Ilmu pendidikan berasal dari bahasa Latin yaitu Paedagogus
yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak ke sekolah serta
menjaga anak agar bertingkah laku susial dan disiplin. Perbuatan
mendidik disebut paedagogi, sedangkan pendidik disebut paedagog dan ilmu pendidikan disebut paedagogiek.
Menurut Prof.Dr.M.J Langerveld, Paedagogiek/ilmu
mendidik adalah suatu ilmu yang bukan saja menelaah obyeknya untuk
mengetahui keadaan/hakiki obyek itu, melainkan mempelajari pula betapa
hendaknya bertindak.
Menurut
Prof.Dr.N.Driyarkara, ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah tentang
realitas yang disebut mendidik dan dididik. Pemikiran ilmiah bersifat
kritis, metodis dan sistematis.
DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN
Sang
Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanang).
Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan
berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari
penderitaan (dukkha). Penderitaan bersumber pada keinginan rendah
(tanha). Keinginan (tanha) tergantung pada faktor lain yang
mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan
(paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan
(avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243).
Belajar
merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari
kebodohan. Sang Buddha juga menjelaskan pentingnya belajar dalam
kehidupan manusia. “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua
seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak
berkembang” (Dhp. 152).
Makna dan Tujuan Pendidikan
Selaras
dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan yang
disebabkan oleh kebodohan, pendidikan adalah salah satu jalan untuk
mencapainya. Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan,
sikap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup
itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses menyingkirkan
kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendidikan
merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk mendorong seseorang
belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah
perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat (Materi Pelatihan Pandita Penatar MBI, 2001: 1).
Tujuan
umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana
yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang arahat. Mereka
mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa
kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I,21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan berkah utama (Sn II, 4).
Namun, perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi - kebangkitan dari
kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh – tidak didasarkan pada
kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir – Nirvana (A Peng: 1990: 7).
Kebenaran
terakhir juga tidak memerlukan merek agama, agama hanyalah rakit untuk
mengantar ke tujuan. sang Buddha memberikan analogi melalui perumpamaan
dalam Alagaddupama Sutta (M.I,22) dengan mengumpamakan Dhamma sebagai rakit yang tidak perlu harus dipikul karena telah berjasa menyeberangkan seseorang.
Paradigma Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan (D.III,100).
Buddha menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni
kasta brahmana memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif.
Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat ini, membuat
Buddha menjalani kehidupan rakyat
biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan Sangha,
menampung murid dari berbagai golongan masyarakat.
Sang
Buddha dalam membabarkan Dhammanya tidak pernah membeda-bedakan orang
yang akan diajarkan, baik itu bodoh, miskin, kaya, setan, jin, raja,
serta dewa sekalipun. Sang Buddha memberikan semua ajarannya tanpa
merahasiakan sedikitpun yang telah ia dapat sehingga banyak
murid-muridnya yang mencapai tingkat-tingkat kesucian dalam waktu
relatif singkat.
Buddha tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun (M.II,170). Buddha juga menganjurkan agar
tidak segera percaya terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi
hingga yang tertulis dalam kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki
sendiri benar (A.I,191). Buddha sangat menghargai kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha tidak
bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak
menginginkan adanya ketergantungan kepada diri-Nya, dan tidak menunjuk
pengganti sebagai pemegang otoritas setelah Ia parinibbana (D.II.100).
Dharma yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipassiko, artinya ‘datang dan lihat’ (A.III,285).
Karena pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengujian,
pemahaman yang rasional dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya
orientasi pendidikan harus pada proses. Suatu proses pada dasarnya
merupakan rangkaian sebab dan akibat. “Seseorang yang melihat sebab
akibat, melihat Dharma” (M.I,191).
DASAR PSIKOLOGIS PENDIDIKAN
Manusia
dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang,
setiap orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan
itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat dirubah lagi, pembawaan itu
dapat berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh lagi
ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang dapat meniadakan
akibat dari perbuatan (karma) lampau. Dengan demikian, pendidikan
merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia.
Teori-teori
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda karena mereka
memandang pendidikan dari berbagai sudut pandang. Teori pendidikan,
kaitannya dengan perkembangan anak, dapat dibedakan atas:
Teori Empirisme (John Locke), optimisme bahwa lingkungan dapat
diatur dan dikuasai oleh manusia untuk membentuk anak yang lahir
bagaikan kertas putih bersih (Tabula rasa). Teori ini kurang sesuai
dengan pandangan Buddhis, anak yang lahir tidak bagaikan kertas putih
karena mereka telah membawa benih-benih karma lampau.
Teori Nativisme atau Pesimisme (Schopenhauer), berpendapat bahwa
anak sudah ditentukan sejak lahir, berpembawaan baik dan buruk, sehingga
lingkungan tak berdaya mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini jelas
berbeda dengan Buddhisme, karena akibat dari karma lampau dapat diubah
dengan karma sekarang. Jadi, pembawaan seorang anak tetap dapat diubah.
Teori Naturalisme atau Negativisme (J.J Rousseau) melihat semua
manusia lahir dengan pembawaan baik, tetapi menjadi buruk karena
pendidikan yang diberikan oleh manusia, sehingga sebaiknya proses
pendidikan diserahkan saja pada alam. Menurut Buddhisme, manusia lahir
tidak hanya dengan pembawaan baik, tetapi juga pembawaan buruk. Jadi hal
ini bertentangan dengan Buddhisme. Selain itu alam juga tidak berkuasa
mutlak dalam mengubah seseorang, kehendak dari orang itu sendiri yang
dapat mengubahnya.
Teori Konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pembawaan
maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil
perkembangan anak. Teori Konvergensi ini mendekati pandangan Buddhis.
Hasil pendidikan bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Buddha lebih
jauh lagi menunjukkan bagaimana perbuatan aktif masa sekarang dapat meniadakan akibat buruk karma lampau.
Keunikan Individu
Setiap
manusia memiliki sifat-sifat khas yang berbeda, walaupun memiliki
kesamaan dalam sifat-sifat umum. Tidak ada manusia yang persis sama di
dunia, sekalipun anak kembar. Kesamaan harkat tidak meniadakan perbedaan
individual setiap manusia yang memiliki karma masing-masing. Karma
membagi para makhluk menjadi berbeda. Dilihat dari kelahirannya, ada
yang menjadi anak orang kaya, ada yang miskin; ada yang sehat, ada yang
cacat atau sakit-sakitan; ada yang cantik, ada yang buruk rupa; dan
sebagainya (M.III.202-203). Setiap orang bersifat unik, berbeda
pembawaan atau bakat. Dengan sendirinya berbeda pula kemampuan,
kecerdasan dan kecenderungan atau minatnya. Dengan demikian pendidikan
harus mampu menerima keunikan dari setiap individu tersebut.
Perkembangan Individu
Pendidikan
diberikan dengan memperhatikan tingkat perkembangan manusia. Buddha
membedakan tingkat perkembangan manusia dalam empat golongan (A.II,135).
Yang pertama, jenius (ugghatitannu), diumpamakan sebagai bunga teratai
yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti mekar. Yang kedua,
intelektual (vipacitannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul
di atas permukaan air. Yang ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo),
bagaikan bungan teratai yang agak jauh di di dalam air, sehingga perlu
waktu yang cukup lama untuk muncul di permukaan. Yang keempat, orang
yang gagal dilatih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak
sempat muncul di atas permukaan air.
Sistem
pendidikan formal massal dimungkinkan dengan memperhatikan penggolongan
tingkat pendidikan formal perkembangan peserta didik. Bilamana terdapat
sejumlah peserta didik yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, sama
kebutuhan dan minatnya, perlakuan yang sama bagi semua muridpun menjadi
cukup beralasan. Perlakuan yang istimewa perlu diberikan kepada mereka yang istimewa
pula. Perlakuan khusus diberikan kepada anak yang jenius agar mereka
berkembang optimal. Sedangkan bagi mereka yang tertinggal juga diberi
perhatian khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Individualitas Bukan Individualisme
Peserta
didik bukanlah obyek dalam pendidikan, bukan gudang kosong yang diisi
tergantung dari gurunya. Mereka adalah obyek sekaligus subyek yang harus
berusaha sendiri dan mampu mandiri. Ia subyek yang aktif dan
bertanggung jawab atas karma atau perbuatannya. Setiap orang adalah
pelindung bagi dirinya sendiri dan mempunyai arah tujuannya sendiri
(Dhp.380). Ia harus menjadi dan mewujudkan dirinya sendiri, serta dapat
menolong dirinya sendiri.
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
Pengertian belajar menurut beberapa ahli, yaitu:
- Menurut R. Gagne, belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan manusia yang bertahan dalam waktu yang lama dan tidak berasal dari proses pertumbuhan.
- Menurut Bigge, belajar adalah perubahan yang berlangsung terus menerus pada individu yang tidak disebabkan oleh genetika.
- Menurut Wolf Wook Nicholick, belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman.
- Menurut Berliner, belajar adalah perubahan tingkah laku ‘individu’ sebagai hasil dari pengalaman, perubahan ini terjadi pada perilaku dan bukan pada jasmani.
- Menurut Muh. Surya, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan.
Belajar adalah suatu
proses yang terjadi dalam individu yang diaktifkan dan dikontrol oleh
diri sendiri. Faktor eksternal tidak dapat menentukan keberhasilan
belajar tanpa adanya kemauan dari si pelajar. “Suci atau tidak suci
tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun dapat membuat suci orang
lain” (Dhp.165).
Belajar
bersifat individual dan unik. Setiap orang mempunyai gaya belajar
sendiri. Para siswa Buddha melatih diri dan mencapai pencerahan dengan
berbagai cara. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, sebagaimana yang dikatakan Sang Buddha: “Semua makhluk
memiliki karmanya sendiri” (M.III, 203).
Secara
psikologis, belajar adalah proses intelektual, emosi, spiritual dan
sosial yang dikembangkan dalam ranah kognitif (pemikiran), afektif
(perasaan, sikap dan nilai) dan psikomotor (ketrampilan). Sedangkan Sang
Buddha melihat bahwa: “Segala keadaan batin didahului oleh pikiran,
dipimpin oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran” (Dhp.1). jadi,
keberhasilan dalam belajar adalah adanya kehendak dan bagaimana
mengendalikan, melatih, mengembangkan dan menggunakan pikiran.
STRATEGI DAN METODE
Kegiatan
belajar dan pembelajaran dalam dunia pendidikan memerlukan
strategi-strategi dan metode-metode tertentu agar tercapai tujuan dari
pendidikan. Buddhapun memilih suatu strategi khusus, yaitu dengan
mendahulukan orang-orang dengan kaulitas batin yang baik sehingga mampu
menangkap ajarannya dan terjamin dapat mencapai pencerahan dalam waktu
singkat. Untuk memulai suatu pengajaran harus didahului dengan
perencanaan yang baik.
Perencanaan
Perencanaan yang baik harus mencakup beberapa faktor. Faktor-faktor dalam perencanaan pengajaran, adalah:
1. Tujuan, yaitu sasaran yang hendak dicapai dalam pengajaran. Dalam agama Buddha, tujuan pengajaran Sang Buddha adalah pembebasan.
2. Metode, yaitu salah satu alat untuk menyajikan bahan belajar dalam rangka pencapaian tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan kotbah-kotbah, dengan menunjukkan kekuatan batin, dengan praktek-praktek nyata, dan sebagainya.
3. Alat Pelajaran, yaitu alat untuk lebih mengefisienkan pencapaian tujuan.
4. Materi pelajaran, yaitu sarana untuk mencapai tujuan. Materi pelajaran Buddha adalah Dhamma (kebenaran).
5. Strategi,
yaitu kegiatan yang terpilih yang dapat memberikan bantuan siswa dalam
menuju tercapainya tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan
strategi-strategi khusus yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan diajar.
6. Siswa, yaitu obyek sekaligus subyek dalam pengajaran.
7. Situasi,
dalam perencanaan pengajaran harus didasarkan pada situasi yang ada
untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi belajar mempengaruhi
keadaan fisik dan psikis seseorang. Misalnya, latihan meditasi
memerlukan lingkungan yang sesuai dengan obyek. Dalam sejarah disebutkan
bahwa Sang Buddha memilih hutan sebagai lingkungan yang paling baik
untuk melatih diri (Dhp.99).
Strategi Pendekatan
Salah
satu strategi dalam pengajaran adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
CBSA sebagai sitilah yang sama maknanya dengan ‘Student Active Learning
(SAL). CBSA bukanlah sebuah “ilmu” atau “teori”, tetapi merupakan salah
satu strategi pengajaran yang menuntut keterlibatan dan keaktifan serta
partisipasi peserta didik sebagai subyek didik secara optimal sehingga
peserta didik mampu merubah dirinya secara lebih efektif dan efisien (Ahmad Rohani, 1991: 56).
Menurut Arya Tjahdjadi, dalam Buddha Cakkhu Magha 2534 (1991: 11),
Sang Buddha dari kacamata pendidik ternyata menggunakan pendekatan yang
sangat ilmiah dalam mengajar Dhamma. Bila para Dharma duta menyadari
dan memanfaatkan metode-metode ini maka niscaya pewarisan Buddha Dhamma
melalui bangku sekolah akan lebih berhasil guna.
Tidak
ada ilmu yang dapat dikembangkan di bumi ini bila hanya berlandaskan
pada “percaya saja”. Sang Buddha tidak pernah menginginkan agar
siswa-Nya percaya kepada-Nya secara membabi buta, atau tunduk tanpa
pengertian. Belaiu selalu menganjurkan untuk mmenguji, membandingkan,
menimbang, merenungkan dan menyelidiki secara mendalam dengan logika
yang tajam segala sesuatu yang diajarkan beliau, seperti yang diajarkan
Sang Buddha kepada suku Kalama.
Jauh
sebelum ilmu pengetahuan menggariskan ketentuan dalam meneliti, Sang
Buddha telah menerapak metodologi dalam menerangkan Dhamma. Untuk
menganalisa serta memecahkan masalah, baik sains maupun ilmu sosial,
biasanya digunakan metode “WH Question” (What, Why, When, How). 2500
tahun yang lampau telah mengajarkan tentang Cattari Ariya Saccani dengan
metode ini, yaitu: What (Hidup adalah dukkha); Why (Dukkha disebabkan
oleh tanha); When (Kebahagiaan timbul bila tanha lenyap); dan How (Cara
mengatasi dukkha).
Sistematika
pemecahan masalah dibidang ilmiah yang lazim dikenal sebagai “Anlysis
of Situation” juga menjadi cara pendekatan Dhamma Sang Buddha. Analisa
situasi ala Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah Dukhha,lalu
untuk mencapai tujuan (aims) yaitu Nibbana, maka kita harus melakukan
aksi (Action) yaitu Magga, kemudian melakukan Penilaian (Assessment)
yaitu Ehipassiko, dan Penyesuaian (Adjustment) dilakukan terhadap diri
sendiri.
Metode Pengajaran
Dunia pendidikan mengenal banyak ragam metode pengajaran. Namun
secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengajaran
individual dan metode pengajaran kelompok/klasikal. Macam-macam metode
itu antara lain: metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan,
latihan siap, problem solving, eksperimen, demonstrasi, karya wisata,
kerja kelompok, dan lain-lain (Ahmad Rohani, 1991: 113).
Salah
satu cara Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para siswanya adalah
dengan metode ceramah (kotbah). Kotbah ini bahkan menjadi kegiatan utama
dalam mempertahankan Buddha sasana, yaitu doktrin yang berupa
pengetahuan. Sang Buddha adalah seorang pengkotbah ulung. Cara yang
digunakan Sang Buddha tersebut adalah:
- Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
- Beliau mengajar dengan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
- Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang mengikuti ajarannya itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka. (Dhamma Vibhanga I, 45)
Vidhurdhammabhorn
Mahathera dalam Buddha Cakkhu Asadha 2533 (1989: 9) menjelaskan bahwa
seseorang yang memberikan ceramah/ kotbah Dhamma hendaknya:
- Menerangkan Dhamma selangkah demi selangkah dan secara berurutan, tidak menyingkat bagian tertentu sehingga mengurangi arti.
- Memberikan alasan-alasan yang sesuai sehingga para pendengarnya menjadi kian mengerti.
- Memiliki Metta di dalam hatinya serta mengharapkan para pendengarnya memperoleh manfaat dari kotbah Dhamma itu.
- Tidak mengajarkan Dhamma dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
- Tidak mengajarkan Dhamma dengan maksud untuk menyerang orang lain. Dengan kata lain tidak memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Metode-metode lain
yang dipakai oleh Sang Buddha, misalnya: cerita (Jataka), syair-syair,
debat/dialog/diskusi, pertunjukan kekuatan batin dan lain-lain. Semua
metode itu dipilih oleh Sang Buddha secara bijaksana sesuai dengan
kemampuan orang yang hendak diajar.
PERAN ORANG TUA, GURU DAN MURID
Pendidikan
tidak hanya mencakup subyek guru dan murid. Pendidikan berkaitan erat
dengan masyarakat dan terutama keluarga (orang tua murid). Masyarakat
sebagai pendukung berlangsungnya pendidikan sekaligus sebagai penilai
keberhasilan pendidikan. Sedangkan orang tua, selain kedudukannya
sebagai ayah dan ibu, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam
pendidikan bagi anak.
Kedudukan Orang Tua dan Guru
Salah
satu peran orang tua adalah sebagai guru yang mendidik dan mengajar
anaknya. Sang Buddha menjelaskan dalam Ittivuttaka IV, 106, bahwa ayah
dan ibu disebut juga ‘guru-guru awal’, karena ayah dan ibu adalah orang
yang banyak sekali membantu anak-anaknya. Mereka merawat anaknya dan
membesarkan serta mengajar tentang dunia.
Orang
tua adalah guru yang pertama. Sedangkan guru-guru di sekolah adalah
orang tua kedua. Seorang guru harus memperlakukan muridnya seperti
terhadap anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan
gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri (Vin.I, 45).
Hubungan Guru dan Murid
Kegiatan
pengajaran memerlukan interaksi antara guru dan murid yang bersifat
edukatif. Suatu interaksi dikatakan bersifat edukatif bukan semata
ditentukan oleh bentuknya melainkan oleh tujuan interaksi itu sendiri.
Maka tidak selalu bentuk hubungan bersama antara guru dan murid bersifat
edukatif. Dalam setiap bentuk interaksi edukatif akan senantiasa
mengandung dua unsur pokok, yaitu unsur normatif dan unsur teknis. (Ahmad Rohani, 1991: 88-89).
Sang Buddha menjelaskan kedudukan guru harus dipandang sebagai arah Selatan, yaitu:
- Dengan bangun dari tempat duduk mereka (memberi hormat),
- Dengan melayani mereka,
- Dengan tekad baik untuk belajar,
- Dengan memberikan persembahan kepada mereka,
- Dan dengan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.
Seorang guru memperlakukan muridnya dengan berbagai cara, yaitu:
- Mendidik dan melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya,
- Membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan,
- mengajarnya secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian,
- Berbicara baik tentang muridnya diantara sahabat dan kawan-kawannya,
- Memperlengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah.
(D.III, 30).
Kualifikasi Guru
Seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengajaran. Adapun kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran meliputi:
1. Kemampuan merencanakan PBM, terdiri dari: kemampuan merumuskan tujuan, memilih metode, merencanakan langkah-langkah pengajaran.
2. Kemampuan
mempersiapkan bahan pengajaran, yaitu menyiapkan bahan yang sesuai
dengan tujuan, mempersiapkan pengayaan dan bahan remidial.
- Kemampuan merencanakan media dan sumber, yaitu memilih media dan sumber pengajaran yang tepat.
- Kemampuan merencanakan penilaian terhadap prestasi siswa, yaitu menyusun alat penilaian dan merencanakan penafsiran penggunaan hasil penilaian.
(Suryosubroto, 1997: 20).
Kriteria
guru yang baik diantaranya bila guru itu tidak menyembunyikan ilmunya
pada muridnya. Demikian pula Sang Buddha, mengajarkan Dhamma selama 45
tahun tanpa pamrih. Beberapa saat sebelum Parinibbana, Sang Buddha
bersabda pada Ananda: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dari-Ku.
Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membedakan ajaran
umum dari ajaran rahasia (esoterik). Mengenai Dhamma, Ananda, tak ada
satupun yang disembunyikan oleh diri-Ku sebagaimana dilakukan oleh
seorang guru yang kikir” (D.II, 16).
Seorang
guru tidak hanya pandai mengajar, tetapi ia juga harus melaksanakan apa
yang ia ajarkan. ‘Sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah
hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri
dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar
untuk mengendalikan diri sendiri” (Dhp.159).
Seorang
guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaiman seorang bhikkhu
senior, yaitu: Ia menguasai analisis logika; menguasai analisis sebab
akibat; menguasai tata bahasa; menguasai analisis segala sesuatu yang
dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut, menjalani
kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha meneliti
persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A.III, 113).
EVALUASI BELAJAR
Aspek
lain yang menjadi tugas pendidikan adalah melakukan penilaian
(evaluasi). Evaluasi merupakan bagian dari kegiatan kehidupan manusia
sehari-hari. Dalam dunia pendidikan, evaluasi berfungsi sebagai umpan
balik terhadap kegiatan yang telah dilakukan, tidak hanya pada hasil
belajar siswa, tetapi juga pada proses pengajaran itu sendiri.
Evaluasi
dilaksanakan dengan berpatokan pada prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip
dalam evaluasi, yaitu: prinsip keterpaduan, yaitu sebagai bagian tak
terpisahkan dari program pengajaran; prinsip Cara Belajar Siswa Aktif,
yaitu siswa sendiri yang mengukur kemampuan melalui evaluasi, guru hanya
berfungsi untuk membantunya; prinsip kontinuitas, yaitu berlangsung
selama proses kegiatan belajar-mengajar berjalan; dan prinsip koherensi,
yaitu konsisten dengan tujuan dari pengajaran yang dilakukan; prinsip
diskriminalitas, yaitu bahwa setiap individu mempunyai perbedaan dengan
individu lain; prinsip keseluruhan/utuh terhadap semua aspek; prinsip
paedagogis, yaitu harus bersifat mendidik, evaluasi harus dirasakan
sebagai penghargaan bagi yang berhasil dan sebagai hukuman bagi yang
gagal; prinsip akuntabilitas, yaitu harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada lembaga pendidikan itu sendiri (Ahmad Rohani, 1991: 160).
Buddha memberikan kriteria keberhasilan belajar dan latihan dengan pemahaman dan kecakapan (patisambhida) dalam hal: memahami maksud dan tujuan, mampu menjabarkan secara rinci dan mampu mempertimbangkan akibat; memahami intisari dan mampu meringkas, dan meneliti atau
menunjukkan penyebab; cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang
tepat; kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan
bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak (A.II, 160).
Reference:
Ahmad Rohani, 1991, Pengelolaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta.
H. Saddatissa, 1999, Sutta Nipata, Vihara Bodhivamsa, Klaten.
John D. Ireland, 1998, Ittivuttaka, Lembaga Anagarini Indonesia, Bandung.
Majalah Buddha Cakkhu, edisi Magha 2534, 1991, Dhammadipa Arama, Jakarta.
Materi Pelatihan Pandita Penatar/ MBI/2001.
Panjika, 1994, Kamus Umum Buddha Dharma, Tri Sattva Buddhist Centre, Jakarta.
Tanpa nama, 1997, Dhammapada, Hanuman Sakti, Jakarta.
Teja S.M Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Bodhi, Jakarta.