Minggu, 13 Mei 2012

AGGIKA-JĀTAKA

“Itu adalah keserakahan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai orang munafik lainnya.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seekor raja tikus, dan menetap di dalam hutan. Dalam suatu kejadian, hutan terbakar, dan seekor serigala yang tidak bisa melarikan diri, meletakkan kepalanya di balik sebatang pohon [462] dan membiarkan kobaran api menyapu dirinya. Api menghanguskan bulu di sekujur tubuhnya, membuat dirinya benar-benar tak berbulu, kecuali seberkas bulu seperti simpul di kepalanya210, dimana mahkota kepalanya tertekan di balik pohon itu.
Suatu hari, saat minum air di kolam yang berbatu, ia menangkap bayangan simpul di kepalanya melalui air. “Akhirnya saya memperoleh apa yang saya butuhkan untuk terjun dalam pasar,” pikirnya.
Dalam pengembaraannya di dalam hutan, ia tiba di sarang tikus. Ia berkata sendiri, “Saya akan menipu tikus-tikus ini dan melahap mereka.” Dengan maksud itu, ia berdiri di dekat sana, sama seperti dalam kisah sebelumnya.
Dalam perjalanan mencari makanan, Bodhisatta melihat serigala ini, menilai hewan buas itu dengan kesucian dan kebaikan, ia mendekat dan menanyakan siapa namanya.
“Bhāradvāja211, pemuja dewa api.”
“Mengapa engkau datang kemari?”
“Untuk melindungi engkau dan rakyatmu.”
“Apa yang akan engkau lakukan untuk melindungi kami?”
“Saya mengetahui bagaimana cara menghitung dengan jari-jari saya, dan akan menghitung jumlah kalian baik pagi maupun sore, dengan demikian, dapat memastikan jumlah yang pulang ke rumah di waktu malam, adalah sama dengan jumlah yang berangkat di pagi hari. Dengan cara demikian kalian akan saya lindungi.”
“Kalau begitu tinggallah, Paman, dan jagalah kami.” Karenanya, saat para tikus berangkat di pagi hari ia mulai menghitung mereka, “Satu, dua, tiga”; demikian juga saat mereka kembali di malam hari. Dan setiap kali ia menghitung mereka, ia menangkap dan menyantap tikus terakhir.
Segera hal yang sama terjadi seperti pada kisah sebelumnya, kecuali saat raja tikus berbalik dan berkata pada serigala tersebut, “Bukan kesucian, Bhāradvāja, pemuja dewa api, namun kerakusan yang menghiasi mahkotamu dengan simpul di kepalamu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini: —
Itu adalah keserakahan, bukan kesucian,
yang menghiasi kepalamu.
Jumlah kami yang semakin berkurang
membuatmu gagal untuk meneruskan rencanamu;
Kami sudah bosan denganmu, pemuja api.

Uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini adalah serigala di masa itu, dan Saya adalah raja tikus.”
Catatan kaki :
210 Bhikkhu Buddhis mencukur mahkotanya, kecuali seberkas rambut di puncak kepalanya, yang dapat disamakan dengan pencukuran rambut di ubun-ubun pendeta Roma Katolik.
211 Bhāradvāja adalah nama sebuah suku resi (Rishi) yang hebat, atau guru spritual, dianggap sebagai asal dari Rigveda pada Buku Keenam.

Tidak ada komentar: