Minggu, 03 Maret 2013

PADUMA-JĀTAKA

“Potong, potong dan potong lagi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang beberapa bhikkhu yang memberikan persembahan berupa untaian bunga untuk melakukan puja di bawah pohon Ānanda.
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Kāliṅga-Bodhi-Jātaka223. Pohon ini disebut pohon Ānanda karena Ānanda-lah yang menanamnya. Seluruh Jambudīpa (India) mengetahui bagaimana sang thera menanam pohon ini di depan gerbang Wihara Jetavana.
Beberapa bhikkhu yang tinggal di sana berpikir untuk memberikan persembahan di pohon Ānanda. Mereka pun melakukan perjalanan menuju Jetavana, memberikan salam hormat kepada Sang Guru, dan keesokan harinya langsung menuju ke Sāvatthi, ke pasar bunga teratai, tetapi tak satu pun untaian bunga mereka dapatkan.
Mereka memberitahukan ini kepada Ānanda, tentang bagaimana mereka berkeinginan untuk memberikan persembahan kepada pohon tersebut, tetapi tidak mendapatkan satu untaian bunga pun di pasar bunga teratai. Sang thera kemudian mengatakan akan membawakan beberapa untaian bunga untuk mereka.
Maka dia pun pergi ke pasar bunga, dan kembali dengan banyak untaian bunga teratai biru, yang kemudian diberikan kepada bhikkhu-bhikkhu tersebut.  Dengan bunga-bunga itu, mereka pun melakukan puja, memberikan persembahan kepada pohon tersebut.
Ketika para bhikkhu mendengar kabar ini, mereka mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, beberapa bhikkhu yang memiliki sedikit jasa kebajikan tidak mampu mendapatkan satu untaian bunga pun di pasar bunga, sedangkan sang thera pergi dan mendapatkan untaian-untaian bunga yang kemudian diberikan kepada mereka.”
Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, [322] “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya seorang yang memiliki lidah yang pintar mendapatkan untaian bunga atas ucapannya yang pintar, tetapi ini juga telah terjadi sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang saudagar kaya. Di dalam kota tersebut terdapat sebuah kolam, yang di dalamnya ditumbuhi oleh teratai-teratai yang bermekaran. Seorang laki-laki yang telah kehilangan hidungnya, menjaga kolam tersebut.
Suatu hari, suatu perayaan diumumkan di Benares, dan ketiga putra dari saudagar kaya tersebut berpikir untuk mengenakan untaian bunga di kepala mereka dan pergi bersenang-senang. “Kita akan pura-pura memuji orang yang tak berhidung itu, kemudian meminta beberapa untaian bunga darinya.” Mereka pun pergi ke kolam tersebut. Ketika sang penjaga hendak memetik bunga-bunga teratai, mereka menunggu, kemudian salah satu dari mereka mengucapkan bait pertama berikut:
Potong, potong dan potong lagi,
rambut dan kumis akan tumbuh kembali;
Demikian juga hidungmu, akan tumbuh seperti ini.
Berikanlah satu teratai kepada diriku ini.
Penjaga tersebut menjadi marah dan tidak memberikan apa-apa kepadanya. Kemudian yang kedua mengucapkan bait kedua berikut:
Pada musim gugur, benih ditabur
yang kemudian akan tumbuh membesar;
Semoga demikian juga halnya dengan hidungmu.
Berikanlah satu teratai kepada diriku ini.
Lagi-lagi penjaga tersebut menjadi marah dan tidak memberikan apa-apa kepadanya juga. Kemudian yang ketiga mengucapkan bait ketiga berikut:
Orang-orang dungu yang omong kosong,
berpikir mereka dapat memperoleh bunga teratai dengan cara ini.
Baik mereka mengatakan iya maupun mereka mengatakan tidak,
hidung yang terpotong tidak akan tumbuh kembali.
Lihatlah, saya meminta kepadamu dengan jujur:
Berikanlah satu teratai kepadaku.
[322] Ketika mendengar ini, penjaga tersebut berkata, “Kedua orang tersebut berbohong, sedangkan Anda mengatakan yang sebenarnya. Anda berhak mendapatkan beberapa bunga teratai.” Maka dia pun memberikan kepadanya bunga-bunga teratai yang banyak, dan kemudian kembali ke danaunya.


Ketika uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Anak yang mendapatkan bunga teratai itu adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
223 Jātaka Vol. IV. No. 479.

Tidak ada komentar: