Sabtu, 11 Agustus 2012

KACCHAPA-JĀTAKA

“Di sini saya dilahirkan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang bagaimana seseorang sembuh dari suatu wabah penyakit59.
Diceritakan bahwasanya suatu ketika suatu wabah penyakit tiba-tiba menjangkiti sebuah keluarga di Sāvatthi. Orang tua di dalam keluarga tersebut berkata kepada putra mereka, “Jangan tinggal di rumah ini, Anakku, buatlah lubang di dinding dan larilah ke tempat yang lain, dan selamatkan nyawamu60. Setelah beberapa lama barulah kembali—harta karun akan ditimbun di sini, gali dan pulihkanlah kembali kemakmuran keluarga, dan semoga kehidupanmu bahagia!” Anak muda itu melakukan seperti apa yang diberitahukan kepadanya, dia menghancurkan dinding dan melarikan diri. Ketika wabahnya telah reda, dia pun pulang kembali dan menggali harta karun itu, yang digunakannya untuk membangun kehidupan keluarganya.
Pada suatu hari, dengan membawa banyak mentega, wijen, kain dan pakaian, serta persembahan lainnya, dia berkunjung ke Jetavana dan memberi salam hormat kepada Sang Guru, kemudian mengambil tempat duduknya. Sang Guru memulai percakapan dengannya. “Kami mendengar,” kata Beliau, “bahwa rumahmu terjangkit wabah penyakit. Bagaimana caranya Anda menyelamatkan diri?” Dia memberitahukan semuanya kepada Sang Guru.
Beliau berkata, “Di masa lampau, seperti sekarang ini, Upasaka, ketika bahaya muncul, ada orang yang terlalu melekat pada rumahnya untuk ditinggalkan dan mereka binasa di sana; sedangkan orang yang tidak melekat dan pergi ke tempat yang lain, nyawa mereka terselamatkan.”
Dan kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di sebuah desa sebagai putra dari seorang kundi61. Dia menjalankan usaha dagang tembikar, menghidupi istri dan keluarganya.
Kala itu terdapat sebuah danau alami yang besar dekat dengan sungai besar di Benares. Ketika airnya banyak, sungai dan danau menjadi satu, tetapi ketika airnya sedikit, [80] mereka menjadi terpisah. Ikan-ikan dan kura-kura tahu dari naluri mereka kapan terjadinya musim hujan dan kapan terjadinya musim kemarau.
Pada suatu ketika, ikan-ikan dan kura-kura yang tinggal di danau tersebut mengetahui bahwa akan terjadi kekeringan. Maka ketika dua aliran air tersebut menyatu, mereka pun berenang keluar dari danau menuju ke sungai. Akan tetapi ada seekor kura-kura yang tidak mau pindah ke sungai, karena katanya, “Di sini saya lahir, di sini saya tumbuh dewasa, dan di sini adalah rumah orang tuaku. Saya tidak bisa meninggalkannya!”
Di saat musim kemarau datang, semua air (di danau) menjadi kering. Dia menggali sebuah lubang dan mengubur dirinya sendiri di dalam, persis di tempat Bodhisatta sering datang untuk mengambil tanah liat. Kemudian Bodhisatta datang ke sana untuk mengambil tanah liat, dengan sekop yang besar dia mengali ke bawah, sampai dia memecahkan cangkang kura-kura, mengeluarkannya dari dalam tanah seakan-akan dia adalah sebongkah tanah liat yang besar.
Dalam kesakitannya makhluk itu berpikir, “Disini saya sedang sekarat, semuanya karena saya terlalu melekat kepada tempat tinggalku sehingga tidak bisa kutinggalkan!” Dan di dalam kata-kata dalam bait ini, dia merintih:
Di sini saya dilahirkan, dan di sinilah saya tinggal;
tempat berlindungku adalah tanah liat.
Dan sekarang tanah liat ini memperdayaku
dengan cara yang paling kejam;
Anda, Anda saya panggil, Oh Bhaggava62;
dengarlah apa yang akan saya katakan!
Pergilah ke mana Anda dapat menemukan kebahagiaan,
ke mana pun tempat itu berada;
Hutan atau desa, di sana mereka yang bijak
melihat rumah dan tempat lahir mereka;
Pergilah ke mana kehidupan itu ada;
jangan tinggal di rumah untuk menanti kematian menguasaimu.
[81] Kemudian dia terus-menerus berbicara kepada Bodhisatta, hingga dia meninggal. Bodhisatta membawanya dan mengumpulkan semua penduduk desa dan kemudian berkata, “Lihatlah kura-kura ini. Ketika ikan-ikan dan kura-kura yang lain pergi ke sungai yang besar, dia terlalu mencintai rumahnya untuk pergi bersama mereka, menguburkan dirinya sendiri di tempat saya mengambil tanah liat. Kemudian ketika saya sedang menggali tanah liat, cangkangnya rusak oleh sekop besar saya, dan saya mengeluarkannya ke atas tanah dengan anggapan bahwa dia adalah sebuah bongkahan tanah liat yang besar. Kemudian dia mengingatkan tentang apa yang telah dia lakukan, meratapi dirinya dalam dua bait kalimat dan mati. Maka kalian melihat dia menemui ajalnya karena terlalu melekat kepada rumahnya. Jagalah diri kalian agar tidak seperti kura-kura ini. Janganlah berkata pada diri sendiri, ‘Saya memiliki penglihatan, saya memiliki penciuman, saya memiliki pengecap, saya memiliki sentuhan, saya memiliki seorang putra, saya memiliki seorang putri, saya memiliki sekumpulan anak buah dan pembantu yang melayani saya, saya memiliki emas berharga’, janganlah terikat kepada semua ini dengan nafsu keinginan. Setiap makhluk melewati tiga alam keberadaan 63 .”
Demikian dia menasihati orang banyak tersebut dengan gaya seorang Buddha. Wejangan ini tersebar di seluruh Jambudīpa (India), dan selama tujuh ribu tahun, wejangan ini tetap diingat. Semua penduduk desa menjalankan nasihatnya, memberi derma dan melakukan kebajikan lainnya hingga akhirnya masuk ke alam surga.

Setelah mengakhirinya, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir dari kebenaran, anak muda tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, Ānanda adalah kura-kura tersebut, dan tukang kundi adalah diri-Ku sendiri.”

Catatan kaki :
59 ahivātaroga; muncul pada Komentar di dalam Therīgāthā (P.T.S. 1893), hal. 120, baris ke-20, tetapi tidak ada tanda tentang arti yang diberikan. Di dalam PED, ahivātaka(-roga), disebutkan sebagai salah satu nama penyakit, yang secara harfiah diartikan “penyakit napasular (snake-wind-sickness). Di dalam DPPN hal. 480, disebutkan bahwasanya di dalam Kacchapa-Jātaka ini terdapat suatu wabah penyakit.
60 Patut diperhatikan bahwa cara ini digunakan untuk memperdaya roh penyakit seperti halnya memperdaya roh orang yang telah meninggal, yang mungkin menjaga bagian pintu, tetapi tidak menjaga bagian dari rumah yang bukan merupakan jalan keluar.
61 KBBI: kundi (2): pengrajin barang yang terbuat dari tanah liat.
62 “menyapa si tukang kundi.” Kata ini berbeda dengan Bhagavā, yang merupakan salah sebutan bagi Sang Buddha. Di dalam PED, kata ini dituliskan berasal dari bhṛgu & bhargaḥ, yang kemudian disebutkan juga memiliki bentuk akar kata yang sama dengan bahasa Latin, yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang “bersinar, bercahaya, cerah.”
63 Kāma-loka, Rūpa-loka, Arūpa-loka.

Tidak ada komentar: