Dalam masyarakat terdapat bermacam-macam pengertian tentang istilah
‘cinta’ dan ‘seks’. Kadang satu pengertian berbeda atau bahkan
bertentangan sama sekali dengan pengertian yang lain. Dalam kesempatan
ini, akan diberikan pengertian tentang ‘cinta’ dan ‘seks’ menurut Agama
Buddha.
Dalam Agama Buddha, pengertian tentang istilah ‘cinta’ diuraikan secara jelas di Karaniyametta Sutta . Karaniyametta Sutta
atau kotbah Sang Buddha tentang cinta kasih ini pertama kali diajarkan
oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu yang sering diganggu mahluk halus.
Dikisahkan dalam Dhamma pada suatu masa vassa atau masa tiga
bulan musim penghujan saat para bhikkhu berada di satu tempat yang
sama, terdapat 500 bhikkhu yang tinggal di sebuah hutan. Hutan tersebut
dihuni oleh banyak mahluk halus. Para bhikkhu yang tidak tahan dengan
keberadaan mahluk halus itu kemudian menyampaikan hal ini kepada Sang
Buddha. Beliau kemudian mengajarkan kepada para bhikkhu untuk
mengembangkan cinta kasih dengan mengucapkan Karaniyametta Sutta .
Setelah para bhikkhu melaksanakan Ajaran Sang Buddha, maka mahluk
halus di hutan itu akhirnya tenang dan bahkan membantu mengkondisikan
para bhikkhu mencapai kesucian pada akhir tiga bulan musim penghujan
tersebut.
Adapun inti kotbah Sang Buddha tentang cinta kasih atau Karaniyametta Sutta
tersebut adalah upaya mengembangkan pikiran cinta kasih dengan sering
mengulang dalam batin kalimat : ‘Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia’.
Obyek pengembangan pikiran cinta kasih ini ditujukan kepada semua
mahluk yang tampak maupun mahluk tak tampak. Pemancaran pikiran cinta
kasih dilakukan sepanjang waktu yaitu ketika seseorang sedang duduk,
berjalan, berdiri, berbaring, selagi tiada lelap atau tertidur.
Berangkat dari pelaksanaan makna ‘cinta’ yang demikian, kiranya telah
jelas bahwa pengertian ‘cinta’ dalam Agama Buddha adalah memberi.
Memberikan kebahagiaan untuk mereka yang dicintai.
Pengertian cinta adalah memberikan kebahagiaan ini kiranya selaras
dengan pengertian pokok Ajaran Sang Buddha tentang Hukum Kamma atau
Hukum Sebab dan Akibat. Secara sederhana, Hukum Kamma sering dijelaskan
sebagai ‘menanam padi akan tumbuh padi’, mereka yang menanam kebajikan
akan tumbuh kebahagiaan. Jadi, dalam pengertian Hukum Kamma, umat
Buddha diajarkan untuk bersikap proaktif bukan pasif. Sebagai contoh,
ketika seseorang menderita sakit, maka ia bukan hanya menerima kondisi
tersebut sebagai buah kamma buruk yang harus dijalaninya, melainkan ia
harus berupaya melakukan banyak kebajikan dan usaha agar kamma baik
berbuah sesuai dengan harapan yaitu kesembuhan.
Demikian pula dengan cinta. Cinta dalam pengertian Buddhis juga
bukan bersifat pasif melainkan proaktif yaitu memberikan kebahagiaan
kepada mereka yang dicinta. Jadi, apabila seseorang mulai ‘menanam’
cinta, maka ia pun akan ‘memanen’ cinta dari orang yang dicintai atau
orang yang telah ia bahagiakan. Selanjutnya, ketika seseorang
mempertanyakan sebab timbulnya niat untuk membahagiakan orang yang
dicintainya, mungkin akan diperoleh jawaban bahwa orang tersebut juga
telah memberikan perhatian kepadanya. Dengan demikian, berlakulah Hukum
Sebab dan Akibat seperti yang telah diterangkan di atas.
Pengertian cinta sebagai memberi kebahagiaan memang lebih mudah
diucapkan namun tidak mudah untuk dilaksanakan. Kebanyakan orang sulit
membedakan antara cinta dan kebutuhan. Orang sering menyebutkan istilah
‘cinta’ yang sebenarnya menunjukkan bahwa ia ‘membutuhkan’ orang
tersebut. Namun, kiranya perbedaan makna cinta ini bisa diperbaiki
dengan latihan sedikit demi sedikit melalui pengucapkan kalimat ‘semoga
semua mahluk berbahagia’. Seringnya mengucapkan kalimat tersebut akan
menambah jumlah orang yang memaknai cinta adalah memberi seperti yang
disampaikan dalam Karaniyametta Sutta .
Ketika cinta telah bermakna memberikan kebahagiaan, maka kualitas
cinta menjadi sangat luhur. Seseorang dalam mencintai bukan lagi ingin
memiliki atau mengikat orang yang dicintainya. Semakin seseorang
mencintai, semakin besar pula kebebasan yang ia berikan agar orang yang
dicintainya berbahagia. Cinta yang memberi akan menjadi cinta yang
bebas dari kecemburuan maupun pertentangan. Cinta yang memberi adalah
cinta yang penuh kebahagiaan untuk kedua belah fihak. Cinta yang
memberi dapat disebut sebagai cinta yang sejati. Cinta yang bebas dari
kepura-puraan dan kesedihan. Cinta yang memberi dalam Karaniyametta Sutta disamakan dengan cinta seorang ibu kepada anaknya yang tunggal. Penuh pengorbanan namun tanpa tuntutan.
Selanjutnya, setelah mengerti makna ‘cinta’ dalam Agama Buddha
adalah memberi, maka berikutnya akan dibahas tentang ‘seks’ atau lebih
sempit lagi bermakna ‘hubungan seks’. Dalam pengertian Buddhis,
hubungan seks adalah salah satu ungkapan untuk membahagiakan
pasangannya. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta, seperti halnya
sentuhan lembut, pandangan penuh perhatian, ucapan yang menyejukan
serta berbagai hal lain. Hubungan seks hanya boleh dilakukan antara
pasangan yang telah terikat menjadi suami istri.
Dalam Dhamma, hubungan seksual dapat terjadi apabila pasangan
mempergunakan salah satu atau lebih dari tiga organ seksual yaitu
mulut, alat vital dan anus. Penggunaan organ seksual ini hendaknya
dilakukan dengan tujuan untuk membahagiakan orang yang dicintainya.
Apabila pasangan dalam hubungan seksual bukan suami atau istri sendiri,
maka besar kemungkinan telah terjadi pelanggaran sila ketiga dari
Pancasila Buddhis yaitu perjinahan. Seperti telah diketahui bersama
bahwa isi Pancasila Buddhis adalah upaya untuk menghindari pembunuhan,
pencurian, perjinahan, bohong dan mabuk-mabukan.
Adapun terjadinya pelanggaran sila ketiga atau perjinahan apabila
pasangan dalam melakukan hubungan seksual termasuk obyek pelanggaran.
Obyek pelanggaran yang dimaksud adalah saudara kandung, anak di bawah
umur, orang-orang di bawah perwalian, suami atau istri orang lain dan
mereka yang melaksanakan latihan kemoralan seperti samanera, bhikkhu,
atau bhiksuni. Hubungan seksual dengan salah satu atau lebih dari
kelima kelompok obyek pelanggaran yang diuraikan di atas dapat disebut
sebagai perjinahan. Sebagai akibat dari kamma buruk melakukan
pelanggaran sila ketiga Pancasila Buddhis yaitu perjinahan disebutkan
dalam Anguttara Nikaya VII :
Perjinahan, melakukan sendiri, mengajurkan, mengijinkan, ini
membawa orang ke neraka, ke alam binatang, ke alam setan,
sekurang-kurangnya menjadikan orang itu akan dimusuhi oleh
lingkungannya.
Dengan memahami bahwa cinta adalah memberikan kebahagiaan, dan seks
adalah salah satu cara mengungkapkan cinta, maka kiranya para umat
Buddha dapat mulai menjalani kehidupan sesuai dengan Dhamma. Dengan
melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan terwujudlah
kebahagiaan dalam rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat yang
bermoral.
Semoga pembahasan pengertian ‘cinta’ dan ‘seks’ ini akan menambah
wawasan serta menjadi pegangan hidup. Semoga semua selalu berbahagia.
Semoga semua makhluk baik tampak maupun yang tidak tampak memperoleh
kebaikan serta kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar