Kamis, 14 Juni 2012

MAKKAṬA-JĀTAKA

[68] “Ayah, lihatlah orang tua malang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu (curang).—Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Uddāla-Jātaka53, Buku XIV.
Di sini juga Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini orang ini menjadi seorang penipu, tetapi juga di masa lampau, ketika terlahir sebagai seekor kera, dia menipu demi (mendapatkan) api.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah di masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan di sebuah keluarga brahmana di suatu desa di Kāsi. Ketika tumbuh dewasa, dia mendapatkan pendidikannya di Takkasilā, dan menetap di sana.
Istrinya pada waktu itu melahirkan seorang putra; dan ketika anaknya baru bisa berlari, dia meninggal dunia. Suaminya melakukan upacara pemakamannya, dan kemudian berkata, “Apalah gunanya rumah (ini) bagiku sekarang? Saya dan anak saya akan menjalani kehidupan sebagai petapa.”
Meninggalkan teman-teman dan sanak keluarganya dalam linangan air mata, dia membawa anaknya ke Himalaya, menjadi seorang petapa, dan hidup dengan memakan buah-buahan dan akar-akaran yang terdapat di dalam hutan.
Pada suatu hari di musim hujan, setelah hujan lebat reda, dia menyalakan api, dan berbaring di alas tidurnya, menghangatkan dirinya di perapian. Dan anaknya duduk di sampingnya, sembari menggosok kakinya.
Kala itu seekor kera hutan, yang menderita karena kedinginan, melihat api di gubuk daun milik petapa tersebut. “Sekarang,” pikirnya, “kalau saya masuk ke dalam, mereka akan berteriak, ‘Kera! kera,’ dan memukuli saya. Saya tidak akan mendapat kesempatan untuk menghangatkan diri—Saya ada ide!” katanya kemudian. “Saya akan mengambil sehelai jubah petapa, dan masuk ke dalam dengan sebuah muslihat!”
Lalu dia pun memakai jubah bekas milik seorang petapa yang telah meninggal, mengangkat keranjang dan tongkat (galah), dan berdiri di depan pintu gubuk, tempat dia membungkuk di samping sebuah pohon kelapa. Sang anak melihatnya dan berkata kepada ayahnya (tidak mengetahui bahwa dia adalah seekor kera), “Di sini ada seorang petapa tua, sudah pasti, menderita karena kedinginan, datang untuk menghangatkan dirinya di perapian.” [69] Kemudian dia menjelaskan kepada ayahnya di dalam kata-kata di bait pertama, memohon ayahnya untuk memperbolehkan orang malang tersebut untuk menghangatkan dirinya:
Ayah, lihatlah orang tua malang
yang berdiri di dekat sebuah pohon kelapa di sana!
Di sini kita memiliki sebuah gubuk untuk berteduh,
marilah kita memberikan tempat teduh kepadanya.
Ketika mendengar ini, Bodhisatta berdiri dan berjalan ke pintu. Tetapi ketika melihat makhluk itu adalah seekor kera, dia berkata, “Anakku, manusia tidak memiliki wajah seperti itu, dia adalah seekor kera, dan dia tidak boleh dipersilakan untuk masuk.” Kemudian dia mengulangi bait kedua:
Dia hanya akan mengotori tempat tinggal kita
jika dia melangkah masuk melewati pintu;
Wajah seperti ini—sangat mudah diketahui—
tidak ada brahmana yang memilikinya.
Bodhisatta mengambil sebatang kayu, berkata dengan keras—“Apa yang Anda inginkan di sana?”—melemparkan kayu itu ke arahnya dan mengusirnya. Si kera menanggalkan jubah usangnya, memanjat pohon, dan menghilang di dalam hutan.
Kemudian Bodhisatta mengembangkan empat kediaman luhur (brahmavihāra) hingga akkhirnya terlahir di alam brahma.

Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bhikkhu yang menipu ini adalah kera pada masa itu; Rāhula54 adalah anak petapa, dan Aku sendiri adalah sang petapa.”

Catatan kaki :
53 No. 487.

Tidak ada komentar: