Minggu, 19 Agustus 2012

BANDHANĀGĀRA-JĀTAKA

[139] “Bukan belenggu-belenggu besi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang rumah tahanan.
Kala itu diceritakan terdapat sekelompok pencuri, perampok dan pembunuh yang tertangkap dan dibawa secara paksa ke hadapan Raja Kosala. Sang raja memerintahkan untuk mengikat mereka dengan rantai-rantai, tali-tali, dan belenggu-belenggu.
Tiga puluh bhikkhu desa, yang berniat untuk menjumpai Sang Guru, datang untuk menjenguk-Nya dan memberikan salam hormat mereka. Keesokan harinya, sewaktu sedang berpindapata, mereka melewati rumah tahanan itu dan melihat orang-orang jahat tersebut.
Pada sore harinya, sekembalinya dari berkeliling, mereka menghampiri Sang Buddha. “Bhante,” kata mereka, “hari ini, ketika sedang berpindapata, kami melihat di dalam rumah tahanan terdapat sejumlah penjahat yang terikat ketat oleh rantai-rantai dan belenggu-belenggu, berada dalam keadaaan yang sangat menderita. Mereka tidak dapat memutuskan belenggu-belenggu tersebut dan melarikan diri. Adakah belenggu yang lebih kuat dari yang belenggu-belenggu ini?”
Sang Guru membalas, “Para Bhikkhu, benar bahwasanya itu adalah belenggu. Akan tetapi, belenggu yang terdiri dari nafsu terhadap kekayaaan, hasil panen, putra, istri dan anak, lebih kuat dari itu seratus kali lipat, bahkan seribu kali lipat. Walaupun belenggu-belenggu itu sulit untuk dilepaskan, tetapi mereka berhasil diputuskan oleh orang bijak di masa lampau, yang pergi ke Himalaya dan menjadi petapa.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah Benares, Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga yang miskin. Ketika dia tumbuh dewasa, ayahnya meninggal. Dia mencari nafkah dan menghidupi ibunya. Ibunya, bertentangan dengan kehendaknya, membawakan seorang istri ke rumah untuknya dan segera setelah itu dia meninggal.
Istrinya kemudian mengandung. Tanpa mengetahui bahwa istrinya telah mengandung, dia berkata kepada istrinya, “Istriku, Anda harus menghidupi dirimu sendiri sekarang, saya akan meninggalkan keduniawian.” Kemudian istrinya berkata, “Tidak, karena saya sedang mengandung. [140] Tunggu dan lihatlah anak tersebut lahir dan baru setelah itu pergi dan jadilah petapa.”
Mendengar perkataan ini, dia pun menyetujuinya. Kemudian setelah istrinya melahirkan, dia berkata, “Istriku, sekarang Anda telah melahirkan dengan selamat, dan saya harus menjadi petapa.” “Tunggulah,” kata istrinya, “sampai anak ini berhenti menyusu.” Dan setelah itu, istrinya mengandung lagi.
“Jika saya (selalu) menyetujui permintaannya,“ pikir Bodhisatta, “saya tidak akan pernah bisa pergi. Saya akan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun kepadanya, dan menjadi seorang petapa.” Maka dari itu, dia tidak mengatakan apa pun kepadanya, bangun pada malam hari dan pergi. Para penjaga kota menahannya. “Saya mempunyai seorang ibu untuk dijaga,” katanya—“biarkan saya pergi!”
Demikian dia membuat mereka melepaskannya pergi, dan setelah berdiam di suatu tempat, dia melewati gerbang utama dan menuju ke Himalaya, tempat dia tinggal sebagai seorang petapa; dia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi dalam dirinya di saat dia tinggal dalam kebahagiaan meditasinya.
Ketika tinggal di sana, dia merasa bahagia dan berkata—“Ikatan dari istri dan anak, ikatan dari hawa nafsu, yang sangat susah untuk diputuskan, telah terputus!” dan dia mengulangi bait berikut:—
Bukan belenggu-belenggu besi—yang dikatakan oleh para bijak—
bukan tali-tali atau tiang-tiang kayu, yang mampu mengikat
sekuat hawa nafsu dan cinta terhadap anak atau istri,
terhadap batu permata dan batangan emas.
Belenggu-belenggu yang kuat ini siapakah di sana
yang bisa menemukan pembebasan dari semua ini?—
Ini semua adalah belenggu-belenggu yang mengikat:
Jikalau yang bijak dapat memutuskannya,
maka mereka akan bebas, melepaskan semua cinta dan hawa nafsu!”
[141] Dan Bodhisatta, setelah mengutarakan tekad ini, tanpa terputus dalam meditasi (jhana), akhirnya mencapai alam brahma.


Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran: Di akhir kesimpulan dari kebenaran-kebenaran, sebagian mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi sebagian mencapai tingkat kesucian Anāgāmi dan sebagian mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Dalam kisah tersebut, Mahāmāyā adalah sang ibu, Raja Suddhodana adalah sang ayah, Ibunya Rāhula adalah sang istri, Rāhula sendiri adalah sang anak, dan Aku adalah orang yang meninggalkan keluarganya dan menjadi seorang petapa.”

Tidak ada komentar: