyakan kembali pertanyaan ini di hadapan gurumu.” Dengan membawa kambing itu, mereka menemui sang guru, kemudian menceritakan kejadian itu kepada guru mereka. Mendengar cerita mereka, guru itu bertanya kepada kambing tersebut mengapa ia tertawa lalu menangis. Di saat inilah hewan yang mengetahui akibat perbuatannya di kelahiran yang lampau, karena mempunyai kemampuan untuk mengingat kembali tentang kelahirannya yang lampau, menyatakan hal ini kepada brahmana tersebut : — “Di kehidupan yang lampau, Brahmana, saya sama sepertimu, seorang brahmana yang sangat menguasai ajaran Weda, dan demi memberikan persembahan pada perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal, saya membunuh seekor kambing sebagai korban. Hanya karena membunuh seekor kambing, kepala saya telah dipenggal selama empat ratus sembilan puluh sembilan kali. Ini adalah yang kelima ratus kalinya, dan merupakan kelahiran saya sebagai seekor kambing yang terakhir kalinya. Saya tertawa dengan nyaring saat memikirkan saya akan segera terbebas dari kesengsaraan. Di sisi yang lain, saya menangis karena memikirkan bagaimana, karena membunuh seekor kambing, saya mendapatkan malapetaka dengan kehilangan kepala sebanyak lima ratus kali, dan kamu akan menerima hukuman karena membunuh saya, kamu juga akan mendapatkan malapetaka dengan kehilangan kepala, seperti saya, sebanyak lima ratus kali. Karena rasa kasihan itulah saya menangis.” “Jangan takut, Kambing,” kata brahmana itu, “Saya tidak akan membunuhmu.” “Apa katamu, Brahmana?” seru kambing itu, “Baik engkau akan membunuhku maupun tidak, saya tidak akan dapat melepaskan diri dari kematian hari ini.” “Jangan takut; saya akan mendampingimu untuk menjagamu.” “Perlindunganmu merupakan kelemahan, Brahmana, dan akan memberi kekuatan pada hasil kejahatanku.”
Setelah membebaskannya, brahmana memberi pesan kepada para muridnya, “Jangan sampai ada orang yang membunuh kambing itu.” Bersama beberapa pemuda, ia mengikuti hewan itu dalam jarak dekat. Setelah dibebaskan, kambing itu menjulurkan lehernya untuk makan daun-daun yang tumbuh di dekat puncak sebuah batu besar. Secara tiba-tiba, petir menyambar batu itu, satu pecahan batu yang besar menghantam kambing yang sedang menjulurkan lehernya itu dan terpisahlah kepala kambing dari badannya. Orang-orang berdatangan mengerumuni tempat itu.
[168] Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon di tempat itu. Dengan kekuatan gaibnya, ia duduk bersila melayang di udara, semua orang dalam kerumunan itu melihatnya. Ia berpikir, “Jika makhluk-makhluk ini mengetahui akibat perbuatan jahat mereka, mungkin mereka akan berhenti membunuh.” Maka dengan suara yang enak didengar, ia mengajarkan Kebenaran kepada mereka melalui syair ini, —
Jika mengetahui hukuman yang timbul adalah lahir
dalam kesengsaraan, mereka yang hidup akan berhenti
melakukan pembunuhan.
Malapetaka adalah buah bagi seorang pembunuh.
Setelah Sang Mahasatwa mengajarkan Kebenaran, para pendengarnya merasa takut pada penderitaan di neraka; orang-orang yang mendengar perkataannya, takut terhadap penderitaan yang ada di neraka, sehingga mereka berhenti membunuh. Dan Bodhisatta sendiri, setelah berhasil membuat mereka menjalankan sila melalui Dhamma yang dibabarkannya, meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia. Orang-orang itu juga, mereka yang tetap setia pada ajaran Bodhisatta, menghabiskan hidup dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya, setelah meninggal terlahir kembali di alam dewa.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru mempertautkan antara kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Di masa itu, Saya adalah dewa pohon.”

MĀLUTA-JĀTAKA

“Baik saat pertengahan maupun awal bulan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai dua orang bhikkhu yang bergabung dalam Sanggha di usia tua. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, [165] mereka tinggal di hutan Negeri Kosala. Satu bhikkhu bernama Thera Kāḷa (Gelap) dan satu lagi bernama Thera Juṇhā (Terang). Suatu hari Juṇhā bertanya kepada Kāḷa, “Bhante, kapankah saat dingin itu muncul?” “Saat awal bulan.” Di kesempatan yang lain, Kāḷa bertanya kepada Juṇhā, “Bhante, kapankah saat dingin itu muncul?” “Saat pertengahan bulan .”
Karena mereka berdua tidak dapat menyelesaikan hal tersebut, mereka menghadap Sang Guru, setelah memberikan penghormatan, mereka bertanya, “Bhante, kapankah saat dingin itu muncul?”
Mendengar pertanyaan mereka, Sang Bhagawan menjawab, “Bhikkhu, di kelahiran yang lampau, saya pernah menjawab pertanyaan yang sama dari kalian; sepertinya pikiran kalian51 telah dikacaukan oleh ingatan terhadap kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
_____________________
Sekali waktu di kaki gunung dari sebuah pegunungan, hiduplah dua sahabat dalam sebuah gua, mereka adalah seekor singa dan seekor harimau. Bodhisatta juga hidup di kaki gunung yang sama sebagai seorang petapa.
Suatu hari, timbul perselisihan di antara dua sahabat itu, mengenai kapan cuaca terasa lebih dingin. Harimau mengatakan cuaca lebih dingin di saat awal bulan, sementara singa mempertahankan pendapatnya bahwa saat pertengahan bulan cuaca lebih dingin. Karena tidak dapat menemukan penyelesaian terhadap masalah itu, mereka menyampaikan masalah itu kepada Bodhisatta. Bodhisatta mengulangi syair berikut ini : —
Baik saat pertengahan maupun awal bulan, bilamana
angin cenderung bertiup, itulah saat dingin muncul.
Rasa dingin disebabkan oleh angin.
Karena itu, saya putuskan, kedua pendapat kalian benar adanya.
Dengan syair tersebut Bodhisatta mendamaikan kedua sahabat itu.
_____________________
[166] Saat Sang Guru menyelesaikan uraian-Nya dalam mendukung apa yang telah Beliau katakan bahwa Beliau pernah menjawab pertanyaan yang sama dari mereka di kelahiran yang lampau, Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Saat khotbah berakhir, kedua thera itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru mempertautkan antara kedua kisah tersebut, dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan mengatakan, “Kāḷa adalah harimau, Juṇhā adalah singa, dan Saya sendiri adalah petapa yang menjawab pertanyaan mereka.”
Catatan kaki :
51 Penggabungan bhavasaṁkhepagatattā terdapat di sini dan di Jātaka berikutnya, juga di Vol.I, hal.463, dan Vol.II, hal.137. Arti dari kata itu adalah telah terjadi kelahiran kembali dari kehidupan yang lampau, semuanya tercampur aduk sehingga tidak ada ingatan yang jelas lagi. Namun, seorang Buddha mempunyai kemampuan untuk mengingat semua kelahiran lampau-Nya.

TIPALLATTHA-MIGA-JĀTAKA

“Dalam ketiga sikap tubuh,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di Arama Badarika di Kosambī, mengenai Thera Rāhula, yang memiliki ketetapan hati untuk menjalankan peraturan dalam Sanggha.
Ketika Sang Guru menetap di Wihara Aggālava dekat Kota Ālāvi, banyak upasaka, upasika, bhikkhu dan bhikkhuni datang berduyun-duyun menuju tempat tersebut untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ketika khotbah disampaikan pada siang hari, tidak ada satu pun upasika atau bhikkhuni yang hadir, yang ada hanya upasaka dan para bhikkhu. Kemudian khotbah disampaikan di sore hari; setelah selesai, para bhikkhu senior kembali ke bilik mereka masing-masing. Sementara para samanera bersama upasaka lainnya beristirahat di baktisala. Saat mereka terlelap, terdengar suara dengkuran, dengusan serta suara kertakan gigi. [161] Setelah tidur sejenak, beberapa orang terbangun, kemudian melaporkan ketidaklayakan yang mereka saksikan kepada Sang Bhagawan. Beliau berkata, “Jika seorang bhikkhu tidur bersama (satu atap) dengan para samanera, itu adalah pelanggaran Pācittiya (diperlukan adanya pengakuan dan pengampunan).” Setelah menyampaikan peraturan latihan tersebut, Beliau pergi ke Kosambī.
Para bhikkhu berkata kepada Rāhula, “Awuso, Sang Bhagawan telah menetapkan peraturan latian ini, mohon Anda mencari tempat tinggal untuk Anda sendiri.” Sebelumnya, karena menghormati ayahnya, dan karena keinginan anak tersebut yang kuat untuk menjalankan peraturan-peraturan Sanggha, mereka menerima anak muda itu dengan senang hati bahkan memintanya menganggap tempat itu seperti rumahnya sendiri; — mereka membuatkan tempat tidur kecil yang cocok untuknya dan memberikan kain untuk dijadikan bantal olehnya. Namun saat kisah ini terjadi, mereka bahkan tidak bersedia menyisihkan tempat di gudang kepadanya, takut kalau mereka akan melanggar peraturan. Rāhula yang mulia tidak pergi kepada Sang Buddha selaku ayahnya, pun tidak pergi ke Sāriputta, sang Panglima Dhamma selaku guru pelantiknya (upajjhāya), pun tidak pergi ke Moggallāna selaku gurunya (ācariya), pun tidak pergi ke Thera Ānanda selaku pamannya, ia pergi ke kamar mandi Sang Buddha dan menetap di sana seakan berada di sebuah gedung yang sangat menyenangkan. Kamar mandi Sang Buddha ini sendiri pintunya selalu tertutup rapat; permukaan lantainya merupakan lapisan tanah yang wangi; bunga dan rangkaian bunga menghiasi dinding-dindingnya; dan sepanjang malam, sebuah lampu menerangi tempat tersebut. Namun, bukan hal-hal tersebut yang mendorong Rāhula menetap di sana, sama sekali bukan. Ia hanya menuruti perkataan para bhikkhu agar ia mencari tempat tinggal sendiri dan karena ia menghormati perintah yang diberikan kepadanya, juga karena keinginannya untuk menjalankan peraturan Sanggha. Biasanya, para bhikkhu dari waktu ke waktu, dengan alasan untuk mengujinya, begitu melihat kedatangannya dari jauh, selalu menjatuhkan sapu maupun pembersih debu lainnya ke lantai, kemudian pura-pura bertanya siapa yang telah menjatuhkan barang itu saat Rāhula telah dekat. “Yah, Rāhula yang datang dari arah itu,” merupakan perkataan mereka selanjutnya. Namun calon thera itu tidak pernah mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hal tersebut, dengan rendah hati ia memohon maaf dari para bhikkhu, dan tidak akan pergi sebelum ia dimaafkan;— begitu antusiasnya ia menjalankan peraturan-peraturan tersebut. Hal inilah yang merupakan penyebab utama ia mau tinggal di kamar mandi tersebut.
Suatu hari, saat langit masih belum terang, Sang Buddha berdiri di depan kamar mandi dan berdehem. Suara tersebut di balas oleh Bhikkhu Rāhula. “Siapa yang berada di dalam sana?” tanya Sang Buddha. “Saya, Rāhula,” jawabnya; anak muda itu kemudian muncul dan memberi hormat kepada Sang Buddha. “Mengapa engkau tidur di sini, Rāhula?” “Karena saya tidak tahu harus pergi ke mana. Sebelum ini, para bhikkhu memperlakukan saya dengan sangat baik, Bhante; saat ini mereka semua takut melakukan pelanggaran [162] sehingga mereka tidak bersedia menampungku lagi. Akhirnya saya tinggal di sini, karena saya pikir ini adalah tempat dimana saya tidak akan berhubungan dengan orang lain.”
Sang Guru berpikir sendiri, “Jika Rāhula saja diperlakukan seperti ini, apa yang tidak bisa mereka lakukan terhadap anak-anak (muda) lainnya yang diterima dalam Bhikkhu Sanggha?” Hati-Nya tergerak untuk menunjukkan kebenaran. Maka saat pagi tiba, Beliau mengumpulkan semua bhikkhu, dan bertanya pada sang Panglima Dhamma, “Sāriputta, tahukah engkau dimana Rāhula tinggal selama ini?”
“Tidak, Bhante, saya tidak tahu.”
“Sāriputta, selama ini Rāhula tinggal di kamar mandi.
Jika Rāhula saja mendapatkan perlakuan seperti ini, apa yang tidak bisa dilakukan mereka terhadap anak muda lain yang engkau terima dalam Sanggha? Perlakuan seperti ini tidak akan mampu diterima oleh mereka yang bergabung dalam Sanggha. Di masa yang akan datang, terimalah para samanera untuk tinggal di tempatmu selama satu atau dua hari, dan pada hari ketiga minta mereka untuk pindah ke tempat lain, dan engkau harus mengetahui tempat tinggal mereka.” Demikianlah Sang Guru menetapkan peraturan latihan dengan tambahan ini.
Saat berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan kebaikan Rāhula, “Lihatlah, Awuso, betapa besarnya niat Rāhula untuk menjalankan peraturan-peraturan itu. Saat mencari tempat tinggal, ia tidak mengatakan, ‘Saya adalah putra dari Sang Buddha; apa yang kamu lakukan di tempat ini? Berikan tempat tinggal ini kepadaku’. Tidak, tidak ada satu pun bhikkhu yang ia usir, malah, ia memilih tinggal di dalam kamar mandi.”
Saat mereka sedang membicarakan hal tersebut, Sang Guru memasuki tempat itu dan duduk di tempat-Nya, dan bertanya, “Apa topik pembicaraan kalian, para Bhikkhu?”
“Bhante,” jawab mereka, “kami sedang membicarakan niat Rāhula yang sangat besar dalam menjalankan peraturanperaturan Sanggha, bukan membicarakan hal-hal yang lain.”
Sang Guru berkata, “Hal ini tidak ditunjukkannya saat ini saja, di kehidupan yang lampau ia juga melakukan hal yang sama, bahkan saat ia terlahir sebagai hewan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
_____________________
Sekali waktu seorang Raja Magadha memerintah di Rājagaha, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan, ia tinggal di sebuah hutan sebagai pemimpin dari sekawanan rusa. Kakaknya membawa anak laki-lakinya menghadap Bodhisatta, berkata, “Adikku, ajari keponakanmu tentang cara-cara rusa menghindari penangkapan.” “Pasti,” jawab Bodhisatta, “pulanglah sekarang, Nak, dan datang pada waktu ini dan itu untuk menerima pelajaran.” Tepat pada waktu yang disebut pamannya, rusa muda itu tiba dan menerima pelajaran tentang cara-cara tersebut.
Suatu hari, saat sedang menjelajahi hutan, ia terjebak dalam perangkap. Ia mengeluarkan suara tangis yang menyedihkan karena terjebak dalam perangkap itu. Kawanan rusa yang lain segera melarikan diri dan menyampaikan hal itu kepada ibunya. Ia segera menemui adiknya dan bertanya apakah anaknya telah mempelajari cara-cara tersebut. “Jangan khawatir; [163] anakmu tidak akan melakukan kesalahan,” kata Bodhisatta. “Ia telah mempelajari semua cara-cara rusa menghindari penangkapan, dan akan segera kembali untuk menerima sambutan darimu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia mengulangi syair-syair berikut ini :
Dalam ketiga sikap tubuh — punggung dan kedua sisinya — anakmu telah mempelajarinya,
ia telah dilatih untuk menggunakan kedelapan kukunya49, kecuali di tengah malam, ia tidak akan melepas dahaganya,
saat terbaring di tanah, ia akan terlihat tanpa daya, hanya bernafas dengan bagian bawah hidung.
Ia mengetahui enam cara50 untuk menipu lawannya.
[164] Dengan syair itulah Bodhisatta menghibur kakaknya, menunjukkan bagaimana anaknya telah menguasai seluruh cara-cara itu. Sementara itu, rusa muda yang terjebak dalam perangkap itu tidak melakukan perlawanan, melainkan berbaring merebahkan sisi-sisi tubuhnya, dengan kaki terentang keluar tegang dan kaku. Ia mengais tanah di sekitar kukukukunya untuk menjatuhkan rumput dan tanah; membuatnya terasa alami; kepalanya terkulai; ia juga menjulurkan lidah; meliuri sekujur tubuhnya; menggembungkan diri dengan menarik nafas; membalikkan mata; hanya bernafas dengan bagian bawah hidungnya; menahan nafas di hidung bagian atas; membuat dirinya terkesan tegang dan kaku seperti mayat. Beberapa ekor lalat hijau bahkan mengerumuninya; dan disekitarnya juga terdapat burung gagak.
Pemburu itu datang, ia memukul perut rusa itu dengan tangannya dan berkata, “Ia pasti terperangkap tadi pagi; ia telah menjadi amis.” Setelah itu, ia melepaskan rusa dari ikatannya, dengan berkata, “Saya akan memotongnya di sini dan membawa dagingnya pulang ke rumah.” Saat pemburu itu mengumpulkan kayu dan dedaunan (untuk membuat api), rusa itu berdiri dan membebaskan dirinya, ia menarik lehernya, dan seperti awan kecil yang menghindari angin topan, berlari dengan cepat kembali ke pelukan ibunya.
____________________
Setelah mengulangi apa yang telah Beliau katakan bahwa di kehidupan yang lampau, Rāhula juga menunjukkan keinginan yang sangat besar untuk menjalankan peraturanperaturan itu, tidak kurang dibandingkan dengan apa yang ditunjukkannya di kehidupan ini. Sang Guru kemudian mempertautkan kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Rāhula adalah rusa muda di masa itu, Uppalavannā adalah ibunya dan Saya sendiri adalah paman rusa tersebut.”
[Catatan : Mengacu pada Feer (J.As.1876,hal.516), Jātaka ini disebut juga sebagai Sikkhākāmā dalam naskah Bigandet. Inti dari cerita pembuka ini terdapat di Vinaya, Vol.IV, hal.16.]
Catatan kaki :
49 Komentar ini menjelaskan akan adanya dua buah kuku di setiap kaki rusa, menunjuk pada kuku rusa yang terbelah.
50 Tiga cara pada baris pertama, dan tiga cara lagi, yakni masing-masing pada baris kedua, ketiga, dan kelima.

KHARĀDIYA-JĀTAKA

“Ketika seekor rusa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang sulit dinasihati. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, bhikkhu ini bandel dan sulit dinasihati. Karena itu, Sang Guru bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang dikatakan oleh para bhikkhu, bahwa engkau bandel dan sulit dinasihati?”
“Benar, Bhagawan,” jawabnya.
“Demikian juga di kelahiran yang lampau,” kata Sang Guru, “engkau membandel dan sulit dinasihati oleh mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan, — karenanya, engkau terjerat di sebuah perangkap dan meninggal.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu, ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa dan tinggal di hutan sebagai pimpinan dari sekawanan rusa. Kakaknya membawa anaknya menghadap Bodhisatta dan berkata, “Adikku, ini adalah keponakanmu; ajarilah ia cara-cara rusa menghindari penangkapan.” Demikianlah ia menempatkan anaknya di bawah pengawasan Bodhisatta. Bodhisatta berkata kepada keponakannya, “Datanglah pada saat ini dan itu, saya akan memberikan pelajaran kepadamu.” Namun keponakannya tidak muncul di saat yang telah dijanjikan. Suatu hari, tujuh hari setelah ia bolos dari pelajaran dan tidak mempelajari cara-cara itu, ia terjebak di sebuah perangkap saat sedang menjelajahi tempat itu. Ibunya mencari Bodhisatta dan berkata, “Adikku, tidakkah engkau ajarkan cara-cara itu kepada keponakanmu?”
“Jangan pikirkan lagi si bandel yang tidak mau belajar itu,” kata Bodhisatta, [160] “anakmu tidak (berhasil) mempelajari cara-cara itu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, tanpa semangat untuk menasihati rusa yang membandel tersebut bahkan di saat ia menghadapi kematiannya, Bodhisatta mengulangi syair-syair ini : —
Ketika seekor rusa memiliki delapan kuku untuk berlari,
dan dilengkapi dengan tanduk bercabang yang tak terhitung jumlahnya,
dan dengan tujuh cara ia (mampu) menyelamatkan dirinya sendiri,
maka saya tidak bisa mengajarinya yang lain lagi, Kharādiyā.
Sedangkan pemburu itu membunuh rusa yang membandel itu, yang sedang terjebak di dalam perangkap, dan pergi dengan membawa dagingnya.
____________________
Ketika Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya dalam mendukung apa yang dikatakannya tentang bhikkhu yang sulit dinasihati itu, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan yang lampau, Beliau mempertautkan antara kedua kisah itu dan menjelaskan kelahiran itu dengan mengatakan, “Bhikkhu yang sulit dinasihati ini adalah keponakan rusa itu, Uppalavaṇṇā48 adalah kakak dari rusa itu dan Saya sendiri adalah rusa yang memberikan nasihat tersebut.”
[Catatan : Di dalam gāthā, tidak diterjemahkan kata kālāhi dari teks Fausböll yang tidak mempunyai arti. Demikian juga dengan versi lainnya yaitu kālehi, yang mempunyai kata pengganti dalam penerjemahannya. Kata kālāhi, suatu bacaan yang lebih sulit, muncul dalam beberapa naskah berbahasa Sinha, yang terbaca oleh Fausböll dalam cerita sejalan No.16. Bacaan ini juga diberikan oleh Dickson dalam J.R.A.S. Ceylon,1884,hal.188, dari Jātaka Pela Sanne. Jika kata kālehi diartikan, terjemahannya akan menjadi, “Saya tidak akan mencoba mengajari seseorang yang telah membolos selama tujuh kali.” Dalam J.R.A.S. Ceylon,1884,hal.125, Künte menyatakan, “Saya sedikit ragu kalau kata kālāhi merupakan bentuk asli pantun yang terkenal, dan kālehi adalah sebuah kesalahan darinya, hal ini menyebabkan para ahli tata bahasa membuat kesalahan dalam penyusunan katanya sehingga membentuk cerita singkat yang terlihat lucu, tentang seekor rusa yang tidak ingin pergi sekolah.”]
Catatan kaki :
48 Lihat kisah hidup yang menarik dari Theri ini di ‘Women Leaders of the Buddhist Reformation’ (J.R.A.S.1893, hal.540-552) karya Mrs.Bode, dimana terdapat penjelasan bahwa Uppala-vaṇṇā “mendapatkan namanya karena warna kulitnya seperti warna jantung bunga teratai biru tua.”

VĀTAMIGA-JĀTAKA

“Tidak ada hal yang lebih buruk,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya (Cūḷapiṇḍapātika). Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, ketika Sang Guru menetap di Weluwana dekat Rājagaha, seorang keturunan bangsawan, yang bernama Pangeran Tissa, datang ke Weluwana untuk mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Guru. Ia kemudian memiliki niat untuk bergabung menjadi anggota Sanggha, namun ditolak karena orang tuanya tidak memberikan izin. Ia mendapatkan persetujuan dari orang tuanya setelah mengikuti Raṭṭha-pāla46 dan mogok makan selama tujuh hari, akhirnya ia menerima penahbisan dari Sang Guru.
Sekitar dua minggu setelah menerima anak muda ini, Sang Guru meninggalkan Weluwana menuju ke Jetawana, dimana bangsawan muda ini menjalankan tiga belas latihan (moralitas) dhutaṅga 47 dan menghabiskan waktunya dengan mencari dana makanan dari rumah ke rumah, tanpa melakukan hal lain lagi. Dengan nama Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya (Cūḷapiṇḍapātika), ia menjadi sinar yang terang dan bercahaya dalam ajaran Buddha, laksana bulan di langit.
Saat sebuah perayaan sedang berlangsung di Rājagaha, orang tua thera tersebut meletakkan perhiasan-perhiasan kecil, yang biasa dipakainya saat masih merupakan umat awam, ke dalam sebuah kotak perak; menempelkan kotak itu ke dada,  ibunya meratap, — “Dalam perayaan yang lain, anak kami mengenakan perhiasan yang ini atau itu ketika mengikuti perayaan-perayaan tersebut; dia, putra tunggal kami, telah dibawa pergi oleh Petapa Gotama ke Kota Sawatthi. Dimanakah ia duduk atau berdiri sekarang ini?” Seorang pelayan wanita yang masuk ke dalam rumah melihat majikannya sedang menangis, menanyakan mengapa ia menangis; sang majikan pun menceritakan penyebab kesedihannya.
“Apa yang paling disukai oleh putramu, Nyonya?” “Ia menyukai ini dan itu,” jawabnya. “Baiklah, jika nyonya bersedia memberikan kekuasaan kepada saya atas rumah ini, saya akan membuat ia kembali ke rumah ini.” “Baik,” jawab sang majikan menyetujui hal tersebut, ia memberikan sejumlah uang untuk pengeluaran gadis itu dan mengirimnya pergi beserta sejumlah pendamping. Sang majikan berkata padanya, “Pergilah dan bawa putraku kembali.”
Gadis pelayan itu menaiki tandu dan segera berangkat ke Sawatthi. Di sana, ia menetap di jalan yang sering dilalui oleh thera tersebut dalam menerima dana makanan. [157] Dengan dikelilingi pelayannya sendiri, dan tidak membiarkan thera itu melihat pelayan ayahnya, ia memperhatikan saat thera itu muncul di jalan, lalu mendanakan makanan dan minuman. Setelah mengikat thera itu dengan rangkaian rasa yang membuatnya ketagihan, ia membuat thera itu selalu datang ke rumahnya, hingga akhirnya ia yakin bahwa dana yang ia berikan telah berhasil membuatnya menguasai thera tersebut. Setelah itu, ia berpura-pura sakit, dan berbaring di bilik dalam rumahnya.
Saat thera tersebut melakukan pindapata di jalan itu, ia tiba di depan pintu rumah gadis itu; pelayannya mengambil patta thera tersebut dan mempersilakannya untuk duduk.
Setelah duduk, ia bertanya, “Dimanakah Saudari itu?” “Ia sedang sakit, Bhante. Ia akan senang melihat kedatanganmu.”
Karena telah diikat dengan rangkaian rasa makanan yang membuatnya ketagihan, ia melanggar sumpah dan kewajibannya, ia pergi ke tempat gadis itu terbaring.
Gadis itu menceritakan alasan kedatangannya, membuat ia sedemikian rupa, karena ketagihan akan rasa, bersedia meninggalkan Sanggha; saat masih berada di bawah pengaruh gadis itu, ia dimasukkan ke dalam tandu dan kembali ke Rājagaha bersama rombongan itu.
Kejadian itu tersiar di mana-mana. Saat duduk di Balai Kebenaran, para bhikkhu mendiskusikan kejadian tersebut, berkata, “Awuso, ada laporan bahwa seorang pelayan wanita menggunakan rangkaian makanan yang rasanya menimbulkan ketagihan untuk mengikat dan membawa pergi Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya.” Sang Guru memasuki Balai Kebenaran, dan duduk di tempat duduk-Nya yang dihiasi dengan batu permata dan berkata, “Para Bhikkhu, apa yang menjadi topik pembicaraan pertemuan ini?” Mereka lalu menceritakan kejadian tersebut kepada Beliau.
“Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya karena terikat pada rasa makanan yang membuatnya ketagihan, ia jatuh ke dalam kuasa wanita itu; ia juga mengalami kejadian yang sama di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
_____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ia mempunyai seorang tukang kebun yang bernama Sañjaya. Suatu hari, seekor rusa angin (vātamiga) masuk ke taman peristirahatan raja dan lari menghilang dalam sekejap saat Sañjaya menyadari keberadaannya, namun Sañjaya membiarkannya tanpa membuat hewan itu menjadi ketakutan. Setelah beberapa kali muncul, rusa itu mulai terbiasa menjelajahi tempat itu. Tukang kebun tersebut mempunyai kebiasaan untuk mengumpulkan bunga dan buah, kemudian membawakannya kepada raja setiap harinya. Suatu hari, raja bertanya kepadanya, “Pernahkah kamu melihat sesuatu yang asing di taman peristirahatanku?” “Hanya seekor rusa angin, Paduka.” “Menurutmu, dapatkah kamu menangkapnya?” “Ya, jika saya mendapat sedikit madu, saya akan membawa rusa itu ke istana.”
Raja memerintah agar madu diantarkan kepada tukang kebun itu. Pergilah tukang kebun ke taman peristirahatan raja dengan madu di tangannya. Mula-mula, ia mengoleskan madu ke rumput di tempat yang sering didatangi oleh rusa itu, [158] kemudian bersembunyi. Ketika rusa itu muncul dan merasakan rumput yang telah diberi madu itu, ia terjerat oleh rasa harum rumput itu, sehingga ia hanya akan datang ke tempat itu saja. Melihat jeratannya telah memberikan hasil yang baik, tukang kebun itu secara berangsur-angsur memperlihatkan diri kepadanya. Kehadiran tukang kebun membuatnya melarikan diri di hari pertama dan hari kedua. Namun, setelah terbiasa melihat kehadiran tukang kebun tersebut, ia mulai merasa percaya padanya dan mulai mau makan rumput dari tangan tukang kebun itu. Tukang kebun yang menyadari bahwa ia telah memenangkan kepercayaan hewan itu, mulai menyebarkan cabang pohon hingga setebal permadani untuk menutupi jalan setapak di taman peristirahatan raja, kemudian mengikat sebuah labu yang telah dipenuhi oleh madu di bahunya, dan menempelkan seikat rumput di pinggang bajunya. Ia menjatuh sedikit demi sedikit rumput yang telah diolesi madu itu di hadapan rusa tersebut, hingga akhirnya mereka tiba di dalam istana. Begitu rusa itu menginjakkan kakinya di dalam istana, mereka segera menutup pintu. Di bawah tatapan para manusia, rusa itu ketakutan dan gemetaran, berusaha menyelamatkan diri dengan berlari hilir mudik di aula istana; Raja turun dari kamarnya yang berada di tingkat atas istana, melihat hewan yang sedang gemetaran itu, berkata, “Begitu takutnya rusa angin ini sampai-sampai selama seminggu penuh tidak akan mengunjungi tempat yang ada manusianya. Dan tempat dimana ia pernah ditakut-takuti, ia tidak akan pernah kembali lagi sepanjang hidupnya. Namun, karena terjerat oleh rasa yang begitu menggoda, hewan liar dari hutan ini benar-benar telah datang ke tempat seperti ini. Sungguh, Teman-temanku, tidak ada hal yang lebih hina dibanding rasa yang penuh godaan itu.” Ia memasukkan ajarannya dalam syair di bawah ini : —
Tidak ada hal yang lebih buruk lagi, dibanding jerat
(nafsu) rasa, baik di rumah maupun di tempat teman.
Demikianlah rasa itu berhasil membuat Sañjaya
membawa rusa liar ini datang ke sini.
Dengan kata-kata inilah raja melepaskan kijang itu kembali ke hutan.
______________________
[159] Saat Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya, Beliau mengulangi bahwa bhikkhu itu pernah jatuh pada kekuasaan wanita tersebut di kelahiran yang lampau, sama seperti yang terjadi di kelahiran ini. Kemudian mempertautkan kedua cerita dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Gadis pelayan itu adalah Sañjaya; Cūḷapiṇḍapātika adalah rusa, dan Saya sendiri adalah Raja Benares.”

KAṆḌINA-JĀTAKA

“Betapa buruknya panah cinta,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya dalam kehidupan berumah tangga; berhubungan dengan Indriya-Jātaka45 di Buku Kedelapan. Sang Bhagawan berkata kepada bhikkhu tersebut, “Bhikkhu, karena wanita inilah, di kehidupan yang lampau engkau menemui ajalmu dan dipanggang di atas bara api yang berpijar.” Para bhikkhu kemudian memohon Sang Bhagawan menjelaskan apa yang selama ini tidak diketahui mereka karena kelahiran kembali.
[154] (Mulai sekarang, kita akan menghilangkan katakata mengenai permintaan para bhikkhu yang memohon penjelasan dan penjelasan tentang hal tidak diketahui oleh mereka akibat adanya kelahiran kembali; Kita hanya akan mengatakan, “menceritakan kisah kelahiran lampau ini.” Saat kata-kata itu diucapkan, semua akan dilengkapi dan diulangi seperti kalimat di atas, — permohonan, kiasan dengan latar membebaskan bulan dari awan, dan menjelaskan tentang apa yang tersembunyi karena adanya kelahiran kembali.)
____________________
Sekali waktu di Kerajaan Magadha, di saat raja memegang kekuasaan di Rājagaha, saat tanaman telah tumbuh, rusa-rusa berada dalam bahaya besar, sehingga mereka pindah ke dalam hutan. Saat itu, seekor rusa jantan yang tinggal di dalam hutan, tertarik pada seekor rusa betina yang datang dari tempat di sekitar pedesaan. Digerakkan oleh rasa cintanya, ia menemani rusa betina itu ketika kawanan rusa itu hendak kembali ke rumah mereka. Rusa betina itu berkata pada kepadanya, “Tuan, kamu adalah seekor rusa gunung yang benar-benar hanya tinggal di hutan, lingkungan di sekitar pedesaan penuh dengan bahaya dan risiko. Jadi, jangan bergabung bersama kami.” Namun, karena sangat menyukai rusa betina itu, ia memilih untuk pergi bersamanya, bukan tetap tinggal di hutan.
Ketika mereka tahu telah tiba saat dimana rusa-rusa akan turun gunung, para penduduk Magadha mengambil posisi mereka masing-masing untuk menyergap rusa-rusa itu di tengah jalan; di antara mereka, ada seorang pemburu yang sedang berbaring menanti di jalanan yang akan dilalui oleh rombongan itu. Mencium adanya manusia di tempat itu, rusa betina yang merasa curiga akan keberadaan pemburu yang akan menyergap mereka, meminta rusa gunung jantan itu berjalan di depan, sementara ia sendiri mengikuti dari belakang dengan jarak yang lumayan jauh. Hanya dengan satu anak panah, pemburu itu membunuh rusa gunung tersebut; rusa betina yang melihat kejadian itu, kabur secepat kilat. Pemburu itu keluar dari tempat persembunyiannya, menguliti rusa gunung dan menyalakan api untuk memasak daging segar itu di atas bara api. Setelah puas makan dan minum, ia membawa pulang sisa-sisa bangkai yang masih mengeluarkan darah itu dengan cara diikatkan di sebatang galah, agar anak-anaknya juga dapat menikmati daging tersebut.
Saat itu Bodihsatta merupakan dewa pohon yang menetap di pohon mangga, ia mengetahui apa yang akan melewati tempat itu. “Bukan ayah maupun ibu, namun nafsu itu sendiri yang membinasakan rusa bodoh itu [155]. Nafsu diawali dengan kebahagiaan, namun selalu diakhiri dengan kesedihan dan penderitaan, — kehilangan yang sangat menyakitkan dan lima bentuk penderitaan dari kemelekatan dan kemarahan. Menyebabkan kematian bagi orang lain adalah tindakan yang sangat keji di dunia ini; nama buruk juga untuk tempat dimana seorang wanita berkuasa dan memerintah; dan nama buruk jika laki-laki menyerahkan dirinya di bawah kekuasaan wanita.” Bersamaan itu, saat makhluk dewata lainnya yang berada di hutan itu bertepuk tangan dan mempersembahkan wewangian, bunga dan sejenisnya dengan penuh penghormatan, Bodhisatta merangkai ketiga keburukan itu dalam satu syair tunggal, dan menggaungkan suaranya yang merdu di hutan itu, saat mengajarkan kebenaran dalam bait-bait berikut ini :
Betapa buruknya panah cinta yang membuat laki-laki menderita!
Betapa buruknya tempat dimana wanita memegang puncak pimpinan,
Betapa buruknya si dungu yang membungkuk pada kekuasaan wanita!
Di dalam satu syair tunggal itu, terdapat tiga keburukan yang diulang oleh Bodhisatta, hutan menggemakan kembali apa yang diajarkannya tentang Kebenaran dengan penuh keunggulan dan keagungan dari seorang Buddha [156].
____________________
Saat ajaran-Nya berakhir, Sang Guru membabarkan Empat Kebenaran Mulia, dimana pada akhir khotbah, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Setelah menyampaikan kisah tersebut, Sang Guru mempertautkan kedua kisah dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut.
(Mulai sekarang, kita akan menghilangkan kata ‘setelah menceritakan kedua kisah itu’ dan hanya berkata ‘menunjukkan hubungan, dan seterusnya’, kata-kata yang hilang akan dilengkapi seperti sebelumnya.)
“Pada waktu itu,” kata Sang Guru, “bhikkhu yang menyesal itu adalah rusa jantan itu, istrinya saat ia masih merupakan perumah-tangga adalah rusa betina itu, dan Saya sendiri adalah dewa pohon yang membabarkan Kebenaran untuk menunjukkan keburukan dari nafsu (kesenangan indriawi).”
[Catatan : Lihat hal.330 dari Pañca-Tantra karya Benfey]
Catatan kaki :
45 No. 423.

NIGRODHAMIGA-JĀTAKA

“Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang ibunda dari Thera Kassapa. Seperti yang diketahui, ia adalah putri dari seorang saudagar kaya di Rājagaha, ia sangat menjunjung kebaikan dan memandang rendah hal-hal yang bersifat duniawi; ia telah mencapai kelahiran terakhirnya, di dalam dirinya seperti nyala lampu dalam kegelapan, terpancar keyakinan untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Begitu memahami keinginannya, ia tidak lagi menikmati kesenangan indriawi, yang ada hanya niat untuk meninggalkan keduniawian. Untuk mencapai keinginannya, ia mengatakan kepada ibu dan ayahnya, “Orang tuaku yang tercinta, saya tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan keduniawian ini, saya merasa malu jika tidak menjalankan ajaran Buddha. Biarkan saya menjadi anggota Sanggha.”
“Apa, Anakku? Kita adalah keluarga yang sangat kaya, dan kamu adalah putri tunggal kami. Kamu tidak boleh menjadi anggota Sanggha.”
Gagal mendapatkan persetujuan orang tuanya walaupun ia mengulangi permintaan itu lagi dan lagi, akhirnya ia berpikir, “Kalau begitu, setelah saya menikah, saya akan meminta persetujuan dari suami saya dan menjadi anggota Sanggha.” Setelah dewasa ia menikah, ia menjadi seorang istri yang berbakti, dan menjalani hidup dengan penuh kebaikan dan kebajikan 41 di rumah barunya. Telah tiba saat baginya untuk melepaskan impiannya, walaupun ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya.
Saat sebuah perayaan berlangsung di kota, [146] semua orang mendapatkan libur, kota itu dihiasi menyerupai kota dewa. Namun ia, bahkan di saat puncak perayaan, tidak berdandan maupun memakai perhiasan, ia hanya tampil seadanya seperti hari-hari biasa. Suaminya bertanya, “Istriku, semua orang sedang bergembira, mengapa engkau tidak bersemangat?”
“Pemimpin dan Tuanku,” ia menjawab, “badan ini diisi dengan tiga puluh dua komponen, jadi mengapa ia harus dihias? Badan ini bukan cetakan dari dewa maupun brahma; tidak terbuat dari emas, permata, atau kayu cendana; tidak dikandung dalam bunga teratai, baik yang putih, merah maupun biru; tidak
diisi dengan balsem keabadian. Tidak, badan ini akan rusak, dilahirkan oleh manusia biasa, mutu badan ini ditentukan oleh apa yang ia pakai dan yang dihabiskannya, ia akan hancur dan binasa karena bersifat sementara; sudah pasti ia akan dikubur, dan juga dipenuhi dengan nafsu keinginan; sumber penderitaan dan ratapan kita; tempat tinggal segala jenis penyakit, dan tempat dimana kita menimbun karma. Di dalamnya juga kotor — selalu mengeluarkan kotoran. Yah, seperti yang dapat dilihat semua orang, diakhiri oleh kematian, dibawa ke pemakaman, kemudian dijadikan tempat tinggal bagi cacing-cacing42 [147]. Apa yang dapat saya peroleh, Suamiku, dengan membuatnya menarik? Bukankah mendandaninya sama dengan menghiasi bagian luar dari kotoran yang telah dibungkus?”
“Istriku,” balas saudagar muda itu, “jika engkau menganggap tubuh ini begitu menjijikkan, mengapa engkau tidak menjadi seorang bhikkhuni saja?”
“Jika saya diterima, Suamiku, saya akan bergabung secepat mungkin.” “Baiklah,” jawab suaminya, “saya akan membuatmu diterima oleh Sanggha Bhikkhuni.” Suaminya memberikan sejumlah hadiah dan bersikap ramah terhadap Sanggha, mengirimkan sejumlah orang untuk mendampingi istrinya di kuti, ia pun diterima menjadi bhikkhuni, — namun dalam Sanggha yang dipimpin oleh Devadatta. Bagian yang baik adalah, ia merasa bahagia karena keinginannya untuk menjadi bhikkhuni telah terpenuhi.
Dengan berlalunya waktu, para bhikkhuni melihat ada perubahan dalam dirinya, keringat di tangan dan kakinya serta badan yang semakin gemuk, berkata, “Ayya, kamu terlihat seperti orang yang sedang mengandung; apa yang telah terjadi sebenarnya?”
“Saya tidak tahu, Ayya; saya hanya tahu saya sedang menjalankan hidup yang suci.”
Para bhikkhuni membawanya menghadap Devadatta, berkata, “Yang Mulia, wanita ini, yang menjadi bhikkhuni dengan persetujuan yang diberikan secara berat hati oleh suaminya, terlihat sedang mengandung. Namun apakah ini terjadi sebelum atau sesudah ia menjadi bhikkhuni, tidak bisa kami katakan. Apa yang harus kami lakukan?”
Belum menjadi Buddha dan tidak mempunyai kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih, Devadatta berpikir, “Akan menjadi kabar yang merusak citraku jika hal ini tersebar keluar, bahwa salah seorang bhikkhuni pengikutku sedang mengandung dan aku mengampuni pelanggaran yang dilakukannya. Sudah jelas apa yang harus aku lakukan — aku harus mengeluarkannya dari Sanggha.” Tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu, tangannya bergerak ke depan seakan mendorong tumpukan batu, ia berkata, “Pergi, usir wanita ini !”
Menerima jawaban itu, mereka bangkit, memberikan hormat, kemudian kembali ke kuti mereka. Wanita itu berkata kepada para bhikkhuni, “Ayya, Devadatta bukanlah Sang Buddha. Saya tidak mengambil sumpah terhadap Devadatta, namun terhadap Buddha, yang terkemuka di seluruh dunia. Jangan rampas kesempatan yang telah saya peroleh dengan susah payah ini; bawa saya ke Jetawana untuk menghadap Sang Guru.” Maka mereka membawanya ke Jetawana, dengan menempuh perjalanan sejauh empat puluh lima yojana dari Rājagaha, setelah tiba di sana, mereka memberikan penghormatan kepada Sang Guru dan memaparkan kejadian tersebut kepada Beliau.
Sang Guru berpikir, “Sekalipun anak ini dikandung sewaktu ia masih umat awam, hal ini akan memberi kesempatan kepada orang-orang untuk mengatakan bahwa Petapa Gotama [148] menerima bhikkhuni yang diusir oleh Devadatta. Untuk menghindari hal tersebut, kasus ini harus dibicarakan di hadapan raja dan pengadilannya.” Maka keesokan harinya Beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anāthapiṇḍika dan anaknya, Visākhā – upasika yang terkenal dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Sorenya, keempat kelompok siswa Sang Buddha telah berkumpul – bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika – Beliau berkata kepada Thera Upāli, “Pergilah untuk menjelaskan masalah bhikkhuni tersebut di hadapan keempat kelompok siswa-Ku.”
“Akan segera saya laksanakan, Bhante,” jawab thera itu, dan segera pergi ke tempat mereka berkumpul. Di sana, ia duduk di tempatnya, kemudian memanggil Visākhā – upasika yang merupakan siswa Sang Buddha, di bawah tatapan raja, memintanya untuk memimpin penyelidikan tersebut, dengan berkata, “Pertama, tegaskan pada tanggal berapa bulan berapa wanita ini bergabung dalam Sanggha Bhikkhuni, Visākhā; kemudian hitung apakah ia mengandung sebelum atau sesudah tanggal tersebut.”
Untuk melaksanakan perkataan thera itu, para wanita memasang tirai membentuk penyekat, ke sanalah Visākhā dan wanita itu pergi. Dengan memperhatikan tangan, kaki, pusar, dibandingkan dengan hari dan bulan, Visākhā mendapatkan bahwa kehamilan itu terjadi sebelum wanita itu menjadi bhikkhuni. Hal ini kemudian di sampaikan kepada Thera Upāli, yang mengumumkan bahwa bhikkhuni tersebut tidak bersalah di hadapan semua orang yang berkumpul di tempat tersebut. Setelah dinyatakan tidak bersalah, ia memberikan penghormatan kepada Sanggha dan Sang Guru, kemudian kembali ke tempat tinggal mereka.
Ketika waktu untuk melahirkan telah tiba, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang penuh semangat, seperti apa yang pernah ia minta di kaki Buddha Padumuttara di kelahiran lampau. Suatu hari, saat raja melewati kuti itu, ia mendengar suara tangisan bayi dan bertanya kepada para menterinya mengapa terdapat bayi di kuti itu. Para menteri yang mengetahui kejadian tersebut menjelaskan kepada raja bahwa itu adalah tangisan dari bayi yang dilahirkan oleh bhikkhuni tersebut. “Tuan-tuan,” kata raja, “mengasuh anak akan menghalangi para bhikkhuni menjalani kehidupan suci mereka, biar kita yang bertanggung jawab mengasuh anak itu.” Bayi itu kemudian diambil dari ibunya atas perintah raja. Ia pun diasuh layaknya seorang pangeran. Saat pemberian nama tiba, ia diberi nama Kassapa, namun lebih dikenal sebagai Pangeran Kassapa, karena ia dibesarkan layaknya seorang pangeran.
Pada usia tujuh tahun, ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sang Guru, dan menjadi bhikkhu setelah ia cukup dewasa. Dengan berlalunya waktu, ia menjadi terkenal karena kemampuannya dalam menjelaskan Dhamma secara terperinci. Sang Guru memberinya hak istimewa dengan mengatakan, “Para Bhikkhu, di antara para siswa-Ku, Kassapa adalah orang pertama yang paling fasih dalam menyampaikan Dhamma.” Kemudian, melalui pengamalan Vammika Sutta43 ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Demikian pula dengan ibunya, bhikkhuni itu, dengan pandangan yang jernih berhasil mencapai jhana tertinggi. Kassapa adalah seorang thera yang bercahaya dalam ajaran Buddha, [149] laksana bulan purnama di langit. Suatu siang, setelah Sang Tathāgata kembali dari pindapata, Beliau membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, kemudian masuk ke dalam kamarnya yang wangi (gandhakuṭī) untuk beristirahat. Setelah khotbah berakhir, para bhikkhu menghabiskan sepanjang siang, di luar waktu istirahat siang mereka hingga menjelang sore hari saat berkumpul di Dhammasabhā (Balai Kebenaran), membicarakan hal berikut ini : — “Awuso, Devadatta, yang bukan seorang Buddha dan tidak memiliki kemurahan hati, cinta kasih dan belas kasih, hampir saja mengacaukan hidup Thera Kassapa dan hidup ibunya yang juga seorang bhikkhuni itu. Namun, Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, Raja Dhamma yang sempurna dalam kebajikan, cinta kasih dan belas kasih, telah menyelamatkan hidup mereka.” Saat mereka sedang memuji tindakan Sang Buddha, Beliau memasuki balai itu dengan kemuliaan seorang Buddha. Setelah duduk di tempatnya, Beliau menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan pada saat itu. “Tentang kebaikan-Mu, Bhante,” jawab mereka, lalu menceritakan semua pembicaraan mereka kepada Beliau.
“Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sang Tathāgata membuktikan dan menyelamatkan hidup mereka berdua; hal yang sama juga terjadi di kehidupan lampau.”
Kemudian, atas permintaan para bhikkhu, Beliau menjelaskan apa yang tidak diketahui mereka karena adanya kelahiran kembali.
____________________
Sekali waktu Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa. Saat dilahirkan, ia berwarna keemasan, matanya bulat bagaikan batu permata; tan-duknya berkilau keperakan; bibirnya merah bagai sekumpulan kain merah tua; kuku di keempat kakinya terlihat seperti di pernis; ekornya bagaikan ekor yak; dan tubuhnya sebesar anak kuda. Bersama lima ratus ekor rusa lainnya, ia tinggal di sebuah hutan, ia di kenal sebagai Raja Rusa Beringin (Nigrodhamiga). Di dekat mereka, terlihat seekor rusa lain bersama lima ratus ekor rusa pendampingnya, rusa tersebut bernama Rusa Cabang (Sākhamiga), juga berwarna keemasan seperti Bodhisatta.
Pada masa itu, Raja Benares sangat suka berburu dan selalu memakan daging setiap kali ia makan. Setiap hari ia mengumpulkan semua penduduknya, baik orang desa maupun orang kota, untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi berburu bersamanya. Rakyat kemudian berpikir, “Raja menghentikan semua kegiatan kami. Kami harus [150] menyebarkan makanan dan menyediakan air minum untuk rusarusa yang berada di taman peristirahatan raja, kemudian menggiring sejumlah rusa liar ke tempat tersebut, mengurung mereka di dalam dan menyerahkan mereka kepada raja!” Maka mereka menyebarkan rumput untuk rusa-rusa di taman peristirahatan raja, menyediakan air minum, dan membuka pintu gerbang selebar mungkin. Kemudian mereka meminta orangorang kota masuk ke dalam hutan dengan membawa tongkat dan semua jenis senjata lainnya untuk mencari rusa. Mereka mengelilingi hutan itu dengan radius satu yojana, bertujuan untuk menangkap rusa-rusa yang berada dalam lingkaran yang mereka buat. Saat berkeliling, mereka tiba di tempat yang sering didatangi oleh kawanan Rusa Beringin dan Rusa Cabang. Begitu melihat kawanan rusa itu, mereka mulai memukuli pepohonan, rerumputan dan tanah dengan menggunakan tongkat mereka, hingga akhirnya kawanan rusa itu berhasil mereka giring keluar dari sarang mereka. Setelah itu mereka membuat suara hiruk pikuk dengan memukulkan pedang, tongkat dan busur mereka untuk menggiring kawanan rusa tersebut ke taman peristirahatan raja, dan segera menutup pintu gerbang tempat tersebut. Kemudian mereka menghadap raja, berkata, “Paduka, Anda memerintahkan kami menghentikan semua kegiatan kami dan meminta kami pergi berburu; sekarang kami telah menggiring sejumlah besar rusa untuk memenuhi taman peristirahatanmu. Mulai sekarang, jadikanlah mereka santapanmu.”
Raja segera mengunjungi taman peristirahatan, saat mengamati kawanan rusa itu, ia melihat dua ekor rusa yang berwarna keemasan, dan menganugerahkan kekebalan terhadap hukuman mati kepada mereka. Kadang-kadang raja mengunjungi tempat itu, menembaki salah seekor rusa lalu membawa bangkai rusa itu pulang; Kadang-kadang, koki istana yang akan datang untuk membunuh salah seekor kawanan rusa itu. Begitu melihat busur, kawanan rusa itu berlari ketakutan untuk menyelamatkan nyawa mereka; setelah mendapat dua hingga tiga luka di badan, mereka menjadi lemas dan jatuh pingsan, kemudian dibunuh. Kawanan rusa ini menceritakan hal tersebut kepada Bodhisatta, ia kemudian mengundang Rusa Cabang dan berkata, “Teman, sejumlah rusa telah dibunuh; walaupun mereka tidak bisa lolos dari kematian, paling tidak mereka tidak perlu menerima luka yang tidak perlu mereka derita. Mereka akan menerima kematian 44 secara bergiliran. Satu hari dari kawananku dan keesokan harinya giliran kawananmu, — rusa yang mendapat giliran harus pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati itu dan berbaring dengan posisi kepala berada di balok hukuman mati tersebut. Dengan cara ini, rusa-rusa yang lain tidak perlu menderita luka.” Rusa Cabang itu setuju; mulai saat itu, rusa yang mendapat giliran, pergi ke sana [151] dan berbaring dengan leher berada di balok tersebut. Koki yang datang hanya akan membunuh korban yang telah menunggu kematiannya.
Suatu hari, giliran itu jatuh ke tangan seekor rusa betina dari kawanan Rusa Cabang yang sedang mengandung. Ia mencari Rusa Cabang dan berkata, “Tuanku, saya sedang mengandung. Setelah saya melahirkan, kami berdua akan menerima giliran kami. Biarkanlah saya melompati giliran kali ini.” “Tidak, saya tidak bisa mengganti giliranmu dengan rusa yang lain,” jawabnya, “kamu harus menerima peruntunganmu sendiri. Pergilah!” Tidak mendapat bantuan dari Rusa Cabang, rusa betina itu mencari Bodhisatta dan menceritakan masalah yang ia hadapi. Bodhisatta menjawab, “Baik, pergilah, saya berjanji engkau telah melewati giliran tersebut.” Bersamaan itu, ia pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati dan membaringkan dirinya dengan kepala berada di atas balok. Koki berteriak saat melihat Rusa Beringin itu, “Mengapa Raja Rusa yang mendapat kekebalan itu bisa berada di sini? Apa maksud kejadian ini?” Ia segera berlari menemui raja dan menceritakan hal tersebut. Mendengar kejadian itu, raja naik kereta perangnya dan tiba bersama sejumlah pengawal. “Raja Rusa temanku,” ia berkata sambil memandang Bodhisatta, “bukankah saya telah menjanjikan kehidupan untukmu? Mengapa engkau bisa berbaring di sini?”
“Paduka, seekor rusa betina yang sedang hamil tua datang menghadapku, memohon agar gilirannya digantikan oleh rusa lain; karena saya tidak bisa memindahkan kematian dari satu rusa ke rusa yang lain, maka saya menukarkan nyawa saya untuknya dan kematiannya untuk saya dengan berbaring di sini. Jangan berpikir ada alasan lain untuk tindakan ini, Paduka.”
“Raja Rusa Emas,” kata Raja, “saya belum pernah melihat, bahkan di antara para manusia, seseorang dengan kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih sebesar yang engkau miliki. Hal ini membuat saya merasa senang terhadap keberadaanmu. Bangkitlah! Saya bebaskan nyawamu dan nyawa rusa betina itu.”
“Meskipun dua nyawa telah diselamatkan, apa yang akan terjadi pada rusa-rusa lainnya, wahai Raja Para Manusia?” “Akan saya bebaskan juga nyawa mereka, Raja Rusa.” “Paduka, hanya rusa di taman peristirahatanmu yang bebas dari hukuman mati, apa yang akan terjadi pada semua rusa lain yang ada?” “Nyawa mereka akan saya bebaskan juga, Raja Rusa.” “Paduka, rusa-rusa akan aman; namun, apa yang akan terjadi pada makhluk berkaki empat lainnya?” [152] “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, makhluk-makhluk berkaki empat akan merasa aman, namun apa yang akan terjadi pada kawanan burung?” “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, burung-burung akan aman, bagaimana dengan ikan-ikan yang hidup di air?” “Saya akan membebaskan nyawa mereka juga, Raja Rusa.”
Setelah memohon pengampunan Raja atas nama seluruh makhluk hidup, makhluk yang agung itu pun bangkit, ia mengukuhkan lima latihan moralitas (Pañca Sīla) kepada raja, dan berkata, “Berjalanlah di jalan kebenaran, Raja yang agung. Berjalan di jalan kebenaran dan keadilan untuk orang tua, anakanak, orang-orang kota dan para penduduk desa, sehingga saat raga ini hancur, engkau akan memasuki alam bahagia.” Dengan keagungan dan ketulusan yang merupakan tanda-tanda dari seorang Buddha, ia membabarkan Kebenaran kepada raja. Selama beberapa hari ia tinggal di taman peristirahatan raja atas perintah raja, kemudian kembali ke hutan bersama kawanan rusa pengikutnya.
Rusa betina itu melahirkan seekor anak rusa yang cantik, seperti kuncup teratai yang hendak mekar. Anak rusa itu sering bermain bersama Rusa Cabang. Melihat itu, ibunya berkata, “Anakku, jangan bermain bersama Rusa Cabang, bermainlah bersama kawanan Rusa Beringin.” Dengan tujuan menasihati anaknya, ia mengulangi syair berikut ini : —
Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin,
dan hindari bersama kawanan Rusa Cabang;
Lebih banyak kebahagiaan, jauh dari kematian, Anakku,
bersama dengan Rusa Beringin, dibanding syarat-syarat hidup yang berlebihan dari Rusa Cabang.
Setelah itu, rusa-rusa yang mendapat kekebalan, makan hasil panen manusia, dan para manusia, yang mengingat kekebalan yang dianugerahkan kepada mereka, tidak berani memukul atau menggiring pergi rusa-rusa itu. Mereka berkumpul di ruang pengadilan kerajaan dan menyampaikan masalah itu kepada raja. Raja berkata, “Saat Rusa Beringin mendapatkan bantuanku, [153] saya telah menjanjikan anugerah untuknya. Lebih baik saya melepaskan kerajaan dari pada menarik kembali janji yang telah saya ucapkan. Pergilah! Tidak boleh ada orang di kerajaanku yang melukai rusa-rusa itu.”
Saat kabar itu terdengar oleh Rusa Beringin, ia mengumpulkan semua kawanan rusanya, dan berkata, “Mulai saat ini, kalian tidak boleh makan hasil panen para manusia.” Setelah memberi larangan pada rusa-rusa itu, ia mengirimkan pesan kepada manusia, yang berbunyi, “Mulai hari ini, para petani tidak perlu memagari ladang mereka, namun berikan tanda berupa daun yang diikatkan di sekeliling ladang.” Sebagaimana yang kita ketahui, sejak adanya ide mengikat dedaunan untuk menandai ladang-ladang, tidak ada lagi rusa yang memasuki ladang-ladang yang telah ditandai. Semua itu berkat petunjuk yang diberikan oleh Bodhisatta.
Setelah memberikan nasihat kepada kawanan rusa itu, dan setelah hidup cukup lama, akhirnya Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya. Demikian juga dengan raja yang mematuhi ajaran Bodhisatta, setelah menghabiskan hidup dengan melakukan kebaikan, ia meninggal dunia dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya.
____________________
Setelah uraian itu berakhir, Sang Buddha mengulangi bahwa saat ini, sama di seperti di kelahiran lampau, Beliau telah menyelamatkan sepasang nyawa, kemudian Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Setelah itu Sang Bhagawan mempertautkan kedua kisah tersebut, dan menjelaskan kelahiran itu dengan berkata, “Devadatta adalah Rusa Cabang, dan pengikutnya adalah pengikut Rusa Cabang; bhikkhuni itu adalah rusa betina di masa itu, dan Kassapa adalah anak rusa betina itu; Ānanda adalah raja tersebut; dan Saya sendiri adalah Raja Rusa Beringin.”
[Catatan : Jātaka ini berhubungan dengan Milindapañho (hal.289 dari terjemahan Rhys Davids), dan tertera di Plates XXV.(1) dan XLIII.(2) dari Stupa of Bharhut karya Cunningham. Lihat juga Huen Thsang,II.361 karya Julien. Untuk syair dan cerita pembuka, lihat Dhammapada, hal.327-330.]
Catatan kaki :
41 Mungkin juga, “dengan penuh keindahan.”
42 Rentetan yang panjang dari syair tentang kejijikan dari anggota tubuh telah dihilangkan.
43 Sutta kedua puluh tiga dari Majjhima-Nikāya.
44 Untuk dhammagaṇḍikā lihat Jāt.II.124;III.41