Rabu, 30 Mei 2012

GAGGA-JĀTAKA

[15] “Gagga, hidup seratus tahun,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di arama yang didirikan oleh Raja Pasenadi di depan Jetavana, tentang suatu bersin.
Dikatakan bahwasanya ketika Sang Guru duduk memberikan khotbah dengan empat kelompok orang di sekeliling-Nya, Beliau bersin. “Semoga panjang umur Bhante, Yang Terberkahi; semoga panjang umur Yang Sempurna Menempuh Jalan!” semua bhikkhu berteriak dengan keras dan melakukan yang terbaik.
Keributan ini mengganggu khotbah itu. Kemudian Sang Guru berkata kepada mereka: “Mengapa, Para Bhikkhu, seseorang meneriakkan ‘panjang umur’ ketika mendengar suara bersin, apakah seseorang hidup atau mati untuk itu?” Mereka menjawab, “Tidak, tidak, Bhante.” Beliau melanjutkan, “Kalian tidak seharusnya meneriakkan ‘panjang umur’ untuk suara bersin, Para Bhikkhu. Bhikkhu siapa pun yang melakukannya berarti melakukan pelanggaran dukkaṭa (perbuatan salah).”
Dikatakan bahwa pada saat itu, ketika para bhikkhu bersin, orang-orang biasanya berteriak, “Panjang umur untukmu, Bhante!” Tetapi para bhikkhu merasa khawatir (akan melakukan perbuatan salah) dan tidak memberikan jawaban. Semua orang merasa kesal dan bertanya, “Mengapa para petapa siswa Buddha, sang Pangeran Sakya, tidak memberikan jawaban, ketika mereka bersin dan seseorang atau yang lain mendoakan mereka panjang umur?”
Semua ini diceritakan kepada Yang Terberkahi. Beliau berkata: “Para Bhikkhu, orang-orang awam biasanya bersifat takhayul. Ketika kalian bersin dan mereka berkata, ‘Panjang umur untukmu, Bhante!’ Aku mengizinkan kalian untuk menjawab, ‘Sama untukmu’.” Kemudian para bhikkhu bertanya kepada-Nya — “Bhante, sejak kapan orang mulai menjawab ‘panjang umur’ dengan ‘sama untukmu’?” Kata Sang Guru, “Itu sejak zaman dahulu”, dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang anak brahmana dari Kerajaan Kasi; dan ayahnya adalah seorang pedagang. Ketika anak laki-laki itu berusia sekitar enam belas tahun, ayahnya memberikan sebuah permata kepadanya dan mereka berdua mengadakan perjalanan dari kota ke kota, desa ke desa, sampai mereka tiba di Benares. Di sana laki-laki itu menyantap makanan yang dimasak di rumah penjaga gerbang; dan karena tidak dapat menemukan tempat untuk menginap, dia menanyakan di mana ada penginapan untuk pelancong yang datang terlalu malam. Orang itu memberitahunya bahwa ada sebuah bangunan di luar kota, tetapi angker; dia boleh menginap di sana jika dia suka. Anak laki-laki itu berkata kepada ayahnya, “Jangan takut pada hantu (yaksa), Ayah! Saya akan menundukkannya, dan membawanya ke kakimu.” [16] Demikianlah dia membujuk ayahnya dan mereka pergi ke tempat itu bersama.
Sang ayah berbaring di atas tempat tidur dan anaknya duduk di sampingnya sambil menggosok kakinya.
Kala itu, yaksa17 yang gentayangan di tempat itu telah menerima tugas dari Vessavaṇa 18 selama dua belas tahun, dengan catatan seperti ini: Jika ada seseorang, yang memasuki kediamannya ini, bersin dan jika selamat panjang umur diucapkan terhadapnya, dia harus menjawab, ‘Panjang umur untukmu!’ atau ‘Sama untukmu!’—semua orang, kecuali yang tidak melakukan ini, maka yaksa itu boleh memangsanya. Yaksa itu hidup di tengah kasau (bagian tengah atas) gubuk itu19.
Dia bertekad untuk membuat ayah Bodhisatta bersin. Oleh sebab itu, dengan kekuatan gaibnya, dia membuat suatu gumpalan debu halus masuk ke lubang hidung laki-laki itu; dan saat dia berbaring di atas tempt tidur itu, dia pun bersin. Putra itu tidak mengucapkan ‘panjang umur!’ dan yaksa itu pun turun dari tempat tenggerannya, siap untuk memangsa korbannya. Tetapi Bodhisatta melihatnya turun, kemudian kata-kata ini muncul dalam pikirannya, “Tidak diragukan lagi, dirinyalah yang membuat ayahku bersin. Pasti dia adalah yaksa yang memangsa semua orang yang tidak mengatakan ‘panjang umur untukmu’.” Dan kepada ayahnya, dia mengulangi bait pertama sebagai berikut:—
Gagga, hidup seratus tahun—ya,
dan lebih dua puluh lagi, saya doakan!
Semoga tidak ada yaksa yang memangsamu;
Panjang umur untukmu, saya ucapkan!
Yaksa itu berpikir, “Yang satu ini, saya tidak dapat memakannya, karena dia mengatakan ‘panjang umur untukmu’. Saya akan memangsa ayahnya,” dan dia pun datang mendekati sang ayah. Tetapi laki-laki itu telah meramalkan kebenaran akan hal itu—“Ini pastilah seorang yaksa,” pikirnya, “yang memakan siapa saja yang tidak menjawab ‘sama untukmu!’ dan demikian dia membalas putranya, mengulangi bait kedua:—
Anda juga hidup seratus tahun—ya,
dan lebih dua puluh tahun lagi, saya doakan;
Semoga yaksa yang memangsamu menjadi teracuni;
hidup seratus tahun, saya ucapkan!”
[17] Yaksa itu mendengar perkataan tersebut, berpaling dan berpikir, “Tidak ada dari mereka yang dapat kumakan.” Bodhisatta memberikan sebuah pertanyaan kepadanya: “Datanglah, Yaksa; bagaimanakah Anda bisa memakan orang-orang yang masuk ke tempat ini?”
“Saya memperoleh hak atas jasa yang kuberikan selama dua belas tahun kepada Vessavaṇa.”
“Apa, apakah Anda diijinkan untuk memakan semua orang?”
“Semua orang, kecuali mereka yang mengatakan ‘sama untukmu’ ketika yang lain mengucapkan ‘panjang umur’ kepada mereka.”
“Yaksa,” kata anak laki-laki itu, “Anda telah melakukan beberapa kejahatan di kehidupan lampau, yang menyebabkan dirimu sekarang ini lahir menjadi bengis, kejam dan menjadi pembunuh terhadap yang lain. Jika Anda melakukan sesuatu yang sama sekarang, Anda akan masuk dari kegelapan ke dalam kegelapan (kembali). Oleh karena itu, mulai saat ini jauhkanlah dirimu dari semua hal yang menghabisi nyawa.” Dengan katakata itu, dia menundukkan sang yaksa, menakuti dirinya dengan ketakutan terhadap neraka, mengajarkannya lima sila dan membuatnya menjadi patuh bagaikan seorang pelayan.
Hari berikutnya, ketika orang-orang datang dan melihat yaksa itu, mengetahui bagaimana Bodhisatta menundukkannya, dan mereka pulang kemudian memberitahu raja: “Paduka, seseorang telah menundukkan yaksa itu, dan membuatnya patuh bagaikan seorang pelayan!” Demikian raja memanggilnya dan mengangkatnya menjadi Panglima Tertinggi; dia mengumpulkan kehormatan untuk ayahnya. Setelah membuat yaksa itu menjadi pemungut pajak dan mengukuhkannya dalam latihan moralitas, dan setelah mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan melakukan kebajikan lainnya, dia terlahir kembali di alam surga.


Ketika Sang Guru telah mengakhiri kisah itu, yang diceritakan untuk menjelaskan sejak kapan kebiasaan untuk menjawab ‘panjang umur’ atau ‘sama untukmu’ timbul, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada saat itu, Ānanda adalah raja, Kassapa adalah sang ayah, dan diri-Ku sendiri adalah anak laki-laki, putranya.

Catatan kaki :
16 Cerita pendahuluan diulangi di Cullavagga, V. 33 (III. 153 dari terjemahan Naskah Vinaya oleh Rhys Davids di S. B. E.).
17 Seekor binatang aneh berkulit putih, tiga kaki dan delapan gigi, penjaga permata atau logam mulia dan sejenis Pluto India.
18 Salah satu dari empat raja dewa di Alam Cātummahārājikā, yang menguasai para yaksa, di sebelah utara.
19 Lihat di Eggeling, Çatap.-Brāhm. vol. 2, hal. 3, S. B. E., untuk konstruksi gubuk itu.

URAGA-JĀTAKA

“Bersembunyi di dalam sebuah batu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang sebuah pertengkaran antara prajurit.
Dikatakan bahwasanya dua prajurit yang bertugas dalam naungan Raja Kosala, yang berkedudukan tinggi, dan orang-orang yang hebat di lapangan, segera setelah melihat satu sama lain, mereka akan saling mencaci-maki. Bahkan raja, teman-teman, maupun sanak saudara, tidak ada yang dapat membuat mereka akur.
Pada suatu pagi, ketika Sang Guru meninjau keadaan sekeliling untuk melihat yang mana dari teman-temannya yang siap untuk dibantu mencapai pembebasan, merasa bahwa kedua orang ini telah siap untuk mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.
Hari berikutnya, Beliau sendirian pergi meminta derma di Sāvatthi dan berhenti di depan pintu salah satu dari mereka, yang mana keluar dan mengambil patta Sang Guru; kemudian mengajak-Nya masuk, dan menawarkan-Nya tempat duduk. Sang Guru duduk, dan kemudian menjelaskan manfaat dari melatih cinta kasih. Ketika melihat hati orang ini telah siap, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran. Setelah selesai, orang ini mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.
Melihat ini, Sang Guru mengajaknya untuk membawa patta itu; kemudian bangkit dan menuju ke rumah orang yang satunya. Orang yang satunya pun keluar dan setelah memberi salam, memohon Sang Guru untuk masuk, dan memberi-Nya tempat duduk. Dia pun mengambil patta Sang Guru, dan masuk ke dalam bersama-Nya. Kepadanya, Sang Guru menyanjung sebelas berkah dari cinta kasih; dan ketika merasa bahwa hatinya sudah siap, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran. Dan setelah selesai, orang ini pun mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.
Demikianlah mereka berdua diubah; mereka mengakui kesalahan mereka satu sama lain dan meminta pengampunan; Dengan damai dan rukun, mereka bersatu. Pada hari yang sama itu juga, mereka makan bersama dengan keberadaan Yang Terberkahi.
Setelah selesai makan, Sang Guru kembali ke wihara. Mereka berdua kembali bersama-Nya dengan membawa pemberian yang banyak dalam bentuk bunga-bunga, wewangian yang terbuat dari mentega, madu dan gula. Sang Guru setelah memberi tugas khotbah-Nya [13] di depan para bhikkhu dan mengutarakan sebuah nasihat Buddha, Beliau mengundurkan diri ke dalam gandhakuṭi.
Keesokan harinya, para bhikkhu berbicara tentang hal itu di dalam balai kebenaran. “Āvuso,” salah satu berkata kepada yang lainnya, “Sang Guru menundukkan yang tidak bisa ditundukkan. Mengapa, dua orang hebat ini, yang telah bertengkar satu sama lain selama ini, dan tidak dapat didamaikan oleh raja sendiri, atau teman-teman dan sanak saudara; dan Sang Guru merendahkan hati mereka dalam satu hari!”
Sang Guru masuk, “Apa yang kalian perbincangkan,” tanya Beliau, “di saat kalian duduk bersama di sini?” Mereka menceritakan kepada-Nya. Jawab Beliau, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Aku mendamaikan kedua orang ini; pada masa yang lampau, Aku telah mendamaikan kedua orang yang sama ini.“ Dan Beliau pun menceritakan tentang sebuah kisah masa lalu kepada mereka.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, banyak sekali orang berkumpul bersama di Benares untuk merayakan pesta. Gerombolan dari orang, dewa, nāga (naga) dan burung garuda 15 datang bersama untuk mengunjungi pertemuan itu.
Demikian terjadi pada suatu tempat, seekor naga dan seekor burung garuda sedang menonton acara itu bersama-sama. Sang naga tidak memperhatikan bahwa ada seekor garuda di sampingnya dan meletakkan tangan di atas bahunya. Dan ketika garuda berbalik dan melihat sekeliling untuk melihat tangan siapa yang terletak di atas bahunya, dia melihat sang naga. Naga itu juga menoleh dan melihat dia adalah seekor garuda; dan dengan sangat ketakutan, dia terbang kabur di atas permukaan sungai, garuda itu pun mengejar untuk menangkapnya.
Kala itu, Bodhisatta adalah seorang petapa dan tinggal di sebuah gubuk daun di pinggir sungai. Pada saat itu dia mencoba untuk menghindari panas matahari dengan memakai sepotong pakaian basah dan mengangkat pakaian kulit pohonnya; dan dia mandi di sungai itu. “Saya akan membuat petapa ini,” pikir naga itu, “sebagai alat untuk menyelamatkan nyawaku.” Dengan melepaskan bentuk aslinya dan berubah menjadi bentuk perhiasan permata, dia menempelkan dirinya di atas pakaian kulit pohon itu. Burung garuda itu dengan pengejaran ketat melihat ke mana dia pergi; tetapi dikarenakan sangat hormat, dia tidak mau menyentuh pakaian itu; jadi dia menyapa Bodhisatta:
“Bhante, saya lapar. Lihatlah di pakaian kulit pohonmu:— di dalamnya ada seekor ular, saya ingin memakannya,” Dan untuk membuat hal itu lebih jelas, dia mengucapkan bait pertama:
[14] Bersembunyi di dalam sebuah batu,
ular malang ini, yang mencari perlindungan demi keselamatan.
Namun atas kehormatan terhadap kesucianmu,
Meskipun saya lapar, saya tidak akan mengambilnya.
Berdiri di tempat, di dalam air, Bodhisatta mengucapkan bait kedua sebagai pujian terhadap raja garuda:
Semoga panjang umur, dilindungi oleh Brahma,
semoga Anda tidak pernah kekurangan makanan lezat.
Jangan, dalam kehormatan terhadap kesucianku,
jangan bunuh dia, meskipun dalam keadaan lapar.
Dalam kata-kata ini Bodhisatta mengemukakan persetujuannya, berdiri di sana di dalam air. Kemudian dia keluar, dan memakai pakaian kulit pohonnya, dan membawa kedua makhluk itu bersamanya ke pertapaannya; tempat dia menceritakan berkah dari cinta kasih sampai mereka berdua akhirnya bersatu. Sejak saat itu, mereka tinggal bersama bahagia dalam kedamaian dan kerukunan.


Ketika Sang Guru mengakhiri khotbah itu, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka dengan mengatakan, “Pada masa itu, dua orang hebat itu adalah sang naga dan garuda, dan diri-Ku sendiri adalah petapa.”

Catatan kaki :
15 Seekor burung mitos, yang mana kita lihat bisa berubah menjadi wujud manusia. Morris (J.
P. T. S., 1893, hal. 26) menyimpulkan bahwa supaṇṇa, disini diterjemahkan menjadi garuḷa (burung garuda), adalah “seseorang yang bersayap”.

SŪKARA-JĀTAKA

“Anda berkaki empat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang thera yang sangat tua.
Diceritakan bahwasanya pada suatu upacara malam, dan Sang Guru berkhotbah berdiri di tangga yang berhiasan permata di depan ruangan yang wangi (gandhakuṭi ). Setelah menyampaikan khotbah tentang Yang Sempurna Menempuh Jalan, Beliau pergi tidur di dalam gandhakuṭi, dan Panglima Dhamma, memberi hormat kepada Sang Guru dan kembali ke kamarnya sendiri.
Mahāmoggallāna (Mahamoggallana) juga kembali ke kamarnya, dan setelah beristirahat sebentar dia kembali menanyakan sebuah pertanyaan kepada Thera Sāriputta (Sariputta). Sewaktu dia menanyakan pertanyaan demi pertanyaan, sang Panglima Dhamma menjelaskan semuanya, seperti membuat bulan muncul di langit. Di sana hadir empat kelompok siswa12, yang duduk dan mendengarkan semuanya.
Kemudian sebuah gagasan datang ke pikiran satu thera senior. “Andaikata,” dia berpikir, “saya bisa membuat Sariputta bingung di hadapan orang-orang ini, dengan menanyakan beberapa pertanyaan, maka mereka semua akan berpikir, ‘Betapa pintarnya orang ini!’ dan saya akan memperoleh banyak pujian dan reputasi. “Demikianlah dia bangkit dari kumpulan orangorang itu, melangkah mendekati Sariputta, berdiri di salah satu sisi, dan berkata, “Āvuso 13 Sariputta, Saya juga mempunyai suatu pertanyaan buatmu; sudikah Anda membiarkan saya mengutarakannya? Berilah saya suatu keputusan di antara diskriminasi atau nondiskriminasi, penyangkalan atau penerimaan, perbedaan atau lawan perbedaan 14 .”
Thera itu melihatnya. “Orang tua ini,“ pikirnya, “masih berdiri di lingkungan nafsu; dia sangat kosong, dan tidak tahu apa-apa.” Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadanya karena sangat memalukan; meletakkan kipasnya, dia bangkit dari tempat duduknya, [10] dan kembali ke kamarnya. Dan begitu juga Thera Moggallana. Orang-orang di sekitarnya melompat bangun dan berteriak, “Tangkap laki-laki tua jahat ini, yang tidak mengizinkan kita mendengarkan khotbah!” dan mereka mengepungnya. Dia pun berlari, dan jatuh ke dalam sebuah lubang di sudut kakus yang hanya berada di luar wihara itu; ketika bangun, badannya diselimuti kotoran.
Ketika orang-orang melihatnya, mereka merasa bersalah telah melakukannya, dan melapor ke Sang Guru. Beliau bertanya, “Mengapa kalian datang bukan pada waktunya, Para Upasaka?” Mereka memberitahukan apa yang telah terjadi kepada-Nya. “Para Upasaka,” kata Beliau, “Ini bukan pertama kalinya orang tua ini diberhentikan, dan tidak mengetahui kekuatannya sendiri, mengadu kekuatannya dengan yang kuat, hanya untuk ditutupi dengan kotoran. Pada dahulu kala dia mengetahui bagaimana kekuatannya, dan mengadu kekuatannya dengan yang kuat, dan kemudian ditutupi dengan kotoran seperti sekarang ini. “Kemudian atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.

Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta adalah seekor singa yang tinggal di sebuah gua di pegunungan Himalaya. Dekat di sana, terdapat banyak babi hutan yang tinggal di tepi danau; dan di samping danau yang sama itu, hidup sekumpulan petapa di gubuk yang terbuat dari daun-daun dan dahan-dahan pohon.
Suatu hari singa itu menaklukkan seekor kerbau atau gajah atau sejenis hewan buruannya; dan setelah memakan apa yang dia inginkan, dia turun ke danau ini untuk minum. Saat dia keluar, seekor babi hutan yang kuat kebetulan sedang makan di tepi danau. “Dia akan menjadi makananku nanti suatu hari,” pikir singa itu. Tetapi karena takut kalau babi hutan itu melihatnya, dia mungkin tidak akan pernah datang ke sana lagi, singa itu, ketika keluar dari air, menyelinap ke samping. Babi hutan ini melihat hal ini, dan timbul gagasan dalam pikirannya, “Ini dikarenakan dia melihat saya, dan ketakutan! Dia tidak berani datang mendekatiku, dan dia lari ketakutan! Hari ini akan terjadi pertarungan antara saya dengan seekor singa!” Jadi dia meninggikan kepalanya, dan membuat tantangan terhadap singa itu di bait pertama:
Anda berkaki empat – begitu juga saya:
Dengan demikian, Teman, kita berdua sama,
tahukah Anda; Berbaliklah, Singa, berbalik, takutkah Anda?
Mengapa Anda lari dari saya?
[11] Singa itu mendengarnya. “Babi Hutan,“ dia berkata, “untuk hari ini tidak akan ada pertarungan antara Anda dengan saya. Tetapi minggu depan, marilah kita bertarung di tempat ini juga.“ Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, dia pergi.
Babi hutan itu sangat gembira dengan berpikir bagaimana dia akan bertarung dengan seekor singa; dan dia menceritakan kepada semua teman-teman dan keluarganya tentang hal ini. Tetapi kisah ini hanya menakutkan mereka. “Anda akan menjadi kutukan untuk kami semua,” mereka berkata, “dan Anda sendiri sampai kaki. Anda tidak mengetahui apa yang dapat Anda lakukan, kalau tidak Anda tidak akan berhasrat untuk bertarung dengan seekor singa. Ketika singa datang, dia akan membawa kematian untuk Anda dan kita semua; janganlah bengis!” Kata-kata itu membuat babi hutan takut sendiri. “Apakah yang harus saya lakukan kalau begitu?” dia bertanya. Kemudian babi hutan lainnya menasihatinya untuk berguling-berguling di dalam kotoran-kotoran para petapa selama tujuh hari dan membiarkan kotoran itu kering di tubuhnya; kemudian pada hari ketujuh dia harus melembabkan dirinya dengan tetesan embun, dan pertama berada di tempat bertarung; harus menemukan bagaimana angin akan bertiup, dan mendapatkan arah dari mana angin bertiup; dan singa, sebagai mahkluk yang bersih, akan membiarkannya hidup sewaktu menciumnya.
Demikianlah yang dilakukannya; dan pada hari yang telah ditetapkan, dia berada di sana. Begitu singa mencium baunya, dan mencium bau kotoran, dia berkata, “Babi Hutan, muslihat yang licik! Jika Anda tidak diliputi oleh kotoran, saya akan menghabisi nyawamu hari ini juga. Tetapi karenanya, saya tidak dapat menggigitmu, juga tidak mau menyentuhmu dengan kakiku. Oleh sebab itu, saya membiarkan Anda hidup.” Dan kemudian dia mengucapkan bait kedua:
Oh Babi Hutan yang kotor, kulitmu busuk,
bau busuk itu sangat mengerikan buatku;
Jika Anda ingin bertarung, saya mengalah,
dan Andalah yang menjadi pemenangnya.
Kemudian singa itu pergi dan mencari makanannya; dan dengan segera, setelah minum di danau itu, dia kembali lagi ke guanya di pegunungan itu. Dan babi hutan itu berkata kepada keluarganya bagaimana dia mengalahkan singa itu! [12] Tetapi mereka sangat cemas terhadap ketakutan kalau singa itu akan kembali datang pada suatu hari lagi dan menjadi maut bagi mereka semua. Jadi mereka pun melarikan diri dan pergi ke tempat yang lain.


Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, babi hutan adalah thera tua, dan diri-Ku sendiri adalah singa.”

Catatan kaki :
11 Fausbøll, Ten Jātakas, hal. 12, 63, 94 (ia membandingkan No. 278 and 484); R. Morris dalam Contemp. Rev. 1881, vol. 39, hal. 737.
12 Bhikkhu, Bhikkhuni, Upāsaka dan Upāsika.
13 Panggilan akrab sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior, biasa diartikan sebagai sahabat atau saudara; bisa juga digunakan sebagai panggilan akrab bhikkhu terhadap umat awam.
14 Kata-kata ini adalah omong kosong belaka.

SIGĀLA-JĀTAKA

“Siapa yang dengan terburu-buru mengerjakan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Kūṭāgārasālā 8, tentang seorang tukang pangkas yang tinggal di Vesali.
Diceritakan bahwasanya laki-laki ini biasa mencukur, menata rambut dan mengepang rambut kaum bangsawan, raja dan ratu, pangeran dan putri, memang dia melakukan semua pekerjaan yang seharusnya dia lakukan. Dia adalah seorang umat yang berkeyakinan, yang berlindung di bawah Tiga Permata9, yang bertekad untuk menaati lima sila; dan dari waktu ke waktu dia selalu mendengarkan khotbah Dhamma dari Sang Guru.
Suatu hari dia berangkat untuk melaksanakan tugas di istana dengan membawa putranya bersamanya. Anak muda itu, ketika melihat seorang gadis Licchavi yang berpakaian cantik dan anggun seperti seorang bidadari, dia pun jatuh cinta kepadanya. Dia berkata kepada ayahnya, ketika mereka meninggalkan istana bersama, “Ada seorang gadis—jika saya mendapatkannya, saya akan hidup; jika tidak, hanyalah kematian yang ada bagiku.” Dia tidak mau mencicipi sepotong makanan pun, hanya telentang sambil memeluk gulingnya. Ayahnya melihatnya dan berkata, “Mengapa, Putraku, janganlah menginginkan buah terlarang. Anda bukanlah siapa-siapa—anak seorang pemangkas rambut; gadis Licchavi ini adalah seorang berketurunan bangsawan. Anda tidak sebanding dengannya. Saya akan mengenalkan orang lain kepadamu; seorang anak perempuan dari tempatmu dan golonganmu sendiri.“ Tetapi anak laki-laki itu tidak mau mendengarkannya. Kemudian datang ibu, abang, dan kakak, bibi dan paman, semua sanak saudaranya, dan semua teman-teman dan rekan-rekannya, mencoba untuk menenangkannya; tetapi mereka tidak dapat menenangkannya. Jadi dia merana dan makin merana, dan berbaring di sana sampai dia meninggal.
Kemudian ayahnya mengadakan upacara pemakamannya dan melakukan apa yang biasa dilakukan untuk arwah orang yang meninggal. [6] Setelah beberapa waktu, ketika kesedihannya telah mulai memudar, dia berpikir dia akan melayani Sang Guru. Dengan membawa dalam jumlah yang banyak bunga-bunga, wangi-wangian, dan minyak wangi, dia berkunjung ke Mahāvana dan memberi pujaan kepada Sang Guru, memberi hormat kepada-Nya, dan duduk di samping. “Mengapa Anda menyembunyikan diri selama ini, Upasaka?” Sang Guru bertanya. Kemudian laki-laki itu menceritakan apa yang telah terjadi. Jawab Sang Guru, “Ah, Upasaka, ini bukan pertama kalinya dia menderita karena menanamkan hatinya kepada apa yang tidak seharusnya dia miliki; ini jugalah merupakan apa yang telah dilakukannya dahulu.“ Kemudian atas permintaan upasaka tersebut, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa muda di daerah pegunungan Himalaya. Pada keluarga yang sama, ada beberapa adik laki-laki, dan satu saudara perempuan, dan semuanya tinggal di Gua Emas.
Di dekat gua ini terdapat Gua Kristal di atas Gunung Perak tempat seekor serigala tinggal. Setelah beberapa waktu, singa-singa tersebut kehilangan orang tua mereka akibat serangan kematian. Setelah itu, mereka selalu meninggalkan singa betina, saudara perempuan mereka, di dalam gua, ketika mereka mengembara untuk mencari makan; yang kemudian jika mereka mendapatkannya, mereka akan membawa makanan tersebut pulang untuk dimakannya.
Ketika serigala itu melihat sekilas singa betina ini, dia jatuh cinta kepadanya; tetapi bila singa tua dan singa betina ada, dia tidak mendapatkan jalan masuk. Ketika ketujuh kakaknya pergi mencari makanan, dia pun keluar dari Gua Kristalnya, dan bergegas ke Gua Emas itu; tempat dia berdiri di samping singa betina muda itu dan menyapanya dengan licik, dengan kata-kata menggoda dan membujuk seperti berikut:
“Oh, Singa Betina, saya adalah seekor makhluk yang berkaki empat, dan begitu juga dirimu. Oleh sebab itu jadilah Anda sebagai pasanganku, dan saya akan menjadi suamimu! Kita akan tinggal bersama dalam persahabatan dan hubungan yang baik, dan Anda akan selalu mencintaiku!”
Setelah mendengar ini, singa betina berpikir dalam hati, “Serigala ini adalah jenis binatang buas, keji dan seperti seorang laki-laki dengan kasta rendah: tetapi sebaliknya saya adalah yang dihormati sebagai kaum bangsawan. Dengan begitu, terhadap diriku dia berkata demikian adalah sangat tidak layak dan buruk. Bagaimana saya dapat hidup setelah mendengarkan apa yang dikatakannya? Saya akan menahan nafas sampai saya mati.”—Kemudian, dia berpikir sejenak, “Jangan,” dia berkata, “untuk mati seperti itu tidak akan rupawan. Saudara laki-laki saya akan segera pulang; Saya akan [7] memberitahu mereka dulu, dan kemudian baru saya mengakhiri hidup saya sendiri.”
Serigala itu, mendapatkan tidak ada jawaban, merasa yakin dia tidak peduli apa pun terhadapnya; jadi dia pulang kembali ke Gua Kristalnya, dan berbaring dengan sedih.
Adapun salah satu dari singa-singa muda tersebut, setelah membunuh seekor kerbau, atau seekor gajah, atau apa saja, dia memakan sebagian darinya, dan membawa pulang untuk berbagi dengan adik perempuannya, yang dia berikan padanya, sambil mengajaknya makan. “Tidak, Kakak,” katanya, “tidak sepotong pun akan saya makan; karena saya akan mati!” “Mengapa bisa begini?” tanyanya. Dan singa betina menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. “Di mana serigala ini berada sekarang?” tanyanya. Dia melihatnya berbaring di dalam Gua Kristal, dan mengira dia berada di atas langit10, dia berkata, “Mengapa, Kakak, tidak dapatkah Anda melihatnya di Gunung Perak, berbaring di atas langit?“ Singa muda, tidak menyadari bahwa serigala itu berbaring di dalam Gua Kristal, dan menganggap bahwa dia benar-benar di langit,  melakukan sebuah terjangan, seperti yang biasa dilakukan singa-singa, untuk membunuhnya, dan menubruk kristal itu: yang menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping, dan jatuh ke kaki gunung itu, dia pun binasa saat itu juga.
Kemudian datang yang lain, kepadanya singa betina itu menceritakan cerita yang sama. Singa ini bahkan melakukan apa yang dilakukan singa pertama, dan jatuh mati di kaki gunung.
Ketika enam dari singa-singa itu binasa dengan keadaan yang sama, dan yang terakhir datang adalah si Bodhisatta. Ketika dia menceritakan kisahnya, dia kemudian menanyakan di mana serigala itu berada. “Dia berada di sana,” jawabnya, “di atas langit, di atas Gunung Perak!” Bodhisatta berpikir—“Serigala berbaring di langit? Omong kosong. Saya tahu apa itu: dia sedang berbaring di dalam Gua Kristal.” Jadi dia datang ke kaki gunung, dan di sana dia melihat keenam abangnya terbaring mati. “Saya tahu mengapa begini,” pikirnya; “mereka semuanya bodoh, dan kekurangan kebijaksanaan yang sempurna; tidak mengetahui bahwa itu adalah Gua Kristal, mereka menggunakan hati mereka melawannya, dan terbunuh. Ini adalah hasil dari melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa berpikir;“ dan dia mengulangi bait pertama:—
Siapa yang dengan terburu-buru mengerjakan suatu usaha,
tidak memperhitungkan hal-hal apa yang bakal terjadi,
seperti seorang yang membakar mulutnya pada saat makan,
demikian dia jatuh sebagai korban terhadap
rencana-rencana yang disusunnya.
[8] Setelah mengucapkan baris-baris ini, singa itu melanjutkan: “Saudara-saudara saya ingin membunuh serigala ini, tetapi tidak tahu menyusun rencana mereka dengan pintar; jadi mereka melompat terlalu cepat, dan datanglah ajal mereka. Ini tidak akan saya lakukan; tetapi saya akan membuat serigala ini menghancurkan hatinya sendiri ketika dia berbaring di sana di dalam Gua Kristal. “Jadi dia mencari keluar jalan yang biasanya dilalui serigala untuk naik dan turun, dan berbalik ke jalan itu, dia meraung tiga kali raungan singa-singa, bumi dan langit menghasilkan satu raungan yang sangat hebat! Serigala yang sedang berbaring di dalam Gua Kristal itu pun ketakutan dan terperanjat, hatinya meledak, dan binasa di tempat seketika.
____________________
Sang Guru melanjutkan, “Demikianlah serigala binasa mendengar raungan singa itu.” Dan dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengulangi bait kedua berikut:—
Di Daddara, singa memberi suatu raungan,
dan membuat Gunung Daddara bergema kembali.
Susah untuk seekor serigala hidup;
dia sangatlah takut mendengar suara itu,
hatinya meledak menjadi dua.

[9] Demikianlah singa membuat serigala itu menemui ajalnya. Kemudian dia menguburkan saudara-saudaranya bersama-sama dalam satu kuburan, dan berkata kepada saudara perempuannya mereka semua telah mati, dan menghiburnya, dan dia tinggal selama hidupnya di Gua Emas, sampai dia meninggal ke tempat yang diperoleh dari kebaikan-kebaikannya.

Ketika Sang Guru telah menyampaikan uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenaran-kebenarannya, upasaka itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.—“Pada masa itu, anak tukang pangkas adalah serigala; anak perempuan Licchavi adalah singa betina yang muda; enam singa-singa muda yang lainnya adalah sekarang bhikkhu-bhikkhu senior; dan diri-Ku sendiri adalah singa yang paling tua.”

Catatan kaki :
8 Sebuah balai (ruangan) di Mahāvana. Lihat keterangan selengkapnya di Dictionary of Pali Proper Name (DPPN) by Malalasekera, hal. 659. Arti harfiah dari kūṭāgāra adalah bangunan beratap runcing, bangunan bermenara, bangunan bertingkat.
9 Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.
10 Karena tembus pandang.

RĀJOVĀDA-JĀTAKA

[1] “Yang kasar dengan kasar,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang bagaimana seorang raja dinasihati.
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Tesakuṇa-Jātaka2.
Diceritakan bahwasanya pada suatu hari Raja Kosala telah menjatuhkan hukuman untuk sebuah kasus yang rumit menyangkut perbuatan salah 3 . Sehabis bersantap, dengan tangannya yang belum kering, dia bergegas naik kereta kerajaannya untuk mengunjungi Sang Guru, memberi hormat kepada-Nya, kaki-Nya indah bagaikan bunga teratai yang mekar, dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Guru menyapanya dengan kata-kata berikut: “Mengapa, Paduka, apa yang membawa Anda ke sini pada jam seperti ini?” “Bhante”, raja berkata, “saya telat karena saya (tadi) menyidangkan sebuah kasus yang rumit, menyangkut perbuatan salah; sekarang saya telah menyelesaikannya dan telah bersantap, dan di sinilah sekarang saya berada, dengan tangan yang belum kering, untuk melayani-Mu.” “Paduka,” jawab Sang Guru, “menghakimi sebuah kasus dengan adil dan tanpa berpihak adalah hal yang benar; itu adalah jalan menuju ke surga. Saat ini, ketika Anda terlebih dahulu telah mendapatkan nasihat dari seorang yang sangat bijaksana seperti diri-Ku, itu tidaklah luar biasa jika Anda mampu menghakimi kasus dengan adil dan tanpa berpihak; tetapi adalah suatu hal yang luar biasa jika raja yang hanya mendapatkan nasihat dari orang pintar yang tidak bijaksana, mampu memutuskan dengan adil dan tanpa berpihak, menghindari empat perbuatan salah dan menjalankan sepuluh kualitas seorang raja 4 . Setelah dengan adil demikian menjalankan pemerintahan, dia menjadi penghuni alam surga di kelahiran berikutnya.” Kemudian, atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

[2] Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dikandung oleh permaisurinya. Setelah upacara-upacara yang sesuai dengan keadaannya telah dilakukan dengan benar5, dia kemudian melahirkan dengan selamat. Pada hari pemberian nama, nama yang diberikan oleh mereka kepadanya adalah Pangeran Brahmadatta.
Seiring berjalannya waktu, pangeran pun beranjak dewasa, dan pada usianya yang keenambelas, dia pergi ke Takkasilā (Takkasila)6 untuk memperoleh pendidikannya; tempat dia menguasai semua ilmu pengetahuan. Sepeninggal ayahnya, dia menjadi raja sebagai penggantinya dan memerintah dengan adil dan tanpa berpihak, memberikan keadilan tanpa dikaitkan dengan kemauan dan kehendaknya sendiri. Dan karena dia memerintah dengan adil, menteri-menterinya juga bertindak adil dalam tugas mereka. Dengan demikian, ketika semuanya dilakukan dengan adil, maka tidak ada satu pun yang membawa perkara salah ke pengadilan. Tidak lama kemudian, tidak ada kasus penuntutan di daerah sekitar kerajaan; seharian penuh, menteri-menteri itu duduk di bangku dan pergi tanpa melihat seorang penuntut pun. Pengadilan-pengadilan pun menjadi kosong.
Kemudian Bodhisatta berpikir dalam dirinya sendiri, “Disebabkan oleh pemerintahan saya yang adil, tidak seorang penuntut pun datang untuk mengajukan perkara di pengadilan; kebisingan-kebisingan sekarang menjadi kesunyian; pengadilan hukum menjadi kosong. Sekarang saya harus mencari (tahu) apakah saya mempunyai kesalahan dalam diri saya sendiri; jika saya menemukannya, saya akan menghindarinya dan menjalani kehidupan yang baik di kehidupan berikutnya.” Sejak saat itu, dia mencoba berulang-ulang kali untuk menemukan seseorang yang akan memberitahukannya sebuah kesalahan, tetapi dari semua yang bertemu dengannya dalam pengadilan, dia tidak dapat menemukan satu orang pun; Tidak ada yang didengarkannya, selain kebaikan tentang dirinya sendiri. “Mungkin,” dia berpikir, “mereka semua sangat takut padaku sehingga mereka tidak mengatakan yang buruk tentang diriku, hanya yang baik,” dan kemudian dia pergi untuk mencoba orang-orang yang berada di luar istananya, tetapi dengan cara ini, hasilnya tetap sama.
Kemudian dia menanyakannya kepada seluruh penduduknya secara umum, dan di luar kota, dia bertanya kepada orang orang yang tinggal di pinggiran kota, di keempat pintu gerbang. Masih saja tidak ada seorang pun yang menemukan kesalahannya; tidak ada apa pun, kecuali pujian yang dapat dia dengarkan. Pada akhirnya, dengan tujuan untuk mencoba di daerah perkampungan (perdesaan), dia mempercayakan semua pemerintahan kepada menteri-menterinya, dan setelah menaiki keretanya, hanya membawa seorang kusir bersamanya, dia meninggalkan kota dengan menyamar. Semua desa dilintasinya, bahkan sampai ke bagian perbatasan; [3] tetapi tidak ditemukan seorang pun yang memberitahukan kesalahannya, semua yang didapatkannya hanyalah pujian tentang dirinya. Maka dari itu, dia berbalik dari perjalanannya dan pulang dengan melewati jalan raya.
Pada saat yang bersamaan, Mallika, Raja Kosala, melakukan hal yang sama. Dia juga adalah seorang raja yang adil, dan dia telah mencari kesalahan-kesalahannya, tetapi di antara semua orang yang ditanyanya, tidak ada satu pun yang memberitahukan kesalahannya; dan tidak ada apa pun yang terdengar, kecuali pujian. Dia telah bertanya ke seluruh perdesaan, kemudian kembali ke tempat yang sama.
Kedua orang ini bertemu, di jalan tempat kereta (Raja Benares) terperosok di antara kedua sisinya, dan tidak ada ruang bagi satu kereta untuk mendahuluinya.
“Bawalah kereta Anda keluar dari jalan!” kata kusir dari Raja Mallika kepada kusir dari Raja Benares.
“Tidak, tidak, Kusir,” katanya, keluarlah dari jalan dengan keretamu! Ketahuilah bahwa yang duduk di dalam kereta ini adalah Raja Bramadatta yang sangat agung, raja dari Kerajaan Benares!”
“Tidak begitu, Kusir!” balas kusir yang satunya lagi, “yang duduk di dalam kereta ini adalah Raja Mallika yang agung, raja dari Kerajaan Kosala! Itu adalah tugas Anda untuk keluar dari jalan dan memberi jalan kepada kereta raja kami!”
“Mengapa demikian, di sini juga adalah seorang raja,” pikir kusir Raja Benares. “Apa yang harus dilakukan?” Kemudian dia mendapatkan sebuah ide, dia akan bertanya tentang umur dari kedua raja, sehingga yang lebih muda seharusnya memberi jalan kepada yang lebih tua. Dan dia bertanya kepada kusir yang lain, berapakah umur rajanya, tetapi dia mendengar bahwa mereka berdua memiliki umur yang sama. Maka dari itu, dia menanyakan sejauh mana kekuasaan, kekayaan dan kemuliaan rajanya, serta semua hal mengenai kasta, suku, dan keluarganya. Dia kemudian mengetahui bahwa mereka berdua sama-sama memiliki sebuah kerajaan dengan luas tiga ratus yojana dan bahwasanya mereka sama dalam kekuasaan, kekayaan dan kemuliaan, serta kasta, suku, dan keluarga mereka. Kemudian dia berpikir bahwa tempat itu seharusnya diberikan kepada orang yang lebih baik; Maka dia meminta kepada kusir yang lain untuk menjelaskan kebajikan dari tuannya. Kusir Raja Kosala membalas dengan bait pertama dari syair berikut, dengan memaparkan kesalahan-kesalahan rajanya seolah-olah sebagai kebajikan-kebajikannya.—
Yang kasar dengan kasar, Raja Mallika mengatasi yang halus dengan halus,
mengatasi yang baik dengan kebaikan, dan yang buruk dengan keburukan.
Berikanlah jalan, berikanlah jalan, wahai Kusir!
Demikianlah jalan raja ini!
[4] “Oh,” kata kusir Raja Benares, “inikah semua yang dapat Anda katakan tentang kebajikan raja Anda?” “Iya,” kata yang lainnya.—“Jika semua ini adalah kebajikannya, bagaimana dengan keburukannya?” “Keburukannya akan dijelaskan nanti,” katanya, “jika Anda memintanya; tetapi (sekarang) biarlah kami dengar seperti apakah kebajikan raja Anda!” “Kalau begitu, dengarkanlah,” dia menghubungkannya dengan yang pertama, dan mengulangi bait kedua berikut:—
Dia menaklukkan amarah dengan cinta kasih,
mengalahkan kejahatan dengan kebajikan,
mengalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan mengalahkan kebohongan dengan kejujuran7.
Berikanlah jalan, berikanlah jalan, wahai Kusir!
Demikianlah jalan raja ini!


Setelah mendengar kata-kata ini, Raja Mallika dan kusirnya turun dari kereta mereka, melepaskan kuda-kudanya, dan bergerak dari tempatnya, untuk memberi jalan kepada Raja Benares. Kemudian Raja Benares memberikan nasihat yang baik kepada Raja Mallika, dengan berkata, “Demikianlah [5] yang harus Anda lakukan.” Setelah itu, dia kembali ke Benares. Kemudian dia memberikan derma (dana), melakukan kebajikan sepanjang hidupnya, yang akhirnya membuat dia terlahir kembali di alam surga. Raja Mallika selalu mengingat nasihatnya di dalam hati, dan setelah menjelajahi panjang dan lebar dari tanah kerajaannya, dia tidak menemukan siapa pun yang memberitahukan kesalahannya, kemudian kembali ke kerajaannya sendiri, tempat dia memberikan derma dan melakukan kebajikan sepanjang hidupnya sampai akhirnya dia terlahir kembali di alam surga.

Ketika Sang Guru telah menyampaikan uraian ini, yang dimulai-Nya untuk memberikan nasihat kepada Raja Kosala, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Moggallāna adalah kusir Raja Mallika, Ānanda adalah rajanya, Sāriputta adalah kusir Raja Benares, dan diri-Ku sendiri adalah rajanya.”

Catatan Kaki :
1 Fausbøll, Ten J., hal. 1 and 57; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, hal. XXII. Debat yang sama antara dua pemusik terjadi di Kalevala (terjemahan Crawford, I. hal. 30). Pemusik yang lebih muda dengan galaknya bergerak ke arah pemusik yang lebih tua, yang berkata–“Anda seharusnya memberi jalan kepadaku, karena saya lebih tua.” “Apakah hubungannya?” kata yang lebih muda; “Biarkan yang kurang bijak memberi jalan.” Di sana mereka berdiri dan masing-masing menceritakan kisah-kisahnya sebagai cara untuk memutuskan masalah tersebut.
2 No. 521.
3 Teks di bahasa Pali tertulis agatigataṁ.
4 dāna (kedermawanan), sīla (moralitas), pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran), maddava (kelembutan), tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).
5 “perlindungan terhadap embrio”, pastinya adalah upacara-upacara gaib.
6 Kota Universitas yang terkenal di India; berada di Punjab (Τάξιλα).
7 Dhammapada, syair 223.

Sabtu, 26 Mei 2012

Borobudur

Candi Borobudur
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).


Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya

Jumat, 25 Mei 2012

KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA

Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.
Sebagai contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah ‘telunjuk’ untuk salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ‘telunjuk’ pasti dengan mudah dapat diketemukan karena memang kata tersebut berasal dari Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘tuhan’ dalam berbagai upacara ritual, maka secara sembarangan, masyarakat telah ‘menuduh’ bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Padahal, dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci berbahasa Pali, konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi, seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan’ dalam Tipitaka, melainkan istilah ‘nibbana’. Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan berbagai konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan akhir mereka masing-masing. Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran Sang Buddha mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu pertama, mendapatkan kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah meninggal dunia. Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia ataupun setelah ia meninggal nanti.
Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diwujudkan di dunia ini setelah seseorang mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma. Apabila setelah mengenal Dhamma, seseorang semakin susah hidupnya, maka berarti Dhamma yang lebih dikenal sebagai Agama Buddha itu belum memberikan manfaat baginya. Kebahagiaan tahap pertama ini diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak, untuk empat kebutuhan pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal serta sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup’ yang dimaksudkan di sini tentu saja sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja kekurangan bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup’ ini diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki oleh para bhikkhu. Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih daripada yang dimiliki bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut sebagai cukup. Kalaupun umat tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin saja hal ini berhubungan dengan kebutuhan yang berbeda atau bahkan ketamakan yang dimiliki.
Para bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Keperluan jubah seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan demikian, jika seorang bhikkhu mampu hidup menggunakan satu set jubah selama bertahun-tahun, maka seorang umat yang memiliki lebih dari satu set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari dalam seminggu, maka ia bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah memiliki banyak sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini lebih disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.
Demikian pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu ditopang dengan makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada umumnya, seorang bhikkhu hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Oleh karena itu, jika seorang umat sudah mampu menyediakan diri dan keluarganya makanan lebih dari dua kali sehari, sesungguhnya ia sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia masih merasa belum cukup ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka perasaan ini timbul sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.
Kebutuhan tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan tinggal di dalam goa ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila seorang umat telah mampu memiliki satu unit rumah walaupun sederhana, sebenarnya ia telah dapat disebut cukup. Berlebihan dalam penyediaan rumah bisa dikatakan sebagai tanda ketamakan.
Akhirnya, kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan duniawi yang keempat setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, seorang bhikkhu sesuai dengan peraturan kebhikkhuan diperkenankan mempergunakan urine sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine’. Jadi, apabila seorang umat telah mampu membeli obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat disebut cukup. Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan sehingga cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu ketamakan.
Terkait dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup bahagia di dunia dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan, maka banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang Buddha tentang mencari nafkah, mempertahankan dan meningkatkan kekayaan maupun upaya membina hidup rumah tangga bahagia dan harmonis. Dengan melaksanakan uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para umat Buddha diharapkan mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk bekerja dan berumah tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan materi, bahkan berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin tetap bahagia.
Selanjutnya, tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup bahagia hidup di dunia adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah meninggal dunia ia terlahir di alam surga. Tujuan terlahir di alam surga ini menjadi tujuan kedua agar memberikan kesempatan para umat Buddha membuktikan terlebih dahulu manfaat Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan ini. Apabila memang benar ia telah memetik manfaat Buddha Dhamma dengan mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh keyakinan yang kuat dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih bersemangat melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini menjadi sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih sulit dilakukan semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam surga sering menjadi pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang diperoleh dari berbagai kitab suci yang ada dalam masyarakat. Disini Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti, bukan hanya sekedar janji.
Tidak adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas kelahiran di surga ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang pria terhadap gadis pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya telah terkenal di mana-mana. Setiap hari, banyak pemuda datang mengharapkannya sebagai istri. Mereka datang dengan membawa berbagai buah tangan sebagai penarik hati si gadis itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria yang melamar, gadis tersebut memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria yang diterima lamarannya ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis menjawab, “Nanti setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada gunanya. Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam ini dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang mendapatkan janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga setelah ia meninggal dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih dahulu, Buddha Dhamma memberikan kesempatan kepada mereka yang mau mempelajari dan melaksanakan Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi sebelum mereka membicarakan kebahagiaan surgawi.
Adapun kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan kebahagiaan duniawi dapat diperoleh para umat Buddha dengan mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi kepada mereka yang membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan kebajikan dengan membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu. Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi sangat penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup atau tamak terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh ketamakan tidak akan pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada mereka yang membutuhkannya. Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk berbagi dan terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dengan sering berbagi, maka umat pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan inilah yang akan menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di alam surga setelah kematiannya.
Akhirnya, karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian kebahagiaan duniawi dengan melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan kebahagiaan karena mampu berbagi, maka tahap ketiga sebagai tujuan hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun kehidupan yang selanjutnya.
Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.
Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali).
Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah disebutkan di atas adalah merupakan salah satu unsur dari Ajaran Pokok Sang Buddha yang dikenal dengan Empat Kesunyataan Mulia. Seperti nama yang dipergunakan, Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari empat kondisi yang pasti dialami oleh semua mahluk hidup. Kesunyataan pertama menyebutkan kenyataan bahwa hidup berisikan ketidakpuasaan. Ketidakpuasan ini disebabkan karena keinginan untuk selalu bertemu dan berkumpul dengan mereka yang dicintai dan keinginan untuk tidak berjumpa dengan mereka yang tidak disukai. Kesunyataan kedua menganalisa bahwa ketidakpuasan tersebut disebabkan oleh keinginan. Semakin kuat keinginan, semakin kuat pula ketidakpuasan yang dialami. Sebaliknya, semakin lemah keinginan, semakin lemah pula ketidakpuasan yang timbul dalam batin seseorang. Kesunyataan ketiga memberikan penalaran bahwa terkendalinya keinginan akan menyebabkan hilangnya ketidakpuasan sehingga seseorang mencapai Nibbana. Dan, kesunyataan keempat memberikan cara atau satu jalan yang memiliki delapan unsur untuk mengendalikan keinginan serta melenyapkan ketidakpuasan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka masing-masing kesunyataan mulia ini akan sepintas dibahas secara umum.
Kesunyataan Mulia yang pertama menyebutkan bahwa hidup berisikan ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini muncul karena dalam kehidupan selalu terkondisi untuk berpisah dengan segala hal yang dicinta dan bertemu dengan segala hal yang tidak disuka. Maksud dari segala hal yang dicinta dan tidak disuka ini dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, pengertian tersebut dapat meliputi orang, benda, suasana dsb. Misalnya, seseorang pada mulanya bisa saja duduk bersila di lantai dengan nyaman, namun pada saat berikutnya ia mungkin merasakan kesemutan yang menyakitkan. Perasaan ini timbul karena ia telah berpisah dengan kondisi yang dicinta yaitu nyaman duduk bersila di lantai dan bertemu dengan kondisi yang tidak dicinta yaitu rasa sakit akibat kesemutan. Demikian pula dengan rasa tidak nyaman akibat lapar. Kondisi ini timbul akibat berpisah dengan yang dicinta yaitu rasa tidak lapar dan bertemu dengan kondisi yang tidak disuka yaitu rasa lapar. Jadi, kondisi bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka ini selalu muncul berbarengan bagaikan dua sisi tangan yang terlihat berbeda apabila dipandang dari dua arah. Namun, kedua perbedaan sudut pandang ini tetap saja melihat satu bagian yang sama yaitu telapak tangan.
Sang Buddha mengerti dengan jelas bahwa sumber ketidakpuasan yang dialami ini adalah dari keinginan yang tidak tercapai untuk selalu bertemu dengan yang dicinta dan tidak bertemu dengan yang tidak disuka. Oleh karena itu, Kesunyataan Mulia yang kedua menyebutkan bahwa keinginan adalah sumber ketidakpuasan. Semakin kuat keinginan seeorang untuk mempertahankan kondisi yang dicintai, maka semakin besar pula rasa ketidakpuasan yang ia alami. Demikian pula, semakin kuat penolakan terhadap pertemuan dengan kondisi yang tidak menyenangkan akan memperberat rasa ketidakpuasan yang timbul dalam batinnya. Dalam contoh di atas, semakin seseorang gelisah atas rasa kesemutan yang ia alami, maka semakin memuncak rasa ketidakpuasannya terhadap kondisi tubuhnya yang terbatas tersebut. Semakin seseorang menolak rasa lapar yang memang sudah timbul, semakin parah pula rasa lapar menyerangnya.
Oleh karena itu, pembabaran Sang Buddha selanjutnya adalah Kesunyataan Mulia yang ketiga bahwa ketidakpuasan dapat diatasi apabila keinginan dapat dikendalikan. Pengendalian keinginan ini dicapai dengan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berkesinambungan. Tidak ada kekekalan di alam semesta ini. Hanya ketidakkekalan itulah yang kekal. Dengan demikian, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketika seseorang bertemu dengan kondisi nyaman duduk bersila di lantai, maka seiring dengan berjalannya waktu, ia pun pasti akan bertemu dengan kondisi tidak nyaman duduk di lantai yaitu kesemutan. Demikian pula ketika ia merasa nyaman ‘bertemu’ dengan rasa tidak lapar, maka suatu saat sesuai dengan berjalannya waktu, ia pasti akan ‘bertemu’ dengan rasa lapar. Segala bentuk keinginan yang menimbulkan ketidakpuasan tersebut akan dapat diatasi apabila seseorang mampu memahami ketidakkekalan ini.
Akhirnya, sebagai Kesunyataan Mulia yang Keempat, diuraikan Sang Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menjadi kunci pelaksanaan seseorang untuk dapat mengendalikan keinginannya. Pelaksanaan Jalan Mulia inilah yang seharusnya dikerjakan dengan tekun dan penuh semangat oleh para umat serta simpatisan Buddhis agar hidupnya mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang bisa diperoleh, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah kebahagiaan duniawi, kemudian, kebahagiaan setelah meninggal dunia dengan terlahir di salah satu alam surga atau bahkan tentu saja kebahagiaan tertinggi yaitu terbebas dari kelahiran kembali yakni ketika seseorang mencapai Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha.
Dasar pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan diawali dengan latihan kemoralan. Paling tidak, sebagai awal, terdapat lima latihan kemoralan yang dapat dilakukan yaitu upaya menghindari tindakan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong dan mabuk-mabukan. Latihan mengendalikan diri terhadap lima perilaku tidak benar ini mengkondisikan seseorang untuk selalu menyadari segala tingkah laku badan dan ucapan yang sedang dikerjakan. Semakin sering seseorang mampu mengembangkan kesadaran atas tindakan serta ucapannya, maka ia pun semakin terkondisi untuk memperhatikan serta menyadari segala bentuk gerak gerik pikiran yang menjadi sumber tindakan badan maupun ucapan yang dilakukannya. Perhatian pada gerak gerik pikiran inilah yang akan mengkondisikan seseorang menyadari bahwa kenyataan hidup adalah saat ini. Secara bertahap dengan mempunyai kesadaran ini, seseorang akan semakin berkurang kemelekatannya pada masa lampau maupun masa depan. Masa lampau hanyalah tinggal kenangan sebagai bagian dari upaya pembelajaran untuk diperbaiki maupun ditingkatkan di masa sekarang. Sedangkan masa depan masih berupa rencana maupun impian yang harus segera dilaksanakan sedikit demi sedikit di masa sekarang. Dengan demikian, masa sekarang menjadi masa yang sangat penting sekali untuk selalu meningkatkan kualitas diri secara lahir maupun batin. Pemahaman yang kuat bahwa kenyataan hidup adalah saat ini menjadikan seseorang secara perlahan-lahan akan berkurang kemelekatannya. Batinnya menjadi tenang seimbang menghadapi segala perubahan yang dijumpainya. Bahkan, pada akhirnya ia mampu membebaskan diri dari kemelekatan sehingga batinnya pun terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan. Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah ketidaktahuan seseorang bahwa kenyataan hidup adalah tidak kekal dan hanya merupakan proses berkesinambungan. Dengan demikian, ia tidak lagi melekat dengan proses yang terus menerus berubah ini. Pengertian inilah yang membawa seseorang terbebas dari kelahiran kembali atau mencapai Nibbana yang tidak bisa diceritakan karena kemutlakannya. Sama sekali tidak bersyarat. Hanya saja, walaupun tidak bisa diceritakan, ternyata Nibbana mampu dicapai oleh mereka yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Demikianlah Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha yang tidak bisa diceritakan namun bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri para umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya berdoa?
Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat Buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah ‘sembahyang’ yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu ‘sembah’ berarti menghormat dan ‘hyang’ yaitu dewa. Dengan demikian, ‘sembahyang’ berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila ‘sembahyang’ diartikan seperti itu, maka umat Buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat Buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat Buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat Buddha juga tidak ‘berdoa’ karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca Sang Buddha maupun kepada fihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat Buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca Sang Buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut ‘sembahyang’ maupun ‘doa’, umat Buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan ‘puja bakti’. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata ‘puja’ yang bermakna menghormat dan ‘bakti’ yang lebih diartikan sebagai melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman Sang Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang Sang Buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena Sang Buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah Sang Buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah Sang Buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian Dhamma Sang Buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah Sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah Sang Buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian ‘puja bakti’ yaitu menghormat dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dsb. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebaikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Upaya mengarahkan buah kebajikan ini secara tradisi biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Seperti halnya menulis surat tentu membutuhkan kalimat pembuka sebelum mengutarakan maksud atau isi yang sesungguhnya sebelum ditutup dengan kalimat penutup. Demikian pula kalau mendatangi rumah seseorang, maka biasanya diawali dengan pembicaraan yang santai, ramah dan penuh persaudaraan sebelum membahas masalah yang sesungguhnya. Setelah itu, barulah acara ramah tamah ditutup kembali dengan hal yang ringan sebelum berpamitan pulang. Demikian pula ketika umat Buddha menyampaikan keinginan ataupun harapannya dalam upacara ritual Buddhis. Pada mulanya dibuka dengan mengingat Ajaran Sang Buddha. Disebutkan ‘mengingat’ karena untuk membedakan dengan istilah ‘memuji’. Dalam ritual Buddhis, tidak dilakukan pujian kepada Sang Buddha karena tindakan tersebut tidak bermanfaat. Sang Buddha sudah tidak terlahirkan kembali. Dengan demikian, pujian tidak lagi memberikan pengaruh kepada Beliau. Oleh karena itu, ingatan pada kotbah atau Ajaran Sang Buddha dirumuskan sebagai, “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan dituai. Menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.” Perenungan atau ingatan ini berhubungan dengan Hukum Sebab dan Akibat atau lebih dikenal dengan Hukum Kamma. Setelah dibuka dengan perenungan, selanjutnya diungkapkan harapan atau keinginan yang dimiliki dengan menyebutkan, “Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk…… “ yang dapat diisi, misalnya : banyak rejeki, panjang umur, sehat kuat dan bersemangat, serta masih banyak lagi isian sesuai dengan keinginan yang dimiliki.
Dengan diawali perenungan pada hukum sebab dan akibat, maka seseorang akan lebih menyadari bahwa apabila ia menginginkan kebahagiaan, ia hendaknya melakukan kebajikan terlebih dahulu kepada fihak lain. Seperti halnya tanam padi akan panen padi, demikian pula apabila seseorang menanam kebajikan, ia pun akan memetik kebahagiaan. Jika ia menanam pelepasan mahluk dari penderitaan, maka ia pun akan terlepas dari berbagai kesulitan yang sedang dihadapi. Demikian seterusnya. Apabila telah cukup banyak kebajikan yang dilakukan, maka tentu kebahagiaan seperti yang diharap pun akan dapat terwujud. Kalaupun masih ada keinginan yang belum terwujud, ia akan selalu bersemangat untuk melakukan kebajikan karena ia telah menyadari bahwa semua kebajikan yang ia lakukan tidak akan pernah hilang begitu saja.
Apabila ungkapan permintaan itu telah dibuka dan didahului dengan perenungan pada Hukum Kamma atau Hukum Sebab dan Akibat, maka sebagai penutup umat Buddha dapat mengucapkan berkali-kali kalimat, “Semoga semua mahluk berbahagia’ yang artinya, ia sendiri adalah mahluk, semoga ia bahagia dengan tercapai segala harapannya. Keluarganya juga mahluk, semoga keluarganya bahagia sesuai dengan kondisi kamma mereka masing-masing. Bahkan, musuh-musuhnya pun adalah mahluk, semoga mereka semua berbahagia sesuai dengan keinginan yang mereka miliki. Dengan mengucapkan kalimat penutup seperti ini, maka umat Buddha diarahkan untuk mengingat kebahagiaan fihak lain selain diri sendiri. Kebahagiaan kepada fihak lain ini diwujudkan dengan memancarkan pikiran cinta kasih kepada semua mahluk, bahkan kepada para musuhnya. Sesungguhnya, dengan seseorang mampu mengharapkan semua mahluk berbahagia, maka dirinya sendiri pun akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan yang telah dimiliki selama ini.
Jadi, secara lengkap, rumusan ungkapan permintaan ataupun ‘doa’ dalam tradisi Buddhis ini terdiri tiga tahap seperti yang telah diuraikan di atas yaitu: “ Sesuai dengan benih yang ditabur demikian pula buah yang dituainya, menanam kebajikan maka akan memperoleh kebahagiaan. Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….. (diisi: panjang umur, sehat, sukses dsb.). Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan rumusan ‘doa’ seperti ini, umat Buddha akan selalu bersemangat untuk mengembangkan kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran karena ia sadar bahwa kebahagiaan akan dapat dirasakan melalui upaya kebajikan yang ia kerjakan. Ia tidak akan pernah menyalahkan fihak lain atas penderitaan yang ia alami. Sebaliknya, ia pun tidak akan menganggap ada fihak lain yang membuatnya bahagia. Suka duka adalah bagian dari buah perbuatan yang ia lakukan selama ini. Ia akan selalu bersemangat untuk melaksanakan lima latihan kemoralan yaitu berusaha tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong maupun mabuk-mabukan. Ia juga akan tekun melaksanakan latihan pengembangan kesadaran atau meditasi. Dengan demikian, ia akan selalu sadar pada saat ia sedang bertindak, berbicara maupun berpikir. Kesadaran yang penuh akan hidup saat ini akan mengkondisikan seseorang mencapai kebebasan dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Pada tingkat inilah seseorang disebut mencapai Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha. Jadi, pencapaian Tuhan atau Nibbana ini tidak harus dialami ketika seseorang telah meninggal, namun juga bisa dalam kehidupan ini juga. Sekarang juga.
Sebagai kesimpulan, sudah jelas sekarang bahwa tujuan hidup seorang umat Buddha adalah untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Dhamma disebutkan adanya tiga tujuan hidup yaitu berbahagia di dunia ini, berbahagia setelah kehidupan ini yaitu mencapai alam surga atau alam bahagia lainnya. Kemudian, sebagai tujuan hidup yang tertinggi adalah kebahagiaan Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa. Tentu saja, Nibbana bukan surga atau alam, namun terbebas dari kelahiran kembali yang dapat dicapai dalam kehidupan ini juga. Agar seseorang dapat mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu Nibbana, maka ia hendaknya selalu berusaha melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terus menerus. Adapun Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan ini seseorang paling tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini. Dan, apabila timbul keinginan atau harapan, maka ia dapat mengucapkan tekad yang terdiri dari tiga bagian yaitu pembuka, isi serta penutup seperti yang telah diuraikan di atas.
Cara mengungkapkan harapan atau keinginan dalam tiga bagian tersebut dapat dipergunakan dimanapun seseorang berada tanpa menimbulkan pertentangan maupun permusuhan dengan fihak lain. Cara tersebut dapat dipergunakan di berbagai tempat ibadah Buddhis maupun bukan.
Inilah yang perlu disampaikan pada kesempatan ini. Semoga uraian Dhamma ini akan memberikan manfaat serta kebahagiaan untuk para umat dan simpatisan Buddhis.
Semoga Anda semua berbahagia.
Semoga semua mahluk selalu berbahagia.
Semoga demikianlah adanya.

Oleh Bhikkhu Uttamo

SAÑJĪVA-JĀTAKA

“Berteman dengan seorang penjahat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana mengenai Raja Ajātasattu yang patuh pada para guru palsu230. Karena percaya pada musuh yang dipenuhi oleh kebencian pada Sang Buddha, yakni Devadatta yang hina dan jahat, dan dalam kegilaannya, dalam harapannya memuja Devadatta, ia menghabiskan uang dalam jumlah yang besar untuk membangun sebuah wihara di Gayāsīsa. Dengan mengikuti nasihat Devadatta yang jahat, ia membunuh ayahnya, seorang raja tua yang baik dan suci, yang telah mencapai tingkat kesuucian Sotāpanna, dengan tindakannya itu ia telah menghancurkan kesempatannya sendiri untuk memperoleh kebaikan dan kesucian, dan telah membawa kesengsaraan pada dirinya sendiri.
Mendengar bahwa Devadatta telah ditelan oleh bumi, ia takut nasib yang sama akan menimpanya. Demikianlah rasa takutnya menggila, sehingga ia tidak memperhatikan kesejahteraan kerajaannya, ia tidak berbaring di tempat tidurnya, melainkan bergerak ke sana kemari dengan anggota tubuh yang gemetaran, seperti seekor gajah muda yang didera oleh rasa takut yang mengerikan.
Dalam khayalannya ia melihat bumi menganga untuknya, dan kobaran api neraka memancar ke atas; ia bisa melihat dirinya sendiri diikat pada sebuah tempat tidur dari logam panas dengan tombak besi menusuk tubuhnya. Seperti ayam jantan yang terluka, ia tidak bisa merasa damai sesaat pun. Timbul niatnya untuk bertemu dengan Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna, untuk memberi rasa damai kepadanya, dan meminta petunjuk dari Beliau; namun karena besarnya pelanggaran yang dilakukan olehnya, ia merasa segan untuk pergi ke tempat Sang Buddha.
Ketika perayaan Kattikā tiba, dan pada malam hari, Kota Rājagaha diterangi dan dihiasi seperti kota para dewa, raja, saat duduk di singgasana emasnya yang menjulang tinggi, melihat Jīvaka Komārabhacca duduk di dekatnya. Timbul sebuah ide di benaknya untuk pergi bersama Jīvaka menemui Sang Guru, namun ia tidak bisa mengatakan dengan jujur bahwa ia tidak bisa pergi sendiri, melainkan menginginkan Jīvaka untuk membawanya. Tidak; jalan yang lebih baik adalah setelah memuji keindahan malam itu, [509] ia berniat untuk duduk di bawah kaki beberapa orang guru atau brahmana dan bertanya kepada para anggota istana, siapa guru yang bisa memberikan kedamaian hati. Tentu, sebagian dari mereka akan langsung memuji guru mereka masing-masing, namun Jīvaka pasti akan memuji Yang Tercerahkan Sempurna; dan raja bersama Jīvaka akan pergi menemui Sang Buddha.
Maka ia meledak dalam lima pujian terhadap malam dengan berkata, “Betapa terangnya malam tanpa awan ini! Betapa indahnya! Betapa menariknya! Betapa menggembirakannya! Betapa eloknya! Siapa guru atau brahmana yang harus kita cari yang mampu memberikan kedamaian pada diri kita?”
Satu menteri merekomendasikan Pūraṇa Kassapa, yang lain menunjuk Makkhali Gosāla, sementara yang lainnya lagi menyatakan Ajita Kesakambala, Kakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhiputta atau Nigaṇṭha Nāthaputta. Semua nama ini didengarkan dalam kebisuan oleh raja, menunggu Perdana Menterinya, Jīvaka, berbicara. Namun Jīvaka, menduga bahwa tujuan utama raja adalah untuk membuatnya berbicara, tetap diam untuk memastikan hal tersebut.
Akhirnya raja berkata, “Jīvaka yang baik, mengapa engkau tidak berkata apa-apa?” Mendengar perkataan tersebut, Jīvaka bangkit dari tempat duduknya, merangkupkan tangan dengan penuh pemujaan terhadap Sang Buddha, berseru, “Paduka, di sana, di hutan mangga saya, tinggallah Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna, bersama seribu tiga ratus lima puluh orang bhikkhu. Ini adalah kemashyuran tertinggi yang timbul berkenaan dengan Beliau.” Dan ia melanjutkan untuk menyatakan sembilan gelar kehormatan yang mewakili-Nya, dimulai dengan ‘Yang Patut Dimuliakan 231 ’. Ketika ia telah menunjukkan lebih jauh bagaimana sejak kelahiran hingga seterusnya, kekuatan Sang Buddha telah melampaui semua pertanda dan harapan sebelumnya. Jīvaka berkata, “Kepada Beliau, Sang Bhagawan, raja seharusnya pergi untuk mendengarkan kebenaran dan mengajukan pertanyaan.”
Setelah tujuannya tercapai, raja meminta Jīvaka untuk mempersiapkan gajah dan pergi dalam kebesaran kerajaan menuju Hutan Mangga Jīvaka, dimana ia melihat dalam Kamar Harum-Nya, Sang Buddha berada di antara para bhikkhu dalam keadaan hening, seperti lautan di saat tenang sempurna. Melihat ke arah yang mampu ia lihat, mata raja hanya dapat melihat barisan bhikkhu tanpa akhir, melampaui jumlah pengikut manapun yang pernah ia lihat.
Senang melihat kelakuan para bhikkhu, raja membungkuk dengan penuh hormat, dan mengucapkan pujian. Kemudian ia memberikan penghormatan kepada Sang Guru, mengambil tempat duduk dan bertanya pada Beliau, ‘Apa hasil dari kehidupan petapa?’. Dan Sang Bhagawan menjelaskan dengan terperinci mengenai Sāmaññaphala Sutta dalam dua bagian 232 . Merasa gembira, raja merasakan kedamaian bersama Sang Buddha, saat Sutta tersebut berakhir, ia bangkit dan berpamitan dengan penuh hormat.
Segera setelah ia pergi, Sang Guru berkata kepada para bhikkhu, “Para Bhikkhu, raja ini telah tumbang; [510] jika raja ini tidak membunuh karena hasratnya untuk menguasai kerajaan yang dijalankan dengan penuh keadilan oleh ayahnya, ia telah mencapai tingkat kesucian Arahat, pandangan yang jernih pada kebenaran, sebelum ia bangkit dari tempat duduknya. Namun atas kesalahannya memberi dukungan kepada Devadatta, ia bahkan telah kehilangan (kesempatan untuk) tingkat kesucian Sotāpanna.”
Keesokan harinya para bhikkhu berkumpul bersama membicarakan kejahatan Ajātasattu atas pembunuhan terhadap keluarganya sendiri, berkenaan dengan Devadatta yang jahat dan penuh keburukan, yang didukung olehnya, yang telah menghilangkan nibbana bagi dirinya dan Devadatta juga yang menyebabkan kehancuran sang raja.
Pada saat itu, Sang Buddha masuk ke dalam Balai Kebenaran dan menanyakan apa yang menjadi topik pembicaraan mereka. Setelah diberitahu oleh mereka, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Ajātasattu menderita karena mendukung orang yang penuh keburukan; tetapi juga kelakuan yang sama pada kehidupan yang lampau membuat ia kehilangan nyawanya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali dalam sebuah keluarga brahmana yang kaya. Setelah tumbuh dewasa, ia belajar di Takkasilā, tempat ia menerima pendidikan yang lengkap.
Di Benares, ia merupakan seorang guru yang sangat terkenal dan mempunyai lima ratus orang brahmana muda sebagai muridnya. Di antara mereka, terdapat satu orang yang bernama Sañjiva, yang oleh Bodhisatta diajarkan satu mantra untuk membangkitkan kembali yang telah meninggal.
Walaupun anak muda ini diajari mantra tersebut, ia tidak mempelajari mantra balasannya. Bangga dengan kekuatan barunya, ia pergi bersama teman-temannya sesama murid ke dalam hutan untuk mengumpulkan kayu, dan tiba di tempat dimana terdapat seekor harimau yang telah mati.
“Lihat bagaimana saya akan menghidupkan kembali harimau ini,” katanya.
“Engkau tidak akan bisa,” kata mereka.
“Perhatikan baik-baik, kalian akan melihat saya melakukan hal itu.”
“Baiklah, jika engkau memang mampu, lakukanlah,” kata mereka dan segera memanjat ke sebatang pohon.
Kemudian Sañjiva mengucapkan mantranya dan memukul harimau tersebut dengan pecahan barang yang terbuat dari tanah. Harimau tersebut bangkit dan secepat kilat menerkam Sañjiva kemudian menggigit kerongkongannya, membunuhnya seketika itu juga. Kematian menimpa harimau tersebut di saat dan tempat itu, kematian juga menimpa Sañjiva di tempat yang sama. Maka keduanya terbaring berdampingan, mati di sana.
Para brahmana muda itu mengambil kayu mereka dan kembali ke tempat gurunya untuk menceritakan hal tersebut. “Murid-muridku yang terkasih,” katanya, “lihat di sini bagaimana karena menunjukkan dukungan kepada ia yang penuh kejahatan dan menghormati apa yang tidak seharusnya dihormati, ia membawa semua malapetaka ini muncul bagi dirinya sendiri.” Setelah berkata demikian, ia mengucapkan syair berikut ini : —
[511] Berteman dengan seorang penjahat,
membantunya dalam memenuhi keperluannya;
Maka, seperti harimau yang dihidupkan kembali oleh Sañjiva ini,
ia akan langsung memangsamu dalam rasa sakitmu.
Demikianlah ajaran Bodhisatta kepada para brahmana muda, dan setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ajātasattu adalah brahmana muda di masa itu yang menghidupkan kembali harimau yang telah mati, dan Saya adalah guru yang terkenal tersebut.”
Catatan kaki :
230 Lihat Vinaya, Cullav.vii.3.4- (diterjemahkan dalam S.B.E. xx. hal.242 dst.). Dalam Sāmaññaphala Sutta, Dīgha Nikāya memberikan kejadian dalam cerita pembuka ini dan menunjukkan raja mengakui telah membunuh ayahnya sendiri (Vol.I. hal 85).
231 Lihat Vol. I dari Digha Nikāya untuk daftar tersebut.
232 Dalam Digha Nikāya tidak ada pembagian sutta ini menjadi dua bhāṇavara atau bagian.

EKAPAṆṆA-JĀTAKA

“Jika racun tersembunyi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di kūṭāgārasālā228, Mahāvana dekat Vesāli.
Pada masa itu, Vesāli berada dalam keadaan yang sangat makmur. Sebuah dinding berlapis tiga mengelilingi kota tersebut, setiap dinding berjarak satu yojana dari dinding berikutnya, dan terdapat tiga buah gerbang dengan menara pengawas. Di kota tersebut selalu terdapat tujuh ratus tujuh puluh tujuh orang raja yang memerintah kerajaan tersebut, serta raja muda, jenderal dan bendaharawan dengan jumlah yang sama. Di antara para putra raja terdapat satu orang yang dikenal sebagai Pangeran Licchavi yang jahat, pemuda yang kasar, emosional, kejam, selalu memberi hukuman, seperti ular berbisa yang penuh kemarahan. Demikianlah sifat alaminya, sehingga tidak seorang pun yang bisa berbicara lebih dari dua atau tiga patah kata di hadapannya; baik orang tua, kerabat maupun teman-temannya tidak bisa membuatnya berubah menjadi lebih baik. Akhirnya orang tuanya memutuskan untuk membawa anak muda yang tidak bisa dikendalikan itu menghadap Yang Tercerahkan Sempurna, menyadari bahwa tidak ada orang lain selain diri-Nya yang mampu menjinakkan jiwa anak muda yang buas itu. Maka mereka membawanya ke hadapan Sang Guru, dengan penuh hormat mereka memohon Beliau memberikan nasihat kepada pemuda tersebut.
Sang Guru menyapa pangeran itu dan berkata, “Pangeran, manusia tidak boleh kasar, emosional, dan kejam. Orang yang bengis adalah orang yang kasar dan kejam, baik kepada ibu yang membesarkannya, kepada ayah dan anaknya, kepada saudara lelaki dan perempuannya, kepada istrinya, teman-teman dan kerabatnya; menimbulkan ketakutan seperti seekor ular berbisa yang meluncur ke depan untuk menggigit, seperti seorang perampok yang menyerang korbannya di hutan, seperti seorang yaksa yang bergerak maju untuk melahap mangsanya, — orang yang demikian akan langsung terlahir kembali di neraka atau alam penuh siksaan lainnya; bahkan dalam kehidupan ini, betapa rupawan pun dirinya, ia terlihat jelek. Walaupun wajahnya cantik seperti cakra bulan purnama, namun terlihat menjijikkan seperti teratai yang gosong karena kobaran api, seperti potongan emas yang ditutupi oleh kotoran. Kemarahan yang demikian membuat seseorang seperti membunuh diri mereka sendiri dengan pedang, minum racun, menggantung diri dan melemparkan diri mereka dari tebing yang curam; demikian mereka menemui ajal karena kemarahan mereka sendiri, dan akan terlahir kembali di alam yang penuh penderitaan. Demikian juga dengan mereka yang mencelakai orang lain, dipenuhi oleh kebencian dalam kehidupan ini, dan karena perbuatan jahat mereka, setelah kematiannya akan terlahir kembali di neraka dan alam rendah lainnya; sekalipun mereka terlahir kembali sebagai manusia, [505] penyakit dan rasa sakit di mata, telinga dan segala hal menimpa mereka sejak mereka lahir hingga seterusnya. Karenanya, sebaiknya semua orang menunjukkan kebaikan dan menjadi pelaku kebaikan, kemudian yakinlah bahwa mereka tidak perlu takut pada neraka dan siksaan.”
Demikianlah kekuatan satu kali ceramah itu membuat ketinggian hatinya semakin berkurang; kesombongan dan keegoisan hilang dari dirinya, dan hatinya dipenuhi oleh kebaikan dan cinta kasih. Ia tidak pernah mencaci maupun memukul lagi, namun berubah menjadi ramah bagaikan seekor ular yang taringnya telah dicabut, bagaikan kepiting yang capitnya putus, bagaikan seekor sapi jantan dengan tanduk yang telah patah.
Melihat perubahan suasana hatinya, para bhikkhu berkumpul bersama dalam Balai Kebenaran, membicarakan bagaimana Pangeran Licchavi yang jahat, walaupun melalui nasihat yang tiada henti dari kedua orang tuanya tetap tidak dapat membuatnya mengendalikan dirinya, tetapi menjadi tunduk dan rendah hati hanya dengan satu nasihat saja dari Buddha Yang Maha Bijaksana, dan bagaimana hal itu seperti menjinakkan enam gajah yang buas secara bersamaan.
Dikatakan, ‘Awuso, pelatih gajah membimbing gajah yang dilatihnya untuk berbelok ke kanan atau kiri, mundur atau maju, sesuka hatinya; sama dengan para pelatih kuda dan pelatih sapi dengan kuda dan sapi mereka; demikian juga dengan Bhagawan, Yang Tercerahkan Sempurna, membimbing manusia yang akan dididik-Nya ke jalan yang benar, menuntunnya ke arah mana pun yang sesuai dengan keinginan Beliau di sepanjang delapan arah, dan membuat murid-murid-Nya melihat bentuk luar diri-Nya. Demikianlah Buddha dan hanya Buddha sendiri,’ — dan seterusnya, hingga ke kata, — ‘Beliau dielu-elukan sebagai pembimbing utama manusia, yang paling unggul dalam membuat manusia tunduk dalam Dhamma.’ “Karena, Awuso,” kata mereka, “tidak ada pembimbing umat manusia seperti Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna.”
Di saat itu, Sang Guru masuk ke dalam Balai Kebenaran dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka menceritakannya dan Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya sebuah nasihat tunggal dari-Ku berhasil menundukkan pangeran tersebut, tetapi hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana di Negeri Utara, dan setelah dewasa mula-mula ia belajar Tiga Weda kemudian semua pelajaran lainnya di Takkasilā, dan selama beberapa waktu menempuh kehidupan duniawi.
Setelah orang tuanya meninggal, ia menjadi seorang petapa, menetap di Himalaya dan memperoleh kemampuan batin luar biasa dan pencapaian meditasi. Ia menetap di sana cukup lama, hingga kebutuhan akan garam dan kebutuhan hidup lainnya membawanya kembali ke tempat tinggal penduduk, dan ia tiba di Benares, tinggal di taman kerajaan.
Keesokan harinya ia berpakaian dengan penuh usaha dan kehati-hatian, dan dengan pakaian petapa yang terbaik ia pergi melakukan pindapata ke kota [506] dan tiba di gerbang istana. Raja sedang duduk dan melihat Bodhisatta dari jendela, dan terlihat pada dirinya, bagaimana petapa tersebut bijaksana dalam hati dan jiwanya, memandang dengan penuh kepastian padanya, bergerak dengan langkah laksana langkah seekor raja singa, seakan dalam setiap langkah kakinya tersimpan satu kantong yang berisikan ratusan keping uang. “Jika kebaikan memang ada,” pikir raja tersebut, “ia pasti berada di dalam dada orang ini.”
Maka ia memanggil seorang pengawal istana, memintanya untuk mengundang petapa tersebut ke dalam istana. Pengawal tersebut menemui Bodhisatta dan, dengan penuh hormat, mengambil patta dari tangannya. “Ada apa, Tuan?” tanya Bodhisatta. “Raja mengundangmu dengan penuh hormat,” jawabnya. “Tempat tinggal saya adalah di Himalaya, dan saya bukan orang yang istimewa bagi raja.”
Pembawa pesan itu kembali dan melaporkan hal tersebut kepada raja. Berpikir bahwa ia tidak mempunyai seorang penasihat pribadi saat ini, raja meminta agar Bodhisatta dibawa masuk, dan Bodhisatta setuju untuk datang.
Raja menyapanya saat ia masuk dengan penuh kesopanan dan memintanya untuk duduk di sebuah singgasana emas di bawah payung kerajaan. Dan Bodhisatta dijamu dengan makanan yang awalnya dipersiapkan untuk disantap oleh raja sendiri.
Kemudian raja menanyakan tempat tinggal petapa tersebut, dan mengetahui bahwa ia berdiam di Himalaya.
“Kemanakah tujuanmu sekarang?”
“Dalam pencarian, Paduka, sebuah tempat tinggal selama musim hujan.”
“Mengapa engkau tidak menetap di taman saya saja?” saran raja. Kemudian, setelah mendapatkan persetujuan Bodhisatta, dan telah menyantap makanannya sendiri, raja pergi bersama tamunya menuju taman dan di sana terdapat sebuah tempat pertapaan yang dibangun dengan sebuah bilik untuk siang hari dan sebuah bilik untuk malam hari. Tempat tinggal ini dilengkapi dengan delapan perlengkapan petapa. Setelah menempatkan Bodhisatta di sana, raja menyerahkan tanggung jawab atas dirinya kepada penjaga taman dan kembali ke istana. Maka Bodhisatta menetap di taman kerajaan dan raja mengunjunginya dua hingga tiga kali sehari.
Raja mempunyai seorang putra yang kasar dan emosional, ia dikenal sebagai “Pangeran Jahat”, yang tidak bisa dikendalikan baik oleh ayah maupun para kerabatnya. Para anggota istana, para brahmana dan para penduduk, semua memberitahukan tentang kesalahan tindak tanduknya, namun semuanya sia-sia saja. Ia tidak memedulikan nasihat-nasihat mereka. Dan raja merasa bahwa harapan satu-satunya untuk mendapatkan kembali putranya adalah melalui petapa yang penuh kebaikan itu.
Maka sebagai kesempatan terakhir, [507] ia membawa pangeran tersebut dan menyerahkannya untuk diurusi oleh Bodhisatta. Bodhisatta berjalan bersama pangeran tersebut di taman kerajaan hingga mereka tiba di sebuah tempat dimana tunas pohon nimba229 sedang tumbuh, yang terlihat hanyalah dua helai daun, satu pada suatu sisi, dan satu lagi di sisi lainnya.
“Cobalah sehelai daun pohon kecil ini, Pangeran,” kata Bodhisatta, “dan lihat seperti apa rasanya.”
Anak muda itu melakukan hal tersebut; namun tidak mungkin menempatkan daun itu dalam mulutnya, saat ia meludahkannya keluar dengan sebuah umpatan, ia mengeluarkannya dan meludah lagi untuk menghilangkan rasa itu dari mulutnya.
“Ada apa, Pangeran?” tanya Bodhisatta.
“Bhante, saat ini, pohon ini hanya menimbulkan kesan sebagai pohon beracun; namun jika dibiarkan tumbuh, akan menjamin kematian bagi banyak orang,” kata pangeran tersebut, kemudian mencabut dan menghancurkan pohon kecil yang sedang tumbuh itu di tangannya, sambil mengucapkan syair berikut ini : —
Jika racun tersembunyi dalam pohon kecil ini,
apa lagi yang akan ditunjukkan oleh pohon
yang telah tumbuh besar?
Kemudian Bodhisatta berkata, “Pangeran, takut tunas beracun ini akan tumbuh besar engkau mencabut dan menghancurkannya. Seperti apa yang engkau lakukan pada pohon itu, penduduk kerajaan ini, yang takut atas apa yang akan dilakukan oleh seorang pangeran yang kasar dan emosional jika ia menjadi raja, tidak akan menempatkanmu di takhta, melainkan mencabutmu seperti pohon nimba ini dan mengusirmu ke tempat pengasingan. Karena itu, ambillah pelajaran dari pohon ini dan sejak hari ini, tunjukkan kemurahan hati dan rasa cinta pada kebaikan yang berlimpah.”
Sejak saat itu suasana hati pengeran berubah. Ia menjadi rendah hati dan penuh kelembutan, serta murah hati dan berlimpah dalam kebaikan. Mematuhi nasihat Bodhisatta, [508] setelah ayahnya meninggal dunia ia dinobatkan menjadi raja. Ia selalu melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, dan akhirnya meninggal dunia untuk terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru berkata, “Demikian, para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya saya menjinakkan pangeran yang jahat; saya juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lampau.” Kemudian Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Pangeran Licchavi yang jahat saat ini adalah Pangeran Jahat pada kisah tersebut. Ānanda adalah sang raja, dan Saya adalah petapa yang menasihati pangeran itu hingga berubah menjadi baik.”
Catatan kaki :
228 Sebuah balai (ruangan) di Mahāvana. Lihat keterangan selengkapnya di Dictionary of Pali Proper Name (DPPN) by Malalasekera, hal. 659. Arti harfiah dari kūṭāgāra adalah bangunan beratap runcing, bangunan bermenara, bangunan bertingkat.
229 Azadirachta indica.