Sabtu, 21 April 2012

ASĀTARŪPA-JĀTAKA

“Dalam samaran kegembiraan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Kuṇḍadhānavana dekat Kota Kuṇḍiya mengenai Suppavāsā, seorang upasika yang merupakan putri dari Raja Koliya. Pada saat itu, ia mengandung seorang anak selama tujuh tahun dalam kandungannya, selama tujuh hari waktu persalinannya disiksa oleh rasa sakit akan melahirkan, penderitaannya sangat memilukan hati. Diluar penderitaannya, ia berpikir sebagai berikut, “Bhagawan, Yang Tercerahkan Sempurna, membabarkan Dhamma sehingga akhirnya penderitaan ini mungkin akan terhenti; Kebajikan adalah sifat utama Sang Bhagawan yang dijalankan-Nya, sehingga akhirnya penderitaan ini mungkin dapat berhenti; Terberkahi adalah nibbana, di saat penderitaan seperti ini bisa terhenti.” Ketiga pemikiran ini merupakan penghiburan baginya dalam kesakitannya. Dan ia mengirim suaminya menemui Sang Buddha untuk menyampaikan keadaannya dan untuk menyampaikan sebuah salam darinya.
Pesannya disampaikan kepada Sang Bhagawan, yang berkata, [408] “Semoga Suppavāsā, putri Raja Koliya, menjadi sehat dan kuat kembali, dan melahirkan seorang bayi yang sehat.” Dengan kata-kata dari Sang Bhagawan, Suppavāsā, putri Raja Koliya, menjadi sehat dan kuat, dan melahirkan seorang bayi yang sehat. Saat kembali, suaminya mendapatkan istrinya telah melahirkan dengan selamat, suaminya menjadi kagum dengan kekuatan yang agung dari Sang Buddha. Setelah anaknya lahir, Suppavāsā sangat ingin mempersembahkan hadiah selama tujuh hari kepada para bhikkhu dengan Buddha sebagai guru mereka, dan mengirim suaminya lagi untuk mengundang mereka. Pada waktu yang sama, Sanggha dengan Buddha sebagai pemimpin mereka telah menerima undangan dari seorang umat awam yang menyokong Thera Moggallāna Yang Agung; namun, Sang Guru, yang ingin memenuhi permintaan Suppavāsā dalam memberikan dana (makanan), mengutus sang thera untuk menjelaskan masalah tersebut, dan bersama Sanggha menerima undangan makan dari Suppavāsā selama tujuh hari. Pada hari ketujuh ia mendandani bayi kecilnya, yang bernama Sīvali, dan membuat putranya membungkuk di depan Buddha dan Sanggha. Saat bayi itu dibawa untuk melakukan hal yang sama pada Sāriputta, thera itu dengan penuh keramahan menyapa bayi tersebut, berkata, “Baiklah, Sīvali, apakah engkau sehat-sehat saja?” “Bagaimana mungkin, Bhante?” jawab bayi itu. “Selama tujuh tahun yang panjang saya harus bermandikan darah.”
Dengan gembira Suppavāsā berseru, “Anakku, yang hanya berusia tujuh hari, berbincang-bincang mengenai keyakinan dengan Thera Sāriputta, sang Panglima Dhamma!”
“Maukah engkau memiliki anak lagi yang seperti ini?” tanya Sang Guru. “Mau, Bhante,” jawab Suppavāsā, “tujuh anak lagi, jika saya bisa mendapatkan anak yang seperti ini.” Dengan kata-kata yang khidmat Sang Guru mengucapkan terima kasih atas keramahan Suppavāsā dan pergi dari sana.
Pada usia tujuh tahun Sīvali menyerahkan diri pada ajaran Buddha, dan meninggalkan keduniawian untuk bergabung dalam Sanggha; pada usia dua puluh tahun ia telah menjadi bhikkhu. Ia penuh dengan kebaikan dan mendapatkan berkah kebaikan berupa tingkat kesucian Arahat, bumi bersorak dalam kebahagiaan.
Suatu hari, para bhikkhu berkumpul di Balai Kebenaran membicarakan hal tersebut, berkata, “Thera Sīvali, yang sekarang begitu bersinar, adalah seorang anak yang sering didoakan; selama tujuh tahun ia berada dalam kandungan dan proses kelahirannya memakan waktu tujuh hari. Betapa hebatnya rasa sakit yang dialami oleh ibu dan anak itu! Karena melakukan apakah mereka mengalami penderitaan seperti itu?”
Masuk ke dalam balai itu, Sang Guru menanyakan topik pembicaraan mereka. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sīvali yang penuh kebaikan [409] dikandung selama tujuh tahun dan proses kelahirannya berlangsung selama tujuh hari lamanya adalah karena perbuatannya sendiri di kehidupan yang lampau.
Demikian juga dengan Suppavāsā yang mengandung selama tujuh tahun dan melahirkan setelah tujuh hari adalah akibat perbuatannya sendiri di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah putra mahkota, ia tumbuh dewasa dan mendapat pendidikan di Takkasilā, dan setelah ayahnya meninggal ia menjadi seorang raja dan memerintah dengan penuh keadilan. Pada masa itu, Raja Kosala datang dengan kekuatan yang hebat untuk berperang dengan Benares, dan membunuh raja serta mengambil Ratu Benares menjadi istrinya.
Saat raja dibunuh, putranya melarikan diri melalui selokan. Setelah itu ia mengumpulkan kekuatan yang besar dan datang ke Benares. Berkemah di dekat sana, ia mengirim pesan kepada raja untuk menyerahkan kerajaannya atau berperang. Raja mengirim jawaban bahwa ia memilih berperang. Namun ibu pangeran muda ini, mengetahui hal tersebut, mengirim pesan kepada anaknya, yang mengatakan, “Tidak perlu melakukan peperangan. Biarlah setiap jalan masuk ke kota di setiap sisi diberi pengawasan dan diberi penghalang, sehingga mereka kehabisan kayu bakar, air dan makanan, membuat orang-orang lemas. Setelah itu kota akan jatuh ke tanganmu tanpa perlu melakukan peperangan.” Mengikuti nasihat ibunya, selama tujuh hari pangeran tersebut mengawasi kota dengan ketat melalui blokade, hingga akhirnya pada hari ketujuh para penduduk memenggal kepala raja dan membawakannya untuk pangeran tersebut. Kemudian ia memasuki kota dan menjadikan dirinya sebagai raja. Setelah meninggal dunia ia terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Hasil dan akibat tindakannya memblokir kota selama tujuh hari adalah selama tujuh tahun ia berada dalam kandungan, dan proses kelahirannya berlangsung selama tujuh hari. Namun, karena ia bersujud di kaki Buddha Padumuttara dan memberikan sejumlah persembahan (dana) dengan tekad untuk menjadi seorang Arahat, ia pun mendapatkan berkah mencapai tingkat kesucian Arahat; dan karena di masa Buddha Vipassī, ia memberikan sejumlah persembahan dengan tekad yang sama, bersama para penduduk kota, mempersembahkan dana yang amat bernilai;— [410] karenanya, atas kebaikannya, ia mendapatkan berkah mencapai tingkat kesucian Arahat. Dan karena Suppavāsā yang mengirim pesan meminta anaknya mengambil alih kota melalui blokade, mendapatkan balasan dengan mengandung selama tujuh tahun dan melahirkan setelah tujuh hari.
Uraian-Nya berakhir, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengulangi syair berikut ini:
Dalam samaran kegembiraan dan kesenangan,
penderitaan muncul dan menggoyahkan batin untuk
menguasai diri orang-orang yang lengah.
Setelah memberikan pelajaran ini, Sang Guru menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Sīvali adalah pangeran yang waktu itu memblokir kota dan menjadi raja; Suppavāsā adalah ibunya, dan Saya adalah ayahnya, Raja Benares.”

PAROSAHASSA-JĀTAKA

“Jauh lebih baik dari seribu orang bodoh,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai pertanyaan orang awam (puthujjana). [406] (Kejadian ini akan dijelaskan dalam Sarabhaṅga-Jātaka185.)
Dalam suatu kesempatan tertentu para bhikkhu berkumpul di Balai Kebenaran dan memuji kebijaksanaan Sāriputta, sang Panglima Dhamma, yang menguraikan arti inti pembicaraan Sang Buddha. Masuk ke dalam balai tersebut, Sang Guru bertanya dan mendapat penjelasan mengenai apa yang sedang dibicarakan oleh para bhikkhu. “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Beliau, “arti inti pembicaraan saya dijelaskan oleh Sāriputta. Ia juga melakukan hal yang sama di  kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana dari utara dan menyelesaikan pendidikannya di Takkasilā. Melepaskan kesenangan indriawi dalam dirinya dan meninggalkan keduniawian untuk menjalani hidup sebagai petapa, ia memperoleh lima abhiññā (kemampuan batin luar biasa) dan delapan pencapaian meditasi, dan menetap di Himalaya, tempat lima ratus orang petapa berkumpul di sekelilingnya. Pada suatu musim hujan, siswa utamanya pergi bersama setengah dari jumlah para petapa itu ke perkampungan manusia untuk mendapatkan garam dan cuka. Dan itu adalah saat dimana ajal Bodhisatta telah dekat. Dan para siswanya, ingin mengetahui pencapaian spiritualnya, bertanya padanya, “Apa keunggulan yang telah Anda capai?”
“Capai?” tanyanya; “Saya mencapai kekosongan 186 .” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Dewa Ābhassara. (Meskipun Bodhisatta dapat mencapai keadaan yang tertinggi, mereka tidak pernah dilahirkan di Alam Ārupa, alam tanpa bentuk, mereka tidak bisa melewati Alam Rupa, alam bentuk.) Salah mengartikan kata-katanya, para siswanya menyimpulkan ia gagal memperoleh pencapaian spiritual. Maka mereka tidak memberikan penghormatan seperti biasanya saat mengkremasikannya.
Setelah kembali, siswa utamanya mengetahui guru mereka telah meninggal dunia, dan menanyakan apakah mereka menanyakan pencapaiannya. “Ia mengatakan ia mencapai kekosongan,” jawab mereka, “maka kami tidak memberikan penghormatan seperti biasanya saat mengkremasikannya.”
“Kalian tidak memahami arti perkataannya,” jawab siswa utama tersebut. “Maksud guru kita adalah ia telah mencapai tingkat pengetahuan yang disebut Pengetahuan tentang kekosongan benda-benda.” Walaupun ia telah menjelaskan lagi dan lagi kepada para siswa lainnya, mereka tetap tidak memercayainya.
Mengetahui ketidakpercayaan mereka, Bodhisatta berseru, “Orang-orang bodoh! Mereka tidak percaya pada siswa utama saya. Saya akan membuat hal ini menjadi jelas untuk mereka.” Ia datang dari alam brahma dan dengan kekuatannya yang hebat, ia berdiri di tengah-tengah udara di atas tempat pertapaan tersebut, mengucapkan syair berikut ini untuk memuji kebijaksanaan siswa utamanya : — [407]
Jauh lebih baik dari seribu orang bodoh,
walaupun mereka berpikir keras selama
seratus tahun tiada henti,
adalah satu orang yang, dengan mendengar (baik-baik),
langsung mengerti.
Demikianlah makhluk agung itu membabarkan Dhamma dari tengah udara, dan mengecam kumpulan petapa itu. Kemudian ia berlalu kembali ke alam brahma, dan para petapa itu meningkatkan keunggulan mereka agar dapat terlahir kembali di alam yang sama.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Sāriputta adalah siswa utama di masa itu, dan Saya sendiri adalah sang Mahā-Brahmā.”
Catatan kaki :
185 No.522.
186 Salah satu pencapaian tertinggi adalah pengetahuan tentang kekosongan benda-benda, segala sesuatu hanyalah khayalan.

KŪṬAVĀṆIJA-JĀTAKA

[404] “Paṇḍita benar, Atipaṇḍita yang salah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang pedagang penipu. Terdapat dua orang pedagang yang bekerja sama di Sawatthi, diceritakan kepada kami, mereka melakukan perjalanan dengan membawa barang dagangan dan pulang dengan membawa hasil penjualan. Pedagang penipu itu berpikir, “Rekan saya telah makan dengan buruk dan tinggal dengan kondisi yang tidak nyaman beberapa hari yang lalu, sehingga ia akan mati karena masalah pencernaan, sesampainya di rumahnya kembali ia dapat menyenangkan diri sepuas hati dengan berbagai makanan pilihan. Rencana saya adalah membagi hasil penjualan menjadi tiga bagian, memberi satu bagian untuk anak yatimnya, dan dua bagian lainnya untuk diriku sendiri.” Dengan alasan itu ia membuat alasan untuk menunda pembagian keuntungan.
Melihat kegagalannya mendesak pembagian tersebut, rekan yang jujur itu menemui Sang Guru di wihara, memberikan penghormatan dan disambut dengan ramah. “Sudah sangat lama,” kata Sang Buddha, “sejak terakhir kali engkau mengunjungi saya.” Dan saudagar tersebut menceritakan kepada Sang Guru apa yang menimpa dirinya.
“Ini bukan pertama kalinya, Upasaka,” kata Sang Guru, “orang ini menipu para pedagang; ia juga melakukan penipuan di kehidupan yang lampau. Seperti ia mencoba menipumu sekarang, ia juga mencoba menipu ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di masa itu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan pedagang jujur tersebut, Sang Guru menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga pedagang, dan pada hari pemberian nama, ia diberi nama Paṇḍita (Bijak). Setelah dewasa, ia menjalin kerjasama dengan saudagar lainnya yang bernama Atipaṇḍita (Terlalu Bijak), dan berdagang bersamanya. Mereka berdua membawa lima ratus buah kereta berisikan barang dagangan dari Benares menuju daerah pedesaan. Setelah menjual barang-barang tersebut, mereka kembali dengan membawa hasil penjualan itu. Saat waktu pembagian tiba, Atipaṇḍita berkata, “Saya harus mendapatkan dua bagian.” “Mengapa demikian?” tanya Paṇḍita. “Karena kamu hanya ‘Bijaksana’, sementara saya ‘Terlalu Bijak’. Karena itu ‘Bijak’ hanya mendapat satu bagian, ‘Terlalu Bijak’ mendapat dua bagian.” “Namun kita berdua mempunyai bagian yang sama dalam persediaan barang dagangan dan juga dalam sapi serta kereta. Mengapa engkau harus mendapat dua bagian ?” “Karena saya Terlalu Bijak.” Demikianlah mereka saling berbalas kata hingga akhirnya mempertengkarkan hal tersebut.
“Ah!” pikir Atipaṇḍita, “saya ada rencana.” Ia membuat ayahnya bersembunyi [405] dalam sebuah lubang di pohon, memerintahkan agar orang tua itu berkata, pada saat mereka berdua datang, “Atipaṇḍita harus mendapat dua bagian.” Setelah mengatur hal itu, ia mencari Bodhisatta dan mengusulkan padanya untuk menyerahkan tuntutan dua bagian itu kepada dewa pohon yang cakap dalam mengambil keputusan. Ia membuat permohonan dengan kata-kata berikut : “Dewa Pohon, buatlah keputusan untuk masalah kami!” Saat itu, sang ayah yang bersembunyi di dalam pohon, mengubah suaranya, meminta mereka mengatakan permasalahan mereka. Penipu itu berkata, “Tuan, di sini berdiri Paṇḍita, dan di sini berdiri saya, Atipaṇḍita. Kami adalah rekan usaha. Beri tahukanlah bagian yang pantas diterima masing-masing dari kami.”
“Paṇḍita menerima satu bagian dan Atipaṇḍita menerima dua bagian,” jawabnya.
Mendengar keputusan ini, Bodhisatta memutuskan untuk melihat apakah itu benar-benar dewa pohon atau bukan. Ia mengisi lubang pohon itu dengan jerami dan menyalakan api. Dan ayah Atipaṇḍita yang setengah terbakar itu memanjat keluar dengan mencengkeram sebuah cabang pohon. Jatuh ke tanah, ia mengucapkan syair berikut ini : —
Paṇḍita benar, Atipaṇḍita yang salah;
Dikarenakan Atipaṇḍita, saya terbakar parah
dalam kobaran api.
Kemudian kedua orang itu membagi dua sama rata hasil penjualan mereka, dan masing-masing mendapatkan satu bagian. Setelah meninggal dunia mereka terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatan mereka.

“Demikianlah telah engkau lihat,” kata Sang Guru, “bahwa rekanmu adalah seorang penipu besar di kehidupan yang lampau, sama seperti saat ini.” Setelah mengakhiri cerita tersebut, Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pedagang penipu di kelahiran ini juga merupakan pedagang penipu dalam cerita di atas, dan saya adalah pedagang jujur yang bernama Paṇḍita.”

NĀMASIDDHI-JĀTAKA

“Melihat Jīvaka meninggal,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang berpikir bahwa keberuntungan melekat pada nama. Menurut apa yang diceritakan, seorang pemuda dari keluarga terpandang, bernama Pāpaka (Buruk), menyerahkan hidupnya pada ajaran Buddha dan bergabung menjadi anggota Sanggha. [402] Para bhikkhu selalu memanggilnya, “Ke sini, Awuso Pāpaka!” dan “Tinggallah, Awuso Pāpaka,” hingga akhirnya ia memutuskan bahwa (nama) Pāpaka menimbulkan pengertian perwujudan keburukan dan ketidakberuntungan, ia akan mengganti namanya menjadi sebuah nama yang mengandung pertanda baik. Karenanya ia meminta guru dan pembimbingnya memberikan sebuah nama baru kepadanya. Namun mereka berkata nama hanya berguna untuk menunjuk sesuatu, dan tidak berhubungan dengan kualitas; dan memintanya untuk merasa puas terhadap nama yang ia miliki. Dari waktu ke waktu ia mengulangi permohonannya, sehingga semua bhikkhu mengetahui betapa penting dan melekatnya ia pada sebuah nama belaka. Saat mereka semua sedang duduk membicarakan hal tersebut di Balai Kebenaran, Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Setelah mendengar penjelasan mereka, Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya bhikkhu ini percaya bahwa keberuntungan melekat pada nama; ia juga merasa tidak puas dengan nama yang ia sandang di kelahiran sebelumnya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu, Bodhisatta adalah seorang guru yang sangat terkenal di Takkasilā, lima ratus orang brahmana muda belajar Weda darinya. Salah seorang pemuda itu bernama Pāpaka. Dan terus menerus mendengar teman-temannya mengatakan, “Pergilah, Pāpaka” dan “Datanglah, Pāpaka”, ia mempunyai keinginan untuk terlepas dari namanya dan mengambil satu nama baru yang artinya lebih tidak bermakna keburukan. Maka ia menemui gurunya dan meminta sebuah nama baru dengan karakter yang lebih terhormat agar diberikan kepadanya. Gurunya berkata, “Pergilah, Anakku, jelajahi seluruh negeri ini hingga engkau menemukan sebuah nama yang engkau sukai. Setelah itu, kembalilah dan saya akan mengganti nama untukmu.”
Pemuda itu melakukan apa yang diminta dan mengambil bekal untuk perjalanannya berkelana dari desa ke desa hingga ia tiba di sebuah kota. Di sini seorang lelaki yang bernama Jīvaka (Hidup) meninggal dunia, brahmana muda itu melihatnya dibaringkan di pemakaman, kemudian menanyakan siapa namanya.
“Jīvaka,” jawaban yang diterimanya. “Apa, bisakah Jīvaka meninggal?” “Ya, Jīvaka (bisa) meninggal; baik Jīvaka (Hidup) maupun Ajīvaka (Mati) tetap akan meninggal suatu saat nanti. Nama hanya menandai seseorang itu siapa. Engkau terlihat bodoh.”
Mendengar ini, ia melanjutkan perjalanan ke dalam kota, tidak merasa puas maupun puas akan namanya sendiri.
Saat itu, ada seorang pelayan wanita yang dilempar keluar dari pintu sebuah rumah, sementara wali (orang tuanya) memukulinya dengan ujung tali karena ia tidak membawa pulang upahnya. Nama gadis itu adalah Dhanapālī (Kaya). [403] Melihat gadis itu dipukuli, saat ia menelusuri jalan itu, ia menanyakan apa alasannya, dan mendapat jawaban bahwa hal itu dikarenakan gadis itu tidak dapat menunjukkan upahnya.
“Siapa nama gadis itu?”
“Dhanapālī,” jawab mereka. “Tidak bisakah Dhanapālī mendapatkan bayaran atas satu hari yang tidak berarti?” “Baik dipanggil Dhanapālī (Kaya) maupun Adhanapālī (Miskin), uang tidak akan muncul lebih banyak untuknya. Sebuah nama hanya untuk menandai seseorang itu siapa. Engkau terlihat bodoh.”
Dengan mulai lebih dapat menerima namanya sendiri, brahmana muda itu meninggalkan kota dan di perjalanan bertemu dengan seseorang yang sedang tersesat. Setelah mengetahui orang tersebut kehilangan arah, brahmana muda itu menanyakan siapa namanya. “Panthaka (Pelancong),” jawab orang tersebut. “Panthaka kehilangan arah?” “Panthaka atau Apanthaka, engkau bisa saja kehilangan arah dengan cara yang sama. Sebuah nama hanya diberikan untuk menandai seseorang itu siapa. Engkau terlihat bodoh.”
Setelah benar-benar dapat menerima namanya, brahmana muda itu kembali ke tempat gurunya.
“Baiklah, nama apa yang engkau pilih?” tanya Bodhisatta. “Guru,” katanya, “saya menemukan bahwa kematian pasti akan dialami oleh Jīvaka dan Ajīvaka suatu saat nanti, bahwa Dhanapālī dan Adhanapālī sama-sama bisa miskin, dan bahwa Panthaka dan Apanthaka sama-sama bisa kehilangan arah. Sekarang, saya mengetahui bahwa sebuah nama hanya untuk menandai seseorang itu siapa, sama sekali tidak menentukan nasib pemiliknya. Maka saya merasa puas pada nama saya sendiri dan tidak ingin menggantinya lagi.”
Kemudian Bodhisatta mengucapkan syair berikut ini; memadukan apa yang dilakukan oleh brahmana muda itu dengan apa yang ia lihat: —
Melihat Jīvaka meninggal, Dhanapālī miskin,
Panthaka kehilangan arah,
Pāpaka belajar, menjadi puas,
tidak berkelana lebih jauh lagi.
Setelah menceritakan kisah ini, Sang Guru berkata, “Kalian lihat, para Bhikkhu, di kehidupan yang lampau sama seperti kehidupan ini, bhikkhu ini mengira ada pengaruh besar dari sebuah nama.” Dan beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini, yang merasa tidak puas pada namanya adalah brahmana muda yang merasa tidak puas di masa itu; para siswa Buddha adalah siswa-siswa itu, dan Saya sendiri adalah guru mereka.”

TELEPATTA-JATAKA

“Saat seseorang penuh perhatian,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di hutan dekat Kota Desaka di Negeri Sumbha, mengenai Janapada-Kalyāni-Sutta183. Pada kesempatan ini Sang Bhagawan berkata : — “Seakan, para Bhikkhu, sebuah kerumunan besar terbentuk, berseru, ‘sambutlah wanita tercantik di negeri ini! Sambutlah wanita tercantik di negeri ini!’ dan seakan dengan cara yang sama kerumunan yang lebih besar berkumpul dan berseru, ‘Wanita tercantik di negeri ini bernyanyi dan menari’; dan andaikata datang seorang laki-laki yang sangat mencintai hidupnya, takut pada kematian, menyukai kesenangan dan menolak penderitaan, dan bayangkan orang itu mendapat sapaan berikut ini, — ‘Halo, engkau yang berada di sana! Bawalah pot yang berisi minyak yang penuh hingga ke pinggir ini, berdiri di antara kerumunan dan wanita tercantik di negeri ini: seorang lelaki dengan pedang terhunus akan mengikutimu dari belakang; jika engkau menjatuhkan setetes minyak, ia akan menebas kepalamu’; — Apa yang kalian pikirkan, para Bhikkhu? Akankah orang tersebut, dalam keadaan tersebut, bersikap ceroboh dan tidak mengeluarkan usaha dalam membawa pot minyak itu?” “Tidak ada cara lain, Bhante.” “Ini adalah sebuah kiasan [394], yang saya susun untuk menjelaskan maksud saya, para Bhikkhu; dan artinya adalah : — Pot minyak yang penuh hingga ke pinggir melambangkan keadaan pikiran yang tenang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan jasmani, dan pelajaran yang dapat dipetik adalah hal seperti menjaga kesadaran harus dilatih dan disempurnakan. Jangan gagal dalam hal ini, para Bhikkhu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Sang Guru menyampaikan Sutta yang berkenaan dengan wanita tercantik di negeri tersebut, mencakup teks dan terjemahannya. [395] Kemudian, dalam penerapannya, Sang Guru berkata lebih lanjut, — “Seorang bhikkhu butuh untuk melatih kesadaran yang benar, berkenaan dengan jasmani, harus berhati-hati untuk tidak membiarkan kesadarannya menurun, seperti orang dalam kiasan itu yang tidak akan menjatuhkan setetes minyak pun dari pot itu.”
Setelah mendengarkan Sutta dan artinya, para bhikkhu berkata : — “Adalah sebuah pekerjaan yang sulit, Bhante, bagi orang itu untuk lewat dengan membawa pot minyak tanpa menatap daya tarik wanita tercantik di negeri tersebut.” “Tidak sulit sama sekali, para Bhikkhu; itu adalah suatu tugas yang gampang, — mudah dengan alasan yang sangat bagus bahwa ia dikawal oleh seseorang yang mengancamnya dengan sebilah pedang yang terhunus. Namun benar-benar suatu pekerjaan yang sulit untuk ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau untuk menjaga kesadaran dengan tepat dan mengendalikan nafsu mereka untuk menatap pada keindahan surgawi dengan segala kesempurnaannya. Mereka tetap berjaya, dan selanjutnya memenangkan sebuah kerajaan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah putra raja yang keseratus, dan telah tumbuh dewasa. Pada waktu itu para Pacceka Buddha selalu datang untuk mendapatkan makanan mereka di istana, dan Bodhisatta yang selalu melayani mereka.
Suatu hari ia memikirkan sejumlah saudara yang ia miliki, Bodhisatta bertanya kepada dirinya sendiri apakah ada kemungkinan bagi dirinya untuk duduk di singgasana ayahnya di kota, dan memutuskan untuk bertanya kepada para Pacceka Buddha apa yang akan terjadi di masa mendatang. Keesokan harinya, para Buddha datang, membawa pot air yang telah disucikan untuk keperluan yang suci, menyaring airnya, mencuci dan mengeringkan kaki mereka, dan duduk untuk menyantap makanan mereka. Setelah mereka duduk, Bodhisatta datang dan duduk di dekat mereka dengan penuh rasa hormat, mengajukan pertanyaannya. Mereka menjawab dengan berkata, “Pangeran, engkau tidak akan pernah menjadi raja di kota ini. Namun di Gandhāra, sekitar dua ribu yojana dari sini, terdapat sebuah kota bernama Takkasilā. Jika engkau bisa mencapai kota tersebut dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di sana. Namun ada bahaya dalam perjalanan ke sana, dalam perjalanan melalui sebuah hutan lebat. Akan menghabiskan jarak dua kali jika memutari hutan tersebut, sehingga lebih cepat jika melewati hutan tersebut. Para yaksa menetap di sana, membuat perkampungan dan rumah-rumah berdiri di pinggir jalan. Di bawah langit-langit yang disulam dengan bintang-bintang di atas kepala, dengan ilmu gaib, mereka siapkan sebuah dipan yang mewah, ditutupi dengan tirai cantik dari bahan celupan yang menakjubkan. Ditata dengan kemewahan surgawi, para yaksa wanita duduk di tempat tinggal mereka, memikat para pengembara [396] dengan kata-kata yang manis. ‘Engkau terlihat capek’ kata mereka; ‘datanglah kemari, makan dan minum sebelum engkau berkelana lebih jauh.’ Mereka yang menuruti perkataan para yaksa wanita itu akan diberi tempat duduk dan terbakar oleh nafsu karena daya pikat kecantikan mereka yang tidak bermoral. Namun jarang yang sempat melakukan perbuatan salah itu sebelum para yaksa wanita membunuh dan menyantap mereka saat darah yang mengalir masih panas. Mereka menjerat perasaan lelaki, — menawan perasaan dengan kecantikan yang memancarkan keelokan mereka, telinga dengan suara yang lembut, lubang hidung dengan wewangian dari surga, pengecapan dengan makanan pilihan dari surga yang rasanya lezat, dan sentuhan dengan dipan berhiaskan bantalan merah yang sangat lembut. Namun jika engkau bisa menaklukkan perasaanmu, dan menguatkan diri untuk tidak memandang mereka, dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di Kota Takkasilā.”
“Oh, Bhante; bagaimana saya bisa memandang para yaksa wanita setelah (mendengar) nasihat kalian ini?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisatta memohon para Pacceka Buddha memberikan sesuatu padanya untuk menjaga keselamatannya selama perjalanan tersebut. Ia menerima sebuah jimat berupa benang dan sedikit pasir yang telah diberi mantra. Mula-mula ia berpamitan kepada para Pacceka Buddha, kemudian pada ayah dan ibunya; lalu ia menuju ke tempat tinggalnya sendiri, berkata kepada para pengurus rumahnya sebagai berikut ini, “Saya akan pergi ke Takkasilā untuk menjadikan diri saya sebagai raja di sana. Kalian akan tinggal di sini.” Namun kelimanya menjawab, “Biarkan kami ikut.”
“Kalian tidak bisa ikut bersama saya,” jawab Bodhisatta; “karena saya diberitahu bahwa jalanannya dikepung oleh para yaksa wanita yang memikat perasaan lelaki dan membinasakan mereka yang kalah pada daya tarik mereka. Bahayanya terlalu besar, namun saya akan mengendalikan diri sendiri dan pergi.”
“Jika kami pergi bersamamu, Pangeran, kami tidak akan menatap bungkusan mereka yang memikat. Kami juga akan pergi ke Takkasilā.” “Kalau begitu tunjukkan keteguhan kalian,” kata Bodhisatta, dan membawa mereka berlima bersamanya dalam perjalanannya.
Para yaksa wanita duduk menunggu di tengah perjalanan di perkampungan mereka. Salah satu dari kelima orang itu, cinta pada kecantikan, menatap para yaksa wanita itu, dan terjerat kecantikan mereka, tertinggal di belakang yang lainnya. “Mengapa engkau tertinggal di belakang?” tanya Bodhisatta. “Kaki saya terluka, Pangeran. Saya akan duduk sejenak di paviliun di sana, dan mengejar kalian kemudian.” “Temanku yang baik, mereka adalah yaksa wanita; jangan menginginkan mereka.” “Meskipun itu benar adanya, Pangeran, saya tidak bisa pergi lebih jauh lagi.” “Baiklah, engkau akan segera menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata Bodhisatta, saat ia melanjutkan perjalanan dengan keempat orang lainnya.
Menyerah pada perasaannya, pencinta kecantikan ini mendekat ke arah para yaksa wanita, yang [397] menempatkannya dalam perbuatan salah untuk sementara, kemudian membunuhnya di sana saat itu juga. Mereka pergi, dan lebih jauh di jalanan tersebut, dengan kekuatan gaib mereka, sebuah paviliun terbentuk, dimana mereka duduk sambil bernyanyi dengan iringan alat musik yang berbeda. Saat itu, pencinta musik tertinggal dan disantap oleh mereka. Kemudian para yaksa wanita ini pergi mendahului dan duduk menunggu di sebuah pasar yang dipenuhi oleh semua aroma dan wewangian yang harum. Di sini, pencinta wewangian tertinggal. Setelah menyantapnya, mereka pergi mendahului lagi dan duduk dalam sebuah kedai persediaan dimana sejumlah persediaan bahan makanan laksana makanan dari surga dengan rasa yang lezat di jual. Di sini, pencicip makanan tertinggal di belakang. Setelah memangsanya, mereka pergi lebih jauh, dan duduk di dipan yang diciptakan dari kekuatan sihir mereka. Di sini, pencinta kenyamanan tertinggal, ia juga disantap oleh mereka.
Sekarang yang tersisa hanyalah Bodhisatta. Salah seorang yaksa wanita mengikutinya, berjanji demi sisi hati yang jahat dari Bodhisatta, ia akan berhasil menyantapnya sebelum kembali. Jauh di dalam hutan, para penebang kayu dan lainnya, melihat yaksa wanita tersebut, dan bertanya padanya siapakah lelaki yang berjalan di depannya.
“Ia adalah suami saya, Saudara yang baik.”
“Hai, Engkau yang di sana!” seru mereka kepada Bodhisatta; “Memiliki seorang istri yang begitu manis dan muda, secantik bunga, tinggalkan ia di rumah dan buat agar ia percaya kepadamu, mengapa engkau tidak berjalan bersamanya, namun membiarkan ia kelelahan di belakangmu?” “Ia bukan istri saya, melainkan seorang yaksa. Ia telah memangsa lima orang pendamping saya.” “Aduh! Saudara-saudara yang baik,” kata wanita itu, “kemarahan membuat orang mengatakan istri mereka sendiri sebagai yaksa wanita dan makhluk penghuni kuburan.”
Kemudian, ia berpura-pura hamil, dan terlihat sebagai seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak, dengan anak tersebut digendong di pinggulnya, mengikuti Bodhisatta dari belakang. Setiap orang yang bertemu mereka menanyakan pertanyaan yang sama tentang pasangan tersebut, dan Bodhisatta terus memberikan jawaban yang sama saat ia berjalan terus.
Akhirnya ia tiba di Takkasilā, dimana yaksa wanita itu menghilangkan anak tersebut, dan mengikutinya seorang diri. Di gerbang kota, Bodhisatta memasuki sebuah rumah peristirahatan dan duduk disana. Karena kekuatan dan kemanjuran Bodhisatta, ia tidak bisa masuk, maka ia menghiasi diri dengan cantik dan berdiri di ambang pintu.
Pada saat itu Raja Takkasilā melewati tempat tersebut saat hendak mengunjungi tempat peristirahatannya, terjerat pada kecantikannya. “Pergi dan cari tahu,” katanya pada pelayannya, “apakah ia mempunyai suami [398] bersamanya atau tidak.” Dan ketika pembawa pesan itu tiba, bertanya apakah ada seorang suami bersamanya, ia menjawab, “Ya, Tuan; suami saya sedang duduk di dalam.”
“Ia bukan istri saya,” jawab Bodhisatta. “Ia adalah yaksa wanita dan telah memangsa lima orang pendamping saya.”
Sama seperti sebelumnya, ia berkata, “Aduh! Saudara yang baik, kemarahan membuat seorang lelaki mengatakan apa pun yang terlintas di pikirannya.”
Lelaki itu kembali menemui raja dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh masing-masing dari mereka. “Harta terpendam adalah keuntungan tambahan untuk kerajaan,” kata raja. Dan ia mengundang yaksa wanita tersebut, mendudukkannya di punggung gajahnya. Setelah mengelilingi kota dengan prosesi yang khidmat, raja kembali ke istana dan menempatkan yaksa wanita itu di tempat yang dipersiapkan untuk raja. Setelah mandi dan mengharumkan diri, raja menyantap makan malamnya, kemudian berbaring di tempat tidur kerajaannya. Yaksa wanita itu juga mempersiapkan makanannya sendiri, dan mengenakan pakaian yang indah. Berbaring di sisi raja yang merasa gembira, ia memutar badannya ke sisi yang lain dan meledak dalam tangisan. Ketika ditanya mengapa menangis, ia berkata, “Paduka, engkau menemukan saya di pinggir jalan, dan wanita yang tinggal di tempat tinggal para istri raja di istana pasti sangat banyak. Tinggal di sini, di antara para musuh, saya akan merasa hancur jika mereka berkata, ‘Siapa yang tahu mengenai ayah dan ibumu, atau tentang keluargamu? Engkau dipungut di pinggir jalan.’ Namun jika Paduka memberikan kekuatan dan kekuasaan atas kerajaan kepada saya, tidak ada orang yang akan berani mengganggu saya dengan ejekan seperti itu.”
“Sayang, saya tidak mempunyai kekuatan atas semua yang menetap di seluruh pelosok kerajaan; saya bukan tuan dan majikan mereka. Saya hanya mempunyai hak hukum atas mereka yang memberontak atau melakukan kesalahan184. Maka saya tidak bisa memberikan kekuatan dan kekuasaan padamu atas seluruh kerajaan ini.”
“Kalau begitu, Paduka, jika engkau tidak bisa memberikan kekuasaan atas kerajaan maupun kota ini, paling tidak berikan kekuasaan dalam istana ini padaku, sehingga saya bisa memerintah atas mereka yang tinggal di sini.”
Terlalu mencintai daya tariknya sehingga tidak bisa menolak, raja pun memberikan kekuasaan dalam istana dan memintanya untuk memerintah mereka [399]. Merasa puas, ia menunggu hingga raja tertidur, kemudian menuju kota para yaksa dan kembali bersama semua yaksa ke dalam istana. Ia sendiri yang membunuh raja dan menyantapnya, kulit, urat dan daging, hanya menyisakan tulang belulang. Yaksa-yaksa yang lain memasuki gerbang, melahap semua yang mereka temui, tanpa menyisakan apa pun, baik unggas maupun anjing yang masih hidup. Keesokan harinya, saat orang-orang berdatangan dan melihat gerbang masih tertutup, mereka memukulinya dan dengan tidak sabar berteriak, kemudian masuk dengan kekerasan,—hanya menemukan seluruh kerajaan dipenuhi oleh tulang yang berserakan. Mereka berseru, “Kalau begitu, orang itu benar saat mengatakan ia bukan istrinya, melainkan yaksa wanita. Dengan tidak bijaksana, raja telah membawanya pulang untuk menjadi istrinya, dan tidak diragukan lagi ia mengumpulkan yaksa lainnya, melahap semua orang, dan pergi.”
Pada saat itu, Bodhisatta dengan pasir yang telah diberikan mantra di kepalanya, dan benang jimat terjalin mengelilingi keningnya, sedang berdiri di rumah peristirahatan itu, dengan pedang di tangan, menunggu fajar tiba. Sementara orang-orang itu, pada saat yang sama, membersihkan kerajaan, menghiasi lantainya sekali lagi, memerciki wewangian di lantai, menyebarkan bunga-bunga, menggantung bunga-bunga yang harum di atap dan menghiasi dinding dengan rangkaian bunga, serta membakar dupa wangi di tempat itu. Kemudian mereka berdiskusi bersama, berkata sebagai berikut: — “Orang yang bisa mengendalikan indranya dengan begitu hebat saat melihat yaksa wanita dengan kecantikannya mengikutinya dari belakang, adalah orang yang tinggi budinya dan teguh hatinya, dan dipenuhi oleh kebijaksanaan. Dengan orang seperti itu sebagai raja, akan baik untuk seluruh kerajaan. Mari kita jadikan dia sebagai raja.”
Semua anggota istana dan penduduk kerajaan tersebut satu suara dalam hal ini. Maka Bodhisatta dipilih menjadi raja, dikawal ke istana, dan di sana ia dihiasi dengan permata dan dinobatkan menjadi Raja Takkasilā. Menghindari diri dari empat Jalan yang salah, dan mengikuti sepuluh jalan (kualitas seorang raja) yang menjadi kewajiban raja, ia menjalankan kerajaannya dengan penuh keadilan, dan setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah menceritakan kisah ini, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini : — [400]
Saat seseorang penuh perhatian terhadap satu pot berisikan minyak akan berusaha agar isi yang penuh hingga ke pinggirnya tidak akan tumpah sedikit pun, seperti ia yang melakukan perjalanan ke negeri asing atas kehendaknya sendiri seperti yang harus ditunjukkan oleh seorang penguasa.
[401] Setelah Sang Guru memperlihatkan hal yang paling utama dari petunjuk tersebut tersebut, berupa tingkat kesucian Arahat, Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para siswa Buddha adalah para anggota istana di masa itu, dan Saya sendiri adalah pangeran yang memperoleh sebuah kerajaan.”
Catatan kaki :
183 Belum diketahui dimana Sutta ini muncul. Sebuah ringkasan Pāli ditinggalkan tanpa diterjemahkan, sebagai sedikit tambahan atau tidak berarti apa pun pada cerita pembuka di atas.
184 Bandingkan Milinda-pañho 359 untuk penjelasan yang terperinci mengenai hak istimewa terbatas dari para raja.

MAHĀSUDASSANA-JĀTAKA

“Betapa sementaranya,” dan seterusnya. Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru saat Beliau berbaring sekarat, menyangkut perkataan Ānanda, “Wahai Bhagawan, jangan mengakhiri perjalanan hidup-Mu di kota kecil yang menyedihkan ini.” “Ketika Buddha menetap di Jetawana,” pikir Sang Guru, “Thera Sāriputta177, yang lahir di Desa Nāla, meninggal dunia di Varaka pada bulan Kattika, saat bulan purnama; dan di bulan yang sama, saat bulan menyusut, Moggallāna yang agung meninggal dunia178. Dua siswa utama Saya telah meninggal dunia, saya juga akan meninggal dunia, di Kusinārā.” — Demikianlah pemikiran Sang Bhagawan, dan melakukan pindapata di Kusinārā, di sana, di sebuah dipan yang menghadap ke arah utara di antara dua batang pohon sala kembar, Beliau berbaring tanpa pernah bangkit lagi. Thera Ānanda berkata, “Wahai Bhagawan, jangan mengakhiri perjalanan hidup-Mu di kota kecil yang menyedihkan ini, kota kecil yang kasar di hutan, kota kecil di daerah pinggiran. Tidak bisakah Rājagaha atau kota besar lainnya yang menjadi tempat Buddha mencapai mahā-parinibbāna?”
“Tidak, Ānanda,” kata Sang Guru; “jangan menyebut ini sebuah kota kecil yang menyedihkan, sebuah kota kecil di hutan, sebuah kota kecil di daerah pinggiran. Di kehidupan yang lampau, pada masa Kerajaan Sudassana menguasai seluruh dunia, di kota inilah saya tinggal. Pada masa itu, tempat ini adalah sebuah kota besar dalam batasan dinding-dinding penuh perhiasan [392] dengan keliling dua belas yojana.” Bersamaan itu, atas permohonan sang thera, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini dan membabarkan Mahā-Sudassana Sutta179.

Adalah permaisuri dari Sudassana, Ratu Subhaddā yang memperhatikan bagaimana, setelah turun dari Istana Kebenaran (Sudhamma), rajanya berbaring di sisi kanan pada sebuah dipan yang dipersiapkan untuknya di Hutan Lontar (Talawana)180 ,yang berhiaskan emas dan permata, ia berada di dipan itu, tidak bangkit-bangkit lagi. Ratu berkata, “Delapan puluh empat ribu kota, dengan kota utamanya adalah Kusāvatī, mengakui kedaulatanmu, Paduka. Tempatkanlah perhatianmu di sana.”
“Jangan berkata demikian, Ratu,” kata Sudassana; “lebih baik menasihati saya dengan berkata, ‘Jagalah perhatianmu di kota ini, jangan merasa rindu terhadap kota lainnya’.”
“Mengapa demikian, Rajaku?”
“Karena saya akan meninggal hari ini,” jawab raja. Berlinangan air mata, menyeka air mata yang mengalir,
ratu dengan tersedu sedan mengucapkan kata-kata yang diminta untuk diucapkannya oleh raja. Kemudian ia meledak dalam tangisan dan ratapan; wanita lain yang menetap di tempat tinggal para selir raja, sejumlah delapan puluh empat ribu orang, juga menangis dan meraung; tidak satu pun di antara para anggota istana yang bisa menahan diri, semuanya meratap bersama.
“Tenang,” kata Bodhisatta; dengan kata-kata ini ratapan mereka ditenangkan. Kemudian, kembali menghadap ratu, ia  berkata, “Jangan menangis, Ratu, jangan meraung juga. Walaupun sebutir bibit wijen yang kecil, tidak ada satu benda pun yang merupakan unsur gabungan tidak mengalami perubahan, semua hal bersifat sementara, semua hal harus terurai kembali.” Kemudian, sebagai bimbingan untuk ratu, ia mengucapkan syair berikut ini : —
Betapa sementaranya semua hal yang membentuk kesatuan!
Tumbuh merupakan sifat mereka, lalu membusuk:
Mereka dihasilkan, mereka dihancurkan kembali:
Kemudian yang terbaik,—adalah ketika mereka
merebahkan diri untuk beristirahat181.
[393] Demikianlah Sudassana yang agung memberikan khotbah yang membawa pada nibbana sebagai tujuan akhirnya. Lebih jauh, pada sisa orang banyak lainnya, ia memberi nasihat agar mereka berdana (melakukan amal), menjalankan latihan moralitas, dan melaksanakan Uposatha. Sebagai hasilnya ia terlahir kembali di alam dewa.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ibu Rahula182 adalah Ratu Subhaddā di masa itu, Rahula adalah putra sulung raja, para siswa Buddha adalah para anggota istana, dan saya sendiri adalah Sudassana yang agung.”
[Catatan : Untuk perkembangan Jātaka ini, lihat Mahā-Parinibbāna Sutta dan Mahā-Sudassana Sutta, diterjemahkan oleh Prof.Rhys Davids dalam volume “Buddhist Suttas”.]
Catatan kaki :
177 Untuk kematian Sāriputta, lihat ‘Legend of the Burmanese Buddha’ karya Bigandet.
178 Untuk kematian Moggallāna, lihat Dhammapada karya Fausböll, hal.298, dan karya Bigandet,op.cit.
179 Sutta Ketujuh Belas dari Digha Nikāya, diterjemahkan oleh Rhys Davids di Vol.XI. dari S.B.E.
180 Lihat hal.267 & 277, Vol.XI dari S.B.E. mengenai Hutan Lontar ini; Talawana (Tālavana).
181 Terjemahan ini dipinjam dari Hibbert Lectures oleh Prof.Rhys Davids (edisi kedua, hal.22), dimana sebuah terjemahan diberikan sebagai uraian pada “barangkali merupakan syair yang paling sering dikutip dan paling populer dalam buku-buku Buddhis berbahasa Pali.”
182 Ini adalah cara yang umum dalam hukum agama mengenai istri dari Buddha Gotama. Bandingkan Vinaya, Vol.I, hal.82, karya Oldenberg, dan terjemahan dalam Sacred Books of the East, Vol.XIII, hal.208. Tidak selalu tepat untuk mengatakan bagian dari Vinaya adalah “bagian satu-satunya dalam Kitab Pāli Piṭaka yang menyinggung tentang wanita ini.” Ia juga disinggung dalam Buddhavaṁsa (edisi P.T.S, hal.65), dan namanya disana adalah Bhaddakaccā.

LOMAHAṀSA-JĀTAKA

“Sebentar terbakar,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Pāṭikārāma dekat Vesāli, mengenai Sunakkhatta.
Pada masa itu Sunakkhatta, setelah menjadi pengikut Sang Guru, berkelana di negeri tersebut sebagai seorang bhikkhu dengan patta dan jubah, ketika disesatkan oleh ajaran Kora Kshatriya 174 . Maka ia mengembalikan patta dan jubah kepada Sang Buddha, kembali menempuh kehidupan sebagai perumah-tangga karena Kora Kshatriya, yang pada waktunya, terlahir kembali sebagai keturunan dari Kālakañjaka Asura. Ia pergi sejauh tiga lapis dinding Kota Vesāli untuk mencemarkan nama Sang Guru, menegaskan tidak ada yang luar biasa pada Guru Gotama, ia tidak berbeda dengan orang lain yang membabarkan suatu kepercayaan; bahwa Guru Gotama hanya membentuk suatu sistem yang dihasilkan oleh pikiran dan penyelidikannya sendiri; pencapaian ideal yang dibabarkan dalam ajarannya, tidak mengakhiri penderitaan mereka yang mengikutinya175.
Yang Ariya Sāriputta sedang melakukan pindapata saat mendengar fitnah dari Sunakkhatta; setelah kembali ia melaporkan hal tersebut kepada Sang Bhagawan. Sang Guru berkata, “Sunakkhatta adalah orang yang lekas naik darah, Sāriputta, dan mengucapkan omong kosong. Sikap pemarahnya membuat ia mengucapkan kata-kata seperti itu, dan menyangkal ajaran Saya yang sangat berharga. Tanpa disadarinya, orang bodoh ini memuji Saya; Saya katakan tanpa ia sadari, karena ia tidak mempunyai pengetahuan [390] akan kehebatan Saya. Dalam diri Saya, Sāriputta, terdapat enam abhiññā, karenanya saya lebih dari manusia biasa; di dalam diri saya juga terdapat sepuluh kekuatan (dasabala), dan empat landasan keyakinan (vesārajja). Saya mengetahui batasan dari empat kelahiran di dunia dan lima tingkat kemungkinan akan kelahiran kembali setelah meninggal dunia. Hal ini juga merupakan kemampuan Saya yang luar biasa; barang siapa yang menyangkalnya akan menarik kembali kata-katanya, mengubah kepercayaannya dan meninggalkan pandangan salahnya, atau ia akan masuk ke dalam neraka.” Setelah menguraikan sifat dan kemampuan luar biasa yang terdapat dalam diri-Nya, Sang Guru berkata lebih lanjut, “Sunakkhatta, saya dengar, Sāriputta, merasa gembira disesatkan untuk mempermalukan diri di pertapaan Kora Kshatriya; karenanya ia tidak bisa merasa senang pada diri saya. Sembilan puluh satu ribuan tahun yang lalu saya hidup dalam kehidupan yang lebih tinggi dengan merana akan empat tingkatan kehidupan176, menguji pertapaan yang salah untuk menemukan apakah kebenaran menetap di dalamnya. Saya adalah seorang petapa, petapa utama; saya capek dan kurus, melebihi petapa lainnya, saya segan untuk menerima kenyamanan, suatu keseganan yang jauh melebihi orang yang lain; saya tinggal terpisah, dan tidak dapat dicapai merupakan keinginan saya akan kesendirian.” Kemudian, atas permohonan thera tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu, sembilan puluh satu ribuan tahun yang lalu, Bodhisatta membuat dirinya menguji pertapaan yang salah. Ia menjadi seorang petapa, menuruti para petapa telanjang (Ājivika)—tidak berpakaian dan ditutupi dengan debu; menyendiri dan kesepian, menghilang seperti seekor rusa di hadapan manusia; makanannya adalah ikan-ikan kecil, kotoran sapi dan sampah lainnya; dengan tujuan menjaga agar ia tidak diganggu, ia bertempat tinggal di dalam belukar yang menakutkan di hutan. Saat salju turun di musim dingin, ia keluar di waktu malam dari belukar tempat ia berteduh menuju udara terbuka, saat matahari terbit ia kembali ke dalam belukar lagi; maka ia dibasahi oleh salju di malam hari, dan di siang hari, ia basah kuyup oleh gerimis dari cabang belukar tersebut. Baik siang maupun malam ia menahan rasa dingin yang menusuk. Saat musim panas, di siang hari, ia menetap di udara terbuka, dan di malam hari ia menetap di dalam hutan — terbakar oleh terik matahari di waktu siang dan mengipasi diri karena tidak ada hembusan angin yang segar di malam hari, sehingga keringat bercucuran di tubuhnya. Muncul dengan sendirinya dalam pikirannya syair berikut ini, yang merupakan syair baru dan belum pernah diucapkan sebelumnya : —
Sebentar terbakar, sebentar beku, sendiri di hutan sepi,
Di sampingnya tak terdapat api, namun membara di dalam dirinya,
Telanjang, petapa itu berusaha keras demi kebenaran.
[391] Setelah menghabiskan hidup melalui pelatihan diri yang keras dalam pertapaan ini, pemandangan akan neraka terhampar di hadapan Bodhisatta. Saat ia terbaring sekarat, ia menyadari semua pelatihan keras yang ia jalani ternyata tidak berarti apa-apa, dan di saat genting itu, ia membuang semua khayalannya, hanya berpegang pada kebenaran sejati, dan terlahir kembali di alam dewa.

Uraian Beliau berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah petapa telanjang di masa itu.”
[Catatan : Untuk ‘kisah kelahiran lampau’, bandingkan Cariyā Piṭaka, hal.102. Untuk cerita pembuka, lihat Sutta No.12 dari Majjhima Nikāya.]
Catatan kaki :
174 Lihat Manual of Budhism karya Hardy, hal.330.
175 Ini adalah sebuah kutipan dari Majjhima Nikayā I, 68.
176 Yakni, sebagai pelajar, perumah-tangga, réligieux (orang yang beragama) & petapa.

VISSĀSABHOJANA-JĀTAKA

“Jangan percaya pada yang dipercaya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai pengambilan barang atas dasar kepercayaan.
Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, pada masa itu para bhikkhu, sebagian besar, selalu menyisakan dengan sesuka hati mereka, jika mendapatkan sesuatu dari ibu atau ayah, saudara lelaki atau perempuan, paman atau bibi, maupun kerabat lainnya. Berdebat bahwa dalam posisi perumahtangga sudah selayaknya menerima barang dari orang-orang itu, mereka, sebagai bhikkhu, tidak menunjukkan kehati-hatian atau perhatian sebelum menggunakan makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya yang diberikan oleh kerabat mereka. Melihat hal tersebut, Sang Guru merasa ia harus memberi teguran kepada para bhikkhu. Maka Beliau mengumpulkan mereka semua, dan berkata, “Para Bhikkhu, tidak masalah apakah [388] pemberi dana adalah saudara atau bukan, pemakaian segala sesuatu harus selalu penuh kehati-hatian. Bhikkhu yang tidak berhati-hati dalam pemakaian kebutuhan yang diberikan kepadanya, akan membawa kelahiran kembali sebagai yaksa atau peta. Pemakaian yang sembrono seperti minum racun; dan racun mempunyai kemampuan membunuh yang sama, baik diberikan oleh kerabat maupun orang asing. Di kehidupan yang lampau, seseorang minum racun yang diberikan oleh orang yang dekat dan yang sangat disayangi olehnya, karenanya ia menemui ajalnya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.”

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang saudagar yang sangat kaya. Ia mempunyai seorang penggembala yang, ketika jagung telah siap dipanen, membawa sapi-sapinya ke hutan, dan menjaga mereka di sana, pada sebuah tempat perlindungan, membawakan hasil ternak-ternak tersebut kepada saudagar tersebut dari waktu ke waktu. Di dekat tempat perlindungan tersebut, tinggallah seekor singa; dan rasa takut terhadap singa itu membuat sapi-sapi itu hanya menghasilkan sedikit susu. Maka, saat penggembala itu membawakan hasil ternaknya, saudagar tersebut bertanya mengapa hasilnya hanya sedikit. Penggembala tersebut menceritakan alasannya. “Baiklah, apakah singa itu menyukai sesuatu?” “Ya, Tuan; singa itu sangat menyukai seekor rusa betina.” “Bisakah engkau menangkap rusa betina tersebut?” “Bisa, Tuan.” “Baik, tangkaplah rusa betina itu, dan lumuri racun serta gula di sekujur tubuhnya, dan biarkan mengering. Tahan selama satu hingga dua hari, kemudian bebaskan dia. Dikarenakan rasa sayang singa kepadanya, singa akan menjilati rusa betina dengan lidahnya dan mati. Ambillah kulit, dengan cakar dan gigi serta lemaknya, dan bawakan kepadaku.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia memberikan racun yang mematikan kepada penggembala tersebut, dan mengirimnya pergi. Dengan bantuan sebuah jala yang ia buat sendiri, penggembala itu menangkap rusa betina tersebut, melakukan apa yang diperintahkan oleh Bodhisatta.
Melihat rusa betina itu lagi, singa tersebut, dalam rasa cintanya yang besar kepada rusa betina itu, menjilatinya dengan lidahnya sehingga ia mati. Penggembala itu mengambil kulit singa dan bagian-bagian lainnya, membawakannya kepada Bodhisatta, yang berkata, “Rasa cinta kepada orang lain harus dihindari. Lihat bagaimana, dengan segala kekuatannya, raja dari semua hewan buas, singa, dikarenakan rasa cinta yang penuh nafsu kepada rusa betina itu meracuni dirinya sendiri dengan menjilati rusa betina itu hingga akhirnya ia mati.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini sebagai bimbingan bagi mereka yang berkumpul di sana:
[389] Jangan percaya pada yang bisa dipercaya,
jangan juga engkau tidak percaya pada kepercayaan.
Kepercayaan membunuh;
melalui kepercayaan singa menelan kekalahannya.
Seperti itulah pelajaran yang diberikan oleh Bodhisatta kepada mereka yang mengerumuninya. Setelah menghabiskan hidup dengan melakukan amal (berdana) dan perbuatan baik lainnya; ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

Uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah saudagar di masa itu.”
[Catatan : Bandingkan “Indische Sprüche” oleh Böhtlingk (edisi perdana) No.1465-7 dan 4346.]

MAHĀSĀRA-JĀTAKA

“Untuk perang manusia membutuhkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Yang Mulia Ānanda.
Sekali waktu, para istri Raja Kosala bepikir seperti ini, “Kemunculan seorang Buddha sangat langka; dan jarang juga kesempatan untuk terlahir sebagai manusia, dengan semua kemampuan dalam satu kesatuan yang sempurna. Meskipun kita telah terlahir sebagai manusia dalam masa hidup Sang Buddha, kita tidak dapat pergi sesuai keinginan kita ke wihara untuk mendengarkan Dhamma yang dibabarkan dari mulut-Nya sendiri, memberikan penghormatan dan persembahan kepada Beliau. Kita seperti hidup di dalam sebuah kotak. Mari kita meminta kepada raja untuk mengirimkan seorang bhikkhu kemari dan mengajarkan Dhamma kepada kita. Mari kita mempelajari apa yang kita dapatkan darinya, dan melakukan amal (berdana) serta perbuatan baik lainnya, sehingga akhirnya kita dapat memperoleh hasil melalui kelahiran kita di saat yang berbahagia ini.” Maka mereka semua bersatu menemui raja, dan menyampaikan buah pikiran mereka; dan raja menyetujuinya.
Suatu hari, raja mempunyai ide untuk menyenangkan diri di taman peristirahatan kerajaan, dan memberi perintah agar tempat tersebut dipersiapkan untuknya. Saat tukang kebun sedang merapikan tempat tersebut, ia melihat Sang Guru sedang duduk di bawah sebatang pohon. Ia menemui raja dan berkata, “Taman telah dipersiapkan, Paduka; namun Sang Bhagawan sedang duduk di bawah sebatang pohon.” “Bagus,” kata raja, “kami akan pergi untuk mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha.” Mengendarai kereta kerajaan, ia menemui Sang Guru di taman peristirahatan tersebut.
Duduk di sana, sambil mendengarkan Dhamma, seorang upasaka yang bernama Chattapāṇi, orang yang telah mencapai tingkat kesucian Anagāmi. Melihat upasaka ini, raja berhenti sejenak, namun, menduga ia pasti adalah orang yang bijaksana, jika bukan, ia tidak mungkin duduk di sisi Sang Guru untuk menerima petunjuk dari Beliau, raja mendekat dan setelah memberikan penghormatan, mengambil tempat duduk di sisi Sang Guru. Upasaka tersebut hanya memberikan penghormatan kepada Sang Buddha; ia tidak berdiri maupun memberi hormat kepada raja. Hal ini membuat raja menjadi sangat marah. Mengetahui ketidaksenangan raja, Sang Guru mulai memuji kebaikan upasaka tersebut dengan berkata, “Paduka, upasaka ini menguasai segala jenis tradisi; ia hafal semua kitab suci yang pernah diwariskan, dan ia telah membebaskan diri dari belenggu nafsu.” “Tentu saja,” pikir raja, “ia yang dipuji oleh Sang Guru tentu bukan orang biasa.” Raja berkata padanya, “Katakan pada saya, Upasaka, jika engkau membutuhkan sesuatu.” “Terima kasih,” jawabnya. Kemudian raja mendengarkan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Guru, dan pada akhir khotbah, ia bangkit dan dengan penuh hormat mengundurkan diri.
Di hari yang lain, raja bertemu dengan upasaka tersebut setelah sarapan. Dengan sebuah payung di tangan menuju ke Jetawana, raja mengundangnya ke istana dan berkata, “Saya dengar, Upasaka, engkau adalah orang dengan pengetahuan yang luas. Istri-istri saya sangat ingin mendengarkan dan mempelajari tentang Dhamma; saya akan sangat gembira jika engkau bersedia mengajari mereka.” “Tidaklah sesuai, Paduka, seorang perumah-tangga [382] menjelaskan atau mengajarkan kebenaran di tempat tinggal para istri raja; itu adalah hak istimewa anggota Sanggha (Saṅgha).”
Dipengaruhi oleh kekuatan ucapan tersebut, raja, setelah perumah-tangga tersebut pergi, memanggil semua istrinya dan menyatakan kepada mereka tentang niatnya untuk menemui Sang Guru dan mengundang salah seorang bhikkhu untuk datang sebagai pembimbing mereka atas ajaran Beliau. Siapa di antara kedelapan puluh siswa utama (Mahāsavāka) yang mereka pilih? Setelah berdiskusi bersama, para wanita itu secara kompak memilih Thera Ananda172, yang memiliki gelar sang Bendahara Dhamma. Maka raja menemui Sang Guru dan dengan sopan menyapa Beliau sebelum duduk di satu sisi, setelah itu menyampaikan keinginan para istrinya, dan juga harapan dirinya sendiri, bahwa mungkin Thera Ānanda berkenan menjadi guru mereka. Setelah Sang Guru setuju untuk mengirimkan Ānanda, para istri raja mulai secara teratur diajari oleh thera tersebut, dan mereka belajar Dhamma darinya.
Suatu hari, permata yang menghiasi ikat kepala raja hilang. Saat mendengar berita kehilangan itu, raja mengundang semua menterinya dan meminta mereka untuk menahan semua orang yang memasuki tempat tersebut dan mencari permata itu. Maka para menteri menggeledah semua orang, wanita dan semuanya, untuk mencari permata yang hilang, hingga semua orang ketakutan setengah mati; namun mereka tidak mendapatkan jejak apa pun. Hari itu, Ānanda muncul di istana, menemukan para istri raja terlihat kesal, padahal selama ini mereka sangat gembira saat ia mengajari mereka. “Apa yang membuat kalian terlihat seperti ini hari ini?” tanya thera tersebut. “Oh, Bhante,” kata mereka, “raja kehilangan permata yang  menghiasi ikat kepalanya; dan atas perintahnya, para menteri membuat semua orang khawatir, wanita dan semuanya, ketakutan setengah mati, dengan tujuan menemukan permata tersebut. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami, karenanya kami sangat sedih. “Jangan memikirkan hal itu lagi,” kata thera tersebut untuk menenangkan mereka, setelah itu ia pergi menemui raja. Duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untuknya, thera tersebut menanyakan apakah benar raja kehilangan permatanya. “Benar sekali, Bhante,” jawab raja. “Dan masih belum dapat ditemukan?” “Saya telah membuat semua penghuni istana ketakutan setengah mati, dan saya masih belum dapat menemukannya.” “Ada satu cara, Paduka, untuk menemukannya, tanpa membuat orang ketakutan setengah mati.” “Cara apakah itu, Bhante?” “Dengan pemberian utasan, Paduka.” “Pemberian utasan? Apakah itu?” “Kumpulkan semua, Paduka, orang-orang yang engkau curigai, berikan secara pribadi masing-masing dari mereka secara terpisah seutas jerami, atau segumpal tanah liat, katakan ‘Bawa ini dan letakkan di tempat anu saat subuh besok’. Orang yang mengambil permata itu akan meletakkannya di dalam jerami atau tanah liat, dengan demikian permata itu akan kembali. Jika kembali di hari pertama, sangat baik. Jika tidak, hal yang sama harus dilakukan pada hari kedua dan ketiga. Dengan cara demikian, banyak orang terhindar dari ketakutan sementara engkau dapat menemukan permatamu kembali.” Dengan katakata tersebut sang thera pamit.
Mengikuti nasihat tersebut, raja membuat utasan jerami dan tanah liat dibagi keluar selama tiga hari berturut-turut; namun permata itu tetap tidak ditemukan. [383] Pada hari ketiga, thera tersebut kembali, dan menanyakan apakah permata itu telah ditemukan. “Belum, Bhante,” jawab raja. “Kalau begitu, Paduka, engkau harus menempatkan pot air yang besar di sebuah sudut (yg sudah lama tidak dilewati) di halaman kerajaan, engkau harus mengisi pot tersebut dengan air dan memasang sebuah tirai di depannya. Kemudian sampaikan bahwa semua orang yang sering ke tempat tersebut, baik pria maupun wanita, agar melepaskan baju luarnya dan satu per satu mencuci tangan mereka di balik tirai itu, kemudian kembali.” Dengan nasihat tersebut, sang thera pamit. Dan raja melakukan apa yang dimintanya.
Pencuri itu berpikir, “Ānanda sangat serius menangani hal ini; jika ia tidak dapat menemukan permata tersebut, ia tidak akan berhenti sampai di sini. Telah tiba saat untuk mengembalikan permata itu tanpa kehebohan.” Maka ia menyembunyikan permata itu di badannya, dan pergi ke balik tirai, menjatuhkannya dalam air sebelum pergi. Setelah semua orang pergi, pot itu dikosongkan, dan permata itu ditemukan. “Semua ini berkat thera tersebut,” seru raja dengan gembira, “sehingga saya mendapatkan kembali permata saya, dan tidak membuat orang-orang ketakutan setengah mati.” Semua orang di tempat itu sangat berterima kasih kepada Ānanda atas masalah yang diselesaikannya hingga mereka tertolong. Cerita bagaimana kemampuan Ānanda yang mengagumkan dalam menemukan permata tersebut, tersiar hingga ke seluruh penjuru kota tersebut, hingga akhirnya terdengar oleh para bhikkhu. Para bhikkhu berkata, “Pengetahuan yang hebat, ilmu dan kepintaran Thera Ānanda digunakan sekaligus untuk menemukan permata yang hilang dan menolong orang banyak dari ketakutan terhadap keselamatan diri mereka.” Saat mereka duduk bersama di dalam Dhammasabhā (Balai Kebenaran) itu, memuji Ānanda, Sang Guru memasuki balai tersebut dan menanyakan topik pembicaraan mereka. Setelah mengetahuinya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya apa yang telah dicuri ditemukan kembali, Ānanda juga bukan satu-satunya orang yang melakukan penemuan seperti itu. Di kehidupan yang lampau, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan juga menemukan apa yang telah dicuri dan menyelamatkan sekumpulan orang dari masalah, menunjukkan bahwa harta yang hilang itu ternyata jatuh ke tangan hewan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta, setelah menyelesaikan pendidikannya, menjadi salah seorang menteri raja. Suatu hari, raja ditemani oleh sejumlah pengikut menuju ke tempat peristirahatannya, setelah berjalanjalan di hutan, timbul niat raja untuk menyenangkan diri di dalam air. Maka ia menuruni kolam kerajaan dan mengundang istriistrinya untuk bergabung. Para wanita itu melepaskan perhiasan dari kepala, leher dan seterusnya, meletakkannya di samping baju luar mereka dalam kotak-kotak yang dijaga oleh para pelayan wanita, kemudian turun ke dalam kolam. Saat ratu melepaskan permata dan perhiasannya, meletakkannya bersama baju luarnya dalam sebuah kotak, ia diperhatikan oleh seekor kera betina, yang bersembunyi di cabang pohon dekat kolam.
Berniat memakai kalung mutiara ratu, kera ini mengawasi pelayan yang bertugas, menunggu ia lengah. Awalnya gadis itu selalu melihat sekelilingnya untuk menjaga permata-permata [384] itu tetap aman; dengan berlalunya waktu, ia mulai mengantuk. Begitu kera tersebut melihat hal itu, ia melompat turun secepat kilat dan kembali lagi ke atas pohon, dengan mutiara yang mengelilingi lehernya. Kemudian, karena takut kera yang lain melihatnya, ia menyembunyikan untaian mutiara itu dalam sebuah lubang pohon dan menjaga barang rampasannya dengan lagak seakan tidak terjadi apa-apa. Dengan segera pelayan itu terbangun, dan ketakutan saat melihat permatapermata itu telah hilang, melihat tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan lagi, ia berteriak, “Seseorang telah melarikan kalung mutiara ratu.” Para pengawal berhamburan dari segala penjuru, memeriksa kebenaran cerita tersebut dan menyampaikannya kepada raja. “Tangkap pencuri itu,” kata raja; para pengawal itu mencari pencuri itu dimana-mana di sekitar taman peristirahatan itu. Mendengar hiruk pikuk itu, seorang lelaki miskin dari kampung 173 yang percaya pada takhayul mengambil langkah seribu saat mendengar tanda bahaya dibunyikan. “Itu dia di sana,” teriak para pengawal, saat mengetahui pelariannya; mereka mengejarnya hingga ia tertangkap, dan memberikan pukulan-pukulan padanya sambil menanyakan apa maksudnya mencuri permata yang begitu berharga itu.
Ia berpikir, “Jika saya menyangkal tuduhan ini, saya akan mereka pukul hingga mati. Lebih baik saya mengakuinya.” Maka ia mengaku sebagai pencurinya, dan dibawa sebagai tahanan di hadapan raja. “Apakah engkau mengambil permata yang berharga itu?” tanya raja. “Ya, Paduka.” “Dimanakah permata itu?” “Tolong, Paduka, saya adalah orang miskin; sepanjang hidup saya, saya tidak pernah mempunyai apa pun, termasuk tempat tidur maupun kursi, dengan harga berapa pun, — lebih-lebih sebuah permata. Bendaharawan yang meminta saya untuk mengambil kalung yang berharga itu, saya mengambil dan memberikannya pada Bendaharawan itu. Ia mengetahui semua ini.”
Raja meminta Bendaharawan itu menghadapnya, dan bertanya apakah orang kampung itu telah memberikan sebuah kalung kepadanya. “Sudah, Paduka,” jawabnya. “Dimanakah kalung itu sekarang?” “Saya memberikannya kepada Pendeta Kerajaan.” Maka Pendeta Kerajaan dibawa ke istana, dan dimintai keterangan dengan cara yang sama. Dan dia mengatakan bahwa dia telah menyerahkannya kepada Pemain Musik, yang menyatakan bahwa kalung itu telah diberikannya kepada seorang gadis penari [385] sebagai hadiah. Namun gadis itu, saat dibawa menghadap raja, menyangkal ia pernah menerima kalung itu.
Sementara kelima orang itu dimintai keterangan, matahari telah terbenam — “Sudah terlalu sore,” kata raja; “kita akan mendalami masalah ini besok.” Maka ia menyerahkan kelima orang ini kepada para menterinya dan kembali ke kota. Saat itu Bodhisatta berpikir keras. “Permata-permata ini,” pikirnya, “hilang di dalam pekarangan, sementara orang kampung ini berada di luar. Ada lapisan penjagaan yang ketat di gerbang-gerbang, sehingga tidak mungkin ada orang yang bisa keluar dengan membawa kalung tersebut. Saya tidak melihat bagaimana ada orang, baik di dalam maupun di luar, yang bisa mengamankannya. Yang sebenarnya adalah orang malang yang sial ini, mengatakan ia telah memberikannya kepada Bendaharawan adalah demi menyelamatkan dirinya sendiri; Bendaharawan mengatakan ia telah memberikannya kepada Pendeta Kerajaan dengan harapan ia bisa terbebaskan jika melemparkannya kepada Pendeta itu. Lebih lanjut, Pendeta mengatakan ia telah memberikannya kepada Pemain Musik, karena ia mengira Pemain Musik itu akan menghabiskan waktu dengan gembira di dalam penjara; sementara Pemain Musik itu melibatkan gadis penari itu, hanya demi menghibur diri didampinginya selama berada di dalam tahanan. Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang melakukan pencurian itu. Disisi lain, pekarangan tersebut dipenuhi oleh kera-kera, kalung itu pasti berada di tangan salah seekor kera betina.”
Saat tiba dikesimpulan itu, Bodhisatta pergi menghadap raja dengan permohonan agar para tersangka diserahkan kepadanya dan ia boleh menguji mereka secara pribadi atas masalah tersebut. “Melalui segala cara, Temanku yang bijaksana,” kata raja, “selidikilah masalah tersebut.”
Bodhisatta meminta pelayannya menghadap dan mengatakan pada mereka dimana kelima tahanan tersebut ditempatkan, dan berkata, “Awasi mereka baik-baik; dengarkan semua pembicaraan mereka dan laporkan semuanya pada saya.” Para pelayannya melakukan apa yang ia minta. Saat para tahanan itu duduk bersama, Bendaharawan berkata pada orang kampung itu, “Katakan pada saya, Orang sial, dimana kita bertemu sebelum ini; katakan kapan engkau memberikan kalung itu kepada saya.” “Tuan,” kata orang kampung itu, “ saya tidak pernah memiliki sesuatu yang berharga, termasuk sebuah bangku atau alas tidur yang tidak reyot. Saya pikir dengan bantuan darimu, saya bisa keluar dari masalah ini, sehingga saya mengeluarkan ucapan itu. Jangan marah pada saya, Tuan.” Pendeta [386] balik bertanya pada Bendaharawan, “Bagaimana engkau bisa memberikan kepadaku apa yang tidak diberikan orang ini padamu?” “Saya mengatakan itu karena saya pikir jika kita berdua, petinggi di istana, bersatu, kita akan bisa segera menyelesaikan masalahnya.” “Brahmana,” sekarang Pemain Musik yang bertanya kepada Pendeta, “kapan, saya mohon, engkau memberikan permata itu kepada saya?” “Saya mengatakan hal tersebut,” jawab Pendeta, “karena saya pikir engkau bisa menghabiskan waktu dengan lebih menyenangkan.” Terakhir, gadis penari itu bertanya, “Oh, Engkau musisi sialan, engkau tidak pernah mengunjungi saya, tidak juga saya padamu. Kapan kalung itu engkau berikan kepadaku, seperti perkataanmu?” “Mengapa marah?” kata musisi itu, “kita berlima harus tinggal bersama selama beberapa waktu; mari kita tunjukkan wajah gembira dan bersenang-senang bersama.”
Percakapan ini disampaikan kepada Bodhisatta oleh wakilnya, ia menjadi yakin bahwa kelima orang ini tidak bersalah atas perampokan tersebut, dan bahwa seekor kera betina telah mengambil kalung itu. “Saya harus mencari cara agar kera betina itu mengembalikan kalungnya,” kata Bodhisatta pada dirinya sendiri. Maka ia minta sejumlah kalung manik-manik dibuat. Selanjutnya ia membuat sejumlah kera ditangkap dan dilepaskan kembali, setelah memakai seuntai manik-manik di leher, pergelangan tangan dan tungkai mereka. Sementara itu, kera yang bersalah itu, tetap duduk di pohon untuk menjaga hartanya. Kemudian Bodhisatta meminta sejumlah orang mengawasi dengan teliti setiap kera di pekarangan itu, hingga mereka melihat kera yang memakai kalung mutiara yang hilang itu, — mereka harus menakut-nakutinya hingga ia menjatuhkan kalung tersebut.
Diperdaya oleh kemewahan baru ini, kera-kera itu berkeliaran dengan lagak sombong hingga mereka mendekati tempat pencuri yang sebenarnya berada, yang mereka pameri perhiasan tersebut. Rasa iri menutupi kebijaksanaannya, ia berseru, “Itu semua hanya manik-manik!” dan memakai kalungnya yang terbuat dari mutiara asli. Hal ini segera terlihat oleh para pengawal, yang dengan cepat membuat ia menjatuhkan kalung tersebut, mereka memungut kalung itu dan membawanya kepada Bodhisatta. Ia membawanya kepada raja, berkata, “Ini, Paduka, adalah kalung tersebut. Kelima tahanan itu tidak bersalah; seekor kera betina di taman peristirahatan yang mengambilnya.” “Bagaimana caramu mengetahui hal tersebut?” tanya raja; “dan bagaimana engkau mengatur hingga mendapatkannya kembali?” Bodhisatta menceritakan seluruh kejadian itu, dan raja berterima kasih [387] kepada Bodhisatta, dengan mengucapkan, “Engkau adalah orang yang tepat pada posisi yang tepat.” Dan ia mengucapkan syair ini untuk memuji Bodhisatta : —
Untuk perang manusia membutuhkan pahlawan,
nasihat dari yang bijaksana menenangkan hati,
sahabat baik memberikan penghiburan.
Namun penilaian diberikan saat menghadapi keadaan berbahaya.
Disamping kata-kata pujian dan terima kasih, raja menghujani Bodhisatta dengan harta benda seperti badai yang mencurahkan hujan dari langit. Setelah mengikuti nasihat Bodhisatta dengan menghabiskan usia yang cukup panjang dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, raja meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah uraian tersebut berakhir, setelah memuji kebaikan thera tersebut, Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah raja di masa itu, dan Saya adalah penasihat yang bijaksana tersebut.”
Catatan kaki :
172 Ānanda mempunyai ‘pandangan lebih lanjut atas pertanyaan kaum wanita.’ Ia yang membujuk Sang Buddha yang pada awalnya keberatan untuk menerima para wanita menjadi anggota Sanggha, seperti yang tercatat dalam Vinaya (S.B.E.XX,320.)
173 Atau barangkali, “Seorang perusuh saat pembayaran pajak.”

LITTA-JĀTAKA

“Ia menelan dadu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai penggunaan barang secara tidak bijaksana.
Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, kebanyakan para bhikkhu di masa itu mempunyai kebiasaan memakai jubah dan sejenisnya, yang diberikan kepada mereka, dengan cara yang tidak bijaksana. Penggunaan empat kebutuhan pokok sebagaimana yang telah ditentukan secara tidak bijaksana akan menghalangi mereka untuk melarikan diri dari hukuman terlahir kembali di alam neraka dan alam binatang. Mengetahui hal ini, Sang Guru memberikan pelajaran tentang kebaikan dan menunjukkan bahaya atas penggunaan barang secara tidak bijaksana, menasehati mereka untuk berhati-hati dalam menggunakan empat kebutuhan pokok, dan menetapkan peraturan berikut ini, “Bhikkhu yang bijaksana merenungkan dengan benar tujuan ia memakai jubah, yaitu, untuk mengatasi rasa dingin.” Setelah menetapkan peraturan yang serupa untuk kebutuhan-kebutuhan pokok yang lain, Beliau menyimpulkan dengan berkata, “Demikianlah penggunaan empat kebutuhan pokok yang bijaksana dan yang seharusnya dilakukan. Menggunakannya secara tidak bijaksana seperti menelan racun yang mematikan, dan ada beberapa orang yang tidak bijaksana pada kehidupan lampau karena kurang berhati-hati menelan racun sehingga merasa sangat kesakitan pada saat itu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga yang kaya, dan saat tumbuh dewasa, ia menjadi seorang pemain dadu. Ia sering berjudi bersama dengan seorang pejudi curang, yang akan tetap bermain kala sedang menang, tetapi ketika keberuntungannya berlalu, ia akan menghentikan permainan itu dengan cara memasukkan salah satu dadu ke dalam mulutnya dan berlaku seolah dadu tersebut hilang. Setelah melakukannya, ia akan pergi. [380] “Baiklah,” kata Bodhisatta saat menyadari apa yang telah terjadi, “kita akan menyelidiki masalah ini.” Maka ia mengambil beberapa butir dadu, mengolesinya dengan racun di rumah, mengeringkannya dengan hati-hati, dan kemudian membawa dadu-dadu tersebut bersamanya menemui pejudi curang itu, yang ditantangnya untuk bermain dadu dengannya. Pejudi curang itu menerima tantangannya, papan dadu segera disiapkan, dan permainan pun dimulai. Tak lama kemudian, pejudi curang itu mulai kalah dan ia segera memasukkan salah satu dadu ke dalam mulutnya. Mengamati kelakuan pejudi curang itu, Bodhisatta berkata, “Telanlah; engkau akan mengetahui apa yang sebenarnya engkau makan dalam waktu singkat.” Lalu ia mengucapkan syair peringatan keras berikut:
Ia menelan dadu dengan cukup berani,
tanpa mengetahui bahwa racun yang membakar sedang mengintai tanpa terlihat.
Yah, telanlah, pejudi curang!
Engkau akan segera terbakar dari dalam.
Tetapi ketika Bodhisatta sedang berucap, racun yang ditelan pejudi curang itu mulai bereaksi, ia mulai tak sadarkan diri, matanya semakin meredup, dan jatuh ke tanah dengan tubuh meringkuk kesakitan. “Sekarang,” kata Bodhisatta, “saya harus menyelamatkan nyawa orang jahat ini.” Maka ia meramu obat penyebab muntah dan memberikan obat yang diramunya sampai pejudi curang tersebut muntah. Kemudian ia memberikan seteguk campuran mentega cair dengan madu dan gula serta bahan-bahan lainnya. Dengan cara itu ia membuat orang tersebut sehat kembali. Lalu ia menasehatinya untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi. Setelah hidup dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, penggunaan barang secara tidak bijaksana seperti ia yang menelan racun mematikan tanpa berpikir panjang.” Setelah mengucapkan hal itu, Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan kata-kata berikut, “Saya sendiri adalah Pejudi yang bijaksana dan baik pada masa itu.”
[Catatan Pali : “Tidak disebutkan tentang siapa pejudi curang itu, — apa yang menjadi alasannya, di sini juga di tempat lain, tidak terdapat keterangan yang diberikan tentang orang yang tidak dibicarakan.”]

AKATAÑÑU-JĀTAKA

“Orang yang tidak tahu berterima kasih,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Anāthapiṇḍika.
Di daerah perbatasan, begitulah kisah ini bermula, tinggallah seorang saudagar, yang merupakan sahabat pena dari Anāthapiṇḍika, namun mereka belum pernah bertemu. Pada suatu waktu, saudagar tersebut memuat lima ratus buah gerobak dengan barang-barang hasil produksi setempat dan memerintahkan pekerja yang sedang bertugas untuk pergi ke tempat saudagar besar Anāthapiṇḍika, dan menukarkan barang-barang tersebut di toko sahabat penanya sesuai dengan nilai barang-barang itu, dan kembali dengan membawa barang-barang hasil penukarannya. Maka mereka pun pergi ke Sāvatthi, dan menemui Anāthapiṇḍika. Terlebih dahulu mereka memberikan hadiah padanya, kemudian memberitahukan keperluan mereka. “Selamat datang,” kata orang yang mulia itu, dan memerintahkan mereka untuk bermalam di sana dan menyediakan uang untuk keperluan mereka. Setelah dengan ramah menanyakan kesehatan majikannya, ia menukarkan barang dagangannya dan memberikan barang tersebut kepada mereka sebagai hasil penukaran. Kemudian mereka pun kembali ke daerah mereka sendiri, dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Tidak lama kemudian, Anāthapiṇḍika melakukan hal yang sama, yaitu mengirim lima ratus gerobak yang berisi barang dagangan ke daerah tempat saudagar itu tinggal; dan setibanya orang-orangnya di sana dengan hadiah di tangan, menghampiri saudagar di perbatasan itu. “Darimana asal kalian?” tanyanya. “Dari Sāvatthi,” jawab mereka; “diutus oleh sahabat penamu, Anāthapiṇḍika.” “Siapa pun dapat menyebut dirinya sendiri Anāthapiṇḍika,” dia berkata dengan nada mencemooh; dan setelah mengambil hadiah yang dibawa mereka, ia meminta mereka pergi, tanpa memberikan tempat bermalam ataupun uang. Maka mereka pergi menukarkan barang-barangnya sendiri dan kembali ke Sāvatthi dengan hasil penukaran tersebut, dengan membawa kisah penyambutan yang mereka terima.
Sekarang giliran [378] saudagar dari perbatasan itu yang mengirim rombongan lain dengan lima ratus buah gerobak ke Sāvatthi; dan orang-orangnya datang dengan hadiah di tangan menunggu kedatangan Anāthapiṇḍika. Sewaktu melihat mereka, orang-orang Anāthapiṇḍika pun berkata, “Oh, kita akan memastikan, Tuan, bahwa mereka diberi tempat bermalam dan makanan yang layak dan diberi uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” Kemudian mereka membawa orang-orang asing itu ke pinggir kota dan meminta mereka menambatkan gerobak mereka pada tempatnya, menambahkan bahwa nasi dan uang akan diantar dari rumah Anāthapiṇḍika. Tetapi kala menjelang tengah malam, setelah mengumpulkan pelayan dan budak, mereka menjarah seluruh rombongan tersebut, mengambil semua pakaian yang mereka bawa, menghela pergi sapi mereka, dan melepaskan roda-roda dari gerobak-gerobak tersebut, meninggalkan gerobak tanpa roda itu. Hanya dengan baju di badan, orang-orang asing yang ketakutan itu pergi dengan cepat, dan kembali ke rumah mereka di perbatasan. Kemudian orangorang Anāthapiṇḍika menceritakan seluruh kejadian itu kepadanya. “Kisah yang menarik ini,” katanya, “akan menjadi hadiah saya untuk Sang Guru hari ini,” dan ia pun pergi untuk menceritakan kisah tersebut kepada Sang Guru.
“Ini bukan pertama kalinya, Tuan,” kata Sang Guru, “bahwa saudagar dari perbatasan ini memperlihatkan watak yang demikian, ia juga memperlihatkan hal yang sama di kehidupan lampau.” Kemudian, atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau berikut.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang saudagar yang sangat kaya di kota tersebut. Dan ia juga memiliki sahabat pena, seorang saudagar di perbatasan yang tidak pernah ia temui, dan semuanya terjadi sama seperti kisah di atas.
Setelah diberitahukan oleh orang-orangnya tentang apa yang telah mereka lakukan, ia berkata, “Masalah ini adalah hasil dari rasa tidak tahu berterima kasih atas kebaikan yang mereka terima.” Dan ia melanjutkan untuk membimbing orang-orang yang berkumpul dalam kerumunan itu dengan syair berikut ini:
Orang yang tidak tahu berterima kasih terhadap perbuatan baik,
Sejak saat itu juga, ia tidak akan menemukan penolong saat membutuhkannya.
Dengan cara seperti inilah Bodhisatta mengajarkan Dhamma dalam syair tersebut. Setelah hidup dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

[379] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saudagar di perbatasan di masa ini juga merupakan saudagar di perbatasan di masa itu, dan Saya sendiri adalah Saudagar dari Benares tersebut.”

KUHAKA-JĀTAKA

“Betapa masuk akalnya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai seorang penipu. Penjelasan mengenai tipu muslihatnya akan diceritakan dalam Uddāla-Jātaka171.

Suatu ketika pada saat Brahmadatta memerintah di Benares, di dekat sebuah desa kecil, tinggallah seorang petapa jahat yang licik, petapa ini berambut panjang dan kusut. Tuan tanah dari desa itu membangun sebuah tempat pertapaan di hutan untuk dihuni olehnya, dan selalu menyediakan makanan yang lezat bagi petapa tersebut di rumahnya. Tuan tanah tersebut menjadikan penjahat berambut kusut itu sebagai teladan kebaikan, dan hidup dalam ketakutan terhadap perampok; oleh sebab itu, ia pun membawa seratus keping emas ke tempat pertapaan itu dan menguburkannya di sana, kemudian meminta petapa tersebut untuk menjaga hartanya. “Tuan, tidak perlu dijelaskan lagi bahwa seseorang yang telah meninggalkan keduniawian; kami, para petapa, tidak pernah menginginkan barang milik orang lain.” “Hal itu sangat baik, Bhante,” jawab tuan tanah desa itu, kemudian pulang dengan percaya sepenuhnya pada pernyataan petapa tersebut. Petapa jahat itu berpikir, “Di sini terdapat harta yang cukup [376] untuk menghidupi seseorang sepanjang hidupnya.” Ia pun menunggu beberapa hari berlalu sebelum ia memindahkan emas tersebut dan menguburkannya di pinggir jalan, dan kembali ke tempat pertapaannya. Keesokan harinya, setelah menyantap nasi di rumah tuan tanah itu, petapa tersebut berkata, “Sudah cukup lama, Tuan, sejak Anda mendukung kehidupan saya; menetap dalam waktu yang cukup lama di suatu tempat sama halnya dengan menjalani kehidupan keduniawian, — dimana hal ini dilarang bagi seseorang yang menjalani kehidupan sebagai seorang petapa. Oleh sebab itu, saya harus pergi.” Walaupun tuan tanah tersebut terus mendesaknya untuk tinggal, namun tidak ada yang bisa mengubah ketetapan hatinya.
“Baiklah, jika memang harus demikian, lanjutkanlah perjalananmu, Bhante,” kata tuan tanah tersebut; dan ia pun mendampingi petapa tersebut hingga ke pinggir desa. Setelah berjalan beberapa saat, petapa tersebut berpikir akan merupakan hal yang menarik untuk memperdaya tuan tanah tersebut; maka ia menaruh seutas jerami di rambutnya yang kusut, dan kembali lagi. “Apa yang menyebabkan Anda kembali lagi?” tanya tuan tanah tersebut. “Tuan, seutas jerami dari atap rumahmu menempel di rambutku; dan karena kami, para petapa, tidak akan mengambil apa pun yang tidak diberikan kepada kami, saya harus mengembalikannya kepadamu.” “Buang saja, Bhante, dan lanjutkan perjalananmu,” jawab tuan tanah itu, dengan berpikir, “Ia bahkan tidak mau mengambil seutas jerami yang bukan merupakan miliknya! Betapa pekanya dia!” Merasa sangat senang terhadap petapa tersebut, ia pun mengantar kepergiannya.
Saat itu, kebetulan Bodhisatta yang sedang dalam perjalanan ke daerah perbatasan untuk urusan dagang bermalam di desa itu. Saat mendengar perkataan petapa tersebut, kecurigaan muncul dalam pikirannya, bahwa petapa jahat itu pasti telah mengambil sesuatu dari tuan tanah tersebut; maka ia bertanya pada tuan tanah itu apakah ia menyimpan sesuatu di bawah penjagaan petapa tersebut.
“Ya, — seratus keping emas.”
“Pergi dan lihatlah apakah semuanya masih aman.”
Tuan tanah itu pun menuju ke tempat pertapaan tersebut, dan melihat, kemudian menyadari bahwa uangnya telah hilang. Ia pun berlari kembali ke tempat Bodhisatta dan berseru, “Sudah tidak ada lagi.” “Pencurinya tidak lain adalah petapa jahat berambut panjang itu,” kata Bodhisatta; “Mari kita kejar dan tangkap dia.” Mereka pun segera mengejarnya. Setelah penjahat tersebut tertangkap, mereka menendang dan memukulinya, hingga ia memberi tahu mereka di mana ia menyimpan uang tersebut. Ketika emas itu telah didapatkan kembali, Bodhisatta memandangnya, dengan penuh penghinaan ia menyindir petapa tersebut, “Seratus keping emas tidak mengusik hati nuranimu sebagaimana jerami itu menyebabkanmu tidak enak hati!” Kemudian ia menegur petapa tersebut dengan syair berikut ini: —
Betapa masuk akalnya kisah yang diceritakan oleh penjahat ini!
Betapa ia peduli pada jerami itu!
Betapa ia tidak mengindahkan emas itu!
[377] Setelah Bodhisatta menegur orang-orang tersebut dengan cara demikian, ia menambahkan, — “Engkau yang munafik, sekarang berhati-hatilah, jangan melakukan muslihat demikian lagi.” Setelah hidupnya berakhir, Bodhisatta meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, demikianlah kalian lihat, tipu muslihat yang dilakukan oleh bhikkhu ini di kehidupan yang lampau, sama seperti yang dilakukannya pada saat ini.” Dan Beliau mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang jahat ini adalah petapa jahat di masa itu, dan Saya sendiri adalah orang yang bijaksana dan penuh kebaikan itu.”
Catatan kaki :
171 No.487.

SĀRAMBHA-JĀTAKA

“Berbicaralah dengan ramah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Sawatthi, mengenai aturan yang berkenaan dengan kata-kata yang kasar. Cerita pembuka dan kisah kelahiran lampaunya sama dengan Nandivisāla-Jātaka pada bab sebelumnya170.
Namun dalam kasus ini [375] terdapat perbedaan dimana Bodhisatta adalah seekor sapi jantan yang bernama Sārambha, dan merupakan peliharaan seorang brahmana dari Takkasilā di Kerajaan Gandhāra. Setelah menceritakan kisah kelahiran lampau, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini : —
Berbicaralah dengan ramah,
jangan mencerca pengikutmu;
cintai kebaikan;
cercaan adalah bibit penderitaan.
Setelah Sang Guru mengakhiri uraian-Nya, Beliau mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah brahmana pada masa itu, Uppalavaṇṇā adalah istrinya, dan Saya adalah Sārambha.”
Catatan kaki :
170 No.28.

MAṀGALA-JĀTAKA

“Siapapun yang meninggalkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai seorang brahmana yang ahli melihat ramalan [372] yang terlukis pada potongan kain 167 . Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, di Rajagaha tinggallah seorang brahmana yang sangat percaya pada takhayul dan berpegang pada pandangan yang salah, ia tidak percaya pada Ti Ratana. Brahmana ini sangat kaya dan makmur, hartanya berlimpah; dan seekor tikus betina telah menggerogoti satu setel bajunya yang tersimpan di dalam lemari. Suatu hari, setelah mandi, saat ia meminta agar pakaian tersebut dibawakan kepadanya, ia diberi tahu mengenai kejailan yang dilakukan tikus tersebut — “Jika pakaian ini disimpan di dalam rumah,” pikirnya, “maka akan membawa kesialan; pertanda buruk demikian pasti akan membawa kutukan. Tidak mungkin pula diberikan kepada anak maupun pelayan saya, karena siapapun yang memilikinya akan membawa kesialan bagi orang disekitarnya. Saya harus membuangnya di tanah pemakaman 168 ; namun bagaimana caranya? Saya tidak bisa memberikannya kepada para pelayan; karena mungkin mereka akan menginginkan dan menyimpannya, sehingga menyebabkan rumah saya mengalami kehancuran. Anak saya sendirilah yang harus membuangnya.” Maka ia pun memanggil putranya dan menceritakan seluruh kejadian itu, kemudian memintanya membuang pakaian tersebut dengan sebuah tongkat, tanpa menyentuhnya dengan tangan, dan melemparkannya di tanah pemakaman. Ia juga harus membersihkan dirinya sebelum kembali ke rumah. Pada waktu fajar, saat Sang Guru mengamati sekelilingnya dan melihat apakah ada orang yang dapat dibimbing menuju kebenaran, Beliau mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ayah dan anak tersebut untuk mencapai pembebasan. Maka Beliau pergi dalam samaran sebagai seorang pemburu yang hendak pergi berburu, dan duduk di pintu gerbang tanah pemakaman tersebut dengan memancarkan sinar enam warna yang merupakan ciri seorang Buddha. Dalam waktu yang tidak lama, brahmana muda itu pun tiba di tempat tersebut, sesuai dengan perintah ayahnya, dengan hati-hati ia membawa pakaian itu di ujung tongkat, — seakanakan ia sedang membawa seekor ular.
“Apa yang engkau lakukan, Brahmana muda?” tanya Sang Guru.
“Gotama yang baik 169 ,” jawabnya, “setelan ini telah digerogoti oleh tikus, hal ini melambangkan kesialan, dan sangat berbahaya bagaikan direndam dalam racun yang mematikan; ayah saya merasa khawatir para pelayan akan menginginkan dan menyimpan pakaian ini, jadi beliau mengutus saya untuk membuangnya. Saya berjanji membuang pakaian tersebut dan membersihkan diri seusai melakukannya; pesan tersebutlah yang menyebabkan saya berada di sini.” “Kalau begitu, buang saja pakaian itu,” kata Sang Guru; brahmana muda tersebut melakukannya. “Pakaian ini cocok untuk saya,” kata Sang Guru, sambil memungut baju yang penuh kesialan itu di depan mata brahmana muda itu. Tanpa menghiraukan peringatan dari brahmana muda itu, yang bertubi-tubi memohon dengan sangat kepada Beliau agar tidak mengambil pakaian tersebut; Beliau segera berangkat menuju ke Weluwana.
Dengan terburu-buru brahmana muda itu berlari pulang, memberi tahu ayahnya bagaimana Guru Gotama menyatakan bahwa pakaian itu cocok untuk-Nya, mengabaikan semua peringatannya dan bersikeras membawa pakaian tersebut menuju ke Weluwana. “Pakaian tersebut,” pikir brahmana itu, “mempesona dan terkutuk. Bahkan Guru Gotama tidak dapat memakainya tanpa ditimpa bencana; hal itu akan merusak nama baik saya. Saya akan memberikan Guru tersebut pakaian lain dalam jumlah banyak dan memintanya membuang pakaian tersebut.” Maka dengan ditemani oleh anaknya, ia membawa sejumlah besar jubah dan memulai perjalanan menuju ke Weluwana. Saat tiba di hadapan Sang Guru, ia berdiri dengan penuh hormat di satu sisi dan berkata, “Benarkah, apa yang saya dengar, bahwa engkau, Gotama yang baik, [373] memungut satu setel pakaian di tanah pemakaman?” “Benar sekali, Brahmana.” “Gotama yang baik, setelan itu membawa kutukan; jika engkau memakainya, kehancuran akan menghampiri-Mu. Jika engkau membutuhkan pakaian, ambillah ini dan buang pakaian itu.” “Brahmana,” jawab Sang Guru, “melalui pernyataan terbuka saya telah meninggalkan keduniawian, dan saya puas dengan kain bekas yang tergeletak di pinggir jalan, tempat pemandian, atau yang dibuang dalam tumpukan sampah maupun di tanah pemakaman. Sedangkan engkau telah percaya pada takhayul di kehidupan yang lampau, sebagaimana yang terjadi pada saat ini.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan brahmana tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Suatu ketika di Kota Rājagaha, Kerajaan Magadha, berkuasalah Raja Magadha yang adil. Pada masa itu Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana dari barat laut. Setelah dewasa, ia meninggalkan keduniawian dan menjalani hidup sebagai seorang petapa. Beliau memperoleh kesaktian/kemampuan batin luar biasa dan pencapaian, kemudian menetap di Pegunungan Himalaya. Pada suatu kesempatan, sekembalinya dari Pegunungan Himalaya, ia menetap di taman peristirahatan kerajaan. Keesokan harinya ia pergi ke kota untuk melakukan pindapata. Saat melihat petapa tersebut, raja mengundangnya ke istana dan menyediakan tempat duduk serta makanan, — memintanya untuk tinggal di taman peristirahatan kerajaan. Maka Bodhisatta menerima undangan tersebut, ia selalu menerima dana makanan dari istana dan menetap di tanah kerajaan.
Pada masa itu, di kota tersebut tinggal pula seorang brahmana yang dikenal sebagai pembaca pertanda di kain. Di dalam lemarinya terdapat satu setel pakaian yang digerogoti oleh tikus, dan segalanya berlangsung sama seperti pada cerita terdahulu. Tetapi pada saat anak brahmana itu sedang menuju ke tanah pemakaman, Bodhisatta tiba terlebih dahulu dan duduk di gerbang; memungut pakaian yang dibuang oleh brahmana muda tersebut, dan kembali ke taman peristirahatan. Ketika brahmana muda itu menceritakan hal tersebut kepada ayahnya, brahmana tua itu berseru, “Ini akan menjadi akhir hidup dari petapa tersebut.” Kemudian ia memohon Bodhisatta untuk membuang setelan itu, karena tidak ia akan binasa. Namun petapa tersebut menjawab, “Kain bekas yang dibuang di tanah pemakaman sudah cukup bagus untuk kami. Kami tidak mempercayai takhayul mengenai keberuntungan, hal ini tidak disetujui oleh para Buddha, Pacceka Buddha, maupun Bodhisatta; karenanya, mereka yang bijaksana tidak akan percaya pada keberuntungan.” Setelah mendengarkan Dhamma yang diuraikan secara terperinci, brahmana tersebut meninggalkan kesalahannya dan berlindung pada Bodhisatta. Dan Bodhisatta, yang mempertahankan pencapaian jhananya secara terus menerus, terlahir kembali di alam brahma [374].

Setelah menceritakan kisah ini, Sang Guru sebagai seorang Buddha, mengajarkan Dhamma kepada brahmana tersebut dengan syair berikut ini: —
Siapapun yang meninggalkan pertanda, mimpi dan gelagat,
Ia, akan terbebaskan dari kesalahan karena takhayul,
akan menaklukkan perbuatan jahat
dan kemelekatan hingga akhir masa.
Ketika Sang Guru telah membabarkan ajaran-Nya kepada brahmana tersebut dalam bentuk syair ini, Beliau melanjutkannya dengan membabarkan Empat Kebenaran Mulia, pada akhir khotbah brahmana tersebut, bersama putranya, mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ayah dan anak pada kelahiran ini juga merupakan ayah dan anak di masa itu, dan Saya sendiri adalah petapa tersebut.”
Catatan kaki :
167 Bandingkan Tevijja Sutta yang diterjemahkan oleh Rhys Davids dalam “Buddhist Suttas” hal.197.
168 Sebuah āmaka-susāna adalah lapangan terbuka atau hutan dimana mayat-mayat dibiarkan untuk dimakan oleh hewan buas, dengan tujuan agar bumi tidak tercemar. Bandingkan dengan ‘Towers of Silence’ Parsee.
169 Dalam Bahasa Pali bho Gotama, adalah suatu bentuk sapaan yang akrab. Brahmana selalu menunjukkan kelancangan dengan memanggil bho pada Buddha.

SĪLAVĪMAṀSANA-JĀTAKA

“Tiada apapun yang bisa dibandingkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang brahmana yang menguji reputasinya sendiri dalam hal kebaikan. Brahmana yang disokong oleh Raja Kosala ini, berpegang pada Tiga Perlindungan; ia menjalankan lima latihan moralitas dan sangat menguasai Tiga Weda. “Ia adalah orang yang baik,” pikir raja sambil memberikan penghormatan kepadanya. Namun brahmana tersebut berpikir, “Raja menunjukkan penghormatan yang luar biasa pada saya, melebihi brahmana lainnya, dan telah menunjukkan bahwa ia sangat menghargai saya dengan menjadikan saya sebagai penasihat spiritualnya. Namun apakah kemurahan hatinya berkenaan dengan kebaikan saya atau hanya memandang status, garis keturunan, keluarga, negeri dan prestasi saya? Saya harus mencari kejelasan hal ini tanpa menunda-nunda lagi.” Oleh sebab itu, suatu hari pada saat akan meninggalkan istana, tanpa meminta, ia mengambil satu keping uang dari meja Bendaharawan, dan melanjutkan perjalanannya. Rasa hormat Bendaharawan pada brahmana tersebut membuat ia tetap duduk dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Keesokan harinya, brahmana tersebut mengambil dua keping uang; namun pejabat tersebut tetap tidak mengeluh. Pada hari ketiga, brahmana tersebut mengambil segenggam penuh kepingan uang. “Ini adalah hari ketiga,” seru Bendaharawan tersebut, “engkau merampok harta raja.” Ia pun berteriak tiga kali, — “Saya telah menangkap pencuri yang merampok harta kerajaan.” Orangorang berhamburan dari segala penjuru dan berseru, “Ah, telah lama engkau berlagak sebagai teladan yang baik.” Setelah menghantamkan dua atau tiga pukulan kepadanya, mereka pun membawanya menghadap raja. Dengan penuh kepedihan raja berkata kepadanya, “Apa yang membuat engkau, Brahmana, melakukan perbuatan yang tidak baik ini?” Dan raja memberi perintah dengan berkata, “Bawa dan hukum dia.” “Saya bukan pencuri, Paduka,” kata Brahmana tersebut. “Kalau begitu mengapa engkau mengambil uang dari tempat penyimpanan?” “Karena engkau menunjukkan rasa hormat yang luar biasa pada saya, Paduka, maka saya memutuskan untuk mencari tahu apakah penghormatan itu diberikan karena status saya dan sejenisnya, atau semata hanya karena kebaikan saya. Inilah yang mendorong saya melakukan hal tersebut, dan sekarang saya telah tahu dengan pasti (karena engkau memberi hukuman pada saya) bahwa kebaikan saya, dan bukan karena status maupun keunggulan lain dari saya, yang membuat saya memperoleh rasa hormat darimu. Saya menyadari bahwa kebaikan merupakan hal yang utama dan tertinggi; saya juga menyadari bahwa kebaikan [370] tidak akan pernah terlaksana dalam kehidupan ini, apabila saya masih merupakan seorang perumah tangga, yang hidup di tengah kesenangan yang penuh kemerosotan. Itulah latar belakang mengapa, dalam waktu dekat saya akan pergi menemui Sang Guru di Jetawana, dan meninggalkan keduniawian untuk bergabung menjadi anggota Sanggha. Izinkanlah saya untuk pergi, Paduka.” Raja mengabulkan permintaannya, brahmana tersebut pun segera berangkat ke Jetawana. Teman-teman dan kerabatnya bersatu untuk menggagalkan kepergiannya, namun, menyadari bahwa usaha mereka sia-sia, mereka pun tidak mengganggunya lagi. Ia menemui Sang Guru dan memohon agar diterima menjadi anggota Sanggha. Setelah mendapat pengakuan dari mereka yang tingkatannya lebih rendah dan lebih tinggi, dengan ketekunannya ia memperoleh pencerahan spiritual dan mencapai tingkat kesucian Arahat. Kemudian ia menjumpai Sang Guru dan berkata, “Bhante, dengan bergabung dalam Sanggha, saya telah mencapai phala tertinggi,” — dengan cara demikianlah ia menyampaikan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Mendengar hal tersebut, para bhikkhu berkumpul di Balai Kebenaran, membicarakan kebaikan dari pendeta kerajaan yang menguji prestasinya sendiri dalam hal kebaikan dan setelah meninggalkan raja akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat. Saat Sang Guru masuk ke dalam Balai Kebenaran, Ia bertanya apa yang sedang dibicarakan oleh para bhikkhu, dan mereka pun memberi tahu Beliau. “Merupakan suatu teladan, para Bhikkhu,” kata Beliau, “tindakan brahmana ini menguji reputasinya dalam hal kebaikan, dan setelah meninggalkan keduniawian mencapai nibbana dengan usahanya sendiri. Hal demikian juga dilakukan oleh ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah mengatakan hal tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Suatu ketika pada saat Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah pendeta kerajaan, — seseorang yang hidup dalam kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya, yang pikirannya tertuju pada kebaikan, selalu menjaga lima latihan moralitas dengan sempurna. Raja pun menghormatinya melebihi brahmana lainnya; dan semuanya berlangsung seperti pada kisah sebelumnya.
Namun, saat Bodhisatta dibawa dalam keadaan terikat ke hadapan raja, ia melewati suatu tempat dimana beberapa pawang ular yang sedang mempertunjukkan seekor ular, yang mereka pegang di bagian ekor dan lehernya, kemudian mereka belitkan di leher mereka sendiri. Melihat hal tersebut Bodhisatta memohon mereka untuk berhenti, karena ular tersebut bisa saja menggigit mereka dan menyebabkan mereka menemui ajalnya. “Brahmana,” jawab pawang ular tersebut, “ini adalah seekor kobra yang baik dan jinak; ia tidak jahat seperti dirimu, yang karena kejahatan dan perbuatan yang tidak benar, diseret ke penjara.”
Bodhisatta berpikir, “Bahkan ular kobra, jika mereka tidak menggigit atau melukai, sudah disebut ‘baik’. Betapa banyak yang harus diuji jika hal ini berkenaan dengan manusia! Sesungguhnya hanya kebaikan yang merupakan hal terbaik di antara semua hal di dunia; tiada [371] hal lain yang dapat menandinginya.” Kemudian ia dihadapkan pada raja. “Ada apa ini, Teman?” tanya raja. “Ia adalah seorang pencuri yang telah merampok hartamu.” “Bawalah ia untuk dihukum mati.” “Paduka,” kata brahmana tersebut, “saya bukan pencuri.” “Kalau begitu, mengapa engkau mengambil uang tersebut?” Bodhisatta menjawab dengan saksama seperti pada kisah sebelumnya, diakhiri dengan kata-kata berikut ini : — “Demikianlah saya tiba pada kesimpulan bahwa kebaikan adalah hal yang terbaik dan terunggul di dunia ini. Namun, seperti yang terjadi barusan, seekor kobra, hanya karena tidak menggigit atau melukai, tidak lebih, dengan begitu mudahnya telah disebut ‘baik’, dengan alasan ini juga, hanya kebaikan yang merupakan hal terbaik dan terunggul dari semua hal.” Kemudian untuk memuji kebaikan, ia melantunkan syair berikut ini : —
Tiada apapun yang bisa dibandingkan dengan kebaikan;
seluruh dunia tidak sebanding dengannya.
Ular kobra yang buas, jika manusia menilainya ‘baik’,
ia pun terselamatkan dari kematian.
Setelah membabarkan Dhamma pada raja dengan syair ini, Bodhisatta menaklukkan semua jenis nafsu, meninggalkan keduniawian dan menjalani hidup sebagai petapa, ia pergi ke Pegunungan Himalaya, dimana ia menguasai lima abhiññā dan delapan pencapaian, memberi pengharapan bagi dirinya sendiri untuk terlahir kembali di alam brahma.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para siswa Saya adalah pengikut raja di masa itu, dan Saya sendiri adalah pendeta kerajaan.”
[Catatan : Bandingkan No.290, 330 & 360; dan lihat Études sur le Jātaka karya Feer.]
Catatan kaki :
166 Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan arti kata ini sebagai obat (yang diminum) untuk membangkitkan muntah.