Rabu, 17 April 2013

ULŪKA-JĀTAKA

“Anda sekalian umumkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pertengkaran di antara burung gagak dan burung hantu.
Dikatakan bahwasanya pada satu masa yang tidak diketahui kapan pastinya, burung gagak biasa memangsa burung hantu pada siang hari, dan pada malam hari burung hantu terbang berkeliling dan mematuk kepala burung gagak sampai putus di saat mereka tertidur, dan demikian membunuh burung gagak.
Kala itu, terdapat seorang bhikkhu yang tinggal di sebuah bilik di samping Jetavana. Ketika tiba waktunya untuk menyapu, selalu terdapat sejumlah banyak kepala-kepala burung gagak yang harus dibuang, yang jatuh dari pohon. Jumlahnya cukup untuk memenuhi tujuh atau delapan pot238.  Dia pun kemudian memberitahukan ini kepada para bhikkhu lainnya.
Di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, bhikkhu anu selalu menemukan banyak kepala burung gagak yang harus  dibuang setiap hari di tempat dia tinggal!” [352] Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Kemudian mereka menanyakan sejak kapan burung gagak dan burung hantu mulai bertengkar. Sang Guru menjawab, “Sejak kappa (kalpa) pertama,” dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala, orang-orang yang hidup pada kappa pertama berkumpul bersama dan memilih seorang pemimpin (raja) bagi mereka, seorang yang rupawan, banyak hasil, yang bisa memimpin, dan yang semuanya serbabaik. Hewan-hewan berkaki empat pun berkumpul bersama dan memilih singa sebagai raja mereka. Ikan-ikan di lautan memilih seekor ikan yang bernama Ānanda di antara mereka sebagai raja.
Kemudian burung-burung di daerah pegunungan Himalaya berkumpul bersama di atas batu karang yang datar, dan berkata, “Di antara manusia sudah ada raja, di antara hewan (berkaki empat) sudah ada raja, begitu juga dengan ikan-ikan di lautan, sedangkan di antara kita belum ada seorang raja. Kita tidak boleh hidup dalam ketidakteraturan, kita juga harus memilih seorang raja di antara kita. Carilah satu yang cocok dijadikan sebagai raja kita!”Mereka pun mencari burung yang demikian, dan memilih burung hantu, “Inilah burung yang kami suka,” kata mereka.
Dan seekor burung mengumumkan sebanyak tiga kali bahwa akan ada pemungutan suara untuk memutuskan permasalahan tersebut. Setelah dengan sabar mendengar pengumuman itu sebanyak dua kali, pada kali ketiganya, seekor burung gagak bangkit dan berkata, “Tahan! Jika demikian rupa dirinya ketika hendak dinobatkan sebagai raja, bagaimana pula dengan rupanya ketika dia marah? Jika dia melihat kita dengan kemarahan, maka kita akan hancur seperti biji-bijian yang diletakkan pada wadah yang panas. Saya tidak menginginkan burung ini menjadi raja!” dan mengucapkan bait pertama berikut:
Anda sekalian umumkan
burung hantu akan menjadi raja dari segala burung:
Dengan izin darimu,
bolehkah saya mengutarakan pendapatku?
Burung-burung mengulangi bait kedua berikut, untuk memperbolehkannya berbicara:
Anda mendapatkan izin dari kami,
semoga pendapatmu itu baik dan benar:
karena burung-burung lainnya muda,
bijaksana, dan cerdas.
Setelah mendapatkan izin, dia mengulangi bait ketiga berikut:
Saya tidak suka (dikatakan dengan penuh hormat) dengan burung hantu
yang dinobatkan sebagai pemimpin kita.
Lihatlah wajahnya! Jika itu adalah di saat dia sedang senang hati,
bagaimana pula wajahnya di saat dia marah?
Kemudian burung gagak itu terbang ke angkasa, sembari meneriakkan, “Saya tidak suka itu! Saya tidak suka itu!” Burung hantu bangkit dan terbang mengejarnya. Sejak saat itu, kedua jenis burung tersebut saling bermusuhan. Dan burung-burung kemudian memilih seekor angsa emas sebagai raja mereka, dan membubarkan diri.


[354] Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, angsa emas yang terpilih menjadi raja burung adalah diri-Ku sendiri.”


Catatan kaki :
238 nāḷī; PED menuliskan kata ini sebagai satu ukuran kapasitas. Di dalam terjemahan bahasa Inggris, tertulis “pottles”.

SUJĀTA-JĀTAKA

“Mereka yang dilimpahi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Sujātā, menantu dari Anāthapiṇḍika, putri dari seorang saudagar–Dhanañjaya, dan adik bungsu dari Visākhā.
Dikatakan bahwasanya wanita itu masuk ke dalam rumah Anāthapiṇḍika dengan penuh kesombongan, karena memikirkan betapa besarnya keluarga tempat dia berasal. Dia adalah seorang yang keras kepala, pemarah, dan kasar. Dia tidak mau melakukan apa yang merupakan kewajibannya terhadap ibu dan ayah mertuanya, atau terhadap suaminya. Dia berkeliaran di dalam rumah itu dengan melontarkan kata-kata ancaman dan cacian.
Suatu hari, Sang Guru beserta lima ratus bhikkhu berkunjung ke rumah Anāthapiṇḍika, dan duduk di tempat yang disiapkan. Saudagar besar tersebut duduk di samping Yang Terberkahi, mendengarkan khotbah Dhamma. Pada saat yang bersamaan, Sujātā kebetulan sedang memarahi para pelayan.
Sang Guru berhenti berbicara dan menanyakan suara ribut apa itu. Saudagar tersebut menjelaskan bahwa itu adalah suara menantunya yang kasar, mengatakan bahwa dia tidak berkelakukan sebagaimana mestinya kepada suaminya atau kepada kedua mertuanya, dia juga tidak memberikan derma, dan tidak memiliki sisi yang baik, seorang yang tidak berkeyakinan dan tidak percaya, dia hanya berkeliaran di dalam rumah dengan melontarkan kata-kata ancaman dan cacian.
Sang Guru memintanya untuk memanggil wanita itu. Dia datang, dan setelah memberikan hormat kepada Sang Guru, berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Guru menyapanya demikian: “Sujātā, terdapat tujuh jenis istri yang bisa didapatkan oleh seorang laki-laki. Jenis keberapakah dirimu?” Dia membalas, “Bhante, Anda berbicara terlalu singkat kepadaku untuk dapat dimengerti. Tolong dijelaskan.” “Baiklah,” kata Sang Guru, “dengarkanlah baik-baik,” dan Beliau mengucapkan bait berikut:
Yang pertama adalah berhati busuk,
tidak menunjukkan kasih sayang.
Sisi baiknya adalah mengasihi orang lain,
tetapi membenci suaminya.
Selalu menghabiskan apa yang didapatkan oleh suaminya235,
istri tipe ini disebut sebagai si Perusak.
Apa saja yang diperoleh suami untuknya dari hasil penjualan,
atau dari keahlian, atau dari pacul petani,
[348] dia selalu berusaha untuk mencuri sedikit darinya,
istri tipe ini disebut sebagai si Pencuri.
Tidak melakukan kewajibannya, malas,
rakus, kejam, pemarah, kasar,
tidak memiliki belas kasihan terhadap bawahannya,
istri tipe ini disebut sebagai si Sombong.
Dia yang memiliki kasih sayang dan baik hati,
merawat suaminya, layaknya seorang ibu,
menjaga semua kekayaan yang diperoleh suaminya,
istri tipe ini disebut sebagai si Ibu.
Dia yang menghormati suaminya,
layaknya saudara yang lebih muda
menghormati saudara yang lebih tua,
rendah hati, patuh terhadap keinginan suami,
istri tipe ini disebut sebagai si Saudara (wanita).
Dia yang selalu bahagia ketika melihat (berjumpa dengan) suaminya,
layaknya seorang sahabat yang berjumpa dengan sahabat lamanya,
berasal dari keluarga yang baik (terpandang) dan bermoral,
menyerahkan hidupnya kepada suaminya,
istri tipe ini disebut sebagai si Sahabat.
Bersikap tenang ketika dimarahi,
takut untuk berbuat jahat,
tidak pemarah, penuh dengan kesabaran,
setia, mematuhi suaminya,
istri tipe ini disebut sebagai si Pelayan.
[349] “Inilah, Sujātā, tujuh jenis wanita yang bisa didapatkan oleh seorang laki-laki. Tiga dari tujuh jenis wanita ini, si Perusak, Pencuri, dan Sombong, akan terlahir kembali di alam neraka; sedangkan empat jenis sisanya akan terlahir kembali di Alam Dewa Nimmānarati.
Mereka yang menjalankan peran sebagai
si Perusak di dalam kehidupan ini,
si Pencuri, atau si Sombong,
karena mereka itu adalah orang yang pemarah,
kejam, dan tidak memiliki rasa hormat,
setelah meninggal akan terlempar ke alam neraka yang rendah.
Mereka yang menjalankan peran sebagai
si Ibu, Saudara, Sahabat dan Pelayan,
karena mereka itu adalah orang yang bermoral
dan mengendalikan diri mereka dalam waktu yang lama,
setelah meninggal akan terlahir di alam dewa.
Ketika Sang Guru memaparkan tentang tujuh jenis istri tersebut, Sujātā mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Kemudian Sang Guru menanyakan dirinya termasuk tipe yang ke berapa. Dia menjawab, “Saya adalah si Pelayan, Bhante!” kemudian memberikan hormat kepada Sang Buddha, dan meminta maaf kepadanya.
Demikianlah, dengan satu nasihat, Sang Guru menjinakkan wanita judes tersebut. Setelah selesai bersantap, setelah memberitahukan kewajiban kepada para bhikkhu, Beliau masuk ke dalam ruangan yang wangi (gandhakuṭi).
Kemudian para bhikkhu berkumpul bersama di dalam balai kebenaran, dan melantunkan pujian terhadap Sang Guru, “Āvuso, dengan satu nasihat saja Sang Guru dapat menjinakkan seorang wanita yang judes, dan mengukuhkannya dalam tingkat kesucian Sotāpanna.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Kata Beliau, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Aku menjinakkan Sujātā dengan satu nasihat.”
Atas permintaan mereka, Beliau kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Ketika dewasa, dia mendapatkan pendidikannya di Takkasilā. Sepeninggal ayahnya, dia naik takhta menjadi raja dan memerintah dalam kebenaran. Ibunya adalah seorang wanita yang pemarah, kejam, kasar, judes, dan temperamental. Sang anak berkeinginan untuk menasihati ibunya, tetapi dia merasa bahwa dia tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak sopan. Maka dia pun tetap mencari-cari kesempatan untuk memberikan petunjuk kepadanya.
Pada suatu hari, dia pergi ke taman dan ibunya pergi bersama dengannya. [350] Seekor burung236 bernyanyi dengan suara melengking di tengah jalan. Mendengar ini, para pejabat kerajaan (yang mengikutinya) menutup telinga mereka, sambil berkata, “Betapa jeleknya suara itu! Suara yang melengking! Hentikan suara itu!”
Kemudian Bodhisatta melanjutkan perjalanannya di dalam taman dengan ibu dan pejabat kerajaannya. Seekor burung tekukur yang bertengger di pohon sala yang berdaun lebat, berkicau dengan suara yang merdu. Semua orang yang mendengarnya merasa senang dengan suara kicauannya, mereka bergandengan tangan dan menjulurkannya ke depan, mereka juga mencari keberadaan burung itu—“Oh, betapa lembutnya suara itu! Betapa merdunya suara itu! Betapa indahnya suara itu!—teruslah berkicau, Burung, teruslah berkicau!” dan mereka tetap berdiri di sana, sembari menjulurkan leher mereka dan mendengarkan dengan rasa ingin tahu.
Bodhisatta, yang memerhatikan kedua kejadian tersebut, berpikir bahwa inilah kesempatan untuk memberikan petunjuk itu kepada ibunya, sang ratu. “Bu,” katanya, “ketika mendengar suara burung yang melengking di tengah jalan, orang-orang ini menutup telinga mereka dan meneriakkan ‘Hentikan suara itu!’ dan terus menutup telinga mereka: ini terjadi karena suara-suara yang buruk tidak disukai oleh siapa pun.” Dan dia mengulangi bait-bait berikut:
Mereka yang dilimpahi dengan warna yang indah,
meskipun terlihat demikian indah dan cantik,
tetapi jika mereka memiliki suara yang buruk untuk didengarkan,
maka mereka tidak akan disukai baik di kehidupan ini
maupun di kehidupan yang akan datang.
Ada sejenis burung yang mungkin sering terlihat olehmu;
buruk rupa, hitam, dan mungkin berbintik-bintik,
tetapi memiliki suara yang lembut untuk didengarkan:
Betapa banyaknya makhluk yang menyukai tekukur itu!
Oleh sebab itu, ucapanmu juga harus terdengar lembut dan manis,
berbicara dengan bijaksana, tidak diisi dengan kesombongan.
Suara yang demikian, yang dapat menerangkan kebenaran beserta artinya,
apa pun yang diucapkan akan terdengar menyenangkan237.
Setelah demikian menasihati ibunya dalam tiga bait kalimat di atas, Bodhisatta berhasil mengubah cara berpikirnya, dan sejak saat itu, dia menjalankan kehidupan yang benar. Setelah dengan satu nasihat menjinakkan ibunya yang judes, Bodhisatta kemudian meninggal dan menerima hasil sesuai dengan perbuatannya.


[351] Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Sujātā adalah ibu dari Raja Benares, dan Aku sendiri adalah sang raja.”

Catatan kaki :
235 Tidaklah jelas apa yang dimaksud dengan ‘vadhena kītassa’, apakah ‘barang-barang yang dibeli dengan kekayaannya’ atau ‘barang-barang yang dibeli oleh suaminya’, kemungkinan dua-duanya.
236 kikī; the blue jay bird, Cyanocitta cristata. Di dalam The Contemporary English-Indonesian Dictionary, oleh Drs. Peter Salim, M.A., kata ‘jay’ didefinisikan sebagai burung yang ribut bunyinya dan mempunyai bulu berwarna cerah.
237 Bait terakhir ini terdapat di dalam Dhammapada, syair 363, tidak sama pada setengah baris pertama.

ĀRĀMA-DŪSA-JĀTAKA

“Yang terbaik dari semua,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Dakkhiṇāgiri, tentang seorang anak tukang taman.
Setelah masa vassa berlalu, Sang Guru meninggalkan Jetavana, pergi berpindapata ke sebuah daerah di sekitar Dakkhiṇāgiri. Seorang umat mengundang Sang Buddha dan rombongannya untuk makan, mempersilakan mereka duduk di dalam tamannya, dan mempersembahkan bubur dan makanan kering.
Kemudian dia berkata, “Ayyā234, jika Anda sekalian ingin melihat-lihat taman ini, maka tukang taman akan membawa Anda sekalian berkeliling,” dan dia juga memberi perintah kepada tukang taman itu untuk memberikan buah apa saja yang mereka inginkan. Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang kosong. “Apa penyebab,” tanya mereka, “tempat ini kosong dan tidak memiliki pohon?” “Penyebabnya adalah,” jawab tukang taman, “seorang anak tukang taman, yang diminta untuk menyiram pohon-pohon muda ini, berpikir akan lebih baik jika dia memberikan jumlah air sesuai dengan panjang akar pohon-pohonnya, maka dia pun mencabut pohon-pohon tersebut keluar sampai ke akar-akarnya, kemudian baru menyiramnya. Akibatnya, tempat ini menjadi kosong.”
Para bhikkhu kembali dan menceritakan ini kepada Sang Guru. Beliau berkata, “Bukan kali ini saja anak itu merusak tumbuhan, sebelumnya juga dia telah melakukan hal yang sama.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika seorang raja yang bernama Vissasena memerintah di Benares, pengumuman liburan diumumkan. Tukang taman berpikir untuk pergi dan berlibur. Jadi dia memanggil kera-kera yang tinggal di dalam taman dan berkata, “Taman ini merupakan suatu berkah yang besar bagi kalian. Saya akan libur selama satu minggu. Bersediakah kalian menyiram pohon-pohon muda ini selama tujuh hari?” “Ya,” kata mereka. Tukang taman itu kemudian memberikan kaleng penyiram kepada mereka, dan pergi.
Kera-kera mengambil air dan mulai menyiram pohon-pohon. Kera yang paling tua berkata, “Tunggu sebentar, sangat sulit untuk mengambil air. Kita harus berhemat dalam menggunakannya. Mari kita cabut tumbuhan ini, [346] dan lihat panjang dari akar-akarnya; jika mereka memiliki akar-akar yang panjang, maka mereka membutuhkan air yang banyak; tetapi jika mereka memiliki akar-akar yang pendek, maka mereka membutuhkan air yang sedikit.” “Benar, benar,” kera-kera lainnya setuju. Kemudian sebagian dari mereka mencabut tumbuh-tumbuhan tersebut dan sebagian lagi menanam mereka kembali, baru kemudian menyiram mereka.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemuda yang tinggal di Benares. Sesuatu membawanya datang ke taman tersebut, dan dia melihat apa yang sedang dilakukan oleh kera-kera tersebut. “Siapa yang meminta kalian melakukan itu?” tanyanya. “Pemimpin kami,” balas mereka. “Jika kebijaksanaan sang pemimpin seperti ini, bagaimana lagi dengan kalian?” katanya, dan untuk menjelaskan permasalahannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Yang terbaik dari semua rombongan adalah ini:
Betapa rendahnya kepintaran dirinya!
Jika dia dipilih sebagai yang terbaik (pemimpin),
bagaimana lagi dengan yang lainnya!
Mendengar pernyataannya, kera-kera itu membalasnya dalam bait kedua berikut:
Brahmana, Anda tidak tahu apa yang Anda katakan,
menyalahkan kami dengan cara yang demikian!
Jika kami tidak tahu (panjang) akarnya,
lantas bagaimana kami tahu pohon mana yang tumbuh?
Kemudian Bodhisatta membalas mereka dalam bait ketiga berikut:
Wahai Para Kera, saya tidak menyalahkan kalian,
bukan pula mereka yang berada di hutan sana.
Sang pemimpin adalah yang bodoh, mengatakan,
‘Tolong rawat pohon-pohon ini selagi saya tidak ada’.

[347] Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Anak yang merusak tumbuhan di dalam taman adalah kera pemimpin, dan Aku sendiri adalah pemuda bijak.”

Catatan kaki :
233 Ini adalah kisah yang sama seperti No. 46 (Vol. I). Kisah ini lebih singkat, dan bait-bait kalimatnya tidak sama. Lihat Folk-lore Journal, III. 251; Cunningham, Bharhut Stupa, XLV. 5. Di dalam edisi CSCD, tertulis ‘Ārāmadūsaka-Jātaka’.
234 Bentuk jamak dari ‘Ayya’, yang secara harfiah bisa diartikan ‘Mulia’. Ini juga merupakan panggilan terhadap seorang bhikkhu atau bhikkhuni.

KAKKAṬĀ-JĀTAKA

“Makhluk bercapit emas,” dan seterusnya. [341] Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang wanita.
Dikatakan bahwasanya seorang tuan tanah di Sāvatthi, bersama dengan istrinya, pergi ke desa dengan tujuan untuk menagih utang, dan bertemu dengan para perampok. Istrinya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan memikat. Pemimpin perampok itu begitu terpesona kepadanya sehingga dia bermaksud untuk membunuh suaminya untuk bisa mendapatkan dirinya. Akan tetapi, wanita itu adalah seorang yang baik dan bermoral, seorang istri yang setia. Dia bersujud di bawah kaki pemimpin perampok itu, sambil berkata, “Tuan, jika Anda membunuh suamiku untuk mendapatkan diriku, maka saya akan minum racun atau menghentikan napasku untuk membunuh diriku sendiri! Saya tidak akan pergi bersamamu. Janganlah membunuh suamiku untuk hal yang tidak ada gunanya!” Dengan cara demikian, dia berhasil memohonnya untuk pergi.
Mereka berdua kemudian kembali dengan selamat ke Sāvatthi. Ketika melintasi wihara yang ada di Jetavana, mereka berpikir untuk mengunjunginya dan memberikan salam hormat kepada Sang Guru. Maka mereka pun pergi ke ruangan yang wangi (gandhakuṭi) dan duduk di satu sisi setelah terlebih dahulu memberikan salam hormat.
Sang Guru menanyakan kepada mereka datang dari mana. “Dari menagih utang,” balas mereka. “Apakah perjalanan kalian lancar tanpa halangan?” tanya Beliau berikutnya. “Kami ditahan oleh para perampok di tengah perjalanan,” kata sang suami, “dan pemimpin perampok itu bermaksud untuk membunuhku. Akan tetapi, istriku memohon kepadanya untuk melepaskan diriku, dan saya berutang nyawa kepadanya.”
Kemudian Sang Guru berkata, “Upasaka, Anda bukanlah satu-satunya orang yang diselamatkan olehnya. Di masa lampau, dia juga telah menyelamatkan nyawa orang bijak.” Kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, terdapatlah sebuah kolam yang besar di Himalaya, tempat hidupnya seekor kepiting emas yang besar. Karena dia hidup di sana, tempat itu dikenal dengan nama Kuḷīradaha (Kolam Kepiting). Kepiting itu amatlah besar, sebesar penebahan229. Dia mampu menangkap gajah, membunuh dan memangsanya. Disebabkan oleh hal ini, gajah-gajah [342] tidak berani turun ke kolam itu dan bermain-main di sana.
Kala itu, Bodhisatta dikandung di dalam rahim seekor gajah betina yang merupakan pasangan dari raja gajah yang memimpin sekelompok gajah yang tinggal di dekat kolam kepiting itu. Agar selamat sampai pada waktunya melahirkan, gajah betina itu mencari tempat tinggal lain di sebuah gunung, dan di sana dia melahirkan seorang anak gajah jantan, yang seiring berjalannya waktu tumbuh menjadi dewasa dan bijaksana.
Dia adalah seekor gajah yang besar, kuat dan banyak hasil. Dia terlihat seperti Gunung Collyrium 230. Dia kemudian memilih seekor gajah betina sebagai pasangannya, dan dia berkeinginan untuk menangkap kepiting tersebut. Maka dengan pasangan dan ibunya, dia mencari kelompok gajah tersebut dan menjumpai ayahnya, mengemukakan keinginannya untuk pergi menangkap kepiting itu. “Anda tidak akan mampu melakukannya, Anakku,” katanya.
Akan tetapi, dia terus-menerus memohon kepadanya untuk memperbolehkannya pergi, sampai pada akhirnya, raja gajah itu berkata, “Baiklah, Anda boleh mencobanya.” Maka gajah muda itu mengumpulkan semua gajah di samping kolam kepiting, dan menuntun mereka sampai ke dekat kolam. “Apakah kepiting ini menangkap mangsanya ketika mereka turun ke bawah, atau ketika mereka sedang makan, atau ketika mereka hendak naik ke atas?” Mereka menjawab, “Ketika hewan-hewan hendak naik ke atas.” “Baiklah, kalau begitu,” katanya, “turunlah kalian semua ke kolam itu dan makanlah apa yang bisa kalian temukan, kemudian naiklah terlebih dahulu ke atas, saya yang akan menyusul di belakang.”
Mereka pun melakukan demikian. Kemudian kepiting itu, yang melihat Bodhisatta naik ke atas pada urutan belakang, menggenggam kakinya ketat dengan capit, seperti seorang pandai besi yang memegang seonggok besi dengan penjepit besi. Pasangan Bodhisatta tidak meninggalkannya, melainkan berdiri di dekatnya. Bodhisatta berusaha menarik kepiting itu, tetapi bahkan tidak mampu membuatnya bergerak. Kemudian kepiting itu menariknya dan membuatnya berhadapan dengannya.
Setelah kejadian itu, dalam ketakutannya gajah tersebut meraung dan meraung. Mendengar raungan tersebut, semua gajah lainnya, dalam ketakutan mereka, melarikan diri sambil meraung dan mengeluarkan kotoran. Bahkan kali ini, pasangannya mulai tidak tahan dan hendak melarikan diri. [343] Kemudian untuk memberi tahu dirinya bagaimana dia ditawan, dia (Bodhisatta) mengucapkan bait pertama berikut, dengan harapan untuk menahannya, tidak melarikan diri:
Mahkluk bercapit emas dengan mata menyembul,
tinggal di kolam, tidak berambut,
dengan cangkang tipis yang jelek,
Dia menangkapku: dengarkanlah jeritan sedihku!
Pasanganku, janganlah meninggalkan diriku—
karena Anda sangat mengasihiku.
Kemudian pasangannya berbalik, dan mengulangi bait kedua berikut untuk menenangkannya:
Saya tidak akan pernah pergi meninggalkanmu,
suami yang mulia, bersamamu enam puluh tahun.
Empat penjuru bumi ini tidak dapat menunjukkan
siapa pun yang demikian mengasihiku seperti dirimu.
Dengan cara itu, dia memberikan dukungan semangat kepada pasangannya. Kemudian dia berkata, “Sekarang, Tuan, saya akan berbicara kepada kepiting itu untuk melepaskanmu pergi.” Dia menyapa kepiting itu dalam bait ketiga berikut:
Dari semua kepiting yang ada di perairan,
Gangga ataupun Yamunā231,
Andalah yang paling baik dan pemimpin,
setahu saya: Dengarkanlah saya—lepaskan suamiku!
Ketika dia berbicara demikian, pikiran kepiting itu tertarik oleh suara dari gajah betina tersebut, dan dengan melupakan segala ketakutannya, melepaskan jepitannya dari kaki gajah tersebut, tanpa mencurigai apa yang akan dilakukan olehnya (sang gajah jantan) ketika dia dibebaskan.
Kemudian gajah itu mengangkat satu kakinya dan memijakkannya ke punggung kepiting itu, dan kedua matanya pun menjadi semakin menyembul keluar. Gajah meraungkan jeritan kemenangan. Semua gajah yang lain berlarian datang, menarik kepiting itu dan meletakkannya di tanah, kemudian menghancurkannya berkeping-keping. Dua capitnya terputus dari badannya dan terpisah.
Danau kepiting itu, karena dekat dengan Sungai Gangga, ketika air Sungai Gangga meluap, terisi dengan air dari Sungai Gangga. Ketika banjir mulai surut, aliran airnya mengalir dari kolam itu menuju ke Sungai Gangga. Kedua capit itu pun terbawa dan terapung di sepanjang aliran Sungai Gangga. Salah satu capit tersebut terapung sampai ke laut, dan satunya lagi ditemukan oleh Sepuluh Saudara Raja232 ketika sedang bermain di sungai. Mereka mengambilnya dan menjadikannya sebuah genderang kecil yang disebut Ānaka. Para asura menemukan capit yang sampai ke laut itu dan menjadikannya sebuah genderang kecil yang disebut Āḷambara. Ketika kalah bertempur dengan Sakka, para asura ini melarikan diri dan meninggalkan genderang tersebut. Kemudian Sakka menyimpannya untuk digunakannya sendiri, dan inilah yang disebut-sebut orang sebagai Āḷambara megha.


Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—[345] “Pada masa itu, upasika ini adalah gajah betina, dan Aku sendiri adalah pasangannya.”


Catatan kaki :
228 Bandingkan Morris dalam Contemp. Rev. 1881, hal. 742; Cunningham, Stupa of Bharhut, pl. XXV. 2.
229 Teks Pali tertulis ‘khalamaṇḍalappamāṇa’, yang bila dirujuk ke PED, kata ‘khalo’ biasa diartikan ‘threshing-floor’, atau lantai jemur (tempat menjemur gabah, kedelai, dsb). Penebahan juga diartikan sejenis alat/benda (atau bahkan area/tempat untuk memisahkan hasil panen (mis: biji-bijian/padi) dari kulitnya.
230 añjanapabbata.
231 Sungai kedua dari lima sungai besar yang ada di Jambudīpa. Lihat selengkapnya di DPPN, hal. 684.
232 Dasabhātikarajano. Di dalam DPPN dituliskan ‘Dasārahā’. Lihat selengkapnya di halaman 1067.

VĀTAGGA-SINDHAVA-JĀTAKA

“Dikarenakan dirinya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan di Jetavana, tentang seorang tuan tanah.
Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi, seorang wanita melihat laki-laki yang tampan itu dan jatuh cinta kepadanya. Keinginan di dalam dirinya terasa seperti api yang terus-menerus membakar dirinya. Dia (seperti) kehilangan indranya, tubuh dan pikiran, dia tidak mau makan, dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang.
Teman-teman dan pelayan-pelayannya menanyakan apa yang menyusahkan hatinya sehingga dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang; mereka ingin mengetahui apa masalahnya. Pada awalnya dia tidak mau mengatakan apa pun, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun memberitahukan apa masalahnya.
“Jangan khawatir,” kata mereka, “kami akan membawa dirinya kepadamu,” dan mereka pun pergi untuk berbicara dengan laki-laki itu. Awalnya, dia menolak, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun menyetujuinya. Mereka membuatnya berjanji untuk datang pada jam anu di hari yang telah ditetapkan, dan mereka memberitahukannya kepada wanita itu.Dia merapikan ruangannya dan mengenakan pakaian terbaiknya, kemudian duduk menunggu kedatangan laki-laki tersebut.
Laki-laki itu datang dan duduk di sampingnya. Kemudian terlintas sebuah pemikiran di dalam benaknya [338], “Jika saya langsung menerima sapaannya dan membuat diriku (terkesan) menjadi murahan, maka harga diriku akan hancur. Membiarkan dirinya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama adalah hal yang tidak mungkin. Saya akan menjadi galak hari ini, dan sesudahnya baru saya akan menjadi lembut.”
Maka tidak lama setelah laki-laki itu menyentuhnya dan mulai bermain-main, dia memegang tangannya dan berkata kasar kepadanya, memintanya untuk pergi karena dia tidak menginginkan dirinya di sana. Laki-laki itu pun kembali dengan perasaan marah, pulang ke rumahnya.
Ketika teman-teman dan pelayan-pelayannya mengetahui apa yang dilakukannya, setelah laki-laki itu pergi, mereka menghampirinya. “Lagi-lagi Anda berada di sini,” kata mereka, “jatuh cinta kepada seseorang, hanya berbaring, tidak mau makan. Dengan susah payah, kami membujuk laki-laki itu dan akhirnya berhasil membawanya datang, kemudian Anda tidak mengatakan apa-apa kepadanya!” Dia pun memberitahukan mereka mengapa dia melakukan demikian, dan mereka akhirnya pergi, sambil memperingatkan dirinya untuk berbicara nantinya.
Laki-laki itu tidak pernah datang kembali untuk berjumpa dengannya. Ketika mengetahui bahwa dia telah kehilangan diri laki-laki tersebut, wanita itu melanjutkan tindakannya yang tidak mau makan dan akhirnya meninggal dunia. Ketika mendengar tentang kematiannya, laki-laki itu membawa sejumlah bunga, dupa, wewangian, pergi ke Jetavana. Dia memberikan salam hormat kepada Sang Guru dan duduk di satu sisi.
Sang Guru bertanya kepadanya, “Upasaka, mengapa kami tidak pernah melihatmu datang belakangan ini?” Dia memberitahukan Beliau semua yang terjadi, menambahkan bahwa dia tidak datang untuk memberikan pelayanan kepada Buddha dikarenakan rasa malu. Sang Guru berkata, “Upasaka, dalam kehidupan ini wanita itu memintamu untuk datang disebabkan oleh nafsunya (keinginannya), kemudian tidak mengatakan apa-apa kepadamu dan mengusirmu pergi dengan marah. Demikian juga halnya di masa lampau, wanita ini jatuh cinta kepada seorang bijak, dan ketika dia datang, wanita ini tidak mau melakukan apa pun dengannya, dan demikian membuatnya menjadi marah serta mengusirnya.”
Kemudian atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhava, dan dia diberi nama Vātaggasindhava (Secepat Angin). Dia adalah kuda kerajaan; penjaga kuda biasa membawanya untuk mandi di Sungai Gangga.
Di sana seekor keledai betina yang bernama Kundalī melihatnya dan jatuh cinta kepadanya. Menjadi gemetaran karena nafsu, [339] keledai betina tersebut tidak mau makan rumput ataupun minum air, dia menjadi semakin pucat dan kurus, sampai akhirnya tinggal kulit dan tulang. Kemudian anaknya yang melihat sang ibu menjadi semakin kurus, berkata, “Mengapa tidak makan rumput, Bu, dan mengapa tidak minum air? Mengapa Ibu menjadi semakin pucat dan berbaring gemetaran di sini? Apa masalahnya?” Awalnya, dia tidak mau mengatakannya, tetapi setelah terus-menerus ditanya dan ditanya, akhirnya dia memberitahukan masalahnya kepada anaknya. Kemudian sang anak menenangkan ibunya dengan berkata, “Bu, jangan bersedih. Saya akan membawanya datang untukmu.”
Maka ketika Vātaggasindhava turun mandi, anak keledai itu berkata, sembari menghampirinya, “Tuan, ibuku jatuh cinta kepadamu. Sekarang ini, dia tidak mau makan dan tubuhnya menjadi semakin pucat, hampir mati. Tolonglah berikan kehidupan kepadanya!” “Baiklah, saya akan melakukannya,” kata kuda itu, “biasanya setelah saya selesai mandi, penjaga kuda akan membiarkan diriku untuk berlari-lari di tepi sungai. Bawalah ibumu datang ke tempat itu.”
Anak keledai itu pun menjemput ibunya dan membawanya ke tempat tersebut, kemudian sembunyi di dekat tempat itu. Penjaga kuda membiarkan Vātaggasindhava untuk berlari-lari. Vātaggasindhava kemudian melihat keledai betina itu dan menghampirinya.
Ketika dia menghampirinya dan mulai mengendus dirinya, keledai betina itu berpikir, “Jika kubuat diriku menjadi seperti seekor betina murahan dan membiarkannya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama dia datang ke sini, kehormatan dan harga diriku akan hancur. Saya akan bertingkah seolah-olah tidak menginginkannya.” Maka dia pun menendang rahang bawahnya dan bergegas pergi. Tendangan itu mematahkan rahang sang kuda jantan dan hampir membunuhnya. “Apalah peduliku kepada dirinya?” pikir Vātaggasindhava, dan dia merasa malu sendiri, kemudian pergi.
Kemudian keledai betina tersebut meratap tangis dan berbaring di tempatnya dalam kesedihan. Anaknya datang dan menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya dalam bait berikut:
Dikarenakan dirinya, Anda menjadi semakin pucat dan kurus,
dan Anda tidak mau makan sedikit pun,
kuda yang Anda cintai itu telah datang kepadamu,
mengapa Anda lari (darinya)?
Mendengar suara anaknya, dia kemudian mengulangi bait kedua berikut:
Jika pada pertama kalinya,
kepada dia (laki-laki) yang berdiri di sampingnya,
tanpa basa basi, seorang wanita menyerah,
maka harga dirinya akan hancur:
Oleh karena itulah, saya lari darinya.
Dengan kata-kata tersebut, dia menjelaskan tentang sifat alamiah wanita kepada anaknya.


Dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Sang Guru mengulangi bait ketiga berikut:
Jika seorang wanita menolak seorang kekasih
yang berasal dari keluarga baik,
yang selalu ingin berada di sampingnya,
maka, seperti Kundalī yang bersedih
karena Vātaggasindhava,
dia akan bersedih dalam waktu yang amat lama.
Ketika uraian ini telah selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Wanita ini adalah sang keledai betina, dan Aku sendiri adalah Vātaggasindhava.”

KHURAPPA-JĀTAKA

“Ketika demikian banyak busur,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang telah kehilangan semangat.
Sang Guru menanyakan apakah benar bahwasanya bhikkhu tersebut telah kehilangan semangatnya. Bhikkhu itu mengiyakannya. “Mengapa,” tanya Beliau, “Anda kehilangan semangat setelah memeluk ajaran yang membawa pembebasan ini? Pada masa lampau, orang bijak sangatlah bersemangat dalam permasalahan yang bahkan tidak menuntun ke arah pembebasan.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir ke dalam keluarga seorang penjaga hutan. Ketika dewasa, dia memimpin satu rombongan penjaga hutan yang berjumlah lima ratus orang, dan tinggal di sebuah desa yang berada di dekat pintu masuk ke hutan tersebut. Dia biasa mempekerjakan dirinya sendiri untuk menuntun orang-orang melewati hutan tersebut.
Pada suatu hari, seorang penduduk Benares, putra seorang saudagar, tiba di desa tersebut dengan rombongan karavannya yang berjumlah lima ratus kereta. Dia mencari Bodhisatta dan menawarkannya uang seribu keping untuk menjadi penjaganya melewati hutan tersebut.Karena Bodhisatta menyetujui penawarannya, berarti secara mental Bodhisatta mengabdikan hidupnya untuk memberikan (jasa) pelayanan kepada saudagar tersebut.
Kemudian dia pun menuntunnya melewati hutan. Di tengah hutan, muncul lima ratus orang perampok. Begitu melihat para perampok itu, semua rombongan karavan tersebut ketakutan, hanya sang penjaga hutan sendiri saja yang berteriak, bertarung, dan membuat semua perampok tersebut pergi, serta membawa saudagar itu melewati hutan dengan selamat.
Setelah berhasil melewati hutan, saudagar itu pun mengistirahatkan rombongannya; [336] dia memberikan sang penjaga hutan segala jenis daging pilihan dan dia duduk di sampingnya setelah terlebih dahulu menyantap makanannya, kemudian berbicara demikian kepadanya: “Beri tahukanlah saya,” katanya, “ketika bertemu dengan lima ratus perampok yang bersenjata, yang terlihat ada di mana-mana, mengapa tidak ada rasa takut sedikit pun di dalam dirimu?” Dan dia mengucapkan bait pertama berikut:
Ketika demikian banyak busur
yang melepaskan batang panah dengan cepat,
tangan-tangan yang memegang pisau-pisau baja datang mendekat,
ketika maut telah datang dengan pasukannya yang mengerikan;
Mengapa, di tengah teror yang demikian, Anda tidak gentar sama sekali?
Mendengar ini, penjaga hutan tersebut mengulangi dua bait berikut:
Ketika demikian banyak busur
yang melepaskan batang panah dengan cepat,
tangan-tangan yang memegang pisau-pisau baja datang mendekat,
ketika maut datang dengan pasukannya yang mengerikan;
Hari itu kurasakan sebagai kesenangan yang besar dan hebat.
Dan kesenangan inilah yang memberikan kemenangan;
Dalam hidup ini, saya pasti akan mati;
Dia yang melakukan tindakan heroik dan
ingin menjadi seorang hero,
harus memandang hidupnya demikian.
[337] Demikianlah dia mengucapkan kata-katanya seperti hujan panah; dan setelah dia melakukan perbuatan heroik tersebut dengan menunjukkan dirinya yang terbebas dari kemelekatan akan kehidupan, dia pun berpamitan kepada saudagar muda itu dan kembali ke desanya sendiri. Setelah mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan kebajikan-kebajikan lainnya di dalam kehidupannya, dia kemudian terlahir kembali dan menerima hasil sesuai dengan perbuatannya.


Ketika uraian ini telah selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) telah kehilangan semangat itu mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Pada masa itu, Aku adalah sang penjaga hutan.”

MAHĀ-PANĀDA-JĀTAKA

“Yang memiliki istana itu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di tepi Sungai Gangga, tentang kesaktian Thera Bhaddaji.
Pada satu kesempatan, ketika Sang Guru telah melewati masa vassa di Sāvatthi, Beliau berpikir untuk membantu seorang pemuda yang bernama Bhaddaji. Maka dengan rombongan bhikkhu yang berada bersama-Nya, Beliau pergi ke Kota Bhaddiya dan tinggal di sana selama tiga bulan di Jātiyāvana, menunggu pemuda itu matang waktunya dan sempurna dalam pengetahuan.
Kala itu, Bhaddaji adalah seorang yang luar biasa, putra satu-satunya dari seorang saudagar kaya raya di Bhaddiya, yang memiliki harta sebesar delapan ratus juta. Dia memiliki tiga buah rumah untuk tiga musim, yang di masing-masing rumah tersebut dia menghabiskan waktu empat bulan; setelah menghabiskan satu periode di salah satu rumahnya, dia akan pindah ke rumah lainnya bersama dengan seluruh sanak keluarganya, dalam rombongan yang berjumlah besar. Pada waktu-waktu tersebut, seluruh kota menjadi gempar melihat ketidakbiasaan pemuda tersebut; dan di antara rumah-rumah itu terdapat tempat-tempat duduk yang disusun dalam lingkaran, secara berlapis-lapis.
Ketika telah tinggal di sana selama tiga bulan, Sang Guru memberitahukan para penduduk bahwa Beliau berniat untuk pergi. Setelah memohon Beliau untuk menunggu sampai keesokan harinya, para penduduk pada keesokan harinya mengumpulkan persembahan dana yang banyak kepada Sang Buddha dan para bhikkhu rombongan Beliau. Mereka mendirikan sebuah paviliun di tengah-tengah kota, menghiasnya dan menyiapkan tempat-tempat duduk; kemudian mereka mengumumkan bahwa waktunya telah tiba.
Sang Guru dan rombongan pergi dan mengambil tempat duduk mereka masing-masing di sana. Semua orang dengan senang hati memberikan persembahan kepada mereka. Setelah selesai bersantap, Sang Guru mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan suara semanis madu.
Pada waktu itu, Bhaddaji sedang berpindah dari rumah yang satu ke rumah lainnya. [332] Pada hari itu, tidak ada yang datang untuk melihat kebesarannya; hanya orang-orangnya sendiri yang berada di sekelilingnya. Maka dia bertanya kepada orang-orangnya apa yang telah terjadi. Biasanya, seluruh kota menjadi heboh melihatnya berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya, pada lingkaran-lingkaran ataupun pada lapisan berikutnya. Akan tetapi, hari itu, tidak ada seorang pun yang datang, selain pengawalnya sendiri. Apa yang menjadi penyebabnya?
Jawaban yang didapatkannya, “Tuan, Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha) telah menghabiskan waktu tiga bulan tinggal di dekat kota, dan hari ini Beliau akan pergi. Beliau baru saja selesai menyantap makanan dan sekarang sedang memberikan khotbah Dhamma. Seluruh penduduk kota sedang mendengarkannya.” “Oh, bagus sekali, kita juga harus pergi dan mendengarkannya,” kata pemuda itu. Maka dengan sinar perhiasannya, bersama para pengikutnya, dia berangkat dan duduk di bagian luar keramaian tersebut. Ketika dia mendengar khotbah Dhamma, semua leleran batinnya lenyap, dan dia mendapatkan buah tertinggi, mencapai tingkat kesucian Arahat.
Sang Guru, menyapa Saudagar Bhaddiya, dengan berkata, “Tuan Saudagar, putramu, dalam segala kebesarannya, telah menjadi seorang Arahat setelah mendengar khotbah-Ku; hari ini juga dia akan bertahbis menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, atau dia akan mencapai nibbana.” “Bhante,” balasnya, “saya tidak ingin putraku mencapai nibbana. Tahbiskanlah dirinya. Setelah ini dilakukan, datanglah ke rumahku bersama dengannya besok.” Yang Terberkahi menerima undangan ini; Beliau membawa pemuda itu ke wihara, menahbiskannya. Selama satu minggu, orang tua dari pemuda itu menunjukkan keramahtamahan yang baik kepada Beliau.
Setelah berdiam selama tujuh hari, Sang Guru memulai berpindapata, dengan membawa pemuda itu bersama dengan-Nya, tiba di sebuah desa yang bernama Koṭi. Para penduduk desa dengan baik hati memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para siswa-Nya. Sehabis bersantap, Sang Guru mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Setelah itu dilakukan, pemuda itu pergi keluar dari desa, dan di satu tempat di Sungai Gangga, dia duduk di bawah pohon, masuk ke dalam jhana, dan berpikir untuk bangkit jika Sang Guru datang. Ketika para thera tua menghampirinya, dia tidak bangkit; dia bangkit begitu Sang Guru datang. Orang-orang awam (pengikut Sang Buddha lainnya yang belum mencapai kesucian) menjadi marah karena dia berkelakuan seolah-olah dirinyalah seorang bhikkhu senior, dengan tidak berdiri ketika melihat para bhikkhu senior datang menghampirinya.
Para penduduk desa membuat sebuah perahu. Setelah perahunya selesai, [333] Sang Guru menanyakan keberadaan Bhaddaji. “Dia ada di sana, Bhante.” “Mari, Bhaddaji, naiklah ke atas perahu-Ku.” Thera itu pun naik ke atas perahu. Ketika mereka berada di tengah sungai, Sang Guru menanyakannya sebuah pertanyaan: “Bhaddaji, di manakah istanamu berada di masa pemerintahan Raja Mahāpanāda?” “Di sini, Bhante, di bawah air sungai ini,” jawabnya. Orang-orang awam itu berkata satu sama lain, “Thera Bhaddaji sedang menunjukkan bahwa dia adalah seorang ariya!” Kemudian Sang Guru memintanya untuk menghilangkan keraguan mereka, sesama siswa.
Dalam sekejap, sang thera, setelah membungkuk memberikan hormat kepada Sang Guru, bergerak dengan kesaktiannya, mengangkat seluruh bagian istana itu di jari tangannya dan terbang di udara sambil menahan istana itu bersamanya (istana tersebut seluas dua puluh lima yojana); kemudian dia membuat lubang di bawahnya, dan menunjukkan dirinya kepada para penghuni istana tersebut di bawah, dan melemparkan bangunan itu ke atas, pertama-tama sejauh satu yojana, kemudian dua, dan tiga yojana. Kemudian orang-orang yang dahulunya menjadi sanak keluarganya, yang sekarang telah terlahir sebagai ikan atau kura-kura, ular air atau katak karena mereka terlalu terikat dengan istana tersebut, menggeliat keluar dari istana itu dan terjatuh secara berulang-ulang ke dalam air kembali. Ketika melihat ini, Sang Guru berkata, “Bhaddaji, sanak keluargamu sedang dalam masalah.” Mendengar perkataan Sang Guru, thera itu melepaskan istana tersebut, dan istana itu tenggelam masuk ke dalam tempat semula dia berada.
Sang Guru tiba di sisi Sungai Gangga. Kemudian mereka menyiapkan sebuah tempat duduk untuk Beliau, tepat di tepi sungai. Beliau duduk di tempat yang telah disiapkan tersebut, bagaikan matahari yang baru terbit mengeluarkan sinarnya. Kemudian para bhikkhu menanyakan kepada Beliau kapan Thera Bhaddaji hidup di dalam istana tersebut. Sang Guru menjawab, “Di masa pemerintahan Raja Mahāpanāda,” kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala, Suruci adalah Raja Mitthilā, yang merupakan sebuah kota di dalam Kerajaan Videha. Dia memiliki seorang putra yang bernama Suruci juga, dan putranya ini memiliki seorang putra yang bernama Mahāpanāda (Mahapanada). Merekalah yang mendapatkan kepemilikan atas istana megah tersebut. Mereka mendapatkan istana itu atas perbuatan yang mereka lakukan di kehidupan sebelumnya; seorang ayah dan anaknya membangun sebuah gubuk daun dari dedaunan dan cabang-cabang pohon elo 226 , untuk dijadikan kediaman bagi seorang Pacceka Buddha.

Kelanjutan kisahnya akan diceritakan di dalam Suruci-Jātaka, Buku Keempat Belas227.
[334] Sang Guru, setelah selesai menceritakan kisah ini, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengucapkan bait-bait berikut:
Yang memiliki istana itu dahulu adalah Raja Panada,
seribu panah tingginya dan enam belas lebarnya,
seribu panah tingginya, dihiasi oleh panji-panji;
seratus tingkat semuanya,
semua menggunakan hijaunya batu zamrud.
Enam ribu pemusik berada di sekeliling,
dalam tujuh kelompok kemudian mereka bernyanyi.
Seperti yang telah dikatakan Bhaddaji,
demikian dia berkata: Saya, Sakka, adalah pelayanmu,
yang selalu mematuhi perintah-perintah Anda.
[335] Pada masa itu, orang-orang awam tersebut menjadi tidak meragukan dirinya kembali.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bhaddaji adalah Raja Panāda (Panada), dan Aku sendiri adalah Sakka.”

Catatan kaki :
225 Bandingkan Divyāvadāna, hal. 57.
226 udumbara; Ficus glomerata.
227 No. 489.

Selasa, 05 Maret 2013

PERKAWINAN DALAM AGAMA BUDDHA

Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Di dalam buku ini akan dibahas mengenai azas perkawinan dan upacara perkawinan, hubungan antara suami dan isteri secara umum, kemudian mengenai kewajiban seorang suami, kewajiban seorang isteri, kewajiban orang tua terhadap anak, kewajiban anak terhadap orang tua (dan mertua) dan akhirnya mengenai perceraian.
Seorang laki-laki yang beragama Buddha di dalam hidupnya dapat memilih antara hidup berkeluarga dan tidak berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga ia dapat kawin dengan seorang perempuan dan membentuk keluarga, lalu mempunyai keturunan dan seterusnya; akan tetapi ia juga dapat tidak kawin dan tidak membentuk keluarga, tentunya dengan berbagai alasan. Apabila ia memilih hidup tidak berkeluarga juga tidak berumah tangga, maka ia dapat tinggal di vihara sebagai anagarika, samanera atau bhikkhu.
Sebagai anagarika maka seorang laki-laki dapat bertekad untuk mematuhi attha (delapan) sila, sebagai samanera dasa (sepuluh) sila dan sebagai bhikkhu 227 sila. Dalam konsep Buddhis yang dimaksud dengan sila adalah latihan moral etik, yaitu tekad yang sungguh sungguh untuk tidak melakukan sesuatu (berpantang), dan apabila dilanggar akan membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun mahluk lain.
Seperti juga seorang laki- laki maka seorang perempuan yang beragama Buddha dapat memilih antara hidup berkeluarga dan hidup tidak berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga ia dapat memilih antara hidup bersama dengan laki-laki sebagai suami isteri dan membentuk keluarga, atau ia tidak kawin dan tidak membentuk keluarga. Apabila ia memilih hidup tidak berkeluarga juga tidak berumah tangga maka pada saat ini sesuai dengan Mazhab Theravada, ia dapat hidup sebagai seorang anagarini yang mematuhi attha sila.
Ada juga laki-laki, setelah ia mempunyai isteri dan anak-anak, baru pada usia agak lanjut ia menjadi bhikkhu, menjadi anggota sangha. Kalau ia masih terikat dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan maka ia harus mendapat izin tertulis dari isterinya tersebut untuk dapat menjadi seorang bhikkhu.
Tidak semua laki-laki beruntung mendapatkan seorang perempuan yang baik (dewi) sebagai isterinya, ia mungkin mendapatkan seorang perempuan yang jahat/berperangai buruk (chava) sebagai isterinya, sehingga dapat diramalkan perkawinannya akan merupakan bencana bagi dirinya.
Demikian pula tidak semua perempuan beruntung mendapatkan seorang laki-laki yang baik (dewa) sebagai suaminya, ia mungkin saja mendapatkan seorang laki-laki yang jahat/berperangai buruk (chavo) sebagai suaminya, sehingga perkawinannya pasti tidak akan membawa kebahagiaan, hanya membawa nestapa belaka.
Seorang yang jahat dan berperangai buruk adalah orang yang suka melakukan berbagai kejahatan (melanggar Pancasila Buddhis), mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk, mementingkan dirinya sendiri, tidak menghormati mereka yang patut untuk dihormati dan lain sebagainya.
Ada juga perkawinan antara seorang laki-laki yang jahat (chavo) dengan seorang perempuan yang jahat (chava), mereka mungkin merasa “bahagia” menurut ukuran mereka sendiri, akan tetapi itu adalah perkawinan yang buruk yang hanya akan merugikan keluarga dan handai taulan.
Yang paling baik adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang wanita yang baik (dewi), pasangan terakhir inilah yang dipuji oleh Sang Buddha.
(Anguttara Nikaya II, 57)
Persiapan yang masak adalah penting sekali. Sebelum kawin pihak pria dan wanita seharusnya melakukan saling pemantauan terhadap pihak lainnya, untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada. Sehingga kalau ada kekurangan di pihak lainnya yang tidak dapat ditolerir, masih dapat dilakukan langkah mundur atau putus hubungan.
Apa yang harus dinilai dari pihak wanita ? (Apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan atau status sosial)
  1. Keyakinan pada agama
  2. Etika/moral
  3. Pendidikan
  4. Ketrampilan wanita
  5. Kematangan emosional
  6. Kebijaksanaan
Apa yang harus dinilai dari pihak pria ? (Apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan dan status sosial)
  1. Keyakinan pada agama
  2. Etika/moral
  3. Pendidikan
  4. Pekerjaan
  5. Tanggung jawab
  6. Kebijaksanaan
Keyakinan pada agama : Sebaiknya suami dan isteri mempunyai keyakinan yang sama, artinya sama-sama beragama Buddha. Setelah keduanya beragama Buddha maka sepantasnya keduanya memahami dan melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari, sehingga diharapkan keluarganya akan berbahagia, itu yang disebutkan sebagai perkawinan di dalam Dhamma. Setelah mempunyai keyakinan yang sama, maka selanjutnya dianjurkan untuk memiliki sila yang yang setara, kemudian memiliki kemurahan hati yang seimbang dan akhirnya keduanya memiliki kebijaksanaan yang setara.
Etika/Moral : Etika/moral harus menjadi perhatian utama, karena tanpa moral manusia itu seperti mobil tanpa rem. Alangkah baiknya apabila semua calon pengantin telah menjadi upasaka/upasika yang handal, yang selalu mentaati Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari. Etika/moral tidak dibentuk dalam satu hari, namun merupakan hasil kumulatif perkembangan kepribadian sejak masih di dalam kandungan. Apabila si pacar moralnya tidak baik, lebih baik mundur teratur, daripada sakit hati dan lebih menderita di kemudian hari. Moral akan mudah sekali rusak karena keserakahan, kebencian dan kebodohan, akan tetapi pada zaman sekarang ini banyak yang memuji mereka yang berhasil dalam materi, katanya “Greedy is good”.
Pendidikan: Pada zaman sekarang ini sebaiknya pendidikan formal juga dijadikan ukuran dalam mencari pasangan hidup, karena pada suatu saat kesenjangan pendidikan yang terlalu jauh akan mempengaruhi kerukunan dalam keluarga. Pendidikan yang cukup tinggi akan memudahkan seseorang menerima informasi dari manapun, sehingga tidak tertinggal dalam menentukan sikap. Pendidikan yang baik misalnya, akan memudahkan seorang janda untuk mencari kerja, apabila keadaan memaksa.
Ketrampilan wanita: Seorang wanita harus pandai mengurus rumah tangga sebelum memasuki jenjang perkawinan, kalau tidak tahu ia harus belajar dari yang lebih tahu. Pengetahuan yang harus dikuasai sangatlah bervariasi, mulai dari mengurus rumah, mengatur uang belanja, belanja ke pasar, masak di dapur, cuci pakaian dan lain sebagainya; termasuk bagaimana menjadi seorang ibu yang baik.
Kematangan emosional : Hal ini menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang. Seorang wanita yang belum dewasa akan menuntut perhatian yang berlebih dari suaminya, manja, mudah tersinggung, keras kepala, mau menang sendiri dan lain sebagainya. Seorang wanita yang matang emosinya akan bersikap sabar dan mau menunggu dengan bijaksana apabila ada kemelut dalam keluarga, ia akan berpikir panjang sekali sebelum mengambil keputusan.
Pekerjaan : Pekerjaan bagi laki-laki adalah sangat penting, oleh karena tidak ada wanita yang mau menikah dengan seorang penganggur. Memang ada laki-laki anak orang kaya yang tidak tahu bagaimana harus bekerja dan mau kawin, dan ada juga wanita yang mau kawin dengan laki-laki seperti itu; apakah itu untuk sepanjang waktu?! Jenis pekerjaan yang ditekuni juga harus sesuai dengan ajaran Sang Buddha, yaitu tidak termasuk jenis mata pencaharian yang harus dihindari.
Tanggung jawab : Hal ini merupakan bagian dari kepribadian seorang laki-laki yang dipupuk sejak kecil, tidak dibentuk secara mendadak. Memang ada seorang laki-laki yang tampaknya penuh tanggung jawab, meskipun di lain saat ia akan berubah menjadi pengecut yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menjadi penting karena beban seorang laki-laki yang menjadi kepala keluarga semakin hari semakin berat, tuntutan semakin bervariasi.
Kebijaksanaan : Pengertian yang benar mengenai Buddha Dhamma dan selalu mengendalikan pikiran adalah hal yang terpuji, namun ini merupakan hal yang sangat sukar dan langka. Usaha yang sungguh-sungguh untuk memiliki kebijaksanaan dalam hidup ini adalah sangat menguntungkan hidup selanjutnya di masa ini dan di masa yang akan datang. Dengan memiliki kebijaksanaan maka segala keputusan yang diambil bukan karena suka atau tidak suka, bukan karena ikut-ikutan orang lain, bukan karena takut tidak disukai oleh seseorang, namun karena baik untuk semua pihak di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Masa pacaran dapat dipergunakan sebagai masa perkenalan atau masa penjajakan bagi sepasang calon pengantin. Setiap manusia mempunyai corak kepribadian yang berbeda, dan belum tentu kepribadian seseorang itu cocok dengan kepribadian orang lain yang dipilihnya sebagai pasangan hidup; oleh karena itu masa pacaran menjadi sangat penting sebagai persiapan. Bersikap pura-pura atau menutupi keburukan yang ada seringkali berhasil mengelabui si calon pasangan, sehingga akhirnya akan membawa akibat yang tidak menyenangkan bagi yang dikelabui karena tidak ada orang yang dapat dibohongi sepanjang masa.
Apabila ada yang ragu-ragu dengan kepribadian si calon pasangan hidupnya, selidikilah dahulu dengan seksama, bila perlu diperiksa oleh para ahli. Untuk memeriksa kondisi fisiknya dapat diminta pertolongan seorang dokter dengan bantuan pemeriksaan laboratorium dan alat-alat kedokteran yang canggih lainnya, untuk mengetahui corak kepribadiannya dapat diminta pertolongan seorang psikiater (dokter spesialis jiwa) atau seorang psikologi (ahli jiwa) yang berpengalaman. Pemeriksaan fisik adalah sangat penting, akan tetapi pemeriksaan jiwa untuk mendeteksi corak kepribadiannya lebih penting lagi !
Saat ini ilmu kedokteran sudah sangat maju, sehingga tidak begitu banyak lagi penyakit fisik yang sukar atau tidak dapat disembuhkan; akan tetapi apabila. seseorang itu mengalami gangguan atau kelainan kepribadian maka kemungkinannya untuk “sembuh” adalah sangat kecil.
Setiap orang dalam memilih pasangan hidupnya mempunyai kriteria yang tidak sama, demikian pula dengan skala prioritas dari kriteria-kriteria tersebut. Ada yang tidak mau hidup melarat karena itu ia memilih calon pasangan yang kaya raya. Ada juga yang ingin menjadi orang terkenal, karena itu ia memilih calon pasangan hidup yang sudah punya nama, seperti bintang film, bintang sinetron, bintang olah raga, tokoh politik atau tokoh masyarakat. Mereka yang ingin hidup bahagia akan memilih pasangan hidup yang luhur budi, bermoral, bertanggung jawab, rajin bekerja, setia dan bijaksana.
PERSIAPAN MEMASUKI HIDUP PERKAWINAN
Sampai disini maka sudah jelas untuk memasuki hidup perkawinan tidaklah mudah dan sederhana. Sesuatu yang tampak indah dari kejauhan belum tentu tetap indah setelah didekati.
Bagi seorang laki-laki yang ingin menjadi sesuai sebaiknya telah memenuhi kondisi sbb :
  1. Mempunyai identitas sebagai laki-laki
  2. Dapat memberikan kasih sayang kepada seorang wanita
  3. Dapat mempercayai calon isterinya
  4. Mempunyai integritas kepribadian yang matang
  5. Mempunyai mental dan fisik yang sehat
  6. Mempunyai mata pencaharian yang benar
  7. Bersedia membagi kebahagiaan dengan calon isteri
  8. Siap menjadi ayah yang bertanggung jawab
Bagi seorang wanita kondisinya adalah sbb:
  1. Mempunyai identitas sebagai wanita
  2. Dapat memberikan kasih sayang kepada seorang pria
  3. Dapat mempercayai calon suaminya
  4. Mempunyai integritas kepribadian yang matang
  5. Mempunyai mental dan fisik yang sehat
  6. Bersedia mengabdikan diri kepada calon suami
  7. Bersedia menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan suami
  8. Siap menjadi ibu yang bijaksana
PERKAWINAN DAN UPACARA PERKAWINAN
AZAS PERKAWINAN
“Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Walaupun ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA PERKAWINAN
I. PERSIAPAN UPACARA
A. Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
  1. Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
  2. Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
  3. Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
  4. Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
  5. Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
C. Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
II PELAKSANAAN UPACARA
A. TEMPAT UPACARA
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B. PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan peralatan upacara :
  1. Altar dimana terdapat Buddharupang.
  2. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
  3. Tempat dupa
  4. Dupa wangi 9 batang
  5. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
  6. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
  7. Cincin kawin
  8. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
  9. Pita kuning sepanjang 100 cm
  10. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
  11. Surat ikrar perkawinan
  12. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN
  1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
  2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
  3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
  4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
  5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
  6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
  7. Pernyataan ikrar perkawinan**)
  8. Pemasangan cincin kawin.
  9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
  10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
  11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
  12. Wejangan oleh pandita.
  13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
  14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan :
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung lainnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.
HUBUNGAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI
Di zaman yang modern ini semakin sulit bagi sepasang suami istri untuk membina keluarga yang harmonis, karena aspek-aspek yang mempengaruhi sebuah keluarga semakin lama semakin banyak dan semakin bervariasi. Seorang suami tidak hanya menjadi suami, tetapi juga harus mencari uang, menjadi teman yang menyenangkan bagi isteri, menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya dan lain sebagainya. Demikian pula seorang isteri tidak hanya melayani suami, ia juga harus mengurus rumah tangga, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, turut menambah penghasilan keluarga dan segudang tanggung jawab lainnya.
Tidak jarang perkawinan yang diharapkan akan menjadi surga dalam kehidupan ini ternyata berubah menjadi neraka yang mengerikan. Karena itu sebuah perkawinan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang harmonis, bukan, keluarga yang berantakan.
Proses kelangsungan hubungan suami isteri :
I. Sejajar, artinya sejak awal perkawinan jarak hubungan antara suami dan isteri tetap stabil, tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh.
II. Ketika masih baru kawin hubungan agak jauh, namun semakin lama semakin dekat
III. Ketika baru kawin hubungan sangat dekat, namun semakin lama semakin menjauh
IV. Ketika baru kawin jarak antara kedua suami istri jauh, kemudian setelah itu saling mendekat, akan tetapi kemudian saling menjauh lagi
V. Ketika baru kawin hubungan antara suami dan isteri cukup dekat, kemudian menjauh, namun setelah beberapa saat saling mendekat lagi.
HIDUP PERKAWINAN
Banyak orang tidak berani memasuki hidup perkawinan, takut akan kegagalan. Memang tidak sedikit bahtera perkawinan yang kandas di karang tajam penghalang, karena itu agar dapat mencapai tujuan perkawinan maka setiap orang yang ingin kawin harus mempelajari dan akhirnya dapat menguasai serta mengendalikan bahtera perkawinannya; ia harus mempunyai kompas yang bekerja dengan baik sehingga ia tidak akan tersesat, ia tahu kapan hujan badai akan menjelang dan tahu bagaimana bersikap apabila dilanda badai tersebut, ia harus tahu bagaimana menghindari karang-karang tajam dan bukit-bukit es yang menghadang diluar pandangan mata, demikian pula ia harus dapat mengatasi mabuk laut yang menyerang !
Dalam minggu pertama perkawinan, semua terasa manis dan menyenangkan, semua kesalahan si kekasih sudah dimaafkan sebelum dilakukan. Dunia ini sepertinya adalah milik si pengantin baru! Sepertinya bulan madu janganlah berakhir, karena kenikmatan belum dirasakan semuanya.
Dalam tujuh minggu pertama perkawinan mulailah tampak cacad cela si pasangan, akan tetapi maaf masih mudah diberikan. Mulai terasa bahwa “mengalah” harus dilakukan agar tetap rukun akan tetapi mengalah terus menerus akan menimbulkan rasa tertekan. Tidak jarang pertengkaran mulai menjelma pada masa krisis pertama ini. Ada yang tidak dapat melewati masa krisis ini, tetapi setelah melewatinya bukan berarti sudah aman. lbarat bahtera baru saja keluar dari pelabuhan, belum ada gelombang besar yang menganggu.
Pada akhir bulan ke tujuh setelah upacara perkawinan, mulailah belang semakin jelas terlihat, cacad semakin nyata. lbarat gunung yang tampak indah kebiruan apabila dilihat dari jauh, setelah didekati ternyata tidaklah seindah itu. Sebelum kawin dibayangkan bahwa perkawinan itu adalah surga, tetapi kemudian ternyata bahwa surga itu adalah palsu belaka. Perlu usaha yang luar biasa untuk memelihara kedamaian dalam rumah tangga, karena watak asli dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk mulai terkuak nyata. Bulan madu sudah lama berlalu, bahtera sudah berada di laut lepas, itu berarti gelombang sebesar apapun harus dihadapi, badai seganas apapun harus di tantang. Menyesuaikan diri dengan orang lain tidaklah mudah, mengalah terus menerus lebih sulit lagi, apalagi kalau sudah dianggap, keterlaluan.
Sampai tahun ke tujuh dari perkawinan adalah masa yang penuh dengan pertentangan batin, baik bagi si suami maupun si isteri. Watak asli semakin jelas terlihat, yang menjadi masalah adalah mau bertahan atau menyerah! Menyerah berarti pulang ke rumah orang tua atau pisah yang kemudian dilanjutkan dengan bercerai. Bertahan berarti berusaha hidup bersama si pasangan hidup tidak perduli ia itu baik atau buruk perilakunya. Banyak wanita yang sudah siap menjadi isteri, tetapi tidak banyak yang siap untuk menjadi ibu, demikian pula banyak pria yang sudah siap untuk menjadi suami akan tetapi belum siap untuk menjadi ayah. Sehingga kehadiran si kecil bukanlah sesuatu yang diharapkan atau didambakan, akan tetapi hanya menjadi si pengganggu belaka. Kehamilan akan membuat si isteri menjadi semakin manja, egosentrisme semakin nyata, selalu berusaha menjadi pusat perhatian suaminya. Karena itu si suami harus memahami kondisi yang mudah memancing ketegangan di dalam rumah tangga, dan secara bijaksana berusaha mengemudikan perahunya ke arah yang benar.
Melahirkan untuk pertama kali merupakan trauma yang sangat besar bagi si isteri yang belum berpengalaman. Biasanya ia menuntut agar ditemani oleh ibunya ketika menghadapi peristiwa yang menakutkan tersebut. Rasa aman sangat penting bagi si calon ibu, karena sering ia dengar bahwa melahirkan adalah suatu peristiwa yang sangat berbahaya, karena maut suka mendekat. Dengan pemeriksaan selama hamil yang seksama, dan dengan kondisi kesehatan jiwa maupun fisik yang prima, maka pada saat ini melahirkan anak bukanlah hal yang perlu ditakuti lagi.
Yang menjadi masalah serius adalah apabila setelah sekian lama si isteri tidak juga berisi, atau hamil. Dimulai dari rasa heran, lalu berlanjut dengan rasa curiga dan mungkin diteruskan dengan pertengkaran. Banyak pihak suami yang tidak bersedia pergi ke dokter untuk diperiksa kesuburannya setelah si isteri bolak-balik pergi ke dokter spesialis kandungan tanpa hasil, karena ia merasa bahwa kejantanannya diragukan! Tujuh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu kehadiran seorang anak, karena itu tidak jarang bila ada suami yang ingin cepat punya anak lalu berpikir untuk menikah lagi dengan wanita lain. Hampir semua wanita tidak suka dimadu, akan tetapi kalau keadaan terpaksa ya apa boleh buat.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENOPANG
KELUARGA BAHAGIA

SALING SETIA
Kesetiaan adalah masalah yang sangat penting. Saling setia merupakan salah satu pilar yang menopang keutuhan bangunan perkawinan. Perlu suatu kejujuran yang tulus untuk memelihara kesetiaan dalam perkawinan, karena banyak orang yang tidak setia selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan nyelewengnya. Setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah disesali oleh si pelaku dan ia harus bertekad untuk tidak mengulanginya, selanjutnya perlu dimaafkan oleh pihak lain; karena apabila tidak demikian maka hanya keruntuhanlah yang akan terjadi. Merasa puas dengan isteri atau suami sendiri akan sangat menunjang dalam memelihara aspek kesetiaan di dalam keluarga yang harmonis.
SALING PERCAYA
Semakin lama semakin sukar mencari orang yang jujur, mungkin mencari orang yang pandai jauh lebih mudah. Kejujuran adalah landasan dari sikap saling percaya diantara sepasang suami istri. Ada orang yang menganggap bahwa berbohong untuk kebenaran boleh dilakukan, akan tetapi sikap jujur sebaiknya tetap harus diutamakan. Kadang-kadang sangat sukar untuk berterus terang, karena menyangkut banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, namun di antara sepasang suami istri seharusnya tidak ada rahasia. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu suka dibohongi, tetapi ungkapan tersebut adalah tidak benar! Pada dasarnya tidak ada orang yang suka dibohongi atau ditipu, karena apabila di kemudian hari kebohongan itu terbongkar maka akan timbul rasa sakit hati dan dendam. Tentunya setiap orang mempunyai alasan masing-masing untuk berdusta, akan tetapi dalam sebuah keluarga sebaiknya tidak perlu ada dusta.
SALING MENGHORMATI
Saling menghormati dan saling menghargai adalah merupakan pilar yang lain. Penghinaan yang terus menerus akan membuat perasaan terluka dan sakit, karena itu kebiasaan buruk seperti ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama hidup dalam sebuah keluarga. Ada orang dihina karena berasal dari keluarga miskin, atau karena sekolahnya kurang tinggi, atau karena cacad fisik atau karena sebab-sebab lainnya. Perlu disadari bahwa semua orang itu mempunyai kekurangan, karena itu sebelum menghina atau merendahkan orang lain, apalagi pasangan hidup kita sendiri, renungkanlah bahwa setiap orang tidak mau dihina atau direndahkan termasuk diri kita sendiri.
SALING MENGALAH
Mengalah bukan berarti kalah, karena itu saling mengalah juga merupakan pilar lain yang penting untuk dipelihara. Ada saatnya seseorang itu tidak mau dibantah, mungkin karena ada masalah pelik lain yang sedang mengganggu, karena itu pihak lainlah yang harus dengan penuh pengertian menyesuaikan diri dengan mengalah. Jarang sekali dua orang yang keras kepala dapat menjadi pasangan hidup yang rukun, mereka lebih tepat disebutkan sebagai pasangan anjing dan kucing! Setiap soal, biarpun soal kecil, menjadi bahan perdebatan sengit.
SALING MEMBANTU
Setiap orang memiliki kelemahan, karena itu ia patut dibantu. Adalah hal yang patut apabila sepasang suami isteri itu saling membantu, saling melengkapi; sehingga segala kesulitan hidup terasa lebih ringan untuk dipikul. Membantu orang lain, terutama ketika ia sangat membutuhkan, seperti ketika sedang sakit, adalah hal yang sangat terpuji, sangat mulia dan sangat luhur. Janganlah karena kebencian kita mengabaikan hal yang satu ini.
SALING BERSAHABAT
Pada dasarnya sepasang suami isteri adalah sepasang sahabat atau teman. Seharusnya hubungan mereka tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi ada pihak-pihak tertentu yang dapat mengganggu hubungan tersebut, seperti misalnya mertua, ipar, teman, bekas pacar, dll. Persahabatan perlu dipelihara dengan baik, agar keharmonisan keluarga dapat tetap dipertahankan dalam waktu yang relatif lama. Sepasang sahabat baik akan selalu saling percaya, saling membantu, saling memperingatkan dalam setiap situasi; Sahabat sejati tidak akan meninggalkan temannya di dalam kesulitan.
SALING MEMELIHARA KOMUNIKASI
Komunikasi di dalam keluarga tidak selalu berlangsung dengan mulus, adakalanya tersendat-sendat, kadang-kadang terputus sama sekali untuk waktu yang sebentar atau lebih lama. Adalah sukar untuk menyingkirkan semua hal yang mengganggu lancarnya komunikasi karena jenisnya terlalu banyak dan intensitasnya tidak menentu, misalnya perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan kegemaran, perbedaan orientasi, perbedaan nilai, pengaruh emosional, jarak dll.
Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (pañña).
(Anguttara N II, 62)
Yang dimaksud dengan Saddha adalah keyakinan terhadap Sang Tiratana (Triratna), yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga umat Buddha hanyalah berlindung kepada Sang Tiratana, tidak kepada obyek lainnya seperti pohon-pohon, gunung-gunung, gua-gua, batu-batu, alat-alat senjata, kuburan-kuburan keramat, tempat-tempat pemujaan dan mahluk-mahluk lain.
Setelah memiliki keyakinan dan berlindung kepada Sang Tiratana, berikutnya adalah melaksanakan sila sebagai kelanjutannya. Bagi setiap umat Buddha yang hidup berkeluarga terdapat lima sila yang wajib untuk ditaati, yang merupakan tekad atau latihan yang sungguh-sungguh sebagai berikut :
  1. Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak menghilangkan nyawa dari mahluk lain yang bernafas;
  2. Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan;
  3. Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak melakukan perbuatan asusila;
  4. Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, tidak berguna, tidak beralasan dan tidak tepat waktu;
  5. Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak menggunakan segala zat yang dapat melemahkan kesadaran. (misalnya alkohol, ganja, morfin, heroin, cocain, dll)
Berikutnya adalah mengembangkan kemurahan hati, suka atau berdana, suka membantu mereka yang perlu dibantu, merasa gembira dan bahagia melihat orang lain berbahagia dan damai.
Kebijaksanaan adalah merupakan landasan dari segala hal baik yang dilakukan oleh seseorang yang memahami ajaran Sang Buddha dan akan berkembang terus dengan dilaksanakannya sila pengembangan batin sebagai pengalaman batin dan penalaran
pribadi. Tanpa kebijaksanaan maka seseorang akan melakukan perbuatan-perbuatan baiknya hanya karena ikut-ikutan atau karena disuruh.
KEWAJIBAN SEORANG SUAMI
Di dalam agama Buddha tidak dibahas hak seorang suami, yang ada hanyalah kewajiban seorang suami sebagai kepala keluarga. Dalam Mangala Sutta terdapat sebuah bait yang bunyinya sebagai berikut :
MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
artinya :
Menyokong dan merawat ayah dan ibu
Membahagiakan anak dan istri
Pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Itulah Berkah utama
(Khuddaka Patha halaman 3)
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki penghasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dilimpahkan kepada para almarhum tersebut)
Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib berhemat dan tidak meng-hambur-hamburkan uang
(Jataka V, 433)
Di dalam Sigalovada Sutta terdapat 5 kewajiban seorang suami terhadap isterinya sebagai berikut :
  1. Menghormati isterinya;
  2. Bersikap lemah lembut terhadap isterinya;
  3. Bersikap setia terhadap isterinya;
  4. Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya;
  5. Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya.
(Digha Nikaya III, 190)
Dalam Khuddaka Patha (halaman 138) disebutkan bahwa seorang suami harus bersikap ramah terhadap isterinya, membantu istrinya dalam segala bentuk pekerjaan, mengajak isterinya untuk menghadiri upacara-upacara dan pesta-pesta, mendorong isterinya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib menghindarkan empat macam apayamukha, yaitu sebab-sebab, yang akan membawa keruntuhan, yaitu :
  1. Suka menggoda wanita lain;
  2. Suka bermabuk-mabukan
  3. Suka berjudi
  4. Suka bergaul dengan orang jahat dan akrab dengan orang jahat.
(Anguttara Nikaya IV, 283)
Terdapat empat macam Ditthadhammikatthapayojana, yaitu hal-hal yang berguna pada kehidupan sekarang :
  1. Utthanasampada : rajin dan bersemangat dalam bekerja mencari nafkah.
  2. Arakkhasampada : bersikap penuh hati-hati, menjaga harta yang telah diperoleh,
    tidak membiarkannya hilang atau dicuri, menggunakannya dengan hemat. Menjaga cara kerja yang baik sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
  3. Kalyanamitta: memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang dungu dan jahat.
  4. Samajivita : menempuh hidup sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu kikir dan tidak terlalu boros
(Anguttara Nikaya IV, 281)
Bagi seorang kepala rumah tangga terdapat empat Dhamma yang wajib untuk dimiliki, yaitu :
  1. Sacca : Kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain
  2. Dama : Pengendalian pikiran yang baik
  3. Khanti : Kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit
  4. Caga : Kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi
(Samyutta Nikaya I, 215)
Berikut ini terdapat 38 hal yang akan membawa Berkah Utama (Mangala), yang wajib diperhatikan oleh seorang kepala keluarga :
  1. Tidak bergaul dengan orang dungu
  2. Bergaul dengan orang bijaksana
  3. Menghormati mereka yang patut dihormati
  4. Hidup di tempat yang sesuai
  5. Telah melakukan kebajikan dalam kehidupan lampau
  6. Menuntun diri ke arah yang benar
  7. Memiliki pengetahuan yang tinggi
  8. Memiliki keterampilan yang memadai
  9. Memiliki tatasusila yang baik
  10. Ramah tamah dalam tutur kata
  11. Menyokong ayah dan ibu
  12. Membahagiakan anak
  13. Membahagiakan isteri
  14. Mempunyai pekerjaan yang bebas dari keruwetan
  15. Suka berdana
  16. Hidup sesuai dengan Dhamma
  17. Menolong sanak keluarga yang perlu ditolong
  18. Perbuatan tanpa cela
  19. Menjauhi kejahatan
  20. Menghindari minuman keras
  21. Tekun melaksanakan Dhamma
  22. Selalu menghormat
  23. Selalu rendah hati
  24. Merasa puas dengan apa yang telah diterima
  25. Berterima kasih menerima kebaikan orang lain
  26. Mendengarkan Dhamma pada saat-saat tertentu
  27. Memiliki kesabaran
  28. Rendah hati apabila diberi peringatan
  29. Sering mengunjungi para bhikkhu/pertapa
  30. Membahas Dhamma pada saat-saat yang sesuai
  31. Hidup sederhana
  32. Bersemangat menjalani Hidup Suci
  33. Menembus Empat Kesunyataan Mulia
  34. Mencapai Nibbana
  35. Batin tidak tergoyahkan meskipun digoda oleh hal-hal duniawi
  36. Batin tiada susah
  37. Batin tanpa noda
  38. Batin penuh damai
KEWAJIBAN SEORANG ISTRI
Atas perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, berdasarkan Sigalovada Sutta maka seorang isteri yang mencintai suaminya mempunyai kewajiban sebagai berikut:
  1. Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik
  2. Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
  3. Setia kepada suaminya
  4. Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya
  5. Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
(Digha Nikaya III, 190)
Adalah merupakan hal yang pantas dipuji apabila setiap isteri berusaha untuk memenuhi 5 ciri isteri yang sempurna, yaitu :
  1. Bangun lebih dahulu dari suaminya
  2. Pergi tidur setelah suami tertidur
  3. Selalu mematuhi perintah suaminya
  4. Selalu bersikap ramah dan sopan
  5. Dari mulutnya hanya keluar kata-kata yang ramah.
(Anguttara Nikaya IV, 265)
Telah dicatat bahwa disamping menjadi isteri dengan 5 ciri di atas, Ratu Mallika juga bertekad agar batinnya terbebas dari iri hati dan cemburu.
(Anguttara Nikaya II, 205)
Kepada Sujata, adik perempuan dari Maha Upasika Visakha, yang menjadi menantu dari Maha Upasaka Andthapindika, Sang Buddha telah berkotbah mengenai tujuh jenis isteri dari segala zaman sebagai berikut :
  1. Seorang isteri yang jahat, mempunyai keinginan buruk, kejam/bengis mencintai pria lain, suka melacur, selalu berbeda pendapat dengan suaminya, selalu mencari alasan untuk bertengkar disebut sebagai isteri yang menyusahkan (vadhakhabhariya)
  2. Seorang isteri yang suka menghamburkan kekayaan yang diperoleh suaminya dengan susah payah, tidak mau berpikir, suka menggelapkan harta benda suaminya untuk kepentingannya sendiri, untuk berjudi dan bermabuk-mabukan, disebut sebagai isteri pencuri (corabhariya)
  3. Seorang isteri yang tidak mau berbuat apapun, malas, rakus, kasar, suka mencaci maki, selalu ingin berkuasa, ingin menguasai suaminya, mengambil kesempatan dari kedudukan suaminya untuk menonjolkan dirinya, selalu ingin menang sendiri, disebut sebagai isteri penguasa (ayyabhariya);
  4. Seorang isteri yang ramah dan penuh welas asih, merawat suaminya seperti seorang ibu yang melindungi anaknya, menjaga harta yang telah dikumpulkan oleh suaminya dengan teliti dan hati-hati, disebut sebagai isteri keibuan (matubhariya);
  5. Seorang isteri yang menghormati suaminya seperti seorang adik perempuan yang patuh terhadap kakaknya, bersikap rendah hati, hidup sesuai dengan keinginan suaminya, disebut sebagai isteri saudara (bhaginibhariya)
  6. Seorang isteri yang bergembira ketika melihat suaminya bertemu dengan teman baik yang lama tidak berjumpa, terhormat, baik hati, selalu menolong dan suci, sebagai isteri sahabat (sakhibhariya);
  7. Seorang isteri yang tidak marah dan tetap sabar/tenang meskipun diancam dengan siksaan dan hukuman, mengerjakan semua tugas yang diberikan suaminya tanpa mengeluh, bebas dari kebencian, hidup sesuai dengan kehendak suaminya, disebut sebagai isteri yang melayani (dasibhariya).
(Anguttara Nikaya IV, 92)
Setelah mendengar kotbah diatas Sujata batinnya menjadi sadar lalu mencapai tingkat kesucian yang pertama (Sotapanna). Atas pertanyaan Sang Buddha Sujata memilih menjadi dasibhariya bagi suaminya.
Sang Buddha menjelaskan bahwa para isteri dari tiga jenis yang pertama adalah buruk dan tidak dikehendaki oleh suami manapun dan kelak akan terlahir di neraka, akan mengalami penderitaan yang tidak terhingga, terpanggang oleh api neraka. Sedangkan empat jenis isteri yang berikutnya adalah baik dan patut dipuji, mereka akan berbahagia dalam kehidupan sekarang ini dan setelah kematian akan terlahir di alam-alam surga yang berbahagia.
Ketika Visakha ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat sebagai berikut (Lihat Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II halaman 72-73) :
  1. Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah
    (Api di sini berarti fitnah. Seorang isteri seharusnya tidak menceritakan keburukan suami atau mertuanya kepada orang lain, demikian pula tidak menceritakan kekurangan-kekurangan atau pertengkaran dalam keluarga kepada orang lain)
  2. Jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah
    (Seorang isteri seharusnya tidak mendengarkan hasutan-hasutan atau gosip dari keluarga-keluarga lain dan membawanya ke dalam rumah)
  3. Memberi hanya kepada mereka yang memberi
    (Hanya meminjamkan sesuatu kepada mereka yang mau mengembalikan)
  4. Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi
    (Jangan meminjamkan sesuatu kepada mereka yang tidak akan mengembalikan barang yang dipinjam)
  5. Memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi
    (Menolong orang-orang miskin atau kawan-kawan tanpa memperdulikan apakah mereka akan mengembalikan atau tidak)
  6. Duduk dengan bahagia
    (Duduk pada posisi yang sesuai, apabila mertua datang menghampiri ia harus berdiri untuk menghormat)
  7. Makan dengan bahagia
    (Sebelum makan seorang isteri terlebih dahulu mempersiapkan segala hidangan untuk mertua dan suaminya, di samping memperhatikan juga kebutuhan makanan dari para pembantu rumah tangga)
  8. Tidur dengan bahagia
    (Sebelum tidur memeriksa dahulu apakah pintu-pintu dan jendela-jendela sudah ditutup atau belum, apakah masih ada api yang menyala di dapur, apakah ada bahaya yang mungkin mengancam keselamatan keluarga, apakah para pembantu telah menyelesaikan tugasnya, apakah mertua dan suaminya sudah tidur atau belum. Kemudian bangun pagi-pagi sekali dan tidak akan tidur siang kecuali sedang sakit)
  9. Rawatlah api dalam rumah
    (Rawatlah mertua dan suami dengan baik, seperti merawat api di dapur dan api merawat kita di dapur)
  10. Hormatilah dewata keluarga
    (Mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut untuk dihormati)
Menurut tradisi timur, seorang isteri wajib memandang suami sebagai “yang dipertuan”. Sang Buddha pernah bersabda bahwa isteri juga adalah sahabat karib dan dewa penolong dari suaminya, oleh karena itu ia pantas untuk diperlakukan dengan baik dan dicintai oleh suaminya
KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
Adalah kewajiban dari orang tua untuk membuat anaknya menjadi besar dalam kesejahteraan, dalam kenyataannya para orang tua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan kerelaan. Meskipun adakalanya terdapat anak atau anak-anak yang tidak menghargai jerih payah orang tuanya dan tidak tahu membalas budi, akan tetapi, orang tua dengan sedikit pengharapan seringkali tetap memperhatikan segala kepentingan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa, kawin dan pergi dari rumah. Orang tua akan berbahagia apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam, segala aspek, atau paling sedikit sama dengan mereka; mereka akan merasa tidak puas apabila kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar orang tua pertama-tama harus memberi contoh tauladan dan memperlihatkan cara hidup yang ideal.
Adalah suatu kekeliruan yang sangat besar apabila orang tua membiarkan anak atau anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha), karena kemungkinan besar anak atau anak-anak tersebut akan memilih keyakinannya lain atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Sebenarnya bukanlah hal yang kebetulan seorang anak terlahir dalam keluarga yang beragama Buddha, itu berarti dalam kehidupan yang lalu anak tersebut pasti sudah beragama Buddha dan ingin meneruskan keyakinannya tersebut dalam kehidupan yang sekarang. Hanya orang tua yang lalai atau karena disebabkan oleh hal-hal tertentu misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain, seorang anak dapat beralih ke agama lain. Memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (saddha) adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha untuk selanjutnya, misalnya mematuhi sila mengembangkan kasih sayang, meningkatkan kemurahan hati dan memperoleh kebijaksanaan. Oleh karena itu setiap orang tua yang beragama Buddha harus senantiasa menanamkan keyakinan terhadap Sang Tiratana pada diri anak atau anak-anaknya, agar tetap beragama Buddha sampai akhir hayatnya. Perlu diingat bahwa anak atau anak-anak yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pattidana atau pelimpahan jasa; perbuatan baik yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di alam Peta (sengsara).
Sesuai dengan Sigalovada Sutta maka orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya sebagai berikut :
  1. Mencegah anak berbuat jahat
  2. Menganjurkan anak berbuat baik
  3. Memberikan pendidikan profesional kepada anak
  4. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
  5. Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
(Digha Nikaya III, 189)
Mencegah anak berbuat jahat
Mencegah anak berbuat jahat adalah sangat penting, karena akan percuma saja si anak memiliki kecerdasan dan pandai serta kaya apabila selalu berbuat kejahatan dan merugikan orang lain atau masyarakat.
Rumah adalah sekolah yang pertama bagi anak, dan orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak. Anak biasanya belajar dari orang tua tentang baik dan buruk, tentang budi pekerti pada umumnya. Adalah tidak bijaksana apabila orang tua membohongi anak, mempermainkan anak, menipu anak, menakut-nakuti anak, apalagi menyiksa anak. Hal tersebut akan memberi bekas yang sangat dalam pada diri anak. Orang tua wajib bertingkah laku yang baik agar anak-anak patuh dan menjadikan orang tuanya sebagai suri tauladan.
Orang tua wajib menanamkan perasaan malu dan takut pada diri si anak. Malu melakukan perbuatan yang salah, takut kepada akibat dari perbuatan yang jahat. Untuk menjauhkan anak dari perbuatan jahat orang tua harus rajin memberi petunjuk atau nasehat, rajin memberi hukuman apabila anaknya berbuat salah, dan yang paling penting adalah memberi contoh tauladan. Laranglah anak-anak melakukan perbuatan tercela, seperti menyiksa atau membunuh binatang, balas dendam, mengambil barang-barang yang tidak diberikan, berbohong dan minum minuman keras. Tetapi sebelum melarang si orang tua harus menunjukkan contoh terlebih dahulu!
Menganjurkan anak berbuat baik
Orang tua adalah guru di rumah, dan guru adalah orang tua di sekolah. Orang tua dan guru sama-sama bertanggung jawab untuk hari depan anak. Menganjurkan anak berbuat baik adalah hal yang sangat bermanfaat bagi diri si anak maupun bagi lingkungannya. Ajarkan agar anak menyayangi mahluk-mahluk lain, ajarkan anak untuk suka memberi, ajarkan anak untuk berteman dengan anak-anak lainnya, ajarkan anak untuk menghibur mereka yang patut dihibur, ajarkan anak untuk membantu orang lain, ajarkan anak untuk menghormati para bhikkhu, ajarkan anak untuk menghormati Buddharupang dan banyak hal lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini. Sebelumnya berilah contoh yang benar.
Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh (baby-sitter) atau pembantu yang bodoh, seringkali anak lebih dekat kepada pengasuh atau pembantu daripada dengan orang tuanya sendiri.
Sebaiknya anak diberikan dasar-dasar dari Pancasila Buddhis, bangkitkanlah perasaan kasih sayang dalam diri anak, tanamkan kecintaan pada kejujuran dan kebenaran dalam batin anak, ajarkan anak untuk bersikap sopan dan santun kepada orang lain, ajarkan anak untuk mengakui kesalahannya dengan berani dan memperbaiki kesalahan tersebut dengan bijaksana, dan jauhkanlah anak dari rokok dan minuman keras serta zat-zat berbahaya lainnya.
Selalu dijaga agar anak tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat, dan pulang ke rumah sebelum malam hari. Anjurkanlah agar anak bergaul dengan orang-orang yang baik dan patut untuk dihormati. Ajarkan anak untuk berbicara sopan dan ramah, bersikap lemah lembut terhadap sesama mahluk.
Jangan lupa untuk memberikan pujian, bila perlu memberikan hadiah apabila anak melakukan perbuatan yang baik.
Memberikan pendidikan profesional kepada anak
Pendidikan yang baik sebenarnya adalah warisan yang paling berharga yang dapat diberikan orang tua kepada anak. Melatih dan mengajarkan anak memiliki kepandaian dan ketrampilan agar mempunyai profesi yang dapat diandalkan, sebagai modal untuk mandiri adalah sangat penting, karena suatu saat ia harus mencari nafkah sendiri.
Setelah anak jauh dari perbuatan jahat dan gemar berbuat baik maka ia harus memiliki kepandaian dan ketrampilan yang setinggi-tingginya sebagai bekal untuk mencari nafkah kalau ia sudah dewasa.
Banyak orang tua yang lebih mementingkan hal yang ketiga ini dari padapada dua hal sebelumnya, itu adalah sikap yang keliru. Karena akan terbentuk seorang manusia yang pandai dan trampil, namun tidak bermoral, hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak berguna bagi orang banyak. lbarat sebuah pedang yang sangat tajam namun tidak ada gagangnya.
Doronglah anak untuk belajar dengan rajin, secara formal disekolah dapat ditambah dengan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus-kursus disamping pendidikan informal yang diberikan keluarga di rumah.
Perhatikan dan jangan melalaikan pendidikan agama Buddha untuk anak. Usahakan agar setelah dewasa anak tetap menjadi umat Buddha yang baik. Pendidikan yang mengarah ke profesionalisme harus diiringi dengan pendidikan moral-etik yang sama banyaknya.
Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak adalah bagi mereka yang ingin berumah tangga. Carilah yang memiliki saddha yang sama, artinya yang sama-sama beragama Buddha dan berlindung kepada Sang Tiratana; carilah yang berperangai baik dan berkelakuan baik, carilah yang murah hati dan tidak kikir namun tidak boros carilah yang memiliki kebijaksanaan yang cukup. Menilai seseorang dari penampilan luar saja tidaklah cukup, perlu observasi lebih lama dan penilaian yang lebih seksama.
Menurut Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar ia kelak menjadi isteri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus seorang perempuan yang ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan subur (dapat melahirkan banyak anak), memiliki keyakinan, memiliki sila serta berasal dari keluarga baik-baik.
(Jataka X. No. 453)
Untuk memilih menantu laki-laki perlu dihindarkan laki-laki yang hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros.
(Parabhava Sutta, No. 16, lihat lampiran 2)
Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat.
Orang tua yang baik tidak hanya mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dalam suasana kasih sayang dan damai, tetapi juga mempersiapkan agar anak-anaknya kelak dapat hidup dalam kesenangan dan kebahagiaan setelah dewasa. Adalah kewajiban bagi orang tua untuk memberikan atau membagikan harta kekayaan kepada anak atau anak-anaknya setelah mereka siap untuk menerimanya, harta kekayaan tersebut akan dapat dipergunakan sebagai modal usaha untuk hidup mandiri dalam masyarakat. Walaupun orang tua telah mengumpulkan harta kekayaannya dengan susah payah, namun dengan suka rela mereka akan mewariskannya kepada anak atau anak-anaknya. Harta kekayaan tersebut akan menjadi harta warisan bagi anak atau anak-anaknya setelah orang tua tersebut meninggal dunia.
Harta warisan diberikan kepada anak apabila sudah tiba waktunya, itu artinya setelah si anak dianggap dapat mengelola atau menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Alangkah baiknya apabila semua orang tua meninggalkan harta warisan kepada anaknya, bukan hutang yang menjerat. Ada sebagian orang tua yang baru meninggalkan warisannya setelah mereka meninggal dunia.
Pengertian menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat adalah menyerahkan harta benda orang tua yang kelak akan menjadi bagian dari warisan, semasa orang tuanya masih hidup pada saat yang tepat, yaitu saat anak atau anak-anaknya sendiri benar-benar siap untuk memanfaatkannya demi hari depannya. Ajaran yang ditentukan sebagai suatu kewajiban bagi orang tua ini adalah merupakan sikap moral yang luhur dan berpandangan sangat jauh ke depan karena akan mencegah terjadinya perselisihan di antara anak-anak sebagai ahliwaris orang tuanya dan mencegah terjadinya pemborosan yang tidak berguna. Ajaran Sang Buddha ini berlaku umum, yaitu untuk setiap orang tanpa membedakan usia, jenis kelamin, golongan atau derajat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sikap batin ini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama (anak sulung) dan anak yang lahir selanjutnya atau yang lahir terakhir (anak bungsu), dan juga tidak membedakan apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang sukses dalam pendidikan atau yang tidak beruntung dalam pendidikan, yang berhasil usahanya atau yang kurang sukses usahanya; sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan yang kelak akan menjadi bagian warisan atau terjadinya pembagian harta benda peninggalan setelah warisan terbuka yaitu setelah orang tua meninggal dunia, azas keadilan akan menjadi dasar utama dari pembagian harta kekayaan tersebut.
KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUA (DAN MERTUA)
Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakhir adalah ayah.
(Anguttara Nikaya II, 4)
Para Buddha jarang sekali muncul di alam dunia ini, demikian pula para Arahat. Akan tetapi ibu dan ayah yang baik dan tercinta adalah biasa terdapat dalam setiap rumah tangga. Mereka benar-benar merupakan tanah ladang yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sungguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak perempuan yang masih memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya.
Barang siapa yang memperlakukan dengan buruk,
ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit penderitaan,
Karena siapapun yang mengabaikan orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dicela oleh para bijaksana,
Dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan menderita sengsara di alam neraka.
Barang siapa yang telah memperlakukan dengan baik,
Ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit kebajikan,
Karena siapapun yang berbuat bajik kepada orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dipuji oleh para bijaksana,
dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan hidup berbahagia di alam-alam surga.
(Anguttara Nikaya II, 4)
Hanyalah orang yang bodoh, jahat, rendah dan tidak tahu membalas budi yang akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan buruk; sedangkan mereka yang bijaksana, bajik, mulia dan tahu balas budi akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan baik. Di dalam budaya timur, adalah suatu hal yang wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, juga kepada mertuanya. Seorang anak masih tetap berhubungan erat dengan kedua orang tuanya meskipun ia telah dewasa, kawin dan mempunyai keturunan. Berbakti kepada orang tua sendiri mungkin tidak ada masalah, akan tetapi banyak menantu yang sulit untuk berbakti kepada mertuanya. Meskipun agama Buddha lahir dalam budaya India lebih dari 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kiranya masih relevan untuk disimak dan dilaksanakan oleh umat Buddha.
Di dalam Sigalovada Sutta tertera: “Dengan lima cara seorang memperlakukan orang tuanya sebagai arah timur :
  1. Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
  2. Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
  3. Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga.
  4. Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan.
  5. Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia.”
(Digha Nikaya III, 189)
Ad. 1. Setiap anak pasti mempunyai orang tua, sejak berada didalam kandungan telah menerima kasih sayang dari kedua orang tua. Sungguh beruntung seorang anak yang lahir di tengah-tengah keluarga yang harmonis, memiliki ibu yang penuh kasih sayang, memiliki ayah yang penuh tanggung jawab, memiliki saudara kandung yang rukun dan memiliki sanak keluarga yang penuh simpati. Ibu dan ayah merupakan, orang-orang yang sangat berjasa bagi anak, yang telah melindungi anaknya dari segala mara bahaya pada saat anaknya tidak berdaya, memberi makan, minum dan tempat berteduh kepada anak yang belum dapat mencari nafkahnya sendiri, mengajarkan anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk, mendidik dan menyekolahkan anak agar mempunyai kepandaian dan ketrampilan sehingga kelak bisa mandiri dalam mencari nafkah, memberikan hiburan dan dorongan pada saat anak berputus asa, dan lain sebagainya. Orang tua yang telah membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya menurut ukuran mereka, adalah sangat pantas untuk disokong oleh anak-anaknya, sebagai balas jasa; meskipun sebenarnya jasa orang tua itu tidak akan pernah dapat terbalas oleh anak-anaknya.
Ayah dan ibu mertua juga harus dipandang sebagai orang tua sendiri, harus dipandang sebagai dewata keluarga yang layak dihormati. Memang sejak zaman dahulu telah menjadi bahan pembicaraan bahwa mertua dan menantu lebih sering bertengkar daripada rukun, apalagi mertua perempuan dan menantu perempuan. Diharap dalam keluarga Buddhis hal seperti itu tidak terjadi, karena masing-masing pihak berusaha untuk menahan diri, memiliki tenggang rasa dan menaruh simpati, tidak mengembangkan rasa benci dan iri hati kepada pihak lainnya.
Ad. 2. Melakukan tugas-tugas kewajiban terhadap orang tua adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh anak atau menantu. Setiap anak atau menantu seharusnya mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan melaksanakan hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan orang tua atau mertuanya.
Adalah kewajiban bagi anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua mereka, bila perlu mengorbankan, kesenangan atau kepentingan sendiri demi orang tua.
“Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan diperhatikan oleh para dewa, dan para dewa tersebut akan datang untuk mengobati penyakitnya.
Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan dipuji oleh para dewa di dunia ini, Dalam kelahiran berikut ia akan memperoleh kebahagiaan di surga.”
(Temiya Jataka)
Anak dan menantu seharusnya tidak hanya memperhatikan kebutuhan materi dari orang tua atau mertuanya saja, namun wajib memperhatikan kebahagiaan batin mereka. Doronglah agar mereka mengembangkan kemurahan hati, moral etik, kebajikan, kebijaksanaan dan lain sebagainya. Kalau mampu dan keadaan memungkinkan, ajaklah mereka berziarah ke tempat-tempat suci (Buddha Gaya, Taman Isipatana, Taman Lumbini dan Kusinara), dan doronglah agar mereka banyak melakukan perbuatan jasa yang kelak akan menguntungkan bagi mereka sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
Ad. 3. Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga merupakan kewajiban seorang anak untuk melakukannya. Kalau bukan anak yang memelihara garis keturunan (silsilah) dan tradisi keluarga, lalu siapa lagi? Tradisi keluarga yang baik, tidak bertentangan dengan Dhamma, sebaiknya dipelihara secara seksama. Memperhatikan sanak keluarga dan membantu mereka yang perlu ditolong adalah hal yang membawa berkah. Memelihara garis silsilah dan tradisi keluarga juga berarti tidak menghamburkan harta benda keluarga, memulihkan atau memperbaiki integritas dan kehormatan keluarga, serta tetap mempersembahkan dana untuk kepentingan keagamaan. Mempersembahkan dana secara rutin, menyokong institusi keagamaan, menyokong dunia pendidikan, membantu yayasan sosial, menolong para fakir miskin dan korban bencana alam, yang telah dilakukan oleh orang tua, wajib untuk dilanjutkan terutama setelah mereka meninggal dunia.
Ad. 4. Seorang anak yang baik akan selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan Dhamma, menghindari hal-hal yang buruk, tidak bergaul dengan orang jahat, bergaul dengan para bijaksana, bersikap dewasa dalam berpikir dan bertindak, sehingga kedua orang tuanya menilai bahwa anak tersebut layak menerima warisan dari mereka. Demikianlah, setelah warisan itu diterima oleh si anak, lalu dikelola dengan baik, tidak dihambur-hamburkan, digunakan untuk modal usaha, atau untuk mengembangkan usaha yang sudah ada, sehingga membawa manfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya atau negaranya.
Ad. 5. Seorang anak yang baik akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Yang dimaksud disini adalah melakukan pattidana. Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya
  1. Mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada anggota Sangha;
  2. Banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo
  3. Melepaskan binatang-binatang yang akan mati disembelih;
  4. Mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan;
  5. Berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara;
  6. Bermeditasi dan lain sebagainya.
Setelah melakukan banyak perbuatan jasa, lalu berdoa atau bersembahyang semoga para leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia turut berbahagia atau turut bersimpati mengetahui keturunannya gemar berbuat kebajikan. Diharapkan mudita citta (pikiran yang penuh simpati dan turut bergembira) muncul dalam batin leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal itu, dan mudah-mudahan hal tersebut akan membuat mereka meninggal di alam yang menyedihkan lalu terlahir kembali di alam-alam yang bahagia. Berdana secara rutin atas nama orang tua yang telah meninggal adalah sangat terpuji untuk dilakukan oleh anak yang berbakti, untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dan juga untuk kebaikan almarhum.
Seorang anak atau menantu yang bersikap kurang baik terhadap orang tua atau mertuanya, tidak mau melaksanakan kewajiban dengan baik, akan mengalami kemerosotan di dalam hidupnya kelak ia juga akan mengalami hal yang sama, anak dan menantunya akan bersikap kurang baik terhadap dirinya. Seorang anak demikian tega sehingga membunuh kedua orang tuanya, akan terlahir di neraka sekian kali ratusan ribu tahun, kemudian setelah itu ratusan kali terlahir kembali sebagai mahluk manusia yang berumur pendek dan selalu tersiksa sebelum mati (Baca kisah Moggalana).
Memang ada orang tua dan mertua yang kurang baik, yang suka menyiksa atau menghina anak dan menantunya. Ada yang semakin tua semakin sukar dilayani, semakin cerewet dan semakin keras kepala. Anak harus bersikap sabar dan menahan diri, anggaplah hal tersebut sebagai buah dari perbuatan buruk yang telah dilakukan dalam masa yang lampau.
Anak yang baik wajib melayani orang tuanya dengan kasih dan telaten, sama seperti orang tuanya membesarkan dirinya dengan kasih sayang ketika ia masih kecil dan sukar diatur (nakal). Berkorban kepentingan untuk orang tua atau mertua adalah hal yang terpuji.
Memang ada seorang ibu yang kebetulan hanya memiliki seorang putera, menganggap menantunya sebagai saingan dalam rangka merebut perhatian anaknya; apalagi kalau ia sudah menjadi janda. Ia selalu mencampuri keluarga anaknya, selalu ikut mengatur apa yang baik untuk anaknya, tanpa mekikirkan bahwa anaknya itu sudah dewasa dan telah menikah. Si menantu harus siap untuk bersabar dan bersabar lagi, karena apabila ia juga “melayani” sikap negatif dari ibu mertuanya, yang akan susah adalah suami dan dirinya sendiri. Banyak suami yang sukar untuk menentukan sikap, apabila terjadi masalah di antara ibu dan isterinya. Adalah bijaksana untuk semua pihak mengendalikan diri dengan baik, selalu memegang teguh ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari.
Menurut Sang Buddha di dalam dunia ini terdapat dua orang yang tidak dapat dibayar lunas jasa-jasa baiknya, yaitu ibu dan ayah. Meskipun seseorang memanggul ibu dan ayahnya diatas kedua bahunya sampai 100 tahun lamanya, memberikan tunjangan kepada ibu dan ayahnya, membalur tubuh mereka, dengan obat gosok, memijit, membersihkan dan mengurut kaki mereka, dan kadang-kadang mereka mengotorinya dengan air seni dan tinja, ia tetap tidak dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Selanjutnya, meskipun ia menempatkan orang tuanya menjadi pejabat tinggi, menjadi orang yang sangat kaya dan berkuasa, ia tetap belum dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Karena orang tua telah berbuat banyak sekali kepada anak, yaitu membesarkan, memberi makan, mendidik dan memperkenalkan dunia luar kepada anak mereka.
Apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak memiliki keyakinan, agar memiliki dan mengembangkan keyakinannya terhadap Dhamma; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, agar memiliki dan mengembangkan moral sesuai dengan Dhamma; apabila ada anak yang dapat mempengaruhi orang tuanya yang sangat kikir, agar memiliki dan mengembangkan sikap murah hati; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang bodoh atau dungu, agar memiliki dan mengembangkan kebijaksanaan, dengan berbuat demikian, barulah ia dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya, bahkan lebih daripada, itu.
(Anguttara Nikaya I, 61)
PERCERAIAN
Di dalam agama Buddha tidak diajarkan tentang perceraian, yang ada adalah perceraian dengan alasan keagamaan, misalnya seorang suami yang ingin menjadi anagarika, atau menjadi samanera atau menjadi bhikkhu dan diizinkan oleh isterinya; atau sebaliknya seorang isteri ingin menjadi anagarini dan diizinkan oleh suaminya. Yang pasti terjadi adalah perceraian karena salah satu meninggal dunia.
Dalam hal seorang suami mempunyai seorang isteri yang jahat (chava) dan tidak tahan lagi hidup bersama dengan perempuan itu dalam sebuah ikatan perkawinan, maka ia dapat mengajukan cerai ke Pengadilan. Sebaliknya apabila seorang isteri mempunyai suami yang jahat (chavo) dan tidak tahan lagi hidup bersama dengan laki-laki tersebut dalam ikatan perkawinan iapun dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.
Dalam hal perceraian, maka umat Buddha mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, pasal 38 berbunyi bahwa perkawinan dapat putus karena :
  1. Kematian
  2. perceraian dan
  3. atas keputusan Pengadilan
Dalam pasal 39 disebutkan bahwa :
  1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
  3. Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab V tentang Tatacara Perceraian pasal 19 disebut bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerus; terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Setelah diperoleh keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum mengikat pasti, dalam pengertian apabila tidak dilakukan upaya permohonan banding atau kasasi atau setelah upaya-upaya hukum itu selesai ditempuh, berdasarkan surat keputusan Pengadilan yang memutus perceraian tersebut, selanjutnya dilakukan Pencatatan di tempat dimana perkawinan itu semula dicatatkan untuk dapat dikeluarkan atau diperoleh Akte Perceraian bagi suami isteri sudah bercerai tersebut.
Catatan :
Seperti telah diuraikan diatas, ternyata di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku dewasa ini serta juga dalam peraturan pelaksanaannya, hanya ditentukan mengenai keabsahan perkawinan yaitu harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi di dalam masalah perceraian, kecuali yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus memenuhi hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dalam hal ini misalnya agama Buddha.
Di dalam agama Buddha sendiri, tidak diajarkan kepada umat Buddha mengenai apakah perceraian itu merupakan hal yang dilarang menurut Dhamma; oleh sebab itu seorang suami atau seorang isteri yang merasa dirinya sudah tidak dapat melanjutkan lagi kehidupan bersama pasangannya sebagai suami isteri dengan alasan-alasan tersendiri, dituntut dengan segala pertimbangan yang didasarkan kepada ajaran moral yang tinggi berdasarkan Buddha Dhamma, untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran baik buruknya kalau mereka bercerai, apalagi apabila di dalam perkawinan itu sudah dilahirkan anak atau anak-anak, yang pada umumnya justru anak-anaklah yang paling menderita akibat dari suatu perceraian.
Dengan mengambil panutan yang dilakukan oleh Pangeran Siddharta Gotama sendiri, walaupun untuk kepentingan yang demikian besar, yaitu mencari Jalan untuk membebaskan semua mahluk dari belenggu kebodohan, Beliau pergi meninggalkan isteri dan anakNya, demikian juga istanaNya, namun Beliau tidak menceraikan isteriNya, bahkan setelah mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau mengajarkan Dhamma kepada isteri dan anakNya tersebut.
Seperti telah diuraikan di muka, umat Buddha di Indonesia wajib untuk mentaati hukum Negara, termasuk juga dalam masalah perkawinan dan masalah perceraian. Apabila seorang suami atau seorang isteri atas dasar pertimbangannya sendiri yang masak dan telah bulat hati memilih jalan perceraian, maka dari segi agama Buddha hal itu sudah merupakan keputusan, dalam pengertian bahwa perceraian tersebut merupakan perbuatan yang akan dipetik hasilnya kelak di kemudian hari, entah baik atau buruk, merupakan sesuatu yang harus diterimanya; sedangkan dari hukum Negara wajiblah ditempuh ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti diatur dalam pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tersebut di atas.
SIGALOVADA SUTTA
(Digha Nikaya III, 180-193)
Demikianlah telah kudengar :
1. Pada suatu hari Sang Bhagava berdiam di Kalandakanivapa (tempat pemeliharaan tupai), Veluvana (Hutan Bambu), dekat kota Rajagaha. Ketika itu seorang pemuda bernama Sigala, bangun pagi-pagi sekali, pergi keluar kota dengan rambut dan pakaian basah menyembah dengan merangkapkan tangannya ke atas, keenam arah langit dan bumi: arah timur, arah selatan, arah barat, arah utara, arah bawah dan arah atas.
2. Dan Sang Bhagava pagi hari itu, setelah selesai berkemas, membawa mangkuk dan jubahNya memasuki kota Rajagaha untuk pindapata (mengumpulkan dana makanan). Ketika Beliau melihat pemuda Sigala sedang memuja dengan caranya tersebut Beliau bertanya :”Mengapa, anak muda, engkau bangun pagi-pagi sekali, membasahi rambut dan pakaianmu kemudian menyembah ke enam arah langit dan bumi ?’
“Yang Mulia, ayahku ketika mau meninggal dunia telah meninggalkan pesan, “Anakku yang tercinta, engkau harus memuja ke enam arah langit dan bumi.” Karena saya ingin menaati pesan ayahku yang kujunjung tinggi, yang kuhormati dan kuanggap suci, maka saya bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke luar Rajagaha dan memuja secara begini.”
“Tetapi dalam agama Ariya, anak muda, memuja enam arah langit dan bumi bukan begitu caranya. ” Ujar Sang Buddha.
“Kalau begitu, bagaimanakah cara memuja enam arah langit dan bumi dalam agama Ariya ? Alangkah baiknya, apabila Yang Mulia berkenan memberikan pelajaran kepada saya, bagaimana seharusnya enam arah langit dan bumi itu dipuja menurut ajaran agama Ariya. ”
“Kalau begitu, dengarlah anak muda, perhatikanlah baik-baik apa yang akan Kukatakan. ”
” Baiklah, Yang Mulia. ”
3. “Anak muda, apabila seorang siswa Ariya telah menyingkirkan empat cacad dalam tingkah laku, apabila ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena dorongan dari empat sebab, apabila ia tidak melakukan enam jalan untuk menghabiskan harta, dengan demikian ia menjauhkan diri dari empat belas kejahatan; ia adalah pemuja dari enam arah langit dan bumi.
Ia melakukan hal-hal tersebut untuk menaklukkan dua dunia (alam), ia akan menikmati hasilnya baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Pada saat badan jasmaninya hancur, setelah mati, ia akan bertumimbal lahir di alam surga yang berbahagia.
Apakah empat cacad dalam tingkah laku yang telah ia singkirkan ?’
  1. Memusnahkan mahluk hidup
  2. Mengambil apa yang tidak diberikan
  3. Melakukan perbuatan asusila
  4. Mengucapkan kata-kata yang tidak benar
Inilah empat cacad dalam tingkah laku yang telah ia singkirkan. ”
4. Kemudian Sang Bhagava melanjutkan :
“Untuk pembunuhan, pencurian, dusta dan perzinahan, tidak sepatah kata pujianpun pernah diberikan oleh para Bijaksana. “
5. “Apakah empat sebab yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan?” “Perbuatan jahat dilakukan atas dorongan : hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan. Karena seorang siswa Ariya tidak lagi dapat dipengaruhi, maka ia tidak akan melakukan perbuatan jahat karena dorongan empat sebab tersebut diatas.”
6. Selanjutnya Sang Bhagava bersabda :
“Barang siapa yang melanggar Dhamma,
Karena hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan,
Nama baiknya akan menjadi suram,
Bagaikan bulan sabit pada waktu gelap bulan.
Barang siapa yang tidak melanggar Dhamma,
Karena hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan,
Nama baik dan kemashurannya akan meningkat,
Bagaikan bulan purnama pada waktu terang bulan.”
7. “Apakah yang dimaksud dengan enam jalan untuk menghabiskan harta ?”
“Yang dimaksud dengan enam jalan untuk menghabiskan harta adalah :
  1. Ketagihan minuman keras (alkohol)
  2. Sering mengunjungi tempat hiburan
  3. Sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak layak
  4. Gemar berjudi
  5. Pergaulan dengan orang jahat
  6. Kebiasaan bermalas-malasan. “
8. “Terdapat enam bahaya, anak muda, bagi mereka yang ketagihan minuman keras.”
a.1. Harta cepat habis
a.2. Sering bertengkar dengan orang lain
a.3. Mudah terserang penyakit
a.4. Kehilangan watak yang baik
a.5. Penampilan diri menjadi tidak pantas
a.6. Kecerdasan berkurang
9. “Terdapat enam bahaya, anak muda, bagi orang yang sering berkeliaran di jalan pada, waktu yang tidak layak. ”
Enam bahaya itu adalah :
b.1. Dirinya tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.2. Anak dan isterinya juga tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.3. Hartanya juga tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.4 Sering dituduh melakukan kejahatan (yang belum terungkap)
b.5. Mengalami banyak kesulitan lain
10. “Terdapat enam bahaya, anak muda, bagi mereka yang sering mengunjungi tempat-tempat hiburan. ”
Didalam pikirannya selalu bertanya-tanya :
c.1. Dimanakah ada tari-tarian ?
c.2. Dimanakah ada nyanyi-nyanyian?
c.3. Dimanakah ada musik ?
c.4. Dimanakah ada pertunjukan ?
c.5. Dimanakah ada pukulan tabuh-tabuhan ?
c.6. Dimanakah ada pukulan gendang ?
11. “Terdapat enam bahaya, anak muda, bagi orang yang gemar berjudi”
Enam bahaya itu adalah :
d.1. Jika ia menang, maka ia akan dibenci orang yang kalah
d.2. Jika ia kalah, ia hanya dapat meratapi hartanya yang hilang
d.3. Menghambur-hamburkan harta kalau menang judi
d.4. Di pengadilan, kata-katanya tidak dipercaya
d.5. Dipandang rendah oleh kawan-kawan dan para pejabat
d.6. Tidak dicari oleh para orang tua yang sedang mencari menantu, karena mereka beranggapan bahwa seorang penjudi tidak akan mampu mempunyai seorang isteri.
12. “Terdapat enam bahaya, anak muda, bagi orang yang mempunyai pergaulan dengan orang-orang jahat. ”
Enam bahaya itu adalah :
e.1. Setiap penjudi adalah kawannya
e.2. Setiap orang yang cabul (pelaku asusila) adalah kawannya
e.3. Setiap pemabuk adalah kawannya
e.4. Setiap pembohong adalah kawannya
e.5. Setiap penipu adalah kawannya
e.6. Setiap pembuat keributan adalah kawannya
13. “Terdapat enam bahaya, anak muda, bagi orang yang mempunyai kebiasaan suka bermalas-malasan.”
Enam bahaya itu adalah :
f.1. Dengan alasan terlalu dingin, ia tidak mau bekerja
f.2. Dengan alasan terlalu panas, ia tidak mau bekerja
f.3. Dengan alasan terlalu pagi, ia tidak mau bekerja
f.4. Dengan alasan terlalu siang, ia tidak mau bekerja
f.5. Dengan alasan terlalu lapar, ia tidak mau bekerja
f.6. Dengan alasan terlalu kenyang, ia tidak mau bekerja
Sehingga semua pekerjaan yang harus ia kerjakan tidak dilakukan. Harta yang ada akan semakin menyusut dan habis, sedangkan harta yang baru tidak ia dapatkan. Demikianlah apa yang disabdakan oleh Sang Buddha.
14. Setelah itu Sang Bhagava melanjutkan :
“Beberapa orang adalah kawan minum-minum,
Beberapa lagi mengaku sebagai kawan baikmu,
Tetapi mereka yang membuktikan menjadi kawanmu,
Sewaktu kamu berada dalam kesulitan,
Merekalah sesungguhnya kawanmu yang sejati.

Bangun tidur terlampau siang, berzinah,
Bertengkar, melakukan perbuatan jahat,
Bergaul dengan orang jahat, berhati kejam,
Inilah enam sebab yang membuat orang
mengalami keruntuhan.

Berkawan dengan orang jahat,
Hidup dengan cara yang tidak baik,
Baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang,
Orang ini akan menderita dengan menyedihkan.

Berjudi dan main perempuan, minum-minuman keras,
menonton tari-tarian dan nyanyi-nyanyian,
Tidur di waktu siang dan berkeliaran di waktu malam,
Berkawan dengan orang jahat, berhati kejam,
Inilah enam sebab yang membuat orang mengalami keruntuhan.

Bermain judi, minum minuman keras,
Melakukan perbuatan asusila dengan isteri orang,
Mengikuti orang yang dungu, tidak mengikuti orang yang bijaksana,
Ia akan mejadi suram seperti bulan sabit pada waktu gelap bulan.

Peminum minuman keras, miskin melarat,
Tidak pernah puas minum minuman keras,
pengunjung setia kedai minum,
Bagaikan batu ia tenggelam dalam hutang,
Cepat sekali ia membawa nista kepada keluarganya.

Siapa yang tidur di siang hari,
Dan bergadang di malam hari,
Orang yang selalu tidak bertanggung jawab,
minum minuman keras tanpa batas,
Tentu tidak pantas menjadi kepala keluarga.

Terlalu dingin ! Terlalu panas ! Terlalu siang!
Begitulah keluhannya,
Dengan demikian ia mengelakkan diri dari
pekerjan yang menunggu,
Kesempatan lewat untuk selama-lamanya.
Tetapi orang yang menganggap hawa dingin
atau hawa panas sama saja,
Tidak menghiraukannya dan tetap melakukan
pekerjaannya sebagaimana mestinya,
Ia tidak akan kehilangan kebahagiaannya
dengan cara apapun juga.

15. Empat macam manusia, anak muda, yang harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
  1. Orang yang sangat serakah
  2. Orang yang banyak bicara, tetapi tidak berbuat apa-apa
  3. Seorang penjilat
  4. Seorang pemboros
16. Atas dasar empat hal “orang yang sangat serakah” harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
a. 1. Sangat tamak
a. 2. Memberi hanya sedikit, mengambil banyak
a. 3. Melakukan kewajiban karena takut
a. 4. Hanya mengingat kepentingannya sendiri saja
17. Atas dasar empat hal “orang yang banyak bicara, tetapi tidak berbuat apa-apa” harus dianggap sebagai musuhmu yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
b.1. Ia membuat pernyataan yang menyenangkan tentang hal-hal yang telah lalu
b.2. Ia membuat pernyataan yang menyenangkan tentang hal-hal yang akan datang
b.3 Ia berusaha disukai olehmu dengan mengucapkan kata-kata yang menyenangkan dan tidak ada isinya
b.4. Tetapi, apabila sudah tiba saatnya untuk melakukan sesuatu untukmu, ia akan menyatakan tidak sanggup dengan mengemukakan berbagai alasan yang dicari-cari.
18. Atas dasar empat hal “seorang penjilat” dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
c.1. Ia membiarkan anda berbuat kesalahan
c.2. Ia tidak menganjurkan anda untuk berbuat kebajikan
c.3. Didepanmu anda dipuji-puji
c.4. Dibelakangmu ia mencela dirimu.
19. Atas dasar empat hal “seorang pemboros” harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
d.1. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda suka minum-minuman keras
d.2. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas
d.3. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda sering mengunjungi tempat pelesiran
d.4. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda gemar bejudi.
20. Setelah itu Sang Bhagava melanjutkan :
“Kawan yang hanya mencari sesuatu untuk diambil,
Kawan yang ucapannya berlainan dengan perbuatannya,
Kawan yang pandai menjilat untuk membuat engkau merasa senang,
Kawan yang gembira di jalan yang sesat,
Keempat orang tersebut sebenarnya adalah musuhmu;

Setelah dapat mengenalinya dengan baik,
Seyogyanya orang Bijaksana menghindarinya jauh-jauh,
Bagaikan menghindari jalan yang berbahaya dan menakutkan.”

21. Empat macam manusia, anak muda, yang harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
  1. Sahabat yang suka menolong
  2. Sahabat di waktu senang dan di waktu susah
  3. Sahabat yang suka memberi nasehat yang baik
  4. Sahabat yang selalu memperhatikan keadaanmu
22. Atas dasar empat hal “sahabat yang suka menolong” harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
a. 1. Ia menjaga dirimu ketika kamu sedang lengah
a. 2. Ia menjaga milikmu ketika kamu sedang tidak waspada
a. 3. Ia akan melindungimu ketika kamu sedang ketakutan
a. 4. Apabila kamu mau melakukan sesuatu, ia akan membantu kamu lebih dari yang kamu butuhkan
24. Atas dasar empat hal “sahabat di waktu senang dan di waktu susah” harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
b.1. Ia mempercayakan rahasianya kepadamu
b.2. Ia juga menjaga rahasiamu
b.3. Apabila kamu dalam kesulitan, ia tidak akan meninggalkan kamu sendirian
b.4. Bahkan ia rela mengorbankan dirinya untuk membela kamu
24. Atas dasar empat hal “sahabat yang suka memberikan nasehat yang baik” harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
c.1. Ia mencegah kamu berbuat kesalahan
c.2. Ia menganjurkan kamu berbuat baik
c.3. Ia memberitahukan apa yang kamu belum pernah dengar
c.4. Ia menunjukkan kamu jalan ke surga
25. Atas dasar empat hal “sahabat yang selalu memperhatikan keadaanmu” harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
d.1. Ia tidak bergembira melihat kamu mendapat bencana
d.2. Ia turut bergembira melihat keberhasilanmu
d.3. Ia mencegah orang lain berbicara buruk tentang dirimu
d.4. Ia menyetujui setiap orang yang mernuji dirimu.
26. Kemudian Sang Bhagava melanjutkan :
“Sahabat yang suka menolong dirimu,
Sahabat di waktu senang dan di waktu susah,
Ia yang suka memberikan nasehat yang baik,
Dan ia selalu memperhatikan keadaanmu,
Orang Bijaksana menganggap empat jenis manusia tersebut
Sebagai sahabat sejati dan wajib menjaganya dengan baik
Seperti seorang ibu menjaga anak kandungnya sendiri.

Orang yang bajik dan cerdas, Bercahaya seperti api yang menyala
di puncak bukit,
Baginya menimbun harta bagaikan kumbang,
Yang menjelajah mengumpulkan madu tanpa menyakiti siapapun juga
Hartanya menumpuk bagaikan sarang semut yang semakin tinggi,
Jika harta dikumpulkan secara demikian,
Ia akan sanggup menolong sanak keluarganya,

Seyogyanya ia membagi empat hartanya,
Yang sangat disukai dalam kehidupan,
Sebagian ia pakai untuk dinikmati,
Dua bagian lain untuk menjalankan usahanya,

Bagian keempat ia simpan dan timbun,
Sehingga tersedia cadangan jika suatu saat ia memerlukannya.”

27. Dengan cara bagaimanakah, anak muda, siswa yang Ariya menjaga enam arah? Keenam arah itu harus dipandang sebagai berikut :
  1. Kedua orang tua sebagai arah timur
  2. Guru sebagai arah selatan
  3. Isteri dan anak sebagai arah barat
  4. Sahabat dan kenalan sebagai arah utara
  5. Pelayan dan karyawan sebagai arah bawah
  6. Para guru agama dan pertapa sebagai arah atas
28. Dengan lima cara seorang anak memperlakukan orang tuanya sebagai arah timur :
a.1. Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
a.2. Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
a.3. Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga
a.4. Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan
a.5. Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia
Dengan lima cara orang tua menunjukkan kasih sayangnya kepada anak sebagai arah timur :
a. 1. Mencegah anak berbuat jahat
a. 2. Menganjurkan anak berbuat baik
a. 3. Memberikan pendidikan profesional kepada anak
a. 4. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
a. 5. Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
Dengan demikian ia terlindungi dari arah timur, aman dan terjamin
29. Dengan lima cara seorang murid memperlakukan gurunya sebagai arah selatan
b. 1. Bangun dari duduk (apabila guru datang menghampiri sebagai tanda hormat)
b. 2. Melayani guru dengan hormat
b. 3. Bertekad untuk belajar sungguh-sungguh
b. 4. Memberikan jasa-jasa kepadanya (memberikan makanan dan kebutuhan lainnya)
b. 5. Memperhatikan dengan baik segala uraian guru ketika diberi pelajaran
Dengan lima cara guru memperlakukan muridnya, sebagai arah selatan
b’.1. Melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya
b’.2. Membuat muridnya menguasai pelajaran yang diberikan
b’.3. Ia mengajarkan secara mendalam semua ilmu pengetahuan yang dimilikinya
b’.4. Ia berbicara yang baik-baik tentang muridnya kepada sahabat dan kenalannya
b’.5. Ia menjaga murid dari segala ancaman
Dengan cara demikian ia terlindungi dari arah selatan, aman dan terjamin.
30. Dengan lima cara suami memperlakukan isterinya sebagai arah barat:
c.1. Dengan menghormati isterinya
c.2. Dengan bersikap lemah lembut
c.3. Dengan setia kepada isterinya
c.4. Dengan memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya
c.5. Dengan memberikan perhiasan kepada isterinya
Dengan lima cara seorang isteri memperlakukan suaminya sebagai arah barat :
c’.1. Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik
c’.2. Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
c’.3. Setia kepada suaminya
c’.4. Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa suaminya
c’.5. Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
Dengan cara demikian arah barat telah terlindungi dengan baik, aman dan terjamin.
31. Dengan lima cara orang wajib memperlakukan sahabat atau kenalannya sebagai arah utara :
d.1. Dengan bermurah hati kepada mereka
d.2. Dengan bersikap ramah tamah kepada mereka
d.3. Dengan berbuat baik kepada mereka
d.4. Dengan memperlakukan mereka seperti memperlakukan diri sendiri
d.5. Menepati janji kepada mereka
Dengan lima cara sahabat atau kenalan akan memperlakukannya sebagai arah utara :
d’.1. Mereka akan melindunginya dikala ia tidak siaga
d’.2. Mereka juga akan menjaga harta-bendanya dikala ia tidak siaga
d’.3. Mereka akan melindunginya dalam bahaya
d’.4. Ketika berada dalam kesusahan, mereka tidak akan meninggalkannya
d’.5. Mereka akan menunjukkan perhatian kepada keluarganya.
Dengan demikian arah utara telah terlindungi, aman dan terjamin.
32. Dengan lima cara seorang majikan memperlakukan pelayan dan karyawannya, sebagai arah bawah :
e.1. Memberi mereka pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
e.2. Memberi mereka makanan dan upah yang sesuai
e.3. Memberi mereka pengobatan dan perawatan di waktu sedang sakit
e.4. Memberi mereka makanan yang enak-enak pada waktu-waktu tertentu
e.5. Memberi mereka libur (cuti) pada waktu-waktu tertentu
Dengan lima cara para pelayan atau karyawan akan memperlakukan majikan mereka sebagai arah bawah :
e’.1. Mereka bangun lebih pagi dari majikan
e’.2. Mereka pergi tidur setelah majikan tidur
e’.3. Mereka berterima kasih atas upah dan perlakuan yang mereka terima
e’.4. Mereka bekerja dengan baik
e’.5. Mereka memuji dan menjaga nama baik majikannya dimanapun juga
Dengan cara demikian arah bawah telah terlindungi dengan baik, aman dan terjamin.
33. Dengan lima cara seorang umat biasa memperlakukan para pertapa atau bhikkhu,
sebagai arah atas :
f.1. Memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang
f.2. Hanya mengucapkan kata-kata yang ramah kepada mereka
f.3. Memikirkan mereka dengan pikiran yang penuh kasih sayang
f.4. Selalu membuka pintu untuk mereka
f.5. Selalu menyediakan segala keperluan hidup mereka
(pakaian, makanan, obat-obatan dan tempat tinggal)
Dengan enam cara para pertapa atau bhikkhu memperlakukan umat biasa, sebagai arah atas :
f’.1. Mencegah mereka berbuat kejahatan
f’.2. Menganjurkan mereka berbuat kebaikan
f’.3. Memikirkan mereka dengan penuh kasih sayang
f’.4. Mengajarkan sesuatu yang mereka belum ketahui
f’.5. Meluruskan pandangan mereka yang keliru
f’.6. Menunjukkan jalan ke surga
Dengan cara demikian arah atas telah terlindungi dengan baik, aman dan terjamin.
34. Demikianlah apa yang disabdakan oleh Sang Bhagava, kemudian Beliau
melanjutkan :
“Ibu dan ayah adalah arah timur,
Guru adalah arah selatan,
Isteri dan anak adalah arah barat,
Sahabat dan kenalan adalah arah utara
Pelayan dan karyawan adalah arah bawah.
Dan arah atas adalah para guru agama dan para pertapa,
Arah-arah tersebut harus dipuja, sesudah mana
Mereka baru pantas disebut sebagai kepala keluarga yang baik,

Orang yang bijaksana, sering melakukan perbuatan yang bajik,
Lemah lembut dan biasa melakukan pemujaan ini.
Rendah hati dan patuh, akan memperoleh penghormatan,
Bangun pagi-pagi, tidak bermalas-malasan,
Batinnya tidak tergoyahkan oleh kemalangan, hidup tanpa cacad,
Pandai, bijaksana, akan memperoleh penghormatan,
Semoga namanya harum dan mempunyai banyak sahabat,
Menyambut mereka dengan ramah tamah dan murah hati,
Memberikan mereka petunjuk dan nasehat yang bijaksana,
Dan memberikan bimbingan kepada mereka,
ia akan memperoleh penghormatan.

Gemar menolong orang, ramah tamah dalam ucapan,
Penuh pengabdian, tidak berpihak kepada orang ini
atau orang itu, sebagaimana diminta oleh situasi.
Itulah hal-hal yang membuat dunia berputar,
Sebagai juga pasak yang membuat roda berputar,
Jika tidak demikian halnya, tidak ada seorang ibupun yang akan menerima,
Penghormatan dan penghargaan atas apa yang dilakukan oleh anaknya,
Juga tidak ada seorang ayahpun yang akan menerimanya,
Tetapi karena hal tersebut benar-benar dipuji oleh para Bijaksana,
Maka patutlah hal-hal tersebut dianggap luhur dan dipuja orang. “
Setelah Sang Bhagava usai mengucapkan kata-kata diatas, Sigala memuji dengan mengatakan :
“Sungguh indah Bhante, Sungguh indah! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau membawa lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata, ‘Siapa yang punya mata, silahkan melihat.’ Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Sang Buddha. Dan saya, akan selalu mencari perlindungan kepada Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima saya sebagai upasaka, sebagai orang yang berlindung kepada Sang Tiratana sejak hari ini sampai akhir hidup saya.”
PARABHAVA SUTTA
(Khudakka Nikaya, Sutta Nipatta 18)
Demikianlah telah kudengar :
Pada suatu waktu, ketika Sang Bhagava berdiam di dekati Savatthi dalam hutan Jeta, di taman Anathapindika. Pada saat lewat malam, seorang dewa menerangi seluruh hutan Jeta dengan cahayanya yang gilang gemilang, muncul di hadapan Sang Buddha setelah memberi hormat ia berdiri di satu sisi, dewa itu mengucapkan gatha ini :
  1. “Siapakah, duhai Gotama,
    yang sedang menghadapi kemerosotan ?
    Apakah Sang Bhagava berkenan
    untuk menerangkan sebab musabab dari kemerosotan
  2. “Orang sedang jaya mudah diketahui,
    orang sedang menghadapi kemerosotan mudah diketahui,
    barang siapa mencintai Dhamma, jayalah ia,
    barang siapa membenci Dharnma, merosotlah ia.
  3. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab pertama dari kemerosotan.
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab kedua dari kemerosotan. “
  4. “Barang siapa dicintai oleh orang-orang jahat,
    tidak berbuat apapun yang disukai para Bijaksana,
    orang yang menyetujui cara-cara para penjahat,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan”
  5. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab kedua dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab ketiga dari kemerosotan.”
  6. “Orang yang suka mengantuk,
    suka berpesta-pora, tidak bersemangat
    malas dan mudah marah,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
  7. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab ketiga dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab keempat dari kemerosotan.”
  8. “Orang yang kaya,
    tidak menyokong ayah dan ibunya,
    yang sudah tua dan tidak berdaya,
    inilah sebab-musabab dari kemerosotan.
  9. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab keempat dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab kelima dari kemerosotan. “
  10. “Barang siapa menipu dengan mendustai
    para seorang brahmana atau pertapa,
    atau orang suci lainnya,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.
  11. “Demikianlah telah diuraikan,
    Sebab kelima dari kemerosotan
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab keenam dari kemerosotan.
  12. “Orang yang sangat kaya,
    memiliki emas dan makanan,
    dan menikmati sendiri kekayaannya
    yang menyenangkan,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
  13. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab keenam dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab ketujuh dari kemerosotan. “
  14. “Orang yang menyombongkan kelahirannya,
    kekayaan dan keluarganya,
    merendahkan sanak keluarganya sendiri,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
  15. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab ketujuh dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab kedelapan dari kemerosotan.”
  16. “Barang siapa menyerahkan diri pada
    wanita-wanita penghibur,
    pada minuman keras dan pada perjudian,
    dan menghambur-hamburkan apa yang
    telah diperolehnya,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
  17. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab kedelapan dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab kesembilan dari kemerosotan.”
  18. “Barang siapa tidak puas dengan isterinya sendiri,
    terlihat bersama-sama dengan para pelacur dan
    isteri-isteri orang lain,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
  19. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab kesembilan dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab kesepuluh dari kemerosotan.”
  20. “Barang siapa yang sudah tidak muda lagi,
    tetapi mengajak pulang seorang wanita
    yang memiliki buah dada seperti buah timbaru,
    dan tidak dapat tidur karena menahan cemburu,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
  21. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab kesepuluh dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab kesebelas dari kemerosotan.”
  22. “Barang siapa memberikan kedudukan yang tinggi
    kepada seorang wanita pemabuk dan pemboros,
    atau kepada seorang laki-laki dengan ciri yang sama,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan. “
  23. “Demikianlah telah diuraikan,
    sebab kesebelas dari kemerosotan,
    Silahkan Sang Bhagava katakan,
    sebab keduabelas dari kemerosotan.”
  24. “Barang siapa mempunyai sedikit kekayaan,
    tetapi bernafsu besar, terlahir dalam keluarga ksatria,
    dan mengidam-idamkan untuk menjadi raja,
    inilah sebab musabab dari kemerosotan. “
  25. “Setelah mengetahui sebab-sebab kemerosotan
    di dalam dunia, orang bijaksana dan patut dimuliakan,
    diberkati dengan kesadaran Ariya,
    Menikmati kebahagiaan surgawi.”
     
(Sumber: Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha, Penyusun: Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya, psikiater,
Penerbit : Pengurus Pusat MAGABUDHI
bekerjasama dengan
Yayasan Buddha Sasana,
Cetakan Pertama, Mei 1996)