Selasa, 01 Januari 2013

KAPI-JĀTAKA

“Seorang petapa suci,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu.
Para bhikkhu mengetahui tindakannya yang menipu itu. Di dalam balai kebenaran, mereka membicarakannya, “Āvuso, bhikkhu anu, setelah menganut ajaran Buddha yang mengarahkan ke pembebasan, masih melakukan penipuan.”
Sang Guru berjalan masuk dan [269] menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya bhikkhu itu melakukan tindakan menipu, sebelumnya juga dia telah melakukannya, ketika dia menipu hanya untuk mendapatkan kehangatan bagi dirinya di perapian.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana. Ketika dewasa dan anaknya baru bisa berlari, istrinya meninggal dunia. Dia kemudian menggendong anaknya dan pergi ke daerah pegunungan Himalaya, tempat dia menjalani kehidupan sebagai seorang petapa dan memberikan kehidupan yang sama kepada anaknya, tinggal di dalam sebuah gubuk daun.
Kala itu adalah musim hujan, dan hujan turun tiada hentinya sehingga menyebabkan banjir: seekor kera berkeliaran ke sana ke sini, tersiksa dengan cuaca dingin, giginya bergeretak dan gemetaran.
Bodhisatta mengambil sebatang kayu yang besar, menyalakan api, dan membentangkan alas tidurnya; putranya duduk di dekatnya dan menggosok kedua kakinya.
Kera tersebut mendapatkan pakaian milik seorang petapa yang telah meninggal. Dia mengenakan jubah dalam dan luarnya, menyampirkan kulitnya pada bahunya, mengambil galah dan tempat airnya. Dengan mengenakan pakaian petapa, dia datang ke gubuk daun itu untuk mendapatkan api. Di sana dia berdiri, dengan pakaian yang dipinjamnya itu.
Anak laki-laki itu melihatnya dan berkata kepada ayahnya, “Ayah, lihat! Ada seorang petapa di sana yang gemetaran karena kedinginan. Panggillah dia ke sini, dia akan dapat menghangatkan badannya.” Demikian dia berkata kepada ayahnya, dan mengucapkan bait pertama berikut:—
Seorang petapa suci berdiri gemetaran di depan gubuk,
seorang petapa yang mendedikasikan dirinya pada
kedamaian dan kebaikan.
Oh Ayah! Mintalah orang suci itu masuk ke dalam sini,
sehingga badannya yang dingin
dan penderitaannya dapat berkurang.
Bodhisatta mendengar perkataan putranya; dia bangkit dan melihat (keluar), kemudian dia mengetahui bahwa itu adalah seekor kera dan mengucapkan bait kedua berikut [270]:
Bukanlah seorang petapa suci dirinya itu,
dia adalah seekor kera buruk, menjijikkan, tamak,
menghancurkan semua yang dapat disentuhnya,
apa saja yang ada di pepohonan;
Sekali diperbolehkan masuk,
kediaman kita akan menjadi kotor.
Setelah mengucapkan perkataan itu, Bodhisatta mengambil sebatang kayu yang terbakar dan mengusir kera itu pergi. Kera tersebut memanjat naik ke atas, dan apakah dia suka atau tidak suka, dia tidak pernah lagi kembali ke tempat itu. Bodhisatta mengembangkan kesaktian, pencapaian meditasi, dan memaparkan meditasi pendahuluan kasiṇa185 kepada petapa mudanya, yang akhirnya juga mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi. Dan mereka berdua, tanpa terputus dari meditasi (jhana), terlahir kembali di alam brahma.


Demikianlah Sang Guru memaparkan bagaimana orang tersebut bukan hanya saat ini melakukan penipuan, tetapi sebelumnya juga sama. Setelah ini selesai, Beliau memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, sebagian dari mereka mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi, dan sebagian lagi mencapai tingkat kesucian Anāgāmi:—“Bhikkhu yang menipu itu adalah kera, Rāhula adalah sang putra, dan Aku sendiri adalah petapa itu.

Catatan kaki :
185 kasiṇa adalah salah satu kelompok objek meditasi samatha, yang mana hasil yang dicapai adalah jhāna.

SĀLAKA-JĀTAKA

“Bagaikan anak kandungku sendiri,” dan seterusnya.— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang mahāthera.
Dikatakan bahwasanya thera ini menahbiskan seorang pemuda, yang kemudian diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Sāmaṇera (Samanera) tersebut pada akhirnya tidak tahan dengan perlakuannya dan kembali menjalani kehidupan duniawi. Kemudian sang thera berusaha untuk membujuknya kembali. [267] “Lihatlah ini, Nak,” katanya, “jubahmu akan menjadi milikmu sendiri, begitu juga dengan pattamu. Saya masih memiliki patta dan jubah lain yang akan saya berikan kepadamu. Mari, bergabunglah kembali!”
Awalnya, pemuda itu menolak, tetapi akhirnya setelah terus-menerus didesak, dia pun menyetujuinya. Sejak dia bergabung kembali, sang thera tetap memperlakukannya dengan tidak baik, sama seperti sebelumnya. Samanera itu pun tidak tahan kembali dengan perlakuannya dan meninggalkan kehidupan petapa. Ketika sang thera membujuknya untuk bergabung kembali lagi, pemuda itu membalas, “Anda mampu melakukannya baik dengan adanya diriku maupun tanpa adanya diriku; jangan ganggu saya lagi— saya tidak akan bergabung kembali!”
Para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, betapa sensitifnya pemuda itu! Dia mengenal thera itu dengan tidak baik sehingga tidak ingin bergabung kembali dengan kita.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini pemuda itu sensitif, Para Bhikkhu, tetapi juga sebelumnya dia menunjukkan sifat yang sama. Ketika melihat keburukan orang itu, dia tidak bersedia menerimanya kembali.”
Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, di masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang pedagang dan dia mendapatkan penghasilan dengan menjual jagung. Seorang laki-laki (teman Bodhisatta) adalah seorang pawang ular yang telah melatih seekor kera dan memberinya makan sejenis penawar, membuat seekor ular bermain (atraksi) dengan kera tersebut dan mendapatkan penghasilan dengan cara demikian.
Suatu perayaan diumumkan; pawang ular tersebut ingin bersenang-senang di dalam perayaan itu, dan dia memercayakan sang kera kepada pedagang tersebut, berpesan kepadanya untuk tidak mengabaikannya. Tujuh hari sesudahnya, dia kembali menjumpai pedagang itu dan memintanya untuk mengembalikan keranya. Kera tersebut mendengar suara majikannya dan dengan cepat keluar dari toko jagung itu.
Pawang itu memukul bagian punggungnya dengan sebilah bambu, kemudian membawanya masuk ke dalam hutan, mengikatnya, dan kemudian tidur. Segera setelah melihat majikannya tertidur, kera itu melepaskan ikatannya, kabur dan memanjat naik sebuah pohon mangga. Dia memakan sebuah mangga dan menjatuhkan bijinya tepat di kepala sang pawang ular.
Pawang itu terbangun dan melihat ke atas: keranya berada di sana. “Akan kubujuk dirinya!” pikirnya, “dan di saat dia turun dari pohon, akan kutangkap dia!” Maka untuk membujuknya, dia mengucapkan bait pertama berikut:—
Bagaikan anak kandungku sendiri dirimu itu,
tuan di dalam keluarga kami:
[268] Turunlah, Sālaka, dari pohon itu—
Mari, ikut pulang bersamaku.
Kera itu mendengarnya dan mengucapkan bait kedua berikut:
Anda tertawa di balik bajumu!
Sudah lupakah Anda dengan pemukulan itu?
Di sini saya hidup senang,
(jadi selamat tinggal) memakan mangga ranum.
Kemudian kera itu naik lebih ke atas lagi dan akhirnya menghilang di dalam hutan, sedangkan pawang ular itu kembali ke rumahnya dengan perasaan menyesal.


Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Samanera itu adalah kera, thera adalah pawang ular, dan Aku sendiri adalah pedagang jagung.”

KIṀSUKOPAMA-JĀTAKA

[265] “Semuanya sudah melihat,” dan seterusnya.— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, dalam hubungannya dengan Sutta tentang pohon kiṁsuka 177 (Kiṁsukopama Sutta).
Empat orang bhikkhu datang menjumpai Sang Tathāgata, menanyakan tentang topik-topik meditasi. Beliau menjelaskannya kepada mereka. Setelah Beliau menjelaskannya, mereka masing-masing pergi ke tempat yang berbeda menghabiskan waktu siang dan malam.
Bhikkhu pertama menjadi seorang Arahat setelah memahami enam landasan kesan indra (cha phassāyatanāni178); bhikkhu kedua menjadi seorang Arahat setelah memahami lima kelompok kehidupan (pañcakkhandha179); bhikkhu ketiga menjadi seorang Arahat setelah memahami empat unsur (cattāro mahābhūta180); dan bhikkhu keempat menjadi seorang Arahat setelah memahami delapan belas unsur (aṭṭhārasa dhātuyo 181 ). Kemudian mereka masing-masing memberitahukan kesempurnaan yang mereka peroleh kepada Sang Guru.
Suatu pikiran berikut terlintas di dalam benak salah seorang dari mereka, dan dia menanyakannya kepada Beliau, “Hanya ada satu, nibbāna, yang dapat dicapai dari semua topik meditasi tersebut; bagaimana bisa mereka semua mencapai tingkat kesucian Arahat?” Kemudian Sang Guru balik bertanya, “Apakah ini tidak sama dengan orang-orang yang melihat pohon kiṁsuka itu?”
Karena mereka meminta-Nya untuk menceritakan itu, Beliau pun menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala, Brahmadatta, Raja Benares, memiliki empat orang putra. Suatu hari, mereka memanggil kusir kerajaan dan berkata kepadanya, “Kami ingin melihat pohon kiṁsuka. Tunjukkanlah satu pohon itu kepada kami!”
“Baiklah, akan saya tunjukkan,” jawab kusir tersebut. Tetapi dia tidak menunjukkan kepada mereka secara bersamaan. Dengan kereta kerajaan, dia membawa putra pertama yang sulung masuk ke dalam hutan dan menunjukkan kepadanya pohon tersebut di saat tunas pohonnya baru akan tumbuh dari batangnya. Kepada putra yang kedua, dia tunjukkan pohon itu ketika daun-daunnya berwarna hijau. Kepada putra yang ketiga, dia tunjukkan ketika bunga-bunganya bermekaran. Dan kepada putra yang keempat, dia tunjukkan ketika pohonnya berbuah.
Setelahnya, pada saat mereka berempat kebetulan sedang duduk bersama, seorang dari mereka bertanya, “Seperti apakah pohon kiṁsuka itu?
“Seperti tunggul yang terbakar!” jawab yang pertama. Yang kedua menjawab, “Seperti sebuah pohon beringin182!” Yang ketiga menjawab, “Seperti daging 183 !” Dan yang keempat menjawab, “Seperti pohon akasia184!”
Mereka menjadi bingung ketika mendengar jawaban mereka masing-masing (yang berbeda), dan kemudian menghadap ayah mereka. “Paduka,” tanya mereka, “seperti apakah pohon kiṁsuka itu?” “Apa jawaban dari kalian?” tanya raja. Mereka pun memberi tahu dirinya sesuai dengan apa yang mereka jawab tadinya.
Raja kemudian berkata, “Kalian berempat, semuanya, telah melihat pohon itu. Hanya saja ketika kusir kerajaan menunjukkan pohon itu kepada kalian, kalian tidak bertanya kepadanya, ‘Seperti apakah pohon ini pada waktu ini?’ [266] atau ‘Seperti apakah pohon ini pada waktu itu?’ Kalian yang tidak bisa membedakannya dan itulah penyebab kesalahan kalian.” Dan raja mengulangi bait pertama berikut:
Semuanya sudah melihat pohon kiṁsuka—
Apa yang menyebabkan keraguan pada diri kalian?
Tidak ada yang menanyakan sang kusir,
seperti apa pohon itu terlihat seumur hidupnya!

Setelah menjelaskan permasalahannya, Sang Guru kemudian menyapa para bhikkhu itu: “Seperti empat bersaudara itu yang menjadi ragu akan pohon kiṁsuka dan kemudian bertanya karena tidak bisa membuat perbedaan dan saling bertanya, demikianlah kalian juga telah jatuh dalam keraguraguan mengenai Dhamma,” dan dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengucapkan bait kedua berikut:
Mereka yang mengetahui Dhamma
dengan tidak benar, akan menjadi ragu,
seperti empat bersaudara dengan pohon kiṁsuka.
Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran-Nya: “Pada masa itu, Aku adalah Raja Benares.”

Catatan kaki :
177 Terjemahan bahasa Inggris menggunakan ‘Judas tree’. Dari teks Pali, tertulis kiṁsuka, PED menuliskan bahwa ini adalah sebuah nama pohon; secara harfiah “seperti apa pun” atau “kamu menyebutnya apa”. Disebutkan juga bahwa ini adalah nama yang populer digunakan untuk Butea frondosa. Dari nama ilmiah tersebut, didapatkan bahwasanya pohon ini juga dikenal dengan nama plasa.
178 Cakkhu (mata), sota (telinga), ghāna (hidung), jivhā (lidah), kāya (badan jasmani), mano (pikiran).
179 Rūpa (wujud jasmani), vedanā (perasaan), saññā (pencerapan), sankhārā (bentuk-bentuk pikiran), dan viññāṇa (kesadaran).
180 Paṭhavī (tanah), āpo (air), tejo (api), dan vayo (udara).
181 Lihat keterangan selengkapnya di Majjhimanikāya, sutta 115; Bahudhātuka Sutta.
182 nigrodha; Ficus indica.
183 Pohon ini memiliki bunga-bunga yang berwarna merah muda.
184 sirīsa; Acacia sirissa.

PĀDAÑJALI-JĀTAKA

“Pastinya anak laki-laki ini,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Thera Lāḷudāyī.
Dikatakan pada suatu hari kedua siswa utama sedang membahas sebuah pertanyaan. Para bhikkhu yang mendengar pembahasan tersebut memberikan pujian kepada kedua thera. Thera Lāḷudāyī yang duduk di antara para bhikkhu, mencibir, dengan berpikiran, “Apalah hebatnya pengetahuan mereka dibandingkan dengan pengetahuanku?” Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain melihatnya melakukan itu, mereka meninggalkannya. Kumpulan bhikkhu itu pun bubar.
Para bhikkhu kemudian membicarakannya di dalam balai kebenaran. “Āvuso, apakah kalian tadi melihat bagaimana Lāḷudāyī mencibir untuk mencemooh kedua siswa utama?” Ketika mendengar ini, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, di masa lampau, sama seperti sekarang ini, Lāḷudāyī tidak memiliki jawaban yang lain, hanya bisa mencibir saja.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


[264] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai penasihatnya dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Kala itu, raja memiliki seorang putra yang bernama Pādañjali (Padanjali). Dia adalah seorang pemalas.
Seiring berjalannya waktu, raja pun kemudian meninggal dunia. Setelah upacara pemakamannya dilakukan, para menteri istana membahas tentang penobatan putra raja, Padanjali, sebagai raja. Akan tetapi Bodhisatta berkata, “Dia adalah seorang yang bodoh, seorang pemalas,—haruskah kita membawa dan menobatkannya sebagai raja?”
Para menteri mengadakan sebuah sidang. Mereka meminta pemuda tersebut duduk di bawah, di hadapan mereka. Mereka memberikan suatu keputusan yang salah; mereka memutuskan sesuatu menjadi milik dari orang yang bukan pemiliknya. Dan mereka bertanya kepadanya, “Nak, apa kami telah memutuskannya dengan benar?”
Anak laki-laki tersebut mencibir. “Dia adalah seorang anak laki-laki yang bijak,” pikir Bodhisatta, “dia pasti tahu kalau kita telah memberikan keputusan yang salah.” Kemudian dia mengucapkan bait pertama berikut:
Pastinya anak laki-laki ini lebih
bijaksana daripada semuanya.
Dia mencibir—dia pasti telah mengetahui
yang sebenarnya tentang apa yang telah kita lakukan!
Keesokan harinya, sama seperti sebelumnya, mereka mengatur untuk diadakannya sebuah sidang. Kali ini, mereka mengadili kasus tersebut dengan benar. Kemudian, mereka kembali menanyakan apakah mereka telah memutuskannya dengan benar. Kemudian Bodhisatta menyadari bahwa dia adalah seorang bodoh yang buta, dan mengucapkan bait kedua berikut:
Dia tidak bisa membedakan benar dan salah,
tidak juga buruk dan baik:
Dia (hanya bisa) mencibir—tidak ada lagi
hal yang lain yang bisa ditunjukkannya.
Para menteri pun kemudian menyadari bahwa Padanjali adalah benar-benar seorang yang bodoh, dan mereka menobatkan Bodhisatta sebagai raja.


Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Lāḷudāyī adalah Pādañjali, dan Aku sendiri adalah penasihat.”

TELOVĀDA-JĀTAKA

“Si keji membunuh,” dan seterusnya.—Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Kūṭāgārasālā 174 di dekat Vesāli, tentang Panglima Sīha.
Dikatakan bahwasanya setelah menyatakan perlindungannya, panglima ini menunjukkan keramahtamahan dan mempersembahkan makanan dengan daging (kepada Buddha). Para petapa telanjang175 yang mendengar berita ini menjadi marah dan tidak senang. Mereka ingin melakukan keburukan terhadap Sang Buddha. “Petapa Gotama,” cemooh mereka, “dengan kedua matanya terbuka lebar, memakan daging yang secara sengaja disiapkan khusus untuk diri-Nya.”
Para bhikkhu membicarakan masalah ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Nigaṇṭha Nātaputta mencemooh di sana sini, dengan mengatakan, ‘Petapa Gotama, dengan kedua matanya terbuka lebar, memakan daging yang secara sengaja disiapkan khusus untuk diri-Nya.’ ” Mendengar ini, Sang Guru membalas, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Nātaputta mencemooh diri-Ku dengan mengatakan Aku memakan daging yang secara sengaja disiapkan khusus untuk diri-Ku, sebelumnya dia juga melakukan hal yang sama.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana. Ketika dewasa, dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa.
Dia kemudian turung gunung dari Himalaya untuk memperoleh garam dan cuka, dan pada keesokan harinya berjalan masuk ke dalam kota untuk berkeliling mendapatkan derma makanan.
Seorang hartawan berkeinginan untuk mengganggu petapa tersebut. Dia membawa sang petapa ke kediamannya, memberikan tempat duduk kepadanya, dan mempersembahkan daging ikan kepadanya. Setelah selesai bersantap, hartawan itu duduk di satu sisi dan berkata, “Makanan ini secara sengaja disiapkan khusus untukmu, dengan membunuh makhluk hidup. Kesalahan tidak ada pada diriku, melainkan ada pada dirimu!”
Dan dia mengulangi bait pertama berikut:—
Si keji membunuh, memasak,
dan memberikannya untuk dimakan:
Dia yang menerima daging (makanan) demikian ini
adalah orang yang terkotori oleh perbuatan buruk.
[263] Mendengar ini, Bodhisatta mengucapkan bait kedua berikut:
Si keji mungkin saja membunuh
istri atau anaknya untuk
diberikan sebagai (derma) makanan,
akan tetapi jika si suci yang memakannya,
maka tidak akan ada perbuatan buruk pada dirinya176.
Setelah mengucapkan perkataan itu, Bodhisatta bangkit dari duduknya dan pergi.

Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Nātaputta adalah hartawan, dan Aku sendiri adalah petapa tersebut.”

Catatan kaki :
174 Sebuah balai (ruangan) di Mahāvana. Lihat keterangan selengkapnya di DPPN, hal. 659. Arti harfiah dari kūṭāgāra adalah bangunan beratap runcing, bangunan bermenara, bangunan bertingkat.
175 Nigaṇṭhā. Nama yang diberikan kepada para penganut Jainisme, para pengikut dari Nigaṇṭha Nātaputta.
176 “…Mereka yang mengambil nyawa (membunuh) adalah yang bersalah (melakukan perbuatan buruk), bukan orang yang memakan dagingnya (makanannya); para petapa boleh menyantap makanan apa pun yang biasa disantap di tempat atau negeri mana pun, selama itu dilakukan dengan tanpa diikuti oleh keterikatan nafsu atau keinginan buruk.” Hardy, Manual, hal. 327.

MŪLA-PARIYĀYA-JĀTAKA

“Waktu memakan segalanya,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Subhagavana, di dekat Ukkaṭṭhā, dalam hubungannya dengan Sutta tentang Akar Semua Hal (Mūlapariyāya Sutta).
Dikatakan bahwasanya kala itu terdapat lima ratus brahmana yang telah menguasai tiga kitab Weda, yang kemudian bertahbis dalam ajaran (pembebasan), dan mempelajari Tipiṭaka. Setelah semua itu dipelajari, mereka menjadi mabuk dalam keangkuhan, dengan berpikir, “Yang Tercerahkan Sempurna mengetahui Tipiṭaka, dan kami juga mengetahuinya. Jadi apa perbedaan di antara kami?” Mereka kemudian tidak lagi memberikan pelayanan kepada Buddha, dan pergi berkeliling dengan pengikut mereka sendiri-sendiri.
Pada suatu hari, ketika orang-orang ini duduk di hadapan-Nya, Sang Guru mengkhotbahkan Sutta tentang Akar Semua Hal, ditambah dengan delapan tahap pengetahuan. Mereka semua tidak mengerti apa pun. Kemudian terlintas di dalam benak mereka—“Tadinya kami yakin bahwa tidak ada lagi orang lain yang demikian bijaksananya seperti kami, dan sekarang kami sama sekali tidak mengerti apa pun tentang ini. Tidak ada orang yang sama bijaknya seperti para Buddha: Oh, betapa sempurnanya kebijaksanaan para Buddha!” Setelah itu, mereka menjadi tidak angkuh lagi, menjadi tenang seperti ular-ular yang taringnya telah dicabut keluar.
Setelah tinggal beberapa lama di Ukkaṭṭhā, Sang Guru pergi ke Vesāli. Di dalam Cetiya Gotamaka, Beliau mengkhotbahkan Sutta tentang Gotamaka (Gotamaka Sutta). Terjadi guncangan yang hebat di bumi! Setelah mendengar ini, para bhikkhu tersebut kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat.
Sebelumnya, setelah Sang Guru selesai mengkhotbahkan Sutta tentang Akar Semua Hal sewaktu Beliau berkunjung di Ukkaṭṭhā, [260] para bhikkhu itu membicarakan tentangnya di dalam balai kebenaran. “Āvuso, betapa besar kemampuan dari para Buddha! Para brahmana yang tadinya mabuk dalam keangkuhan mereka, menjadi tidak angkuh dengan mendengar Sutta tentang Akar Semua Hal!” Sang Guru berjalan masuk dan kemudian menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Aku membuat orang-orang yang mengisi kepala mereka dengan keangkuhan ini menjadi tidak angkuh kembali, sebelumnya Aku juga melakukan hal yang sama.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana. Ketika dewasa, dia menguasai tiga kitab Weda, kemudian menjadi seorang guru yang terkemuka dan mengajar lima ratus murid.
Kelima ratus murid tersebut, setelah berusaha sedaya upaya dalam pembelajaran, sempurna dalam pembelajaran mereka dan kemudian berpikir, “Kami mengetahui semua yang diketahui oleh guru kami. Kami ini tidak ada bedanya (dengan dirinya).”
Dengan perasaan angkuh dan sikap keras kepala di dalam diri mereka, mereka tidak mau pergi menghadap guru mereka dan juga tidak melakukan kewajiban-kewajiban mereka .
Suatu hari mereka melihat sang guru duduk di bawah pohon bidara171. Berkeinginan untuk mengolok-oloknya, mereka menepuk pohon itu dengan jari-jari tangan dan berkata, “Pohon yang tidak berguna!”
Bodhisatta mengetahui bahwa mereka sedang mengolok-olok dirinya. “Murid-muridku,” katanya, “saya akan menanyakan sebuah pertanyaan kepada kalian.”
Mereka senang mendengarnya. “Tanya saja,” kata mereka, “kami akan menjawabnya.”
Sang guru menanyakan pertanyaannya dengan mengucapkan bait pertama berikut:—
Waktu memakan segalanya,
bahkan waktu itu sendiri juga akan dimakan.
Siapakah yang memakan pemakan segala itu?172
[261] Mereka mendengarkan pertanyaannya, tetapi tidak satu pun dari mereka yang mampu menjawabnya. Kemudian Bodhisatta berkata, “Jangan berpikir bahwa pertanyaan ini terdapat di dalam tiga Weda. Kalian beranggapan bahwa kalian mengetahui semua yang kuketahui, dan bersikap seperti pohon bidara173. Kalian tidak tahu bahwa saya mengetahui banyak hal yang tidak kalian ketahui. Pergilah sekarang, saya berikan kalian tujuh hari—pikirkan tentang jawaban dari pertanyaan ini.”
Mereka memberi hormat dan kemudian kembali ke kediaman masing-masing. Di sana mereka berpikir selama satu minggu, tetapi mereka tidak mampu menemukan awal maupun akhir dari permasalahan itu. Pada hari ketujuh, mereka datang menemui guru mereka, memberi salam kepadanya, dan duduk.
“Bagaimana, sudah mampukah kalian menjawab pertanyaan itu?” “Belum,” jawab mereka.
Bodhisatta kembali berkata, untuk mengecam mereka, dengan mengucapkan bait kedua berikut:
Kepala tumbuh di atas leher,
dan rambut tumbuh di atas kepala:
Berapa banyak kepala yang memiliki telinga?
kuingin tahu.
“Kalian adalah orang-orang dungu,” lanjut Bodhisatta, dengan tetap mengecam mereka, “kalian memiliki telinga (hanya) dengan lubang di dalamnya, tidak dengan kebijaksanaan.” Kemudian Bodhisatta memberitahukan jawabannya. [262] Mereka mendengarkan jawabannya. “Oh,” kata mereka, “betapa agungnya guru kami!” kemudian mereka memohon maaf darinya, dan setelah keangkuhan mereka dihilangkan, mereka pun kembali melayani Bodhisatta.


Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka, “Pada masa itu, bhikkhu-bhikkhu itu adalah lima ratus murid ini, dan Aku sendiri adalah guru mereka.”

Catatan kaki :
171 badara; Zizyphus jujuba, bidara cina.
172 kālaghaso, ‘pemakan waktu’, adalah dia yang menghancurkan nafsu akan keberadaan (eksistensi) sehingga hidup untuk tidak dilahirkan kembali (penjelasan dari para ahli).
173 Pohon bidara sering kali digunakan secara berlawanan dengan pohon kelapa (cocoa-nut), karena pohon bidara hanya terlihat cantik di bagian luar.

VĪTICCHA-JĀTAKA

“Apa yang dia lihat,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang petapa pengembara yang melarikan diri.
Dikatakan bahwasanya orang ini tidak menemukan siapa pun di seluruh Jambudīpa (India) untuk berdebat tesis dengannya. Sampai akhirnya dia tiba di Sāvatthi, dan menanyakan apakah ada orang yang mampu berdebat dengannya. Orang-orang menjawab bahwa orang itu adalah Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha).
Setelah mendengar jawaban tersebut, bersama dengan rombongan orang banyak, dia pergi ke Jetavana dan memberikan pertanyaan kepada Sang Guru yang sedang memaparkan khotbah Dhamma kepada empat jenis orang. Sang Guru menjawab pertanyaannya dan kemudian menanyakan kembali satu pertanyaan kepadanya170. Petapa pengembara itu tidak bisa menjawabnya, kemudian bangkit dan melarikan diri.
Kerumunan orang yang duduk di sana berseru, “Satu pertanyaan, Bhante, dan petapa pengembara itu melarikan diri!” Sang Guru berkata, “Ya, Upasaka, seperti yang Aku lakukan terhadap dirinya dengan satu pertanyaan, sebelumnya juga pernah Aku lakukan.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di Kerajaan Kāsi.
Ketika dewasa, dia melepaskan kesenangan indriawinya dan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa (pabbajita), tinggal di daerah pegunungan Himalaya dalam waktu yang lama.
Dia kemudian turun dari pegunungan, membangun tempat tinggalnya di sebuah desa niaga, dalam sebuah gubuk daun di dekat mulut Sungai Gangga.
Seorang petapa pengembara yang tidak menemukan seorang pun yang mampu berdebat dengannya di seluruh Jambudīpa (India), datang ke desa tersebut. “Apakah ada orang,” tanyanya, “yang mampu berdebat denganku?”
“Ya, ada,” jawab penduduk, dan mereka memberitahukan tentang kemampuan Bodhisatta kepadanya.
Maka, dengan diikuti oleh rombongan orang banyak, dia pergi ke tempat Bodhisatta tinggal. Dia duduk setelah terlebih dahulu memberi salam kepada Bodhisatta.
“Apakah Anda mau minum,” tanya Bodhisatta, “air Sungai Gangga yang memiliki aroma dan kualitas bagus ini?”
Petapa pengembara tersebut mencoba untuk berdebat dengan menggunakan kata-katanya. “Gangga itu apa? Gangga itu bisa berarti pasir, Gangga bisa berarti air, Gangga bisa berarti tepi sebelah sini, Gangga juga bisa berarti tepi sebelah sana!”
Bodhisatta berkata, “Selain pasir, air, tepi sebelah sini, dan tepi sebelah sana, Gangga bisa berarti apa lagi?” Petapa pengembara tersebut tidak mampu menjawabnya; dia bangkit dan kemudian pergi melarikan diri. Ketika dia pergi, Bodhisatta mengucapkan bait-bait berikut sebagai wejangan kepada rombongan orang banyak tersebut:—
Apa yang dia lihat, tidak akan dia miliki;
Apa yang dia tidak lihat, akan dia inginkan.
Dia bisa saja pergi ke tempat yang jauh—
walaupun demikian, tetap dia tidak akan
mendapatkan apa yang diinginkannya.
Dia tidak menghargai apa yang telah dia miliki;
Setelah didapatkannya, dia tidak lagi menginginkannya.
Dia selalu menginginkan sesuatu:
Dia yang tidak menginginkan apa-apa
mendapatkan pujian dari kami.

[259] Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Kedua petapa pengembara itu adalah orang yang sama (seperti sebelumnya), dan Aku sendiri adalah petapa tersebut.”

Catatan kaki :
170 Di dalam teks Pali tertulis, “ekaṃ nāma kin” ; Secara harfiah berarti, “Satu itu apa?” atau “Apakah yang satu itu?” Ini adalah pertanyaan pertama yang terdapat di dalam Pertanyaan Anak Laki-laki (Kumārapañhā), bagian keempat dari Khuddakapāṭha, Khuddakanikāya, Suttapiṭaka.

GUTTILA-JĀTAKA

“Saya memiliki seorang murid,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veluvana, tentang Devadatta.
Dalam kesempatan kali ini, para bhikkhu berkata kepada Devadatta, “Āvuso Devadatta, Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha) adalah gurumu; Dengan belajar dari Yang Tercerahkan Sempurna, Anda mengetahui tentang Tiga Keranjang (Tipiṭaka), tentang bagaimana mencapai empat tingkatan jhāna (jhana). Tidak seharusnyalah Anda bersikap sebagai seorang musuh terhadap gurumu sendiri!”
Devadatta membalas, “Āvuso, apakah Petapa Gotama adalah guru-Ku? Jawabannya tidak sedikit pun. Bukankah dengan kekuatanku sendiri kupelajari Tipiṭaka, dan mencapai empat tingkat jhāna?” Dia menolak untuk mengakui gurunya sendiri.
Para bhikkhu kemudian membicarakan tentang ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta tidak mau mengakui gurunya sendiri! Dia menjadi seorang musuh bagi Yang Tercerahkan Sempurna, dan kehancuran yang besar akan menimpa dirinya.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Devadatta menolak untuk mengakui gurunya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang musuh, kemudian mengalami akhir yang mengenaskan. Ini juga pernah terjadi sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah berikut kepada mereka.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga musisi. Namanya adalah Guttila. Ketika dewasa, dia menguasai semua keahlian dalam bermain musik, dan dengan nama Pemusik Gutilla, dia menjadi pemimpin di antara semua pemusik di seluruh Jambudīpa (India). Dia tidak menikah dan menghidupi kedua orang tuanya yang buta.
Kala itu, beberapa pedagang dari Benares berkunjung ke Ujjeni dengan tujuan berdagang. Waktu itu adalah waktu perayaan; mereka semua berkumpul bersama, mereka memperoleh untaian-untaian bunga, wewangian, perhiasaan, dan beragam jenis makanan. “Bayar harganya,” kata mereka, dan datangkanlah seorang pemusik!”
[249] Pada waktu itu, Mūsila (Musila) adalah pemimpin dari para pemusik di Ujjeni. Mereka pun memanggilnya dan memintanya untuk memainkan musik. Musila adalah seorang pemusik yang memainkan kecapi; dia menyetel kecapinya sampai pada nada tertinggi dan kemudian memainkannya.
Mereka itu mengetahui permainan musik dari Guttila, dan bagi mereka musik yang dimainkan olehnya terdengar seperti gesekan pada peti kayu, sehingga tidak satu pun dari mereka menunjukkan kesenangan. Ketika melihat ini, Musila berkata dalam dirinya, “Kurasa terlalu tinggi,” sambil menyetel kecapinya pada nada sedang, kemudian memainkannya.
Akan tetapi, mereka juga tetap tidak menunjukkan kesenangan. Kemudian Musila berpikir, “Kurasa mereka ini tidak tahu apa-apa tentang ini (musik),” dan bertingkah seakan-akan dia juga tidak tahu tentang musik, dia memainkan musiknya kembali dengan nada rendah. Seperti sebelumnya, mereka juga tidak menunjukkan kesenangan. Kemudian Musila bertanya kepada mereka, “Hai, Para Pedagang, mengapa kalian tidak menyukai permainan musikku?
“Apa! Apakah Anda memainkan musik?” tanya mereka. “Kami berpikir Anda sedang menyetel musik.”
“Apakah kalian mengetahui pemusik yang lebih baik,” tanyanya, “atau apakah kalian tidak tahu tentang musik sehingga tidak menyukai permainan musikku?”
Para pedagang menjawab, “Kami pernah mendengar permainan musik dari Pemusik Guttila di Benares; dan permainan musikmu terdengar (oleh kami) seperti ibu-ibu yang sedang menyanyikan lagu untuk menenangkan bayi-bayi mereka.”
“Ini, ambil kembali uang kalian,” katanya, “saya tidak menginginkannya. Akan tetapi, tolong izinkan saya ikut dengan kalian sewaktu kembali ke Benares.”
Mereka mengiyakannya dan pulang ke Benares dengan membawanya. Mereka menunjukkan kediaman Guttila kepadanya, kemudian masing-masing kembali ke rumah mereka.
Musila masuk ke dalam kediaman Bodhisatta. Dia melihat kecapi indahnya yang diletakkan dalam posisi berdiri rapi, kemudian mengambilnya dan memainkannya. Mendengar ini, orang tuanya yang tidak bisa melihatnya karena buta, berkata dengan keras, “Tikus-tikus sedang menggigiti kecapi! Ssst! Ssst!”
Dengan sigap, Musila meletakkan kecapi kembali ke tempatnya, dan menyapa kedua orang tua tersebut.
“Anda berasal dari mana?” tanya mereka.
Dia menjawab, “Saya berasal dari Ujjeni, saya datang untuk belajar di bawah bimbingan guru.”
“Oh, baiklah,” kata mereka. Dia kemudian menanyakan di mana guru berada. “Dia sedang pergi keluar. Dia akan kembali hari ini juga,” terdengar jawabannya.
Musila duduk dan menunggu kepulangannya. Setelah beruluk salam, dia pun memberitahukan maksud kedatangannya kepada Guttila. Pada waktu itu, Bodhisatta memiliki kemampuan untuk meramal dengan melihat tanda-tanda dari penampilan luar seseorang. Dia mengetahui bahwa laki-laki itu bukanlah seorang yang baik, jadi dia pun menolaknya. “Pergilah, Teman, keahlian ini tidaklah cocok untukmu.”
Musila kemudian memegang kaki dari kedua orang tua Bodhisatta, untuk dapat membantu mengabulkan permintaannya, dan memohon kepada mereka, “Tolonglah minta agar dia bersedia mengajariku!” Secara berulang-ulang, kedua orang tua itu meminta kepada Bodhisatta untuk mengajarinya, sampai akhirnya Bodhisatta tidak mampu untuk menolaknya dan setuju untuk melakukan sesuai dengan apa yang dimintanya.
Kemudian Musila pergi bersama Bodhisatta ke istana raja. “Siapakah ini, Guru?” tanya raja ketika melihat Musila.
“Dia adalah muridku, Paduka!” jawabnya.
Seiring berjalannya waktu, dia pun menjadi dekat dengan raja. Bodhisatta tidak membatasi keahliannya, dia mengajarkan semua yang dikuasainya kepada sang murid. Setelah semuanya diajarkan, dia berkata, “Keahlianmu sekarang telah sempurna.”
Musila berpikir, “Sekarang telah kukuasai keahlian ini. Kota Benares adalah kota pemimpin di seluruh India. Guruku sudah tua, oleh karena itu, saya harus tinggal di sini.” Maka dia berkata kepada gurunya, “Guru, saya akan bekerja kepada raja.” “Bagus,” jawab gurunya, “saya akan memberitahukan ini kepada raja.” Dia kemudian menghadap kepada raja dan berkata, “Muridku ingin bekerja untukmu, Paduka. Tentukanlah bayaran yang akan diterimanya.”
Raja menjawab, “Bayarannya adalah setengah dari bayaranmu.” Sang guru kemudian pulang dan memberitahukannya kepada muridnya. Musila berkata, “Jika saya mendapatkan bayaran yang sama seperti dirimu, saya akan bekerja untuk raja. Jika tidak, saya tidak akan bekerja untuknya.”
[251] “Mengapa?” “Katakan, apakah saya mengetahui semua yang Anda ketahui?” “Ya, benar.” “Kalau begitu, mengapa raja hanya menawarkan untuk memberikanku setengah dari bayaranmu?”
Bodhisatta kemudian memberi tahu raja apa yang telah terjadi. Raja berkata, “Jika dia mampu menunjukkan keahlian yang sama dengan keahlianmu, maka dia akan menerima bayaran yang sama seperti dirimu.” Perkataan raja ini disampaikannya kepada sang murid. Musila menyetujui penawaran tersebut. Dan sewaktu diberitahukan mengenai persetujuannya itu, raja berkata, “Bagus sekali. Kapan kalian akan bertanding?” “Pada hari ketujuh, dihitung mulai dari hari ini, Paduka.”
Raja kemudian memanggil Musila. “Apakah benar Anda akan bertanding dengan gurumu?” “Ya, Paduka.” Raja sebenarnya ingin memintanya untuk tidak melakukan hal itu. Raja berkata, “Janganlah lakukan itu, seharusnya tidak ada pertandingan antara guru dan muridnya.”
“Sabar, Paduka!” balasnya, “tunggu sampai saya bertemu dengannya pada hari ketujuh. Kita akan tahu nanti siapa di antara kami yang sebenarnya adalah guru.
Kemudian raja mengiyakannya. Raja memerintahkan pengawal untuk menabuh genderang, menyampaikan pengumuman: “Pada hari ketujuh mulai dari hari ini, Guttila sang guru dan Musila sang murid akan bertanding di depan istana kerajaan untuk menunjukkan keahlian mereka. Bagi mereka yang ingin menyaksikannya, silakan datang dan berkumpul di sana!”
Bodhisatta berpikir sendiri, “Musila masih muda dan bertenaga, sedangkan saya sudah tua dan tak bertenaga lagi. Apa yang dilakukan oleh seorang yang tua tidak akan berhasil dengan baik. Jika muridku kalah, tidak akan ada sesuatu hal yang besar di baliknya. Akan tetapi, jika muridku mengalahkanku, maka kematian di dalam hutan akan lebih baik bagiku daripada harus menanggung malu yang akan kuterima nantinya.” Maka dia pergi ke dalam hutan. Tetapi kemudian dia kembali lagi ke rumah disebabkan oleh rasa takut akan kematian, dan pergi kembali ke dalam hutan disebabkan oleh rasa takut akan malu. Dengan cara seperti ini, enam hari pun dilaluinya. Rerumputan mati ketika dia berjalan melewatinya, dan jejak kakinya membuat jalan setapak.
Kala itu, takhta Sakka menjadi panas. Dengan kekuatannya memindai, dia mengetahui apa yang sedang terjadi. “Pemusik Guttila sedang amat menderita disebabkan oleh muridnya. [252] Saya harus membantunya!” Maka dia segera pergi dan berdiri di depan Bodhisatta. “Guru,” katanya, “mengapa Anda masuk ke dalam hutan?”
“Anda siapa?” tanyanya.
“Saya adalah Sakka.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Saya takut dikalahkan oleh muridku, wahai Raja Dewa. Oleh karena itu, saya melarikan diri dengan masuk ke dalam hutan.” Dan dia mengulangi bait pertama166 berikut:
Saya memiliki seorang murid,
yang dariku mempelajari keahlian melodi tujuh tali kecapi;
Sekarang dia ingin melebihi keahlian gurunya.
Oh Kosiya167, jadilah penolongku!
“Jangan takut,” kata Sakka, “saya adalah penaunganmu dan perteduhanmu,” dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Jangan takut, karena saya akan membantumu;
Kehormatan adalah ganjaran bagi para guru.
Tidak perlu takut! Muridmu tidak akan mengalahkanmu,
Anda akan keluar sebagai pemenang.
“Di saat Anda memainkan musik nanti, putuskanlah salah satu tali kecapimu, Anda akan tetap bisa melanjutkan permainan musikmu, dan permainan musikmu akan terdengar bagus sama seperti sebelumnya. Sedangkan Musila juga akan memutuskan tali kecapinya, tetapi dia tidak bisa melanjutkan permainan musiknya dan akan mengalami kekalahan. Dan ketika Anda melihat dia telah kalah, putuskanlah tali kecapimu yang kedua, kemudian tali ketiga sampai tali ketujuh, tetapi Anda tetap bisa melanjutkan permainan musikmu meskipun hanya menggunakan badannya saja, tanpa tali-tali kecapi; dan dari ujung-ujung tali yang putus tersebut akan tetap keluar nada-nada, nada-nada ini akan mengisi seluruh Benares sampai pada jarak seluas dua belas yojana.” [253] Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sakka memberikan tiga batu dadu kepada Bodhisatta, dan kemudian berkata, “Di saat nada-nada tersebut telah memenuhi seluruh pelosok kota, Anda harus melempar salah satu dari batu dadu ke angkasa, dan tiga ratus bidadari dewa (apsara) akan turun dan menari di hadapanmu. Di saat mereka menari, lemparkanlah batu dadu kedua, dan tiga ratus apsara lagi akan menari di depan kecapimu. Kemudian lemparkanlah batu dadu ketiga, dan tiga ratus apsara lagi akan turun dan menari di dalam arena pertandingan. Saya juga akan datang bersama mereka. Pergilah, tidak perlu takut!”
Pada pagi hari, Bodhisatta pulang kembali ke rumah. Di depan pintu istana dibangun sebuah paviliun, dan tempat raja duduk pun telah disiapkan. Raja turun dari istananya, mengambil tempat duduk di atas dipan yang berada di paviliun. Yang mengelilinginya adalah ribuan pelayan, wanita-wanita yang berpakaian dengan indah, para pejabat kerajaan, brahmana, dan penduduk. Semua orang telah datang berkumpul. Di halaman istana, mereka mengatur tempat duduk yang bulat dengan yang bulat, tempat duduk dipan dengan dipan.
Setelah makan berbagai jenis makanan terbaik, Bodhisatta mandi dan berhias diri. Kemudian dengan kecapi di tangannya, dia pun duduk menunggu di tempat yang telah disiapkan. Sakka juga berada di sana, tidak terlihat, melayang di angkasa, dikelilingi oleh rombongan yang banyak. Tetapi, Bodhisatta dapat melihatnya. Musila juga telah berada di sana, duduk pada tempat duduknya. Terdapat satu kumpulan orang yang amat banyak di sekeliling arena pertandingan.
Awalnya, mereka berdua memainkan kecapi yang sama utuhnya. Ketika mereka bermain, keduanya terdengar sama bagusnya, orang-orang merasa senang dan bertepuk tangan dengan meriah. Sakka kemudian berkata kepada Bodhisatta, dari posisinya yang melayang di angkasa: “Putuskanlah salah satu tali kecapimu!” Bodhisatta pun memutuskan satu tali kecapinya. Tali kecapi tersebut, meskipun telah putus, tetap mengeluarkan nada dari ujungnya, dan itu terdengar seperti musik surgawi. Musila juga ikut memutuskan satu tali kecapinya, tetapi setelah itu tidak ada nada yang keluar dari ujungnya.
Sang guru memutuskan tali kedua, dan seterusnya sampai pada tali ketujuh, dia hanya bermain dengan badan kecapinya dan permainan musiknya tetap berlangsung dan mengisi seluruh pelosok kota. Ribuan orang melambai-lambaikan saputangan ke udara dan bertepuk tangan dengan meriah. [254] Bodhisatta melemparkan salah satu batu dadu tersebut ke udara, dan tiga ratus apsara turun dan mulai menari. Dan ketika dia melemparkan batu dadu kedua dan ketiga, terdapat sembilan ratus apsara yang menari, sama seperti yang dikatakan oleh Sakka.
Kemudian raja membuat suatu gerakan isyarat, orang-orang bangkit berdiri, dan berteriak—“Anda telah membuat sebuah kesalahan besar bertanding dengan gurumu! Anda tidak tahu batasan dirimu sendiri!” Demikian mereka meneriaki Musila. Dengan batu, kayu dan apa saja yang bisa diambil oleh tangan mereka, orang-orang melempari dan memukulinya sampai mati. Kemudian dengan menyeret kakinya, mereka membuangnya ke tempat tumpukan sampah.
Dalam kegembiraannya, raja memberikan banyak hadiah kepada Bodhisatta, dan demikian juga halnya para penduduk. Setelah beruluk salam dengan Bodhisatta, Sakka berkata, “Orang Bijak, saya akan mengirimkan saisku, Mātali (Matali), datang dengan kereta yang ditarik oleh seribu ekor kuda terbaik. Naiklah Anda ke kereta surgawi itu, yang ditarik oleh seribu ekor kuda, dan datanglah ke alam dewaku,” kemudian dia pergi.
Sewaktu Sakka kembali ke kediamannya dan duduk di takhtanya yang terbuat dari batu permata, putri-putrinya bertanya, “Anda pergi ke mana, Maharaja?” Sakka menceritakan semua yang terjadi secara lengkap kepada mereka semua, dan melantunkan pujian terhadap moralitas dan kualitas bagus dari Bodhisatta. Kemudian mereka berkata, “Maharaja, kami ingin sekali bertemu dengan guru ini. Bawalah dia ke sini!”
Sakka pun memanggil Matali. “Para Bidadari Dewa,” katanya, “ingin bertemu dengan Pemusik Guttila. Pergilah, bawa dia dengan kereta surgawiku untuk datang ke sini.” Sang sais pun pergi dan menjemput Bodhisatta. Sakka beruluk salam kepadanya. “Guru, para dewi kayangan ingin mendengar permainan musikmu.”
Kami, para pemusik, Maharaja,” katanya, “hidup dari permainan musik sebagai keahlian kami. Kami akan memainkan musik jika ada bayarannya.”
“Mainkanlah musikmu, dan saya akan memberikanmu bayaran.” “Saya tidak menginginkan bayaran lain, selain ini: Saya ingin para dewi kayangan tersebut memberitahukan kepadaku perbuatan kebajikan apa yang membuat mereka terlahir di alam ini. Setelah itu, saya akan memainkan musik.”
[255] Kemudian para putri dewa tersebut berkata, “Kami akan dengan senang hati memberitahukan kepadamu tentang perbuatan kebajikan yang kami lakukan. Akan tetapi, mainkanlah dahulu musikmu, Guru.”
Selama satu minggu Bodhisatta memainkan musik untuk mereka, dan permainan musiknya itu melebihi musik surgawi. Pada hari ketujuh, dia menanyakan para putri dewa tersebut mengenai perbuatan kebajikan yang telah mereka lakukan, dimulai dari yang pertama.
Bidadari pertama, pada masa Buddha Kassapa, mendanakan pakaian yang bagus kepada seorang bhikkhu. Oleh karenanya, dia mendapatkan kelahiran kembali sebagai pelayan Dewa Sakka, menjadi pemimpin di antara para putri dewa, dengan memiliki pelayan sebanyak seribu bidadari. Kepadanya, Bodhisatta bertanya—“Apa yang telah Anda lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga dapat membuatmu terlahir kembali di alam ini?” Pertanyaannya ini dan benda yang diberikan olehnya (putri yang pertama itu) diceritakan di dalam Vimānavatthu168: Berikut ini, mereka berbincang:—
Wahai Dewi yang Cemerlang, laksana bintang pagi hari,
memancarkan sinar kecantikan di tempat jauh dan dekat,
berasal dari manakah kecantikan ini?
Berasal dari manakah kebahagiaan ini?
Berasal dari manakah semua berkah yang didapatkan ini?
Saya bertanya kepadamu, wahai Dewi yang Cemerlang,
berasal dari manakah sinar indah nan menyebar ini?
Ketika terlahir sebagai manusia,
apa yang Anda lakukan sehingga mendapatkan
kejayaan seperti ini sekarang?
Dia yang mendanakan pakaian menjadi
pemimpin di antara manusia.
Dia yang memberikan benda-benda
yang bagus pasti mendapatkan kediaman surgawi
nan indah untuk ditempati.
Lihatlah hasil ini, betapa menyenangkannya!
Sebagai hasil dari kebajikanku,
kediaman ini adalah milikku:
seribu bidadari siap sedia memenuhi permintaanku;
para bidadari yang cantik—dan saya
adalah yang paling cantik di antara mereka semua.
Oleh karena itulah saya memiliki kejayaan bagus ini;
Dari sanalah berasal sinar indah nan menyebar ini.
[256] Putri yang berikutnya mempersembahkan bunga (melati) kepada seorang bhikkhu yang sedang berkeliling untuk mendapatkan dana makanan; putri berikutnya memberikan wewangian; putri berikutnya memberikan buah-buahan yang bagus; putri berikutnya memberikan sari tebu; putri berikutnya memberikan wewangian lima jari (di cetiya Yang Terberkahi); putri berikutnya mendengar khotbah Dhamma dari para bhikkhu dan bhikkhuni yang sedang mengembara atau yang sedang berada di rumah keluarga penopang169; putri berikutnya berdiri di dalam air dan memberikan air kepada seorang bhikkhu yang sedang makan di atas sebuah perahu; putri berikutnya, dalam kehidupan rumah tangga, melayani ayah dan ibu mertuanya yang berperangai buruk, tanpa kemarahan; putri berikutnya berbagi makanan yang didapatkannya dan memiliki moralitas  baik; putri berikutnya yang terlahir sebagai seorang pelayan, tanpa kemarahan dan keangkuhan, memberikan bagiannya dan kemudian terlahir sebagai pelayan dari raja para dewa; dan seterusnya seperti yang tertulis di dalam Guttilavimāna, tiga puluh enam putri dewa, yang ditanya oleh Bodhisatta apa yang telah mereka lakukan masing-masing sehingga dapat terlahir di sana, dan mereka memberitahukan apa yang telah mereka lakukan, dengan cara yang sama dalam bait yang sama.
Setelah mendengar semuanya ini, Bodhisatta berseru, “Hal ini bagus untukku, sungguh, ini adalah hal yang bagus untukku, saya datang ke tempat ini dan mendengar bagaimana sebuah kebajikan yang kecil dapat memberikan kejayaan yang besar. Mulai saat ini, setelah kembali ke alam manusia, saya akan memberikan beragam jenis dana dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya.” Dan dia mengucapkan tekad berikut:
Oh hari yang menggembirakan!
Oh, betapa gembiranya diriku!
Oh pengembara berbahagia,
saya berjumpa dengan putri-putri dewa ini,
yang demikian cantik,
[257] dan mendengar cerita-cerita indah mereka.
Mulai saat ini, saya bertekad untuk
menjalani hidup selalu penuh dengan kedamaian,
kebaikan hati, kesabaran dan kebenaran,
sampai saya tiba di tempat tidak adanya penderitaan.
Setelah tujuh hari berlalu, raja para dewa memerintahkan Matali, sang sais, untuk membawa Guttila naik ke dalam kereta dan mengantarnya kembali ke Benares. Sekembalinya ke Benares, dia menceritakan kepada orang-orang apa yang telah dilihatnya sendiri di alam dewa (Tāvatiṁsā ). Sejak saat itu, orang-orang bertekad untuk melakukan kebajikan sedaya upaya mereka.


Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Devadatta adalah Mūsila (Musila), Anuruddha adalah Sakka, Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah Pemusik Guttila.”

Catatan kaki :
166 Bait ini, bersama dengan bait-bait yang terdapat pada halaman 265 (terjemahan bahasa Inggris), muncul di dalam Vimānavatthu, no. 33, Guttila-vimāna.
167 Sebuah julukan bagi Dewa Indra; kata itu berarti burung hantu (Skr. Kauçika). Ini adalah salah satu dari sekian banyak nama marga di India yang menggunakan nama-nama hewan.
168 Pembagian Ketiga: Pāricchattaka; bagian kelima, Guttilavimāna.
169 Di dalam Vimānavatthu, tertulis uposathaṁ upavasi; menjalankan laku Uposatha.

SABBADĀṬHA-JĀTAKA

“Seperti serigala,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana (Veluvana), tentang Devadatta.
Meskipun telah mendapatkan dukungan dari Ajātasattu (Ajatasattu), tetapi Devadatta tetap tidak mampu mempertahankan ketenaran dan dukungan yang didapatkannya.
Ketika orang-orang melihat keajaiban161 yang terjadi pada saat Nalāgiri dilepaskan untuk menghabisi Beliau, ketenaran dan dukungan yang didapatkan Devadatta mulai hancur.
[243] Suatu hari, para bhikkhu membicarakan masalah ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta berhasil mendapatkan ketenaran dan dukungan, meskipun demikian, dia tidak mampu mempertahankannya.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Devadatta mendapatkan ketenaran dan dukungan, tetapi tidak mampu mempertahankannya. Ini juga pernah terjadi sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.


Dahulu kala Brahmadatta menjadi Raja Benares dan Bodhisatta menjadi pendeta kerajaannya. Bodhisatta menguasai tiga kitab Weda dan delapan belas pengetahuan. Dia juga mengetahui mantra untuk menaklukkan bumi162.
Pada suatu hari, Bodhisatta berkeinginan untuk melafalkan mantra ini. Maka duduklah dia di suatu tempat yang jauh pada papan batu yang datar, dan memulai melafalkannya di sana. Dikatakan bahwa mantra ini tidak akan dapat diajarkan kepada siapa pun tanpa menggunakan cara khusus; karena alasan ini, dia melafalkannya di tempat yang disebutkan di atas.
Kala itu, kebetulan seekor serigala yang sedang berbaring di dalam sebuah lubang mendengar mantra yang dilafalkannya, kemudian berhasil menghafalnya. Disebutkan juga bahwasanya serigala ini dalam kehidupan sebelumnya adalah seorang brahmana yang telah mempelajari mantra menaklukkan bumi.
Bodhisatta selesai melafalkan mantranya, bangkit, seraya berkata—“Saya telah menghafal mantra itu sekarang.” Kemudian serigala keluar dari lubang tersebut dan berkata dengan lantang—“He, Brahmana, saya telah menguasai mantra itu lebih baik daripada dirimu!” Dan kemudian serigala itu berlari pergi. Bodhisatta mengejar dan terus mengejarnya, sembari berteriak, “Serigala itu akan melakukan suatu kejahatan yang besar—tangkap dia, tangkap dia!” Akan tetapi, serigala berhasil lolos masuk ke dalam hutan.
Serigala itu bertemu dengan seekor serigala betina, kemudian menggigitnya pelan di badannya. “Ada apa, Tuan?” tanya serigala betina. “Apakah kamu mengenali diriku atau tidak?” tanyanya kembali. “Saya tidak kenal kamu.” Dia kemudian mengucapkan mantra tersebut. Dengan cara yang sama demikian, tunduk di bawah perintahnya, ratusan serigala, dan mengelilinginya sebagai rombongannya adalah semua gajah dan kuda, singa dan harimau, babi hutan dan rusa, serta semua hewan berkaki empat lainnya; [244] dia menjadi raja mereka, dengan julukan Sabbadāṭha (Sabbadatha), dan dia mengawini seekor serigala betina sebagai ratunya. Di punggung dua ekor gajah terdapat seekor singa, dan di atas punggung singa tersebut Sabbadatha, raja serigala, duduk bersama dengan ratunya, serigala betina. Kehormatan yang demikian besar diberikan kepada mereka.
Kemudian raja serigala tergoda oleh kejayaannya yang besar, menjadi sombong, dan berkeinginan untuk menaklukkan Kerajaan Benares. Maka dengan semua hewan berkaki empat yang merupakan rombongannya, dia mendatangi sebuah tempat yang dekat dengan Benares. Jumlah rombongannya menutupi jarak sepanjang dua belas yojana. Dari tempatnya tersebut di sana, dia mengirimkan sebuah pesan kepada raja, “Serahkanlah kerajaanmu atau kita akan berperang.” Para penduduk Benares, yang ketakutan dengan hal ini, menutup gerbang-gerbang rumah mereka dan tetap berada di dalam rumah.
Bodhisatta menghampiri raja dan berkata kepadanya, “Jangan takut, Paduka! Biarkan saya yang berperang dengan raja serigala ini, Sabbadatha. Selain diriku, tidak ada orang lain lagi yang mampu berperang dengannya.” Demikian dia melindungi raja dan para penduduknya. “Saya akan bertanya kepadanya dengan segera,” lanjutnya, “apa yang akan dilakukan olehnya untuk dapat menaklukkan kerajaan ini.” Maka dia naik ke atas menara yang terdapat di salah satu gerbang dan meneriakkan—“Sabbadatha, apa yang akan kamu lakukan untuk dapat menaklukkan kerajaan ini?”
“Saya akan membuat singa-singa ini mengaum, dan dengan auman-auman itulah saya akan membuat orang-orang menjadi ketakutan: demikianlah caranya saya akan mengambil alih kerajaan ini!”
“Oh, begitu ya,” pikir Bodhisatta, kemudian turun dari menara tersebut. Dia membuat pengumuman dengan tabuhan genderang bahwa semua penduduk Benares, di seluas jarak dua belas yojana, harus menutup telinga mereka dengan menggunakan biji-bijian163. Orang-orang mematuhi perintahnya, mereka menutupi telinga mereka dengan biji-bijian sehingga mereka sendiri tidak bisa saling mendengar:—bahkan mereka melakukan hal yang sama terhadap kucing dan hewan-hewan lainnya.
Kemudian Bodhisatta naik kembali ke atas menara untuk kedua kalinya, dan meneriakkan, “Sabbadatha!”
“Ada apa, Brahmana?” tanyanya.
“Bagaimana caranya kamu akan mengambil alih kerajaan ini? tanya Bodhisatta.
“Saya akan membuat singa-singa mengaum, dan dengan cara demikian saya akan membuat orang-orang menjadi ketakutan, kemudian saya akan menghancurkan mereka. Demikianlah saya akan melakukannya!” jawabnya.
“Kamu tidak akan mampu untuk membuat singa-singa itu mengaum. Singa-singa mulia itu, dengan cakar kuning dan bulu yang berjumbai lebat, tidak akan pernah melaksanakan perintah dari seekor serigala tua seperti dirimu!”
Serigala, yang keras kepala dalam keangkuhannya, [245] membalas, “Saya tidak hanya akan membuat singa-singa itu mematuhiku, tetapi saya juga akan membuat singa yang satu ini, yang punggungnya sedang saya duduki, untuk mengaum!”
“Baiklah,” kata Bodhisatta, “lakukanlah itu jika mampu.”
Maka serigala menghentakkan kakinya pada singa yang didudukinya itu untuk membuatnya mengaum. Dengan menumpukan mulutnya pada bonggol dahi gajah, singa itu mengaum sebanyak tiga kali dengan lantangnya. Gajah-gajah itu menjadi ketakutan dan membuat serigala jatuh ke bawah kaki mereka; gajah-gajah itu memijak kepalanya dan membuatnya menjadi hancur berkeping-keping. Demikianlah Sabbadatha mati di sana.
Dan gajah-gajah yang mendengar auman singa tersebut, karena takut mati, menjadi saling melukai dan akhirnya mereka semua mati juga di sana. Sisa rombongannya, para rusa dan babi, berikut kelinci dan kucing, serta hewan berkaki empat lainnya juga mati dengan cara demikian di sana, yang tersisa adalah para singa. Singa-singa itu berlari menyelamatkan diri ke dalam hutan. Terdapat tumpukan bangkai yang menutupi tanah seluas dua belas yojana.
Bodhisatta turun dari menara dan meminta pengawal untuk membuka gerbang. Dengan tabuhan genderang, dia membuat pengumuman ke seluruh pelosok: “Lepaskanlah penutup telinga kalian. Bagi yang ingin mendapatkan daging, silakan ambil!” Orang-orang memakan daging apa saja yang bisa dimakan, sisanya mereka keringkan dan awetkan.
Pada waktu itulah, menurut tradisinya, pertama kalinya orang-orang mengeringkan daging.


Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru, Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya, mempertautkan kisah kelahiran mereka dalam bait berikut:—
Seperti serigala, yang bangga dalam kebesarannya,
mendapatkan rombongan besar di sisinya,
semua makhluk bertanduk mengikutinya,
mengelilinginya, sehingga dia mendapatkan ketenaran:
Demikianlah orang yang dikelilingi oleh
begitu banyak pengikut di setiap sisinya,
dia memiliki ketenaran yang besar, sama seperti
yang dimiliki oleh serigala di masa kejayaannya.
[246] “Pada masa itu, Devadatta adalah serigala, Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah pendeta kerajaan.”

Catatan kaki :
160 Folk-Lore Journal, IV. 60.
161 Seekor gajah dilepaskan olehnya dengan tujuan untuk menghabisi Sang Buddha, tetapi yang terjadi adalah gajah tersebut akhirnya memberikan penghormatan kepada Beliau: Cullavagga, VII. 3. 11 (S.B.E., Vinaya Texts, III. 247); Hardy, Manual of Buddhism, hal. 820; Milindapañha IV. 4. 30 (S.B.E., I. 288).
162 pathavījayamanta.
163 Teks Pali tertulis māsapiṭṭha, yang diterjemahkan ke dalam teks Inggris menjadi flour. Pali-English Dictionary (PED), by Rhys Davids, mengartikan kata ini sebagai what is ground, grindings, crushed seeds, flour.