Sabtu, 16 Juni 2012

KALĀYA-MUṬṬHI-JĀTAKA

[74] “Seekor kera bodoh,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, mengenai seorang Raja Kosala.
Di suatu musim hujan, pemberontakan terjadi di daerah perbatasannya. Para pasukan berpangkalan di sana, setelah dua atau tiga pertempuran gagal untuk menaklukkan musuhnya, mereka mengirimkan pesan kepada sang raja.
Meskipun musim hujan, raja turun dalam pertempuran, dan berkemah di dekat Jetavana. Kemudian dia mulai berpikir, “Ini adalah musim yang buruk untuk (melakukan) perjalanan; setiap celah dan lubang terpenuhi dengan air, dan medannya menjadi berat. Saya akan pergi mengunjungi Sang Guru. Beliau pasti akan menanyakan ‘hendak ke mana’, kemudian saya akan memberitahukannya kepada Beliau. Sang Guru bukan hanya melindungi (diriku) dari sesuatu (yang buruk) di masa yang akan datang, tetapi Beliau juga melindungi dari sesuatu yang dapat kita lihat sekarang. Jika kepergian saya tidak membuahkan hasil, maka Beliau akan mengatakan ‘ini adalah waktu yang tidak baik untuk melakukan perjalanan, Paduka’, tetapi jika bakal berhasil, Beliau tidak akan mengatakan apa-apa. Maka dia pergi berkunjung ke Jetavana dan, setelah mengucapkan salam kepada Sang Guru, dia duduk di satu sisi.
“Mengapa Anda datang, wahai Paduka,” tanya Sang Guru, “pada waktu yang tidak tepat?” “Bhante”, jawabnya, “saya sedang dalam perjalanan untuk memadamkan pemberontakan di perbatasan; dan saya datang terlebih dahulu ke sini untuk berpamitan dengan-Mu.” Terhadap ini, Sang Guru berkata “Kejadian Ini sudah pernah terjadi sebelumnya, raja-raja yang sangat berkuasa, sebelum pergi bertempur, terlebih dahulu mendengarkan kata-kata orang bijak dan berbalik dari perjalanan mereka yang tidak sesuai pada musimnya.” Kemudian, atas permintaan sang raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, dia mempunyai seorang menteri yang menjadi tangan kanannya dan memberinya nasehat dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Kala itu, terjadi pemberontakan di perbatasan, dan para pasukan yang berpangkalan di sana mengirimkan pesan kepada raja. Raja pun berangkat meskipun kala itu adalah musim hujan, dan mendirikan sebuah kemah di tamannya. Bodhisatta berdiri di depan raja.
Pada waktu itu, orang-orang telah merebus kacang-kacangan untuk kuda-kuda dan menuangkannya ke dalam palungan. Salah seekor kera yang tinggal di dalam taman melompat dari pohon ke bawah, mengisi mulut dan tangannya dengan kacang-kacang tersebut, kemudian naik kembali ke atas, dan duduk di pohon, sembari mulai makan. Selagi dia makan, salah satu kacangnya jatuh dari tangannya ke tanah. Kemudian semua kacangnya dibuang dari tangan dan mulutnya, [75] dan karenanya dia turun ke bawah, untuk mencari satu kacang yang jatuh itu. Tetapi kacang itu tidak bisa ditemukannya. Dia memanjat ke atas pohon kembali dan duduk diam, sangat sedih, kelihatan seperti seseorang yang telah kehilangan uang seribu keping di dalam suatu tuntutan perkara.
Raja mengamati bagaimana kera itu bertingkah laku, dan menunjukkan hal itu kepada Bodhisatta. “Teman, bagaimana pendapatmu tentang itu?” tanyanya. Bodhisatta memberikan jawaban, “Paduka, ini adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang bodoh yang kurang cerdas; mereka menghabiskan banyak hal untuk mendapatkan sesuatu yang sedikit,” dan dia melanjutkan dengan mengulangi bait pertama:
Seekor kera bodoh, tinggal di pohon,
wahai Paduka, di saat kedua tangannya penuh dengan kacang,
malah membuang semuanya untuk mencari satu:
Tidak ada kebijaksanaan di dalam hal seperti ini.
Kemudian Bodhisatta menghampiri sang raja, dan menjelaskan kepadanya, mengulangi bait kedua:
Demikianlah diri kita, wahai Paduka,
demikian juga orang-orang yang tamak;
Kehilangan banyak untuk mendapatkan sedikit,
seperti kera dan kacang (tersebut).
[76] Setelah mendengar penjelasan ini, raja berbalik dan langsung kembali ke Benares. Dan kemudian para pemberontak yang mendengar bahwasanya raja telah berangkat dari ibukota untuk menghancurkan musuh-musuhnya pun tergesa-gesa pergi meninggalkan perbatasan.

Pada masa kisah ini diceritakan, para pemberontak (pada cerita pembuka di atas) melarikan diri dengan cara yang sama. Setelah mendengarkan ucapan Sang Guru, raja bangkit dan berpamitan, kemudian kembali ke Sāvatthi.
Sang Guru, pada akhir uraian ini, mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Ānanda adalah raja, dan menteri yang bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”

Tidak ada komentar: