Sabtu, 11 Agustus 2012

ASADISA-JĀTAKA

“Pangeran Asadisa, ahli dalam seni memanah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana, tentang pelepasan agung.
Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, Tathāgata melakukan pelepasan agung: di kehidupan-kehidupan sebelumnya Beliau juga melepaskan payung putih kerajaan dan melakukan hal yang sama.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


[87] Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dikandung sebagai putra dari permaisurinya. Permaisuri melahirkan dengan selamat. Dan pada hari pemberian nama, mereka memberinya nama Asadisa (Pangeran Tiada Tara). Pada saat dia mulai bisa berjalan, permaisuri mengandung satu bayi lagi yang juga bakal menjadi orang bijaksana. Dia melahirkan dengan selamat, dan pada hari penamaan mereka memberinya nama Brahmadatta (Pangeran Karunia Brahma).
Ketika Asadisa berumur enam belas tahun, dia pergi ke Takkasilā untuk memperoleh pendidikannya. Di sana di bawah bimbingan seorang guru yang termasyhur, dia mempelajari tiga kitab Weda dan delapan belas keahlian; dalam seni memanah dia tidak ada bandingannya; kemudian dia kembali ke Benares.
Pada saat akan meninggal dunia, raja menurunkan titah bahwa Asadisa harus menjadi raja sebagai penggantinya, dan Brahmadatta sebagai wakil raja. Kemudian raja meninggal dunia; setelah itu takhta kerajaan diwariskan kepada Asadisa, tetapi ditolak olehnya dengan mengatakan bahwa dia tidak menginginkannya. Maka mereka menahbiskan Brahmadatta sebagai raja dengan upacara pemercikan. Asadisa tidak memedulikan kejayaan dan tidak menginginkan apa-apa.
Saat adiknya memerintah, Asadisa tinggal di dalam segala kebesaran kerajaan. Para pelayan datang dan memfitnah dirinya di hadapan adiknya, “Asadisa ingin menjadi raja!” kata mereka. Brahmadatta memercayai mereka dan membiarkan dirinya ditipu; dia mengirimkan beberapa orang untuk menawan Asadisa.
Salah satu pelayan Asadisa menceritakan kepadanya apa yang terjadi. Dia menjadi marah kepada adiknya dan pergi ke kerajaan lain. Ketika tiba di sana, dia mengabarkan pesan kepada raja bahwa seorang pemanah telah datang dan menunggunya. “Berapa bayaran yang dimintanya?” tanya raja. “Seratus ribu per tahun.” “Baik,” kata raja, “biarkan dia masuk.”
Asadisa pun menghadap dan berdiri menunggu. “Apakah Anda pemanah itu?” tanya raja. “Ya, Paduka.” “Bagus sekali, saya menerimamu bekerja untukku.” Setelah itu, Asadisa bekerja melayani raja. [88] Tetapi para pemanah lama merasa jengkel dengan bayaran yang diberikan kepadanya; “Terlalu banyak,” keluh mereka.
Suatu hari, raja keluar ke tamannya. Di sana, di bawah pohon mangga, tempat sehelai kain (tirai) telah diletakkan di papan batu, dia duduk di atas sebuah dipan yang sangat bagus. Dia kebetulan memandang ke atas, dan di sana tepat di atas puncak pohon dia melihat kerumunan buah mangga. “Itu terlalu tinggi untuk dapat dipanjat,” pikirnya. Maka setelah memanggil pemanahnya, dia menanyakan kepada mereka apakah mereka mampu memotong kerumunan tersebut dengan panah dan menurunkan untuknya. “Oh,” kata mereka, “tidak terlalu sulit untuk kami lakukan itu. Akan tetapi, Paduka telah cukup (sering) melihat keahlian kami. Pendatang baru itu dibayar jauh lebih banyak daripada kami, mungkin Anda bisa memintanya untuk menurunkan kerumunan buah tersebut.”
Kemudian raja memanggil Asadisa dan menanyakan apakah dia sanggup melakukannya. “Oh tentu, Paduka, jika saya boleh memilih posisi saya.” “Posisi mana yang Anda inginkan?” “Tempat di mana tempat duduk Anda berada.” Raja lalu meminta tempat duduk itu digeser dan memberikan tempat itu kepadanya.
Asadisa tidak membawa busur di tangannya; dia biasanya membawanya di dalam pakaiannya; maka dia memerlukan sehelai kain (tirai). Raja memerintahkan untuk membawakan dan membentangkan kain tersebut untuknya dan pemanah tersebut masuk ke dalamnya. Dia menanggalkan pakaian putih yang dipakainya dan mengenakan sehelai pakaian merah di kulitnya; kemudian dia mengencangkan sabuknya dan mengenakan sebuah kain pinggang merah. Dari sebuah tas, dia mengeluarkan sebuah pedang yang terpisah berkeping-keping, yang disatukannya dan dililit pada bagian kirinya. Berikutnya dia mengenakan baju perisai emas, mengikat sarung anak panah di punggungnya dan mengeluarkan busurnya yang bagus, yang terdiri dari bagian-bagian, yang disatukannya bersama, memasang tali busur, merah seperti batu karang; mengikat alas kain di kepalanya; memutar-mutar anak panah dengan kukunya. Dia membuka kain itu dan keluar, terlihat seperti seorang pangeran ular yang muncul dari tanah yang terbelah. Dia pergi ke tempat memanah itu, anak panah dipasang di busur dan kemudian bertanya kepada raja. “Paduka,” katanya, “apakah saya harus menurunkan buah ini dengan satu tembakan ke atas, [89] atau dengan menjatuhkan anak panah di atasnya?” “Anakku,” kata raja, “saya sering melihat sasaran yang diturunkan dengan tembakan ke atas, tetapi tidak pernah ada yang diambil dengan dijatuhkan dari bagian atasnya. Anda lebih baik membuat anak panah jatuh di atasnya.”
“Paduka,” jawab pemanah itu, “anak panah ini akan terbang tinggi, sampai ke Alam Cātumahārājika dan kemudian kembali sendiri. Anda harus bersabar sampai dia kembali.” Raja pun berjanji (untuk bersabar). Kemudian pemanah itu berkata lagi, “Paduka, panah ini pada saat tembakan ke atas akan menusuk tangkai tepat di tengah; dan ketika dia turun, dia tidak akan belok sehelai rambut pun ke arah lain, tetapi akan kena tepat ke titik yang sama, dan membawa turun tandan buah itu bersamanya.” Kemudian dia menembakkan panah itu dengan cepat. Ketika panah itu naik, dia menusuk tepat di tengah tangkai mangga tersebut. Saat pemanah tersebut mengetahui panahnya telah mencapai Alam Cātumahārājika, dia menembakkan panah yang lain dengan kecepatan yang lebih cepat daripada yang pertama. Yang ini mengenai bulu dari panah pertama, dan memutarnya kembali; kemudian anak panah itu sendiri terbang setinggi Alam Tāvatiṁsā. Di sana para dewa menangkap dan menyimpannya.
Suara dari panah yang mengarah turun itu membelah langit seperti suara halilintar. “Suara apakah itu?” tanya setiap orang. “Itu adalah suara panah yang sedang mengarah turun,” jawab pemanah tersebut. Para penonton semuanya ketakutan setengah mati, takut kalau panah jatuh mengenai mereka, tetapi Asadisa menenangkan mereka. “Tidak usah takut,” katanya, “saya akan pastikan panah itu tidak akan jatuh ke tanah.” Turunlah anak panah itu, tidak berbelok sehelai rambut pun, tetapi dengan mulus menembusi tangkai tandan buah mangga tersebut. Pemanah tersebut menangkap anak panah itu dengan satu tangannya dan buah di tangan yang satunya lagi, jadi keduanya tidak jatuh ke tanah. “Saya tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya!” teriak para penonton, terhadap kejadian luar biasa ini. [90] Betapa (luar biasanya) mereka memuji orang hebat ini! Betapa mereka berseru dan bertepuk tangan dan menjentikkan jari-jari mereka, ribuan sapu tangan melambai-lambai di udara! Dalam kegembiraan dan kesenangan mereka, orang-orang istana memberikan hadiah kepada Asadisa yang berjumlah uang sepuluh juta. Dan raja juga menghujani dirinya dengan hadiah-hadiah dan kehormatan-kehormatan terhadapnya.
Di saat Bodhisatta sedang menerima kemuliaan dan kehormatan itu dari tangan raja ini, tujuh orang raja yang tahu bahwasanya tidak ada Asadisa di Benares, mendatangkan pasukan gabungan mengepung kerajaan dan meminta raja untuk bertempur atau menyerah. Raja menjadi sangat ketakutan. “Di mana kakakku?” tanyanya. “Dia bekerja melayani seorang raja tetangga,” jawaban yang terdengar. “Jika kakakku tidak datang,” katanya, “saya akan menjadi orang mati. Pergi, berlututlah kepadanya atas namaku, penuhilah tuntutannya, bawalah dia ke sini!” Utusannya datang dan melakukan apa yang dipesankannya. Asadisa memohon diri kepada rajanya dan kembali ke Benares. Dia menenangkan adiknya dan memintanya untuk tidak takut; kemudian menggores 71 sebuah pesan di panahnya dengan tulisan: “Saya, Asadisa, telah kembali. Saya bertekad untuk membunuh kalian semua dengan satu panah yang akan saya tembakkan kepada kalian. Bagi mereka yang masih mau hidup, silakan pergi.” Panah ini ditembakkannya sedemikian rupa sehingga jatuh di tengah piring emas, tempat ketujuh raja tersebut sedang makan bersama. Ketika membaca tulisan itu, semuanya berlarian, takut setengah mati.
Demikianlah pangeran tersebut mengusir ketujuh raja itu, tanpa menitikkan darah setetes pun, yang bisa diminum oleh seekor lalat kecil; Kemudian, memandang adiknya, dia meninggalkan kesenangan indriawi dan melepaskan keduniawian, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, yang pada akhir hidupnya dia terlahir di alam brahma.


[91] “Dan demikianlah caranya”, kata Sang Guru, “Asadisa menaklukkan ketujuh raja dan memenangkan pertempuran; setelah itu, dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa.” Kemudian dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengucapkan dua bait berikut:
Pangeran Asadisa, ahli dalam seni memanah,
seorang pemimpin yang gagah berani;
Cepat bagaikan kilat anak panahnya
sebagai pembawa kehancuran bagi prajurit tangguh.
Di antara musuhnya yang telah membawa malapetaka,
dia bahkan tidak melukai mereka satu pun;
Dia menolong adiknya, dan memenangkan
kejayaan dari pengendalian diri.
[92] Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Ānanda adalah sang adik, dan Aku sendiri adalah sang kakak.”

Catatan kaki :
70 Hardy, Manual of Buddhism, 114. Bagian akhir dari kisah tersebut diberikan dengan sangat singkat di Mahāvastu, 2. 82-3, Çarakṣepana Jātaka. Digambarkan di Bharhut Stupa, lihat Cunningham, hal. 70, dan plate XXVII. 13; dan di Sauchi Tope, lih. Fergusson, Tree and Serpent Worship, pl. XXXVI. hal. 181.
71 Di Mahāvastu, tulisan ini dibalut di sekelilingnya (2. hal 82. 14, pariveṭhitvā); demikian juga di Hardy.

Tidak ada komentar: