Jumat, 13 April 2012

ASĀTAMANTA-JĀTAKA

[285] “Dalam hasrat yang tidak terkendali,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang menyesal dikarenakan nafsu indriawinya. Cerita pembukanya berhubungan dengan Ummadanti-Jātaka109. Namun kepada bhikkhu ini Sang Guru berkata, “Wanita, Bhikkhu, adalah makhluk yang penuh nafsu, tidak bermoral, keji dan hina. Mengapa engkau menyesal dikarenakan nafsu terhadap wanita yang keji?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di Kota Takkasilā di Negeri Gandhāra. Setelah dewasa, hal-hal seperti keahliannya dalam Tiga Weda dan semua pencapaiannya, membuat ketenarannya sebagai seorang guru tersebar ke seluruh dunia.
Pada masa itu terdapat sebuah keluarga brahmana di Benares, dimana seorang anak lelaki terlahir. Pada hari kelahiran anak tersebut, orang tuanya menyalakan api dan menjaga agar api tersebut tetap menyala, hingga anak tersebut berusia enam belas tahun. Kemudian mereka memberitahunya bagaimana api tersebut, yang dinyalakan pada hari kelahirannya, tidak pernah diizinkan untuk padam; mereka meminta ia untuk menentukan pilihan hidupnya. Jika ia memilih untuk memasuki alam brahma setelah meninggal nanti, ia harus membawa api tersebut masuk ke dalam hutan, di sana ia akan melepaskan semua hasratnya melalui pemujaan tanpa henti pada Raja Api. Namun, jika ia memilih kebahagiaan dengan tetap berada di rumah, mereka meminta agar ia pergi ke Takkasilā dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang sangat terkenal, dengan tujuan agar ia duduk mengurusi tanah milik mereka. “Saya pasti akan gagal dalam pemujaan terhadap Dewa Api,” kata brahmana muda itu, “Saya akan menjadi seorang tuan tanah saja.” Maka ia mohon diri pada ayah dan ibunya; dengan membawa seribu keping uang sebagai bayaran kepada gurunya, ia berangkat ke Takkasilā. Di sana ia menyelesaikan pendidikannya, setelah itu ia pulang kembali ke rumahnya.
Saat itu, orang tuanya berharap agar ia meninggalkan keduniawian dan memuja Dewa Api di dalam hutan. Karena itu ibunya, dalam keinginan untuk mengirim putranya ke dalam hutan berusaha membuat anaknya mengetahui keburukan wanita. Ia merasa yakin guru putranya yang bijaksana dan terpelajar dapat memaparkan tentang nafsu indriawi kepadanya; maka ia bertanya apakah putranya benar-benar telah menyelesaikan pendidikannya. “Benar,” jawab anak muda tersebut.
[286] “Kalau begitu, kamu pasti telah mempelajari tentang Naskah Penderitaan?” “Saya belum mempelajari hal tersebut, Bu.” “Kalau begitu, bagaimana bisa kamu katakan pendidikanmu telah selesai? Kembalilah ke sana, ke tempat gurumu berada dan kembali kemari setelah engkau mempelajari hal tersebut,” kata ibunya.
“Baik,” jawab anak muda itu, dan sekali lagi ia berangkat ke Takkasilā.
Gurunya masih mempunyai seorang ibu; — seorang wanita yang berusia seratus dua puluh tahun; — Bodhisatta menggunakan sepasang tangannya untuk memandikan, memberi makan dan merawatnya. Karena melakukan hal tersebut, ia dicemooh oleh para tetangganya, — begitu banyak yang bersungguh-sungguh mengatainya sehingga ia memutuskan untuk pergi ke hutan dan menetap di sana bersama ibunya. Karena itu, dalam hutan yang sunyi, ia mendirikan sebuah pondok di suatu tempat yang menyenangkan, dimana terdapat air dalam jumlah yang banyak. Setelah menyimpan persediaan biji-bijian, beras dan perbekalan lainnya, ia membawa ibunya ke rumah barunya dan di sana, mereka hidup dengan bahagia sambil menghabiskan hari tua ibunya.
Tidak menemukan gurunya di Takkasilā, brahmana muda itu bertanya kepada orang-orang, akhirnya ia mengetahui apa yang telah terjadi, ia pun berangkat ke hutan, dan melapor dengan penuh hormat di hadapan gurunya. “Apa yang membuat kamu kembali secepat ini, Anakku?” tanya gurunya. “Saya tidak merasa, Guru, kalau saya telah mempelajari Naskah Kesedihan saat berguru padamu,” jawab anak muda itu. “Siapa yang mengatakan bahwa engkau harus mempelajari Naskah Kesedihan ?” “Ibu saya, Guru,” jawabnya. Bodhisatta menyadari tidak pernah ada naskah seperti itu, ia menyimpulkan bahwa ibu muridnya itu pasti menginginkan anaknya mempelajari bagaimana buruknya seorang wanita. Maka ia berkata kepada anak muda tersebut hal itu bukan masalah, ia akan mengajari naskah tersebut dalam bentuk pertanyaan. “Mulai hari ini,” katanya, “engkau harus menggantikan tugasku berkenaan dengan ibuku. Dengan sepasang tanganmu, mandikan, beri makan dan jagalah dia. Saat engkau menggosok tangan, kaki, kepala dan punggungnya, berserulah dengan penuh perhatian, ‘Ah, Nyonya, jika di usia setua ini saja engkau semenarik ini, apa yang tidak engkau miliki di masa jayamu sewaktu masih muda?’. Saat engkau mencuci dan memberi wewangian pada tangan dan kakinya, pujilah kecantikan anggota tubuhnya itu. Selanjutnya, sampaikan padaku, tanpa perlu merasa malu atau menyembunyikan setiap ucapan ibu saya yang ia sampaikan kepadamu. Patuhi aku dalam hal ini, maka engkau akan menguasai naskah kesedihan; jika melanggar perintah saya, engkau tidak akan pernah mengetahui isi naskah tersebut hingga selama-lamanya.”
Patuh pada perintah gurunya, anak muda itu melakukan semua hal yang diminta untuk dilaksanakan olehnya, ia secara terus menerus memuji kecantikan wanita tua itu sehingga wanita tua itu berpikir anak muda itu telah jatuh cinta kepadanya; walaupun telah begitu buta dan jompo, nafsu indriawi berkobar di dalam dirinya [287]. Maka suatu hari ia menerobos masuk ke tempat anak muda itu dan bertanya padanya, “Apakah engkau menyukaiku?” “Benar, Nyonya,” jawab anak muda itu, “Namun guruku orang yang sangat tegas.” “Jika engkau menyukaiku,” katanya, “bunuhlah anakku!” “Bagaimana saya bisa, setelah belajar begitu banyak hal darinya, — bagaimana bisa demi nafsu indriawi, saya membunuh guru saya?” “Kalau begitu, jika engkau akan setia pada saya, saya yang akan membunuhnya sendiri.”
(Begitu penuh nafsu, keji dan hinanya seorang wanita, yang menyerah di bawah kendali nafsu indriawi, seorang wanita tua yang buruk rupa dan hati, seorang wanita setua dia, haus akan darah seorang anak yang begitu patuh kepadanya!)
Brahmana muda tersebut menceritakan semua kejadian itu kepada Bodhisatta, yang memerintahkannya untuk menyampaikan hal tersebut kepadanya. Bodhisatta mengamati masih berapa lama lagi ibunya dapat hidup. Melihat bahwa sudah takdir ibunya untuk meninggal dalam waktu yang dekat, ia berkata, “Ayo, Brahmana muda; Saya akan memberikan ujian baginya.” Ia menebang sebatang pohon ara dan membentuk sebuah sosok yang mirip dengan dirinya dengan menggunakan kayu tersebut. Kemudian ia membungkus kayu itu, kepala dan semuanya, dalam sebuah jubah dan membaringkan kayu tersebut di ranjangnya sendiri, — dengan seutas tali yang ia ikatkan pada kayu tersebut. “Sekarang pergilah untuk menemui ibu saya dengan membawa sebuah kapak,” katanya, “dan berikan benang ini padanya untuk membimbing langkahnya.”
Pergilah anak muda tersebut menemui wanita tua itu dan berkata, “Nyonya, guru sedang berbaring di kamar tidurnya; saya telah mengikat seutas benang sebagai petunjuk untuk membantumu; Ambil kapak ini dan bunuh dia jika engkau bisa.” “Kamu tidak akan meninggalkan saya, bukan?” tanya wanita tua itu. “Mengapa saya akan melakukannya?” jawab anak muda tersebut. Wanita tua tersebut mengambil kapak itu, kemudian bergerak dengan anggota tubuh yang gemetaran, mencari arah melalui benang tersebut, hingga ia merasa ia telah menyentuh anaknya. Kemudian ia melihat sebentuk kepala, dan — berpikir untuk membunuh anaknya dengan satu serangan saja — ia menjatuhkan kapak tersebut tepat di kerongkongan sosok tersebut. — Dari suara gedebuk itu, ia tahu bahwa potongan itu adalah kayu! “Apa yang sedang engkau lakukan, Bu?” tanya Bodhisatta. Diiringi pekikan karena telah dikhianati, wanita itu jatuh dan meninggal dunia. Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, sudah merupakan takdir wanita itu bahwa ia akan meninggal dalam waktu dekat, dan di bawah atap rumahnya sendiri.
Melihat ibunya telah meninggal, anaknya membakar jasadnya, dan ketika api dari tumpukan itu telah padam, ia memberikan penghormatan dengan menggunakan bunga-bunga. Bodhisatta dan brahmana muda itu duduk di ambang pintu gubuknya, ia berkata, “Anakku, tidak ada yang namanya ‘Naskah Kesedihan’. [288] Wanita merupakan perwujudan dari keburukan moral. Ketika ibumu mengirim engkau kembali kepadaku untuk mempelajari Naskah Kesedihan, tujuan ibumu yang sebenarnya adalah agar engkau belajar tentang keburukan wanita. Engkau telah melihat sendiri kejahatan ibu saya. Dari sana engkau bisa melihat betapa wanita itu dipenuhi nafsu dan juga keji.” Dengan uraian tersebut, ia mengirim anak muda itu kembali ke rumahnya.
Setelah mengucapkan perpisahan kepada gurunya, brahmana muda itu kembali ke rumahnya untuk menemui orang tuanya. Ibunya bertanya kepadanya, “Apakah sekarang kamu telah menguasai Naskah Kesedihan?”
“Sudah, Bu.”
“Dan apa,” tanya ibunya, “pilihan akhirmu? Apakah kamu akan meninggalkan keduniawian untuk memuja Raja Api, atau kamu akan memilih kehidupan berkeluarga?” “Tidak,” jawab brahmana muda itu; “Dengan mata kepalaku sendiri aku telah melihat keburukan seorang wanita; Saya tidak akan terlibat di dalamnya. Saya akan meninggalkan keduniawian.” Pendiriannya terlihat jelas dalam syair berikut ini : —
Wanita itu tidak terkendali dalam nafsu indriawi,
seperti api yang siap melahap (apa saja),
tidak terkendali dalam kemarahan.
Dengan meninggalkan nafsu indriawi,
saya akan menghentikan kelemahan ini
menemukan kedamaian dalam pertapaan.
[289] Diiringi dengan celaan terhadap kaum wanita, brahmana muda itu meninggalkan orang tuanya, dan meninggalkan keduniawian untuk menjalani hidup sebagai seorang petapa. — Dimana ia mendapatkan kedamaian yang diinginkannya, ia yakin dirinya akan memasuki alam brahma setelah meninggal dunia nantinya.

“Engkau lihat, Bhikkhu,” kata Sang Guru, “bagaimana wanita itu penuh dengan nafsu indriawi, keji dan merupakan sumber kesengsaraan.” Setelah mengumumkan keburukan wanita, Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia, pada akhir khotbah bhikkhu tersebut memenangkan phala dari tingkat kesucian Sotāpanna. Terakhir, Sang Guru mempertautkan dan  menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Kāpilāni110 adalah ibu di masa itu, Mahā-Kassapa adalah ayah-nya, Ānanda adalah siswa itu dan Saya sendiri adalah guru tersebut.”
Catatan kaki :
109 No.527
110 Sejarahnya diberikan di J.R.A.S.1893,hal 783.

Tidak ada komentar: