Minggu, 19 Agustus 2012

GAṄGEYYA-JĀTAKA

[151] “Ikan-ikan dari,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika tinggal di Jetavana, tentang dua bhikkhu muda.
Dikatakan bahwasanya dua bhikkhu muda ini adalah anggota dari sebuah keluarga yang terpandang di Sāvatthi dan memiliki keyakinan. Tetapi mereka, dengan tidak menyadari akan keburukan dari badan jasmani, memuji ketampanan mereka sendiri dan menyombongkan hal tersebut.
Suatu hari mereka bertengkar dikarenakan permasalahan ini: “Anda tampan, demikian juga saya,” kata mereka masing-masing. Melihat ada seorang thera tua yang duduk tidak jauh dari sana, mereka setuju kalau dia mungkin tahu apakah mereka tampan atau tidak. Kemudian mereka menghampirinya dan bertanya, “Bhante, siapakah yang tampan di antara kami?” Sang Thera menjawab, “Āvuso, saya lebih tampan daripada kalian berdua.” Terhadap ini, kedua bhikkhu muda tersebut mencelanya dan pergi, sambil mengomel bahwa dia menjawab sesuatu yang tidak mereka tanyakan, tetapi tidak menjawab apa yang mereka tanyakan.
Para bhikkhu mengetahui kejadian ini, dan pada suatu hari, ketika bersama-sama di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, thera tersebut mempermalukan kedua bhikkhu muda yang pikirannya dipenuhi dengan ketampanan mereka sendiri!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selama mereka duduk bersama. Mereka menceritakan kepada-Nya. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, kedua bhikkhu muda ini memuja ketampanan mereka sendiri, tetapi di masa lampau juga mereka selalu menyombongkannya seperti apa yang mereka lakukan sekarang.”
Dan kemudian Beliau menceritakan mereka sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon di tepi Sungai Gangga. Pada satu titik, tempat Gangga dan Jumma bertemu, dua ekor ikan bertemu satu sama lain, satu dari Gangga dan satu dari Jumma. “Saya cantik!” kata yang satu, “dan begitu juga kamu!” dan kemudian mereka bertengkar mengenai kecantikan mereka.
Tidak jauh dari Sungai Gangga, mereka melihat seekor kura-kura berbaring di tepi sungai, “Teman di sana yang akan memutuskan apakah kita cantik atau tidak!” kata mereka. Dan mereka pun menghampirinya. “Siapakah yang cantik di antara kami, Teman Kura-kura,” tanya mereka, “ikan Gangga atau ikan Jumma?” Kura-kura menjawab, “Ikan Gangga cantik dan ikan Jumma juga cantik, tetapi sayalah yang paling cantik di antara kalian berdua.” Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama:— [152]
Ikan-ikan dari Sungai Jumma itu cantik,
ikan-ikan dari Sungai Gangga cantik,
tetapi seekor makhluk berkaki empat,
dengan leher lonjong seperti saya,
bulat seperti pohon beringin yang menyebar,
pastilah melebihi semuanya.
Ketika mendengar ini, kedua ikan itu berkata, “He, Kura-kura Jahat, kamu tidak menjawab pertanyaan kami, malah menjawab yang lain!” dan mereka mengulangi bait kedua:
Kami menanyakan ini, dia menjawab itu:
sungguh sebuah jawaban yang aneh!
Dengan lidahnya sendiri dia memuji diri sendiri:—
saya tidak menyukainya!

Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, kedua bhikkhu muda adalah kedua ekor ikan, sang thera tua adalah kura-kura, dan Aku adalah dewa pohon yang melihat semua kejadian itu dari tepi Sungai Gangga.”

VĪRAKA-JĀTAKA

“Oh, apakah Anda melihat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang peniruan terhadap Yang Sempurna Menempuh Jalan (Sugata).
Ketika para thera telah pergi beserta pengikut mereka untuk mengunjungi Devadatta 114 , Sang Guru menanyakan Sāriputta apa yang dilakukan Devadatta ketika dia melihat mereka. Jawabannya adalah dia meniru Sang Buddha. Sang Guru menyambung, “Bukan hanya kali ini, Devadatta meniru diri-Ku dan demikian menemui kehancuran; tetapi dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Kemudian, atas permintaan para thera, Beliau menceritakan kisah masa lampau.

[149] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah sebagai raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor gagak air dan tinggal di sebuah kolam. Namanya adalah Vīraka (Viraka).
Di sana, terjadi kelaparan di Kasi. Orang-orang tidak bisa menyisihkan makanan untuk burung-burung gagak, tidak juga persembahan untuk para yaksa dan nāga. Satu per satu burung gagak meninggalkan tanah yang dilanda kelaparan itu dan masuk ke dalam hutan.
Ada seekor gagak bernama Saviṭṭhaka (Savitthaka), yang tinggal di Benares, membawa serta pasangannya gagak betina dan pergi ke tempat Viraka tinggal, membuat sarangnya di samping kolam yang sama.
Suatu hari, gagak ini mencari makanan di sekitar kolam itu. Dia melihat bagaimana Viraka turun ke dalamnya dan memakan beberapa ekor ikan, setelah itu keluar lagi dari dalam air dan berdiri mengeringkan bulunya. “Di bawah sayap gagak itu,” pikirnya, “banyak ikan yang bisa didapatkan. Saya akan menjadi pelayannya.” Maka dia menghampirinya. “Ada apa, Teman?” tanya Viraka. “Saya ingin menjadi pelayanmu!” jawabnya.
Viraka setuju dan mulai saat itu dia pun melayaninya. Dan sejak saat itu, Viraka biasanya hanya memakan ikan secukupnya untuk mempertahankan hidupnya dan sisanya dia berikan kepada Savitthaka segera setelah dia menangkapnya, dan setelah Savitthaka memakan ikan secukupnya untuk mempertahankan hidupnya, dia berikan apa yang tersisa kepada istrinya.
Setelah beberapa waktu, kesombongan mulai timbul di hatinya. “Gagak ini,” katanya, “berwarna hitam dan demikian juga diriku. Dalam bentuk mata, paruh, dan kaki juga tidak ada perbedaan di antara kami. Saya tidak menginginkan ikannya; saya akan menangkapnya sendiri!” Jadi dia berkata kepada Viraka bahwa nantinya dia berniat untuk turun ke dalam air dan menangkap ikan sendiri. Kemudian Viraka berkata, “Teman, Anda bukanlah termasuk jenis gagak yang dilahirkan untuk masuk ke dalam air dan menangkap ikan. Jangan menghancurkan dirimu sendiri!” Walaupun usaha ini dilakukan untuk menghalanginya, Savitthaka tetap saja tidak mau mendengar peringatan itu. Dia pergi ke kolam itu dan turun ke dalam air, tetapi dia tidak dapat melewati rumput-rumput liar dan keluar lagi—di sana dia, terjerat oleh rumput-rumput liar, hanya ujung paruhnya yang terlihat muncul di atas air. Karena tidak dapat bernapas, dia pun mati di dalam air.
[150] Pasangannya mengetahui dia tidak kembali dan pergi mencari Viraka untuk menanyakan kabar dirinya. “Tuan,’ tanyanya, “Savitthaka tidak kelihatan. Di manakah dia?” Dan saat setelah menanyakan hal ini, dia mengulangi bait pertama berikut:
Oh apakah Anda melihat Savitthaka,
apakah Anda melihat pasanganku yang bersuara merdu,
yang lehernya seperti kemilau burung merak?
Ketika mendengar ini, Viraka membalas, ”Ya, saya tahu di mana dia berada,” dan mengulangi bait kedua:—
Dia tidaklah dilahirkan untuk menyelam di bawah air,
tetapi apa yang tidak dapat dilakukannya malah dicobanya;
Maka burung malang itu menemukan makam airnya,
terjerat di tengah rumput-rumput liar dan mati di sana.
Ketika gagak betina tersebut mendengarnya, sambil meratap, dia kembali ke Benares.


Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Devadatta adalah Saviṭṭhaka (Savitthaka), dan Aku adalah Vīraka (Viraka).”

Catatan kaki :
114 Sāriputta dan Moggallāna mengunjungi pemimpin kaum titthiya untuk mencoba apakah mereka bisa berhasil untuk memenangkan para pengikutnya kembali kepada Sang Guru. Kisah kunjungan mereka dan bagaimana itu berhasil, diceritakan di dalam Vinaya, Cullavagga, vii. 4 foll. (diterjemahkan di dalam S. B. E., Vinaya Texts, iii. 256). Juga lihat Vol. i. no. 11.

KHANDHA-VATTA-JĀTAKA

“Ular-ular Virūpakkha saya kasihi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu.
Dikatakan bahwasanya pada saat dia duduk, di depan ruang tamunya, membelah kayu, seekor ular menyelinap keluar dari kayu yang lapuk dan menggigit jari kakinya; dia pun mati seketika. Seluruh wihara mengetahui bagaimana dia mati mendadak.
Di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, mengatakan bagaimana bhikkhu anu sedang duduk di pintu, membelah kayu, ketika seekor ular menggigitnya dan mati seketika karena gigitan itu.
[145] Sang Guru masuk dan ingin mengetahui apa yang mereka perbincangkan selama mereka duduk bersama. Mereka pun menceritakan kepada-Nya. Kata Beliau, “Para Bhikkhu, seandainya saja bhikkhu ini melatih cinta kasih terhadap empat jenis ular, maka ular tersebut tidak akan menggigitnya. Orang bijak di masa lampau, sebelum Sang Buddha lahir, dengan menerapkan cinta kasih terhadap empat jenis ular, bebas dari rasa takut yang muncul karena ular-ular ini.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.


Dahulu kala di masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang brahmana muda di Kerajaan Kāsi. Setelah dewasa, dia melepaskan nafsu-nafsunya dan memilih menjalani kehidupan sebagai seorang petapa; dia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi; dia membangun sebuah pertapaan di tikungan Sungai Gangga, di bawah kaki Himalaya dan berdiam di sana, dikelilingi oleh sekelompok petapa, terhanyut dalam kebahagiaan meditasi.
Kala itu terdapat banyak ular di sekitar pinggiran Sungai Gangga yang suka mengganggu para petapa dan banyak dari mereka tewas digigit ular. Petapa-petapa itu menceritakan kejadian tersebut kepada Bodhisatta. Dia pun memanggil para petapa untuk menjumpainya dan berkata, “Jika kalian menunjukkan cinta kasih kepada keempat jenis ular, tidak akan ada ular yang menggigitmu. Oleh karena itu, mulai sekarang tunjukkanlah cinta kasih kepada keempat jenis ular ini,” Kemudian dia menambahkan bait berikut:
Ular-ular Virūpakkha yang saya kasihi,
Ular-ular Erāpatha yang saya kasihi,
Ular-ular Chabbyāputta yang saya kasihi,
Ular-ular Kaṇhāgotama yang saya kasihi.
Setelah demikian mengucapkan nama-nama dari keempat jenis ular itu, beliau menambahkan, “Jika kalian bisa mengembangkan cinta kasih terhadap semua ular ini, maka tidak akan ada ular yang akan menggigit atau mencelakaimu.” Kemudian Beliau mengulangi bait kedua:—[146]
Semua makhluk di bawah sinar matahari,
dua kaki, empat kaki, atau lebih, atau tidak ada—
betapa saya mengasihi kalian, semuanya!
Setelah menyatakan ungkapan cinta kasih di dalam dirinya, beliau mengucapkan bait berikutnya dengan berdoa:
Semua makhluk, berkaki dua atau berkaki empat,
yang tidak mempunyai kaki dan yang mempunyai lebih,
janganlah menyakiti saya, saya memohon!
Kemudian kembali, dengan bahasa biasa, dia mengulangi satu bait berikut:—
Kalian semua makhluk yang memiliki kehidupan,
bernafas dan bergerak di atas tanah,
semoga kalian bahagia, semuanya,
jangan pernah jatuh dalam kejahatan.
[147] Demikianlah dia memaparkan bagaimana seseorang harus menunjukkan cinta kasih dan niat baik kepada semua makhluk hidup tanpa ada perbedaan; dia mengingatkan semua pendengarnya tentang kualitas bagus dari Tiga Permata, mengucapkan—“Buddha Nirbatas, Dhamma Nirbatas, dan Sangha Nirbatas.” Dia berkata, “Ingatlah kualitas bagus dari Tiga Permata,” demikianlah setelah memaparkan ketidakterbatasan Tiga Permata, dan ingin menunjukkan kepada mereka bahwa semua makhluk adalah terbatas, dia menambahkan, “Yang terbatas dan dapat diukur adalah hewan-hewan melata, ular, kalajengking, lipan, laba-laba, kadal, tikus.” Dan dilanjutkan, “Nafsu dan keinginan yang ada di dalam hewan inilah kualitas yang menjadikan mereka terbatas dan bisa diukur, semoga kita dilindungi siang dan malam dari makhluk yang terbatas ini dengan kekuatan dari Tiga Permata, yang nirbatas. Oleh karena itu, ingatlah kualitas bagus dari Tiga Permata.” Kemudian dia mengucapkan bait berikut:—
Sekarang saya terlindungi dengan aman
dan dipagari sekeliling:
Semua makhluk hidup janganlah menggangguku.
Segala hormat kepada Yang Terberkahi kuberikan,
dan terpuijlah tujuh Sammāsambuddha yang telah lewat.
[148] Dan setelah meminta mereka juga mengingat tujuh Buddha113 ketika mereka memberikan penghormatan, Bodhisatta menggubah syair pelindung ini dan menyampaikannya kepada kelompok petapanya. Sejak saat itu, para petapa mengingat dalam hati nasihat Bodhisatta tersebut, mengembangkan cinta kasih dan niat baik, serta merenungkan kebajikan Buddha. Sewaktu mereka melakukan ini, semua ular pergi meninggalkan mereka. Bodhisatta mengembangkan kediaman murni dan mencapai alam brahma.


Setelah Sang Guru menyampaikan uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Para siswa Buddha adalah para pengikut petapa itu, dan guru mereka adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
112 Lihat di Cullavagga V. 6 (iii. 75 di Vinaya Texts, S. B. E.), di mana bait-bait ini muncul kembali. Sebagian bait diulangi di ‘Bower MS,’ suatu Sanskrit MS yang terakhir ditemukan di puing-puing kota kuno di Kashgaria (lihat di J. P. T. S., 1893, hal. 64). Jenis-jenis ular yang disebutkan tidak dapat diidentifikasikan. Mantra-mantra ular sangatlah biasa dijumpai di Sanskrit; ada banyak di dalam Atharva Veda.
113 Untuk ketujuh Buddha ini, lihat Wilson, Select Works, ii. 5.

KEḶI-SĪLA-JĀTAKA

“Angsa, bangau, gajah”, dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Yang Mulia Lakuṇṭaka (Lakuntaka) nan baik.
Yang Mulia Lakuntaka adalah orang yang terkenal atas keyakinannya terhadap Sang Buddha, orang yang terkemuka, bermulut manis, pengkhotbah yang baik, yang memiliki pengetahuan analitik, yang telah dengan sempurna melenyapkan leleran batin (āsava), tetapi dengan perawakannya yang paling kecil di antara delapan puluh mahathera, tidak lebih besar dari seorang samanera, seperti anak kecil bisa yang diajak bermain.
Suatu hari, dia berada di depan gerbang Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha ketika tiga puluh bhikkhu dari daerah itu sampai di pintu gerbang dalam perjalanan memberi penghormatan kepada Sang Buddha juga.
Ketika melihat thera ini, mereka mengira dia adalah samanera; mereka menarik ujung jubahnya, mereka memegang tangannya, memegang kepalanya, mencubit hidungnya dan menarik telinganya kemudian mengguncangnya dan memperlakukannya dengan sangat kasar; kemudian setelah meletakkan patta dan jubah, mereka menghampiri Sang Guru dan memberi hormat kepada-Nya.
Kemudian mereka bertanya kepada Beliau, “Bhante, kami tahu bahwa Anda memiliki seorang thera yang bernama Lakuntaka yang baik, seorang pengkhotbah yang manis. Di manakah dia?” “Kalian ingin bertemu dengannya?” tanya Sang Guru. “Ya, Bhante.” “Dia adalah orang yang kalian jumpa di gerbang tadi, orang yang kalian tarik jubahnya dan yang kalian perlakukan dengan sangat kasar sebelum kalian datang ke sini.” “Mengapa, Bhante,” tanya mereka, “mengapa dia seorang yang memiliki keyakinan, yang beraspirasi tinggi, seorang siswa sejati—mengapa dia kelihatan sangat tidak berarti?” “Dikarenakan perbuatan buruknya sendiri,” jawab Sang Guru.
Atas permintaan mereka, Beliau kemudian menceritakan kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Brahmadatta tidak tahan melihat apa saja yang tua atau lemah, apakah itu gajah, kuda, sapi, atau apa saja. Dia sangat nakal, dan apabila melihat yang seperti itu, dia akan mempermainkan mereka; gerobak-gerobak tua dihancurkannya, dan wanita-wanita tua yang dilihatnya akan dipanggil, lalu Brahmadatta memukul perut mereka, kemudian menyuruh mereka berdiri lagi dan membuat mereka menjadi takut; dia menyuruh laki-laki tua bergulingan dan bermain di tanah layaknya pemain akrobat. Bila dia tidak melihat mereka, tetapi hanya mendengar ada laki-laki tua di kota anu, [143] maka dia akan memanggilnya dan mempermainkannya.
Dikarenakan hal ini, orang-orang dengan alasan perbuatan yang memalukan itu, mengirim orang tua mereka ke luar dari batas wilayah kerajaan. Tidak ada lagi orang yang merawat ibu dan ayah mereka. Teman-teman raja sama nakalnya seperti raja. Setelah orang-orang meninggal, mereka memenuhi penghuni keempat alam rendah110; penghuni alam dewa menjadi semakin menyusut.
Sakka melihat tidak ada pendatang baru di antara para dewa, maka dia pun mencari apa yang dapat dilakukannya. Pada akhirnya, dia menemukan suatu cara. “Saya akan membuatnya menjadi baik!” pikir Sakka. Dia pun menjelma menjadi orang tua dan meletakkan dua kendi susu di sebuah kereta yang sangat tua yang ditarik oleh sepasang sapi tua, kemudian berangkat pada suatu hari perayaan.
Brahmadatta, dengan menunggangi gajah yang dihiasi secara mewah, sedang berkeliling kota yang juga telah dihiasi semuanya; dan Sakka, dengan berpakaian compang-camping, mengendarai keretanya, datang menjumpai raja. Ketika raja melihat kereta tua, dia berteriak, “Kamu, pergilah dengan keretamu itu!” Tetapi orang-orangnya menjawab, “Di mana itu, Paduka? Kami tidak melihat satu kereta pun!” (Sakka dengan kekuatannya membuat dia tidak dapat dilihat oleh siapa pun kecuali raja).
Dan, menghampiri raja berulang kali, akhirnya Sakka yang masih mengendari keretanya menghancurkan salah satu kendinya di atas kepala raja dan membuatnya berpaling, kemudian dia menghancurkan yang satunya lagi dengan cara yang sama. Dan susu itu pun mengucur dari kedua sisi kepala raja. Demikianlah raja itu dipermainkan dan disiksa, dibuat menderita oleh kelakuan Sakka.
Ketika melihatnya demikian menderita, Sakka membuat keretanya hilang dan kembali ke wujud asalnya. Dengan melayang di tengah udara, petir di tangannya, dia mengecamnya—“Wahai Raja yang Jahat dan yang Tidak Benar, apakah Anda sendiri tidak akan menjadi tua? Tidakkah usia tua menyerang dirimu nantinya? Anda masih saja mempermainkan dan mengganggu, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk terhadap orang yang tua! Dikarenakan dirimu seorang, dan kelakuanmu ini, setiap orang yang meninggal akan memenuhi keempat alam rendah, dan orang-orang tidak bisa merawat orang tua mereka! Jika Anda tidak menghentikan ini, akan kubelah kepalamu dengan petir batu permataku. Pergilah, dan jangan melakukannya lagi.”
Setelah mengucapkan kecaman ini, Sakka memaparkan nilai-nilai dari orang tua dan memaparkan berkah dari menghormati orang yang tua. Kemudian dia kembali ke kediamannya sendiri.
Sejak saat itu, raja tidak pernah lagi terpikir untuk melakukan apa yang biasa dilakukan sebelumnya.


[144] Kisah ini berakhir, Dia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya, mengulangi dua bait berikut:—
Angsa, bangau, gajah dan rusa,
meskipun semuanya tidak sama,
tetapi mereka sama-sama takut terhadap singa.
Demikianlah seorang anak bisa menjadi hebat
jika dia pandai;
Orang bodoh mungkin saja besar,
tetapi tidak akan pernah bisa menjadi hebat111.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, sebagian bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi dan sebagian lagi mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Lakuṇṭaka (Lakuntaka) yang baik adalah raja pada kisah tersebut, yang membuat orang-orang sebagai sasaran dari olok-olokannya dan kemudian dia sendiri juga menjadi sasaran, sedangkan Aku adalah Sakka.”

Catatan kaki :
110 apāya yaitu neraka, alam hewan, alam peta (hantu), alam asura (makhluk semidewa).
111 Baris-baris ini muncul di Samyutta-Nikāya, pt. II. XXI. 6 (ii. hal. 279, ed. P. T. S.).

BANDHANĀGĀRA-JĀTAKA

[139] “Bukan belenggu-belenggu besi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang rumah tahanan.
Kala itu diceritakan terdapat sekelompok pencuri, perampok dan pembunuh yang tertangkap dan dibawa secara paksa ke hadapan Raja Kosala. Sang raja memerintahkan untuk mengikat mereka dengan rantai-rantai, tali-tali, dan belenggu-belenggu.
Tiga puluh bhikkhu desa, yang berniat untuk menjumpai Sang Guru, datang untuk menjenguk-Nya dan memberikan salam hormat mereka. Keesokan harinya, sewaktu sedang berpindapata, mereka melewati rumah tahanan itu dan melihat orang-orang jahat tersebut.
Pada sore harinya, sekembalinya dari berkeliling, mereka menghampiri Sang Buddha. “Bhante,” kata mereka, “hari ini, ketika sedang berpindapata, kami melihat di dalam rumah tahanan terdapat sejumlah penjahat yang terikat ketat oleh rantai-rantai dan belenggu-belenggu, berada dalam keadaaan yang sangat menderita. Mereka tidak dapat memutuskan belenggu-belenggu tersebut dan melarikan diri. Adakah belenggu yang lebih kuat dari yang belenggu-belenggu ini?”
Sang Guru membalas, “Para Bhikkhu, benar bahwasanya itu adalah belenggu. Akan tetapi, belenggu yang terdiri dari nafsu terhadap kekayaaan, hasil panen, putra, istri dan anak, lebih kuat dari itu seratus kali lipat, bahkan seribu kali lipat. Walaupun belenggu-belenggu itu sulit untuk dilepaskan, tetapi mereka berhasil diputuskan oleh orang bijak di masa lampau, yang pergi ke Himalaya dan menjadi petapa.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah Benares, Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga yang miskin. Ketika dia tumbuh dewasa, ayahnya meninggal. Dia mencari nafkah dan menghidupi ibunya. Ibunya, bertentangan dengan kehendaknya, membawakan seorang istri ke rumah untuknya dan segera setelah itu dia meninggal.
Istrinya kemudian mengandung. Tanpa mengetahui bahwa istrinya telah mengandung, dia berkata kepada istrinya, “Istriku, Anda harus menghidupi dirimu sendiri sekarang, saya akan meninggalkan keduniawian.” Kemudian istrinya berkata, “Tidak, karena saya sedang mengandung. [140] Tunggu dan lihatlah anak tersebut lahir dan baru setelah itu pergi dan jadilah petapa.”
Mendengar perkataan ini, dia pun menyetujuinya. Kemudian setelah istrinya melahirkan, dia berkata, “Istriku, sekarang Anda telah melahirkan dengan selamat, dan saya harus menjadi petapa.” “Tunggulah,” kata istrinya, “sampai anak ini berhenti menyusu.” Dan setelah itu, istrinya mengandung lagi.
“Jika saya (selalu) menyetujui permintaannya,“ pikir Bodhisatta, “saya tidak akan pernah bisa pergi. Saya akan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun kepadanya, dan menjadi seorang petapa.” Maka dari itu, dia tidak mengatakan apa pun kepadanya, bangun pada malam hari dan pergi. Para penjaga kota menahannya. “Saya mempunyai seorang ibu untuk dijaga,” katanya—“biarkan saya pergi!”
Demikian dia membuat mereka melepaskannya pergi, dan setelah berdiam di suatu tempat, dia melewati gerbang utama dan menuju ke Himalaya, tempat dia tinggal sebagai seorang petapa; dia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi dalam dirinya di saat dia tinggal dalam kebahagiaan meditasinya.
Ketika tinggal di sana, dia merasa bahagia dan berkata—“Ikatan dari istri dan anak, ikatan dari hawa nafsu, yang sangat susah untuk diputuskan, telah terputus!” dan dia mengulangi bait berikut:—
Bukan belenggu-belenggu besi—yang dikatakan oleh para bijak—
bukan tali-tali atau tiang-tiang kayu, yang mampu mengikat
sekuat hawa nafsu dan cinta terhadap anak atau istri,
terhadap batu permata dan batangan emas.
Belenggu-belenggu yang kuat ini siapakah di sana
yang bisa menemukan pembebasan dari semua ini?—
Ini semua adalah belenggu-belenggu yang mengikat:
Jikalau yang bijak dapat memutuskannya,
maka mereka akan bebas, melepaskan semua cinta dan hawa nafsu!”
[141] Dan Bodhisatta, setelah mengutarakan tekad ini, tanpa terputus dalam meditasi (jhana), akhirnya mencapai alam brahma.


Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran: Di akhir kesimpulan dari kebenaran-kebenaran, sebagian mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi sebagian mencapai tingkat kesucian Anāgāmi dan sebagian mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Dalam kisah tersebut, Mahāmāyā adalah sang ibu, Raja Suddhodana adalah sang ayah, Ibunya Rāhula adalah sang istri, Rāhula sendiri adalah sang anak, dan Aku adalah orang yang meninggalkan keluarganya dan menjadi seorang petapa.”

Kamis, 16 Agustus 2012

SĀDHUSĪLA-JĀTAKA

“Yang satu tampan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana.
Orang ini, diceritakan, mempunyai empat putri. Empat laki-laki datang untuk melamar mereka; yang satu tampan, yang satu tua dan dewasa, yang satu seorang laki-laki dari keluarga terpandang, dan yang satunya lagi adalah orang yang memiliki moralitas.
Dia berpikir di dalam hatinya, “Ketika seseorang hendak menikahkan putri-putrinya, kepada siapakah seharusnya mereka dinikahkan? Laki-laki yang tampan atau yang agak tua, atau salah satu di antara dua yang lain, seorang keturunan bangsawan atau yang berbudi luhur (memiliki moralitas)?” Dia memikirkannya, tetapi tidak dapat memutuskan.
Maka dia berpikir untuk memberitahukan masalah ini kepada Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha), yang pasti tahu jawabannya, dan Beliau akan memberikan gadis-gadis ini kepada pelamar yang paling cocok. Jadi dia mempersiapkan sejumlah wewangian dan untaian bunga, kemudian mengunjungi wihara. Setelah memberi hormat kepada Sang Guru, dia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Beliau semuanya, mulai dari awal sampai akhir; kemudian dia bertanya, “Kepada siapakah dari keempat orang ini harus saya berikan putriputriku?”
Atas pertanyaan ini, Sang Guru menjawab, “Di masa lampau, sama seperti sekarang ini, orang bijak menanyakan pertanyaan ini; tetapi karena kelahiran berulang-ulang telah membuat ingatanmu menjadi kabur, Anda tidak dapat mengingat hal itu kembali.”
Dan kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra seorang brahmana. Dia tumbuh dewasa dan mendapatkan pendidikannya di Takkasilā; dan sekembalinya ke rumah, dia menjadi seorang guru yang terkenal.
Kala itu di sana terdapat seorang brahmana yang mempunyai empat orang putri. Empat putri ini dilamar oleh empat orang seperti yang diceritakan di atas. Brahmana ini tidak dapat memutuskan kepada siapa dia harus nikahkan putri-putrinya.
“Saya akan bertanya kepada guru,” pikirnya, “dan beliau akan memberi tahu kepada siapa mereka harus dinikahkan.” Maka dia pergi menghadap gurunya dan mengulangi bait pertama:
Yang satu tampan, satunya lagi dewasa;
satunya lagi keturunan bangsawan,
dan satunya lagi memiliki moralitas.
Berikanlah jawaban atas pertanyaanku ini, Brahmana;
dari keempat ini manakah yang kelihatannya terbaik?
[138] Mendengar ini, guru menjawab, “Meskipun memiliki ketampanan dan kualitas lain sejenisnya, seseorang akan dipandang rendah jika dia tidak memiliki moralitas. Oleh karena itu, yang lain-lainnya bukanlah ukuran dari seorang laki-laki; yang saya suka adalah yang memiliki moralitas.”
Dan untuk menjelaskan hal ini, beliau mengulangi bait kedua:
Ketampanan adalah hal yang bagus:
Yang tua memiliki kehormatan, ini adalah hal yang benar:
Keturunan bangsawan adalah hal yang bagus;
tetapi yang memiliki moralitas—moralitas, itu adalah pilihanku.
Setelah mendengar ini, brahmana tersebut memberikan semua putrinya kepada pelamar yang berbudi luhur.


Sang Guru, setelah mengakhiri khotbah ini, memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenarannya, brahmana itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:— “Brahmana ini adalah brahmana yang sama pada masa itu, dan guru yang terkenal itu adalah diri-Ku sendiri.”

GAHAPATI-JĀTAKA

“Saya tidak suka ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru, tentang seorang bhikkhu yang menyesal, ketika berdiam di Jetavana dan dalam pembicaraannya, Beliau berkata, “Kaum wanita tidak pernah bisa dijaga dengan baik; bagaimanapun juga mereka akan melakukan perbuatan salah dan menipu suami mereka.”
Dan kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau berikut.


Dahulu kala di masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta lahir di daerah Kerajaan Kāsi sebagai putra seorang perumah tangga. Setelah tumbuh dewasa, dia menikah dan tinggal menetap sebagai perumah tangga. Adapun istrinya adalah seorang wanita jahat dan dia berselingkuh dengan kepala desa. Bodhisatta mendengar kabar angin itu dan berpikir dalam hatinya bagaimana dia dapat mengujinya.
[135] Pada waktu itu, semua biji-bijian telah habis terendam selama musim hujan dan terjadi kelaparan. Tetapi waktu itu, padi mulai bertunas. Semua penduduk desa datang bersama dan memohon bantuan dari kepala desa mereka, sambil berkata, “Dua bulan dari sekarang, ketika panen, kami akan membayarmu kembali.” Mereka pun mendapatkan seekor sapi tua darinya dan memakannya.
Suatu hari, kepala desa itu melihat kesempatannya dan saat Bodhisatta pergi merantau, dia mengunjungi rumah tersebut.
Saat mereka baru mulai bersenang-senang, Bodhisatta berjalan kembali dari gerbang desa menuju ke rumah. Wanita tersebut sedang memandang ke arah gerbang desa dan melihatnya. “Mengapa, siapakah ini?” tanyanya dalam hati sewaktu melihat Bodhisatta yang sedang berdiri di ambang pintu. “Itu adalah dia!” Wanita tersebut mengenalinya dan dia memberi tahu kepala desa. Kepala desa tersebut gemetaran ketakutan. “Jangan takut,” kata wanita itu, “saya mempunyai suatu rencana. Anda tahu bahwa kami mendapat daging darimu untuk dimakan: berpura-puralah seakan-akan Anda sedang menagih pembayaran untuk daging itu, saya akan memanjat ke lumbung dan berdiri di pintu itu sambil meneriakkan, ‘Tidak ada padi di sini!’ sedangkan Anda harus berdiri di tengah ruangan dan bersikeras dengan berteriak berulang-ulang kali, ‘Saya punya anak-anak di rumah; berikanlah bayaran untuk daging itu!’
Sambil berkata demikian, wanita tersebut memanjat ke atas lumbung dan duduk di dekat pintunya. Yang satunya lagi berdiri di tengah rumah dan berteriak, “Berikan saya bayaran untuk daging itu.” Sedangkan wanita tersebut menjawab, sambil duduk, “Tidak ada padi di dalam lumbung; Saya akan membayarnya ketika musim panen tiba; jangan ganggu saya sekarang!”
Perumah tangga yang baik itu masuk ke dalam rumah dan melihat apa yang sedang mereka lakukan. “Ini pasti rencana wanita jahat itu,” pikirnya, dan dia berkata kepada kepala desa, “Tuan Kepala Desa, ketika kami memakan daging sapi tua milikmu, kami telah berjanji untuk memberimu beras dalam waktu dua bulan. Setengah bulan pun belum berlalu; jadi mengapa Anda mencoba untuk menagihnya sekarang? Itu bukanlah alasan Anda berada disini; Anda pasti datang untuk hal yang lain. Saya tidak suka cara-caramu. Wanita jahat di sana yang melakukan perbuatan salah; sudah tahu tidak ada beras di dalam lumbung, tetapi dia memanjat ke atas dan duduk di sana, sambil berteriak, [136] ‘Tidak ada beras di sini!’ dan Anda berteriak, ‘Berikanlah!’ Saya tidak suka perbuatan kalian berdua!” Dan untuk membuatnya lebih jelas, dia mengucapkan bait berikut:—
Saya tidak suka ini, saya tidak suka itu;
Saya tidak suka wanita itu, yang berdiri di lumbung
dan berteriak, ‘Saya tidak bisa membayarnya!’
Tidak juga Anda, tidak juga Anda, Tuan!
Sekarang dengar:—harta dan perbekalanku sedikit;
Anda memberikan kepadaku seekor sapi yang kurus
dan waktu dua bulan untuk membayarnya;
Sekarang, sebelum harinya, Anda menagih kepadaku!
Saya sama sekali tidak menyukainya.
Setelah berkata demikian, dia menarik rambut kepala desa itu, menyeretnya ke luar, ke halaman, menjatuhkannya, dan ketika kepala desa itu berteriak, “Saya adalah kepala desa!” dia mencemoohnya—“Tolong, ganti rugi, atas kerusakan harta benda orang lain!” sambil memukulinya sampai pingsan. Kemudian dia menarik lehernya dan melemparnya ke luar rumah. Dia menarik rambut wanita jahat itu, menyeretnya ke luar dari lumbung, menjatuhkannya ke bawah dan mengancamnya—“Jika Anda melakukan hal seperti ini lagi, akan kupastikan Anda tetap mengingatnya!”
Sejak saat itu, kepala desa bahkan tidak berani melihat ke rumah tersebut, dan wanita itu tidak berani melakukan perbuatan salah bahkan hanya di dalam pikirannya.


[137] Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran, di akhir kebenarannya, bhikkhu yang menyesal tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Perumah tangga baik yang menghukum kepala desa itu adalah diri-Ku sendiri.”

RĀDHA-JĀTAKA

“Saya sudah pulang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal.
Diceritakan bahwasanya Sang Guru bertanya kepadanya apakah dia benar-benar adalah seorang bhikkhu yang menyesal, dan dia mengiyakannya. Sewaktu ditanyakan apa alasannya, dia menjawab, “Karena nafsuku timbul ketika melihat wanita dengan dandanannya.”
Kemudian Sang Guru berkata, “Bhikkhu, tidak ada yang bisa menjaga wanita sepenuhnya. Di masa lampau, para penjaga ditempatkan untuk menjaga pintu-pintu, tetapi masih saja mereka tidak bisa menjaganya agar aman; bahkan setelah Anda mendapatkannya, Anda tidak akan dapat mempertahankannya.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan ke dunia sebagai seekor burung nuri. Namanya adalah Rādha (Radha) dan adiknya yang paling bungsu bernama Poṭṭhapāda (Potthapada). Sewaktu masih sangat muda, keduanya tertangkap oleh seorang penangkap burung dan diberikan kepada seorang brahmana di Benares. Brahmana itu memelihara mereka seperti anaknya sendiri. [133] Tetapi istri brahmana tersebut adalah wanita yang jahat, tidak bisa dijaga.
Suaminya kemudian harus bepergian untuk melaksanakan tugasnya dan berkata kepada burung-burung mudanya sebagai berikut, “Tāta 109 , saya akan pergi untuk melaksanakan tugasku. Jagalah ibumu setiap saat; perhatikanlah apakah ada laki-laki lain yang mengunjunginya.” Kemudian dia pergi, meninggalkan istrinya dalam pengawasan burung-burung mudanya.
Setelah dia pergi, wanita itu mulai melakukan perbuatan salah; siang dan malam tamu-tamu datang dan pergi—tidak ada habisnya. Potthapada, yang memerhatikan hal ini, berkata kepada Radha—“Tuan kita memercayakan wanita ini kepada kita dan sekarang dia melakukan perbuatan yang salah. Saya akan berbicara kepadanya.” “Jangan,” kata Radha. Tetapi Potthapada tidak mendengarkannya. “Bu,” katanya, “mengapa Anda melakukan perbuatan yang salah?” Betapa wanita itu ingin membunuhnya! Tetapi dengan berpura-pura seakan-akan dia hendak membelainya, dia memanggilnya, “Tāta, kamu adalah putraku! Saya tidak akan pernah melakukannya lagi! Kemarilah, Sayang!” Maka dia pun keluar; kemudian wanita itu menangkapnya dan sambil berteriak, “Apa! Kamu menceramahiku! Kamu tidak tahu diri!” Kemudian wanita itu menekan lehernya dan melemparnya ke tungku.
Brahmana tersebut pulang. Setelah beristirahat, dia bertanya kepada Bodhisatta: “Baiklah, Tāta, bagaimana dengan ibumu — apakah dia melakukan perbuatan yang salah atau tidak?” dan sambil bertanya, dia mengulangi bait pertama:—
Saya sudah pulang, perjalanan telah selesai
dan sekarang saya di rumah lagi;
Ayo katakan padaku; apakah ibumu setia?
Apakah dia berselingkuh dengan laki-laki lain?
Radha menjawab, “Ayah, para bijak tidak akan mengatakan hal-hal yang tidak mendatangkan kebaikan, baik itu telah terjadi maupun tidak terjadi.” Kemudian dia menjelaskannya dengan mengulangi bait kedua: [134]
Karena apa yang dikatakannya sekarang dia
terbaring mati, terbakar menjadi abu di sana;
Tidaklah baik untuk mengatakan kebenarannya,
kalau tidak, saya akan bernasib seperti Potthapada.
Demikian Bodhisatta menguraikannya kepada brahmana itu, kemudian dia melanjutkan—“Ini juga bukanlah tempat yang cocok untuk kutempati,” kemudian setelah mengucapkan selamat tinggal kepada brahmana tersebut, dia terbang pergi ke dalam hutan.


Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, bhikkhu yang menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Ānanda adalah Poṭṭhapāda (Potthapada), dan Aku sendiri adalah Rādha (Radha).”

Catatan kaki :
108 Ada banyak versi dari cerita ini. Bandingkan dengan Gesta Romanorum, (Early Eng. Text Soc.), no. 45, hal. 174 ff.; Boke of the Knight de la Tour Landry (serial sama), hal. 22. Bandingkan dengan no. 145.
109 sebutan kasih atau ramah atau penuh hormat untuk (orang) yang lebih muda atau lebih tua, lebih rendah atau tinggi statusnya. Sering kali di dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah ‘Friend’ atau ‘Dear’, yang biasanya diterjemahkan menjadi, ‘Teman’ atau ‘Yang terkasih.’

MITTĀMITTA-JĀTAKA

“Dia tidak tersenyum,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Sāvatthi, tentang seorang bhikkhu.
Bhikkhu ini mengambil sepotong kain yang disimpan oleh gurunya karena merasa yakin jika dia mengambilnya, gurunya tidak akan marah. Kemudian dia membuat sebuah tas sepatu dari kain itu, dan pergi. Ketika gurunya menanyakan mengapa dia mengambilnya, dia membalas bahwa dia merasa yakin jika dia melakukannya, maka gurunya tidak akan marah.
Guru tersebut menjadi kalap, [131] bangkit dan memukulnya. “Keyakinan apakah yang ada di antara Anda dan saya?” tanyanya.
Kejadian ini tersebar sampai kepada para bhikkhu lainnya. Suatu hari mereka berkumpul bersama membicarakan hal ini di dalam balai kebenaran. “Āvuso, bhikkhu muda anu merasa sangat yakin terhadap persahabatan antara dia dan gurunya, oleh karenanya dia mengambil sepotong kain dan membuatnya menjadi sebuah tas sepatu. Kemudian guru tersebut menanyakan kepadanya keyakinan apa yang ada di antara mereka, dan menjadi marah, bangkit dan memukulnya.” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk bersama di sana. Mereka memberi tahu Beliau.
Kemudian Beliau berkata, “Ini bukanlah yang pertama kalinya, Para Bhikkhu, orang tersebut telah mengecewakan kepercayaan temannya. Dia melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra seorang brahmana di dalam Kerajaan Kāsi. Ketika tumbuh dewasa, dia meninggalkan keduniawian; dia mengembangkan kesaktian, pencapaian meditasi di dalam dirinya, dan berdiam di daerah Himalaya dengan sekelompok pengikutnya.
Salah seorang dari kelompok petapa ini tidak mematuhi perkataan Bodhisatta dan memelihara seekor anak gajah yang kehilangan induknya. Makhluk ini, seiring berjalannya waktu, tumbuh menjadi besar, kemudian membunuh tuannya dan pergi kabur ke dalam hutan.
Petapa-petapa tersebut melakukan upacara pemakamannya, dan kemudian datang menjumpai Bodhisatta, menanyakan pertanyaan ini kepadanya, “Guru, bagaimanakah kita mengetahui bahwa seseorang itu adalah kawan atau lawan?”
Bodhisatta menyatakan ini kepada mereka dalam bait-bait berikut:—
Dia tidak tersenyum ketika bertemu dengannya,
tidak ada sambutan yang diberikan olehnya,
Dia tidak mau melihatnya, dan menjawabnya
dengan kata ‘tidak’.
Ini adalah tanda-tanda dari musuhmu yang dapat dilihat:
Jika seorang bijak melihat dan mendengar ini,
maka dia akan mengetahui musuhnya.
[132] Dalam kata-kata ini, Bodhisatta menyatakan tanda-tanda dari kawan dan lawan. Setelah itu, dia mengembangkan kediaman luhur dan masuk ke alam brahma.


Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Bhikkhu yang ditanya adalah petapa yang memelihara anak gajah, gurunya adalah gajah tersebut, para pengikut Buddha adalah kelompok petapa tersebut, dan Aku adalah pemimpin mereka.”

VALĀHASSA-JĀTAKA

“Mereka yang mengabaikan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal.
Ketika Sang Guru menanyakannya apakah benar kalau dia adalah seorang bhikkhu yang menyesal, bhikkhu tersebut menjawab bahwa itu benar. Ketika ditanyakan apa alasannya, dia menjawab bahwa nafsunya bangkit ketika melihat seorang wanita yang berpakaian indah.
Kemudian Sang Guru berkata kepadanya sebagai berikut, “Bhikkhu, wanita menggoda laki-laki dengan bentuk badan dan suara mereka, wewangian, minyak wangi, dan sentuhan, serta dengan tipu muslihat dan permainan mereka; demikianlah mereka mendapatkan laki-laki di dalam kekuasaan mereka; dan segera setelah mereka merasa bahwa semua ini telah berhasil, mereka menghancurkan laki-laki, sifat, kekayaan dan semuanya dengan cara-cara jahat mereka. Ini menyebabkan mereka mendapat julukan yaksa wanita.
Di masa lampau juga, sekelompok yaksa wanita menggoda sekelompok karavan pedagang dan menguasai mereka. Setelah itu, ketika mereka melihat laki-laki yang lainnya, mereka membunuh semua orang dari kelompok pertama itu dan kemudian memangsa mereka, mengunyah mereka dengan gigi mereka, dan darah mengalir turun dari kedua pipi mereka.”
Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, di Pulau Ceylon 104 terdapat sebuah kota yaksa yang disebut Sirīsavatthu, dan dihuni oleh para yaksa wanita. Ketika sebuah kapal karam, para yaksa wanita ini merias dan mendandani diri mereka sendiri, dan sambil membawa nasi dan bubur, dengan rombongan pelayan dan anak-anak mereka di pinggul, mereka menghampiri para pedagang tersebut. [128] Untuk membuat mereka berpikir bahwa di sana adalah kota (hunian) manusia, para yaksa wanita tersebut membuat mereka melihat di sana dan di sini para laki-laki yang sedang membajak dan menggembalai sapi, segerombolan ternak, anjing dan sebagainya.
Kemudian setelah menghampiri pedagang-pedagang itu, para yaksa wanita tersebut menawarkan kepada para pedagang untuk menyantap bubur, nasi dan makanan lain yang mereka bawa. Para pedagang, semuanya tidak sadar, memakan apa yang ditawarkan. Setelah mereka makan dan minum, dan ketika sedang beristirahat, para yaksa wanita itu menyapa mereka demikian, “Di mana kalian tinggal? Dari mana asal kalian? Hendak pergi ke mana, dan apa yang membawa kalian ke sini?” “Kami terdampar di sini,” jawab mereka. “Bagus sekali, Tuan-tuan Terhormat,” balas mereka, “tiga tahun telah berlalu sejak suami kami pergi berlayar, dan mungkin mereka telah mati. Kalian adalah pedagang juga, kami bersedia menjadi istri-istri kalian.” Demikianlah mereka menyesatkan para laki-laki itu dengan tipu muslihat wanita mereka, sampai mereka masuk ke dalam kota yaksa tersebut.
Kemudian jika mereka memiliki laki-laki lainnya yang sebelumnya telah mereka tangkap, mereka akan mengikat semuanya itu dengan rantai gaib dan melemparkan mereka ke dalam rumah penyiksaan. Dan jika mereka tidak menemukan para laki-laki yang terdampar di tempat mereka tinggal, maka mereka akan menyisir pantai sampai sejauh Sungai Kalyāṇi105 di satu sisi dan Pulau Nāgadīpa di sisi lainnya. Inilah cara mereka.
Suatu ketika, lima ratus pedagang yang kapalnya karam terdampar di pantai dekat kota para yaksa wanita itu. Para yaksa itu mendatangi mereka dan memikat mereka sampai mereka membawa para pedagang tersebut ke kota mereka; orang-orang yang mereka tangkap sebelumnya kemudian mereka ikat dengan rantai gaib dan dilemparkan ke rumah penyiksaan. Kemudian pemimpin yaksa wanita itu mengambil pemimpin pedagang tersebut, dan yaksa yang lainnya mengambil pedagang lainnya, sampai lima ratus yaksa mendapatkan lima ratus pedagang; dan mereka menjadikan para laki-laki itu sebagai suami mereka.
Kemudian pada malam harinya, ketika suaminya tidur, pemimpin yaksa wanita itu bangun dan pergi menuju ke rumah penyiksaan, membunuh beberapa laki-laki di sana dan memangsa mereka. Yang lain melakukan hal yang sama. Ketika pemimpin yaksa itu kembali setelah memangsa daging manusia, tubuhnya menjadi dingin. Pemimpin pedagang itu memeluknya dan mengetahui bahwa dia adalah seorang yaksa. [129] “Kelima ratus lainnya pastilah yaksa juga!” pikirnya dalam hati, “kami harus melarikan diri!”
Maka pada waktu subuh, ketika pergi mencuci mukanya, dia berkata kepada para pedagang lainnya dengan kata-kata berikut, “Mereka semua ini adalah yaksa, bukan manusia! Segera setelah mendapatkan para laki-laki lain yang terdampar, mereka akan menjadikan para laki-laki tersebut sebagai suami, dan akan memakan kita. Ayo, mari kita kabur!”
Dua ratus lima puluh dari mereka menjawab, “Kami tidak bisa meninggalkan mereka. Pergilah kalian jika kalian mau, tetapi kami tidak akan pergi.” Kemudian pemimpin pedagang tersebut dengan dua ratus lima puluh pedagang lainnya yang siap mematuhinya, melarikan diri mereka dikarenakan takut dengan para yaksa itu.
Pada masa itu, Bodhisatta dilahirkan ke dunia sebagai seekor kuda terbang106, seluruh badannya putih dan paruhnya seperti seekor gagak, dengan bulunya seperti rumput muñja107, mempunyai kekuatan gaib, dapat terbang di udara. Dari Himalaya dia terbang di udara sampai tiba di Ceylon. Di sana dia melewati kolam-kolam dan danau-danau, dan makan biji-bijian yang tumbuh liar di sana.
Dan ketika melewati tempat-tempat itu,  dia mengucapkan bahasa manusia sebanyak tiga kali dengan penuh welas asih, dengan berkata—“Siapa yang hendak pulang? Siapa yang hendak pulang?” Para pedagang itu mendengar apa yang diucapkannya dan berteriak—“Kami hendak pulang, Tuan!” sambil merapatkan tangan mereka beranjali dan mengangkatnya ke atas, ke dahi mereka, dengan penuh hormat. “Naiklah ke punggungku,” kata Bodhisatta.
Sebagian dari mereka naik ke atas punggungnya, sebagian bergelantungan pada ekornya, dan sebagian lagi tetap berdiri dengan sikap yang penuh hormat. Kemudian Bodhisatta mengangkat mereka semuanya, bahkan yang sedang memberi hormat kepadanya, dan mengangkut mereka semua, dua ratus lima puluh orang, ke negeri mereka dan menurunkan mereka di kediaman masing-masing; kemudian dia pulang kembali ke kediamannya.
Sedangkan para yaksa wanita itu, ketika para laki-laki lain datang ke tempat itu, membunuh dua ratus lima puluh orang yang masih tinggal di sana itu dan melahap mereka.


Sang Guru berkata, menunjukannya kepada para bhikkhu, “Para Bhikkhu, sebagian pedagang itu binasa karena jatuh di tangan para yaksa wanita, sedangkan sebagian lainnya dengan menuruti perintah kuda yang luar biasa itu masing-masing pulang dengan selamat ke rumah mereka; demikian juga, mereka yang mengabaikan nasihat para Buddha, para bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, upasika, [130] akan mendapatkan penderitaan yang besar di empat alam rendah, tempat mereka dihukum di bawah lima jenis ikatan dan lain sebagainya. Sedangkan mereka yang mendengarkan nasihat tersebut akan dapat terlahir dalam tiga kelahiran yang baik, enam alam dewa, dua puluh alam brahma, dan mencapai nibbana, mereka mencapai kebahagiaan yang terbesar.”
Kemudian Dia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya mengulangi bait-bait berikut:—
Mereka yang mengabaikan Buddha
ketika Beliau memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan,
seperti para yaksa memakan para pedagang itu,
demikianlah mereka akan binasa.
Mereka yang mendengarkan Buddha
ketika Beliau memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan,
seperti kuda terbang menyelamatkan para pedagang itu,
demikianlah mereka akan mendapatkan pembebasan.
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, dan banyak dari mereka mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi atau Arahat:—“Para siswa Buddha adalah dua ratus lima puluh orang yang menuruti nasihat kuda, dan Aku sendiri adalah kuda tersebut.”

Catatan kaki :
104 tambapaṇṇidīpa.
105 Kaelani-gaṅgā modern (Journ. of the Pāli Text Soc., 1888, hal. 20).
106 Di salah satu sisi tiang dari pagar Buddhist di Mathura terdapat seekor kuda terbang dengan orang-orang yang bergelantungan padanya, mungkin ini ditujukan pada kejadian ini (Anderson, Catalogue of the Indian Museum, I. Hal. 189).
107 Saccharum Muñja.

PABBATŪPATTHARA-JĀTAKA

“Sebuah danau yang menyenangkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Raja Kosala.
Diceritakan bahwa seorang pejabat istana berselingkuh di tempat kediaman para selir raja. Raja menyelidiki masalah ini, dan ketika mengetahui semuanya, dia memutuskan untuk memberitahu Sang Guru. Maka dia datang ke Jetavana dan memberi hormat kepada Sang Guru, menceritakan bagaimana seorang pejabat istananya berselingkuh dan menanyakan apa yang harus dilakukan olehnya.
Sang Guru menanyakan kepadanya apakah pejabat istana itu berguna baginya, dan apakah dia mencintai istrinya. “Ya,” jawabnya, “orang itu sangat berguna; dia adalah tangan kanan kerajaan. Dan saya mencintai wanita itu.” “Paduka”, Sang Guru menjawab, “jika pembantu berguna dan wanita dicintai, maka tidaklah perlu untuk mencelakai mereka. Di masa lampau juga, raja mendengarkan kata-kata dari orang bijak dan tidak memedulikan permasalahan seperti ini.” Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan di dalam keluarga pejabat istana. Ketika tumbuh dewasa, dia menjadi penasihat raja dalam urusan pemerintahan dan spiritual.
Kala itu, seorang pejabat istana berselingkuh di kediaman para selir raja, dan raja mengetahui hal itu. “Dia adalah seorang anak buah yang paling berguna,” pikirnya, “dan saya mencintai wanita itu. Saya tidak boleh menghancurkan keduanya. [126] Saya akan bertanya kepada orang bijak di kerajaan. Jika saya harus membiarkannya, maka saya akan membiarkannya; jika tidak, maka saya tidak akan membiarkannya.”
Dia memanggil Bodhisatta dan mempersilakannya duduk. “Pendeta Bijak,” katanya, “saya memiliki sebuah pertanyaan untukmu.” “Tanyakanlah, wahai Paduka! Saya akan menjawabnya,” balasnya. Kemudian raja menanyakan pertanyaannya dengan kata-kata dalam bait pertama berikut:—
Sebuah danau yang menyenangkan terbentang
di suatu kaki bukit yang indah,
tetapi serigala menggunakannya
meskipun dia tahu singa yang menjaganya.
“Pastinya,” pikir Bodhisatta, “salah satu pejabat istananya berselingkuh di kediaman para selir raja.” Kemudian dia mengulangi bait kedua berikut:
Di sungai yang besar hewan-hewan minum
sesuka hati mereka:
Jika Anda menyayanginya,
maka bersabarlah— sungai tetaplah sungai.
[127] Demikianlah orang yang bijak tersebut menasihati raja. Dan raja menuruti semua nasihat itu, dia memaafkan keduanya, menyuruh mereka pergi dan jangan berbuat zina lagi. Sejak saat itu hubungan mereka berakhir. Kemudian raja memberikan derma dan melakukan kebajikan, sampai akhir hidupnya, dia masuk sebagai penghuni alam surga.
Kemudian Raja Kosala juga, setelah mendengar uraian ini, memaafkan mereka berdua dan tetap bersikap biasa saja.

Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah penasihat bijak.”

MAṆICORA-JĀTAKA

“Tidak ada dewa di sini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika tinggal di Veḷuvana (Veluvana), tentang bagaimana Devadatta mencoba membunuh-Nya.
Mendengar bahwa Devadatta mencoba membunuh-Nya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya Devadatta mencoba membunuh-Ku; dia sudah pernah mencobanya dahulu dan gagal.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.


Dahulu kala Brahmadatta memerintah di Benares ketika Bodhisatta dilahirkan sebagai anak dari sebuah keluarga yang tinggal di desa yang tidak jauh dari kota.
Ketika dia tumbuh dewasa, mereka mencarikan seorang wanita muda dari Benares untuk dinikahkan dengannya. Dia adalah seorang gadis yang elok dan rupawan, cantik bagaikan bidadari dewa (apsara), luwes bagaikan tanaman menjalar, jelita bagaikan kinnara102. Namanya adalah Sujātā (Sujata); dia setia, berbudi luhur dan bertanggung jawab. Dia selalu bertindak sepatutnya terhadap suami dan orang tua suaminya. Gadis ini amat disayangi dan dihargai oleh Bodhisatta. [122] Demikianlah mereka hidup bersama dalam kebahagiaan, kesatuan dan kemanunggalan pikiran.
Suatu hari Sujata berkata kepada suaminya, “Saya ingin menemui ibu dan ayahku.” “Bagus sekali, Istriku,” balasnya, “persiapkanlah makanan secukupnya untuk perjalanan.” Dia meminta pelayannya memasak beragam jenis makanan dan meletakkan perbekalannya ke dalam kereta; karena dia yang mengendarai kereta, maka dia duduk di depan dan istrinya di belakang. Mereka menuju Benares, dan di tengah jalan mereka mengistirahatkan kereta, mandi dan makan. Kemudian Bodhisatta kembali naik ke keretanya dan duduk di depan, sedangkan Sujata yang telah mengganti pakaiannya dan merias diri duduk di belakang.
Ketika kereta memasuki kota, Raja Benares kebetulan sedang mengadakan upacara mengelilingi kota tersebut dengan menunggangi gajah kebesarannya; dan dia melewati tempat itu. Sujata telah turun dari kereta dan berjalan kaki di belakang. Raja melihatnya; kecantikannya menarik perhatiannya, sehingga dia jatuh cinta kepadanya. Dia memanggil salah satu pengawalnya. “Pergilah,” katanya, “cari tahu apakah wanita itu sudah bersuami atau belum.” Pengawal itu melakukan apa yang diperintahkan dan datang kembali melapor kepada raja, “Dia sudah memiliki suami,” katanya, “apakah Anda melihat laki-laki yang duduk di kereta di sana? Dia adalah suaminya.”
Raja tidak bisa menahan perasaan cintanya dan nafsu merasuki pikirannya. “Akan kucari cara untuk menyingkirkan orang ini,” pikirnya, “dan kemudian akan kudapatkan istrinya untukku sendiri.” Dengan memanggil seorang pengawalnya, dia berkata, “Teman, ambillah mahkota permata ini dan pergilah dengan gaya seolah-olah Anda hendak melewati jalan itu. Sewaktu Anda berjalan, jatuhkanlah ini ke dalam kereta laki-laki itu di sana.” Seraya berkata demikian, dia memberikan mahkota permata itu dan menyuruhnya pergi. Pengawal itu menerimanya dan pergi; sewaktu melewati kereta itu, dia menjatuhkannya ke dalamnya, kemudian dia kembali dan melapor kepada raja bahwa itu telah dilaksanakan.
“Saya telah kehilangan sebuah mahkota permata,” teriak raja. Semuanya pun menjadi ricuh. “Tutup seluruh gerbang!” perintah raja, “Tutup semua jalan keluar! Cari pencuri itu!” Pengawal raja mematuhi perintahnya. Seluruh kota dilanda kebingungan. Pengawal tersebut, dengan membawa serta beberapa orang bersamanya, mengarah ke Bodhisatta, berteriak, “He, hentikan keretamu! [123] Raja telah kehilangan sebuah mahkota permata; kami harus memeriksa keretamu!” Kemudian dia pun mencarinya, sampai akhirnya menemukan permata yang tadinya diletakkan olehnya sendiri. “Pencuri (mahkota) permata!” teriaknya, sambil menangkap Bodhisatta; mereka memukulinya dan menendangnya, kemudian mengikat tangannya ke belakang dan menyeretnya ke hadapan raja, sambil berteriak, “Lihatlah pencuri yang mengambil mahkota permata Anda!” “Penggal kepalanya!” perintah raja. Mereka mencambuknya dan menyiksanya di setiap sudut jalan dan melemparnya keluar kota dari gerbang selatan.
Sujata meninggalkan kereta, menjulurkan tangannya, berlari ke suaminya, sambil meratap, “Oh Suamiku, sayalah yang menyebabkanmu berada dalam keadaaan buruk ini!” Pengawal raja melempar Bodhisatta dengan tujuan memancung kepalanya. Ketika dia melihat ini, Sujata terpikir dengan kebaikan dan kebajikan dirinya, sambil merenung demikian di dalam hatinya, “Tidak ada dewa di sini yang cukup kuat untuk menahan tangan orang-orang yang kejam dan jahat itu, yang bertindak semena-mena terhadap orang yang bajik,” dengan menangis dan meratap, dia mengulangi bait pertama:—
Tidak ada dewa di sini; mereka pasti jauh sekali;—
Tidak ada dewa di alam ini yang cukup berkuasa;
Sekarang orang-orang jahat dan kejam bisa bertindak sesuka mereka,
karena di sini tidak ada yang berani mengatakan tidak kepada mereka.
Ketika wanita yang memiliki moralitas ini meratap demikian, maka takhta Sakka103, raja para dewa, menjadi panas karenanya. [124] “Siapa itu yang dapat membuatku turun sebagai raja dewa?” pikir Sakka. Kemudian dia mengetahui apa yang  terjadi. “Raja Benares,” pikirnya, “sedang melakukan suatu perbuatan kejam. Dia membuat Sujata yang baik menjadi menderita; sekarang juga saya harus ke tempat itu!” Maka turunlah dia dari alam dewa, dengan kekuatannya, dia menurunkan raja yang jahat itu dari gajah yang ditungganginya, dan meletakkannya di tempat hukuman, sedangkan Bodhisatta diangkatnya dan dihiasnya dengan segala jenis perhiasan, dan dipakaikan jubah raja kepadanya kemudian diletakkan di punggung gajah kerajaan. Algojo mengangkat kapak dan memenggal sebuah kepala—tetapi ternyata itu adalah kepala raja; dan ketika itu telah terpenggal, mereka baru mengetahui bahwa itu adalah kepala raja.
Sakka menunjukkan dirinya dan datang ke hadapan Bodhisatta, kemudian menabhiskannya menjadi raja, juga memerintahkan posisi permaisuri diberikan kepada Sujata. Dan ketika para pejabat istana, para brahmana, para penduduk dan yang lainnya melihat Sakka, raja dari para dewa, dengan gembira, mereka berkata, “Raja yang jahat telah dipenggal! Sekarang kita telah mendapat raja yang baik dari Sakka!” Kemudian Sakka melayang di udara dan berkata, “Raja kalian yang baik ini mulai sekarang akan memerintah dengan bijaksana. Jika raja tidak bijaksana, maka dewa akan menurunkan hujan tidak pada musimnya, dan pada musimnya dia tidak akan menurunkan hujan: bahaya kelaparan, bahaya wabah, bahaya perang—tiga ancaman bahaya ini akan mendatanginya.”
Demikian dia memberikan pelajaran kepada mereka, dan mengulangi bait kedua:
Untuknya tidak ada hujan yang turun pada musimnya,
tetapi, tidak pada musimnya, hujan turun terus-menerus.
Seorang raja turun dari langit menuju ke alam ini,
melihat alasan mengapa orang ini dipenggal.
[125] Demikian Sakka menasihati orang banyak, kemudian dia langsung menuju ke kediamannya. Lalu Bodhisatta memerintah dengan benar, dan kemudian terlahir sebagai penghuni alam surga.


Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah raja yang jahat, Anuruddha adalah Sakka, Sujātā (Sujata) adalah ibunya Rāhula, dan raja yang muncul atas pemberian Sakka adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
102 Makhluk aneh/semidewa, yang kadang bisa berupa seorang peri atau sesosok asura; kimpurisa.
103 India.

CULLA-PADUMA-JĀTAKA

“Ini tidak lain,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal (tidak puas).
Cerita pembuka ini akan dikemukakan di dalam Ummadantī-Jātaka97. Ketika bhikkhu ini ditanya oleh Sang Guru apakah benar bahwasanya dia itu seorang yang tidak puas, dia menjawab bahwa itu benar.
“Siapakah,” kata Sang Guru, “yang menyebabkan Anda tidak puas?” Dia menjawab bahwa dia telah melihat seorang wanita yang berpakaian bagus dan karena ditaklukkan oleh nafsulah menyebabkan dirinya tidak puas.
Kemudian Sang Guru berkata, “Bhikkhu, kaum wanita semuanya tidak berterima kasih dan tidak setia; orang-orang di masa lampau bahkan sangat bodoh sampai memberikan darah dari lutut kanan kepada mereka untuk diminum dan membuat mereka menyerahkan sepanjang hidup mereka, tetapi masih tidak berhasil mendapatkan hati mereka (wanita).”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.


[116] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra permaisuri. Pada hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Pangeran Paduma (Teratai). Setelah dirinya, lahir enam adik laki-laki. Satu per satu dari mereka bertujuh tumbuh dewasa, menikah dan menetap, hidup sebagai rekan-rekan raja.
Suatu hari raja memandang ke luar, ke halaman istana dan ketika sedang memandang, dia melihat pemuda-pemuda ini dengan pengikut yang banyak dalam perjalanan untuk melayaninya. Timbul kecurigaan bahwasanya mereka bermaksud untuk membunuhnya dan merebut kerajaannya. Jadi dia memanggil mereka dan dengan cara begini berkata kepada mereka, “Putra-putraku, kalian tidak boleh tinggal di kota ini. Jadi pergilah ke tempat lain dan setelah saya wafat, barulah kalian pulang kembali, ambillah kerajaan ini yang merupakan milik keluarga kita.”
Mereka setuju dengan kata-kata ayah mereka, dan pulang ke rumah sambil menangis dan meratap. “Bukan masalah ke mana kita akan pergi!” ratap mereka; dan membawa istri-istri mereka bersama, mereka meninggalkan kota dan melakukan perjalanan jauh.
Hingga sampailah mereka ke suatu hutan, tempat mereka tidak bisa mendapatkan makanan atau minuman. Dan karena tidak bisa menahan sakit karena kelaparan, mereka bertekad untuk menyelamatkan diri mereka dengan mengorbankan para wanita.
Mereka menangkap istri dari adik yang paling muda dan membunuhnya; mereka membagi tubuhnya menjadi tiga belas bagian dan memakannya. Tetapi Bodhisatta dan istrinya menyisihkan satu bagian dan memakan sisanya bersama.
Demikian yang mereka lakukan selama enam hari; membunuh dan memakan enam wanita; dan setiap hari Bodhisatta menyisihkan satu bagian, jadi dia mempunyai enam bagian yang disimpan. Pada hari ketujuh, yang lainnya hendak menangkap istri Bodhisatta untuk dibunuh, tetapi sebagai gantinya dia memberikan enam bagian yang telah disimpannya. “Makanlah ini,” katanya, “besok saya akan menanganinya.” Mereka semua makan daging tersebut, dan pada saat mereka tertidur, Bodhisatta dan istrinya melarikan diri.
Ketika mereka telah mencapai jarak tertentu, wanita tersebut berkata, “Suamiku, saya tidak bisa berjalan lebih jauh lagi.” Jadi Bodhisatta mengangkatnya di pundaknya dan pada saat matahari terbit, mereka keluar dari hutan. Ketika matahari telah terbit, wanita itu berkata—“Suamiku, saya haus!”
“Tidak ada air disini, Istriku!” katanya.
Tetapi dia memohonnya terus-menerus, sampai dia menusukkan pedangnya ke lutut kanannya, [117] dan berkata, “Tidak ada air, tetapi duduklah dan minumlah darah dari lututku.” Demikianlah yang dilakukan istrinya.
Hingga sampailah mereka ke Sungai Gangga yang sangat besar. Mereka minum, mandi dan makan semua jenis buah serta beristirahat di sebuah tempat yang nyaman. Dan di sana, dekat tikungan sungai, mereka membuat sebuah gubuk petapa dan tinggal di dalamnya.
Kala itu, seorang perampok di daerah hulu Sungai Gangga telah terbukti bersalah. Tangan, kaki, hidung dan telinganya telah dipotong, dia diletakkan di dalam sebuah perahu yang dihanyutkan ke sungai besar itu. Sampai tempat ini, dia terapung, sambil merintih keras kesakitan.
Bodhisatta mendengar rintihannya yang amat memilukan. “Selama saya hidup,” katanya, “tidak boleh ada makhluk malang yang mati untukku!” Dia pergi ke tepi sungai dan menyelamatkan orang itu. Dia membawanya ke gubuk dan dengan losion dan minyak, dia merawat lukanya. Tetapi istrinya berkata dalam hati, “Orang yang dikeluarkannya dari Sungai Gangga untuk dirawat ini adalah orang yang malas!” Dan dia selalu berjalan sambil meludah dikarenakan kejijikan terhadap orang tersebut.
Setelah luka orang tersebut mulai menutup, Bodhisatta membiarkannya berdiam di gubuk itu bersama dengan istrinya, dan dia membawakan segala jenis buah-buahan dari hutan untuk memberi makan kepada orang tersebut dan istrinya. Dan karena mereka berdiam bersama, istri Bodhisatta jatuh cinta kepada orang tersebut dan melakukan zina.
Kemudian dia berniat membunuh Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Suamiku, ketika berada di pundakmu di saat kita keluar dari hutan, saya melihat bukit di sana dan berjanji jika Anda dan saya selamat dan tidak terluka, saya akan memberikan persembahan kepada makhluk dewata yang ada di bukit itu. Sekarang makhluk dewata itu menghantuiku, dan saya berniat untuk memberikan persembahanku!” “Bagus sekali,” kata Bodhisatta, tanpa mengetahui muslihatnya. Dia pun mempersiapkan persembahan tersebut dan mengantar kepadanya benda-benda persembahan, dia mendaki puncak bukit itu. [118] Kemudian istrinya berkata kepadanya, “Suamiku, bukan makhluk dewata bukit ini, melainkan dirimulah pemimpin para dewataku! Kemudian sebagai penghormatan kepadamu, pertama saya akan mempersembahkan bunga-bunga ini dan berjalan dengan penuh hormat mengelilingimu dan Anda tetap berada di sebelah kananku, dan saya memberi hormat kepadamu: setelah itu, saya akan memberikan persembahanku kepada makhluk dewata bukit ini.” Sambil berkata demikian, dia mengarahkan suaminya menghadap ke tebing curam dan berpura-pura siap untuk memberi hormat dengan berpradaksina 98 . Demikianlah dia berada di belakang suaminya, dia memukul punggungnya dan melemparkannya ke bawah tebing itu. Kemudian dia berteriak dengan gembira, “Saya telah melihat punggung musuhku!” dan dia turun dari gunung kemudian pergi menjumpai kekasihnya.
Bodhisatta jatuh ke bawah tebing, tetapi dia tersangkut di dedaunan, di atas puncak pohon elo99 yang tidak berduri. Tetapi dia masih tetap tidak bisa turun dari bukit tersebut, jadi di sana dia duduk di antara ranting-ranting, sambil memakan buah-buah elo. Kebetulan di sana terdapat seekor kadal besar (iguana) yang biasanya memanjat dari kaki bukit tersebut dan memakan buah dari pohon elo ini. Hari itu, dia melihat Bodhisatta dan melarikan diri. Hari berikutnya, dia datang dan memakan beberapa buah dari sisi lain pohon itu. Lagi dan lagi dia datang, sampai akhirnya dia menjalin persahabatan dengan Bodhisatta.
“Bagaimana Anda bisa sampai ke tempat ini?” tanyanya; dan Bodhisatta menceritakan kepadanya. “Baiklah, jangan takut,” kata iguana; dan membawanya di punggungnya, dia turun dari bukit itu dan membawanya keluar dari hutan. Di sana dia menurunkannya di jalan besar, menunjukkan kepadanya jalan mana yang harus ditempuh, dan dia sendiri kembali ke dalam hutan.
Bodhisatta melanjutkan perjalanan ke sebuah desa dan tinggal di sana sampai dia mendengar kabar tentang kematian ayahnya. Mengetahui hal ini, dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Benares. Di sana dia mewarisi kerajaan milik keluarganya dan mendapatkan nama Raja Paduma; sepuluh kualitas seorang raja100 tidak diabaikannya dan dia memerintah dengan benar. Dia membangun enam balai distribusi dana (balai derma), satu di masing-masing ke empat gerbang, satu di tengah kota dan satunya lagi di depan istana; dan setiap harinya dia mendistribusikan derma sebesar enam ratus ribu keping uang.
Kala itu istrinya, sambil membawa kekasih di pundaknya, keluar dari hutan, dia pergi mengemis ke orang-orang, mengumpulkan nasi dan bubur untuk menghidupi kekasihnya. [119] Kalau dia ditanya apa hubungan laki-laki itu dengannya, dia akan menjawab, “Ibunya adalah kakak dari ayah saya, dia adalah sepupu saya 101 ; mereka memberikan diriku kepadanya. Walaupun dia akan menemui ajalnya, saya tetap akan memikul suamiku ini di pundakku, menjaganya, dan mengemis makanan untuk menopang hidupnya!”
“Betapa istri yang penuh pengabdian!” kata semua orang. Dan sejak saat itu, mereka memberinya lebih banyak makanan daripada sebelumnya. Beberapa dari mereka bahkan memberinya nasihat, berkata, “Janganlah hidup seperti ini. Raja Paduma adalah Raja Benares; dia telah menggemparkan seluruh India dengan kemurahan hatinya. Dia pastinya akan senang bertemu denganmu; Dia akan menjadi begitu gembira sehingga akan memberikanmu derma yang banyak. Taruhlah suamimu ke dalam keranjang ini dan temuilah beliau.” Berkata demikian, mereka membujuknya dan memberikannya satu keranjang daun.
Wanita jahat tersebut menaruh kekasihnya ke dalam keranjang itu dan sambil mengangkatnya, dia pergi ke Benares dan hidup dari apa yang didapatkannya dari balai distribusi dana. Bodhisatta sering menunggangi gajah kerajaan yang penuh perhiasan ke balai derma, dan setelah memberi derma kepada delapan atau sepuluh orang, dia akan pulang ke rumah lagi.
Kemudian wanita jahat itu menaruh kekasihnya ke dalam keranjang dan sambil mengangkatnya, dia berdiri di tempat yang biasa raja lewati. Raja melihatnya. “Siapakah dia?” tanya raja. “Seorang istri yang penuh pengabdian,” adalah jawabannya. Raja memanggilnya dan mengenali siapa dirinya. Raja memerintahkannya untuk menurunkan laki-laki itu dari keranjangnya, dan bertanya kepada wanita tersebut, “Apa hubungan laki-laki ini denganmu?”—“Dia adalah anak dari kakak ayah saya, diberikan kepadaku oleh keluargaku, suami saya sendiri,” jawabnya. “Ah, betapa seorang istri yang penuh pengabdian!” teriak semua orang, karena mereka tidak tahu seluk-beluknya; dan mereka memuji wanita jahat tersebut.
“Apa—orang rendah ini sepupumu? Apakah keluargamu memberikannya kepadamu?” tanya raja, “Suamimu, benarkah demikian?” Wanita tersebut tidak mengenali raja, dan, “Ya, Paduka!” katanya. “Dan inikah putra Raja Benares? Bukankah Anda istri Pangeran Paduma, putri dari seorang raja anu, namamu adalah anu? Bukankah Anda yang minum darah dari lututku? Bukankah Anda jatuh cinta kepada orang rendah ini, dan melempar saya ke bawah tebing? Ah, Anda pikir saya telah mati, dan di sini Anda berada, dengan kematian tertulis di dahimu sendiri—dan inilah saya, masih hidup!” [120] Kemudian dia menoleh ke arah pejabat istananya. “Ingatkah kalian tentang apa yang saya ceritakan, ketika kalian bertanya kepadaku? Enam adik-adikku membunuh enam istri mereka dan memakannya; tetapi saya melindungi istriku tanpa terlukai dan membawanya ke tepi Sungai Gangga, tempat saya tinggal di gubuk petapa. Saya menarik seorang pelaku kejahatan keluar dari sungai itu dan merawatnya. Wanita ini jatuh cinta kepadanya dan melempar saya ke bawah tebing, tetapi saya dapat menyelamatkan diriku dengan menunjukkan kebaikan. Ini tidak lain adalah wanita jahat yang melempar saya dari tebing itu: ini, dan tidak lain, adalah makhluk rendah yang dihukum itu!” Dan dia mengucapkan bait berikut:
Ini tidak lain, dan wanita rendah ini adalah dia;
Makhluk rendah yang tidak bertangan, tidak lain,
yang kalian lihat;
Kata wanita itu—‘Ini adalah suamiku.’
Para wanita pantas mati;
mereka tidak mempunyai kebenaran.
Dengan sebuah tongkat besar, pukullah makhluk rendah ini
sampai mati, yang berbaring menunggu untuk merampas istri orang lain.
Kemudian bawa wanita rendah yang setia ini segera,
potonglah hidung dan telinganya sebelum dia mati.
[121] Walaupun Bodhisatta tidak bisa menyembunyikan amarahnya dan menjatuhkan hukuman ini untuk mereka, tetapi dia tidak melakukan seperti itu; dia kemudian menahan amarahnya dan memerintahkan untuk mengikat keranjang tersebut ke kepala wanita itu dengan sangat kencang hingga dia tidak bisa melepasnya; makhluk rendah itu diletakkannya ke dalam keranjang dan mereka diusir keluar dari kerajaannya.

Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, bhikkhu yang menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, para thera anu adalah keenam bersaudara tersebut, Ciñcā adalah sang istri, Devadatta adalah pelaku kejahatan, Ānanda adalah iguana, dan Raja Paduma adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
96 Lihat Pañcatantra IV. 5 (Benfey, II hal. 305); Tibetan Tales, no. XXI. “How a Woman requites Love.”
97 No. 527.
98 Berjalan sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada objek yang dihormati; berpradaksina; paddakhiṇā.
99 udumbara; Ficus glomerata.
100 Rajadhamma: dāna (kedermawanan), sīla (moralitas), pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran), maddava (kelembutan), tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).
101 Di dalam versi Sansekertanya berbunyi “dia dianiaya oleh sanak saudara,” yang menyebabkan dia berada dalam keadaan seperti itu.

SIRI-KĀḶAKAṆṆI-JĀTAKA

“Sekalipun wanita dapat bersikap adil,” dan seterusnya. Kisah ini akan dikemukakan di Mahā-ummagga-Jātaka95.

Catatan kaki :
94 Bandingkan Tibetan Tales, XXI. pp. 291-5, “How a Woman Requites Love.”
95 No. 538 di Westergaard.

RUHAKA-JĀTAKA

“Bahkan tali busur yang putus,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai godaan yang timbul dari mantan istri.
Cerita pembuka ini akan dijelaskan di dalam Buku VIII, pada Indriya-Jātaka91. Kemudian Sang Guru mengatakan kepada bhikkhu ini, “Itu adalah wanita yang mencelakakanmu. Pada masa lampau, dia juga mempersulitmu di depan raja dan seluruh pejabatnya dan memberimu alasan yang tepat untuk meninggalkan rumahmu.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan oleh permaisurinya. Ketika dia tumbuh dewasa, ayahnya wafat; dan dia menjadi raja yang memerintah secara adil.
Bodhisatta memiliki seorang pendeta kerajaan bernama Ruhaka, dan Ruhaka ini menikahi seorang wanita brahmana tua. Raja memberikan brahmana itu seekor kuda yang dilengkapi dengan perhiasan-perhiasannya, lalu dia menunggangi kuda itu dan pergi untuk melayani raja.
Ketika dia sedang menunggangi kudanya yang penuh perhiasan, orang-orang di samping kiri dan kanannya memuji dengan suara keras: “Lihat kuda yang bagus itu!” teriak mereka, “cantik sekali!”
Ketika pulang, dia masuk ke rumahnya dan mengatakan kepada istrinya, [114] “Istriku yang baik,” katanya, “kuda kita berjalan dengan baik! Orang di samping kanan dan kiri semua memujinya.” Istrinya tidak lebih baik dari yang seharusnya dan penuh dengan kebohongan; jadi dia membalas suaminya demikian, “Ah, Suamiku, Anda tidak mengerti di mana keindahan kuda ini. Semuanya terletak pada perhiasannya yang bagus. Jika Anda ingin membuat dirimu sebagus kuda itu, pakailah perhiasan itu pada dirimu dan berjingkrak-jingkraklah di jalanan seperti seekor kuda92. Anda akan menemui raja dan dia akan memujimu, semua orang akan memujimu.”
Brahmana bodoh ini mendengar semua itu, tetapi tidak mengetahui apa yang direncanakan istrinya. Jadi dia percaya kepadanya dan melakukan sesuai apa yang dikatakannya. Semua yang melihatnya tertawa terbahak-bahak: “Ini guru yang hebat!” semua berkata. Lalu raja berteriak malu terhadapnya “Kenapa, Guruku,” katanya, “apakah ada yang salah dengan pikiranmu? Apakah Anda gila?”
Pada saat itu brahmana tersebut sadar dia telah berbuat salah dan dia merasa sangat malu. Jadi dia marah pada istrinya dan dia pulang dengan tergesa-gesa, berkata pada dirinya sendiri, “Wanita itu telah membuatku malu di depan raja dan seluruh pasukannya; saya akan menghukumnya dan mengusirnya!”
Tetapi wanita yang licik itu mengetahui bahwa dia pulang dalam keadaan marah; dia mengambil langkah terlebih dulu dan berangkat dari pintu samping kemudian pergi menuju istana, tempat dia tinggal selama empat atau lima hari.
Sewaktu raja mendengar tentang hal ini, dia memanggil pendeta kerajaannya dan berkata kepadanya, “Guruku, semua wanita melakukan kesalahan, Anda harus memaafkan wanita ini.” Kemudian dengan tujuan membuatnya memaafkan istrinya, dia mengucapkan bait pertama:
Bahkan tali busur yang putus dapat diperbaiki
dan menjadi utuh kembali;
Maafkanlah istrimu dan
janganlah menyimpan kemarahan di dalam dirimu.
[115] Mendengar ini, Ruhaka mengucapkan bait kedua:
Selama masih ada bahan93 dan pekerja juga,
akan mudah membeli tali busur yang baru.
Saya akan mencari istri yang baru;
sudah cukup terhadap yang satu ini.
Demikianlah dia mengusirnya dan menikahi wanita brahmana lain sebagai istrinya.


Sang Guru, setelah mengakhiri uraian ini, memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran itu, bhikkhu yang tergoda dikukuhkan pada tingkat kesucian Sotāpanna—“Pada masa itu, mantan istrinya adalah orang yang sama, Ruhaka adalah bhikkhu yang tergoda dan Aku sendiri adalah Raja Benares.”

Catatan kaki :
91 No. 423.
92 Bandingkan Pañcatantra IV. 6 (Benfey, II. hal. 307).
93 Teks tertulis mudūsu, ‘(kulit pohon) segar’, berasal dari serat yang kadang untuk membuat tali busur.

Sabtu, 11 Agustus 2012

SĪLĀNISAṀSA-JĀTAKA

[111] “Melihat buah perbuatan dari keyakinan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang upasaka yang berkeyakinan. Dia adalah seorang siswa mulia yang berkeyakinan dan bajik.
Suatu petang, dalam perjalanannya ke Jetavana, dia sampai ke tepi Sungai Aciravatī setelah para tukang perahu merapatkan perahu mereka ke daratan untuk pergi mendengarkan Dhamma. Karena tidak ada perahu yang terlihat di tepi sungai tersebut dan pikiran upasaka ini dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran yang sangat menyenangkan tentang Buddha, dia pun berjalan ke sungai tersebut89. Kakinya tidak tenggelam masuk ke dalam air. Dia berjalan jauh ke tengah sungai seperti berjalan di daratan; tetapi kemudian di sana dia melihat adanya ombak. Kemudian ketenangan pikirannya menjadi kacau dan kakinya mulai tenggelam. Dia kemudian memusatkan pikirannya kembali dan berjalan melewati sungai itu.
Kemudian dia sampai ke Jetavana, memberi salam kepada Sang Guru dan duduk di satu sisi. Sang Guru beruluk salam dengannya dan berkata, “Upasaka, Kuharap,” kata Beliau, “tidak ada halangan di dalam perjalananmu.” “Oh, Bhante,” balasnya, “dalam perjalananku, saya sangat meresapi renungan-renungan tentang Buddha hingga saya melangkahkan kaki ke sungai; tetapi saya melangkah di atasnya seperti di atas daratan yang kering!” “Ah, Upasaka,” kata Sang Guru, “Anda bukanlah satu-satunya orang yang selamat dengan merenungkan kualitas-kualitas bagus Buddha. Di masa lampau, para upasaka yang berkeyakinan mengalami kapal karam di tengah lautan dan selamat dengan merenungkan kualitas bagus Buddha.“
Kemudian, atas permintaan orang tersebut, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, di masa Sammāsambuddha Kassapa, seorang siswa mulia yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, melakukan perjalanan dengan kapal bersama dengan seorang tukang pangkas yang cukup kaya. Istri dari tukang pangkas ini memberikan tanggung jawab untuk menjaga suaminya kepada siswa mulia tersebut, dalam keadaaan suka atau duka.
Seminggu kemudian, kapal tersebut karam di tengah lautan. Kedua orang tersebut yang berpegangan erat pada satu potongan papan terdampar sampai ke sebuah pulau. Di sana tukang pangkas tersebut membunuh beberapa burung dan memasaknya, menawarkan sebagian makanannya kepada upasaka itu. “Tidak, terima kasih,” katanya, “saya tidak mau makan.” Dia berpikir di dalam dirinya, “Di tempat seperti ini, tidak ada pertolongan kecuali Tiga Permata90,” dan kemudian dia merenungkan kualitas-kualitas bagus dari Tiga Permata. Ketika dia merenungkan dan merenungkan, seekor raja nāga (naga) yang lahir di pulau tersebut mengubah dirinya menjadi sebuah kapal yang besar. Kapal tersebut dipenuhi dengan tujuh jenis batu berharga. [112] Dewa laut menjadi nahkodanya. Ketiga tiang terbuat dari batu nilam, layar dari emas, tali-tali dari perak dan papan-papan kapal berwarna keemasan.
Dewa laut tersebut berdiri di atas kapal dan berkata dengan keras—“Apakah ada penumpang ke Jambudīpa (India)?” Upasaka tersebut berkata, “Ya, itu adalah tujuan kami.” “Naiklah ke kapal!” Dia naik ke kapal dan berniat untuk memanggil temannya, si tukang pangkas. “Anda boleh naik,“ kata nahkoda, “tetapi dia tidak boleh.” “Mengapa tidak boleh?” “Dia bukanlah seorang yang memiliki kualitas moral yang bagus, itulah alasannya,” katanya, “saya membawa kapal ini untuk dirimu, bukan untuk dirinya.” “Baiklah — semua derma yang telah kuberikan, kebajikan yang telah kulakukan, kekuatan yang telah kukembangkan — kuberikan kepadanya buah dari semua perbuatan baikku itu!” “Terima kasih, Tuan!” kata tukang pangkas itu. “Sekarang,” kata dewa laut, “saya dapat membawamu ikut berlayar.”
Kemudian dia membawa mereka ke lautan dan berlayar menuju ke Benares. Di sana, dengan kekuatannya, dia memunculkan sebuah gudang harta untuk mereka berdua, dan kemudian berkata kepada mereka, “Bertemanlah dengan mereka yang bijaksana dan bajik. Seandainya saja tukang pangkas ini tidak berteman dengan sang upasaka, dia pastilah telah binasa di dalamnya lautan.” Kemudian dia mengucapkan bait-bait berikut untuk menyanjung persahabatan dengan yang bijak dan baik:
Melihat buah perbuatan dari keyakinan,
moralitas dan kemurahan hati,
seekor naga dalam bentuk kapal membawa
orang baik tersebut melewati lautan.
Jalinlah persahabatan hanya dengan yang baik
dan jadilah teman yang baik;
Karena bersahabat dengan yang baik,
tukang pangkas ini bisa dengan selamat melihat rumahnya kembali.
[113] Demikianlah dewa laut itu memberikan nasihatnya dengan berdiri di udara, kemudian pergi menghilang. Akhirnya dia kembali ke kediamannya dengan membawa naga bersamanya.


Sang Guru, setelah mengakhiri uraian ini, memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: — Di akhir kebenarannya, upasaka tersebut mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi:—“Pada masa itu, upasaka yang telah memasuki arus tersebut mencapai nibbāna; Sāriputta adalah raja naga, dan dewa laut adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
89 Kemiripan dengan St Peter dalam Sea of Galilee sangatlah mencolok.
90 Tiga Permata adalah Buddha, Dhamma dan Saṅgha. Untuk tujuh batu berharga, lihat Childers, hal. 402 b.

SĪHACAMMA-JĀTAKA

“Bukan singa, bukan harimau yang kulihat,” dan seterusnya. Kisah ini seperti yang di atas, tentang Kokālika (Kokalika), yang diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana. Kali ini dia ingin bersuara.
Sang Guru, setelah mendengar ini, menceritakan kisah berikut.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan di sebuah keluarga petani, dan setelah tumbuh dewasa, dia bermata pencaharian sebagai seorang petani.
Pada masa yang bersamaan, terdapat seorang pedagang yang biasa berkeliling menjajakan barang dagangannya, yang dibawa oleh seekor keledai. Ke mana pun dia pergi, dia biasanya menurunkan buntelan dagangannya dari keledai itu dan memakaikan kulit singa padanya, [110] kemudian membiarkannya bebas ke ladang padi dan gandum. Ketika para penjaga melihat hewan ini, mereka selalu menganggapnya sebagai seekor singa dan tidak berani untuk mendekatinya.
Suatu hari pedagang itu berhenti di sebuah desa, dan ketika sedang menyiapkan sarapan paginya, dia membiarkan keledainya bebas di ladang gandum dengan kulit singa yang dikenakannya. Para penjaga mengiranya sebagai seekor singa, sehingga tidak berani mendekatinya. Mereka lari pulang ke rumah dan memberikan tanda bahaya. Para penduduk desa menyiapkan senjata dan buru-buru ke ladang, berteriak dan meniup terompet serta menabuh genderang. Keledai itu menjadi sangat ketakutan dan mengeluarkan suara keledainya. Kemudian, setelah melihat bahwa dia adalah seekor keledai, Bodhisatta mengulangi bait pertama berikut:
Bukan singa bukan harimau yang kulihat,
juga bukan seekor macan tutul:
Melainkan seekor keledai—makhluk tua yang malang
dengan kulit singa di punggungnya!
Segera setelah para penduduk desa tahu dia hanyalah seekor keledai, mereka memukulnya dengan kayu sampai tulang-tulangnya patah dan pergi dengan membawa kulit singanya. Ketika pedagang itu datang dan menemukan keledainya dalam keadaan yang menyedihkan demikian, dia mengulangi bait kedua:—
Keledai, kalau saja dia pintar,
mungkin gandum hijau dapat dimakannya
dalam waktu yang lama
dengan penyamarannya berupa kulit singa:
Tetapi dia mengeluarkan suara keledai, dan dipukuli!
Ketika dia sedang mengucapkan kata-kata ini, keledai itu mati. Pedagang tersebut meninggalkannya dan pergi sendirian.


Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Kokālika (Kokalika) adalah keledai, dan petani bijak adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
88 Fausbøll, Five Jātakas, hal. 14 dan 39; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, p. v. Ini adalah Ass in the Lion’s Skin oleh Aesop.

SĪHAKOṬṬHUKA-JĀTAKA

“Cakar singa dan tapak singa”, dan seterusnya. Kisah ini ceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Kokālika (Kokalika).
Dikatakan bahwasanya suatu hari Kokalika mendengar sejumlah bhikkhu yang bijak memberikan khotbah Dhamma, dan kemudian merasa ingin untuk memberikan khotbah sendiri; selanjutnya sama seperti cerita pembuka yang dikemukakan pada kisah yang sebelumnya87. Kali ini lagi Sang Guru, setelah mendengarkan ini, berkata, “Bukan hanya kali ini Kokalika membeberkan siapa dirinya sebenarnya dengan suaranya sendiri, tetapi hal yang sama persis juga pernah terjadi sebelumnya”.
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai singa di pegunungan Himalaya dan dia memiliki seekor anak dari serigala betina yg menjadi pasangannya. Singa kecil ini sangat mirip dengan ayahnya, jari, cakar, bulu (tengkuk), warna, sosok tubuh—semuanya, tetapi suaranya lebih mirip ibunya.
Suatu hari, setelah hujan reda, semua singa melompat-lompat bersama dan saling mengaum; singa kecil itu berpikir ingin untuk mengaum juga, dan ternyata dia meraung seperti serigala.
Sewaktu mendengar ini, semua singa terdiam serentak. Anak singa lainnya dari induk yg sama, saudara dari yang singa kecil tersebut, mendengar suara itu dan berkata “Ayah, singa yang di sana mirip dengan kita dari warna dan semuanya, kecuali suaranya. Siapakah dia?” sambil bertanya, dia mengulangi bait pertama:
Cakar singa dan tapak singa,
berdiri di atas kaki singa;
Tetapi suara makhluk ini
tidak kedengaran seperti suara anak singa.
[109] Bodhisatta menjawab, “Dia adalah saudaramu, anak serigala (dan singa); rupanya sama seperti diriku, tetapi suaranya sama seperti ibunya.” Kemudian dia memberikan nasihat kepada anak singa tersebut—“Anakku, selama kamu tinggal di sini, jagalah mulutmu. Jika kamu masih bersuara lagi, mereka semua akan mengetahui kalau kamu adalah seekor serigala.” Untuk memperjelas nasihatnya, dia mengulangi bait kedua:—
Semua akan mengetahui siapa dirimu sebenarnya
jika kamu meraung seperti sebelumnya;
Jadi janganlah mencobanya lagi, tetaplah diam;
Raunganmu bukanlah auman seekor singa.
Setelah mendengar nasihat ini, makhluk itu tidak pernah lagi mencoba untuk mengaum.


Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Kokālika (Kokalika) adalah serigala, Rahula adalah saudara dari anak singa itu, dan raja hewan buas adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
86 Secara harfiah, “indah dalam empat hal”, seperti yang dijelaskan oleh para ahli, “dalam bentuk, kelahiran, suara, dan kualitas”. Ini diucapkan secara sarkastis.
87 No.172, bandingkan juga No. 189. Kokālika sering disinggung dengan cara yang seperti ini. Ada sebuah kisah di dalam Cullavagga I. 18. 3, yang berbalik ke poin yang sama; seekor ayam betina mendapatkan seekor anak ayam dari seekor gagak, ketika hendak berkokok, anak ayam itu mengeluarkan suara burung gagak, ‘Caw, caw’, dan begitu juga sebaliknya. (Vinaya Texts, S.B.E., II, hal. 362)

CATUMAṬṬA-JĀTAKA

“Duduk dan bernyanyi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu tua.
Dikatakan bahwasanya pada suatu ketika, kedua siswa utama sedang duduk bersama, saling bertanya dan menjawab; ketika datang seorang bhikkhu tua dan menjadi orang ketiga. [107] Setelah mengambil tempat duduknya, dia berkata, “Saya juga mempunyai sebuah pertanyaan, Bhante, yang ingin saya tanyakan kepada kalian, dan jika kalian mempunyai kesulitan, kalian boleh memberitahu saya.” Para thera itu tidak menyukainya, mereka bangkit dan pergi meninggalkannya.
Mereka yang mendengarkan khotbah Dhamma dari para thera tersebut, setelah khotbah itu selesai, datang kepada Sang Guru. Beliau bertanya apa yang membuat mereka datang ke sana tidak pada waktunya, dan mereka pun menceritakan kepada Beliau apa yang telah terjadi. Beliau menjawab, “Ini bukan pertama kalinya, para bhikkhu, Sāriputta dan Moggallāna tidak menyukai orang ini dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, tetapi ini juga pernah terjadi sebelumnya.”
Dan Beliau meneruskan untuk menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang makhluk dewata penghuni pohon (dewa pohon) yang hidup di dalam hutan. Dua angsa muda terbang turun dari Gunung Cittakūṭa dan bertengger di atas pohon ini. Mereka terbang ke sekitarnya untuk mencari makanan, kembali ke sana lagi, dan setelah beristirahat, terbang kembali ke kediaman mereka di gunung.
Sejalan dengan waktu, dewa pohon itu mulai menjalin persahabatan dengan mereka. Sewaktu datang dan pergi, mereka adalah teman yang akrab dan sering berbicara tentang kepercayaan kepada satu sama lain sebelum mereka berpisah.
Terjadi pada suatu hari, ketika angsa-angsa itu duduk di atas pohon, sedang berbicara kepada Bodhisatta, seekor serigala yang berhenti di bawah pohon itu, menyapa angsa-angsa muda itu dengan beberapa kata dalam bait berikut:
Duduk dan bernyanyi di atas pohon
jika kalian hendak sendirian.
Duduklah di tanah dan lantunkanlah
syair-syair kepada raja hewan (buas)!
Dipenuhi dengan rasa tidak suka, angsa-angsa muda itu mengepakkan sayap mereka dan terbang kembali ke Cittakūṭa. Ketika mereka telah pergi, Bodhisatta mengucapkan bait kedua untuk kebaikan serigala itu:—
Yang bersayap indah saling melantunkan
kepada yang bersayap indah pula,
Dewa dengan dewa membuahkan perbincangan baik;
Kecantikan yang sempurna86,
seharusnya Anda kembali ke dalam sarangmu!

[108] Ketika mengakhiri uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: — “Pada masa itu, bhikkhu tua itu adalah serigala, Sāriputta dan Moggallāna adalah dua angsa muda, dan Aku sendiri adalah dewa pohon.”

DADHI-VĀHANA-JĀTAKA

“Manis tadinya rasa mangga,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang persahabatan seorang bhikkhu dengan yang tidak baik.
Cerita pembukanya sama seperti kisah sebelumnya di atas. Kembali Sang Guru berkata: “Para Bhikkhu, sahabat yang tidak baik adalah buruk dan membahayakan; Bukan hanya persahabatan antar manusia dengan yang tidak baik membuahkan hasil yang tidak baik, tetapi di masa lampau, bahkan tanaman juga, sebuah pohon mangga, yang buah manisnya merupakan sajian yang cocok untuk para dewa, menjadi masam dan pahit dikarenakan pengaruh dari sebuah pohon nimba83 yang berbau busuk dan pahit.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, empat brahmana bersaudara, di daerah Kāsi, meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa; mereka membangun empat gubuk daun sekaligus untuk mereka sendiri di pegunungan Himalaya dan di sanalah mereka tinggal.
Saudara yang paling tua meninggal dunia dan terlahir sebagai Dewa Sakka. Mengetahui siapa dirinya dalam kehidupan sebelumnya, dia pun sering mengunjungi yang lainnya setiap tujuh atau delapan hari dan menawarkan bantuan kepada mereka.
Suatu hari, dia mengunjungi petapa yang paling tua dan setelah beruluk salam, duduk di satu sisi. [102] “Bhante, apa yang bisa saya bantu?” tanyanya. Petapa yang sedang sakit kuning tersebut menjawab, “Saya menginginkan api.” Sakka memberinya sebuah kapak pisau cukur 84 . “Mengapa,” kata petapa itu, “siapakah yang bisa memberikan kayu bakar untukku dengan ini?” “Jika Anda menginginkan api,” jawab Sakka, “yang harus Anda lakukan adalah pukulkan tanganmu ke kapak itu dan katakan, ‘Ambilkanlah kayu dan buatkan api!’ maka kapak itu akan mengambil kayu dan membuatkan api untukmu.”
Setelah memberikannya kapak pisau cukur itu, dia kemudian mengunjungi saudara kedua dan bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama—“Apa yang bisa saya bantu, Bhante?” Saat itu ada jejak kaki gajah di dekat gubuknya dan hewan-hewan itu mengganggunya. Maka dia menceritakannya kepada Sakka bahwa dia diganggu oleh gajah-gajah itu dan menginginkan mereka dapat diusir dari sana. Sakka memberinya sebuah genderang. “Jika Anda memukul sisi yang ini, Bhante,” dia menjelaskan, “musuhmu akan lari; tetapi jika Anda memukul sisi yang lainnya, mereka akan menjadi teman akrabmu dan akan mengelilingimu dengan empat kelompok pengawal.” Kemudian dia menyerahkan genderang kepadanya.
Terakhir dia mengunjungi petapa yang paling muda dan bertanya seperti sebelumnya, “Apa yang bisa saya bantu, Bhante?” Dia juga sedang sakit kuning dan apa yang dikatakannya adalah, “Tolong berikanlah dadih kepadaku.” Sakka memberikannya sebuah mangkuk dadih dengan kata-kata berikut: “Balikkanlah mangkuk ini jika Anda menginginkan sesuatu (itu), dan dadih seperti aliran sungai yang besar akan mengucur keluar darinya, dan dapat membanjiri seluruh tempat, bahkan bisa mendapatkan sebuah kerajaan untukmu.” Dengan kata-kata ini, dia pergi.
Setelah kejadian itu, kapak tersebut sering dipergunakan untuk membuat api oleh saudara yang paling tua, oleh yang kedua genderang tersebut sering dipukul di satu sisi sehingga membuat gajah-gajah melarikan diri, dan oleh yang termuda mangkuk tersebut digunakan untuk mendapatkan dadih baginya untuk dimakan.
Kala itu, terdapat seekor babi hutan yang tinggal di sebuah desa yang hancur, menemukan sebuah batu permata yang memiliki kekuatan gaib. Memungut batu permata itu di mulutnya, dia terbang ke angkasa dengan kekuatan gaib batu tersebut. Dari kejauhan dia melihat sebuah pulau di tengah samudera dan di sana dia memutuskan untuk tinggal. Maka setelah turun, dia memilih tempat yang menyenangkan di bawah sebuah pohon mangga, [103] dan di sanalah dia membuat tempat tinggalnya.
Suatu hari dia tertidur di bawah pohon tersebut, dengan batu permata tersebut terletak di depannya. Kala itu, seorang laki-laki dari Desa Kāsi, yang diusir oleh orang tuanya karena dianggap sebagai seorang yang tidak berguna, pergi ke suatu bandar, tempat dia naik kapal sebagai seorang pelaut yang mengerjakan pekerjaan yang membosankan.
Di tengah laut, kapal itu karam dan dia terapung di atas sebuah papan sampai ke pulau ini. Ketika berkeliling mencari buah-buahan, dia melihat babi hutan tersebut yang sedang tertidur pulas. Dengan diiam-diam dia merangkak, merampas batu permata itu, dan menemukan dirinya dengan gaib terbang ke udara! Dia hinggap di atas pohon mangga itu dan berpikir, “Kekuatan gaib dari batu permata ini telah mengajarkan babi hutan itu bagaimana berjalan di udara. Karena itulah, dia bisa sampai ke sini. Baiklah, saya harus membunuhnya dan menjadikannya sebagai hidangan pertamaku, baru kemudian pergi.” Maka dia mematahkan sebuah ranting, dan menjatuhkannya di atas kepala babi hutan itu. Babi hutan itu terbangun dan melihat batu permatanya telah hilang, lari ke sana dan ke sini dengan gelisahnya. Orang di atas pohon tersebut tertawa. Babi hutan itu memandang ke atas dan karena melihatnya, dia lari dan membenturkan kepalanya ke pohon mangga dan membunuh dirinya sendiri.
Laki-laki itu turun, menyalakan api, memasak babi hutan itu dan menjadikannya sebagai hidangan. Kemudian dia terbang ke angkasa dan berangkat melanjutkan perjalanannya.
Ketika melewati Himalaya, dia melihat tempat tinggal para petapa tersebut. Maka dia turun dan menghabiskan dua atau tiga hari di gubuk petapa yang tertua, dihibur dan dijamu, dan dia mengetahui keunggulan kapak tersebut. Dia memutuskan untuk mendapatkan kapak itu untuk dirinya. Jadi dia menunjukkan keunggulan dari batu permatanya kepada petapa tersebut dan menawarkan untuk menukarnya dengan kapak tersebut.
Petapa itu sudah lama menginginkan bisa berjalan di udara 85 dan setuju dengan tawaran tersebut. Orang itu mengambil kapaknya dan pergi; tetapi sebelum dia pergi terlalu jauh, dia memukul kapak tersebut dan berkata — “Kapak, hancurkanlah kepala petapa itu dan ambilkan batu permata itu untukku!” Maka terbanglah kapak membelah kepala sang petapa dan membawa kembali batu permata tersebut.
Kemudian orang tersebut menyembunyikan kapak itu dan mengunjungi petapa kedua. [104] Bersama dengannya, pengunjung itu tinggal beberapa hari dan segera mengetahui kemampuan dari genderangnya. Seperti sebelumnya, kemudian dia menukar batu permatanya dengan genderang itu, dan sama seperti sebelumnya pula membuat kapak tersebut membelah kepala pemilik genderang tersebut. Setelah itu, dia pergi ke tempat tinggal petapa yang paling muda, mengetahui kemampuan mangkuk dadih itu, memberikan kepadanya batu permata itu untuk ditukar dengan mangkuknya. Dan seperti sebelumnya mengirim kapak itu untuk membelah kepala petapa tersebut. Demikianlah dia menjadi pemilik dari batu permata, kapak, genderang dan mangkuk dadih.
Dia kemudian naik dan terbang di udara. Berhenti di dekat Benares, dia menulis sebuah surat yang dikirimkannya lewat seorang utusan, bahwasanya raja harus bertarung atau menyerah. Setelah menerima pesan, ini raja berangkat untuk menangkap penjahat ini. Dia menabuh sisi genderang yang satunya lagi dan seketika itu juga empat kelompok pengawal mengelilinginya. Ketika melihat raja mengerahkan kekuatannya, dia kemudian membalikkan mangkuk dadih itu dan air susu dadih mengalir deras keluar dari dalamnya seperti aliran sungai yang besar; Banyak sekali orang yang tenggelam di dalam sungai dadih tersebut. Berikutnya dia memukul kapaknya dan, “Ambilkan kepala raja itu untukku!” teriaknya. Kapak itu terbang pergi dan kembali, menjatuhkan kepala raja itu di bawah kakinya. Tidak ada seorang pun yang mampu melawannya.
Maka dengan dikelilingi sejumlah pasukan yang kuat, dia masuk ke dalam kota dan mengangkat dirinya sebagai raja terpilih dengan julukan Raja Dadhivāhana (Dadhivahana), dan memerintah dengan benar.
Suatu hari, ketika raja sedang bersenang-senang dengan melemparkan jala ke dalam sungai, dia mendapatkan sebuah mangga, yang cocok untuk para dewa, yang mengapung turun dari Danau Kaṇṇamuṇḍa. Ketika jala ditarik keluar, buah mangga ditemukan dan ditunjukkan kepada raja. Buah ini sangatlah besar, sebesar baskom, bulat dan berwarna keemasan. Raja menanyakan buah apakah itu: “Mangga,” jawab para penjaga hutan. Dia memakannya dan bijinya ditanam di dalam tamannya, dan disiram dengan air susu.
Pohon tersebut tumbuh dan dalam tiga tahun pohon ini telah berbuah. Persembahan yang banyak diberikan kepada pohon ini; air susu dituangkan di sekitarnya, untaian bunga yang wangi dengan lima aroma digantungkan kepadanya, kalung bunga berbentuk lingkaran dihiaskan kepadanya, pelita selalu tetap menyala dan diisi dengan minyak yang wangi, dan sekelilingnya terdapat sekat kain. Buahnya sangat manis dan berwarna layaknya emas murni.
Raja Dadhivahana, sebelum mengirimkan hadiah buah-buah mangga ini kepada raja-raja lain, [105] biasanya dengan duri menusuk ke dalam bijinya, tempat tunas keluar, karena takut kalau mereka akan menumbuhkan pohon yang sama dengan menanam bijinya. Setelah memakan buahnya, mereka menanam bijinya. Akan tetapi mereka tidak bisa membuat biji ini berakar. Mereka pun mencari tahu apa penyebabnya dan menemukan apa masalahnya.
Terdapat seorang raja yang menanyakan kepada tukang kebunnya apakah dia bisa merusak rasa dari buah ini dan membuatnya menjadi pahit di pohonnya. Orang tersebut mengiyakannya, maka raja memberikan kepadanya uang seribu keping, dan mengirimnya pergi untuk melakukan tugas tersebut.
Demikianlah segera setelah sampai ke Benares, orang tersebut mengirimkan pesan kepada raja bahwa seorang tukang kebun datang. Raja setuju untuk menemuinya. Setelah orang tersebut memberi salam, raja bertanya, “Anda adalah seorang tukang kebun?” “Ya, Paduka,” jawab orang itu dan mulai memuji dirinya sendiri. “Bagus sekali,” jawab raja, “Anda boleh pergi dan membantu penjaga taman saya.” Maka setelah itu, mereka berdua yang menjaga taman kerajaan.
Orang baru itu berhasil membuat taman kelihatan lebih indah dengan memaksa bunga-bunga dan buah keluar di luar musimnya. Hal ini menyenangkan raja, sehingga dia memecat penjaga lamanya dan memberikan seluruh tanggung jawab taman kepada orang baru itu.
Tidak lama setelah orang ini mendapatkan taman di tangannya, dia pun menanam pohon nimba dan tanaman-tanaman menjalar lainnya di sekitar pohon mangga tersebut. Setelah beberapa saat, pohon nimba itu mulai tumbuh. Di atas dan di bawah, akar dengan akar, dan ranting dengan ranting, semua tanaman tersebut melilit pohon mangga itu.
Demikianlah pohon mangga yang buahnya yang manis itu, menjadi pahit seperti pohon nimba yang berdaun pahit, ditambah lagi oleh tanaman-tanaman yang berbau busuk dan masam. Segera setelah tukang kebun itu tahu bahwa buahnya telah menjadi pahit, dia pun pergi melarikan diri.
Raja Dadhivahana berjalan ke taman kerajaannya dan mencicipi buah mangga. Sari buah mangga di dalam mulutnya terasa seperti buah nimba yang tidak enak; dia tidak bisa menelannya, dia memuntahkan dan meludahkannya keluar.
Kala itu, Bodhisatta adalah penasihatnya dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Raja bertanya kepadanya. “Pendeta, pohon ini selalu dirawat dengan baik, tetapi buahnya masih saja menjadi pahit. Apa artinya ini?” dan sambil menanyakan pertanyaan ini, dia mengulangi bait pertama:—[106]
Manis tadinya rasa mangga ini,
harum baunya, emas warnanya:
Apakah yang telah menyebabkan rasa pahit ini?
padahal kami merawatnya sama seperti sebelumnya.
Bodhisatta menjelaskan alasannya dalam bait kedua:—
Melilit mengelilingi batangnya,
ranting dengan ranting dan akar dengan akar,
lihatlah tanaman menjalar yang pahit itu;
itulah yang merusak buahmu;
Demikianlah Anda lihat, sahabat yang tidak baik
akan membuat yang lebih baik menjadi sama dengannya.
Setelah mendengar ini, raja memerintahkan semua pohon nimba dan tanaman menjalar itu dibersihkan dan akar-akarnya dicabut; semua tanah yang tercemar itu diangkat dan tanah yang subur ditaruh di tempatnya; dan pohon tersebut, dengan hati-hati, diberi air yang manis, air susu, air yang beraroma wangi.
Kemudian setelah menyerap semua rasa manis itu, buahnya pun kembali tumbuh menjadi manis. Raja memanggil tukang kebun yang lama untuk bertanggung jawab atas taman itu kembali, dan pada akhir hayatnya, raja meninggal menerima buah sesuai dengan perbuatannya.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran-Nya:—“Pada masa itu, Aku adalah penasihat bijak tersebut.”

Catatan kaki :
83 Azadirachta indica.
84 Dinamai kapak pisau cukur karena bisa berfungsi sebagai pisau cukur ataupun kapak sesuai keperluan.
85 Ini adalah salah satu kekuatan gaib yang didamba-dambakan oleh orang-orang.