Minggu, 30 September 2012

AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENDIDIKAN

Ilmu pendidikan berasal dari bahasa Latin yaitu Paedagogus yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak ke sekolah serta menjaga anak agar bertingkah laku susial dan disiplin. Perbuatan mendidik disebut paedagogi, sedangkan pendidik disebut paedagog dan ilmu pendidikan disebut paedagogiek.
Menurut Prof.Dr.M.J Langerveld, Paedagogiek/ilmu mendidik adalah suatu ilmu yang bukan saja menelaah obyeknya untuk mengetahui keadaan/hakiki obyek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak.
Menurut Prof.Dr.N.Driyarkara, ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah tentang realitas yang disebut mendidik dan dididik. Pemikiran ilmiah bersifat kritis, metodis dan sistematis.
DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN
Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanang). Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Penderitaan bersumber pada keinginan rendah (tanha). Keinginan (tanha) tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243).
Belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha juga menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang” (Dhp. 152).
Makna dan Tujuan Pendidikan
Selaras dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh kebodohan, pendidikan adalah salah satu jalan untuk mencapainya. Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk mendorong seseorang belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat (Materi Pelatihan Pandita Penatar MBI, 2001: 1).
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I,21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan berkah utama (Sn II, 4).
Namun, perlu diingat bahwa metode agama Buddha dalam mencapai kebenaran tertinggi - kebangkitan dari kebodohan untuk mencari pengetahuan penuh – tidak didasarkan pada kemajuan intelek akademis. Penerimaan ajaran itu dalam praktek yang menuntun para pengikut kepada penerangan sempurna dan tujuan akhir – Nirvana (A Peng: 1990: 7).
Kebenaran terakhir juga tidak memerlukan merek agama, agama hanyalah rakit untuk mengantar ke tujuan. sang Buddha memberikan analogi melalui perumpamaan dalam Alagaddupama Sutta (M.I,22) dengan mengumpamakan Dhamma sebagai rakit yang tidak perlu harus dipikul karena telah berjasa menyeberangkan seseorang.
Paradigma Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan (D.III,100). Buddha menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni kasta brahmana memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat ini, membuat Buddha menjalani kehidupan rakyat biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan Sangha, menampung murid dari berbagai golongan masyarakat.
Sang Buddha dalam membabarkan Dhammanya tidak pernah membeda-bedakan orang yang akan diajarkan, baik itu bodoh, miskin, kaya, setan, jin, raja, serta dewa sekalipun. Sang Buddha memberikan semua ajarannya tanpa merahasiakan sedikitpun yang telah ia dapat sehingga banyak murid-muridnya yang mencapai tingkat-tingkat kesucian dalam waktu relatif singkat.
Buddha tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun (M.II,170). Buddha juga menganjurkan agar tidak segera percaya terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi hingga yang tertulis dalam kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki sendiri benar (A.I,191). Buddha sangat menghargai kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha tidak bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak menginginkan adanya ketergantungan kepada diri-Nya, dan tidak menunjuk pengganti sebagai pemegang otoritas setelah Ia parinibbana (D.II.100).
Dharma yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk dibuktikan, disebut ehipassiko, artinya ‘datang dan lihat’ (A.III,285). Karena pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman yang rasional dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya orientasi pendidikan harus pada proses. Suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian sebab dan akibat. “Seseorang yang melihat sebab akibat, melihat Dharma” (M.I,191).
DASAR PSIKOLOGIS PENDIDIKAN
Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang, setiap orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat dirubah lagi, pembawaan itu dapat berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang dapat meniadakan akibat dari perbuatan (karma) lampau. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia.
Teori-teori pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda karena mereka memandang pendidikan dari berbagai sudut pandang. Teori pendidikan, kaitannya dengan perkembangan anak, dapat dibedakan atas:
Teori Empirisme (John Locke), optimisme bahwa lingkungan dapat diatur dan dikuasai oleh manusia untuk membentuk anak yang lahir bagaikan kertas putih bersih (Tabula rasa). Teori ini kurang sesuai dengan pandangan Buddhis, anak yang lahir tidak bagaikan kertas putih karena mereka telah membawa benih-benih karma lampau.
Teori Nativisme atau Pesimisme (Schopenhauer), berpendapat bahwa anak sudah ditentukan sejak lahir, berpembawaan baik dan buruk, sehingga lingkungan tak berdaya mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini jelas berbeda dengan Buddhisme, karena akibat dari karma lampau dapat diubah dengan karma sekarang. Jadi, pembawaan seorang anak tetap dapat diubah.
Teori Naturalisme atau Negativisme (J.J Rousseau) melihat semua manusia lahir dengan pembawaan baik, tetapi menjadi buruk karena pendidikan yang diberikan oleh manusia, sehingga sebaiknya proses pendidikan diserahkan saja pada alam. Menurut Buddhisme, manusia lahir tidak hanya dengan pembawaan baik, tetapi juga pembawaan buruk. Jadi hal ini bertentangan dengan Buddhisme. Selain itu alam juga tidak berkuasa mutlak dalam mengubah seseorang, kehendak dari orang itu sendiri yang dapat mengubahnya.
Teori Konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil perkembangan anak. Teori Konvergensi ini mendekati pandangan Buddhis. Hasil pendidikan bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Buddha lebih jauh lagi menunjukkan bagaimana perbuatan aktif masa sekarang dapat meniadakan akibat buruk karma lampau.
Keunikan Individu
Setiap manusia memiliki sifat-sifat khas yang berbeda, walaupun memiliki kesamaan dalam sifat-sifat umum. Tidak ada manusia yang persis sama di dunia, sekalipun anak kembar. Kesamaan harkat tidak meniadakan perbedaan individual setiap manusia yang memiliki karma masing-masing. Karma membagi para makhluk menjadi berbeda. Dilihat dari kelahirannya, ada yang menjadi anak orang kaya, ada yang miskin; ada yang sehat, ada yang cacat atau sakit-sakitan; ada yang cantik, ada yang buruk rupa; dan sebagainya (M.III.202-203). Setiap orang bersifat unik, berbeda pembawaan atau bakat. Dengan sendirinya berbeda pula kemampuan, kecerdasan dan kecenderungan atau minatnya. Dengan demikian pendidikan harus mampu menerima keunikan dari setiap individu tersebut.
Perkembangan Individu
Pendidikan diberikan dengan memperhatikan tingkat perkembangan manusia. Buddha membedakan tingkat perkembangan manusia dalam empat golongan (A.II,135). Yang pertama, jenius (ugghatitannu), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti mekar. Yang kedua, intelektual (vipacitannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di atas permukaan air. Yang ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bungan teratai yang agak jauh di di dalam air, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di permukaan. Yang keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul di atas permukaan air.
Sistem pendidikan formal massal dimungkinkan dengan memperhatikan penggolongan tingkat pendidikan formal perkembangan peserta didik. Bilamana terdapat sejumlah peserta didik yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, sama kebutuhan dan minatnya, perlakuan yang sama bagi semua muridpun menjadi cukup beralasan. Perlakuan yang istimewa perlu diberikan kepada mereka yang istimewa pula. Perlakuan khusus diberikan kepada anak yang jenius agar mereka berkembang optimal. Sedangkan bagi mereka yang tertinggal juga diberi perhatian khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Individualitas Bukan Individualisme
Peserta didik bukanlah obyek dalam pendidikan, bukan gudang kosong yang diisi tergantung dari gurunya. Mereka adalah obyek sekaligus subyek yang harus berusaha sendiri dan mampu mandiri. Ia subyek yang aktif dan bertanggung jawab atas karma atau perbuatannya. Setiap orang adalah pelindung bagi dirinya sendiri dan mempunyai arah tujuannya sendiri (Dhp.380). Ia harus menjadi dan mewujudkan dirinya sendiri, serta dapat menolong dirinya sendiri.
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
Pengertian belajar menurut beberapa ahli, yaitu:
  1. Menurut R. Gagne, belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan manusia yang bertahan dalam waktu yang lama dan tidak berasal dari proses pertumbuhan.
  2. Menurut Bigge, belajar adalah perubahan yang berlangsung terus menerus pada individu yang tidak disebabkan oleh genetika.
  3. Menurut Wolf Wook Nicholick, belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman.
  4. Menurut Berliner, belajar adalah perubahan tingkah laku ‘individu’ sebagai hasil dari pengalaman, perubahan ini terjadi pada perilaku dan bukan pada jasmani.
  5. Menurut Muh. Surya, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan.
Belajar adalah suatu proses yang terjadi dalam individu yang diaktifkan dan dikontrol oleh diri sendiri. Faktor eksternal tidak dapat menentukan keberhasilan belajar tanpa adanya kemauan dari si pelajar. “Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun dapat membuat suci orang lain” (Dhp.165).
Belajar bersifat individual dan unik. Setiap orang mempunyai gaya belajar sendiri. Para siswa Buddha melatih diri dan mencapai pencerahan dengan berbagai cara. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sebagaimana yang dikatakan Sang Buddha: “Semua makhluk memiliki karmanya sendiri” (M.III, 203).
Secara psikologis, belajar adalah proses intelektual, emosi, spiritual dan sosial yang dikembangkan dalam ranah kognitif (pemikiran), afektif (perasaan, sikap dan nilai) dan psikomotor (ketrampilan). Sedangkan Sang Buddha melihat bahwa: “Segala keadaan batin didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran, dibentuk oleh pikiran” (Dhp.1). jadi, keberhasilan dalam belajar adalah adanya kehendak dan bagaimana mengendalikan, melatih, mengembangkan dan menggunakan pikiran.
STRATEGI DAN METODE
Kegiatan belajar dan pembelajaran dalam dunia pendidikan memerlukan strategi-strategi dan metode-metode tertentu agar tercapai tujuan dari pendidikan. Buddhapun memilih suatu strategi khusus, yaitu dengan mendahulukan orang-orang dengan kaulitas batin yang baik sehingga mampu menangkap ajarannya dan terjamin dapat mencapai pencerahan dalam waktu singkat. Untuk memulai suatu pengajaran harus didahului dengan perencanaan yang baik.
Perencanaan
Perencanaan yang baik harus mencakup beberapa faktor. Faktor-faktor dalam perencanaan pengajaran, adalah:
1. Tujuan, yaitu sasaran yang hendak dicapai dalam pengajaran. Dalam agama Buddha, tujuan pengajaran Sang Buddha adalah pembebasan.
2. Metode, yaitu salah satu alat untuk menyajikan bahan belajar dalam rangka pencapaian tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan kotbah-kotbah, dengan menunjukkan kekuatan batin, dengan praktek-praktek nyata, dan sebagainya.
3. Alat Pelajaran, yaitu alat untuk lebih mengefisienkan pencapaian tujuan.
4. Materi pelajaran, yaitu sarana untuk mencapai tujuan. Materi pelajaran Buddha adalah Dhamma (kebenaran).
5. Strategi, yaitu kegiatan yang terpilih yang dapat memberikan bantuan siswa dalam menuju tercapainya tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan strategi-strategi khusus yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan diajar.
6. Siswa, yaitu obyek sekaligus subyek dalam pengajaran.
7. Situasi, dalam perencanaan pengajaran harus didasarkan pada situasi yang ada untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi belajar mempengaruhi keadaan fisik dan psikis seseorang. Misalnya, latihan meditasi memerlukan lingkungan yang sesuai dengan obyek. Dalam sejarah disebutkan bahwa Sang Buddha memilih hutan sebagai lingkungan yang paling baik untuk melatih diri (Dhp.99).
Strategi Pendekatan
Salah satu strategi dalam pengajaran adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). CBSA sebagai sitilah yang sama maknanya dengan ‘Student Active Learning (SAL). CBSA bukanlah sebuah “ilmu” atau “teori”, tetapi merupakan salah satu strategi pengajaran yang menuntut keterlibatan dan keaktifan serta partisipasi peserta didik sebagai subyek didik secara optimal sehingga peserta didik mampu merubah dirinya secara lebih efektif dan efisien (Ahmad Rohani, 1991: 56).
Menurut Arya Tjahdjadi, dalam Buddha Cakkhu Magha 2534 (1991: 11), Sang Buddha dari kacamata pendidik ternyata menggunakan pendekatan yang sangat ilmiah dalam mengajar Dhamma. Bila para Dharma duta menyadari dan memanfaatkan metode-metode ini maka niscaya pewarisan Buddha Dhamma melalui bangku sekolah akan lebih berhasil guna.
Tidak ada ilmu yang dapat dikembangkan di bumi ini bila hanya berlandaskan pada “percaya saja”. Sang Buddha tidak pernah menginginkan agar siswa-Nya percaya kepada-Nya secara membabi buta, atau tunduk tanpa pengertian. Belaiu selalu menganjurkan untuk mmenguji, membandingkan, menimbang, merenungkan dan menyelidiki secara mendalam dengan logika yang tajam segala sesuatu yang diajarkan beliau, seperti yang diajarkan Sang Buddha kepada suku Kalama.
Jauh sebelum ilmu pengetahuan menggariskan ketentuan dalam meneliti, Sang Buddha telah menerapak metodologi dalam menerangkan Dhamma. Untuk menganalisa serta memecahkan masalah, baik sains maupun ilmu sosial, biasanya digunakan metode “WH Question” (What, Why, When, How). 2500 tahun yang lampau telah mengajarkan tentang Cattari Ariya Saccani dengan metode ini, yaitu: What (Hidup adalah dukkha); Why (Dukkha disebabkan oleh tanha); When (Kebahagiaan timbul bila tanha lenyap); dan How (Cara mengatasi dukkha).
Sistematika pemecahan masalah dibidang ilmiah yang lazim dikenal sebagai “Anlysis of Situation” juga menjadi cara pendekatan Dhamma Sang Buddha. Analisa situasi ala Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah Dukhha,lalu untuk mencapai tujuan (aims) yaitu Nibbana, maka kita harus melakukan aksi (Action) yaitu Magga, kemudian melakukan Penilaian (Assessment) yaitu Ehipassiko, dan Penyesuaian (Adjustment) dilakukan terhadap diri sendiri.
Metode Pengajaran
Dunia pendidikan mengenal banyak ragam metode pengajaran. Namun secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengajaran individual dan metode pengajaran kelompok/klasikal. Macam-macam metode itu antara lain: metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan, latihan siap, problem solving, eksperimen, demonstrasi, karya wisata, kerja kelompok, dan lain-lain (Ahmad Rohani, 1991: 113).
Salah satu cara Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para siswanya adalah dengan metode ceramah (kotbah). Kotbah ini bahkan menjadi kegiatan utama dalam mempertahankan Buddha sasana, yaitu doktrin yang berupa pengetahuan. Sang Buddha adalah seorang pengkotbah ulung. Cara yang digunakan Sang Buddha tersebut adalah:
  • Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan melihat dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dilihat.
  • Beliau mengajar dengan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan (Dhamma) dan melihatnya dengan benar (bagi diri mereka sendiri).
  • Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang mengikuti ajarannya itu dapat memperoleh faedah-faedah sesuai dengan praktek mereka. (Dhamma Vibhanga I, 45)
Vidhurdhammabhorn Mahathera dalam Buddha Cakkhu Asadha 2533 (1989: 9) menjelaskan bahwa seseorang yang memberikan ceramah/ kotbah Dhamma hendaknya:
  1. Menerangkan Dhamma selangkah demi selangkah dan secara berurutan, tidak menyingkat bagian tertentu sehingga mengurangi arti.
  2. Memberikan alasan-alasan yang sesuai sehingga para pendengarnya menjadi kian mengerti.
  3. Memiliki Metta di dalam hatinya serta mengharapkan para pendengarnya memperoleh manfaat dari kotbah Dhamma itu.
  4. Tidak mengajarkan Dhamma dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
  5. Tidak mengajarkan Dhamma dengan maksud untuk menyerang orang lain. Dengan kata lain tidak memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Metode-metode lain yang dipakai oleh Sang Buddha, misalnya: cerita (Jataka), syair-syair, debat/dialog/diskusi, pertunjukan kekuatan batin dan lain-lain. Semua metode itu dipilih oleh Sang Buddha secara bijaksana sesuai dengan kemampuan orang yang hendak diajar.

PERAN ORANG TUA, GURU DAN MURID
Pendidikan tidak hanya mencakup subyek guru dan murid. Pendidikan berkaitan erat dengan masyarakat dan terutama keluarga (orang tua murid). Masyarakat sebagai pendukung berlangsungnya pendidikan sekaligus sebagai penilai keberhasilan pendidikan. Sedangkan orang tua, selain kedudukannya sebagai ayah dan ibu, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam pendidikan bagi anak.
Kedudukan Orang Tua dan Guru
Salah satu peran orang tua adalah sebagai guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Sang Buddha menjelaskan dalam Ittivuttaka IV, 106, bahwa ayah dan ibu disebut juga ‘guru-guru awal’, karena ayah dan ibu adalah orang yang banyak sekali membantu anak-anaknya. Mereka merawat anaknya dan membesarkan serta mengajar tentang dunia.
Orang tua adalah guru yang pertama. Sedangkan guru-guru di sekolah adalah orang tua kedua. Seorang guru harus memperlakukan muridnya seperti terhadap anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri (Vin.I, 45).
Hubungan Guru dan Murid
Kegiatan pengajaran memerlukan interaksi antara guru dan murid yang bersifat edukatif. Suatu interaksi dikatakan bersifat edukatif bukan semata ditentukan oleh bentuknya melainkan oleh tujuan interaksi itu sendiri. Maka tidak selalu bentuk hubungan bersama antara guru dan murid bersifat edukatif. Dalam setiap bentuk interaksi edukatif akan senantiasa mengandung dua unsur pokok, yaitu unsur normatif dan unsur teknis. (Ahmad Rohani, 1991: 88-89).
Sang Buddha menjelaskan kedudukan guru harus dipandang sebagai arah Selatan, yaitu:
  • Dengan bangun dari tempat duduk mereka (memberi hormat),
  • Dengan melayani mereka,
  • Dengan tekad baik untuk belajar,
  • Dengan memberikan persembahan kepada mereka,
  • Dan dengan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.
Seorang guru memperlakukan muridnya dengan berbagai cara, yaitu:
  • Mendidik dan melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya,
  • Membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan,
  • mengajarnya secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian,
  • Berbicara baik tentang muridnya diantara sahabat dan kawan-kawannya,
  • Memperlengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah.
(D.III, 30).

Kualifikasi Guru
Seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencanakan pengajaran. Adapun kemampuan dalam mempersiapkan pengajaran meliputi:
1. Kemampuan merencanakan PBM, terdiri dari: kemampuan merumuskan tujuan, memilih metode, merencanakan langkah-langkah pengajaran.
2. Kemampuan mempersiapkan bahan pengajaran, yaitu menyiapkan bahan yang sesuai dengan tujuan, mempersiapkan pengayaan dan bahan remidial.
  • Kemampuan merencanakan media dan sumber, yaitu memilih media dan sumber pengajaran yang tepat.
  • Kemampuan merencanakan penilaian terhadap prestasi siswa, yaitu menyusun alat penilaian dan merencanakan penafsiran penggunaan hasil penilaian.
(Suryosubroto, 1997: 20).
Kriteria guru yang baik diantaranya bila guru itu tidak menyembunyikan ilmunya pada muridnya. Demikian pula Sang Buddha, mengajarkan Dhamma selama 45 tahun tanpa pamrih. Beberapa saat sebelum Parinibbana, Sang Buddha bersabda pada Ananda: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dari-Ku. Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membedakan ajaran umum dari ajaran rahasia (esoterik). Mengenai Dhamma, Ananda, tak ada satupun yang disembunyikan oleh diri-Ku sebagaimana dilakukan oleh seorang guru yang kikir” (D.II, 16).
Seorang guru tidak hanya pandai mengajar, tetapi ia juga harus melaksanakan apa yang ia ajarkan. ‘Sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri” (Dhp.159).
Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaiman seorang bhikkhu senior, yaitu: Ia menguasai analisis logika; menguasai analisis sebab akibat; menguasai tata bahasa; menguasai analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan oleh para pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A.III, 113).
EVALUASI BELAJAR
Aspek lain yang menjadi tugas pendidikan adalah melakukan penilaian (evaluasi). Evaluasi merupakan bagian dari kegiatan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dunia pendidikan, evaluasi berfungsi sebagai umpan balik terhadap kegiatan yang telah dilakukan, tidak hanya pada hasil belajar siswa, tetapi juga pada proses pengajaran itu sendiri.
Evaluasi dilaksanakan dengan berpatokan pada prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip dalam evaluasi, yaitu: prinsip keterpaduan, yaitu sebagai bagian tak terpisahkan dari program pengajaran; prinsip Cara Belajar Siswa Aktif, yaitu siswa sendiri yang mengukur kemampuan melalui evaluasi, guru hanya berfungsi untuk membantunya; prinsip kontinuitas, yaitu berlangsung selama proses kegiatan belajar-mengajar berjalan; dan prinsip koherensi, yaitu konsisten dengan tujuan dari pengajaran yang dilakukan; prinsip diskriminalitas, yaitu bahwa setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lain; prinsip keseluruhan/utuh terhadap semua aspek; prinsip paedagogis, yaitu harus bersifat mendidik, evaluasi harus dirasakan sebagai penghargaan bagi yang berhasil dan sebagai hukuman bagi yang gagal; prinsip akuntabilitas, yaitu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri (Ahmad Rohani, 1991: 160).
Buddha memberikan kriteria keberhasilan belajar dan latihan dengan pemahaman dan kecakapan (patisambhida) dalam hal: memahami maksud dan tujuan, mampu menjabarkan secara rinci dan mampu mempertimbangkan akibat; memahami intisari dan mampu meringkas, dan meneliti atau menunjukkan penyebab; cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang tepat; kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak (A.II, 160).

Reference:
Ahmad Rohani, 1991, Pengelolaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta.
H. Saddatissa, 1999, Sutta Nipata, Vihara Bodhivamsa, Klaten.
John D. Ireland, 1998, Ittivuttaka, Lembaga Anagarini Indonesia, Bandung.
Majalah Buddha Cakkhu, edisi Magha 2534, 1991, Dhammadipa Arama, Jakarta.
Materi Pelatihan Pandita Penatar/ MBI/2001.
Panjika, 1994, Kamus Umum Buddha Dharma, Tri Sattva Buddhist Centre, Jakarta.
Tanpa nama, 1997, Dhammapada, Hanuman Sakti, Jakarta.
Teja S.M Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Bodhi, Jakarta.

Candi Borobudur, Ajaran Hidup Buddha

Selain terkenal dengan Malioboro, Kaliurang, Parangtritis dan keratonnya, Yogya juga menyimpan sebuah obyek wisata yang sekaligus merupakan tempat pemujaan agama Buddha. Candi Borobudur, itulah namanya.
Candi ini terletak disebelah Barat Laut Yogya. Candi yang tercatat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini konon dibangun pada abad ke 8. Selain tercatat sebagai kuil Buddha terbesar di dunia, Borobudur juga memiliki keunikan tersendiri.
Candi ini tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong lorong inilah umat Budha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi kearah kanan (pradaksima).
Candi ini dibangun ketika Samaratungga - raja dari dinasti Syailendra memerintah di Jawa Tengah. Konon pembangunan candi ini memakan waktu setengah abad. Jika dilihat dari udara, Borobudur seolah tampak seperti bunga lotus yang akan berkembang, mengambang di atas air danau. Penelitian geologi membuktikan bahwa daerah Candi Borobudur dulu adalah sebuah danau yang luas.
Hingga kini belum diketahui arti Borobudur. Konon Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara (Sansekerta) berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur (berasal dari bahasa Bali, Beduhur) berarti di atas. Dengan kata lain, Borobudur berarti Biara di atas bukit.
Konon candi ini sempat terkubur oleh letusan gunung Merapi (950M) dan baru ditemukan lagi pada abad 19 oleh Gubernur Jenderal Jawa Sir Thomas Raffles (1814). Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar. Tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya.
Borobudur dikenal dengan nama “BANGUNAN SUCI 10 TINGKAT” karena memiliki 10 tingkat. Ini menggambarkan filsafat mazhab Mahayana yang mengajarkan bahwa setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha harus melalui sepuluh tingkatan Boddhisatva.
Barangsiapa mampu melampaui semua tingkat itu, ia akan mencapai kesempurnaan. Konon Borobudur merupakan tiruan dari alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.
Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kamma atau nafsu (keinginan) yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti dunia kita ini.
Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan "Alam Antara" yang memisahkan "Alam Bawah" (Kamadhatu) dengan "Alam Atas" (Arupadhatu).
Arupadhatu, yaitu "Alam Atas" atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, tidak berrelief.
Rahasia Angka
Jumlah tingkatan Borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di Arupadhatu yang didalamnya ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73.
Angka 73 bila dijumlahkan 7 + 3 = 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 1. Jumlah patung-patung di Borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 + 0 = 1.
Sang Adhi Buddha dalam agama Buddha tidak saja dianggap sebagai Buddha tertinggi, tetapi juga dianggap sebagai Asal dari segala Asal, dan juga asal dari keenam Dhyani Buddha, karenanya ia disebut sebagai "Yang Maha Esa".
Tiga Serangkai
Berdasarkan Prasasti Karangtengah (824M) maupun Prasasti Sri Kahulungan (842M) disebutkan bahwa selain Borobudur, ada dua candi lagi yang didirikan untuk mengagungkan kebesaran Buddha, yaitu Candi Mendut (didirikan Pramudyawardani) dan Candi Pawon (didirikan Indra).
Entah yang mana lebih dahulu didirikan, yang jelas ketiga candi yang terletak pada satu garis lurus dari timur menuju barat ini mempunyai makna tersendiri dan mempunyai keterikatan yang satu dengan yang lainnya.

DUTIYA-PALĀYI-JĀTAKA

“Panji-panjiku tak terhitung,” dan seterusnya.—[219] Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang petapa pengembara yang melarikan diri.
Kala itu, dikelilingi oleh rombongan orang banyak, duduk pada tempat duduk kebenaran (dhammāsana), di permukaan berwarna merah, Sang Guru memaparkan khotbah Dhamma, seperti seekor singa yang mengaum mengeluarkan suara singa. Petapa pengembara itu, yang melihat rupa Sang Buddha seperti Brahma, wajah-Nya seperti bulan purnama yang bercahaya, kening-Nya seperti papan emas, berbalik arah dari tempat dia datang di tengah-tengah rombongan dan melarikan diri, seraya berkata, “Siapa yang mampu mengalahkan orang seperti ini?”
Orang-orang pergi mengejarnya, kemudian kembali dan memberi tahu Sang Guru. Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya petapa pengembara ini bergegas kabur ketika melihat rupa keemasan-Ku, dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, Bodhisatta terlahir sebagai raja di Benares, dan di Takkasila terdapat seorang Raja Gandhāra. Raja ini, yang berkeinginan untuk menguasai Benares, pergi dan mengepung kota tersebut dengan empat kelompok pengawal.
Setelah mengambil posisi di depan gerbang kota, dia melihat ke arah pasukannya dan berkata, “Siapa yang mampu mengalahkan pasukan yang hebat seperti ini?” Dan untuk menguraikan pasukannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:—
Panji-panjiku tak terhitung jumlahnya:
mereka tidak memilikinya:
Kawanan burung (gagak) tidak mampu
menenangkan lautan yang bergejolak—
pun badainya tidak mampu menghancurkan gunung:—
Oleh karena itu, tidak ada siapa pun yang
mampu mengalahkan diriku.
[220] Kemudian Bodhisatta menunjukkan penampilannya yang berjaya, bagaikan bulan purnama yang bercahaya; dan untuk mengecamnya, berkata demikian: “Orang Dungu, berbicara tidak ada manfaatnya! Sekarang saya akan menghancurkan pasukanmu, seperti seekor gajah mabuk menghancurkan belukar!”
Dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Orang Dungu, belum pernahkah Anda
menemukan lawan tanding?
Anda sakit panas jika ingin melukai gajah liar
seperti diriku ini!
Seperti gajah-gajah yang menghancurkan batang-batang belukar,
demikianlah juga akan kuhancurkan dirimu!
Ketika mendengarnya mengecam demikian, [221] Raja Gandhāra menoleh ke atas dan melihat keningnya yang lebar seperti papan emas. Karena merasa takut dirinya akan tertangkap, dia pun berbalik arah dan melarikan diri, kembali ke kotanya sendiri.


Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Petapa pengembara itu adalah Raja Gandhāra, dan Raja Benares adalah diri-Ku sendiri.”

PALĀYI-JĀTAKA

“Pasukan-pasukan bergajah,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang petapa pengembara yang melarikan diri.
Dia mengembara ke seluruh Jambudīpa (India) dengan tujuan berdebat, dan tidak menemukan siapa pun untuk menantangnya. Kemudian dia mengembara sampai di Sāvatthi (Savatthi) dan menanyakan apakah ada orang yang mampu berdebat dengannya.
Orang-orang berkata, “Ada seseorang yang mampu berdebat denganmu dengan ribuan tesis148, Yang Mahatahu, Yang Unggul, Gotama Yang Mulia, Sang Wali Dhamma, Yang Melenyapkan Segala Pandangan (salah), tidak ada seorang pun yang mampu membantah ajaran-Nya di seluruh Jambudīpa, Yang Terberkahi. Seperti ombak yang hancur (mereda) di tepi pantai, demikianlah segala pandangan (salah) hancur di bawah kaki-Nya dan menjadi abu.” Demikianlah mereka menguraikan sifat-sifat mulia dari Sang Buddha.
“Di manakah Beliau berada sekarang?” tanya petapa tersebut. Mereka menjawabnya dengan mengatakan bahwa Beliau berada di Jetavana. “Saya akan mengadakan perdebatan tesis dengan-Nya!” kata petapa itu. Kemudian dengan diikuti oleh rombongan orang banyak, dia berjalan menuju Jetavana.
Ketika melihat gerbang Jetavana, yang dibangun oleh Pangeran Jeta dengan menghabiskan uang sembilan juta, dia menanyakan apakah Petapa Gotama tinggal di sana. Mereka menjawab bahwa itu adalah gerbangnya. “Jika itu adalah gerbangnya, seperti apa lagi kediamannya?” katanya dengan keras. “Ruangan wangi (gandhakuṭi) yang tiada taranya!” jawab mereka. “Siapa yang mampu berdebat dengan seorang petapa seperti ini?” katanya, dan langsung bergegas kabur.
Orang-orang berseru dalam sukacita, dan masuk ke dalam taman. “Apa yang membuat kalian datang ke sini tidak pada waktunya?” tanya Sang Guru. Mereka memberitahukan kepada Beliau apa yang terjadi. Beliau berkata, “Para Upasaka, ini bukanlah pertama kalinya dia bergegas kabur hanya karena melihat gerbang kediaman-Ku. Dia juga telah melakukannya di dalam kehidupan lampaunya.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


[217] Dahulu kala, Bodhisatta terlahir sebagai raja di Takkasilā (Takkasila), Kerajaan Gandhāra, dan Brahmadatta di Kerajaan Benares. Brahmadatta berkeinginan untuk menguasai Takkasila; oleh karena itu, dia memimpin rombongan bala tentaranya, mengambil posisinya tidak jauh dari kota tersebut, dan mengatur susunan bala tentaranya: “Pasukan bergajah di sebelah sini, pasukan berkuda di sebelah sini, pasukan berkereta di sebelah sini, dan pasukan berjalan kaki di sebelah sini: demikian kalian harus bertahan dan menyerang dengan senjata-senjata kalian, seperti awan-awan yang menurunkan hujan, demikianlah kalian menurunkan hujan panah!” dan dia mengucapkan bait-bait berikut:
Pasukan-pasukan bergajah dan berkudaku,
seperti badai awan di langit!
Lautan berombak dari pasukan berkeretaku
menembakkan hujan panah!
Pasukan berjalan kakiku,
menyerang dengan pedang di tangan,
dengan pukulan dan tusukan,
bergerak maju ke dalam kota,
sampai lawan-lawan mereka memakan debu!
Hancurkanlah mereka—jatuhkanlah mereka!
Teriakkanlah perang dengan keras!
Gajah-gajah secara serempak mengeluarkan raungan!
Seperti guntur menggelegar dan kilat menyambar di langit,
demikianlah suara-suara kalian
terdengar meneriakkan perang!
[218] Demikianlah raja berseru. Dia memerintahkan bala tentaranya berbaris dan bergerak ke depan gerbang kota. Ketika melihat gerbang kota itu, dia menanyakan apakah itu adalah kediaman raja. Mereka berkata, “Itu adalah gerbangnya.” “Jika gerbangnya saja seperti ini, seperti apa lagi istana raja? tanyanya lagi. Dan mereka menjawab, “Seperti Vejayanta, istana Dewa Sakka!” Mendengar jawaban tersebut, raja berkata, “Raja yang demikian berjaya tidak akan pernah mampu untuk ditaklukkan!” Setelah melihat gerbangnya, dia pun berbalik arah dan melarikan diri, kembali ke Benares.


Uraian ini berakhir, dan Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Petapa pengembara adalah Raja Benares, dan diri-Ku sendiri adalah Raja Takkasila.”

Catatan kaki :
148 vāda. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan.

KĀMANĪTA-JĀTAKA

“Tiga kota,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang bernama Kāmanīta (Kamanita).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Buku Kedua belas, dan juga di dalam Kāma-Jātaka145.


Raja Benares memiliki dua orang putra. Dari kedua putra tersebut, putra sulungnya pergi ke Benares dan menjadi raja di sana, sedangkan putra bungsunya menjadi wakil raja. Dia yang menjadi raja dikuasai oleh kotoran batin terhadap kesenangan indriawi, kekayaan, dan keserakahan terhadap perolehan.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Ketika meninjau keadaan Jambudīpa (India), dan memerhatikan bahwa Raja Benares dikuasai oleh nafsu kesenangan indriawi, dia berkata dalam dirinya, “Saya akan mengecam raja itu dan membuatnya malu.” Maka dengan menyamar sebagai seorang brahmana muda, dia kemudian pergi menemui raja dan menatapnya.
“Apa yang diinginkan anak muda ini?” tanya raja.
Dia berkata, “Paduka, saya melihat ada tiga kota yang makmur, subur, memiliki banyak gajah, kuda, kereta, bala tentara, penuh dengan hiasan, emas kepingan dan emas lantakan. Kota-kota ini dapat dikuasai hanya dengan (menurunkan) pasukan dalam jumlah kecil. Saya datang ke sini menawarkan diri menaklukkan kota-kota tersebut untukmu!”
“Kapankah kita akan berangkat, Anak Muda?
“Besok, Paduka.”
“Kalau begitu, pulanglah sekarang; Anda akan pergi besok pagi.”
“Baik, Paduka, bergegaslah untuk mempersiapkan pasukan!” Dan setelah berkata demikian, [213] Sakka kembali ke kediamannya.
Keesokan harinya, raja meminta pengawalnya untuk menabuh genderang dan menyiapkan pasukan. Dia memanggil para pejabat kerajaannya dan kemudian berkata demikian, “Kemarin seorang brahmana muda datang dan mengatakan bahwa dia akan menaklukkan tiga kota untukku—Uttarapañcāla, Indapatta, dan Kekaka. Oleh karena itu, kita akan pergi bersama dengan pemuda itu dan menaklukkan kota-kota tersebut. Panggillah dia segera!”
“Di mana Anda memberikannya tempat tinggal, Paduka?” “Saya tidak memberikannya tempat tinggal,” kata raja. “Apakah Anda memberikannya sesuatu untuk membayar tempatnya menginap?”
“Itu juga tidak.”
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat menemukannya?” “Cari di seluruh pelosok kota,” kata raja.
Mereka pun mencari, tetapi tidak dapat menemukannya.
Maka mereka kembali menjumpai raja dan memberitahukannya, “Oh Paduka, kami tidak dapat menemukannya.”
Kesedihan yang mendalam menyerang diri raja. “Kejayaan yang besar telah dirampas dariku!” rintihnya; jantungnya menjadi panas, darahnya menjadi mengalir tidak beraturan, penyakit disentri (pakkhandikā) menyerang dirinya, dan para tabib tidak mampu menyembuhkan dirinya.
Setelah tiga atau empat hari berselang, Sakka bermeditasi dan kemudian mengetahui tentang penyakit raja. Dia berkata, “Saya akan menyembuhkannya,” dan dengan berpenampilan sebagai seorang brahmana, dia pergi dan berdiri di depan gerbang istana. Dia meminta pengawal untuk memberitahukan kedatangannya kepada raja, “Seorang tabib brahmana datang untuk mengobatimu.”
Ketika mendengar kedatangannya, raja membalas, “Semua tabib kerajaan yang hebat tidak mampu mengobatiku. Berikan saja uang kepadanya dan minta dia untuk pergi.”
Sakka mendengar jawaban dari raja (melalui pengawalnya) dan membalas, “Saya tidak menginginkan uang untuk tempat tinggalku, pun tidak untuk keahlian pengobatanku. Saya pasti bisa mengobati raja: biarkanlah saya menjumpai raja!”
“Kalau begitu, izinkanlah dia masuk,” kata raja setelah mendengar perkataannya itu. Kemudian Sakka masuk, mendoakan kejayaan untuk raja, dan duduk di satu sisi.
“Apakah Anda bisa mengobatiku?” tanya raja.
Dia menjawab, “Ya, Paduka.”
“Sembuhkanlah diriku, kalau begitu!” kata raja.
“Baiklah, Paduka. Katakanlah kepadaku gejala-gejala penyakitmu dan bagaimana penyakit ini bisa menyerang dirimu— apa yang telah Anda makan atau minum, apa yang telah Anda lihat atau dengar, sehingga penyakit ini muncul.”
“Tāta146, penyakitku ini muncul disebabkan oleh sesuatu yang kudengar.”
Kemudian brahmana itu bertanya, “Apa itu (yang Anda dengar)?” [214]
“Teman, kemarin seorang brahmana muda datang dan menawarkan kepadaku untuk memenangkan dan memberikan kepadaku kekuasaan atas tiga kota: saya tidak memberikan kepadanya tempat tinggal, pun tidak sesuatu untuk membayar tempatnya menginap. Dia pasti menjadi marah pada diriku dan pergi menjumpai raja lainnya. Ketika saya memikirkan betapa besar kejayaan yang telah dirampas dariku itu, penyakit ini pun muncul menyerang diriku. Jika Anda memang mampu, sembuhkanlah penyakit ini, yang muncul disebabkan oleh pikiranku yang penuh nafsu (indriawi).”
Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Tiga kota, masing-masing berada tinggi di atas gunung,
ingin kukuasai, Pañcāla, Kuru147, dan Kekaka.
Sekarang ada satu hal yang kuinginkan lebih dari itu—
Oh Brahmana, sembuhkanlah diriku,
yang telah menjadi budak dari nafsu.
Kemudian Sakka berkata, “Paduka, Anda tidak dapat diobati dengan ramuan yang dibuat dari akar-akaran, melainkan dengan ramuan pengetahuan (ñāṇosadheneva).” Dan dia mengucapkan bait kedua berikut: [215]
Ada yang mampu mengobati gigitan ular hitam;
Orang bijak mampu mengobati luka yang
dibuat oleh makhluk bukan manusia.
Budak dari nafsu tidak ada tabib yang
mampu mengobatinya;
Obat apa yang dapat digunakan
untuk jiwa yang demikian teracuni?
Demikian Sang Mahasatwa menjelaskan maksudnya, dan menambahkan perkataan ini kemudian, “Paduka, seandainya Anda mendapatkan ketiga kota tersebut, kemudian ketika Anda memerintah empat kota, apakah Anda mampu untuk mengenakan empat jubah pada waktu bersamaan, apakah Anda mampu untuk makan dari empat piring emas, apakah Anda mampu untuk tidur (berbaring) di empat ranjang kerajaan? Oh Paduka, tidak seharusnyalah seseorang itu dikuasai oleh nafsu dambaan/keinginan (taṇhā). Taṇhā (tanha) adalah akar dari segala perbuatan jahat; Bila tanha berkembang, maka orang yang dikuasainya akan jatuh ke delapan alam neraka utama, atau enam belas alam neraka rendah lainnya, dan mengalami beragam jenis penderitaan.”
Demikian Sang Mahasatwa membuat raja menjadi takut dengan alam-alam neraka dan penderitaan, kemudian memberikan wejangan kepadanya. Setelah mendengar wejangan itu, rasa sakit di jantung raja menghilang dan dalam sekejap dia pun menjadi sembuh total. [216] Setelah memberikan nasihat kepadanya dan membuatnya kukuh dalam menjalankan latihan moralitas (sila), Sakka kemudian kembali ke alam dewa. Sejak saat itu, raja selalu memberikan derma/dana dan melakukan kebajikan lainnya, kemudian meninggal dan menerima buah (hasil perbuatan) sesuai dengan perbuatannya.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Bhikkhu yang menjadi budak dari nafsu adalah raja, dan diri-Ku sendiri adalah Sakka.”

Catatan kaki :
145 No. 467.
146 Sebutan kasih atau ramah atau penuh hormat untuk orang yang lebih muda atau lebih tua, lebih rendah atau tinggi statusnya. Sering kali di dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah ‘Friend’ atau ‘Dear’, yang biasanya diterjemahkan menjadi, ‘Teman’ atau ‘Yang terkasih.’
147 Kota Indapatta berada di dalam Kerajaan Kuru.

GŪTHA-PĀṆA-JĀTAKA

“Cocok sekali,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu.
Di sana, sekitar tiga perempat yojana141 dari Jetavana, terdapat sebuah desa niaga142, tempat dibagikannya makanan dalam jumlah besar dan juga makanan istimewa lainnya dengan menggunakan kupon. Di sana hiduplah seorang dungu yang suka bertanya, yang membuat kesal para bhikkhu muda dan sāmaṇera (samanera) yang datang untuk mengambil bagian mereka—[210] “Untuk siapakah makanan keras? Untuk siapakah minuman? Untuk siapakah makanan lunak?” Dia membuat siapa saja yang tidak bisa menjawab pertanyaannya menjadi malu, dan mereka sangat takut berjumpa dengannya sehingga mereka tidak berani datang ke tempat tersebut kembali.
Pada suatu hari, seorang bhikkhu mengunjungi balai kupon tersebut, dengan menanyakan, “Apakah ada makanan yang dibagikan di tempat anu, Bhante?” “Ya, Āvuso 143, tetapi ada seorang dungu yang suka bertanya di sana. Jika Anda tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya, maka dia akan mencerca dan mencelamu. Dia adalah orang yang begitu mengesalkan sehingga tidak ada seorang pun yang bersedia mendekati tempat itu.” “Bhante, berikanlah kupon (makanan) kepadaku untuk pergi ke tempat tersebut, akan kutaklukkan dirinya menjadi rendah hati dan akan kuubah dirinya sedemikian rupa sehingga ketika bertemu dengan kalian setelah kejadian ini, dia akan melarikan diri.”
Bhikkhu-bhikkhu tersebut menyetujuinya dan memberikan kupon kepadanya. Dia pun berjalan menuju desa niaga tersebut, dan sesampainya di depan gerbang, dia mengenakan jubah luarnya. Orang yang suka bertanya tersebut melihatnya, seperti seekor domba gila, menghampirinya dan berkata, “Jawablah sebuah pertanyaan dariku, Petapa!” “Tuan (Upasaka), biarlah saya berkeliling mendapatkan bubur terlebih dahulu, dan sesudahnya saya akan kembali ke balai.”
Ketika dia kembali dengan membawa makanannya, laki-laki itu mengulangi permintaannya. Bhikkhu tersebut menjawab, “Biarlah saya menyantap bubur ini terlebih dahulu, menyapu ruangan ini dan menukar kupon ini untuk mendapatkan makanan (nasi) bagianku.” Kemudian dia pun pergi untuk mengambil makanannya. Setelah meletakkan pattanya di tangan laki-laki tersebut, dia berkata, “Mari, sekarang saya akan menjawab pertanyaanmu.”
Kemudian dia membawanya keluar dari tempat tersebut, melipat jubah luarnya, menyampirkannya di bahu, mengambil kembali pattanya dari tangan laki-laki tersebut, dan berdiri menunggunya untuk memulai (bertanya). Laki-laki itu berkata, “Petapa, jawablah satu pertanyaan dariku.” “Baik, akan saya jawab.” Dengan satu pukulan dia membuatnya terjatuh di tanah, melukai matanya, memukulinya, membuang kotoran di wajahnya, dan pergi, dengan mengucapkan perkataan berikut untuk menakutinya, “Jika Anda menanyakan pertanyaan lagi kepada bhikkhu yang datang ke desa ini, maka Anda akan berhadapan denganku!”
Setelah kejadian itu, dia langsung kabur melarikan diri bilamana dia melihat seorang bhikkhu.
Kemudian cerita ini diketahui oleh para anggota Saṅgha (Sangha). Suatu hari, mereka membicarakannya di dalam balai kebenaran (dhammasabhā): “Āvuso, saya dengar bahwa bhikkhu anu membuang kotoran di wajah orang yang suka bertanya itu, dan pergi meninggalkannya!” Sang Guru berjalan masuk, dan ingin mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberitahukannya kepada Beliau. Beliau berkata, “Para bhikkhu, ini bukan pertama kalinya bhikkhu itu menyerangnya dengan kotoran, di kehidupan lampau dia juga telah melakukan hal yang sama.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


[211] Dahulu kala, penduduk Kerajaan Aṅga dan Magadha, yang bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, biasanya bermalam di sebuah rumah yang berada di perbatasan kedua kerajaan. Di sana mereka meminum minuman keras dan memakan daging dan ikan, dan di pagi harinya mengendarai kereta mereka kembali dan melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka pergi, seekor serangga144 kotoran, yang dituntun oleh aroma kotoran (sampah) tersebut, datang ke tempat itu dan melihat sisa minuman keras yang tumpah di tanah. Karena merasa haus, dia pun meminumnya dan kemudian kembali ke kediamannya di tempat tumpukan kotoran dalam keadaan mabuk. Ketika dia naik ke atas tumpukan kotoran, sampah-sampah yang basah menjadi bergeser sedikit. Dia berteriak dengan keras, “Bumi ini tidak sanggup menahan berat badanku!”
Pada saat itu, seekor gajah liar mendatangi tempatnya dan kemudian langsung berbalik arah karena mencium aroma yang tidak enak. Serangga itu melihatnya. “Makhluk yang di sana,” pikirnya, “takut dengan diriku, lihatlah bagaimana dia melarikan diri!—Saya harus bertarung dengannya!” dan demikian dia menantang gajah itu dengan mengucapkan bait berikut:—
Cocok sekali! Karena kita berdua adalah pahlawan:
di sini mari kita bertanding saling menguji:
Kembali, kembalilah, Gajah!
Mengapa Anda takut dan kabur?
Perlihatkanlah kepada Aṅga dan Magadha
betapa besarnya keberanian kita!
Gajah mendengarnya dan kemudian memerhatikan suaranya: dia berbalik arah menuju tempat serangga tersebut, dan mengucapkan bait kedua berikut, mengecamnya:—
Saya tidak akan membunuhmu dengan kaki,
atau dengan gading, atau dengan belalaiku,
melainkan dengan kotoranku, akan kubunuh dirimu;
Biarlah kotoran menghabisi kotoran.
[212] Setelah demikian membuang kotoran dan air (seni) pada dirinya, gajah membunuh serangga tersebut di sana, dan pergi dengan cepat masuk ke dalam hutan, sambil meraung.


Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, orang yang suka bertanya itu adalah serangga, bhikkhu tersebut adalah gajah, dan Aku adalah makhluk dewata yang berdiam di pohon yang melihat semua kejadian tersebut dari balik pepohonan.”

Catatan kaki :
141 gāvutaddhayojanamatte; ini bisa juga berarti ‘seperdelapan’. Sedangkan dalam edisi Chaṭṭa Saṅgāyana CD (CSCD), tertulis tigāvutaḍḍhayojanamatte.
142 nigamagāma.
143 Panggilan akrab sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior, biasa diartikan sebagai sahabat atau saudara; bisa juga digunakan sebagai panggilan akrab bhikkhu terhadap umat awam.
144 pāṇaka.

KOSIYA-JĀTAKA

[208] “Segala hal ada waktunya,” dan seterusnya. Sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Raja Kosala.
Cerita pembukanya telah dikemukakan sebelumnya140 .
Kemudian Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, Raja Benares berangkat untuk berperang tidak pada waktunya dan mendirikan sebuah perkemahan di dalam tamannya. Kala itu, seekor burung hantu terbang masuk ke dalam kumpulan pohon bambu dan bersembunyi di dalamnya.
Kemudian datang sekelompok burung gagak: “Kita akan menangkapnya,” kata mereka, “begitu dia keluar.” Mereka pun terbang mengelilingi daerah sekitarnya. Tidak pada waktunya, tidak menunggu hingga matahari terbenam, burung hantu terbang keluar dan mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Kawanan burung gagak mengepung dan mematuknya dengan paruh-paruh mereka sampai dia terjatuh ke tanah.
Raja bertanya kepada Bodhisatta, “Beri tahukanlah kepadaku, Orang Bijak, mengapa kawanan burung gagak tersebut menyerang burung hantu ini?” Dan Bodhisatta menjawab, “Mereka yang meninggalkan tempat tinggal mereka tidak pada waktunya, Paduka, akan mengalami penderitaan seperti ini. Oleh karena itu, sebelum waktunya tiba, hendaknya seseorang tidak meninggalkan tempat tinggalnya.”
Dan untuk menjelaskan masalah ini, dia mengucapkan bait-bait berikut:
Segala hal selalu ada waktunya;
dia yang pergi meninggalkan kediamannya,
baik sendirian maupun beramai-ramai,
tidak pada waktunya,
akan mendapatkan penderitaan;
Seperti yang dialami oleh burung hantu ini,
unggas yang tidak beruntung,
dipatuk sampai mati oleh kawanan burung gagak.
Dia yang memahami peraturan dan praktik ini;
Dia yang mengetahui kelemahan pihak lain;
Seperti burung hantu yang bijaksana,
dia akan mendapatkan kebahagiaan dan
mampu menaklukkan semua musuhnya.
[209] Setelah mendengar ini, raja pun kemudian bertolak kembali ke kediamannya.

Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Ānanda adalah raja, dan penasihat bijak adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
140 Lihat No. 176 di atas.

KHANTI-VAṆṆANA-JĀTAKA

“Ada seorang laki-laki,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang Raja Kosala.
Seorang bawahan yang sangat berguna berselingkuh di tempat kediaman selir. Meskipun tahu orang yang melakukan kejahatan tersebut, raja merahasiakan penghinaan itu, karena orang tersebut sangat berguna, dan raja menceritakannya kepada Sang Guru.
Sang Guru berkata, “Raja lain di masa lampau telah melakukan hal yang sama;” dan atas permintaannya, Beliau menceritakan kisah berikut.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, seorang bawahan di istananya terlibat perselingkuhan di tempat kediaman selir, dan seorang pembantu dari pejabat istana tersebut melakukan hal yang sama di rumahnya. Pejabat istana tersebut tidak dapat menahan penghinaan yang demikian. Jadi dia membawa pembantunya itu ke hadapan raja, sambil berkata, “Rajaku, [207] saya mempunyai seorang pelayan yang melakukan semua pekerjaan dengan baik, dan dia membuat saya menjadi seorang suami yang istrinya menyeleweng; apa yang harus saya lakukan kepadanya?” Dan dengan pertanyaan ini, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Ada seorang laki-laki di rumahku,
seorang pelayan rajin;
Dia mengkhianati kepercayaanku, oh Paduka!
Katakanlah—apa yang harus kulakukan?”
Ketika mendengar ini, raja mengucapkan bait kedua:—
Saya juga mempunyai seorang pelayan yang rajin;
dan di sini dia berdiri!
Laki-laki yang baik, saya percaya,
sudah langka ditemukan sekarang:
jadi sabar adalah saran saya.
Pejabat istana tersebut mengetahui bahwa kata-kata raja ini ditujukan terhadapnya, dan ke depannya, dia tidak berani lagi melakukan perbuatan salah di istana raja. Dan demikian juga pelayannya, mengetahui bahwa hal tersebut telah diceritakan kepada raja, ke depannya, dia tidak berani lagi untuk melakukan perbuatan tersebut.


Kisah ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:— “Aku adalah Raja Benares.” Dan pejabat istana pada cerita pembuka ini mengetahui bahwa raja telah menceritakannya kepada Sang Guru, tidak pernah melakukan perbuatan itu kembali.

KUMBHĪLA-JĀTAKA

“Oh kera,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Veḷuvana, tentang Devadatta..


Oh Kera, empat moralitas ini membawa kemenangan:
kebenaran, kebijaksanaan, pengendalian diri, dan kemurahan hati.
Tanpa empat berkah ini adalah tidak ada kemenangan:
kebenaran, kebijaksanaan, pengendalian diri, dan kemurahan hati.”

PUṬA-BHATTA-JĀTAKA

“Kehormatan untuk kehormatan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang tuan tanah.
Diceritakan bahwasanya pada suatu waktu, seorang tuan tanah warga Kota Sāvatthi melakukan bisnis dengan seorang tuan tanah dari desa. [203] Membawa istrinya bersama, dia mengunjungi orang ini, penghutang; tetapi penghutang menyatakan bahwa dia tidak dapat membayar. Dalam kemarahan, tuan tanah (beserta istrinya) berangkat pulang tanpa menyantap sarapan pagi. Dalam perjalanan, beberapa orang bertemu dengannya; dan melihat betapa kelaparannya orang tersebut, memberinya makanan, dan memintanya untuk berbagi dengan istrinya.
Ketika dia mendapatkan ini, dia tidak rela memberikan sebagian kepada istrinya. Maka kepada istrinya, dia berkata, “Istri, tempat ini terkenal sering dikunjungi oleh pencuri, jadi Anda lebih baik pergi ke depan.” Setelah berhasil menyingkirkannya, dia memakan semua makanan dan kemudian menunjukkan panci kosong kepadanya, sambil berkata — “Lihat ini, Istriku, mereka memberiku sebuah panci kosong!” Istrinya menduga bahwa suaminya telah memakan semuanya sendiri dan menjadi sangat jengkel.
Ketika mereka berdua melewati wihara di Jetavana, mereka berpikir akan masuk ke dalamnya dan minum air. Di sana Sang Guru duduk, dengan sengaja menunggu untuk menjumpai mereka, seperti seorang pemburu yang sedang mengintai, duduk di dalam kamar-Nya yang wangi (gandhakuṭi). Beliau menyambut mereka dengan ramah, dan berkata, “Upasika, apakah suami Anda baik dan menyayangimu?” “Saya mencintainya, Bhante,” jawabnya, “tetapi dia tidak pernah mencintaiku; dibiarkan sendirian, pada hari ini dia diberikan sepanci makanan dalam perjalanan dan tidak memberikan sedikit pun kepadaku, menghabiskan semuanya sendiri.” “Upasika, begitulah yang selalu terjadi—Anda menyayangi dan baik, dan dia tidak menyayangi; tetapi ketika dengan bantuan orang bijak, dia mengetahui kebaikanmu, dia kemudian memberikan semua kehormatan kepadamu.”
Kemudian, atas permintaannya, Beliau menceritakan kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta adalah putra dari salah seorang pejabat istana. Ketika dewasa, dia menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Raja takut akan putranya, kalau-kalau dia bakal melukainya, dan mengirimnya pergi. Membawa istrinya, putranya itu pergi dari kota dan datang ke Desa Kāsi, tempat dia menetap. Setelah beberapa waktu, ayahnya meninggal, putranya mendengar hal itu dan kembali ke Benares; “Saya mungkin akan mewarisi kerajaannya yang merupakan hak kelahiranku,” katanya.
Dalam perjalanannya, seseorang memberinya nasi, sambil berkata, “Makan dan berikanlah kepada istrimu juga.” Tetapi dia tidak memberikan sedikit pun dan menghabisinya sendiri. [204] Istrinya berpikir — “Ini adalah seorang laki-laki yang sungguh kejam!” dan dia dipenuhi dengan kesedihan.
Ketika suaminya tiba di Benares dan mewarisi kerajaannya, dia menjadikan istrinya sebagai permaisuri raja, tetapi berpikir—“Sedikit saja cukup untuknya,” dia tidak memberikan penghargaan atau kehormatan lainnya, bahkan tidak menanyakan bagaimana keadaannya.
“Permaisuri ini,” pikir Bodhisatta, ”melayani raja dengan baik dan mencintainya, sedangkan raja tidak memikirkannya sedikit pun. Saya akan membuat raja memberikan kehormatan dan penghargaan kepadanya.” Maka dia datang ke permaisuri dan memberi salam, berdiri di satu sisi. “Ada apa, Guru?” tanyanya.
“Permaisuri,” Bodhisatta bertanya, “bagaimana kami dapat melayani Anda? Bukankah seharusnya Anda memberikan kepada orang-orang tua ini sepotong baju atau semangkuk nasi?” “Guru, saya tidak pernah menerima apa pun untuk diriku sendiri; apa yang dapat kuberikan kepada Anda? Jika saya menerima, apakah saya pernah tidak memberi? Tetapi sekarang raja tidak memberikan apa pun kepadaku, apalagi memberikan sesuatu kepada yang lain, ketika dia dalam perjalanan, dia menerima semangkuk nasi dan tidak memberikan sedikit pun kepadaku—dia menghabiskannya sendiri.”
“Baik, Permaisuri, sanggupkah Anda mengatakan ini di depan raja?”
“Ya,” balas permaisuri.
“Baiklah, kalau begitu. Hari ini, ketika saya berdiri di hadapan raja, di saat saya menanyakan pertanyaanku, berikanlah jawaban yang sama; dan hari ini juga saya akan membuat kebaikanmu disadari (oleh raja).” Maka Bodhisatta pergi dan berdiri di hadapan raja. Dan permaisuri juga pergi dan berdiri di dekat raja.
Kemudian Bodhisatta berkata, “Permaisuri, Anda sangat kejam. Bukankah seharusnya Anda memberikan orang-orang tua ini sepotong pakaian dan sepiring makanan?” Dan permaisuri menjawab, “Guru, saya sendiri tidak menerima apa pun dari raja: apa yang dapat saya berikan kepada Anda?”
“Bukankah Anda permaisuri raja?” Bodhisatta bertanya. “Guru,” kata permaisuri, “apa artinya menjadi seorang permaisuri raja kalau tidak ada kehormatan diberikan? Apa yang akan diberikan raja kepada saya sekarang? Ketika dia mendapatkan sepiring nasi di tengah perjalanan. [205] Dia bahkan tidak memberikan sedikit pun kepadaku, malah menghabiskan semuanya sendiri.”
Dan Bodhisatta bertanya kepada raja, “Benarkah begitu, Paduka?” Dan raja mengiyakannya. Ketika Bodhisatta melihat raja mengangguk, “Kalau begitu, Permaisuri,” katanya, “mengapa harus tinggal di sini bersama raja setelah dia telah menjadi tidak baik? Di dunia ini, kesatuan tanpa kasih sayang adalah hal yang menyakitkan. Ketika Anda tinggal di sini, kesatuan tanpa kasih sayang dengan raja akan membawa kesengsaraan bagimu. Rakyat menghormati orang yang menghormati (orang lain), dan ketika tidak ada yang menghormati—Segera setelah Anda melihatnya, Anda seharusnya pergi ke tempat lain; banyak orang yang hidup di dunia ini.”
Dan beliau mengucapkan bait-bait berikut:
Kehormatan untuk kehormatan,
kasih sayang untuk kasih sayang
adalah hal yang wajar:
Lakukan kebajikan untuk orang yang
melakukan hal yang sama terhadapmu:
Ketaatan menghasilkan ketaatan; tetapi ini jelas
tak seorang pun ingin membantu orang
yang tidak akan membantu lagi.
Membalas pengabaian untuk pengabaian,
jangan tinggal untuk menyenangkan orang
yang kasihnya telah tiada. Dunia ini luas; dan
ketika burung-burung melihat dari jauh pohon-pohon
yang telah kehilangan buah—mereka terbang pergi.
Mendengar ini, raja memberikan semua penghormatan kepada permaisurinya; dan sejak saat itu, mereka hidup bersama dalam persahabatan dan keharmonisan.


[206] Ketika Sang Guru telah mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Suami istri itu adalah orang yang sama di dalam kisah ini, dan penasihat bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”

CŪLA-NANDIYA-JĀTAKA

“Saya teringat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana, tentang Devadatta.
Suatu hari para bhikkhu berdiskusi di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta itu adalah orang yang kasar, bengis dan kejam, penuh dengan muslihat untuk menentang Sammāsambuddha. Dia melemparkan batu 138 , dia bahkan menggunakan bantuan Nāḷāgiri139; tidak ada perasaan kasihan dan belas kasih dalam dirinya terhadap Tathāgata.”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan ketika mereka duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Devadatta berkelakuan kasar, kejam, tanpa kasihan, tetapi dia juga begitu sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera yang bernama Nandiya, dan berdiam di daerah Himalaya; adiknya yang paling bungsu bernama Jollikin. Mereka berdua memimpin sebuah kelompok delapan puluh ribu ekor kera, dan mereka merawat ibunya yang buta di rumah.
Mereka meninggalkan ibu mereka di sarangnya di semak-semak dan pergi di antara pepohonan untuk mencari segala jenis buah liar yang manis, yang kemudian mereka kirim ke rumah untuknya. Para kera pesuruh tidak menyampaikannya. Tersiksa karena lapar, dia pun menjadi kurus kering. Bodhisatta berkata kepadanya, “Ibu, kami mengirim banyak buah-buahan manis kepadamu: apa yang membuatmu menjadi kurus?”
“Putraku, saya tidak pernah mendapatkannya!” [200] Bodhisatta merenung, “Di saat saya menjaga kawananku, ibuku akan mati! Saya akan meninggalkan kelompok itu, dan merawat ibuku sendiri.” Jadi dia memanggil adiknya, “Adik,” katanya, “kamu pimpin kawanan ini dan saya akan menjaga ibu.”
“Tidak, Kakak,” jawabnya, “mengapa saya harus memimpin kawanan itu? Saya juga hanya akan menjaga ibu!” Jadi mereka berdua memiliki satu pikiran dan meninggalkan kawanan kera tersebut, mereka membawa ibu mereka turun dari Himalaya dan berdiam di sebuah pohon beringin di daerah perbatasan, tempat mereka merawat sang ibu.
Kala itu, seorang brahmana yang tinggal di Takkasilā, yang telah menuntut ilmu dari seorang guru yang terkenal dan setelah itu, memohon diri, mengatakan bahwa dia akan pergi. Guru ini mempunyai kemampuan untuk meramal dari tanda-tanda badan seseorang; dan demikian dia merasa bahwa muridnya kasar, kejam dan bengis. “Anakku,” katanya, “Anda kasar, kejam dan bengis. Orang-orang seperti Anda tidak akan makmur dalam situasi apa pun; mereka hanya akan mendapatkan penderitaan dan kehancuran. Janganlah bertindak kasar dan berbuat sesuai kehendak diri Anda atau Anda akan menyesal setelahnya.” Dengan nasihat ini, dia membiarkannya pergi.
Pemuda itu berpamitan pada gurunya dan melanjutkan perjalanannya ke Benares. Di sana dia menikah dan berumahtangga. Karena tidak mampu untuk mencari nafkah dari keahlian-keahliannya yang lain, dia bertekad untuk hidup dari busurnya. Jadi dia mulai bekerja sebagai seorang pemburu, dan meninggalkan Benares untuk mencari nafkah. Menetap di perbatasan desa, dia menyisir hutan dengan dilengkapi busur dan anak panahnya, dan hidup dari menjual segala jenis daging hewan buas yang dia bunuh.
Suatu hari, ketika sedang pulang menuju ke rumah, setelah tidak menangkap apa pun di dalam hutan, dia melihat sebuah pohon beringin tumbuh berdiri di pinggir sebuah tanah lapang di hutan. “Mungkin,” pikirnya, “di sini ada sesuatu.” Dan dia membalikkan wajahnya ke pohon beringin tersebut. Kedua kera bersaudara tersebut baru saja memberi makan buah-buahan kepada ibu mereka dan duduk di belakangnya, di pohon itu, ketika mereka melihat laki-laki tersebut datang. “Meskipun dia melihat ibu kita,” kata mereka, “apa yang akan dilakukannya?” dan mereka bersembunyi di antara cabang-cabang pohon.
Kemudian orang jahat ini, ketika naik ke pohon dan melihat ibu kera tersebut lemah karena usia lanjut dan buta, berpikir, “Mengapa saya harus pulang dengan tangan kosong? Saya akan bunuh kera betina ini dahulu!” [201] dan mengangkat busurnya untuk membunuhnya. Bodhisatta melihat dan berkata kepada saudaranya, “Jollikin, orang ini hendak membunuh ibu kita! Saya akan menyelamatkan hidupnya. Setelah saya mati, Anda jagalah ibu kita.” Sambil berkata demikian, dia turun keluar dari pohon dan berteriak, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Dia buta dan lemah karena usia lanjut. Saya akan menyelamatkan hidupnya; jangan membunuhnya, tetapi bunuhlah saya!” Dan setelah yang lain berjanji kepadanya, dia duduk di tempat sejauh jangkauan anak panah.
Pemburu itu tanpa kasihan membunuh Bodhisatta; setelah dia jatuh, laki-laki itu mempersiapkan panahnya untuk membunuh ibu kera. Jollikin melihat ini dan pikirnya dalam hati, “Pemburu di sana ingin menembak ibuku. Walaupun ibu hanya hidup satu hari, dia akan menerima hadiah dari kehidupan; Saya akan memberikan nyawaku untuknya.” Maka, dia turun dari pohon, dan berkata, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Saya akan memberikan nyawaku untuknya. Bunuhlah saya—bawa kami dua bersaudara, dan ampunilah nyawa ibu kami!” Pemburu itu menyetujuinya dan Jollikin jongkok tidak jauh dari jangkauan anak panahnya. Pemburu membunuh yang satu ini juga, dan membunuhnya—“Ini cukup untuk anak-anakku di rumah,” pikirnya—dan dia menembak ibu kera itu juga; menggantungkan mereka bertiga di galahnya dan menuju ke rumah. Pada saat itu petir menyambar rumah laki-laki jahat itu, membakar istri dan kedua anaknya beserta rumah itu: tidak ada yang tersisa selain atap dan bambu yang tegak.
Seorang laki-laki bertemu dengannya di perbatasan memasuki desa dan menceritakan kepadanya. Kesedihan akan istri dan anak-anaknya melanda dirinya; di tempat itu juga dia menjatuhkan galahnya beserta hewan buruannya dan busurnya, melemparkan pakaiannya, dan telanjang dia menuju ke rumah, meratap dengan kedua tangan terjulur. Kemudian bambu yang tegak tersebut terbelah dan jatuh di atas kepalanya lalu menindihnya. Bumi terbuka lebar, api muncul dari neraka. Ketika dia ditelan bumi, dia teringat akan peringatan gurunya: [202] “Inilah ajaran yang diberikan Brahmana Pārāsariya kepadaku!” Dan sambil meratap, dia mengucapkan bait-bait berikut:
Saya teringat kata-kata guruku:
inilah yang dimaksudnya!
Hati-hatilah, jangan melakukan sesuatu
yang mungkin akan Anda sesali.
Apapun yang dilakukan seseorang,
hal yang sama akan menimpa dirinya sendiri:
Orang yang baik menjumpai yang baik,
dan yang jahat dirancang mendapatkan kejahatan;
Perbuatan kita semuanya adalah sama seperti benih,
akan menuaikan buah sejenisnya.
Demikian meratap, dia turun ke bawah bumi dan terlahir di alam neraka yang dalam.

Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, yang Beliau tunjukkan bagaimana pada masa lainnya, seperti pada masa itu, Devadatta menjadi jahat, kejam dan bengis, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah pemburu, Sāriputta adalah guru terkenal, Ānanda adalah Jollikin, Gotamī adalah ibu kera, dan Aku sendiri adalah Nandiya.”

Catatan kaki :
137 Questions of Milinda, iv. 4. 24 (diterjemahkan ke S. B. E., xxxv. 287).
138 Untuk pelemparan batu lihat di Cullavagga vii. 3. 9; Hardy, Manual, hal. 320.
139 Seekor gajah ganas, dilepaskan atas permintaan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha. Lihat di Cullavagga vii. 3. 11 f. (Teks Vinaya, S. B. E., iii. 247 f.); Milinda, iv. 4. 44 (dimana dia dipanggil Dhanapālaka, seperti di Vol. i. 57); Hardy, Manual, hal. 320.

KĀSĀVA-JĀTAKA

“Jika ada seseorang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Devadatta.
Ini adalah suatu kejadian yang terjadi di Rājagaha. Ada suatu waktu, Panglima Dhamma tinggal dengan lima ratus bhikkhu di Veḷuvana. Dan Devadatta, dengan sekelompok orang yang jahat seperti dirinya, tinggal di Gayāsīsa.
Kala itu, penduduk Rājagaha biasanya berkumpul bersama dengan tujuan memberikan derma. Seorang pedagang, yang datang ke sana untuk berdagang, membawa sebuah jubah kuning wangi yang indah sekali, bertanya jikalau dia boleh bergabung mereka, dan memberikan pakaian ini sebagai dermanya. Orang-orang kota membawa banyak sekali pemberian. Semua yang disumbangkan oleh mereka yang berkumpul bersama terdiri dari uang tunai. Hanya jubah inilah yang tersisa.
Kelompok yang datang bersama itu berkata, “Ini ada jubah wangi yang cantik tersisa. Siapa yang akan memilikinya—Thera Sāriputta atau Devadatta?” Beberapa orang memilih Sāriputta: yang lain berkata, “Thera Sāriputta akan tinggal di sini selama beberapa hari, [197] dan setelah itu akan bepergian sesuai dengan keinginannya sendiri; sedangkan Devadatta selalu tinggal di dekat kota kita; dia adalah tempat perlindungan kita di saat baik atau buruk. Devadatta-lah yang berhak memilikinya!” Mereka terpisah, dan yang memilih Devadatta adalah suara terbanyak. Jadi kepada Devadatta-lah mereka memberikannya. Devadatta meminta orang mengguntingnya menjadi potongan-potongan, menjahitnya, mewarnainya dengan warna keemasan, lalu dia memakainya.
Pada saat itu juga, tiga puluh bhikkhu datang ke Sāvatthi untuk memberi hormat kepada Sang Guru. Setelah beruluk salam, mereka menceritakan kepada Beliau semua kejadian ini, dan menambahkan, “Dan demikianlah, Bhante, Devadatta memakai tanda orang suci, yang tidak cocok buatnya.” “Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya, Devadatta memakai pakaian seorang suci, pakaian yang paling tidak sesuai, tetapi dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor gajah di daerah pegunungan Himalaya. Raja dari sebuah kumpulan delapan puluh ribu ekor gajah liar, dia tinggal di hutan.
Seorang laki-laki miskin yang tinggal di Benares, ketika melihat pekerja kerajinan gading di pasar gading membuat gelang dan bermacam-macam barang perhiasan gading, menanyakan mereka apakah mereka mau membeli gading gajah jika dia bisa mendapatkannya. Mereka mengiyakannya.
Maka dia membawa sebuah senjata dan memakai jubah kuning di badannya, dia menyamar menjadi seorang Pacceka-Buddha136, dengan sebuah penutup di kepalanya. Berdiri di jalan gajah-gajah itu, dia membunuh salah satu dari mereka dengan senjatanya, menjual gadingnya di Benares; dan dengan beginilah dia mencari nafkah. Setelah ini, dia mulai membunuh gajah yang berjalan paling belakang di kelompok Bodhisatta.
Dari hari ke hari, gajah-gajah menjadi makin sedikit. Kemudian mereka pergi dan menanyakan kepada Bodhisatta mengapa jumlah mereka semakin berkurang. Dia mengetahui sebabnya. “Ada orang,” pikirnya, “ yang berdiri di tempat gajah lewat, membuat dirinya kelihatan seperti seorang Pacceka-Buddha. Apakah dia yang membunuh gajah-gajah itu? Saya akan mencari tahu.” Jadi suatu hari, dia mengutus yang lainnya di depannya [198] dan dia mengikuti dari belakang. Orang tersebut melihat Bodhisatta dan menyerangnya dengan senjata. Bodhisatta berbalik dan berdiri. “Saya akan memukulnya ke tanah dan membunuhnya!” pikirnya: dan merentangkan belalainya,—ketika dia melihat jubah kuning yang dipakai orang itu—“Saya harus menghormati jubah suci itu!” katanya. Jadi menarik belalainya kembali, dia berteriak—“Oh Manusia, bukankah itu jubah, tanda kesucian, tidak cocok untukmu? Mengapa Anda memakainya?” Dan dia mengulangi bait-bait berikut ini:
Jika ada seseorang, yang masih penuh dengan keburukan,
berani memakai jubah kuning, yang tidak memiliki pengendalian diri
atau kecintaan terhadap kebenaran,
maka dia tidak layak memakai jubah tersebut.
Dia yang telah terbebas dari keburukan,
yang di mana saja kukuh dalam moralitas,
yang memiliki pengendalian diri terhadap nafsunya, dan benar,
maka dia layak memakai jubah kuning tersebut.
[199] Dengan kata-kata ini, Bodhisatta mengecam orang tersebut dan memintanya untuk tidak pernah datang ke sana lagi, kalau tidak dia akan mati untuk itu. Demikian dia mengusirnya.


Setelah uraian berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah orang yang membunuh gajah-gajah tersebut, dan pemimpin kelompok (gajah) itu adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
136 Seseorang yang telah memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai nibbana, tetap tidak bisa mengajarkannya pada orang.

DHAMMADDHAJA-JĀTAKA

“Anda kelihatan seakan-akan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana, tentang usaha-usaha untuk membunuh-Nya.
Pada kesempatan ini, seperti sebelumnya, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Devadatta mencoba untuk membunuh-Ku dan tidak berhasil membuat-Ku takut, tetapi dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah ini.


Dahulu kala seorang raja yang bernama Yasapāṇi (Yasapani) memerintah di Benares. Panglimanya bernama Kāḷaka (Kalaka). Pada masa itu, Bodhisatta adalah pendeta kerajaannya, bernama Dhammaddhaja. Ada juga seorang pemuda bernama Chattapāṇi (Chattapani). Raja adalah seorang yang baik, tetapi panglimanya menerima suap dalam mengadili perkara; dia adalah seorang pengkhianat; dia menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah.
Suatu hari, seseorang yang telah kalah dalam gugatan keluar dari pengadilan, sedang meratap dan menjulurkan tangannya [187] ketika dia berjumpa dengan Bodhisatta, sewaktu Bodhisatta hendak pergi melayani raja. Sambil berlutut, orang tersebut berteriak menceritakan bagaimana dia telah dicurangi dalam perkaranya: “Meskipun orang seperti Anda, Tuanku, menasihati raja hal-hal di dunia ini dan yang akan datang, panglima tetap menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah!”
Bodhisatta merasa kasihan kepadanya. “Kemarilah, Teman,” katanya, “saya akan mengadili perkara Anda untukmu!” dan dia menuju ke pengadilan. Orang banyak berkumpul bersama. Bodhisatta mencabut hukumannya dan memberikan keadilan hukum kepadanya, yang berhak. Para penonton bertepuk tangan. Suara yang ditimbulkan sangat riuh. Raja mendengarnya, dan bertanya—“Suara apa yang kudengar ini?”
“Paduka,” jawab mereka, “ada sebuah perkara yang diadili dengan salah dan telah diadili dengan benar oleh Yang Bijak Dhammaddhaja; itulah sebabnya mengapa ada sorakan.”
Raja senang dan memanggil Bodhisatta. “Mereka memberitahuku,” dia memulai, “bahwa Anda telah mengadili sebuah perkara?” “Ya, Paduka, saya mengadili apa yang Kalaka tidak adili dengan benar.”
“Jadilah Anda seorang hakim mulai hari ini,” kata raja; “Ini akan menjadi hiburan bagi telingaku, dan kemakmuran bagi dunia!” Bodhisatta enggan, tetapi raja memohon kepadanya— “Atas belas kasihan terhadap semua makhluk, duduklah Anda dalam pengadilan!” dan raja pun mendapatkan persetujuannya.
Sejak saat itu, Kalaka tidak lagi menerima hadiah-hadiah, dan kehilangan keuntungannya. Dia memfitnah Bodhisatta di depan raja, dengan berkata, “Oh Paduka, Dhammaddhaja yang bijaksana mendambakan kerajaanmu!” Tetapi raja tidak percaya dan memintanya untuk tidak berkata demikian.
“Jika Anda tidak percaya,” kata Kalaka, “lihatlah keluar jendela saat kedatangannya. Maka Anda akan melihat bahwa dia telah mendapatkan seluruh kota di tangannya.”
Raja melihat orang banyak di sekelilingnya di balai pengadilannya. “Itulah rombongannya,” pikirnya. Raja pun mengalah. “Apa yang harus kita lakukan, Panglima?” tanyanya.
“Paduka, dia harus dihukum mati.” [188] “Bagaimana kita dapat menghukum mati dirinya tanpa menemukan kejahatan besar?” “Ada sebuah cara.” kata yang lain. “Cara apakah itu?” “Suruh dia lakukan apa yang tidak mungkin, dan jika dia tidak dapat, maka hukum mati dirinya untuk itu.”
“Tetapi apa yang tidak mungkin untuknya?”
“Paduka,” jawabnya, “perlu waktu dua atau empat tahun bagi sebuah kebun berbuah, dengan tanah yang subur, bila ditanam dan dirawat. Panggillah Bodhisatta untuk menghadapmu dan katakan—‘Kami menginginkan sebuah taman hiburan (untuk bersenang-senang) besok. Buatlah sebuah taman untuk kami!’ dia tidak akan sanggup untuk melakukan ini, dan kita akan membunuhnya untuk kesalahan itu.”
Raja berbicara sendiri kepada Bodhisatta. “Tuan Bijak, kami telah bermain cukup lama di taman yang tua; sekarang kami sangat membutuhkan sebuah taman baru untuk bermain. Buatkanlah sebuah taman untuk kami! Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda akan mati.”
Bodhisatta berpikir, “Pasti Kalaka telah menghasut raja untuk melawanku, karena dia tidak lagi mendapatkan hadiah-hadiah.”—“Jika saya bisa,” katanya kepada raja, “Paduka, saya akan melakukannya.” Dan dia pulang ke rumah. Setelah makan, dia berbaring di tempat tidurnya, sambil berpikir keras. Istana Sakka menjadi panas131. Sakka merasakan kesulitan Bodhisatta. Dia segera datang kepadanya, masuk ke ruangannya, dan bertanya kepadanya—“Tuan yang Bijak, apa yang sedang Anda pikirkan?”—sambil melayang di udara.
“Siapakah Anda?” tanya Bodhisatta.
“Saya adalah Sakka.”
“Raja memintaku untuk membuat sebuah taman: itulah yang sedang saya pikirkan.” “Tuan yang Bijak, jangan bersusah hati: saya akan membuatkan Anda sebuah taman seperti Hutan Nandana dan Cittalatā! Di manakah harus saya buat taman itu?”
“Di tempat anu,” katanya kepada Sakka. Sakka membuatkannnya, dan kembali ke alam dewa.
Hari berikutnya, Bodhisatta melihat taman itu benar-benar ada di sana, dan menantikan kehadiran raja. “Oh Paduka, taman sudah siap, pergilah ke tempat bermainmu!”
Raja datang ke tempat itu dan melihat sebuah kebun dengan sebuah pagar yang panjangnya delapan belas hasta, diwarnai dengan merah terang, mempunyai gerbang-gerbang dan kolam-kolam, [189] sangat indah dengan beragam jenis pohon penuh dengan bunga dan buah! “Orang bijak itu telah menyelesaikan apa yang kuminta,” katanya kepada Kalaka, “sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Oh Paduka!” jawabnya, “jika dia dapat membuat sebuah taman dalam semalam, tidak dapatkah dia merampas kerajaanmu?” “Baiklah, apa yang harus kita lakukan?” “Kita akan memintanya melakukan sesuatu yang lain yang tidak mungkin.”
“Apa itu?” tanya raja.
“Kita akan memintanya membuat sebuah danau yang memiliki tujuh batu permata!” Raja setuju, lalu meminta kepada Bodhisatta: “Guru, Anda telah membuatkan sebuah taman. Sekarang buatlah sebuah danau untuk memadaninya, dengan tujuh batu permata. Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda tidak layak hidup!” “Baiklah, Paduka,” jawab Bodhisatta, “saya akan membuatnya jika saya sanggup.”
Kemudian Sakka membuatkan sebuah danau besar yang sangat indah, mempunyai seratus tempat pendaratan, seribu teluk kecil, ditutupi semuanya oleh bunga teratai dengan lima warna yang berbeda, seperti danau di Nandana.
Hari berikutnya, Bodhisatta melihat ini juga, dan berkata kepada raja: “Lihat, danau telah dibuat!” Dan raja melihat, menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan. “Mintalah kepadanya, Paduka, buatkan sebuah rumah untuk memadaninya,” katanya.
“Buatkanlah sebuah rumah, Guru,” kata raja kepada Bodhisatta, “semua terbuat dari gading, untuk memadani kebun dan danau: jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda harus mati!”
Sakka membuatkan sebuah rumah yang demikian juga. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. Ketika raja melihatnya, dia menanyakan Kalaka kembali mengenai apa yang harus dilakukan. Kalaka berkata kepadanya untuk meminta Bodhisatta membuatkan sebuah permata untuk memadani rumah tersebut. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Guru, buatkanlah sebuah permata untuk memadaninya dengan rumah gading ini; Saya akan berkeliling melihatnya dengan kilauan permata; jika Anda tidak dapat membuatkannya, Anda harus mati!” Kemudian Sakka membuatkan sebuah permata juga untuknya. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. [190] Ketika raja melihatnya, dia kembali menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Paduka!” jawabnya, “saya kira pasti ada makhluk dewata yang melakukan apa saja yang diharapkan oleh Brahmana Dhammaddhaja. Sekarang mintalah kepadanya sesuatu yang bahkan dewa pun tidak sanggup membuatnya. Bahkan seorang dewa pun tidak akan sanggup membuat seseorang dengan empat moralitas 132 ; karena itu mintalah kepadanya untuk membuatkan seorang penjaga dengan empat kualitas ini.” Jadi raja berkata, “Guru, Anda telah membuatkan sebuah kebun, sebuah danau, sebuah istana (rumah untuk raja), dan sebuah permata untuk memberikan sinar. Sekarang buatkanlah seorang penjaga dengan empat moralitas untukku, untuk menjaga kebun; jika Anda tidak dapat melakukannya, Anda harus mati.”
“Baiklah,” jawabnya, “jika itu memungkinkan, saya akan melakukannya.” Dia pulang ke rumah, makan, dan berbaring.
Kemudian dia bangun di pagi hari, duduk di tempat tidurnya, dan berpikir demikian, “Apa yang Raja Sakka dapat buat dengan kekuatannya, telah dibuatnya. Dia tidak dapat membuat seorang penjaga taman dengan empat moralitas. Sudah begini, lebih baik mati kesepian di dalam hutan, daripada mati di tangan orang lain.” Jadi tanpa berkata apa pun kepada siapa pun, dia turun dari tempat tinggalnya dan melewati kota dari gerbang utama, dan masuk ke hutan, dan dia duduk di bawah sebuah pohon dan merenung dengan keyakinan yang baik. Sakka merasakannya; dan dengan wujud seorang penjaga hutan, dia menghampiri Bodhisatta, sambil berkata, “Brahmana, Anda masih muda dan berhati mulia. Mengapa Anda duduk di sini di dalam hutan ini, seperti Anda tidak pernah merasakan sakit sebelumnya?” Sambil bertanya, dia mengulangi bait pertama:—
Anda kelihatan seakan-akan kehidupanmu bahagia;
tetapi di dalam hutan liar, Anda akan menjadi tunawisma,
seperti orang malang yang hidupnya sengsara
dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian.
[191] Terhadap ini Bodhisatta menjawab dengan bait kedua:—
Saya kelihatan seakan-akan hidupku bahagia;
tetapi di dalam hutan saya akan menjadi tunawisma,
seperti orang malang yang hidupnya sengsara
dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian,
merenungkan kebenaran yang diketahui oleh para suci.
Kemudian Sakka berkata, “Jika begitu, mengapa, Brahmana, Anda duduk di sini?”
“Raja,” jawabnya, “memerlukan seorang penjaga kebun dengan empat moralitas. Orang seperti itu tidak bisa ditemukan; jadi saya berpikir—‘Mengapa harus binasa di tangan orang? Saya akan pergi ke hutan dan mati kesepian’. Maka ke sinilah saya datang dan di sinilah saya duduk.”
Kemudian yang lain menjawab, “Brahmana, saya adalah Sakka, raja dari para dewa. Oleh saya, kebunmu dibuat dan juga semua yang lainnya. Seorang penjaga kebun yang memiliki empat moralitas tidak dapat dibuat, tetapi di negerimu ada seorang yang bernama Chattapani, yang membuat perhiasan untuk raja dan dia adalah orang itu. Jika seorang penjaga kebun dibutuhkan, pergilah dan jadikanlah pekerja ini sebagai penjaga kebun.” Dengan kata-kata ini, Sakka kembali ke alam dewa, setelah menghiburnya dan memintanya untuk tidak takut.
[192] Bodhisatta pulang ke rumah dan setelah sarapan, dia pergi ke gerbang-gerbang istana dan di sanalah dia melihat Chattapani. Dia memegang tangannya dan bertanya kepadanya—“Benarkah, seperti yang kudengar, Chattapani, apakah Anda diberkahi dengan empat moralitas?”
“Siapa yang mengatakan demikian?” tanya yang lain. “Sakka, raja para dewa.”
“Mengapa dia berkata begitu kepadamu?” Dia menceritakan semua dan menjelaskan alasannya. Yang lain berkata, “Ya, saya diberkahi dengan empat moralitas.” Bodhisatta, sambil memegang tangannya, membawanya ke hadapan raja. “Ini, Paduka, adalah Chattapani, yang diberkahi dengan empat moralitas. Jika dibutuhkan seorang penjaga kebun, jadikanlah dia sebagai penjaga kebun itu.”
“Benarkah, seperti yang kudengar,” tanya raja kepada Chattapani, “apakah Anda mempunyai empat moralitas?”
“Benar, Paduka.”
“Apa saja itu?” tanya raja.
“Saya tidak iri dan tidak minum minuman keras, tidak memiliki nafsu yang besar, kemarahan bukan milikku,” katanya demikian.
“Chattapani,” teriak raja, “apakah Anda mengatakan Anda tidak memiliki rasa iri?”
“Ya, Paduka, saya tidak memiliki rasa iri.”
“Apa saja yang Anda tidak iri?”
“Dengarlah, Paduka!” katanya, dan dia menceritakan bagaimana dia tidak merasa iri dalam bait berikut133:–
Seorang pendeta kerajaan yang terikat saya campakkan—
Yang seorang wanita membuat saya melakukannya:
Dia mendidikku dalam pengetahuan suci,
sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.
[193] Kemudian raja berkata, “Chattapani, mengapa Anda berpantang minuman keras?” dan dia menjawab dengan bait berikut134
Pernah suatu ketika saya mabuk dan
saya memakan daging putraku sendiri di atas piringku:
Kemudian, tersentuh dengan duka dan penderitaan,
bertekad untuk tidak pernah meminumnya lagi.
[194] Kemudian raja berkata, “Tetapi apa, Tuan, yang membuat Anda biasa saja, tidak memiliki cinta (nafsu)?” Orang tersebut menjelaskan dengan kata-kata ini135:–
Raja Kitavāsa adalah namaku:
Seorang raja yang mulia adalah diriku;
Putraku memecahkan patta Pacceka Buddha
dan karena itu dia harus mati.
[195] Kata raja kemudian, “Apakah yang membuatmu tidak memiliki kemarahan?” Dan dia membuat masalah itu lebih jelas dalam kalimat-kalimat ini:
Sebagai Araka, selama tujuh tahun
saya mempraktikkan kemurahan hati;
dan kemudian selama tujuh zaman
menetap di alam brahma yang tinggi.
Ketika Chattapani telah menjelaskan empat kebajikannya, raja memberikan pertanda kepada pelayannya.
Dan dalam sekejap seluruh istana, [196] para petapa dan orang awam, semuanya bangkit dan berteriak terhadap Kalaka—“Anda, pemakan suap, pencuri, dan orang rendah! Anda tidak bisa lagi mendapatkan suap, dan Anda hendak membunuh orang bijaksana dengan memfitnahnya!” Mereka menangkap Kalaka pada tangan dan kakinya, kemudian mengusirnya keluar istana; lalu mengambil apa pun yang dapat mereka raih, batu dan kayu, mereka memecahkan kepalanya dan melakukannya sampai dia mati. Sambil menarik kakinya, mereka melemparkannya ke dalam tempat tumpukan kotoran.
Sejak saat itu, raja memerintah dengan benar, sampai dia wafat sesuai dengan hasil dari perbuatannya.


Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Panglima Kāḷaka (Kalaka), Sāriputta adalah Chattapāṇi (Chattapani), dan Aku sendiri adalah Dhammaddhaja.”

Catatan kaki :
131 Ini diduga terjadi ketika orang baik berada dalam kesulitan. Beberapa takhayul modern, membangkitkan rasa kasihan dewa kalau makhluk-makhluk kesakitan, dapat dilihat di North Ind. N. dan Q. iii 285. Seperti ini: “ Minyak panas dituangkan ke dalam telinga seekor anjing, dan kesakitannya itu membuatnya menjerit. Itu dipercayai bahwa jeritannya didengar oleh Raja Indra, yang kasihan dan menghentikan hujan.”
132 Caturcaṅga-samannāgataṁ; itu adalah kebetulan yang sangat ganjil yang Pythagoreans menyebutnya dengan orang sempurna τετράγωνος ‘empat persegi’ (lihat di syair Simonides, di Plat. Prot. 339B ).
133 Berikut ini adalah penjelasan untuk kalimat-kalimat ini. Cerita ini adalah dari No.120, yang bait pertama dari bait-bait yang lain menyusul, ditulis. “Ini adalah maksudnya. Pada masa lampau, saya adalah Raja Benares seperti ini, dan demi seorang wanita saya memenjarakan seorang pendeta kerajaan.
Kebebasan dibatasi, ketika yang bodoh berkata:
Ketika yang bijaksana berbicara, ikatan itu dibebaskan.
Seperti yang diceritakan dalam kisah kelahiran tersebut, Chattapani menjadi raja. Permaisuri raja berselingkuh dengan enam puluh empat budak. Dia menggoda Bodhisatta, dan ketika beliau tidak dapat tergoda, dia mencoba menghancurkannya dengan memfitnahnya; kemudian raja menyeretnya ke dalam penjara. Bodhisatta dibawa ke hadapan raja dengan terikat, dan menjelaskan kasus yang sebenarnya. Kemudian dia sendiri dibebaskan; dan kemudian dia meminta raja untuk membebaskan semua budak yang di penjara, dan menasihatinya untuk memaafkan permaisuri dan semua budak. Kelanjutannya diartikan sesuai dengan penjelasan di atas. Atas kutipan ini, dia berkata
Seorang pendeta kerajaan yang terikat saya campakkan—
Yang seorang wanita membuat saya melakukannya:
Dia mendidikku dalam pengetahuan suci,
sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.
Tetapi kemudian saya berpikir, saya telah menghindari enam belas ribu wanita, dan saya tidak dapat memuaskan yang satu ini dalam nafsu. Seperti dalam kemarahan, berkata, ‘Mengapa itu kotor?’ ketika sebuah pakaian kotor; seperti dalam kemarahan, berkata, ‘Mengapa bisa menjadi begini?’ ketika setelah makan orang-orang melanjutkan minum. Saya memutuskan selanjutnya tidak akan ada rasa iri yang akan timbul dalam diriku melewati nafsu, kalau-kalau saya gagal menjadi orang suci. Mulai saat itulah saya telah terbebaskan dari rasa iri. Inilah maksud perkataan, ‘Sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.”
134 Para cendikiawan menceritakan kisah berikut untuk menjelaskan bait ini.—“Saya pernah menjadi,” kata pembicara, “seorang Raja Benares; Saya tidak dapat hidup tanpa minuman keras dan daging. Adapun binatang-binatang di kota itu tidak boleh disembelih pada hari Uposatha (uposathadivasesu); jadi juru masak telah mempersiapkan daging-daging untuk makanan Uposatha saya sebelum hari itu (tanggal 13 penanggalan bulan). Ini, dengan susah payah disimpan, anjing memakannya. Juru masak tidak berani datang ke hadapan raja pada hari Uposatha untuk menghidangkan makanan lezat dan beragamnya di ruangan atas tanpa daging, jadi dia meminta nasihat permaisuri, “Permaisuri, hari ini saya tidak mempunyai daging; dan tanpanya, saya tidak berani menawarkan makanan kepadanya, apa yang harus saya lakukan?” Kata permaisuri, “Raja sangat sayang kepada putraku. Ketika dia memanjakannya, dia hampir tidak tahu apakah dia ada atau tidak. [194] Saya akan mendandani putraku, dan memberinya ke tangan raja, dan ketika dia bermain dengannya, Anda hidangkan makan malamnya; dia tidak akan memperhatikannya.” Jadi permaisuri mendandani anak kesayangannya, dan memberikannya ke tangan raja. Ketika raja bermain dengan putranya, juru masak menghidangkan makan malam. Raja, marah karena mabuk, dan melihat tidak ada daging di atas piring, bertanya di mana dagingnya. Jawaban bahwasanya tidak ada daging pada hari itu karena tidak boleh membunuh pada hari Uposatha. “Apakah susah untuk mendapatkan daging untukku?” katanya; dan kemudian raja memijit leher putra kesayangannya ketika putranya itu duduk di tangannya, dan membunuhnya; melemparnya ke hadapan juru masak, dan berkata kepadanya untuk melihat dengan saksama dan memasaknya. Juru masak mematuhi, dan raja memakan daging putranya sendiri. Untuk ketakutan terhadap raja, tidak ada seorang pun yang berani menangis atau meratap atau mengatakan satu patah kata pun. Raja makan dan pergi tidur. Pagi harinya, setelah tidur karena mabuknya, dia menanyakan putranya. Kemudian permaisuri jatuh dan menangis di kakinya, dan berkata, “Oh, Paduka, semalam Anda telah membunuh putramu dan memakan dagingnya!” Raja menangis dan meratap kesedihan, dan berpikir, “Ini karena meminum minuman keras!” Kemudian, setelah melihat keburukan minuman keras, saya memutuskan bahwa kalau-kalau saya pernah menjadi orang suci, saya tidak akan pernah menyentuh arak yang mematikan ini; mengambil abu, dan menggosoknya ke mulutku. Sejak saat itu saya tidak meminum minuman keras lagi. Ini adalah maksud dari kalimat, “Pernah suatu ketika saya mabuk.”
135 Para cendikiawan menceritakan kisah ini: “Artinya adalah, Dahulu kala, saya adalah raja bernama Kitavāsa (Kitavasa), dan memiliki seorang putra. Peramal mengatakan bahwa anak laki-laki ini akan mati karena kekurangan air. Jadi dia diberi nama Duṭṭhakumāra (Dutthakumara). Ketika tumbuh dewasa, dia menjadi wakil raja. Raja menjaga putranya dekat sampingnya, di depan atau di belakang; dan untuk mementahkan ramalan itu, dibuatlah tangki di keempat gerbang kota dan di mana-mana di dalam kota; dia membuat ruangan di alun-alun dan persimpangan jalan, dan menaruh kendi berisi air di dalamnya. Suatu hari pemuda tersebut, berpakaian bagus, pergi ke taman sendirian. Dalam perjalanannya, dia melihat Pacceka Buddha di jalan, dan banyak orang berbicara kepada-Nya, memuji-Nya, memberi hormat kepada-Nya. [195] ‘Apa!’ pikir pangeran, ‘ketika orang seperti saya lewat, semua orang memberikan hormatnya kepada petapa di sana?’ Karena marah, dia turun dari gajah dan bertanya kepada-Nya apakah Beliau telah menerima makanan-Nya. ‘Ya,’ balas-Nya. Pangeran mengambil dari-Nya, melemparkannya ke tanah, nasi dan mangkuk-Nya, dan melumatkannya di bawah kakinya. “Orang ini benar-benar tersesat!’ kata Pacceka Buddha, dan melihat wajahnya. ‘Saya adalah Pangeran Duttha, putra Raja Kitavasa!’ kata pangeran— ‘apa yang dapat Anda lakukan kepadaku, melihat dengan penuh kemarahan kepadaku dan menatapku?’ Pacceka Buddha, yang telah kehilangan makanannya, terbang ke udara dan pergi ke sebuah gua di kaki pegunungan Nanda, di Himalaya bagian utara. Dan saat itu juga perbuatan jahat pangeran mulai menuai hasilnya, dan dia berteriak—“Saya terbakar! Saya terbakar!’ Tubuhnya terbakar dalam kobaran api, dan dia jatuh ke jalan tempat dia berdiri; semua air di sekitarnya mengering, saluran mengering, di sanalah dia binasa, dan masuk ke neraka. Raja mendengarnya, dan tidak dapat menahan kesedihan. Kemudian dia berpikir— ‘Kesedihan ini menimpaku karena saya sangat sayang terhadap putraku. Jika saya tidak memiliki kesayangan, maka saya tidak akan merasa sakit. Sejak saat itulah saya memutuskan bahwa saya tidak akan menyayangi apapun, yang bernyawa atau tidak bernyawa.”