Sabtu, 03 November 2012

Hari Kathina

Dalam menyambut masa Kathina yang berlangsung selama satu bulan --dari tanggal 27 Oktober s/d 25 November 2007--, ada baiknya kita mengingat dan menelusuri kembali sejarah Kathina. Bagi umat Buddha, masa Kathina erat kaitannya dengan berdana kepada Sangha. Masa Kathina selalu disambut umat Buddha dengan begitu meriah, ini dapat dilihat dari semangat umat Buddha memperingati Kathina dengna berbondong-bondong datang ke Vihara. Mereka dengan perasaan bahagia, dan penuh ketulusan hati melakukan persembahan kepada Sangha.

Peristiwa ini sudah berlangsung beribu-ribu tahun lamanya dan menarik sekali apabila kita telusuri bagaimana sesungguhnya Kathina sampai ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama?

Sejarah mencatat bahwa setelah meraih Pencerahan Agung, Sang Buddha melakukan perjalanan ke Taman Rusa Isipatana, di dekat Benares. Beliau membabarkan Dhamma yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta kepada lima orang pertapa yang pernah menjadi sahabatNya? Kondana, Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Setelah menguraikan khotbah pertama, Sang Buddha tetap tinggal disana. Beliau bertemu dengan Yasa -- anak seorang pedagang kaya raya di Benares -- dan memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Disamping itu, Sang Buddha juga membabarkan Dhamma kepada ayah Yasa dan empat sahabat Yasa. Mereka beserta para pengikutnya -- semuanya berjumlah lima puluh lima orang -- meninggalkan kehidupan berumah tangga, memasuki kehidupan tanpa rumah (menjadi Bhikkhu), dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

Masa penyebaran Dhamma telah dimulai. Tetapi pada saat itu Sang Buddha belum menyatakan masa Vassa dan masa Kathina. Semangat untuk menyebarkan Dhamma dalam diri para Bhikkhu nampaknya sangat besar.

Hal ini bisa terlihat dari adanya sekelompok Bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas, maupun musim hujan (Sebagaimana diketahui di India hanya dikenal tiga Musim).

Melihat hal ini masyarakat mengkritik dengan mengatakan, "Mengapa para Bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas dan musim hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rumput-rumputan, serta merusak kehidupan yang sangat penting dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? Tetapi pertapa-pertapa lain, yang walaupun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (Vinaya), namun mereka menetap selama musim hujan".

Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang Bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian di atas. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal, dan bersabda :

"Para Bhikkhu, saya izinkan kamu untuk melaksanakan masa Vassa".

Kemudian terpikir oleh para Bhikkhu,

"Kapan masa Vassa dimulai ?".

Mereka menyatakan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau kemudian menyatakan, "Saya izinkan kamu melaksanakan masa Vassa selama musim hujan".

Kemudian terpikir lagi oleh para Bhikkhu,

"Berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa ?".

Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau berkata,

"O para Bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa, yang awal dan yang berikutnya. Yang awal dimulai sehari setelah purnama di bulan Asalhi (Kini dikenal dengan Hari Raya Asadha) dan yang berikutnya dimulai sebulan setelah purnama di bulan Asalhi. Itulah dua periode untuk memulai musim hujan". Sejauh ini belum ada ketetapan mengenai Kathina Upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Sang Buddha baru menetapkan masa Vassa dan sejak saat itu, para Bhikkhu melaksanakan masa Vassa. Pada masa Vassa para Bhikkhu menetap selama musim hujan dan melatih dirinya.

Kathina mempunyai kisah tersendiri, sebagai berikut, pada waktu itu Sang Buddha menetap di Savatthi, di hutan Jeta di vihara yang di dirikan oleh Anathapindika. Ketika itu terdapat tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava sedang mengadakan perjalanan ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Buddha.

Ketika masa Vassa tiba, mereka belum sampai di Savatthi. Mereka memasuki masa Vassa di Saketa dengan berpikir,

"Sang Buddha tinggal sangat dekat, hanya enam yojana dari sini tetapi kita tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Sang Buddha".

Setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, dengan jubah basah kuyup dan kondisi yang lelah mereka sampai di Savatthi. Setelah memberi hormat, mereka duduk dengan jarak yang pantas.

Sang Buddha berkata,

"O para Bhikkhu, semoga semuanya berjalan dengan baik. Saya berharap kalian mendapatkan sokongan hidup. Selalu penuh persahabatan dan harmonis dalam kelompok. Kamu melewatkan masa Vassa dengan menyenangkan dan tidak kekurangan dalam memperoleh dana makanan".

Kemudian para Bhikkhu menjawab:

"Segala sesuatu berjalan dengan baik, Sang Bhagava. Kami mendapatkan sokongan yang cukup, dalam kelompok selalu penuh persahabatan dan harmonis, dan mendapatkan dana makanan yang cukup. Kami sebanyak tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Bhagava, tetapi ketika musim hujan mulai, kami belum sampai di Savatthi untuk bervassa. Kami memasuki masa Vassa dengan penuh kerinduan dan berpikir, Sang Bhagava tinggal dekat dengan kita, enam yojana, tetapi kita tidak mempunyai kesempatan melihat Sang Bhagava. Kemudian kami, setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, menjalankan pavarana, hujan, ketika air telah berkumpul, rawa telah terbentuk, dengan jubah yang basah kuyup dan kondisi yang lemah dalam perjalanan yang jauh".

Setelah memberikan wejangan Dhamma,Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu,

"O para Bhikkhu, Saya izinkan untuk membuat jubah Kathina bila menyelesaikan masa Vassa secara lengkap........".

Demikianlah izin membuat jubah Kathina ditetapkan Sang Buddha ketika Beliau tinggal di Savatthi.

Sampai sekarang Kathina tetap diperingati sebagai upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha. Hubungan harmonis antara Bhikkhu Sangha dan umat awam seperti yang tercermin dalam masa Kathina ini, sungguh merupakan suatu berkah dalam kehidupan ini. Kathina memang memberikan makna yang mendalam bagi umat Buddha.

Jumat, 02 November 2012

MAHĀPIṄGALA-JĀTAKA

“Raja Piṅgala (Pingala),” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Devadatta.
Selama sembilan bulan Devadatta berusaha untuk menyebabkan kehancuran bagi Sang Buddha, dan berakhir dengan masuk ke dalam bumi, di depan gerbang Jetavana.
Kemudian orang-orang yang tinggal di Jetavana dan negeri sekitarnya, menjadi bersukacita, sembari berkata, “Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi: musuh telah musnah, dan Buddha telah tercerahkan sempurna!” [240] Mendengar hal ini mereka ucapkan berulang-ulang, orang-orang di seluruh Jambudīpa (India), para yaksa, dewa, dan semua makhluk juga turut bersukacita.
Suatu hari, para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, dan demikian mereka berkata, “Āvuso, Devadatta ditelan bumi, orang-orang bersukacita sembari berkata, ‘Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi!’ ” Sang Guru berjalan masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan ini, Para Bhikkhu?” Mereka pun memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, orang-orang bersukacita dan bergembira atas kematian Devadatta. Sebelumnya juga mereka bersukacita dan bergembira seperti sekarang ini.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala, Mahāpiṅgala (Mahapingala), seorang raja yang jahat dan kejam memerintah di Benares, yang melakukan perbuatan buruk sesuka hatinya. Dengan pajak dan denda, banyaknya pemotongan 158 dan perampasan, dia memeras rakyatnya seperti tebu di penggilingan; dia adalah orang yang kasar, kejam, dan tak berperasaan. Terhadap orang lain, dia tidak memiliki sedikit pun belas kasihan; di dalam istana, dia adalah seorang yang tidak ramah dan seorang yang tidak menyenangkan terhadap istri-istrinya, putra putrinya, para pejabat kerajaannya, dan para pengurus kerajaannya. Dia seperti setitik debu yang masuk ke dalam mata, seperti kerikil kecil dalam beras, seperti duri dalam daging.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai putra Raja Mahapingala. Setelah memerintah dalam waktu yang lama, akhirnya raja meninggal. Ketika dia meninggal, seluruh penduduk Benares bersukacita dan bergembira; mereka membakar jenazahnya dengan kayu dari ribuan gerobak, dan menyiram tempat kremasinya itu dengan air dari ribuan kendi, kemudian melantik Bodhisatta menjadi raja: mereka menabuh genderang perayaan di seluruh pelosok kota, sebagai tanda kebahagiaan bahwa mereka telah mendapatkan seorang raja yang baik.
Mereka mengibarkan panji-panji dan menghiasi kota; di setiap rumah dibangun paviliun, orang-orang menaburkan biji-bijian dan bunga, duduk pada tempat yang telah dihiasi tersebut di bawah peneduh yang bagus, makan dan minum. Bodhisatta sendiri duduk pada dipan yang bagus yang terdapat di mimbar besar, dalam keagungannya, dengan payung putih yang terbentang di atas kepalanya. Para pejabat kerajaan dan pengurus kerajaan, penduduk dan pengawal (penjaga pintu) berdiri mengelilingi raja mereka.
Akan tetapi, terdapat seorang penjaga pintu yang berdiri tidak jauh dari raja, mendesah dan menangis terisak-isak. “Pengawal,” kata Bodhisatta yang sedang memerhatikan dirinya, “semua orang sedang bersukacita dan bergembira atas kematian ayahku, sedangkan Anda berdiri sambil menangis. Katakan, apakah semasa hidupnya, ayahku bersikap baik dan menyenangkan terhadap dirimu?”
Setelah bertanya demikian, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Raja Pingala semasa hidupnya
sangatlah kejam kepada semua orang;
Sekarang dia telah meninggal,
semuanya bernapas lega kembali.
Apakah dia baik terhadap dirimu sebelumnya?
Mengapa Anda berdiri menangis di sini?
Setelah mendengarnya, dia menjawab, “Saya bukan menangis atas kematian Raja Pingala. Kepalaku ini sekarang sudah cukup bahagia. Semasa hidupnya, setiap kali turun dari istana atau naik ke istananya, Raja Pingala selalu memukul kepalaku dengan delapan pukulan dari tangannya, seperti pukulan dari palu seorang pandai besi. Jadi ketika dia terlahir kembali di alam rendah, dia akan memberikan delapan pukulan kepada penjaga gerbang neraka, Dewa Yama, seperti yang dilakukannya kepadaku. Kemudian orang-orang di sana akan berteriak—‘Dia terlalu kejam untuk kami!’ dan mengirimnya kembali ke atas. Dan saya takut dia akan datang kembali dan memberikan pukulan-pukulan di kepalaku kembali. Itulah sebabnya saya menangis.”
Untuk menjelaskan masalah ini, dia mengucapkan bait kedua berikut:—[242]
Raja Pingala sama sekali tidak menunjukkan kebaikan:
Yang kutakutkan adalah saat kembalinya sang raja.
Bagaimana kalau dia memukul raja kematian,
kemudian raja kematian mengirimnya kembali ke atas?
Kemudian Bodhisatta berkata, “Raja Pingala telah dibakar dengan kayu dari ribuan gerobak, tempat kremasinya telah disiram dengan air dari ribuan kendi, dan tanah di sekelilingnya juga telah digali; makhluk yang telah meninggal, kecuali oleh kekuatan kelahiran kembali159, tidak pernah kembali ke dalam bentuk jasmani yang sama seperti sebelum dia meninggal. Tidak ada yang perlu ditakutkan!”
Dan untuk menghibur dirinya, dia mengulangi bait berikut:
Kayu dari ribuan kereta telah membakarnya
Air dari ribuan kendi telah membersihkan sisa-sisa pembakaran;
Tanahnya telah digali ke kiri dan ke kanan—
Jangan takut—raja itu tidak akan pernah kembali.
Setelah mendengar ini, penjaga pintu tersebut menjadi gembira. Bodhisatta memerintah kerajaan dengan benar, dia selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dia kemudian meninggal dunia dan menerima hasilnya sesuai dengan perbuatannya.


Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Piṅgala (Pingala), dan putranya adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
157 Folk-Lore Journal, III. 126.
158 -jaṁghakahāpaṇādigahanena, diasumsikan sebagai ‘pemotongan/pengambilan kaki, uang, dan lain sebagainya.’
159 aññattha gativasā.

HARITA-MĀTA-JĀTAKA

“Ketika saya berada di dalam jaring mereka,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana (Veluvana), tentang Ajātasattu (Ajatasattu).
Ketika Mahākosala, ayah Raja Kosala, menikahkan putrinya dengan Raja Bimbisāra (Bimbisara), dia memberikan sebuah desa yang terdapat di Kāsi kepada putrinya. Setelah Ajatasattu membunuh Bimbisara, ayahnya, tidak lama kemudian sang ratu juga meninggal dunia dikarenakan rasa cintanya terhadap suaminya.
Bahkan sepeninggal ibunya, Ajatasattu masih menikmati upeti dari desa tersebut. Akan tetapi, Raja Kosala menyatakan bahwa seorang pembunuh yang membunuh orang tuanya sendiri tidak boleh memiliki sebuah desa, yang merupakan miliknya sebagai warisannya, dan kemudian menyatakan perang dengannya.
Kadang-kadang sang paman yang memenangkan pertempuran dan kadang-kadang sang keponakan yang memenangkannya. Ketika memenangkan pertempuran, Ajatasattu mengibarkan panjinya dan berbaris masuk ke dalam kerajaannya dalam kejayaan, tetapi ketika kalah dalam pertempuran, dia kembali ke dalam kerajaannya dengan diam-diam, tanpa memberi tahu siapa pun.
Pada suatu hari, para bhikkhu duduk membicarakan masalah ini di dalam balai kebenaran. “Āvuso, Ajatasattu bergembira ketika mengalahkan pamannya (dalam pertempuran), dan bersedih ketika mengalami kekalahan.” Sang Guru yang berjalan masuk ke dalam balai, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. [238] Mereka memberitahukan Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya orang ini bergembira ketika dia menang, dan bersedih ketika dia kalah.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor katak hijau. Pada waktu itu, orang-orang meletakkan jaring-jaring di semua lubang yang terdapat di sungai-sungai untuk menangkap ikan.
Seekor ular air, yang sedang asyik memakan ikan, masuk ke dalam salah satu perangkap jaring tersebut. Sejumlah ikan berkumpul bersama dan menggigiti ular itu, sampai sekujur tubuhnya berlumuran darah. Melihat tidak ada bantuan yang bisa didapatkannya dan takut akan kematian, ular itu (menyelip) keluar dari ujung jaring, kemudian berbaring kesakitan di tepian.
Pada waktu yang bersamaan, katak hijau tersebut melompat berada di depan jaring. Tidak tahu siapa yang bisa menolongnya, ular bertanya kepada katak mengenai apa yang dilihatnya di dalam jaring itu— “Teman Katak, apakah kamu senang dengan kelakukan ikan-ikan di sana?” dan mengucapkan bait pertama berikut:
Ketika saya berada di dalam jaring mereka,
ikan-ikan menggigitiku.
Katak hijau, apakah itu hal yang benar?
Kemudian katak menjawab, “Ya, itu benar. Mengapa tidak? Jika kamu memangsa ikan-ikan yang masuk ke daerah kekuasaanmu, [239] maka ikan-ikan akan memangsamu ketika kamu masuk ke daerah kekuasaan mereka. Di kediaman sendiri, di daerah kekuasaan sendiri, dan di tempat mencari makanan sendiri, tidak ada makhluk yang lemah.”
Setelah berkata demikian, dia mengucapkan bait kedua berikut:
Orang-orang merampas
ketika mereka masih mampu;
Dan ketika mereka telah tidak mampu,
mengapa mereka harus bersedih?
Setelah Bodhisatta demikian mengutarakan pendapatnya, semua ikan yang memerhatikan keadaan ular yang sudah lemah, berkata, “Mari kita habisi musuh kita!” Mereka keluar dari jaring, menggigiti ular tersebut di semua bagian sampai akhirnya dia mati, dan kemudian mereka pergi.


Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Ajātasattu (Ajatasattu) adalah ular air, dan katak hijau adalah diri-Ku sendiri.”

EKAPADA-JĀTAKA

[236] “Beri tahukanlah kepadaku,” dan seterusnya.— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang saudagar.
Dikatakan bahwasanya hiduplah seorang saudagar di Sāvatthi (Savatthi). Pada suatu hari, ketika sedang duduk di pangkuannya, putranya bertanya kepadanya pertanyaan “pintu”156. Dia membalas, “Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh seorang Buddha, tidak ada orang lain yang mampu menjawabnya selain Beliau.”
Maka dia membawa putranya ke Jetavana, kemudian memberi hormat kepada Sang Guru. “Bhante,” katanya, “ketika putraku duduk di pangkuanku, dia menanyakan sebuah pertanyaan ‘pintu’ kepadaku. Saya tidak mengetahui jawabannya, jadi saya membawanya ke sini untuk mendapatkan jawabannya.” Sang Guru berkata, “Upasaka, ini bukanlah pertama kalinya anak laki-laki ini mencari jalan untuk memenuhi tujuan (akhir)-nya dan menanyakan pertanyaan ini kepada orang bijak, dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya, dan orang bijak itu telah memberikan jawaban kepada dirinya. Akan tetapi, disebabkan oleh tumpukan kelahiran yang berulang-ulang, dia pun telah melupakannya.”
Atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadata memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang putra hartawan. Dia tumbuh dewasa, dan ketika ayahnya meninggal dunia, dia mengambil alih kedudukan ayahnya sebagai seorang hartawan.
Dan putranya, seorang anak laki-laki, menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan selagi duduk di pangkuannya. “Ayah,” katanya, “beri tahukanlah kepadaku satu hal yang mencakup berbagai macam makna,” dan mengulangi bait pertama berikut:—
Beri tahukanlah kepadaku
satu hal yang dapat mencakup segala hal:
Dengan apakah, singkatnya,
kita dapat mencapai tujuan akhir kita?
Ayahnya menjawab dalam bait kedua berikut:—
Satu hal yang dapat mencakup segalanya—
adalah keahlian:
Ditambah dengan moralitas dan kesabaran,
serta berbahagia bergaul dengan teman-temanmu
dan tidak berbahagia dengan musuh-musuhmu.
Demikianlah Bodhisatta menjawab pertanyaan putranya. Anak laki-laki itu mengikuti jalan yang disampaikan oleh ayahnya untuk memenuhi tujuannya, dan kemudian meninggal serta menerima hasil perbuatan sesuai dengan perbuatannya.


Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, ayah dan anak itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Anak Laki-laki itu adalah orang yang sama, dan Aku sendiri adalah Hartawan Benares.

Catatan kaki :
156 Pertanyaan ini merujuk kepada proses masuknya ke dalam “jalan” (magga).

SĀKETA-JĀTAKA

“Mengapa kadang kala,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di dekat Sāketa, tentang seorang Brahmana Sāketa.
Cerita pembukanya telah dikemukakan di dalam Buku I (Ekanipāta)155.
[235] … dan ketika Sang Tathāgata kembali ke kediaman-Nya, para bhikkhu bertanya, “Bagaimana (hubungan) cinta kasih terjalin, Bhante?”
Dan mengulangi bait pertama berikut:
Mengapa kadang kala seseorang itu
dingin kepada yang lainnya—
Oh, Yang Terberkahi, beri tahukanlah!
mengapa kadang kala seseorang itu
amat hangat, menyayangi yang lainnya?
Sang Guru memaparkan sifat alamiah dari cinta kasih dalam bait kedua berikut:—
Mereka yang melatih cinta kasih
di dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya,
bagaikan teratai di dalam kolam, maka
cinta kasih itu akan bermekaran (di dalam kehidupan sekarang).

Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Kedua orang ini adalah sang brahmana dan istrinya, dan Aku sendiri adalah putra mereka.”

Catatan kaki :
155 No. 68, Vol. I.

BAKA-JĀTAKA

“Lihatlah burung itu,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu.
Ketika dia dibawa ke hadapan Sang Guru, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya dia menipu, dia juga pernah melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah berikut.


[234] Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor ikan, yang memiliki banyak pengikut, di sebuah kolam di daerah pegunungan Himalaya.
Kala itu, seekor burung bangau merasa ingin memakan ikan. Maka di sebuah tempat dekat kolam tersebut, dia membuat kepalanya seperti dalam keadaan terkulai, membentangkan kedua sayapnya, dan menatap kosong kepada ikan-ikan, sembari menunggu saat mereka tidak terjaga154.
Pada waktu yang sama, Bodhisatta bersama dengan rombongannya datang ke tempat tersebut untuk mencari makan. Ketika melihatnya, rombongan ikan itu mengucapkan bait pertama berikut:
Lihatlah burung itu, betapa pucatnya—
seperti bunga seroja putih;
Kedua sayapnya terbentang di kiri dan di kanan—
oh, betapa tenang dan lemahnya dirinya!
Kemudian Bodhisatta melihatnya, dan mengucapkan bait kedua berikut:
Dirinya yang sebenarnya tidak kalian ketahui,
jika mengetahuinya, kalian tidak akan memuji dirinya.
Dia adalah musuh kita yang paling berbahaya;
Itulah sebabnya dia tidak menaikkan sayapnya.
Di sana rombongan ikan itu mengeruhkan airnya dan membuat bangau tersebut terbang pergi.


Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Bhikkhu yang menipu itu adalah burung bangau, dan Aku sendiri adalah raja ikan.”

Catatan kaki :
154 “Tidur bangau” adalah ungkapan dari bahasa India untuk tipuan.