Sabtu, 01 September 2012

SUṀSUMĀRA-JĀTAKA

“Jambu, nangka,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana, tentang usaha-usaha Devadatta untuk membunuh-Nya117.
Ketika mendengar usaha-usaha ini, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Devadatta mencoba untuk membunuh-Ku, tetapi dia melakukan hal yang sama sebelumnya, dan bahkan tidak berhasil membuat-Ku takut.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di kaki Gunung Himalaya sebagai seekor kera. Dia tumbuh kuat dan tegap, berbadan besar, makmur, dan tinggal di tikungan Sungai Gangga di dalam hutan yang angker.
Pada masa itu terdapat seekor buaya yang hidup di Sungai Gangga. Istri buaya tersebut melihat badan kera yang besar itu, [159] dan memiliki keinginan untuk memakan jantungnya. Jadi dia berkata kepada suaminya, “Suamiku, saya ingin untuk memakan jantung raja kera yang besar itu!” “Istriku,” kata buaya, “saya hidup di air dan dia hidup di darat: bagaimana kita bisa menangkapnya?” “Bagaimanapun caranya,” jawabnya, “dia harus bisa ditangkap. Jika saya tidak mendapatkannya, saya akan mati.” “Baiklah,” jawab buaya, menghiburnya, “jangan menyakiti dirimu sendiri. Saya mempunyai sebuah rencana; saya akan memberikan jantungnya kepadamu untuk dimakan.”
Maka ketika Bodhisatta duduk di tepi Sungai Gangga, setelah meminum air, buaya menghampirinya dan berkata: “Kera, mengapa Anda hidup dengan memakan buah-buahan jelek di tempat tua ini? Di sisi lain dari Sungai Gangga terdapat pohon mangga dan pohon sukun 118 yang tak terhingga banyaknya, dengan buah yang semanis madu. Apakah tidak lebih baik untuk pergi ke seberang dan memakan semua buah itu?” “Raja Buaya,” jawab kera, “Sungai Gangga ini dalam dan lebar. Bagaimanakah saya menyeberanginya?”
“Jika kamu ingin pergi, saya akan membawamu di atas punggungku dan menyeberangkanmu.” Sang kera memercayainya dan menyetujuinya. “Ke sinilah, kalau begitu,” kata buaya, “naiklah ke punggungku!” dan demikianlah kera naik ke punggungnya. Tetapi ketika telah berenang sedikit jauh, buaya menceburkan kera itu ke dalam air. “Teman, kamu membuatku tenggelam!” teriak kera, “Ada apa ini?” Buaya berkata, “Kamu pikir saya akan membawamu ke tempat yang bagus? Jangan harap! Istriku menginginkan jantungmu dan saya hendak memberikan kepadanya untuk dimakan.”
“Teman,” kata kera, “kamu baik sekali mau memberitahukannya kepada saya. Jika jantung kami berada di dalam tubuh, maka ketika kami melompat di antara puncak pepohonan, itu akan menyebabkannya hancur berkeping-keping”
“Kalau begitu, di manakah kamu menyimpannya?” tanya buaya. Bodhisatta menunjuk ke sebuah pohon elo yang ditumbuhi oleh banyak buah ranum, berada tidak jauh dari sana. “Lihat,” katanya, “di sana jantung kami tergantung di atas pohon elo itu.” [160] “Jika kamu menunjukkan jantungmu kepadaku,” kata buaya, “maka saya tidak akan membunuhmu.” “Bawalah saya ke pohon itu, kalau begitu, dan saya akan menunjukkannya kepadamu dengan bergelantung di atasnya.”
Buaya membawanya ke tempat itu. Kera melompat dari punggungnya dan memanjat ke pohon elo itu, kemudian duduk di atasnya. “Wahai Buaya Dungu!” katanya, “kamu pikir ada makhluk yang menyimpan jantungnya di puncak pohon! Kamu sangat bodoh dan saya telah memperdayamu! Kamu boleh mengambil buah-buah ini. Badanmu besar, tetapi kamu tidak memiliki akal.” Dan kemudian untuk menjelaskan maksudnya ini, dia mengucapkan bait-bait berikut:—
Jambu, nangka, dan mangga di seberang sungai sana kulihat;
Cukuplah, saya tidak menginginkannya;
buah pohon elo sudah cukup baik untukku!
Badanmu besar, sungguh, tetapi akal pikiranmu kecil!
Sekarang pergilah, buaya, saya telah mendapatkan yang terbaik.
Buaya merasa sedih dan sengsara seperti telah kehilangan ribuan keping uang, pulang kembali dengan ratapan ke kediamannya.


Ketika mengakhiri uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah buaya, Ciñcā adalah istrinya, dan Aku adalah sang kera.”

Catatan kaki :
116 Bandingkan Markaṭa-jātaka, Mahāvastu ii. 208; Cariyā-Piṭaka, iii. 7; Morris, Contemp. Rev. vol. 39, mengutip Griffis, Japanese Fairy World, hal. 153. Seekor kera memperdaya seekor buaya di No. 57, di atas.
Berikut ini yang adalah versi lain, dari Russia (Wilayah Moskow) yang mungkin berhubungan. Ini diberikan oleh I. Nestor Schnurmann, yang mendengarnya dari perawatnya (sekitar tahun 1860).—Dahulu kala, raja ikan menginginkan kebijaksanaan. Penasihatnya mengatakan kepadanya bahwa bila dia bisa mendapatkan jantung rubah, maka dia akan menjadi bijaksana. Maka dia mengirim pengawalnya, terdiri dari hewan laut terkemuka nan hebat, ikan paus dan yang lainnya. “Raja kita menginginkan nasihat dari kalian tentang beberapa urusan pemerintahan.” Rubah, yang tergoda, pun menyetujui. Seekor ikan paus membawanya di atas punggungnya. Di dalam perjalanan ombak menghantamnya; akhirnya dia menanyakan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Mereka mengatakan apa yang raja inginkan adalah memakan jantungnya, dengan begitu dia berharap untuk menjadi bijak. Dia berkata, “Mengapa kalian tidak memberitahukanku sebelumnya? Saya akan dengan senang hati mengorbankan hidupku untuk sesuatu yang berguna seperti ini. Tetapi kami, para rubah, selalu meninggalkan jantung kami di rumah. Bawalah saya pulang kembali dan saya akan mengambilkannya. Kalau tidak, saya yakin raja kalian akan marah.” Jadi mereka pun membawanya pulang. Segera setelah dia mendekati pantai, dia melompat ke daratan dan berteriak, “Ah betapa bodohnya kalian! Apakah kalian pernah mendengar seekor hewan tidak membawa jantungnya bersamanya?” dan berlari pergi. Ikan-ikan itu terpaksa pulang dengan tangan kosong.
117 Usaha-usaha Devadatta ini dan bagaimana semuanya gagal, dikemukakan di dalam Cullavagga, VII. iii. 6 foll., terjemahan di dalam S. B. E., Vinaya Texts, iii. 243 f.
118 Artocarpus Lacucha (Childers).

Tidak ada komentar: