Selasa, 10 April 2012

PAÑCĀVUDHA-JĀTAKA

“Tanpa kemelekatan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang Bhikkhu yang menyerah dalam semua usahanya.
Sang Guru berkata kepadanya, “Benarkah laporan tersebut, Bhikkhu, bahwa engkau menyerah ?”
“Benar, Sang Bhagawan.”
“Di kehidupan yang lampau, Bhikkhu,” kata Sang Guru,
“ia yang bijaksana dan penuh kebaikan mendapatkan takhtanya karena kegigihan yang tidak tergoyahkan pada saat diperlukan.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra raja. Pada hari pemberian nama, orang tuanya menanyakan ramalan nasib anak mereka kepada delapan ratus orang brahmana, nasib anak yang terlahir sesuai harapan hati mereka yang penuh kebahagiaan. Melihat tanda-tanda yang dimiliki oleh anak itu, yang menunjukkan keagungan takdirnya, para brahmana yang merupakan peramal yang pintar, meramalkan bahwa saat ia naik tahta setelah raja wafat, ia akan menjadi seorang raja yang sangat hebat, diberkahi dengan semua kebaikan; Ia terkenal dan termashyur akan keberaniannya dalam menggunakan lima jenis senjata, ia tidak tertandingi di seluruh Jambudīpa101. [273] Karena ramalan para brahmana ini, orang tuanya menamai anak mereka Pangeran Pañcāvudha (Lima Senjata).
Saat tumbuh dewasa di usia enam belas tahun, raja memintanya untuk pergi menimba ilmu.
“Kepada siapakah, Paduka, saya menuntut ilmu?” tanya pangeran tersebut.
“Kepada seorang guru yang sangat terkenal di Kota Takkasilā di Negeri Gandhāra. Ini adalah biayanya,” kata raja, memberikan seribu keping uang kepadanya.
Pergilah pangeran tersebut ke Takkasilā dan mendapatkan pendidikan di sana. Pada saat ia akan meninggalkan tempat itu, gurunya memberikan lima jenis senjata dalam satu set kepadanya. Dengan dilengkapi senjata tersebut, setelah mengucapkan perpisahan pada gurunya yang telah tua, pangeran meninggalkan Takkasilā menuju ke Benares.
Dalam perjalanannya ia tiba di sebuah hutan yang dihuni oleh seorang yaksa yang bernama Silesaloma. Saat akan masuk ke dalam hutan, orang-orang yang berpapasan dengannya berusaha untuk menghalanginya dengan berkata, “Brahmana muda, jangan masuk ke dalam hutan itu. Hutan itu dihuni oleh Yaksa Silesaloma; Ia membunuh semua orang yang ia temui.” Namun dengan keberanian laksana seekor singa, Bodhisatta yang sangat percaya diri itu terus berjalan, hingga tiba di jantung hutan, tempat ia bertemu dengan yaksa tersebut. Yaksa itu muncul dengan sosok setinggi pohon lontar, dengan kepala sebesar sebuah pondok kecil dan mata sebesar mangkuk, dengan dua buah taring seperti lobak dan sebuah paruh dari burung elang; Perutnya dipenuhi bisul yang berwarna ungu; Telapak tangan dan kakinya berwarna biru kehitaman! “Hendak kemana?” seru sang yaksa. “Berhenti! Kamu adalah mangsaku.” “Yaksa,” jawab Bodhisatta, “saya tahu apa yang saya lakukan saat memasuki hutan ini. Engkau keliru jika mendekat padaku. Dengan panah beracun ini, saya akan membunuhmu di tempat engkau berdiri.” Bersamaan dengan tantangan itu, ia mempersiapkan busur dengan sebatang anak panah yang telah dicelup dalam racun yang mematikan, lalu menembakkan anak panah tersebut ke arah yaksa itu. Namun panah itu hanya tersangkut di jubah berbulu kasar yang dipakai oleh yaksa itu. Ia memanah lagi dan lagi, hingga lima puluh anak panah telah terpakai. Dan semua anak panah itu hanya mengenai jubah berbulu kasar milik yaksa tersebut. Yaksa tersebut, mengguncangkan panah-panah itu hingga jatuh ke tanah di dekat kakinya, dan mendekat ke arah Bodhisatta. Sekali lagi Bodhisatta meneriakkan tantangan, menarik pedangnya dan menyerang yaksa tersebut. Namun sama seperti panah-panah itu, pedang sepanjang tiga puluh tiga inci itu hanya tersangkut di jubah bulunya. Selanjutnya, Bodhisatta melemparkan tombak, yang juga tersangkut di sana. Melihat hal tersebut, ia menghantam yaksa tersebut dengan pemukul miliknya; namun, seperti senjata lainnya, pemukul tersebut juga tersangkut di jubah itu. Bodhisatta berteriak, “Yaksa, kamu tidak pernah mendengar tentang saya, [274] Pangeran Lima Senjata. Saat saya mengambil risiko masuk ke dalam hutan ini, saya tidak meletakkan keyakinan saya pada busur maupun senjata lainnya, namun pada diri saya sendiri! Sekarang saya akan menyerangmu dengan sebuah pukulan yang akan menghancurkanmu menjadi abu!” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Bodhisatta menghantam yaksa itu dengan tangan kanannya; namun tangannya tersangkut di bulu-bulu tersebut. Sebagai gantinya, dengan tangan kiri, kaki kanan dan kaki kiri, ia menyerang yaksa tersebut. Tangan dan kakinya sepertinya melekat pada kulit yaksa itu. Ia berteriak lagi, “Saya akan menghancurkanmu menjadi abu!” dan menanduk raksasa itu dengan kepalanya, namun, kepalanya juga tersangkut.
Walaupun telah tertangkap dan terjerat dengan lima cara, Bodhisatta yang tergantung pada jubah yaksa itu tetap tidak merasa takut, keberaniannya tetap tidak tergoyahkan. Sang yaksa berpikir, “Ia adalah orang yang paling berani di antara yang lain. Seorang pahlawan tanpa tandingan, yang bukan orang biasa. Meskipun ia telah tertangkap dalam cengkeraman yaksa seperti saya, ia tidak gemetaran sedikit pun. Tidak pernah sekali pun sejak saya mulai membunuh para pengelana yang melewati jalan ini, saya menemukan orang seperti dia. Bagaimana ia bisa tidak merasa takut?” Tidak berani menyantap Bodhisatta begitu saja, ia bertanya, “Brahmana muda, bagaimana bisa engkau tidak takut pada kematian?”
“Mengapa saya harus takut?” jawab Bodhisatta. “Setiap kehidupan akan diakhiri oleh kematian. Lebih jauh lagi, dalam tubuhku ada sebilah pedang yang tidak akan mengalami perubahan, yang tidak bisa dicerna olehmu. Jika engkau menyantapku, pedang itu akan memotong isi perutmu menjadi daging cincang, kematian saya akan melibatkan kematianmu juga. Karena itulah, saya tidak mempunyai rasa takut.” (Dengan ini, dikatakan bahwa, yang dimaksud oleh Bodhisatta adalah Pedang Kebenaran, yang ada dalam dirinya.)
Yaksa itu merenungkan, “Brahmana muda ini hanya menyampaikan kenyataan yang ada. Bukan hal lain selain kebenaran,” pikirnya. “Tidak ada kacang polong sebesar kacang yang bisa saya cerna seperti pahlawan ini. Saya akan membebaskannya.” Demikianlah, karena mengkhawatirkan keselamatannya, ia membebaskan Bodhisatta, dengan berkata, “Brahmana muda, kamu adalah orang yang paling berani di antara para manusia; Saya tidak akan menyantapmu. Pergilah dari cengkeramanku, seperti bulan dari cengkeraman Rāhu, kembali ke sanak keluargamu yang berbahagia, teman-teman serta negerimu.”
“Untuk diriku sendiri, Yaksa,” jawab Bodhisatta, “saya akan pergi. Untuk dirimu, kejahatanmu di kehidupan yang lam-pau menyebabkan engkau terlahir sebagai makhluk yang rakus, pembunuh dan yaksa pemakan daging; Jika [275] engkau terus melakukan kejahatan dalam kehidupan ini, engkau akan tetap berada dalam kegelapan. Namun, bertemu denganku, engkau tidak akan mampu melakukan kejahatan lagi. Setelah mengetahui bahwa pembunuhan hanya akan menjamin kelahiran kembali di neraka maupun sebagai makhluk yang kasar dan kejam, atau sebagai hantu, atau lahir di antara jiwa-jiwa yang terjerumus, atau jika lahir di alam manusia, maka kejahatan seperti ini akan membuatmu pendek umur.”
Dengan cara ini dan cara lainnya, Bodhisatta menunjukkan akibat buruk dari lima jalan kejahatan, dan berkah yang timbul dari pelaksanaan lima jalan kebaikan; Dengan cara tersebut, ia membuat yaksa itu takut, melalui ajaran tersebut ia membuat raksasa itu mengubah prinsipnya, mengilhaminya dengan pengingkaran diri (tanpa inti) dan membuat ia menjalankan lima sila. Kemudian ia membuat yaksa itu menjadi dewa hutan dengan hak untuk mendapatkan persembahan. Bodhisatta memerintahkan agar ia tetap setia sementara ia sendiri melanjutkan perjalanannya, membuat perubahan suasana hati yaksa itu diketahui saat ia keluar dari hutan. Akhirnya ia tiba, dengan dilengkapi lima jenis senjata, ke Kota Benares. Ia segera menghadap orang tuanya. Di kemudian hari, sebagai seorang raja, ia memerintah dengan adil; Setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan perbuatannya.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini:
Tanpa kemelekatan yang menghalangi hati atau pikiran,
ketika kebenaran ditegakkan dengan damai untuk memenangkan,
Ia yang melakukan hal demikian, akan mendapatkan kemenangan,
dan semua belenggu102 musnah sama sekali.
Setelah Beliau memberi petunjuk dalam ajaran-Nya yang bisa membawa pada tingkat kesucian Arahat, sebagai tujuan utama, Sang Guru melanjutkan dengan membabarkan Empat Kebenaran Mulia, pada akhir khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Aṅgulimāla103 adalah adalah yaksa di masa itu, dan saya sendiri adalah Pangeran Lima Senjata.”
Catatan kaki :
101 Salah satu dari empat pulau atau dipā, yang membentuk bumi ini; termasuk India, dan melambangkan dunia yang kita huni menurut ingatan orang India.
102 Lihat No.56 dan No.156.
103 Aṅgulimāla adalah seorang penjahat yang memakai untaian kalung dari jari tangan para korbannya, keyakinannya diubah oleh Sang Buddha dan akhirnya ia menjadi seorang Arahat. Bandingkan dengan Majjhima Nikāya No.86.

Tidak ada komentar: