Rabu, 17 April 2013

ULŪKA-JĀTAKA

“Anda sekalian umumkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pertengkaran di antara burung gagak dan burung hantu.
Dikatakan bahwasanya pada satu masa yang tidak diketahui kapan pastinya, burung gagak biasa memangsa burung hantu pada siang hari, dan pada malam hari burung hantu terbang berkeliling dan mematuk kepala burung gagak sampai putus di saat mereka tertidur, dan demikian membunuh burung gagak.
Kala itu, terdapat seorang bhikkhu yang tinggal di sebuah bilik di samping Jetavana. Ketika tiba waktunya untuk menyapu, selalu terdapat sejumlah banyak kepala-kepala burung gagak yang harus dibuang, yang jatuh dari pohon. Jumlahnya cukup untuk memenuhi tujuh atau delapan pot238.  Dia pun kemudian memberitahukan ini kepada para bhikkhu lainnya.
Di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, bhikkhu anu selalu menemukan banyak kepala burung gagak yang harus  dibuang setiap hari di tempat dia tinggal!” [352] Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Kemudian mereka menanyakan sejak kapan burung gagak dan burung hantu mulai bertengkar. Sang Guru menjawab, “Sejak kappa (kalpa) pertama,” dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala, orang-orang yang hidup pada kappa pertama berkumpul bersama dan memilih seorang pemimpin (raja) bagi mereka, seorang yang rupawan, banyak hasil, yang bisa memimpin, dan yang semuanya serbabaik. Hewan-hewan berkaki empat pun berkumpul bersama dan memilih singa sebagai raja mereka. Ikan-ikan di lautan memilih seekor ikan yang bernama Ānanda di antara mereka sebagai raja.
Kemudian burung-burung di daerah pegunungan Himalaya berkumpul bersama di atas batu karang yang datar, dan berkata, “Di antara manusia sudah ada raja, di antara hewan (berkaki empat) sudah ada raja, begitu juga dengan ikan-ikan di lautan, sedangkan di antara kita belum ada seorang raja. Kita tidak boleh hidup dalam ketidakteraturan, kita juga harus memilih seorang raja di antara kita. Carilah satu yang cocok dijadikan sebagai raja kita!”Mereka pun mencari burung yang demikian, dan memilih burung hantu, “Inilah burung yang kami suka,” kata mereka.
Dan seekor burung mengumumkan sebanyak tiga kali bahwa akan ada pemungutan suara untuk memutuskan permasalahan tersebut. Setelah dengan sabar mendengar pengumuman itu sebanyak dua kali, pada kali ketiganya, seekor burung gagak bangkit dan berkata, “Tahan! Jika demikian rupa dirinya ketika hendak dinobatkan sebagai raja, bagaimana pula dengan rupanya ketika dia marah? Jika dia melihat kita dengan kemarahan, maka kita akan hancur seperti biji-bijian yang diletakkan pada wadah yang panas. Saya tidak menginginkan burung ini menjadi raja!” dan mengucapkan bait pertama berikut:
Anda sekalian umumkan
burung hantu akan menjadi raja dari segala burung:
Dengan izin darimu,
bolehkah saya mengutarakan pendapatku?
Burung-burung mengulangi bait kedua berikut, untuk memperbolehkannya berbicara:
Anda mendapatkan izin dari kami,
semoga pendapatmu itu baik dan benar:
karena burung-burung lainnya muda,
bijaksana, dan cerdas.
Setelah mendapatkan izin, dia mengulangi bait ketiga berikut:
Saya tidak suka (dikatakan dengan penuh hormat) dengan burung hantu
yang dinobatkan sebagai pemimpin kita.
Lihatlah wajahnya! Jika itu adalah di saat dia sedang senang hati,
bagaimana pula wajahnya di saat dia marah?
Kemudian burung gagak itu terbang ke angkasa, sembari meneriakkan, “Saya tidak suka itu! Saya tidak suka itu!” Burung hantu bangkit dan terbang mengejarnya. Sejak saat itu, kedua jenis burung tersebut saling bermusuhan. Dan burung-burung kemudian memilih seekor angsa emas sebagai raja mereka, dan membubarkan diri.


[354] Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, angsa emas yang terpilih menjadi raja burung adalah diri-Ku sendiri.”


Catatan kaki :
238 nāḷī; PED menuliskan kata ini sebagai satu ukuran kapasitas. Di dalam terjemahan bahasa Inggris, tertulis “pottles”.

SUJĀTA-JĀTAKA

“Mereka yang dilimpahi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Sujātā, menantu dari Anāthapiṇḍika, putri dari seorang saudagar–Dhanañjaya, dan adik bungsu dari Visākhā.
Dikatakan bahwasanya wanita itu masuk ke dalam rumah Anāthapiṇḍika dengan penuh kesombongan, karena memikirkan betapa besarnya keluarga tempat dia berasal. Dia adalah seorang yang keras kepala, pemarah, dan kasar. Dia tidak mau melakukan apa yang merupakan kewajibannya terhadap ibu dan ayah mertuanya, atau terhadap suaminya. Dia berkeliaran di dalam rumah itu dengan melontarkan kata-kata ancaman dan cacian.
Suatu hari, Sang Guru beserta lima ratus bhikkhu berkunjung ke rumah Anāthapiṇḍika, dan duduk di tempat yang disiapkan. Saudagar besar tersebut duduk di samping Yang Terberkahi, mendengarkan khotbah Dhamma. Pada saat yang bersamaan, Sujātā kebetulan sedang memarahi para pelayan.
Sang Guru berhenti berbicara dan menanyakan suara ribut apa itu. Saudagar tersebut menjelaskan bahwa itu adalah suara menantunya yang kasar, mengatakan bahwa dia tidak berkelakukan sebagaimana mestinya kepada suaminya atau kepada kedua mertuanya, dia juga tidak memberikan derma, dan tidak memiliki sisi yang baik, seorang yang tidak berkeyakinan dan tidak percaya, dia hanya berkeliaran di dalam rumah dengan melontarkan kata-kata ancaman dan cacian.
Sang Guru memintanya untuk memanggil wanita itu. Dia datang, dan setelah memberikan hormat kepada Sang Guru, berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Guru menyapanya demikian: “Sujātā, terdapat tujuh jenis istri yang bisa didapatkan oleh seorang laki-laki. Jenis keberapakah dirimu?” Dia membalas, “Bhante, Anda berbicara terlalu singkat kepadaku untuk dapat dimengerti. Tolong dijelaskan.” “Baiklah,” kata Sang Guru, “dengarkanlah baik-baik,” dan Beliau mengucapkan bait berikut:
Yang pertama adalah berhati busuk,
tidak menunjukkan kasih sayang.
Sisi baiknya adalah mengasihi orang lain,
tetapi membenci suaminya.
Selalu menghabiskan apa yang didapatkan oleh suaminya235,
istri tipe ini disebut sebagai si Perusak.
Apa saja yang diperoleh suami untuknya dari hasil penjualan,
atau dari keahlian, atau dari pacul petani,
[348] dia selalu berusaha untuk mencuri sedikit darinya,
istri tipe ini disebut sebagai si Pencuri.
Tidak melakukan kewajibannya, malas,
rakus, kejam, pemarah, kasar,
tidak memiliki belas kasihan terhadap bawahannya,
istri tipe ini disebut sebagai si Sombong.
Dia yang memiliki kasih sayang dan baik hati,
merawat suaminya, layaknya seorang ibu,
menjaga semua kekayaan yang diperoleh suaminya,
istri tipe ini disebut sebagai si Ibu.
Dia yang menghormati suaminya,
layaknya saudara yang lebih muda
menghormati saudara yang lebih tua,
rendah hati, patuh terhadap keinginan suami,
istri tipe ini disebut sebagai si Saudara (wanita).
Dia yang selalu bahagia ketika melihat (berjumpa dengan) suaminya,
layaknya seorang sahabat yang berjumpa dengan sahabat lamanya,
berasal dari keluarga yang baik (terpandang) dan bermoral,
menyerahkan hidupnya kepada suaminya,
istri tipe ini disebut sebagai si Sahabat.
Bersikap tenang ketika dimarahi,
takut untuk berbuat jahat,
tidak pemarah, penuh dengan kesabaran,
setia, mematuhi suaminya,
istri tipe ini disebut sebagai si Pelayan.
[349] “Inilah, Sujātā, tujuh jenis wanita yang bisa didapatkan oleh seorang laki-laki. Tiga dari tujuh jenis wanita ini, si Perusak, Pencuri, dan Sombong, akan terlahir kembali di alam neraka; sedangkan empat jenis sisanya akan terlahir kembali di Alam Dewa Nimmānarati.
Mereka yang menjalankan peran sebagai
si Perusak di dalam kehidupan ini,
si Pencuri, atau si Sombong,
karena mereka itu adalah orang yang pemarah,
kejam, dan tidak memiliki rasa hormat,
setelah meninggal akan terlempar ke alam neraka yang rendah.
Mereka yang menjalankan peran sebagai
si Ibu, Saudara, Sahabat dan Pelayan,
karena mereka itu adalah orang yang bermoral
dan mengendalikan diri mereka dalam waktu yang lama,
setelah meninggal akan terlahir di alam dewa.
Ketika Sang Guru memaparkan tentang tujuh jenis istri tersebut, Sujātā mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Kemudian Sang Guru menanyakan dirinya termasuk tipe yang ke berapa. Dia menjawab, “Saya adalah si Pelayan, Bhante!” kemudian memberikan hormat kepada Sang Buddha, dan meminta maaf kepadanya.
Demikianlah, dengan satu nasihat, Sang Guru menjinakkan wanita judes tersebut. Setelah selesai bersantap, setelah memberitahukan kewajiban kepada para bhikkhu, Beliau masuk ke dalam ruangan yang wangi (gandhakuṭi).
Kemudian para bhikkhu berkumpul bersama di dalam balai kebenaran, dan melantunkan pujian terhadap Sang Guru, “Āvuso, dengan satu nasihat saja Sang Guru dapat menjinakkan seorang wanita yang judes, dan mengukuhkannya dalam tingkat kesucian Sotāpanna.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Kata Beliau, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Aku menjinakkan Sujātā dengan satu nasihat.”
Atas permintaan mereka, Beliau kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Ketika dewasa, dia mendapatkan pendidikannya di Takkasilā. Sepeninggal ayahnya, dia naik takhta menjadi raja dan memerintah dalam kebenaran. Ibunya adalah seorang wanita yang pemarah, kejam, kasar, judes, dan temperamental. Sang anak berkeinginan untuk menasihati ibunya, tetapi dia merasa bahwa dia tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak sopan. Maka dia pun tetap mencari-cari kesempatan untuk memberikan petunjuk kepadanya.
Pada suatu hari, dia pergi ke taman dan ibunya pergi bersama dengannya. [350] Seekor burung236 bernyanyi dengan suara melengking di tengah jalan. Mendengar ini, para pejabat kerajaan (yang mengikutinya) menutup telinga mereka, sambil berkata, “Betapa jeleknya suara itu! Suara yang melengking! Hentikan suara itu!”
Kemudian Bodhisatta melanjutkan perjalanannya di dalam taman dengan ibu dan pejabat kerajaannya. Seekor burung tekukur yang bertengger di pohon sala yang berdaun lebat, berkicau dengan suara yang merdu. Semua orang yang mendengarnya merasa senang dengan suara kicauannya, mereka bergandengan tangan dan menjulurkannya ke depan, mereka juga mencari keberadaan burung itu—“Oh, betapa lembutnya suara itu! Betapa merdunya suara itu! Betapa indahnya suara itu!—teruslah berkicau, Burung, teruslah berkicau!” dan mereka tetap berdiri di sana, sembari menjulurkan leher mereka dan mendengarkan dengan rasa ingin tahu.
Bodhisatta, yang memerhatikan kedua kejadian tersebut, berpikir bahwa inilah kesempatan untuk memberikan petunjuk itu kepada ibunya, sang ratu. “Bu,” katanya, “ketika mendengar suara burung yang melengking di tengah jalan, orang-orang ini menutup telinga mereka dan meneriakkan ‘Hentikan suara itu!’ dan terus menutup telinga mereka: ini terjadi karena suara-suara yang buruk tidak disukai oleh siapa pun.” Dan dia mengulangi bait-bait berikut:
Mereka yang dilimpahi dengan warna yang indah,
meskipun terlihat demikian indah dan cantik,
tetapi jika mereka memiliki suara yang buruk untuk didengarkan,
maka mereka tidak akan disukai baik di kehidupan ini
maupun di kehidupan yang akan datang.
Ada sejenis burung yang mungkin sering terlihat olehmu;
buruk rupa, hitam, dan mungkin berbintik-bintik,
tetapi memiliki suara yang lembut untuk didengarkan:
Betapa banyaknya makhluk yang menyukai tekukur itu!
Oleh sebab itu, ucapanmu juga harus terdengar lembut dan manis,
berbicara dengan bijaksana, tidak diisi dengan kesombongan.
Suara yang demikian, yang dapat menerangkan kebenaran beserta artinya,
apa pun yang diucapkan akan terdengar menyenangkan237.
Setelah demikian menasihati ibunya dalam tiga bait kalimat di atas, Bodhisatta berhasil mengubah cara berpikirnya, dan sejak saat itu, dia menjalankan kehidupan yang benar. Setelah dengan satu nasihat menjinakkan ibunya yang judes, Bodhisatta kemudian meninggal dan menerima hasil sesuai dengan perbuatannya.


[351] Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Sujātā adalah ibu dari Raja Benares, dan Aku sendiri adalah sang raja.”

Catatan kaki :
235 Tidaklah jelas apa yang dimaksud dengan ‘vadhena kītassa’, apakah ‘barang-barang yang dibeli dengan kekayaannya’ atau ‘barang-barang yang dibeli oleh suaminya’, kemungkinan dua-duanya.
236 kikī; the blue jay bird, Cyanocitta cristata. Di dalam The Contemporary English-Indonesian Dictionary, oleh Drs. Peter Salim, M.A., kata ‘jay’ didefinisikan sebagai burung yang ribut bunyinya dan mempunyai bulu berwarna cerah.
237 Bait terakhir ini terdapat di dalam Dhammapada, syair 363, tidak sama pada setengah baris pertama.

ĀRĀMA-DŪSA-JĀTAKA

“Yang terbaik dari semua,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Dakkhiṇāgiri, tentang seorang anak tukang taman.
Setelah masa vassa berlalu, Sang Guru meninggalkan Jetavana, pergi berpindapata ke sebuah daerah di sekitar Dakkhiṇāgiri. Seorang umat mengundang Sang Buddha dan rombongannya untuk makan, mempersilakan mereka duduk di dalam tamannya, dan mempersembahkan bubur dan makanan kering.
Kemudian dia berkata, “Ayyā234, jika Anda sekalian ingin melihat-lihat taman ini, maka tukang taman akan membawa Anda sekalian berkeliling,” dan dia juga memberi perintah kepada tukang taman itu untuk memberikan buah apa saja yang mereka inginkan. Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang kosong. “Apa penyebab,” tanya mereka, “tempat ini kosong dan tidak memiliki pohon?” “Penyebabnya adalah,” jawab tukang taman, “seorang anak tukang taman, yang diminta untuk menyiram pohon-pohon muda ini, berpikir akan lebih baik jika dia memberikan jumlah air sesuai dengan panjang akar pohon-pohonnya, maka dia pun mencabut pohon-pohon tersebut keluar sampai ke akar-akarnya, kemudian baru menyiramnya. Akibatnya, tempat ini menjadi kosong.”
Para bhikkhu kembali dan menceritakan ini kepada Sang Guru. Beliau berkata, “Bukan kali ini saja anak itu merusak tumbuhan, sebelumnya juga dia telah melakukan hal yang sama.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika seorang raja yang bernama Vissasena memerintah di Benares, pengumuman liburan diumumkan. Tukang taman berpikir untuk pergi dan berlibur. Jadi dia memanggil kera-kera yang tinggal di dalam taman dan berkata, “Taman ini merupakan suatu berkah yang besar bagi kalian. Saya akan libur selama satu minggu. Bersediakah kalian menyiram pohon-pohon muda ini selama tujuh hari?” “Ya,” kata mereka. Tukang taman itu kemudian memberikan kaleng penyiram kepada mereka, dan pergi.
Kera-kera mengambil air dan mulai menyiram pohon-pohon. Kera yang paling tua berkata, “Tunggu sebentar, sangat sulit untuk mengambil air. Kita harus berhemat dalam menggunakannya. Mari kita cabut tumbuhan ini, [346] dan lihat panjang dari akar-akarnya; jika mereka memiliki akar-akar yang panjang, maka mereka membutuhkan air yang banyak; tetapi jika mereka memiliki akar-akar yang pendek, maka mereka membutuhkan air yang sedikit.” “Benar, benar,” kera-kera lainnya setuju. Kemudian sebagian dari mereka mencabut tumbuh-tumbuhan tersebut dan sebagian lagi menanam mereka kembali, baru kemudian menyiram mereka.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemuda yang tinggal di Benares. Sesuatu membawanya datang ke taman tersebut, dan dia melihat apa yang sedang dilakukan oleh kera-kera tersebut. “Siapa yang meminta kalian melakukan itu?” tanyanya. “Pemimpin kami,” balas mereka. “Jika kebijaksanaan sang pemimpin seperti ini, bagaimana lagi dengan kalian?” katanya, dan untuk menjelaskan permasalahannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Yang terbaik dari semua rombongan adalah ini:
Betapa rendahnya kepintaran dirinya!
Jika dia dipilih sebagai yang terbaik (pemimpin),
bagaimana lagi dengan yang lainnya!
Mendengar pernyataannya, kera-kera itu membalasnya dalam bait kedua berikut:
Brahmana, Anda tidak tahu apa yang Anda katakan,
menyalahkan kami dengan cara yang demikian!
Jika kami tidak tahu (panjang) akarnya,
lantas bagaimana kami tahu pohon mana yang tumbuh?
Kemudian Bodhisatta membalas mereka dalam bait ketiga berikut:
Wahai Para Kera, saya tidak menyalahkan kalian,
bukan pula mereka yang berada di hutan sana.
Sang pemimpin adalah yang bodoh, mengatakan,
‘Tolong rawat pohon-pohon ini selagi saya tidak ada’.

[347] Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Anak yang merusak tumbuhan di dalam taman adalah kera pemimpin, dan Aku sendiri adalah pemuda bijak.”

Catatan kaki :
233 Ini adalah kisah yang sama seperti No. 46 (Vol. I). Kisah ini lebih singkat, dan bait-bait kalimatnya tidak sama. Lihat Folk-lore Journal, III. 251; Cunningham, Bharhut Stupa, XLV. 5. Di dalam edisi CSCD, tertulis ‘Ārāmadūsaka-Jātaka’.
234 Bentuk jamak dari ‘Ayya’, yang secara harfiah bisa diartikan ‘Mulia’. Ini juga merupakan panggilan terhadap seorang bhikkhu atau bhikkhuni.

KAKKAṬĀ-JĀTAKA

“Makhluk bercapit emas,” dan seterusnya. [341] Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang wanita.
Dikatakan bahwasanya seorang tuan tanah di Sāvatthi, bersama dengan istrinya, pergi ke desa dengan tujuan untuk menagih utang, dan bertemu dengan para perampok. Istrinya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan memikat. Pemimpin perampok itu begitu terpesona kepadanya sehingga dia bermaksud untuk membunuh suaminya untuk bisa mendapatkan dirinya. Akan tetapi, wanita itu adalah seorang yang baik dan bermoral, seorang istri yang setia. Dia bersujud di bawah kaki pemimpin perampok itu, sambil berkata, “Tuan, jika Anda membunuh suamiku untuk mendapatkan diriku, maka saya akan minum racun atau menghentikan napasku untuk membunuh diriku sendiri! Saya tidak akan pergi bersamamu. Janganlah membunuh suamiku untuk hal yang tidak ada gunanya!” Dengan cara demikian, dia berhasil memohonnya untuk pergi.
Mereka berdua kemudian kembali dengan selamat ke Sāvatthi. Ketika melintasi wihara yang ada di Jetavana, mereka berpikir untuk mengunjunginya dan memberikan salam hormat kepada Sang Guru. Maka mereka pun pergi ke ruangan yang wangi (gandhakuṭi) dan duduk di satu sisi setelah terlebih dahulu memberikan salam hormat.
Sang Guru menanyakan kepada mereka datang dari mana. “Dari menagih utang,” balas mereka. “Apakah perjalanan kalian lancar tanpa halangan?” tanya Beliau berikutnya. “Kami ditahan oleh para perampok di tengah perjalanan,” kata sang suami, “dan pemimpin perampok itu bermaksud untuk membunuhku. Akan tetapi, istriku memohon kepadanya untuk melepaskan diriku, dan saya berutang nyawa kepadanya.”
Kemudian Sang Guru berkata, “Upasaka, Anda bukanlah satu-satunya orang yang diselamatkan olehnya. Di masa lampau, dia juga telah menyelamatkan nyawa orang bijak.” Kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, terdapatlah sebuah kolam yang besar di Himalaya, tempat hidupnya seekor kepiting emas yang besar. Karena dia hidup di sana, tempat itu dikenal dengan nama Kuḷīradaha (Kolam Kepiting). Kepiting itu amatlah besar, sebesar penebahan229. Dia mampu menangkap gajah, membunuh dan memangsanya. Disebabkan oleh hal ini, gajah-gajah [342] tidak berani turun ke kolam itu dan bermain-main di sana.
Kala itu, Bodhisatta dikandung di dalam rahim seekor gajah betina yang merupakan pasangan dari raja gajah yang memimpin sekelompok gajah yang tinggal di dekat kolam kepiting itu. Agar selamat sampai pada waktunya melahirkan, gajah betina itu mencari tempat tinggal lain di sebuah gunung, dan di sana dia melahirkan seorang anak gajah jantan, yang seiring berjalannya waktu tumbuh menjadi dewasa dan bijaksana.
Dia adalah seekor gajah yang besar, kuat dan banyak hasil. Dia terlihat seperti Gunung Collyrium 230. Dia kemudian memilih seekor gajah betina sebagai pasangannya, dan dia berkeinginan untuk menangkap kepiting tersebut. Maka dengan pasangan dan ibunya, dia mencari kelompok gajah tersebut dan menjumpai ayahnya, mengemukakan keinginannya untuk pergi menangkap kepiting itu. “Anda tidak akan mampu melakukannya, Anakku,” katanya.
Akan tetapi, dia terus-menerus memohon kepadanya untuk memperbolehkannya pergi, sampai pada akhirnya, raja gajah itu berkata, “Baiklah, Anda boleh mencobanya.” Maka gajah muda itu mengumpulkan semua gajah di samping kolam kepiting, dan menuntun mereka sampai ke dekat kolam. “Apakah kepiting ini menangkap mangsanya ketika mereka turun ke bawah, atau ketika mereka sedang makan, atau ketika mereka hendak naik ke atas?” Mereka menjawab, “Ketika hewan-hewan hendak naik ke atas.” “Baiklah, kalau begitu,” katanya, “turunlah kalian semua ke kolam itu dan makanlah apa yang bisa kalian temukan, kemudian naiklah terlebih dahulu ke atas, saya yang akan menyusul di belakang.”
Mereka pun melakukan demikian. Kemudian kepiting itu, yang melihat Bodhisatta naik ke atas pada urutan belakang, menggenggam kakinya ketat dengan capit, seperti seorang pandai besi yang memegang seonggok besi dengan penjepit besi. Pasangan Bodhisatta tidak meninggalkannya, melainkan berdiri di dekatnya. Bodhisatta berusaha menarik kepiting itu, tetapi bahkan tidak mampu membuatnya bergerak. Kemudian kepiting itu menariknya dan membuatnya berhadapan dengannya.
Setelah kejadian itu, dalam ketakutannya gajah tersebut meraung dan meraung. Mendengar raungan tersebut, semua gajah lainnya, dalam ketakutan mereka, melarikan diri sambil meraung dan mengeluarkan kotoran. Bahkan kali ini, pasangannya mulai tidak tahan dan hendak melarikan diri. [343] Kemudian untuk memberi tahu dirinya bagaimana dia ditawan, dia (Bodhisatta) mengucapkan bait pertama berikut, dengan harapan untuk menahannya, tidak melarikan diri:
Mahkluk bercapit emas dengan mata menyembul,
tinggal di kolam, tidak berambut,
dengan cangkang tipis yang jelek,
Dia menangkapku: dengarkanlah jeritan sedihku!
Pasanganku, janganlah meninggalkan diriku—
karena Anda sangat mengasihiku.
Kemudian pasangannya berbalik, dan mengulangi bait kedua berikut untuk menenangkannya:
Saya tidak akan pernah pergi meninggalkanmu,
suami yang mulia, bersamamu enam puluh tahun.
Empat penjuru bumi ini tidak dapat menunjukkan
siapa pun yang demikian mengasihiku seperti dirimu.
Dengan cara itu, dia memberikan dukungan semangat kepada pasangannya. Kemudian dia berkata, “Sekarang, Tuan, saya akan berbicara kepada kepiting itu untuk melepaskanmu pergi.” Dia menyapa kepiting itu dalam bait ketiga berikut:
Dari semua kepiting yang ada di perairan,
Gangga ataupun Yamunā231,
Andalah yang paling baik dan pemimpin,
setahu saya: Dengarkanlah saya—lepaskan suamiku!
Ketika dia berbicara demikian, pikiran kepiting itu tertarik oleh suara dari gajah betina tersebut, dan dengan melupakan segala ketakutannya, melepaskan jepitannya dari kaki gajah tersebut, tanpa mencurigai apa yang akan dilakukan olehnya (sang gajah jantan) ketika dia dibebaskan.
Kemudian gajah itu mengangkat satu kakinya dan memijakkannya ke punggung kepiting itu, dan kedua matanya pun menjadi semakin menyembul keluar. Gajah meraungkan jeritan kemenangan. Semua gajah yang lain berlarian datang, menarik kepiting itu dan meletakkannya di tanah, kemudian menghancurkannya berkeping-keping. Dua capitnya terputus dari badannya dan terpisah.
Danau kepiting itu, karena dekat dengan Sungai Gangga, ketika air Sungai Gangga meluap, terisi dengan air dari Sungai Gangga. Ketika banjir mulai surut, aliran airnya mengalir dari kolam itu menuju ke Sungai Gangga. Kedua capit itu pun terbawa dan terapung di sepanjang aliran Sungai Gangga. Salah satu capit tersebut terapung sampai ke laut, dan satunya lagi ditemukan oleh Sepuluh Saudara Raja232 ketika sedang bermain di sungai. Mereka mengambilnya dan menjadikannya sebuah genderang kecil yang disebut Ānaka. Para asura menemukan capit yang sampai ke laut itu dan menjadikannya sebuah genderang kecil yang disebut Āḷambara. Ketika kalah bertempur dengan Sakka, para asura ini melarikan diri dan meninggalkan genderang tersebut. Kemudian Sakka menyimpannya untuk digunakannya sendiri, dan inilah yang disebut-sebut orang sebagai Āḷambara megha.


Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—[345] “Pada masa itu, upasika ini adalah gajah betina, dan Aku sendiri adalah pasangannya.”


Catatan kaki :
228 Bandingkan Morris dalam Contemp. Rev. 1881, hal. 742; Cunningham, Stupa of Bharhut, pl. XXV. 2.
229 Teks Pali tertulis ‘khalamaṇḍalappamāṇa’, yang bila dirujuk ke PED, kata ‘khalo’ biasa diartikan ‘threshing-floor’, atau lantai jemur (tempat menjemur gabah, kedelai, dsb). Penebahan juga diartikan sejenis alat/benda (atau bahkan area/tempat untuk memisahkan hasil panen (mis: biji-bijian/padi) dari kulitnya.
230 añjanapabbata.
231 Sungai kedua dari lima sungai besar yang ada di Jambudīpa. Lihat selengkapnya di DPPN, hal. 684.
232 Dasabhātikarajano. Di dalam DPPN dituliskan ‘Dasārahā’. Lihat selengkapnya di halaman 1067.

VĀTAGGA-SINDHAVA-JĀTAKA

“Dikarenakan dirinya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan di Jetavana, tentang seorang tuan tanah.
Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi, seorang wanita melihat laki-laki yang tampan itu dan jatuh cinta kepadanya. Keinginan di dalam dirinya terasa seperti api yang terus-menerus membakar dirinya. Dia (seperti) kehilangan indranya, tubuh dan pikiran, dia tidak mau makan, dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang.
Teman-teman dan pelayan-pelayannya menanyakan apa yang menyusahkan hatinya sehingga dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang; mereka ingin mengetahui apa masalahnya. Pada awalnya dia tidak mau mengatakan apa pun, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun memberitahukan apa masalahnya.
“Jangan khawatir,” kata mereka, “kami akan membawa dirinya kepadamu,” dan mereka pun pergi untuk berbicara dengan laki-laki itu. Awalnya, dia menolak, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun menyetujuinya. Mereka membuatnya berjanji untuk datang pada jam anu di hari yang telah ditetapkan, dan mereka memberitahukannya kepada wanita itu.Dia merapikan ruangannya dan mengenakan pakaian terbaiknya, kemudian duduk menunggu kedatangan laki-laki tersebut.
Laki-laki itu datang dan duduk di sampingnya. Kemudian terlintas sebuah pemikiran di dalam benaknya [338], “Jika saya langsung menerima sapaannya dan membuat diriku (terkesan) menjadi murahan, maka harga diriku akan hancur. Membiarkan dirinya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama adalah hal yang tidak mungkin. Saya akan menjadi galak hari ini, dan sesudahnya baru saya akan menjadi lembut.”
Maka tidak lama setelah laki-laki itu menyentuhnya dan mulai bermain-main, dia memegang tangannya dan berkata kasar kepadanya, memintanya untuk pergi karena dia tidak menginginkan dirinya di sana. Laki-laki itu pun kembali dengan perasaan marah, pulang ke rumahnya.
Ketika teman-teman dan pelayan-pelayannya mengetahui apa yang dilakukannya, setelah laki-laki itu pergi, mereka menghampirinya. “Lagi-lagi Anda berada di sini,” kata mereka, “jatuh cinta kepada seseorang, hanya berbaring, tidak mau makan. Dengan susah payah, kami membujuk laki-laki itu dan akhirnya berhasil membawanya datang, kemudian Anda tidak mengatakan apa-apa kepadanya!” Dia pun memberitahukan mereka mengapa dia melakukan demikian, dan mereka akhirnya pergi, sambil memperingatkan dirinya untuk berbicara nantinya.
Laki-laki itu tidak pernah datang kembali untuk berjumpa dengannya. Ketika mengetahui bahwa dia telah kehilangan diri laki-laki tersebut, wanita itu melanjutkan tindakannya yang tidak mau makan dan akhirnya meninggal dunia. Ketika mendengar tentang kematiannya, laki-laki itu membawa sejumlah bunga, dupa, wewangian, pergi ke Jetavana. Dia memberikan salam hormat kepada Sang Guru dan duduk di satu sisi.
Sang Guru bertanya kepadanya, “Upasaka, mengapa kami tidak pernah melihatmu datang belakangan ini?” Dia memberitahukan Beliau semua yang terjadi, menambahkan bahwa dia tidak datang untuk memberikan pelayanan kepada Buddha dikarenakan rasa malu. Sang Guru berkata, “Upasaka, dalam kehidupan ini wanita itu memintamu untuk datang disebabkan oleh nafsunya (keinginannya), kemudian tidak mengatakan apa-apa kepadamu dan mengusirmu pergi dengan marah. Demikian juga halnya di masa lampau, wanita ini jatuh cinta kepada seorang bijak, dan ketika dia datang, wanita ini tidak mau melakukan apa pun dengannya, dan demikian membuatnya menjadi marah serta mengusirnya.”
Kemudian atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhava, dan dia diberi nama Vātaggasindhava (Secepat Angin). Dia adalah kuda kerajaan; penjaga kuda biasa membawanya untuk mandi di Sungai Gangga.
Di sana seekor keledai betina yang bernama Kundalī melihatnya dan jatuh cinta kepadanya. Menjadi gemetaran karena nafsu, [339] keledai betina tersebut tidak mau makan rumput ataupun minum air, dia menjadi semakin pucat dan kurus, sampai akhirnya tinggal kulit dan tulang. Kemudian anaknya yang melihat sang ibu menjadi semakin kurus, berkata, “Mengapa tidak makan rumput, Bu, dan mengapa tidak minum air? Mengapa Ibu menjadi semakin pucat dan berbaring gemetaran di sini? Apa masalahnya?” Awalnya, dia tidak mau mengatakannya, tetapi setelah terus-menerus ditanya dan ditanya, akhirnya dia memberitahukan masalahnya kepada anaknya. Kemudian sang anak menenangkan ibunya dengan berkata, “Bu, jangan bersedih. Saya akan membawanya datang untukmu.”
Maka ketika Vātaggasindhava turun mandi, anak keledai itu berkata, sembari menghampirinya, “Tuan, ibuku jatuh cinta kepadamu. Sekarang ini, dia tidak mau makan dan tubuhnya menjadi semakin pucat, hampir mati. Tolonglah berikan kehidupan kepadanya!” “Baiklah, saya akan melakukannya,” kata kuda itu, “biasanya setelah saya selesai mandi, penjaga kuda akan membiarkan diriku untuk berlari-lari di tepi sungai. Bawalah ibumu datang ke tempat itu.”
Anak keledai itu pun menjemput ibunya dan membawanya ke tempat tersebut, kemudian sembunyi di dekat tempat itu. Penjaga kuda membiarkan Vātaggasindhava untuk berlari-lari. Vātaggasindhava kemudian melihat keledai betina itu dan menghampirinya.
Ketika dia menghampirinya dan mulai mengendus dirinya, keledai betina itu berpikir, “Jika kubuat diriku menjadi seperti seekor betina murahan dan membiarkannya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama dia datang ke sini, kehormatan dan harga diriku akan hancur. Saya akan bertingkah seolah-olah tidak menginginkannya.” Maka dia pun menendang rahang bawahnya dan bergegas pergi. Tendangan itu mematahkan rahang sang kuda jantan dan hampir membunuhnya. “Apalah peduliku kepada dirinya?” pikir Vātaggasindhava, dan dia merasa malu sendiri, kemudian pergi.
Kemudian keledai betina tersebut meratap tangis dan berbaring di tempatnya dalam kesedihan. Anaknya datang dan menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya dalam bait berikut:
Dikarenakan dirinya, Anda menjadi semakin pucat dan kurus,
dan Anda tidak mau makan sedikit pun,
kuda yang Anda cintai itu telah datang kepadamu,
mengapa Anda lari (darinya)?
Mendengar suara anaknya, dia kemudian mengulangi bait kedua berikut:
Jika pada pertama kalinya,
kepada dia (laki-laki) yang berdiri di sampingnya,
tanpa basa basi, seorang wanita menyerah,
maka harga dirinya akan hancur:
Oleh karena itulah, saya lari darinya.
Dengan kata-kata tersebut, dia menjelaskan tentang sifat alamiah wanita kepada anaknya.


Dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Sang Guru mengulangi bait ketiga berikut:
Jika seorang wanita menolak seorang kekasih
yang berasal dari keluarga baik,
yang selalu ingin berada di sampingnya,
maka, seperti Kundalī yang bersedih
karena Vātaggasindhava,
dia akan bersedih dalam waktu yang amat lama.
Ketika uraian ini telah selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Wanita ini adalah sang keledai betina, dan Aku sendiri adalah Vātaggasindhava.”

KHURAPPA-JĀTAKA

“Ketika demikian banyak busur,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang telah kehilangan semangat.
Sang Guru menanyakan apakah benar bahwasanya bhikkhu tersebut telah kehilangan semangatnya. Bhikkhu itu mengiyakannya. “Mengapa,” tanya Beliau, “Anda kehilangan semangat setelah memeluk ajaran yang membawa pembebasan ini? Pada masa lampau, orang bijak sangatlah bersemangat dalam permasalahan yang bahkan tidak menuntun ke arah pembebasan.”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir ke dalam keluarga seorang penjaga hutan. Ketika dewasa, dia memimpin satu rombongan penjaga hutan yang berjumlah lima ratus orang, dan tinggal di sebuah desa yang berada di dekat pintu masuk ke hutan tersebut. Dia biasa mempekerjakan dirinya sendiri untuk menuntun orang-orang melewati hutan tersebut.
Pada suatu hari, seorang penduduk Benares, putra seorang saudagar, tiba di desa tersebut dengan rombongan karavannya yang berjumlah lima ratus kereta. Dia mencari Bodhisatta dan menawarkannya uang seribu keping untuk menjadi penjaganya melewati hutan tersebut.Karena Bodhisatta menyetujui penawarannya, berarti secara mental Bodhisatta mengabdikan hidupnya untuk memberikan (jasa) pelayanan kepada saudagar tersebut.
Kemudian dia pun menuntunnya melewati hutan. Di tengah hutan, muncul lima ratus orang perampok. Begitu melihat para perampok itu, semua rombongan karavan tersebut ketakutan, hanya sang penjaga hutan sendiri saja yang berteriak, bertarung, dan membuat semua perampok tersebut pergi, serta membawa saudagar itu melewati hutan dengan selamat.
Setelah berhasil melewati hutan, saudagar itu pun mengistirahatkan rombongannya; [336] dia memberikan sang penjaga hutan segala jenis daging pilihan dan dia duduk di sampingnya setelah terlebih dahulu menyantap makanannya, kemudian berbicara demikian kepadanya: “Beri tahukanlah saya,” katanya, “ketika bertemu dengan lima ratus perampok yang bersenjata, yang terlihat ada di mana-mana, mengapa tidak ada rasa takut sedikit pun di dalam dirimu?” Dan dia mengucapkan bait pertama berikut:
Ketika demikian banyak busur
yang melepaskan batang panah dengan cepat,
tangan-tangan yang memegang pisau-pisau baja datang mendekat,
ketika maut telah datang dengan pasukannya yang mengerikan;
Mengapa, di tengah teror yang demikian, Anda tidak gentar sama sekali?
Mendengar ini, penjaga hutan tersebut mengulangi dua bait berikut:
Ketika demikian banyak busur
yang melepaskan batang panah dengan cepat,
tangan-tangan yang memegang pisau-pisau baja datang mendekat,
ketika maut datang dengan pasukannya yang mengerikan;
Hari itu kurasakan sebagai kesenangan yang besar dan hebat.
Dan kesenangan inilah yang memberikan kemenangan;
Dalam hidup ini, saya pasti akan mati;
Dia yang melakukan tindakan heroik dan
ingin menjadi seorang hero,
harus memandang hidupnya demikian.
[337] Demikianlah dia mengucapkan kata-katanya seperti hujan panah; dan setelah dia melakukan perbuatan heroik tersebut dengan menunjukkan dirinya yang terbebas dari kemelekatan akan kehidupan, dia pun berpamitan kepada saudagar muda itu dan kembali ke desanya sendiri. Setelah mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan kebajikan-kebajikan lainnya di dalam kehidupannya, dia kemudian terlahir kembali dan menerima hasil sesuai dengan perbuatannya.


Ketika uraian ini telah selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) telah kehilangan semangat itu mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Pada masa itu, Aku adalah sang penjaga hutan.”

MAHĀ-PANĀDA-JĀTAKA

“Yang memiliki istana itu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di tepi Sungai Gangga, tentang kesaktian Thera Bhaddaji.
Pada satu kesempatan, ketika Sang Guru telah melewati masa vassa di Sāvatthi, Beliau berpikir untuk membantu seorang pemuda yang bernama Bhaddaji. Maka dengan rombongan bhikkhu yang berada bersama-Nya, Beliau pergi ke Kota Bhaddiya dan tinggal di sana selama tiga bulan di Jātiyāvana, menunggu pemuda itu matang waktunya dan sempurna dalam pengetahuan.
Kala itu, Bhaddaji adalah seorang yang luar biasa, putra satu-satunya dari seorang saudagar kaya raya di Bhaddiya, yang memiliki harta sebesar delapan ratus juta. Dia memiliki tiga buah rumah untuk tiga musim, yang di masing-masing rumah tersebut dia menghabiskan waktu empat bulan; setelah menghabiskan satu periode di salah satu rumahnya, dia akan pindah ke rumah lainnya bersama dengan seluruh sanak keluarganya, dalam rombongan yang berjumlah besar. Pada waktu-waktu tersebut, seluruh kota menjadi gempar melihat ketidakbiasaan pemuda tersebut; dan di antara rumah-rumah itu terdapat tempat-tempat duduk yang disusun dalam lingkaran, secara berlapis-lapis.
Ketika telah tinggal di sana selama tiga bulan, Sang Guru memberitahukan para penduduk bahwa Beliau berniat untuk pergi. Setelah memohon Beliau untuk menunggu sampai keesokan harinya, para penduduk pada keesokan harinya mengumpulkan persembahan dana yang banyak kepada Sang Buddha dan para bhikkhu rombongan Beliau. Mereka mendirikan sebuah paviliun di tengah-tengah kota, menghiasnya dan menyiapkan tempat-tempat duduk; kemudian mereka mengumumkan bahwa waktunya telah tiba.
Sang Guru dan rombongan pergi dan mengambil tempat duduk mereka masing-masing di sana. Semua orang dengan senang hati memberikan persembahan kepada mereka. Setelah selesai bersantap, Sang Guru mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan suara semanis madu.
Pada waktu itu, Bhaddaji sedang berpindah dari rumah yang satu ke rumah lainnya. [332] Pada hari itu, tidak ada yang datang untuk melihat kebesarannya; hanya orang-orangnya sendiri yang berada di sekelilingnya. Maka dia bertanya kepada orang-orangnya apa yang telah terjadi. Biasanya, seluruh kota menjadi heboh melihatnya berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya, pada lingkaran-lingkaran ataupun pada lapisan berikutnya. Akan tetapi, hari itu, tidak ada seorang pun yang datang, selain pengawalnya sendiri. Apa yang menjadi penyebabnya?
Jawaban yang didapatkannya, “Tuan, Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha) telah menghabiskan waktu tiga bulan tinggal di dekat kota, dan hari ini Beliau akan pergi. Beliau baru saja selesai menyantap makanan dan sekarang sedang memberikan khotbah Dhamma. Seluruh penduduk kota sedang mendengarkannya.” “Oh, bagus sekali, kita juga harus pergi dan mendengarkannya,” kata pemuda itu. Maka dengan sinar perhiasannya, bersama para pengikutnya, dia berangkat dan duduk di bagian luar keramaian tersebut. Ketika dia mendengar khotbah Dhamma, semua leleran batinnya lenyap, dan dia mendapatkan buah tertinggi, mencapai tingkat kesucian Arahat.
Sang Guru, menyapa Saudagar Bhaddiya, dengan berkata, “Tuan Saudagar, putramu, dalam segala kebesarannya, telah menjadi seorang Arahat setelah mendengar khotbah-Ku; hari ini juga dia akan bertahbis menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, atau dia akan mencapai nibbana.” “Bhante,” balasnya, “saya tidak ingin putraku mencapai nibbana. Tahbiskanlah dirinya. Setelah ini dilakukan, datanglah ke rumahku bersama dengannya besok.” Yang Terberkahi menerima undangan ini; Beliau membawa pemuda itu ke wihara, menahbiskannya. Selama satu minggu, orang tua dari pemuda itu menunjukkan keramahtamahan yang baik kepada Beliau.
Setelah berdiam selama tujuh hari, Sang Guru memulai berpindapata, dengan membawa pemuda itu bersama dengan-Nya, tiba di sebuah desa yang bernama Koṭi. Para penduduk desa dengan baik hati memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para siswa-Nya. Sehabis bersantap, Sang Guru mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Setelah itu dilakukan, pemuda itu pergi keluar dari desa, dan di satu tempat di Sungai Gangga, dia duduk di bawah pohon, masuk ke dalam jhana, dan berpikir untuk bangkit jika Sang Guru datang. Ketika para thera tua menghampirinya, dia tidak bangkit; dia bangkit begitu Sang Guru datang. Orang-orang awam (pengikut Sang Buddha lainnya yang belum mencapai kesucian) menjadi marah karena dia berkelakuan seolah-olah dirinyalah seorang bhikkhu senior, dengan tidak berdiri ketika melihat para bhikkhu senior datang menghampirinya.
Para penduduk desa membuat sebuah perahu. Setelah perahunya selesai, [333] Sang Guru menanyakan keberadaan Bhaddaji. “Dia ada di sana, Bhante.” “Mari, Bhaddaji, naiklah ke atas perahu-Ku.” Thera itu pun naik ke atas perahu. Ketika mereka berada di tengah sungai, Sang Guru menanyakannya sebuah pertanyaan: “Bhaddaji, di manakah istanamu berada di masa pemerintahan Raja Mahāpanāda?” “Di sini, Bhante, di bawah air sungai ini,” jawabnya. Orang-orang awam itu berkata satu sama lain, “Thera Bhaddaji sedang menunjukkan bahwa dia adalah seorang ariya!” Kemudian Sang Guru memintanya untuk menghilangkan keraguan mereka, sesama siswa.
Dalam sekejap, sang thera, setelah membungkuk memberikan hormat kepada Sang Guru, bergerak dengan kesaktiannya, mengangkat seluruh bagian istana itu di jari tangannya dan terbang di udara sambil menahan istana itu bersamanya (istana tersebut seluas dua puluh lima yojana); kemudian dia membuat lubang di bawahnya, dan menunjukkan dirinya kepada para penghuni istana tersebut di bawah, dan melemparkan bangunan itu ke atas, pertama-tama sejauh satu yojana, kemudian dua, dan tiga yojana. Kemudian orang-orang yang dahulunya menjadi sanak keluarganya, yang sekarang telah terlahir sebagai ikan atau kura-kura, ular air atau katak karena mereka terlalu terikat dengan istana tersebut, menggeliat keluar dari istana itu dan terjatuh secara berulang-ulang ke dalam air kembali. Ketika melihat ini, Sang Guru berkata, “Bhaddaji, sanak keluargamu sedang dalam masalah.” Mendengar perkataan Sang Guru, thera itu melepaskan istana tersebut, dan istana itu tenggelam masuk ke dalam tempat semula dia berada.
Sang Guru tiba di sisi Sungai Gangga. Kemudian mereka menyiapkan sebuah tempat duduk untuk Beliau, tepat di tepi sungai. Beliau duduk di tempat yang telah disiapkan tersebut, bagaikan matahari yang baru terbit mengeluarkan sinarnya. Kemudian para bhikkhu menanyakan kepada Beliau kapan Thera Bhaddaji hidup di dalam istana tersebut. Sang Guru menjawab, “Di masa pemerintahan Raja Mahāpanāda,” kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala, Suruci adalah Raja Mitthilā, yang merupakan sebuah kota di dalam Kerajaan Videha. Dia memiliki seorang putra yang bernama Suruci juga, dan putranya ini memiliki seorang putra yang bernama Mahāpanāda (Mahapanada). Merekalah yang mendapatkan kepemilikan atas istana megah tersebut. Mereka mendapatkan istana itu atas perbuatan yang mereka lakukan di kehidupan sebelumnya; seorang ayah dan anaknya membangun sebuah gubuk daun dari dedaunan dan cabang-cabang pohon elo 226 , untuk dijadikan kediaman bagi seorang Pacceka Buddha.

Kelanjutan kisahnya akan diceritakan di dalam Suruci-Jātaka, Buku Keempat Belas227.
[334] Sang Guru, setelah selesai menceritakan kisah ini, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengucapkan bait-bait berikut:
Yang memiliki istana itu dahulu adalah Raja Panada,
seribu panah tingginya dan enam belas lebarnya,
seribu panah tingginya, dihiasi oleh panji-panji;
seratus tingkat semuanya,
semua menggunakan hijaunya batu zamrud.
Enam ribu pemusik berada di sekeliling,
dalam tujuh kelompok kemudian mereka bernyanyi.
Seperti yang telah dikatakan Bhaddaji,
demikian dia berkata: Saya, Sakka, adalah pelayanmu,
yang selalu mematuhi perintah-perintah Anda.
[335] Pada masa itu, orang-orang awam tersebut menjadi tidak meragukan dirinya kembali.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bhaddaji adalah Raja Panāda (Panada), dan Aku sendiri adalah Sakka.”

Catatan kaki :
225 Bandingkan Divyāvadāna, hal. 57.
226 udumbara; Ficus glomerata.
227 No. 489.